Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, diketahui bahwa Diabetes Mellitus bukan hanya dianggap


sebagai gangguan metabolisme karbohidrat namun juga menyangkut tentang
metabolisme protein dan lemak yang diikuti dengan komplikasi-komplikasi yang
bersifat kronis (menahun), terutama yang menimpa struktur dan fungsi pembuluh darah
(Pranadji, 2000). Oleh karena itu, Diabetes Melitus bukanlah suatu penyakit yang
ringan. Menurut beberapa review, Retinopati diabetika, sebagai penyebab kebutaan
pada usia dewasa muda, kematian akibat penyakit kardiovaskuler dan stroke sebesar 2-
4 kali lebih besar , Nefropati diabetik, sebagai penyebab utama gagal ginjal terminal,
delapan dari 10 penderita diabetes meninggal akibat kejadian kardiovaskuler dan
neuropati diabetik, penyebab utama amputasi non traumatic pada usia dewasa muda.
Di Negara berkembang, Diabetes mellitus sampai sat ini masih merupakan
faktor yang terkait sebagai penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar. Menurut
estimasi data WHO maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000
adalah sebesar 5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan
sebesar 8,2 juta. Tentu saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu
dilakukan upaya pencegahan secara komprehensif di setiap sektor terkait.
Menurut laporan UKPDS, komplikasi kronis paling utama adalah penyakit
kardiovaskuler dan stroke, diabetik foot, retinopati, serta nefropati diabetika, Dengan
demikian sebetulnya kematian pada Diabetes terjadi tidak secara langsung akibat
hiperglikemianya, tetapi berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Apabila
dibandingkan dengan orang normal, maka penderita Diabetes Melitus 5x Iebih besar
untuk timbul gangren, 17x Iebih besar untuk menderita kelainan ginjal dan 25x Iebih
besar untuk terjadinya kebutaan.
Seperti telah diketahui, bahwa faktor risiko tradisional, yang berkaitan
dengan penyakit kardiovaskuler dibagi dalam 2 kategori, yaitu dapat dimodifikasi dan
tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang dapat dimodifikasi adalah merokok, dislipidemia,
hipertensi, diabetes melitus, obesitas, faktor diet, rendahnya aktifitas fisik, dan
konsumsi alkohol berlebihan. Sedang yang tidak dapat dikoreksi adalah adanya riwayat

1
penyakit jantung, usia dan gender. Diabetes sendiri dimasukkan kedalam faktor yang
dapat dikoreksi, tetapi akhir-akhir ini diabetes disepakati sebagai kondisi yang sama
dengan penyakit kardiovaskuler (risk equivalent). Dengan demikian semua target terapi
disamakan dengan penderita penyakit kardiovaskuler, walaupun belum terjadi pada
penderita itu sendiri.
Kalau ditinjau lebih dalam lagi, ternyata hiperglikemia ini merupakan awal
bencana bagi penderita diabetes, hal ini terbukti dan terjadi juga pada penderita dengan
gangguan toleransi glukosa yang sudah terjadi kelainan komplikasi vaskuler, walaupun
belum diabetes. Hiperglikemia ini dihubungkan dengan kelainan pada disfungsi
endothel, sebagai cikal bakalnya terjadi mikro maupun makroangiopati. Oleh sebab itu
penderita diabetes perlu diobati agar dapat terhindar dan berbagai komplikasi yang
menyebabkan angka harapan hidup menurun.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa definisi komplikasi kronis Diabetes Melitus?


1.2.2 Bagaimana etiologi dari masing-masing komplikasi kronis Diabetes Melitus?
1.2.3 Apa saja manifestasi klinis dari masing-masing komplikasi kronis Diabetes
Melitus?
1.2.4 Bagaimana WOC (Web of Caution) dari komplikasi kronis Diabetes Melitus?
1.2.5 Apa saja pemeriksaan diagnostik yang digunakan untuk masing-masing
komplikasi kronis Diabetes Melitus?
1.2.6 Bagaimana asuhan keperawatan untuk komplikasi kronis Diabetes Melitus?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
a. Menguraikan konsep dari komplikasi kronis Diabetes Melitus
b. Menguraikan asuhan keperawatan pada komplikasi kronis Diabetes Melitus
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Menguraikan definisi dari komplikasi kronis Diabetes Melitus
b. Menguraikan etiologi dari masing-masing komplikasi kronis Diabetes Melitus
c. Menguraikan manifestasi klinis dari masing-masing komplikasi kronis
Diabetes Melitus

2
d. Menguraikan WOC (Web of Caution) dari komplikasi kronis Diabetes Melitus
e. Menguraikan pemeriksaan diagnostik dari masing-masing komplikasi kronis
Diabetes Melitus
f. Menguraikan asuhan keperawatan pada komplikasi kronis Diabetes Melitus

1.4 Manfaat
1.4.1 Menguraikan asuhan keperawatan pada komplikasi kronis Diabetes Melitus

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Komplikasi dari penyakit Diabetes Melitus dapat dibedakan menjadi komplikasi


yang bersifat akut dan menahun atau kronis. Komplikasi akut yaitu komplikasi yang
memerlukan tindakan dan pertolongan yang cepat. Komplikasi yang bersifat menahun atau
kronis timbul setelah penderita mengidap Diabetes Melitus selama 5-10 tahun atau lebih
(Pranadji, 2000).
Komplikasi kronis dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu komplikasi
makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler lebih
disebabkan karena kelainan kadar lipid darah. Komplikasi makrovaskuler adalah
komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga menyebabkan
atherosklerosis. Akibat atherosklerosis antara lain penyakit jantung koroner, hipertensi,
stroke, dan gangrene pada kaki. Komplikasi mikrovaskuler merupakan komplikasi khas
dari Diabetes Melitus lebih disebabkan hiperglikemia yang tidak terkontrol. Komplikasi
mikrovaskuler meliputi retinopati diabetika, nefropati diabetika dan neuropati diabetika.
(Pranadji, 2000).

Kerusakan vaskuler merupakan gejala yang khas  sebagai akibat DM, dan dikenal
dengan nama angiopati diabetika. Makro- angiopati (kerusakan makrovaskuler) biasanya
muncul sebagai gejala klinik berupa penyakit jantung iskemik dan pembuluh darah perifer.
Adapun mikro- angiopati (kerusakan mikrovaskuler) memberikan manifestasi retinopati,
nefropati dan neuropati. (Sony Arsono, Progam studi Magister Epidemiologi Universitas
Diponegoro Semarang).

2.1 KOMPLIKASI MAKROVASKULER

2.1.1 Definisi

Komplikasi makrovaskuler adalah komplikasi yang mengenai pembuluh


darah arteri yang lebih besar, sehingga menyebabkan atherosklerosis. Akibat
atherosklerosis antara lain timbul penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, dan
gangren pada kaki. (Pranadji, 2000).

4
2.1.2 Etiologi

Hiperglikemia merupakan peran sentral terjadi komplikasi pada DM. Pada


keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan pembentukan protein glikasi non
enzimatik serta peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan
peningkatan stress oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi
vaskulopati.

2.1.3 Faktor resiko

a. Hiperinsulinemia

Telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu


faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin
menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. Kadar insulin puasa >15
mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.
Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting
dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.

b. Dislipidemia, obesitas, hipertensi dan merokok

2.1.4 Patofisiologi

Penderita DM lebih mudah menderita penyakit jantung koroner (penyakit


jantung yang disebabkan oleh penyempitan pembuluh darah koroner yaitu pembuluh
darah yang mensuplai makanan bagi otot jantung). Jika pembuluh darah ini
menyempit, otot jantung akan kekurangan oksigen dari makanan, sehingga otot
jantung menjadi lemah atau sebagian otot jantung mati. Keadaan ini disebut infark
jantung atau infark miokard akut (Misnadiarly, 2006).
Penderita DM dapat mengalami atherosklerosis lebih cepat daripada orang
normal. Faktor risiko seperti hiperlipidemia, hipertensi, kelainan koagulasi, adhesi
dan aggregasi platelet, dan kelainan anatomis maupun fungsional endotelium
merupakan komponen proses terjadinya atherosklerosis pada penderita DM. Selain
itu, termasuk pula diantaranya adalah stress oksidatif yang disumbangkan oleh
AGEs.

5
Pada anyaman kapiler pembuluh darah, hiperglikemia dapat menyebabkan
glikosilasi (AGEs) yang mengganggu protein dan fungsi enzim, termasuk
diantaranya adalah fungsi enzim untuk mengatur pengeluaran zat yang menyebabkan
vasodilatasi dan adhesi sel-sel di dalam pembuluh darah. Hiperglikemia juga
menghasilkan AGEs yang bersifat toksik terhadap sel endotel sehingga terjadi
kerusakan pembuluh darah.
Mekanisme atherosklerosis menjelaskan adanya ruptur plak dan menekankan
adanya faktor inflamasi pada proses komplikasi plak atheroma fibrous. Ruptur plak
ini membentuk trombus dan dapat menyumbat pembuluh darah sehingga
menurunkan perfusi jaringan yang diperdarahinya. Manifestasi klinis yang terjadi
tergantung pada jaringan mana gangguan perfusi terjadi. Jika pembuluh darah
koroner yang tersumbat, maka terjadilah iskemia hingga infark pada jaringan otot
jantung yang merupakan patofisiologi terjadinya penyakit jantung koroner. Jika arteri
karotis interna arteri vertebrobasiler yang tersumbat, maka dapat terjadi iskemia
hingga infark pada jaringan otak yang merupakan patofisiologi terjadinya stroke. Jika
pembuluh-pembuluh darah di iliofemoris maupun arter-arteri kecil di tungkai bawah
yang tersumbat, maka dapat terjadi iskemia jaringan yang merupakan predisposisi
terjadinya gangren atau diabetic foot.

2.1.5 Manifestasi klinis

a. Penyakit Jantung Koroner


Aterosklerosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes.
Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris
(nyeri dada paroksimal seperti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang
bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifiras
atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual.
Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan
lebih hebat dan tidak mereda dengan pemberian nitrat.
b. Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering
pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita
diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius

6
untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran arteri karotis interna dan
arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
c. Penyakit pembuluh darah
Penyakit pembuluh darah pada diabetes biasanya mengenai arteri distal
(di bawah lutut). Faktor-faktor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati
yang disertai infeksi merupakan faktor utama terjadinya proses gangrene diabetik.
Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai
faktor pencetus koma, ataupun kematian.

2.1.6 Pemeriksaan diagnostik

a. Stroke

1. CT Scan : memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya


infark.

2. Angiografi serebral : membantu menentukan penyebab stroke secara


spesifik seperti perdarahan atau obstruksi arteri.

3. MRI : menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik.

b. Penyakit jantung koroner


1. ECG menunjukkan adanya S-T elevasi yang merupakan tanda dari iskemik
2. Enzim dan isoenzim jantung : CPK-MB meningkat dalam 4-12 jam, dam
mencapai puncak pada 24 jam
3. Chest X-ray : mungkin normal atau adanya cardiomegali atau CHF

2.1.7 Komplikasi

Penyakit jantung koroner, infark miokard, yang tidak segera mendapat


perawatan dan pengobatan, maka gagal jantung dapat terjadi. Sedangkan stroke, bisa
menyebabkan ke arah peningkatan TIK dan gagal nafas.

7
2.1.8 Prognosis

Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan meningkatkan


risiko terjadi infark miokard, dan pada akhirnya terjadi payah jantung. Kematian
dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes dibanding pada orang normal.

2.2 KOMPLIKASI MIKROVASKULER

2.2.1 RETINOPATI DIABETIK

A. Definisi

Retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada penderita diabetes


di seluruh dunia, disusul katarak. Bila kerusakan retina sangat berat, seorang penderita
dapat menjadi buta permanen sekalipun dilakukan usaha pengobatan. Pada retinopati
diabetik secara perlahan terjadi kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf
mata sehingga mengalami kebocoran. Akibatnya, terjadi penumpukan eksudat yang
mengandung lemak serta pendarahan pada retina. Kondisi tersebut lambat laun dapat
menyebabkan penglihatan buram, bahkan kebutaan. Bila kerusakan retina sangat berat,
seorang penderita diabetes dapat menjadi buta permanen sekalipun dilakukan usaha
pengobatan.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) tahun 2004 melaporkan bahwa 4,8 persen
penduduk di seluruh dunia menjadi buta akibat retinopati diabetic. Dalam urutan
penyebab kebutaan secara global. Retinopati diabetik menempati urutan ke-4 setelah
katarak, glaucoma, dan degenerasi macula (AMD=Age-related Makular
Degeneration).

B. Klasifikasi

Klasifikasi retinopati diabetes (Bagian Mata fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo):

1. Derajat I, terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus
okuli.

2. Derajat II, terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan atau
tanpa eksudat lemak pada fundus okuli.
8
3. Derajat III, terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak terdapat
neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli.

C. Etiologi

Retinopati diabetikum umumnya disebabkan karena penyakit diabetes melitus


yang sampai pada tahap kerusakan pembuluh darah retina atau lapisan saraf mata.
Adapun beberapa keadaan yang dapat memperberat retinopati diabetes antara lain:

1. Arteriosklerosis dan hipertensi arteri

2. Hiperlipoproteinemi

3. Kehamilan pada penderita diabetes juvenilis.

D. Patofisiologi

Pada penderita diabetes, terjadi peningkatan kadar gula darah di atas nilai
normal. Penderita diabetes kurang dapat mengontrol masukan glukosa dalam tubuh
disertai terganggunya fungsi pankreas dalam sekresi hormon insulin, sehingga proses
mengubah gula darah (glukosa) yang harusnya dapat diubah menjadi gula otot
(glukagon) tidak dapat berlangsung secara maksimal. Akibatnya gula darah tidak
terkontrol. Jika keadaan ini berlangsung lama, maka akan timbul berbagai komplikasi
salah satunya adalah gangguan pembuluh darah kapiler pada retina mata. Komplikasi ini
dapat menimbulkan kebutaan, yang sebenarnya dapat dihindari (avoidable blindness)
dengan manajemen diabetes yang baik.

Gangguan pada retina mata tersebut berupa melemahnya dinding pembuluh


kapiler. Selanjutnya, dinding pembuluh akan menggembung membentuk suatu struktur
yang disebut mikroaneurisma. Lama kelamaan, pembentukan mikroaneurisma akan
diiringi dengan penyumbatan pada pembuluh kapiler. Penyumbatan kapiler akan
merangsang tubuh untuk membuat pembuluh darah baru, tujuannya agar kebutuhan
nutrisi retina tetap dapat terpenuhi. Sayangnya, pembuluh baru ini sangat rapuh. Saat
pembuluh pecah, maka akan terjadi perdarahan. Selain itu, secara perlahan juga akan
terjadi kerusakan lapisan saraf mata sehingga mengalami kebocoran. Akibatnya, terjadi
penumpukan eksudat yang mengandung lemak. Semua kondisi tersebut lambat laun
dapat menyebabkan penglihatan buram, bahkan kebutaan.
9
E. Manifestasi klinis

Manifestasi yang umumnya timbul pada penderita retinopati diabetikum antara lain
meliputi adanya bintik mengambang (floater) pada lapangan pandang, Titik gelap pada
bagian tengah lapangan pandang, Kesulitan melihat di malam hari, penglihatan kabur,
atau bahkan terjadi kebutaan.

Retinopati diabetik terdiri dari 2 stadium, yaitu :

a. Retinopati nonproliferatif

Merupakan stadium awal dari proses penyakit ini. Selama menderita


diabetes, keadaan ini menyebabkan dinding pembuluh darah kecil pada mata
melemah. Timbul tonjolan kecil pada pembuluh darah tersebut (mikroaneurisma)
yang dapat pecah sehingga membocorkan cairan dan protein ke dalam retina.
Menurunnya aliran darah ke retina menyebabkan pembentukan bercak berbentuk
“cotton wool” berwarna abu-abu atau putih. Endapan lemak protein yang berwarna
putih kuning (eksudat yang keras) juga terbentuk pada retina. Perubahan ini
mungkin tidak mempengaruhi penglihatan kecuali cairan dan protein dari
pembuluh darah yang rusak menyebabkan pembengkakan pada pusat retina
(makula). Keadaan ini yang disebut makula edema, yang dapat memperparah pusat
penglihatan seseorang.

b. Retinopati proliferatif

Retinopati nonproliferatif dapat berkembang menjadi retinopati proliferatif


yaitu stadium yang lebih berat pada penyakit retinopati diabetik. Bentuk utama dari
retinopati proliferatif adalah pertumbuhan (proliferasi) dari pembuluh darah yang
rapuh pada permukaan retina. Pembuluh darah yang abnormal ini mudah pecah,
sehingga sewaktu-waktu dapat berdarah ke dalam badan kaca yang mengisi rongga
mata (perdarahan badan kaca atau perdarahan vitreus), menyebabkan pasien
mengeluh melihat floaters (bayangan benda-benda hitam melayang mengikuti
pergerakan mata) atau mengeluh mendadak penglihatannya terhalang.

Penyebab lainnya adalah bengkak atau menumpuknya cairan di daerah


pusat retina, yaitu makula, suatu kondisi yang disebut edema makula sehingga
10
pasien mulai kesulitan membaca/menulis. Jaringan neovaskuler yang terus tumbuh
(proliferatif) dapat berpotensi terbentuk jaringan parut yang dapat menarik retina
hingga terlepas dan/robek (ablasi retina). Jika tidak diobati, retinopati proliferatif
dapat merusak retina secara permanen serta bahagian-bahagian lain dari mata
sehingga mengakibatkan kehilangan penglihatan yang berat atau kebutaan.

F. Pemeriksaan diagnostik

Angiography fluorescein dapat dilakukan untuk menentukan derajat perfusi macula


dan mengidentifikai lokasi dan perluasan dari lesi yang dapat disembuhkan pada pasien
dengan CSME (Clinically Significant Macula Edema).

G. Komplikasi

1. Shunt arteri vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi kapiler.
2. Pelebaran vena, lumennya tidak teratur, berkelok kelok, terjadi akibat kelainan
sirkulasi. Dapat disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.
3. Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan permeabilitas
mikroaneurisma atau karena pecahnya kapiler.
4. Akibat proliferasi sel-sel endotel, timbul neovaskularisasi, tampak sebagai
pembuluh darah yang berkelok kelok, yang merupakan tanda awal dari penyakit
yang berat. Mula-mula terdapat pada retina, kemudian menjalar ke preretina untuk
kemudian masuk kedalam badan kaca. Bila neovaskularisasi ini pecah dapat
menimbulkan perdarahan di retina, preretina, dan juga didalam badan kaca.
5. Neovaskularisasi preretina diikuti pula dengan proliferasi sel glia.
6. Edema makula, kondisi ini merupakan penyebab utama dari gangguan penglihatan
pada pasien pasien diabetes . Dalam setahunnya di Amerika , didapatkan 75.000
kasus baru.

H. Prognosis
Angka kejadian retinopati diabetik dipengaruhi tipe DM dan durasi penyakit.
Pada DM tipe I, yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas, umumnya
pasien berusia muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan pada 13
persen kasus yang sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang meningkat
hingga 90 persen setelah DM diderita lebih dari 10 tahun.
11
Sedangkan pada DM tipe 2, yang disebabkan oleh resistennya berbagai organ
tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30 tahun atau lebih), retinopati
diabetik ditemukan pada 24-40 persen pasien penderita DM kurang dari 5 tahun, yang
meningkat hingga 53-84 persen setelah menderita DM selama 15-20 tahun.

2.2.2 NEFROPATI DIABETIK

A. Definisi

Dibandingkan dengan ginjal orang normal, penderita DM mempunyai


kecenderungan 17 kali lebih mudah mengalami gangguan fungsi ginjal. Hal ini
disebabkan faktor infeksi yang berulang yang sering timbul pada penderita DM dan
adanya faktor penyempitan pembuluh darah kapiler yang disebut mikroangiopati
diabetik di dalam ginjal. Manifestasi komplikasi mikroangiopati diabetik pada ginjal
disebut nefropati diabetic (Misnadiarly, 2006).

Ada 5 fase Nefropati Diabetika, yaitu Fase I adalah hiperfiltrasi dengan


peningkatan GFR, AER (albumin ekretion rate) dan hipertropi ginjal. Fase II ekresi
albumin relative normal (<30mg/24j) pada beberapa penderita mungkin masih terdapat
hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang menjadi Nefropati
Diabetik. Fase III, terdapat mikro albuminuria (30-300mg/24j). Fase IV, Difstick
positif proteinuria, ekresi albumin >300mg/24j, pada fase ini terjadi penurunan GFR
dan biasanya terdapat hipertensi. Fase V merupakan End Stage Renal Disease (ESRD),
dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.

B. Etiologi

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari penyakit
DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya Nefropati
Diabetika. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan progresifitas untuk
mencapai fase Nefropati Diabetika yang lebih tinggi (Fase V Nefropati Diabetika).

C. Faktor resiko

Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan Nefropati Diabetika. Dari
studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko antara lain:

12
1. Hipertensi dan prediposisi genetika
2. Kepekaan (susceptibility) Nefropati Diabetika
a. Antigen HLA (human leukosit antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan Faktor genetika tipe antigen HLA
dengan kejadian Nefropati Diabetik. Kelompok penderita diabetes dengan
nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9
b. Glukose trasporter (GLUT)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk
mendapat Nefropati Diabetik.
3. Hiperglikemia, resistensi insulin
4. Konsumsi protein hewani
5. Kolesterol, merokok, peningkatan usia

D. Patofisiologi

Terdapat tiga perubahan histologik utama terjadi di glomerulus pada pasien


nefropati diabetikum. Perubahan pertama adalah ekspansi mesangium sebagai akibat
langsung dari hiperglikemia. Hal ini terjadi karena peningkatan produksi matriks atau
karena adanya glikosilasi protein matriks menjadi AGEs. Perubahan kedua adalah
penebalan membran basalis glomerulus. Perubahan ketiga adalah sklerosis glomerulus
akibat terjadinya hipertensi intraglomerulus. Hal ini terjadi karena terjadi vasodilatasi
renalis atau terjadi iskemia akibat penyempitan materi hyalin pada dinding pembuluh
darah yang memperdarahi glomerulus. Hiperglikemia meningkatkan pengeluaran
Transforming Growth Factor (TGF) pada glomerulus dan protein matriks. TGF ini
berperan dalam hipertrofi sel dan meningkatkan sintesis kolagen pada pasien nefropati
diabetikum. Peningkatan sitokin ini berhubungan dengan AGEs dengan perantara
reseptornya (RAGE).

Sebagai tambahan atas nefrotoksisitas langsung baik melalui mekanisme


pro-inflamasi maupun pro-oksidatif di atas, AGEs juga mengganggu hemodinamika
dan struktur ginjal. Pemberian akut sebuah AGEs oral terbukti mengganggu
vasodilatasi arteri sistemik pada pasien Diabetes Melitus maupun pada orang sehat.
Jika efek vasokonstriktor pada AGEs juga terdapat pada level glomerulus, maka

13
harusnya tidak berpengaruh sama antara arteriola afferen dan efferen. Vasokonstriksi
yang lebih dominan pada efferen berpotensi meningkatkan hipertensi glomerulus.
Tingginya kadar glukosa, hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus
menyebabkan denaturasi protein. Hal ini akan membuat struktur ginjal berubah
sehingga fungsinyapun ikut berubah (rusak), termasuk fungsi ginjal dalam menyaring.
Kelainan glomerulus, terjadi pada membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari
sel-sel mesangium. Keadaan ini akan menyebabkan glomerulosklerosis dan
berkurangnya aliran darah, sehingga terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas
membran basalis glomerulus yang ditandai dengan timbulnya albuminuria.
Dalam keadaan normal protein tidak tersaring dan tidak melewati
glomerulus karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-lubang
glomerulus yang kecil. Dengan demikian adanya protein dalam urin dapat
menunjukkan pasien DM mengalami komplikasi (gangguan) pada ginjalnya, dan pada
awalnya ditunjukkan dengan mikroalbuminuria, yaitu molekul-molekul besar seperti
protein dapat lolos ke dalam kemih. Sehingga sindroma klinis dari nefropati diabetik
ditandai oleh albuminuria persisten (>300mg/hari atau >22ug/menit) yang telah
diperiksa minimal 2 kali engan interval 3-6 bulan, penurunan Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG), dan peningkatan tekanan darah arteri.

E. Manifestasi klinis

Progresifitas kelainan ginjal pada DM tipe I dapat dibedakan dalam 5 tahap:


1. Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
 Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20- 50% diatas nilai
normal menurut usia.
 Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melalui foto sinar x.
 Glukosuria disertai poliuria.
 Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.
2. Stadium II (Silent Stage)
 Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min).
 Sebagian penderita menunjukan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal.
Awal kerusakan struktur ginjal
3. Stadium III (Incipient Nephropathy Stage)

14
 Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun
 Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-
300mg/24j.
 Awal Hipertensi.
4. Stadium IV (Overt Nephroathy Stage)
 Proteinuria menetap(>0,5gr/24j).
 Hipertensi
 Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Stadium V (End Stage Renal Failure)
Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai
fibrosis ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium
IV dan 5-7 tahun kemudian akan sampai stadiumV. Ada perbedaan gambaran
klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara diabetes mellitus tipe I dan tipe
II. Mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada tipe II saat diagnosis ditegakkan dan
keadaan ini serigkali reversibel dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya
mikroalbuminuria pada DM tipe II merupakan prognosis yang buruk.
Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan seperti:
1. DM
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab
proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus kadar kreatinin serum
>2,5mg/dl.
F. Pemeriksaan diagnostik

Tes laboratorium antara lain :


1. BUN (blood urea nitrogen)
2. Serum creatinine (untuk mengukur kadar kreatinin dalam darah)
3. Urin protein 24 jam (untuk mengukur jumlah protein dalam urin)
4. Kadar fosfor, kalsium, bicarbonat, dan kalium dalam darah.
5. Hemoglobin
6. Hematocrit
7. Protein electrophoresis (mengukur beberapa tipe protein dalam urin)
8. Jumlah sel darah merah

15
Pemeriksaan untuk mengetahui nefropati diabetik harus dimulai pada saat
pasien DM tipe 2 didiagnosis menderita DM, sedangkan untuk pasien DM tipe 1
disarankan pemeriksaan dimulai 5 tahun setelah didiagnosis DM. Dalam pemeriksaan
tersebut dilakukan pemeriksaan urin untuk mengetahui adanya mikroalbuminuria
(disebut mikroalbuminuria jika terdapat lebih dari 30-300 mg albumin dalam
pemeriksaan pengumpulan urin 24 jam atau terdapat lebih dari 30-300 mg albumin per
gram kreatinin pada pengumpulan urin semalam atau pengukuran rasio albumin-
kreatinin pada pengumpulan urin acak). Jika mikroalbuminuria tidak tampak
pemeriksaan diulang setiap satu tahun satu kali baik untuk pasien DM tipe 1 maupun
tipe 2.

Menurut US National Library of Medicine, kelompok yang harus melakukan


tes nefropati diabetik adalah :

 Penderita diabetes tipe 1 setidaknya melakukan tes nefropati diabetik sekali setahun
setelah menderita diabetes selama 5 tahun.
 Anak - anak dengan diabetes dianjurkan juga menjalani tes nefropati diabetik saat
mereka memulai masa puber.
 Penderita diabetes tipe 2 dianjurkan untuk menjalani tes pemeriksaan nefropati
diabetik ketika dididagnosa pertama kali dan setahun setelah itu.

G. Komplikasi

Akibat nefropati diabetika yang tidak bisa ditangani dengan baik, mak dapat timbul
kegagalan ginjal yang progresif.

2.2.3 NEUROPATI DIABETIK


A. Definisi
Dalam konferensi neuropati perifer pada bulan Februari 1988 di San Antonio,
disebutkan bahwa neuropati diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukkan adanya
gangguan, baik klinis maupun subklinis, yang terjadi pada diabetes melitus tanpa penyebab
neuropati perifer yang lain.

16
Kadar glukosa darah yang tinggi pada penderita DM akan merusak saraf penderita
terlebih lagi apabila prosesnya berlangsung lama. Kelainan saraf akibat DM ini disebut
neuropati diabetik (Misnadiarly, 2006).

B. Klasifikasi
Menurut perjalanan penyakitnya, neuropati diabetik dibagi menjadi:
1. Neuropati fungsional/subklinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat perubahan
biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga masih reversibel.
2. Neuropati struktural/klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan struktural
serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversibel.
3. Kematian neuron atau tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut
saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini ireversibel. Kerusakan serabut saraf
pada umumnya dimulai dari distal menuju ke proksimal, sedangkan proses
perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu lesi distal paling banyak
ditemukan, seperti polineuropati simetris distal.
C. Etiologi

Kejadian neuropati diabetic berawal dari hiperglikemia yang berkepanjangan.


Keadaan ini akan mengaktifkan jalur metabolisme abnormal yang menghasilkan
timbunan produk- produk akhir glukosa (sorbitol dan Advance Glycosilation End
Product/AGEs). Bahan- bahan tersebut menggangu transmisi sinyal sel- sel saraf,
menurunkan kemampuan saraf membuang radikal bebas, dan juga merusak sel saraf
secara langsung. Selain itu keadaan hiperglikemi juga mengganggu peredaran darah ke
sistem saraf.

D. Patofisiologi
1. Faktor Metabolik

Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang


berkepanjangan. Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivasi jalur polionorl
meningkat, yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa
menjadi sorbitol, yang kemudian dimetabolisme oleh sorbitol dehidrogenase
menjadi fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf

17
akibatnya menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan
edema saraf.

2. Kelainan Vaskuler
Hiperglikemia juga mempunyai hubungan dengan kerusakan
mikrovaskular. Mekanisme kelainan mikrovaskuler tersebut dapat melalui
penebalan membrana basalis; trombosis pada arteriol intraneura; peningkatan
agregasi trombosit dan berkurangnya deformitas eritrosit; berkurangnya aliran
darah saraf dan peningkatan resistensi vaskular; stasis aksonal, pembengkakan dan
demielinisasi pada saraf akibat iskemia akut.
3. Mekanisme Imun
Mekanisme patogeniknya ditemukan adanya antineural antibodies pada
serum sebagian penyandang Diabetes Melitus. Autoantibodi yang beredar ini
secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang bisa
dideteksi dengan imunoflorensens indirek dan juga adanya penumpukan antibodi
dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis.
4. Peran Nerve Growth Factor (NGF)
NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan
saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan
berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen
Substance P dan Calcitonin-Gen-Regulated peptide (CGRP). Peptide ini
mempunyai efek terhadap vasodilatasi, motilisasi intestinal dan nosiseptif, yang
kesemuanya itu mengalami gangguan pada neuropati diabetik.

E. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis Neuropati Diabetik bergantung dari jenis serabut saraf yang
mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau
besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau
autonom, maka manifestasi klinisnya menjadi bervariasi, diantaranya :
- Kesemutan
- Kebas
- Tebal
- Mati rasa

18
- Rasa terbakar
- Seperti ditusuk, disobek, ataupun ditikam

Dua tipe neuropati diabetik yang paling sering dijumpai adalah :

(1) Polineuropati Sensorik

Polineuropati sensorik disebut juga neuropati perifer. Neuropati perifer sering


mengenai bagian distal serabut saraf, khususnya saraf extremitas bagian bawah.
Kelainan ini mengenai kedua sisi tubuh dengan distribusi yang simetris dan secara
progresif dapat meluas ke arah proksimal. Gejala permulaanya adalah parastesia
(rasa tertusuk-tusuk, kesemutan dan peningkatan kepekaan) dan rasa terbakar
(khususnya pada malam hari). Dengan bertambah lanjutnya neuropati ini kaki akan
terasa baal. Penurunan sensibilitas terhadap sentuhan ringan dan penurunan
sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk mengalami
cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui.

(2) Neuropati Otonom (Mononeuropati)

Neuropati pada system saraf otonom mengakibatkan berbagai fungsi yang


mengenai hampir seluruh system organ tubuh. Ada lima akibat utama dari
neuropati otonom (Smeltzer, B, alih bahasa Kuncara, H.Y, dkk., 2001 : 1256-1275)
antara lain :

(a) Kardiovaskuler
Tiga manifestasi neuropati pada sistem kardiovaskuler adalah frekuensi denyut
jantung yang meningkat tetapi menetap, hipotensi ortostatik, dan infark
miokard tanpa nyeri atau “silent infark”.
(b) Pencernaan
Kelambatan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala khas, seperti
perasaan cepat kenyang, kembung, mual dan muntah. Konstipasi atau diare
diabetik (khususnya diare nokturia) juga menyertai neuropati otonom
gastrointestinal.
(c) Perkemihan
Retensi urine penurunan kemampuan untuk merasakan kandung kemih yamg
penuh dan gejala neurologik bladder memiliki predisposisi untuk mengalami

19
infeksi saluran kemih. Hal ini terjadi pada pasien dengan diabetes yang tidak
terkontrol, mengingat keadaan hiperglikemia akan mengganggu resistensi
terhadap infeksi.
(d) Kelenjar Adrenal (“Hypoglikemik Unawarenass”)
Neuropati otonom pada medulla adrenal menyebabkan tidak adanya atau
kurangnya gejala hipoglikemia. Ketidakmampuan klien untuk mendeteksi
tanda-tanda peringatan hipoglikemia akan membawa mereka kepada resiko
untuk mengalami hipogllikemi yang berbahaya.
(e) Disfungsi Seksual
Disfungsi Seksual khususnya impotensi pada laki-laki merupakan salah satu
komplikasi diabetes yang paling ditakuti. Efek neuropati otonom pada fungsi
seksual wanita tidak pernah tercatat dengan jelas

F. Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat
bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya
dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan
kemungkinan adanya neuropati. Evaluasi yang perlu dilakukan, diantaranya:
1. Refleks motorik
2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa
getar (biotesiometer) dan rasa tekan (estesiometer dengan filamen mono Semmes-
Weinstein)
3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu
4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat
dikerjakan elektromiografi.

Uji untuk diabetic autonomic neuropathy (DAN), diantaranya :

a. Uji komponen parasimpatis dilakukan dengan:


 Tes respon denyut jantung terhadap maneuver Valsava
 Variasi denyut jantung (interval RR) selama nafas dalam (denyut jantung
maksimum-minimum)
b. Uji komponen simpatis dilakukan dengan:
 Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik)
20
 Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik)

G. Pencegahan
Pencegahan kaki diabetes tidak terlepas dari pengendalian (pengontrolan)
penyakit secara umum mencakup pengendalian kadar gula darah, status gizi, tekanan
darah, kadar kolesterol, dan pola hidup sehat.

H. Komplikasi

1. Kaki diabetic “diabetic foot”


Akibat dari hilang/berkurangnya kemampuan kaki merasakan nyeri bila terjadi
trauma, disertai perubahan tertentu pada kulit dan otot kaki yang juga
mempermudah terjadinya ulkus (luka yang dalam).
2. Silent Miocardial Infark
Pada penderita neuropati diabetik, serangan jantung sering tidak disertai nyeri
dada seperti yang lazimnya dialami pasien serangan jantung. Gejala sering kali
tidak khas, dapat hanya berupa sesak, lelah, atau nyeri ulu hati. Absennya nyeri
dada ini sering membuat serangan jantung terlambat diketahui, sehingga tidak dapat
segera ditangani dan berakibat fatal.
3. Batu empedu
Akibat menurunnya gerak kontraksi kandung empedu, sehingga terjadi
perlambatan aliran cairan empedu yang memudahkan terbentuknya batu empedu.
4. Gastritis
Akibat menurunnya gerak kontraksi lambung karena gangguan saraf otonom
saluran cerna, asam lambung “menggenang” lebih lama dalam lambung dan
mengiritasi lambung.

21
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

1.1 PENGKAJIAN
3.1.1 Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.

3.1.2 Riwayat Sakit dan Kesehatan


1. Keluhan utama
a. Komplikasi makrovaskuler: nyeri dada, nyeri kepala
b. Komplikasi mikrovaskuler
- Retinopati: pandangan kabur, ketajaman mata menurun
- Nefropati: albuminuria
- Neuropati: adanya rasa kesemutan pada kaki / tungkai bawah, rasa raba
yang menurun, adanya luka yang tidak sembuh – sembuh dan berbau,
adanya nyeri pada luka.
2. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat DM atau penyakit-penyakit lain yang ada kaitannya dengan
defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit
jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah di dapat
maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh penderita.
3. Riwayat penyakit keluarga
Dari genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang
juga menderita DM atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan
terjadinya defisiensi insulin.
4. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga terhadap
penyakit penderita.

22
5. Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
a. B1 (Breath) : -
b. B2 (Blood) : perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah atau
berkurang, hipertensi
c. B3 (Brain) : terjadi penurunan sensoris, parasthesia, letargi
d. B4 (Bladder) : oliguri, albuminuria
e. B5 (Bowel) :-
f. B6 (Bone) : nyeri kepala, nyeri dada, nyeri pada luka

1.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah sekunder
akibat diabetes melitus
2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler
3. Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan ketajaman
penglihatan yang terganggu.
4. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan oliguri dan albuminuria
5. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan
6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme sekunder
akibat adanya luka gangren.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan terbatasnya informasi mengenai kondisi,
prognosis, dan pengobatan
8. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder akibat
kehilangan fungsi ketajaman mata.

1.3 INTERVENSI DAN RASIONAL


1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah
sekunder akibat diabetes melitus
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam perfusi jaringan kembali normal

Kriteria Hasil:

 Menunjukkan penurunan nyeri dada dan nyeri kepala.


 Berpartisipasi dalam aktivitas yang menurunkan beban kerja jantung.
 CO= 5L/menit, TD = 120/80 mmHg, nadi=60-100/menit
23
Intervensi:

Intervensi Rasional

1. Kolaborasi pemberian insulin atau 1. Mengurangi hiperglikemi dan


Obat antidiabetik oral (OADO). meningkatkan pengangkutan glukosa
dalam sel.

2. Indikator klinis dari keadekuatan


2. Observasi TD, nadi apical, nadi
curah jantung. Pemantauan
perifer.
memungkinkan deteksi dini/tindakan
terhadap dekompensasi.

3. Tingkatkan tirah baring


dengan 3. Menurunkan volume darah yang
kepala tempat tidur ditinggikan 45 kembali ke jantung (preload) yang
derajat. memungkinkan oksigenasi,
menurunkan dispnea dan regangan
jantung.

2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler


Tujuan : Nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi oleh klien
Kriteria hasil :
- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang atau dapat diadaptasi
- Klien tidak merasa kesakitan.
- Dapat mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien
tidak gelisah, skala nyeri 0-1 atau teradaptasi
- TIO normal = 12-21

INTERVENSI RASIONAL
1. Kolaborasi tindakan Laser 1. Menambal pembuluh darah yang
Photocoagulation dan vitrectomy bocor dan membentuk gores luka
kecil pada retina yang berfungsi
mengurangi pertumbuhan pembuluh
darah baru sehingga TIO menurun

24
2. Mengajarkan tehnik relaksasi 2. Akan melancarkan peredaran darah,
(bernapas perlahan, teratur atau dan dapat mengalihkan perhatian
napas dalam, mandi air hangat, nyerinya ke hal-hal yang
masase) dan metode distraksi menyenangkan
(mendengarkan musik, membaca
buku)

3. Kolaborasi analgesik 3. Analgesik memblok lintasan nyeri,


sehingga nyeri berkurang

3. Gangguan persepsi sensori: penglihatan berhubungan dengan ketajaman


penglihatan yang terganggu.
Tujuan : Klien mampu mempertahankan kemampuan untuk menerima rangsangan
visual dan tidak mengalami gangguan penglihatan lebih lanjut.

Kriteria Hasil :
 Berpartisipasi dalam program pengobatan
 Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap pengobatan
 Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan

Intervensi Rasional
1. Kolaborasi tindakan Laser 1. Menambal pembuluh darah yang bocor
Photocoagulation dan vitrectomy dan membentuk gores luka kecil pada
retina yang berfungsi mengurangi
pertumbuhan pembuluh darah baru
sehingga mengurangi perdarahan.

2. Kolaborasi pemberian insulin atau 2. Mengurangi hiperglikemi dan


Obat antidiabetik oral (OADO) meningkatkan pengangkutan glukosa
dalam sel.

25
3. Dapat mengetahui sejauh mana
3. Evaluasi lapang pandang terjadinya retinopaty dan kerusakan
penglihatan sesuai dengan indikasi. pada mata.

4. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan oliguri dan albuminuria


Tujuan : eliminasi urin klien kembali normal

Kriteria hasil : urin klien 1-2cc/kg/jam, tidak terjadi albuminuria

Intervensi Rasional

Oliguri
1. Kolaborasi obat ACE inhibitors 1. Untuk mengontrol tekanan darah
sehingga tidak memperparah
2. Catat frekuensi dan jumlah berkemih sklerosis glomerulus
tiap 24 jam. 2. Memberikan informasi dari fungsi
kandung kemih.
Albuminuria
1. Kolaborasi obat ACE inhibitors 1. Untuk mengontrol tekanan darah
sehingga tidak memperparah
2. Kolaborasi dengan ahli gizi pemberian sklerosis glomerulus
diet tinggi protein 3-4 gram/kg 2. Mencegah terjadinya hipoalbumin.
BB/hari.
3. Kolaborasi terapi albumin melalui IV 3. Mengatasi kekurangan volume
intravaskular.

5. Resiko cidera berhubungan dengan kerusakan fungsi sensori penglihatan

Tujuan : Klien tidak mengalami cedera selama dalam perawatan

26
Kriteria hasil: Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan nyaman dan tidak ada
cidera.

Intervensi Rasional

1. Membantu klien dalam memenuhi 1. Kebutuhan dasar klien terpenuhi


kebutuhan dasar.
2. Menjauhkan benda-benda berbahaya 2. Mencegah terjadinya cedera karena
dari jangkauan klien keterbatasan lapang pandang.

6. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan tempat masuknya organisme


sekunder akibat adanya luka gangren.
Tujuan : Resiko infeksi dapat dihindari
Kriteria hasil : Tidak terjadi penyebaran infeksi ditandai dengan penggunaan
teknik antiseptik dan desinfeksi secara tepat dan benar.
Intervensi Rasional
1. Melakukan teknik aseptik dan 1. Mencegah kontaminasi pathogen dan
desinfeksi secara tepat dalam paparan pasien terhadap agen
merawat luka gangren. infektious.

2. Menjaga lingkungan sekitar klien 2. Menghindari faktor resiko infeksi


tetap bersih

3. Kolaborasi pemberian profilaksis 3. Memberi perlindungan pada kondisi


(antibiotik) luka

4. Health education kepada klien untuk 4. Menghindari meluasnya area luka.


memakai alas kaki.

7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan terbatasnya informasi mengenai


kondisi, prognosis, dan pengobatan
Tujuan : Klien mengetahui tentang kondisi, prognosis, dan pengobatannya.
27
Kriteria Hasil :
- Pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan.
- Dapat berperan aktif dalam perawatan dan pengobatan.

Intervensi Rasional
1. Memberi informasi mengenai 1. Membantu agar pasien tidak
diabetes mellitus beserta beberapa berpikir dampak yang berlebihan
komplikasi terkait komplikasi.
2. Memotivasi klien untuk ikut serta 2. Klien dapat mengetahui rencana
dalam perencanaan pengobatan perawatan sehingga membantu
dan perawatan. perawat dalam proses
penyembuhan.

8. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan penampilan sekunder


akibat kehilangan fungsi ketajaman mata.
Tujuan : Klien mengungkapkan penerimaan penampilan fisik
Kriteria Hasil :
- Klien mengatasi masalahnya dengan positif
- Klien menerima perubahan dan mengubah konsep dirinya

Intervensi Rasional
1. Menganjurkan klien untuk 1. Meningkatkan rasa percaya diri
mnemakai kacamata. klien.

2. Melibatkan keluarga untuk 2. Sebagai support sistem untuk klien


memotivasi klien

BAB IV
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
28
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang disebabkan akibat gangguan sekresi
insulin, yang umumnya terdapat berbagai macam komplikasi dan penyakit-penyakit
penyerta. Komplikasi kronis dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu komplikasi
makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler lebih
disebabkan karena kelainan kadar lipid darah. Komplikasi makrovaskuler adalah
komplikasi yang mengenai pembuluh darah arteri yang lebih besar sehingga
menyebabkan atherosklerosis.
Komplikasi mikrovaskuler meliputi retinopati diabetika, nefropati diabetika dan
neuropati diabetika. dimana gejala-gejalanya sangat berpengaruh terhadap sistem
fisiologis manusia yang antara lain dapat berupa menurunnya kemampuan
penglihatan, albuminuria, oliguri, neuropati, luka gangren, serta berbagai macam
manifestasi lain, dimana sangat perlu pengetahuan yang lebih kompeten pada diri
perawat agar dapat memberikan perawatan dan meminimalkan bertambahnya
keparahan pada kasus komplikasi kronis diabetes mellitus.

1.2 Saran
1. Kepada masyarakat khususnya penderita diabetes melitus, agar selalu melakukan
pemeriksaan atau kontrol tekanan darah, dan kadar kolesterol total  secara rutin
serta menjaganya pada kondisi yang normal.

2. Sebagai perawat hendaknya mampu memberikan asuhan keperawatan sesuai


dengan rencana keperawatan pada penderita komplikasi kronis diabetes melitus.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Jual. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis Edisi 6.
Jakarta: EGC

29
Doengoes, Marilynn E, Mary Frances Moorhouse dan Alice C. Geiser. 2000. Rencana
Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk perencanaan dan Pendokumentasian
perwatan Pasien. Jakarta: EGC

Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
W. Sudoyo, Aru. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/05/komplikasi-diabetes-melitus-tipe-ii.html,
diakses 26 september 2010

http://www.mep.undip.ac.id/tesis/59-diabetes-melitus-sebagai-faktor-risiko-kejadian-
gagal-ginjal-terminal, diakses 26 september 2010

http://imsj.globalkrching.com/peranan-advanced-glycation-end-products-ages-dalam-
komplikasi-diabetes-mellitus/, diakses 26 september 2010

http://yosefw.wordpress.com/2007/12/28/penggunaan-antihipertensi-penghambat-enzim-
pengubah-angiotensin-pada-nefropati-diabetik/, diakses 26 september 2010

30

Anda mungkin juga menyukai