Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal Kronis

1. Pengertian

Gagal ginjal kronis biasanya merupakan akibat akhir kehilangan

fungsi ginjal lanjut secara bertahap, gagal ginjal kronis atau

penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi

renal yang progresif fan irreversible dimana kemampuan tubuh

gagal mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan

elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urine dan sampah nitrogen

lain dalam darah). Gagal ginjal kronis merupakan perkembangan

gagal ginjal yang progresif dan lambat, biasanya berlangsung

beberapa tahun (Haryono, 2013).

Menurut Aspiani (2015,) gagal ginjal kronis (GGK) adalah

penurunan fungsi ginjal yang bersifat persisten atau irreversible.

Istilah lain yang berkaitan dengan GGK adalah :

a. Gangguan fungsi ginjal – penurunan laju filtrasi glomerulus.

b. Azotemia peningkatan BUN dan ditegakkan bila konsentrasi

ureum plasma meningkat.

c. GGK adalah ketidakmampuan renal berfungsi dengan

adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dialysis atau

transplantasi).
2. Etiologi

Menurut Aspiani (2015), penyebab gagal ginjal kronis

bermacam-macam dan yang memegang peran penting dalam

perjalanan klinis dan penanggulangannya. Adapun penyakit-

penyakit yang dapat menyebabkan gagal ginjal kronis adalah :

a. Glomerulonephritis

b. Nefropati toksik dan nefropati obstruksi

c. Ginjal polikistik

d. Nefropati diabetik

e. Hipertensi

f. Obstruksi oleh karena batu

g. Nefropati gout oleh karena gout

h. Nefropati lupus oleh karena SLE

i. Gangguan metabolisme

Faktor yang memperburuk gagal ginjal kronis adalah :

a. Infeksi traktus urinarius

b. Obstruksi traktur urinarius

c. Hipertensi

d. Gangguan perfusi/aliran darah ginjal

e. Gangguan elektrolit

f. Pemakaian obat-obat nefrotoksik


3. Patofisiologi

Menurut Diyono dan Mulyanti (2019), gagal ginjal kronis terjadi

setelah sejumlah keadaan yang menghancurkan masa nefron

ginjal. Keadaan ini mencangkup penyakit parenkim ginjal difus

bilateral, juga lesi obstruksi pada traktus urinearius. Mula-mula

terjadi beberapa serangan penyakit ginjal terutama menyerang

glomerulus (Glumerolunrpritis), yang menyerang tubulus ginjal

(Pyelonefritis atau penyakit polikistik) yang dapat mengganggu

perfusi dan fungsi darah pada parenkim ginjal (nefrosklerosis).

Perubahan patologi CRF melalui 3 tahap yaitu :

a. Reduced Renal Reserve

Ditandai dengan hilangnya 40-70% fungsi nefron. Biasanya

belum muncul gejala, karena nefron masih mampu

menjalankan fungsi ginjal dengan baik.

b. Renal Insuffisiency

Dimulai ketika nefron yang rusak mencapai 75-90%. Pasien

akan mengeluh polyuria dan nocturia. Ureum kreatinin mulai

naik karena ginjal tidak mampu mengeluarkannya bersama

urine. Kadang pada fase ini gejala anemia mulai muncul.

c. ESRD (End Stage Renal Desease)

Terjadi ketika nefron yang berfungsi tinggal 10%. Gejala

kegagln dalam menjalankan fungsi ginjal semakin tampak

yang ditandai dengan peningkatan dari kreatinin, BUN,


ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa. Pada tahap ini

pasien biasanya membutuhkan terapi dialysis.

4. Faktor resiko

Menurut Widiana et. al (2021), perlu diketahui faktor resiko dari

gagal ginjal kronis yaitu :

a. Umur yang lebih tua

b. Adanya PGK (kadar kreatinin serum yang meningkat atau

proteinuria)

c. Tindakan pembedahan mayor (khususnya bedah jantung,

bedah pembuluh darah, atau pembedahan hepatobilier)

d. Diabetes mellitus

e. Hipovolemia

f. Gangguan fungsi jantung kiri

g. Penyakit hati kronis

h. Obat-obatan (kemoterapi, antibiotika tertentu, NSAID, ACE

inhibitor, ARB)

i. Mieloma multipel

5. Manajemen faktor resiko

Menurut Widiana et. al (2021), manajemen yang bisa dilakukan

adalah :

a. Modifikasi gaya hidup : olahraga, berhenti merokok, dan

makanmakanan sehat. Usaha ini banyak berguna untuk

manajemen faktor resiko. Kurangi paparan obat atau substasi


nefrotoksik seperti obat antibiotika golongan aminoglikosida,

antikanker sisplantin, serta bahan-bahan yang mengandung

logan berat.

b. Kendalikan tekanan darah (<130/80 mmHg) : umumnya

pengendalian tekanan darah menggunakan obat antihipertensi

berbasis ACE-I dan ARB. Obat-obatan dari golongan ini

bermanfaat, khususnya pada pasien gagal ginjal kronis dengan

proteinuria dan gagal ginjal kronis akibat diabetes mellitus

c. Terapi lipid dengan golongan statin : obat golongan statin ini

terbukti bermanfaat, khususnya untuk pasien dengan penyakit

jantung coroner dan dyslipidemia. Aspirin 80mg sehari dapat

diberikan, jika tidak ada kontraindikasi.

6. Tanda dan gejala

Menurut Aspiani (2015), tanda dan gejala gagal ginjal kronis

dapat mengenai hampir seluruh tubuh antara lain :

a. Umum

1) Fatique

2) Malaise

3) Gagal tumbuh

b. Kulit

1) Pucat

2) Mudah lecet

3) Rapuh
c. Sistem gastrointestinal

1) Anoreksia

2) Nausea

3) Vomitus

4) Foeter uremik

5) Cegukan

6) Gastritis erosive

d. Sistem hematologi

1) Anemia normokrtom normositer

2) Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia

3) Gangguan fungsi leukosit

e. Sistem saraf dan otot

1) Burning feel syndrome

2) Ensefalopati metabolic

3) Miopati

f. Sistem kardiovaskuler

1) Hipotensi

2) Nyeri dada, sesak nafas, gangguan irama jantung

3) Edema

g. Sistem endokrin

1) Gangguan seksualitas : fertilitas, libido menurun,

impotensi

2) Gangguan toleransi glukosa


3) Gangguan metabolism lemak

4) Gangguan metabolism vitamin D

h. Sistem lain

1) Tulang : osteodistrofi renal dan lain-lain

2) Asam basa : asidosis metabolic

3) Elektrolit : hipokalsemia, hyperkalemia, hiperfostemia

7. Penatalaksanaan

Menurut Muttaqin dan Sari (2011), tujuan penatalaksanaan

adalah menjaga keseimbangan cairan elektrolit dan mencegah

koplikasi , yaitu sebagai berikut :

a. Dialisis, dialysis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi

gagal ginjal yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis,

dan kejang. Dialisis memperbaiki abdominalitas biokimia,

menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi

secara bebas, menghilangkan kecenderungan perdarahan,

dan membantu penyembuhan luka.

b. Koreksi hiperkalemi, mengendalikan kalium darah sangat

penting karena hiperkalemi dapat menimbulkan kematian

mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan

menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan

darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG

dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka pengobatannya


adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na

Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.

c. Koreksi anemia, usaha pertama harus ditujukan untuk

mengatasi faktor defisiensi, kemudian mencari apakah ada

perdarahan yang mungkin dapat diatasi. Pengendalian

gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.

Transfuse darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi

yang kuat, misalnya ada insufisiensi koroner.

d. Koreksi asidosis, pemberian asam melalui makanan dan

obat-obatan harus dihindari. Natrium bikarbonat dapat

diberikan peroral atau parenteral. Pada permulaan 100 mEg

natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika

diperlukan dapat diulang. Hemodialisis dan dialisis

peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.

e. Pengendalian hipertensi, pemberian obat beta bloker, alpa

metildopa, dan vasodilator dilakukan. Mengurangi intake

garam dalam mengendalikan hipertensi harus hati-hati

karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.

f. Transplantasi ginjal, dengan pencangkokan ginjal yang

sehat ke badan pasien gagal ginjal kronis, maka seluruh faal

ginjal diganti oleh ginjal yang baru.


8. Komplikasi

Menurut Haryono (2013), komplikasi gagal ginjal kronis yang

memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan,

mencangkup :

a. Hiperkalemia, akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik,

katabolisme dan masukan diit berlebih.

b. Perikaditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat

retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak

adekuat.

c. Hipertensi, akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi

system rennin, angiotensin, aldosterone.

d. Anemia, akibat penurunan eritopoeitin, penurunan rentang

usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat

iritasi.

e. Penyakit tulang, akibat retensi fosfat, kadar kalium serum

yang rendah metabolism vitamin D, abnormal dan

peningkatan kadar alumunium.


B. Usia Produktif

1. Pengertian Usia Produktif

Batasan usia produktif menurut Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia (2011), usia produktif yaitu umur 15-64 tahun. Dan menurut

Kozier et al (2011), karakteristik individu dianggap dewasa bergantung

pada bagaimana masa dewasa tersebut. Kriteria lain untuk masa

dewasa adalah kemandirian finansial, yang juga sangat bervariasi.

Beberapa remaja menghidupi dirinya sendiri sejak usia 16 tahun, yang

biasanya disebabkan oleh kondisi keluarga.

2. Perkembangan Usia Produktif

Menurut Kozier et al (2011), perkembangan usia produktif meliputi :

a. Perkembangan fisik

Individu berada pada kondisi fisik yang prima di awal usia 20-an.

Sistem muskuloskeletal berkembang dengan baik dan

terkoordinasi. Periode tersebut merupakan periode ketika

kegemaran terhadap atletik mencapai puncaknya. Semua sistem

lain pada tubuh (misalnya: kardiovakular, penglihatan,

pendengaran dan reproduktif) juga bekerja pada efisiensi puncak.

b. Perkembangan psikososial

Bertolak belakang dengan perubahan fisik yang minimal,

perkembangan psikososial pada masa dewasa muda justru besar.

Individu dewasa muda menghadapi sejumlah pengalaman serta

perubahan gaya hidup yang baru saat mereka beranjak dewasa.


Mereka harus membuat pilihan mengenai pendidikan, pekerjaan,

perkawinan, memulai rumah tangga, dan untuk memperbesar

anak. Tanggung jawab sosial meliputi membentuk hubungan

pertemanan yang baru dan menjalani beberapa kegiatan di

masayarakat.

c. Perkembangan kognitif

Piaget yakin bahwa struktur kognitif sempurna selama periode

operasi formal, kurang lebih sejak usia 11-15 tahun. Sejak periode

tersebut, operasi formal (sebagai contoh, membuat hipotesis)

menandakan pemikiran selama masa dewasa dan diterapkan di

lebih banyak area. Egosentrisme terus berkurang.

d. Perkembangan moral

Individu dewasa muda yang telah menguasai tahap sebelumnya

pada teori perkembangan moral Kohlberg saat ini memasuki

tingkat postkonvensional. Pada periode ini, individu mampu

memisahkan diri dari pengharapan dan aturan-aturan orang lain

dan mendefinisikan moralitas terkait prinsip-prinsip moral. Saat

mempersepsikan konflik dengan norma dan hukum masyarakat,

mereka membuat penilaian prinsip-prinsip pribadi mereka.

e. Perkembangan spiritual

Menurut Fowler, individu yang memasuki periode reflektif- individu

sekitar 18 tahun. Selama periode ini, individu berfokus pada

realitas. Individu dewasa yang berusia 27 tahun dapat

mengemukakan pertanyaan yang bersifat filosofi mengenai

spiritualitas dan menyadari akan hal spiritual tersebut. Ajaran-


ajaran agama yang kecil sekarang dapat diterima atau didefinisikan

kembali.

Anda mungkin juga menyukai