Anda di halaman 1dari 13

God/Father

Adalah Cigra, nama yang diberikan padaku. Saat ini umurku baru akan menginjak 17 tahun, namun aku
merasa cobaan sudah berat menimpaku. Sejak kematian ibuku, aku tak lagi merasakan kemanjaan yang
sering kudapatkan dari dirinya, segala sesuatunya terpaksa harus aku lakukan sendiri. Belum lagi
ayahku yang seakan tak pernah mengerti diriku, tak mampu memahami segala keinginanku. Ayah
hanya perduli pada adikku Yopi, aku merasa ayah lebih menyayanginya dibanding diriku, padahal
umur kami hanya terpaut dua tahun. Aku tak mengerti apa yang istimewa dari adikku itu. Yopi tak
lebih apapun dari diriku. Dia tak seperti aku yang juara kelas, dia tak seperti aku yang sering menjuarai
turnamen olahraga. Aku merasa ayahku pilih kasih, memilih memberikan kasih kepada orang yang tak
tepat.

"Yah, aku pengen punya motor." Pintaku pada ayah suatu hari.

"Ayah nggak punya uang." Sahut ayah sambil sibuk mengotak-atik laptopnya.

"Masa iya?! Si Erwin yang tinggal di ujung blok, baru beli motor dua hari lalu, padahal ayah-nya kan
cuma bawahan ayah." Tuntutku.

"Kamu itu belum cukup umur untuk bawa motor kemana-mana." Balas ayah santai, " KTP saja belum
punya."

PRAAAKK. Suara tanganku mengebrak meja mengagetkan ayahku yang sontak saja memandangku
tajam.

"Sebenarnya alasannya apa sih?" Teriakku, "Ayah ngga punya uang atau aku yang belum cukup
umur?! Ayah hanya tak pernah mau menuruti keinginanku, itu kan intinya? Ayah memang tak peduli
padaku." Bentakku penuh emosi.

"Beraninya kamu membentak ayah." Balas ayah yang berteriak padaku.

"YA aku memang salah, apa sih yang aku tidak salah. Salah salah salah aku selalu SALAH." Aku
berteriak lebih keras lagi.

"Ayah tak suka caramu bicara seperti itu pada ayah."

"Apa sih yang ayah suka dari aku? NGGA ADA! AKU MUAK."

"Beraninya kau." Ucap ayahku yang sepertinya tak tau lagi harus meladeniku seperti apa.

Aku pun beranjak pergi, menjauh dari hadapan ayah. Aku hanya mendengar ayah yang memanggil
namaku.

***
Hari berjalan menuju hari yang lain, aku merasakan lelah tak berarti, aku melakukan segala pekerjaan
rumah yang sangat memberatkanku. Dan parahnya lagi semua itu tak diwajibkan bagi Yopi, untung
saja aku sering menyuruh adikku itu untuk menggantikan tugasku, namun ketika ayahku
mengetahuinya, perang mulut pun terjadi antara kami. Tak hanya urusan rumah, urusan-urusan yang
menyangkut pekerjaannya ataupun keperluan Yopi, ayah selalu mengandalkanku, tapi aku tak mengerti
aku masih saja merasa ayah tak pernah berpihak padaku.

Pernah ayah begitu marah padaku karena menyangkut Yopi. Saat itu aku mengajak adikku itu untuk
menemaniku berbelanja keperluan sehari-hari, aku melihatnya kegirangan. Memang sih itu hal yang
sangat jarang aku lakukan dengan adikku, aku malas melakukan aktivitas bersama dia, biasanya aku
mengajaknya hanya untuk memudahkan pekerjaanku. Sialnya saat itu karena terlalu fokus pada gadis
yang aku temui di supermarket aku pun mengabaikan Yopi.

"Mana adikmu?" Tanya ayahku yang heran melihatku sendirian.

Aku pun baru sadar, telah meninggalkan adikku di supermarket. "Mana aku tau, aku ngga sama Yopi."
Bohongku.

"Jangan bohong! Tadi tetangga sebelah bilang, kalian pergi berdua."

Aku tak tau harus bicara apa lagi, aku seperti maling yang ketauan.

"Cepat katakan dimana adikmu?!"

Aku cuma bisa diam, masih bingung mau bicara apa.

"Kamu ini memang kakak yang ngga bisa diharapkan. Kamu tinggalkan dimana adikmu?"

"Yopi sudah besar, ngga akan terjadi apa-apa sama dia. Jangan berlebihan gini deh yah!"

"Kamu ngga pernah dewasa, ngga pernah bisa bertanggung jawab. Kalau terjadi apa-apa sama Yopi,
bagaimana?" Tambah ayah yang terlihat tambah panik.

Aku nggak ngerti dengan sikap ayah yang berlebihan itu. Melihatnya sibuk mondar-mandir, aku hanya
diam, sebagian karena aku merasa bersalah, sebagian lagi aku lelah memikirkan keadaan itu. Akhirnya
aku dan ayah mencarinya ke supermarket, namun kami tak menemukannya di sana. Kami berkeliling
mencari ke setiap tempat yang mungkin dia tuju. Aku sadar adikku yang meskipun sebesar itu bukanlah
anak yang menghabiskan waktunya di luar, dia lebih sering di rumah, dan ayahku yakin bisa saja dia
tersesat.

"Kemana Yopi pergi? Tak banyak tempat yang dia tau. Ayah takut terjadi sesuatu padanya, ayah takut
penyakitnya akan kambuh lagi." Kulihat kekhawatiran di wajah ayah.

Dan aku sadar pula adikku dari dulu memang lemah, entah kenapa Yopi gampang sakit. Aku berpikir
karena itukah ayah jadi begitu pilih kasih pada Yopi. Seperti apapun situasinya aku tetap tak
membenarkan sikap ayah terhadap Yopi yang berbeda jika terhadap diriku.
Untunglah setelah kami memutuskan kembali ke rumah, kulihat adikku Yopi menunggu kami di teras
rumah. Wajahnya begitu pucat dengan tubuh gemetaran tampak kedinginan. Ayahku seakan
menemukam berliannya yang hilang saat melihat Yopi, dan tentu saja kembali memarahiku.

"Udah yah! Jangan marahi kak Cigra!" Ucap Yopi, "Yopi yang salah pergi begitu saja padahal kak
Cigra masih berbelanja di dalam. Yopi yang salah yah, ninggalin kak Cigra tanpa pamit."

Aku tau kebohongan Yopi itu untuk menutupi kesalahanku. Aku menganggap pembelaan adikku itu
hanya sebagai kebodohannya menilai keadaan, itu saja, tak lebih.

***

Teman-temanku akan mengadakan karya wisata selama tiga hari dalam mengisi waktu libur, segala
sesuatunya telah aku persiapkan untuk bisa ikut dalam kegiatan itu, tapi celakanya hari di saat kami
akan melakukan perjalanan bertepatan dengan hari di saat ayah akan melakukan perjalanan bisnis,
tugas dari kantornya. Alih-alih mengikuti karya wisata itu, aku justru diminta ayah untuk menjaga
rumah sekaligus menjaga adikku yang masih sakit karena terkena flu.

"Aku ngga mungkin membatalkan keikutsertaanku, aku sudah memplanningkan semuanya yah."
Ucapku ngotot kepada ayah.

"Kamu ngga pernah cerita ke ayah tentang rencanamu itu, jadi jangan salahkan ayah."

"Pokoknya aku akan tetap ikut. Titik! Lagipula Yopi kan cuma terkena flu. Dia sudah besar yah dan
aku bukan babysitter-nya."

"Sudah ayah bilang ayah melarangmu ikut, bukan cuma karena kamu harus menjaga adikmu yang sakit
tapi ayah juga nggak setuju sama kegiatan itu, itu bukan program sekolah. Kalian masih di bawah
umur, akan sangat berbahaya bagi kalian pergi tanpa didampingi orang dewasa yang bisa bertanggung
jawab atas kegiatan kalian."

Lagi-lagi ayah membuatku kesal dengan memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan apa mauku.
Sekeras apapun aku menuntut keinginanku, tak mampu mengubah keputusan ayah. Maka akhirnya
dengan terpaksa aku pun menuruti nya, toh aku juga tak bisa ikut ke karya wisata itu tanpa uang saku
dari ayah.

Aku masih jengkel dengan rencanaku yang batal, yang terpaksa terkurung di dalam rumah bersama
adik yang merepotkan. Segala kekesalanku aku lampiaskan pada Yopi. Inilah kesempatanku selama tak
ada ayah aku bebas memerintahkan apa yang aku mau ke adikku itu.

"Ini semua salahmu, seharusnya sekarang aku ngumpul bareng teman-temanku, bukannya ngurusin
kamu." Ucapku ketus pada Yopi, yang sedang memijat pundakku sementara aku asik dengan
memencet-mencet tombol pada remote televisi.

"Maafkan Yopi kak, Yopi udah bilang sama ayah untuk..."

"Akh udahlah! Ngga ada gunanya juga." Potongku.

"Maaf kak!" Yopi terdengar menyesal.


Aku tak merespon permintaan maafnya, aku hanya diam menikmati pijatannya. Lalu, "Yang penting
kamu sudah beres-beres rumahkan? Kamu sudah bersih-bersihkan?"

"Iya kak, semua sudah Yopi lakukan." Jawabnya polos.

"Bagus! Tapi awas kalau kamu ngadu sama ayah! Aku ngga akan maafin kamu." Ancamku.

"Iya kak."

"Aku lapar nih, belikan aku mie ayam di blok sebelah dong!" Perintahku lagi pada Yopi.

Saat menunggu kedatangan Yopi yang cukup lama, tanpa aku sadari aku tertidur begitu saja. Aku
terbangun saat mendengar suara gemuruh yang luar biasa, sepertinya di luar sedang hujan. Dan astaga
sontak saja aku tersadar bahwa Yopi masih berada di luar. Aku telah melakukan kesalahan, aku tertidur
cukup lama sementara pintu rumah terkunci dari dalam. Aku pun bergegas keluar rumah, dan benar
saja aku menemukan Yopi duduk di bangku teras rumah, menggigil memeluk dirinya dengan lutut di
dada. Dia tampak basah kuyup.

Aku panik, keadaan Yopi lebih parah dari yang aku duga. Dia mengalami demam yang luar biasa. Tak
tau lagi harus bagaimana aku pun berusaha menghubungi ayah.

Ayah menyalahkanku atas apa yang terjadi pada Yopi yang kini terbaring di rumah sakit.

"Salah ayah sendiri kenapa membebaniku dengan sesuatu yang ayah tau aku tak bisa. Aku muak
dengan segala perintah ayah, aku lelah."

"Dia adikmu. Apakah dia beban buatmu?" Ucap ayah.

Aku hanya diam.

"Apa salah ayah selama ini? Ayah hanya ingin membuatmu lebih bertanggung jawab."

"Seandainya saat ini aku yang terbaring sakit, aku yakin ayah tak akan secepat ini kemari, aku yakin
ayah tak akan peduli padaku."

"Bicara apa kamu?"

Aku tak menjawab hanya berlalu meninggalkan tatapan ayah.

***

Saat ini aku tak ada di samping adikku yang sakit, tak menemani ayahku yang pastinya begitu khawatir
terhadap keadaan anak kesayanngannya itu. Aku terlalu muak sama mereka, aku benci pada Yopi yang
membuat segalanya menjadi susah, selalu mempersulit keadaan dan selalu membuat ayah terlalu peduli
padanya. Aku pun benci pada ayah yang tak pernah mau mengerti aku dan selalu melimpahkan
kesalahan kepadaku. Aku butuh ibu, dialah yang terbaik.
Di tengah kekacauan pikiran, aku mendapat ajakan dari temanku untuk mengikuti balapan motor liar.
Dengan bekal motor yang dipinjamkannya, aku tak pikir panjang untuk menerima ajakan itu, sekedar
untuk mengalihkan pikiranku yang sedang kacau ini. Namun lagi-lagi kesialan yang aku dapat, razia
besar-besaran terjadi, polisi mengamankan setiap orang yang terlibat dalam balapan liar tersebut,
termasuk diriku. Dan tentu saja, hal yang tak ingin kudapati terjadi, ayah menjemput ku di kantor
polisi.

"Ayah tak mengerti denganmu. Kapan kamu berhenti membuat masalah?" Ada amarah dalam kata-kata
ayah meski terlihat tenang. "Dan ayah harap kamu bisa belajar dari ini semua." Tambah ayah yang
terdengar seperti putus asa.

Jujur aku cukup malu bertemu ayah dalam keadaan seperti ini, namun rasa egoku melebihi segalanya.
"Dan kapan ayah akan berhenti mangaturku? Bukankah ini masalahku?"

"Dasar tidak tau berterima kasih, syukur ayah membebaskanmu." Ucap ayahku lantang.

"Ayah mengharapkan imbalan? Aku ngga berharap ayah mengatasi masalahku, aku ngga meminta ayah
untuk menjemputku. Aku lebih baik di penjara tadi daripada harus dipenjara oleh otoritas ayah."
Balasku lebih lantang lagi.

Ayah menatapku dengan tajam setelah mendengar perkataanku. Cukup lama dia diam dalam tatapan,
lalu berkata, "Jika itu maumu, ayah akan mengantarmu kembali ke penjara itu."

Aku tak mengira ayah akan merespon perkataanku seperti itu. "Hemh aku sudah tau itu, aku tau ayah
akan bersikap seperti itu, aku tau ayah tak menyayangiku. Lalu kenapa kau berpura-pura peduli
padaku?"

"Ayah menyayangimu."

"Yang kulihat ayah hanya peduli pada Yopi."

"Adikmu sedang sakit, dan harusnya kau pun sekarang peduli padanya."

"Peduli?" Ucapku ketus. "Mungkin akan lebih baik jika dia mati saja, jadi penderitaanku akan berakhir,
aku mu..."

Plaaakk. Belum selesai aku berkata, ayah begitu saja menampar pipiku. Di tengah kebisuan, aku hanya
bisa memandang geram ayahku yang nampaknya terkejut atas apa yang telah dilakukannya.

"Aku menyesal punya ayah. Ayah membuat hidupku tak seperti yang lain, kau mengambil segala
kebahagianku. Jika aku bisa memilih, aku lebih memilih ayah saja yang mati pada kecelakaan itu,
bukan ibu! Ayahlah penyebab kematian ibu." Teriakku tiba-tiba meluapkan emosiku selama ini.

Dan kulihat ekspresi keterkejutan tergambar di wajah ayah Lalu aku pun berlalu meninggalkan dirinya
yang hanya terdiam, seakan terbunuh oleh perkataanku.

Selama ini aku memang menyalahkan kematian ibu kepada Ayah, aku perlu menyalahkan seseorang
dalam penderitaan yang menimpaku ini. Dan pikirku ayahlah satu-satunya orang yang bertanggung
jawab atas kematian ibu. Seandanya ayah dapat menyetir dengan baik saat itu, mungkin kecelakaan itu
tidak akan terjadi. Seandainya ayah tak berada di dalam mobil yang sama dengan ibu, semuanya pasti
akan berbeda. Ini semua karena ayah.

***

Kini aku tau ayahku tak akan segan untuk menyakitiku. Dalam kemarahan yang masih mengemuruh,
aku memutuskan untuk mendatangi tante Yanti, kakak dari ibuku. Tante Yanti, seperti halnya ibuku
sangat tau apa mauku, sangat menyayangiku dengan selalu membelaku apapun yang terjadi padaku.
Bahkan bisa dibilang dia lebih menyukaiku dibanding adikku Yopi.

Seperti biasa tante Yanti menyambutku dengan hangat, membuatku merasa masih ada yang
menyayangiku. Aku pun menceritakan semua kegalauanku selama ini dan apa yang baru saja terjadi.
Namun bukan dukungan yang terjadi, malahan rasa kesal yang terlihat dari wajah tanteku itu.

"Tante tak habis pikir kalau kamu bisa berkata seperti itu pada ayahmu. Tante menyesal telah
memanjakanmu, mungkin disinilah tante ambil bagian dalam kesalahanmu. Tante yang selalu
membelamu membuatmu tak tau mana yang benar mana yang salah." Ucap tante Yanti berapi-api.

"Apa maksud tante? Kok tante malah nyalahin aku sih?" Tanyaku bingung.

"Kamu memang salah. Perlu kamu tau, ayahmu itu... Tante tak tau harus menyebut apa untuk orang
seperti ayahmu itu. Hatinya seperti malaikat, apa yang dilakukannya tak ubahnya dewa yang
menyerupai manusia."

Aku hanya diam seakan terpaku, mengangkap tante Yanti berlebihan menilai ayahku. Lalu tante Yanti
pun menceritakan semuanya.

Ternyata pernikahan ayah dan ibu dimulai dari perjodohan orang tua mereka, bisa dikatakan
pernikahan mereka tidak berawal dari cinta. Ibuku terpaksa menerima pernikahan itu karena paksaan
orang tua, belum lagi kekasihnya pergi meninggalkannya. Selama pernikahan akhirnya tumbuh kasih
diantara mereka, hingga terlahirlah aku. Namun kisah tak hanya sampai disitu, ibuku dipertemukan
kembali oleh takdir dengan kekasih yang dulu meninggalkannya. Ibuku yang ternyata masih sangat
mencintainya dan masih sangat mengharapkannya, dengan tega meninggalkan ayahku dan aku yang
masih baru berumur lima bulan demi laki-laki itu. Di dalam kesendiriannya, ayahku tetap merawatku
yang masih sangat bayi, berusaha memberikan yang terbaik buatku meski tanpa seorang istri baginya.
Dan berusaha dengan segala ketabahannya menjadi seorang ibu bagiku. Hingga umurku mencapai dua
tahun, ayahku dikejutkan dengan kedatangan ibuku. Ibuku menceritakan segala kedukaan dan segala
penyiksaan baik batin maupun fisik yang diterimanya dari kekasih yang dia kira juga mencintainya.
Laki-laki itu kini kembali meninggalkannya, meninggalkan ibuku bersama anak yang ada dalam
kandungannya. Lepas dari semua pengkhianatan yang diberikan ibuku kepada ayahku, lepas dari
apakah ayahku empati atau tidak terhadap apa yang dialami ibuku, ayahku ternyata masih sangat
mencintai ibuku, mau menerima ibuku kembali dan mau memaafkan segala perbuatan ibuku padanya.
Ayahku pun menerima anak yang ada dalam kandungan ibuku, anak itu kini aku kenal dengan nama
Yopi.

Aku masih tak mengerti. Dari apa yang diceritakan padaku aku jadi bingung kenapa justru ayah malah
lebih mencintai Yopi alih-alih aku yang anak kandungnya.
"Dari situ kamu bisa tau seperti apa ayahmu. Dia masih mau menerima adik tante, yang jujur sangat
tante kutuk atas perbuatannya, bahkan tante malu memiliki adik seperti dia. Yang anehnya malah
ayahmu terima dengan hati terbuka, bahkan juga mencintai adikmu yang bukan darah dagingnya.
"Dan kau malah membandingkan ayahmu yang sangat menyayangimu itu dengan ibumu yang pernah
meninggalkanmu." Tutur tante Yanti.

"Tapi aku masih ngga ngerti kenapa dia begitu mencintai Yopi?" Tanyaku begitu saja.

"Hal yang sama yang tante pertanyakan hingga kini. Tante juga masih heran kenapa ayahmu mencintai
Yopi, cinta yang sama besar yang juga dia berikan kepadamu." Jawab tante Yanti.

Aku tak habis pikir kenapa tante Yanti berpikir ayah mencintaiku sama seperti dia mencintai Yopi.

Dan sepertinya tante Yanti pun mengerti keherananku, "Ya seharusnya kau tau bahwa ayahmu sangat
mencintaimu 'gra, seandainya kau tau bagaimana dia merawatmu saat kau masih berumur lima bulan,
disaat ibumu meninggalkanmu.
"Seandainya kau mau membuka pikiranmu, kau mau membuka mata dan hatimu, kau akan sadar
betapa luar biasa cinta ayahmu yang diberikannya kepadamu hingga kau sebesar ini. Kau hanya
dibutakan kecemburuanmu, kau hanya dibutakan emosi masa remajamu, dibutakan oleh amarahmu
yang tak beralasan, sehingga kau tak tau bagaimana cinta ayahmu itu kepadamu. Dia mencintaimu... Itu
yang harus kau tau 'gra."

Apakah aku memang seperti itu, apakah aku secupat itu, apa benar ayahku sangat mencintaiku?

"Sudah cukup banyak penderitaan yang dialami ayahmu akibat ulah ibumu dulu, dan kini kau ingin
melakukan hal yang sama seperti yang ibumu lakukan. Kau juga ingin meninggalkannya?" Tambah
tante Yanti sarat akan emosi dalam kata-katanya.

Aku tak tau harus menjawab apa. Otakku masih penuh kebingungan namun aku tak bisa membohongi
hatiku, bahwa rasa simpatiku pada ayahku merajai pikiranku saat ini.

"Dan perlu kamu tau 'gra... Orang tua mencintai setiap anaknya sama besar, tapi tak mungkin mereka
mencintai dengan cara yang sama." Ucap tante Yanti tenang namun penuh arti.

Kalimat dari tante Yanti itu seakan membuka sedikit kabut dalam otakku. Benar aku dan Yopi berbeda,
kami memiliki karakter sifat dan mental yang berbeda, dan fisik pun Yopi jauh sangat lemah. Karena
itukah ayah memperlakukan kami berbeda? Atau hanya aku yang membuat semuanya seakan berbeda.

"Dan satu hal lagi yang harus kau tau, adikmu Yopi punya penyakit dari kecil. Jantungnya yang lemah
membuatnya tak bisa hidup normal seperti orang-orang pada umumnya, ia tak bisa melakukan segala
hal yang bisa kamu lakukan. Tubuhnya akan menolak segala macam aktivitas yang berlebihan, dia
menjadi begitu lemah dan rentan akan penyakit. Dia jadi seperti gelas yang mudah pecah. Bahkan
penyakitnya itu pun bisa membawanya pada kematian." Tambah tante Yanti.

Aku tak pernah menyangka Yopi dalam keadaan separah itu. Selama ini begitu gampangnya aku
mempermainkan dan berbuat jahat kepada adikku itu.

"Herannya tante pada ayahmu, meskipun Yopi adalah anak hasil dari pengkhianatan ibumu dengan pria
lain, dia tetap memberikan yang terbaik buat kesehatan Yopi, yang tante tau jungkir balik telah ayahmu
lakukan demi Yopi, tak sedikit tenaga dan materi yang dihabiskannya. Dan lebih daripada itu, tentu
kamu pun tau, rasa cinta kasih yang tak pernah habis dia berikan kepada Yopi.
"Dia saja mencintai anak yang bukan darah dagingnya, apalagi denganmu putranya sendiri. Dia pasti
sangat mencintaimu.
"Tante yakin semua orang akan berharap punya ayah seperti ayahmu. Dan kamu malah
membinasakannya dengan kebencianmu yang kau buat."

Mungkin benar apa yang dikatakan tante Yanti, aku telah membunuh perasaan ayahku.

Tiba-tiba saja aku mendengar dering telepon rumah tante Yanti. Dari nomer yang tertera pada telepon
itu, aku tau pasti itu milik siapa.

"Halo, ada apa 'za?"

Dan benar saja perkiraanku, Riza adalah nama panggilan ayahku.

"Apa Cigra ada disana mbak?" Terdengar suara ayahku dari pengeras suara telepon.

Tante Yanti pun menatap ke arahku, lalu kembali berkata pada ayahku melalui telepon. "Iya dia ada
disini 'za, sekarang dia istirahat di kamar."

"Oh syukurlah. Untunglah dia ada disana. Aku khawatir sekali akan terjadi apa-apa padanya. Saat ini
emosinya tidak stabil, ditambah lagi aku melakukan kesalahan padanya." Ada kegetiran saat ayah
mengatakannya.

"Dia pantas mendapatkannya, dia sudah bersikap kurang ajar padamu." Ucap tante Yanti sambil
menatap tajam ke arahku.

"Apa maksud mbak?"

"Cigra sudah ceritakan apa yang terjadi padanya."

"Aku mohon jangan marahi dia mbak! Biarlah mbak tetap di bagian mbak, tetap bermain di peran
malaikat baik hati baginya. Aku tak ingin dia merasa semua orang tak berpihak padanya. Soal
memarahi, biarlah itu selalu menjadi bagianku." Ucap ayahku.

"Za za aku masih tak habis pikir padamu, kamu masih mentolerir sikapnya terhadapmu." Tuntut tante
Yanti.

"Jangan salahkan dia mbak, dia masih kecil."

"Dia sudah besar za, cukup besar untuk bisa menghormati kamu dan cukup besar untuk mengetahui
segalanya, mengetahui bagaimana ibunya."

"Dia sudah tau segalanya yang harus dia tau tentang ibunya, kesalahan masa lalu ibunya bagiku tidak
pernah ada mbak. Adikmu itu sudah memberikan kebahagian yang terbaik hingga akhir hidupnya pada
kami, dan bagiku itu sudah cukup bukti bahwa dia telah menyesali perbuatannya.
"Aku mohon mbak, jangan kau ungkit kesalahannya lagi! Biarlah anakku mengenang segala keindahan
pada ibunya. Aku mohon mbak!" Ayahku menambahkan dengan suara yang terdengar begitu tulus.
"Meskipun dia tidak tau situasinya, harusnya dia tetap menghormatimu. Dia benar-benar sudah
kelewatan terhadapmu." Tante Yanti seakan menekankan kalimatnya itu padaku.

"Bagaimanapun dia tetap anak yang aku sayangi mbak. Aku tak ingin mendengar mbak menjelek-
jelekkan dia, kalau tidak aku akan marah sama mbak." Balas ayahku dengan gurauan kecil.

Ya Tuhan, apakah aku telah salah?....

***

Aku putuskan untuk pulang ke rumah, sebenarnya aku masih enggan untuk pulang, aku masih malu
bertemu ayah dan jujur sedikit egoku masih tak membenarkan sikap ayah kepada Yopi atau sikapnya
kepadaku. Namun karena tante Yanti yang mendesakku pulang, maka tak ada lagi tempat untuk ku
tuju.

Ku temukan ayah yang sedang terlelap di sofa ruang keluarga. Lama aku memandang wajahnya, inikah
wajah yang selama ini aku benci? Entah mengapa aku merasa damai saat melihatnya, aku merasa ada
kekuatan dan perlindungan dalam raut wajahnya itu. Namun ada kegetiran dan warna lelah dalam
wajah tidurnya itu. Ku lihat laptop ayah terbuka menghadap ke arahnya. Pasti ayah belum kelar
mengerjakan sesuatu di laptop ini, pikirku. Penasaranku membawaku melihat apa yang dikerjakannya.
Sebuah situs internet tampil dalam layar laptop ayah, yang aku tau situs itu biasanya memberikan jasa
jual-beli barang yang sudah tidak terpakai lagi secara online. Dan hal yang membuat aku kaget, tidak
sedikit barang-barang milik ayah terlampir berupa foto dalam situs itu, tampaknya ayah baru saja
mengup-loadnya... Aku tak pernah tau kalau ayah mengalami kesulitan dalam keuangan, selama ini
yang aku tau hidup kami berkecukupan. Apa ini karena penyakit Yopi? Apa karena itu ayah
memerlukan banyak uang? Kenapa selalu Yopi, aku masih tak mengerti kenapa ayah begitu peduli
pada Yopi.

Saat aku ingin menuju kamarku, kudengar ayahku terbangun dari tidurnya.

"Oh kamu sudah pulang 'gra." Ayahku mengosok matanya yang tampaknya masih terlihat lelah.

Aku hanya mengangguk lemah, menunggu apa yang selanjutkan akan dikatakan atau dilakukan ayah
padaku.

"Kalau begitu, kamu istirahat saja dulu!" Rupanya hanya itu yang keluar dari mulut ayah, sesepele itu
kah masalah kami.

"Kenapa ayah ingin menjual mobil ayah?" Tanyaku tiba-tiba. Memang mobil ayah adalah salah satu
barang yang ditawarkan di situs yang aku liat tadi.

Ayah hanya menatapku mendengar pertanyaan itu, seakan terkejut dan tak tau apa yang ingin
dikatakannya.

"Pasti ini buat biaya pengobatan Yopi kan?" Lanjutku spontan.

Kali ini ayah membalas pertanyaanku dengan senyuman simpatik, lalu ia pun menceritakan apa yang
kini dia alami.
Ternyata saat ini ayah tak lagi memiliki pekerjaan. Tempat dia bekerja dulu ternyata telah mem-PHK-
nya. Perjalanan ke luar kota yang katanya tugas dari kantornya ternyata adalah perjalanan untuk
melakukan test interview sebelum mendapat panggilan kerja. Dan seperti yang aku tau test itu menjadi
berantakan karena adanya kejadian yang menimpa Yopi, akibat ulahku. Ada perasaan bersalah di
hatiku, namun otak ini masih saja mengontrol bibir ini untuk enggan mengatakan penyesalan itu.

"Sepertinya ayah tak cocok dengan tawaran pekerjaan itu, makanya Tuhan membuat ayah gagal dalam
interview itu." Ucap ayah tenang yang sepertinya tau perasaan bersalahku.

"Kalau ayah menjual mobil, bagaimana ayah mencari kerja? Bagaimana ayah bekerja nanti?" Tanyaku
lagi.

"Kamu ngga usah khawatirkan itu! Lagipula ayah berpikir mungkin ayah tidak akan mencari pekerjaan
lagi."

Aku tak mengerti dengan jawaban ayah itu.

"Ayah akan membuat pekerjaan itu sendiri, untuk sementara waktu mungkin ayah akan membuka
usaha catering. Bukankah menurutmu masakan ayah sangat enak."

Aku kaget mendengar rencana ayah yang tiba-tiba itu.

"Kamu nggak malu kan kalau ayah buka bisnis cateringan?"

Aku hanya mampu mengelengkan kepala karena cukup terkejut mendengar pertanyaan spontan ayah.

"Lagipula, ayah pikir dengan begitu ayah jadi lebih intens berada di rumah. Ayah akan lebih gampang
memberi waktu buat kalian." Tambah ayahku.

Pasti semua demi Yopi, ayah pasti ingin lebih banyak waktu lagi buat merawat Yopi, pikirku. Aku pun
beranjak menuju kamarku, meninggalkan ayah dan berusaha meninggalkan kebingunganku.

Di kamar ini, tempat yang selama ini aku lupa adalah tempat yang memuat segala kenanganku bersama
keluargaku. Terpajang foto-foto kami berempat di beberapa sudut kamarku, foto yang menampilkan
kegembiraan dan cerita-cerita indah kami. Aku ingat saat kelulusanku, saat kami liburan dan di saat-
saat kejuaraan olahraga yang sering kali aku menangkan. Aku ingat bagaimana bahagianya kami.
Dimana saat itu, saat kami pergi liburan ke pulau lombak, aku mengalami alergi karena makan udang.
Betapa paniknya ayah saat itu, dia terlihat histeris, semua orang jadi kelabakan dibuatnya, padahal
alergiku tidak sebegitu parahnya... Pernah juga saat menjelang ujian, ayahku memberi berjuta peraturan
dan jam belajar yang super ketat demi kelancaran ujianku, seringkali Yopi membantuku mengelabui
ayah dan sering pula ia memberiku makanan-makanan favoriteku secara diam-diam, yang ayahku tak
akan berikan sebelum aku selesai belajar. Dan aku masih ingat betul bagaimana ayah menangis saat
akhirnya aku lulus, betapa bangganya dia, memamerkan nilaiku yang dianggapnya luar biasa kepada
setiap orang yang dikenalnya... Dan ketika aku melihat piagam-piagam dan medaliku yang terbingkai
di lemariku, membuatku kembali teringat saat-saat perjuanganku untuk meraihnya. Kini kuingat
ayahku lah sumber kemenanganku saat itu, tak lelah ia membimbingku, memberiku pengarahan dan
terlebih motivasi yang luar biasa. Aku ingat kata-kata yang pernah diucapkannya saat aku mengalami
kekalahan. "Tidak apa-apa kau jatuh nak, tidak apa-apa kau gagal, yang penting ayah akan selalu ada
untukmu." Mungkinkah selama ini aku mengabaikan kenangan-kenangan itu? Apakah aku belum
memahami tentang arti cinta dari kenangan-kenangan itu?

***

Esoknya aku putuskan untuk menjenguk Yopi di rumah sakit. Sebagai seorang kakak, setidaknya aku
harus memberikan semangat untuknya, hanya itu... Mungkin harus aku akui, aku hanya ingin mendapat
poin lebih di mata ayah, aku harus terlihat menjadi anak yang pantas untuk dicintai.

"Ayah kemana kak?" Tanya Yopi.

"Aku juga ngga tau, dari tadi pagi aku ngga liat dia." Jawabku apa adanya.

Aku lihat kekecewaan di wajahnya.

"Makanya cepat sembuh, emang kamu ngga kasian sama ayah. Asal kamu tau..." Kalimatku gantung.

"Apa kak?"

Aku tak melanjutkan perkataanku, aku tak tau apakah adikku Yopi ini tau tentang kebenarannya.
"Ngga ada... Lupakan saja!"

"Kak, maafin Yopi udah ngerepotin kalian semua, Yopi tak tau kenapa Tuhan menciptakan Yopi
selemah ini, Yopi bisanya jadi beban kalian saja." Ucapnya sedih.

Kulihat air mata mengalir begitu saja dari mata lelah adikku ini. Entah mengapa aku menjadi ikut sedih
melihatnya.

"Kak, kakak ingat ngga waktu lomba antar keluarga yang diadain di sekolahku waktu aku masih SD
dulu? Waktu lomba menyebrangi sungai itu?" Tanya Yopi tiba-tiba.

Aku pun mencoba mengingat masa itu, dan aku masih sangat mengingat persisnya bagaimana. Saat itu
para ayah ditugaskan untuk menyeberangi sungai melewati jembatan bambu dan hanya dibantu oleh
seutas tali sebagai pegangan, tak hanya itu para ayah itupun diwajibkan mengendong salah satu putra
atau putrinya, dan ternyata akulah yang dipilih ayahku untuk membantunya saat itu bukan Yopi.

"Tau ngga kak, aku sempat ngambek karena itu. Padahal seharusnya itu jadi hariku, semua teman-
temanku digendong oleh ayahnya, sementara aku, kakaklah yang menggantikanku. Semula aku
menganggap ayah pilih kasih, aku mengganggap ayah tak peduli keinginanku, namun kini aku sadar
ada alasan kenapa ayah tak ingin aku berada di atas sungai itu." Ucap Yopi dengan penuh arti.

Entah mengapa akupun baru dapat memahami tentang makna dari kejadian itu.

"Ayah juga sering membanggakan kakak pada setiap orang, dia bilang kakak jagoan ayah, kakak
juaranya ayah lah. Aku selalu iri mendengar itu kak. Tak jarang setiap kami berdua pun ayah selalu
bercerita tentang kepintaran kakak, tentang kehebatan kakak dalam berolahraga. Aku merasa ayah
hanya menyayangi kakak."

Aku tak pernah menyadari akan apa yang dikatakan adikku itu.
"Tapi kemudian aku mulai sadar, ayah ngga seperti itu. Ayah ternyata mencintai kita sama. Kakak
masih ingat ngga kejadian yang terjadi waktu di atas puncak gunung di kampung nenek?"

Aku ingat sekali kejadian itu, kejadian yang hampir saja merenggut nyawaku. Aku dan Yopi terjungkal
hingga nyaris jatuh ke bawah tebing, untung saja saat itu ayah memegangi kami di masing-masing
tangannya dan kami pun bergantung pada masing-masing tangan itu. Yopi di tangan kanan dan aku di
tangan kiri ayah.

"Ayah tak melepaskan salah satu diantara kita dari tangannya, dia tetap mempertahankan kita berdua.
Untung saja akhirnya banyak bantuan yang datang, jika tidak aku tak tau apa yang akan terjadi pada
kita."

Astaga lagi-lagi aku begitu bodoh melewatkan kenangan itu. Jika aku pikirkan sekarang, jika harus
memilih bisa saja ayah melepaskan aku di tangan kirinya, karena tangan kirinya tak sekuat tangan
kanannya. Atau bisa saja dia melepaskan Yopi yang bukan siapa-siapa baginya. Tapi tak satupun dari
kami dia korbankan demi satu yang lain... Oh Tuhan, aku telah salah menilai ayahku.

Aku berlari sekuat mungkin, ingin segera bertemu ayahku, ingin segera memeluknya, meminta agar ia
mau memaafkan segala kebodohan dan kesalahanku. Aku membuang semua ego dan gengsi yang
selama ini aku bangun, aku hanya butuh ayahku saat ini. Aku pun tak perduli pada apa yang ada saat
ini, hingga aku tak sadar sebuah mobil melaju kencang saat aku keluar dari rumah sakit. Kudengar
suara teriakan yang ku kenal memanggil namaku. Benturan keras terasa menerjang pelipisku, lalu
hanya kegelapan yang mulai kurasakan. Aku tak sadarkan diri.

Saat ku tersadar, jantungku seakan enggan untuk berdetak, aku merasa hampa ketika aku tau
kenyataannya. Aku selamat dari mobil yang hampir menabrakku, selamat karena dorongan keras yang
menghampiriku. Seseorang mendorongku menjauhi tabrakan namun justru membuatnya menghampiri
tabrakan itu. Seseorang yang ternyata begitu sangat mencintaiku, sehingga tak segan mengorbankan
nyawanya sendiri demi keselamatanku. Seseorang yang selama ini aku sebut ayah. Ayahku kini pergi
karena rasa cintanya kepadaku.

***

Saat ini aku di rumah yang penuh warna-warni akan kenanganku bersama ayah, berdiri menatap hampa
pada sebuah kue ulang tahun yang berada di atas meja, tampaknya ayah sudah mempersiapkan ini
untukku. Ada selembar kertas dan sebuah kunci yang tergeletak di samping kue ulang tahunku.

Selamat ulang tahun ya gra.


Semoga di usiamu yang telah beranjak dewasa ini kamu akan menemukan kebahagian-kebahagiaan
yang kamu inginkan. Maaf baru kali ini ayah bisa membelikan motor yang kamu inginkan, ayah hanya
ingin kamu mendapatkannya di saat yang tepat.
Oh iya, tantemu sudah bilang, kalau dia sudah menceritakan segalanya ke kamu. Maaf ayah tak cerita
banyak padamu, karena perlu kau tau ibumu sudah sangat luar biasa padamu, ayah tak ingin kau
mengingat sesuatu yang buruk tentang ibumu.
Dan tentang adikmu Yopi... Ayah mencintainya karena ayah memang harus mencintainya. Dia adalah
bagian dari ibumu, dia juga bagian dari dirimu, maka dia pun telah menjadi bagian hidup ayah.
Meskipun dia bukan darah daging ayah, tapi dalam dirinya ada ibumu yang sangat ayah cintai. Kalian
berdua adalah kado berbeda yang diberikan ibu kalian kepada ayah, namun kado yang sama-sama
ayah cintai.
Sekali lagi selamat ulang tahun jagoanku.
Ayah selalu menyayangimu Cigra.

Tangisan tak mampu menghapus kesedihanku, ingin aku mengutuk diriku sendiri. Kini aku mulai sadar
selama ini aku hanya membuat-buat semuanya tampak berbeda, aku yang terlalu egois untuk menilai
semuanya yang tak sejalan dengan keinginanku. Tak ada alasan bagi ayah untuk tak mencintaiku,
harusnya aku sadar akan itu. Dan aku pun tak butuh alasan lagi kenapa ayah juga mencintai adikku
Yopi, harusnya aku tau bahwa tak perlu alasan bagi orang seperti dia kenapa mencintai orang lain.
Ketulusan itulah yang kini aku tau.

Anda mungkin juga menyukai