Anda di halaman 1dari 21

Pure Love

Bisa dibilang Delvi terlahir dengan segala kesempurnaan. Materi yang berlimpah, fisik yang tanpa cela
dan orang tua yang sangat menyayanginya. Delvi anak tunggal dari keluarga yang sangat berada,
karena itulah dengan sangat mudah apa saja yang diinginkannya akan terkabul dalam sekejap. Tapi
kesempurnaan itu tak sebanding dengan sikapnya yang angkuh, sombong dan semaunya saja. Di dunia
ini tak ada yang lebih penting selain dirinya sendiri, orang lain dianggapnya hanyalah pion catur yang
tiap waktu bisa dia mainkan semaunya. "Uang itu segalanya, ngga ada yang ngga bisa dibayar dengan
uang. Bahkan manusia pun bisa aku bayar." Itulah kalimat yang sering dilontarkannya. Delvi tak
pernah serius menghadapi hidup, jika masalah menghampiri, kekuasaan dan uang orang tua-nya yang
berbicara. Menjalin hubungan dengan wanita pun dia tak pernah serius, dia menggangap wanita seperti
sepatu yang dia kenakan, dibeli untuk diinjak, begitu bosan maka dia akan membuangnya. Hingga
suatu hari, takdir menuliskan cerita lain dalam hidupnya, cerita pahit yang membenamkan segala
kesempurnaan yang dimilikinya. Ledakan bom di Bali yang sempat mengguncang dunia, ternyata juga
menguncang kehidupan Delvi. Kedua orang tuanya tewas dalam peristiwa naas itu. Sial bagi Delvi,
meskipun hidupnya selamat dari kejadian itu, tapi kondisinya seperti mayat hidup. Belum lagi dia harus
kehilangan kedua kakinya.

Saat ini Delvi masih terbaring di rumah sakit. Hanya alat pendeteksi detak jantung yang menunjukkan
dia masih hidup, selebihnya dia tampak seperti makhluk tak bernyawa. Berbagai macam alat
kedokteran menempel di tubuhnya, menjaga agar kondisinya tetap stabil. Tak ada satu pun keluarga
yang dimiliki Delvi, tak ada kerabat atau sahabat yang ada di sisinya saat ini. Hanya Pak Surya yang
intens menjenguk dan tetap memberikan pelayanan setia terhadap anak majikannya itu. Pak Surya
adalah kepala pengurus rumah tangga keluarga Delvi, ia merasa tetap berkewajiban mengabdi kepada
anak majikannya itu, bagaimanapun kondisinya saat ini. Untunglah hukum dapat menyetujui penjualan
aset-aset kekayaan keluarga Delvi, tak lain dan tak bukan untuk biaya perawatan dan penyembuhan
Delvi.

Seiring waktu, kondisi kesehatan Delvi naik-turun. Kadang mengalami kondisi yang meningkat baik,
namun tak berapa lama kemudian mengalami kondisi yang lebih kritis lagi. Berbagai cara medis telah
dilakukan untuk membuat Delvi sadar dari koma, namun hasilnya nihil, untunglah setidaknya usaha itu
tetap dapat membuat jantung dan otak Delvi berfungsi, meskipun lemah. Tak sedikit aset kekayaan
Delvi dijual untuk membiayai itu semua, tak sedikit pula energi Pak Surya yang terkuras untuk tetap
mengabdi pada majikannya yang tersisa. Hingga setahun kemudian akhirnya Delvi terbangun dari tidur
panjangnya. Setelah kondisi Delvi cukup stabil, Pak Surya menceritakan semuanya, menceritakan
kondisinya, terutama menceritakan kedua orang tuanya yang telah tiada.

"Den Delvi harus tetap kuat, Den harus bisa bangkit lagi." Nasehat pak Surya setelah menyodorkan
berkas-berkas penjualan aset berserta bukti-bukti biaya selama pengobatan Delvi. Tak sepeserpun pak
Surya memakai uang itu.

Delvi hanya diam, menatap kosong ke depan. Tak memperdulikan segala macam berkas yang ada di
hadapannya.
"Kalau begitu saya pulang dulu." Ucap Pak Surya kemudian, "Sebaiknya Den istirahat, Den harus sehat
lagi. Biar Den bisa beraktivitas lagi."

Belum sampai pak Surya di ambang pintu, Delvi berkata, "Sehat?? Beraktivitas? Kamu pikir aku bisa
sehat lagi? Apa kamu lupa kalau aku ini sudah cacat. Aku ngga akan bisa ngapa-ngapain." Delvi
memandang geram Pak Surya. "AKU LUMPUH!" Tambahnya berteriak

"Lumpuh bukan berarti Den nggak bisa berbuat apa-apa, Den masih bisa banyak melakukan hal. Yang
penting pikiran Den sehat dulu." Ucap pak Surya menenangkan.

"Tau apa kamu? kamu nggak ngerti apa-apa.... "Kamu itu cuma kacung." Bentak Delvi, seakan kalimat
itu dapat melampiaskan emosinya.

Pak Surya hanya terdiam, lalu senyum tipis muncul di wajahnya. "Saya memang kacung, untuk itulah
sekarang saya ada di sini. Namun saya tau apa yang Den rasakan, apa Den lupa... dengan Sarah?"

Delvi bingung, dia tak tahu apa hubungannya dengan nama yang baru disebutkan pak Surya. Dia pun
Acuh. Kebisuan hadir beberapa saat, hingga suara pak Surya memecah kebisuan itu. "Baiklah
sebaiknya saya pulang, besok saya kembali lagi."

Tepat saat pak Surya di ambang pintu, Delvi berkata lagi, "Kamu ngga perlu kesini lagi!! Aku ngga
butuh".

Pak Surya hanya diam berhenti tanpa berpaling ke arah Delvi, lalu kembali melangkahkan kakinya
keluar dari ruangan itu.

Esok harinya Delvi mengira pak Surya tak akan kembali lagi, namun tanpa diduga pak Surya malah
datang dengan membawa segala macam makanan dan majalah kesukaan Delvi. Delvi cukup terkejut
melihat sebegitu taunya pak Surya akan hal sepele itu. Namun semua itu tetap saja tak mengusik
kekerasan hati Delvi, ia tetap memandang rendah ajudan orang tuanya itu. Sekeras sikap Delvi, sesabar
itu pula pak Surya menghadapinya. Hingga pada akhirnya Delvi membuang sedikit egonya, ia mulai
berpikir untuk menerima Pak Surya untuk membantunya, toh dia tidak punya siapa-siapa, apalagi
sekarang ini dia cacat. Dia membutuhkan orang yang dapat mengurus kebutuhannya, walaupun dia bisa
saja membayar orang lain untuk itu, namun tak ada yang bisa sangat dia percayai selain pak Surya.

Delvi pun akhirnya dapat meninggalkan Rumah Sakit. Namun seperti yang disarankan dokter dia tak
boleh terlalu lelah, karena jantungnya sangatlah lemah. Delvi sadar akan itu, dia merasa tubuhnya tak
sebugar dulu, belum lagi ditambah kelumpuhan yang membuat segalanya berat. Dia terpaksa
menggunakan kursi roda.

Sesampainya di rumah, ia dikejutkan oleh kehadiran seorang gadis yang berdiri di teras rumahnya.

"Selamat datang kembail." Sambut gadis itu,

Delvi berpikir senyumnya cukup manis, tapi jelas dia bukan tipe Delvi. "Siapa dia ?!" Tanya Delvi
pada pak Surya.

Namun bukan pak Surya yang menjawab, justru gadis itu sendiri. "Aku Sarah, putri Pak Surya",
katanya tersenyum, "Ngga heran kalau kamu ngga tau aku, tepatnya ngga ingat aku. Secara kamu
adalah seorang Delvi yang ngga mungkin sadar ada orang seperti aku di sekitarmu. Padahal aku dan
ayahku tinggal di situ." Jelas Sarah sambil menunjuk ke arah Paviliun yang berada tak jauh di samping
rumah utama.

Delvi pun berpikir sejenak, memang yang dia tau pak Surya dan keluarganya tinggal di paviliun itu,
agar memudahkan segala pekerjaan dan pengabdian pak Surya terhadap keluarga Delvi. Namun selama
ini dia acuh tak acuh terhadap keberadaan orang yang ada di rumahnya apa lagi paviliun itu. Selama ini
waktunya lebih banyak dihabiskan di luar... Dan sontak saja dia teringat tentang keadaan putri pak
Surya. "Yang aku tau putri pak Surya... buta," ungkapnya ceplos.

"Rupanya kau masih mengingat tentang diriku, meskipun mengingat hal yang itu." Ucap Sarah. "Aku
memang si Buta Sarah."

Setelah Delvi mengamati dengan lebih jelas. Gadis yang sekarang berdiri di hadapannya ternyata
memang gadis yang buta. Pandangannya ke depan tapi tampak terlihat kosong. Karena merasa nggak
perduli dan nggak penting siapa Sarah sebenarnya, Delvi pun berlalu begitu saja di hadapan Sarah
dengan kursi rodanya.

"Yah... sudah biasa, memang ini yang sering kamu lakukan, berlalu begitu saja. Aku memang seperti
tak terlihat di matamu."

Delvi mendengar perkataan itu, tapi seperti kata Sarah dia pun berlalu begitu saja.

"Tolong bantu ayah ya!! Jaga dia! Dia masih labil." Pinta pak Surya seraya merangkul bahu Sarah.

"Yang aku tau dia memang anak yang labil." Kekeh Sarah. "Tapi aku akan melakukan apa yang Ayah
minta. Aku melakukan ini demi Ayah." Ucap Sarah dalam, seraya menyenderkan kepalanya ke bahu
Ayahnya.

Seingat Sarah semasa kecil, Delvi cukup menyenangkan. Mereka sering bermain bersama, malahan
Delvi kecil jadi teman satu-satunya yang mau menemani Sarah yang terlahir buta. Namun semakin hari
semakin bertambahnya usia, Delvi semakin menjauh darinya. Sarah seperti makhluk yang kasat mata di
hadapan Delvi, dia sama sekali tidak perduli meskipun Sarah berdiri sejengkal di hadapanya. Mungkin
dia mulai sadar kalau Sarah hanya gadis buta anak seorang pembantu, itu pikir Sarah.

***

Untuk sementara waktu terpaksa Pak Surya yang mengurusi pekerjaan hingga Delvi yang sebagai ahli
waris benar-benar siap. Sehingga pak Surya pun jarang berada di rumah.

"Kemana para pembantu?" Tanya Delvi kepada Sarah

"Ayahku tepaksa memecat mereka sejak kamu masih koma." Jelas Sarah datar.

"Apa hak ayahmu memecat mereka?! Keluargaku yang memperkerjakan mereka. Termasuk kalian
berdua." Jelas Delvi kasar

"Kamu ini mikir apa ngga sih?" Balas Sarah, "Mau bayar mereka pake apa? Sementara Ayahku tidak
sanggup bayar mereka."
"Dasar tolol! Tentu saja aku yang bayar. Mana mungkin ayahmu yang miskin itu mampu membayar
para pembantuku."

"Ya aku tau ayahku miskin, tapi apa kamu tau kalau keadaan ngga seperti yang dulu."

"Warisanku masih banyak."

"Ya aku juga tau itu, tapi apa semudah itu warisanmu dapat digunakan? apalagi di saat kamu masih
koma. Ayahku yang miskin itu mati-matian berusaha agar warisan itu bisa digunakan, bukan untuk
keperluan dia. Semua itu untuk biaya pengobatanmu. Dan Biaya itu ngga sedikit.
"Ayahku saat itu yang dipikirkannya hanya biaya untuk pengobatanmu. Dan terpaksa dia memecat para
pembantu karena tak sanggup membayar mereka. Warisanmu ngga bisa digunakan begitu saja untuk
gaji pembantu." Jelas Sarah berapi-api.

Keadaan hening sejenak, Delvi tak tau harus berkata apa.

"Kamu pikir ayahku ngga sedih memecat teman-temannya, kamu pikir aku ngga sedih kehilangan
orang-orang yang begitu dekat denganku. Hanya mereka yang jadi tempat pertalianku selama ini."
Tutur Sarah dengan suara getir.

Sebenarnya sewaktu Delvi koma, warisan memang tak dapat digunakan selain untuk biaya
pengobatannya. Tapi setelah dia sadar saat ini, apapun bisa dia lakukan dengan warisan itu. Hanya saja
Sarah ingin Delvi belajar bahwa uang itu bukan segalanya.

"Lantas siapa yang akan melayani aku sekarang?"

"Aku akan membantu dalam segala kebutuhanmu." Ucap Sarah antusias.

"Apa?? Apa kamu ngga salah? Kamu kan.." Ucap Delvi tak percaya

"Ya aku memang buta, tapi aku tidak membutakan diriku. Meskipun buta aku bisa melakukan beberapa
hal yang orang normal biasa lakukan, aku bukan orang cacat yang merengek-rengek untuk dikasihani."
Kalimat itu seakan menyindir Delvi.

Apa yang dilihat Delvi ternyata sesuai apa yang dikatakan Sarah, dilihatnya gadis itu melangkahkan
kaki ke setiap sudut ruangan tanpa terjatuh ataupun menabrak benda disekitarnya, seakan-akan dia tau
bagaimana ruangan ini.

"Tenang! aku bukan orang sakti, tapi aku hafal betul ruangan ini, rumah ini." Kata Sarah seakan tau apa
yang dipikirkan Delvi. "Bahkan dapur itu," katanya seraya menunjuk dapur. "Aku bisa memasak di
dapur itu, asal kamu ngga memindahkan perabotannya."

"Bagaimana bisa?"

"Aku dari kecil selalu ke rumah ini, karena aku buta maka aku tidak pernah keluar dari lingkungan
rumahmu ini... Jika kamu ingat itu.
"Hingga dewasa sampai sekarang pun aku menghabiskan waktu di sini. Kamu jarang di rumahmu jadi
mungkin kamu ngga tau, tapi meskipun kamu ada di rumah ini, kamu ngga pernah sadar akan
kehadiranku saat itu." Jelas Sarah datar namun tetap dengan senyumnya.

Delvi berpikir seperti itukah dirinya, tapi dia tak perduli seperti apa dirinya. Toh buat dia nggak penting
bagaimana perasaan Sarah terhadap sikapnya itu. Dia pun beranjak pergi dengan kursi rodanya
meninggalkan ruangan itu.

"Jangan lupa minum obatnya! Udah aku siapkan di kamar." Ucap Sarah dengan teriakan kecil.

Setiap hari Sarah dan Delvi menghabiskan waktu di rumah itu. Dengan telaten dan penuh kesabaran
Sarah membantu ataupun melayani Delvi. Bukan karena pekerjaannya yang terasa berat tapi sikap
Delvi lah yang membuatnya jadi berat. Berkali-kali Delvi berkata dan bertindak tidak sopan
terhadapnya, namun barkali-kali itu jualah dia menggunakan kesabarannya. Tak jarang Delvi
melemparkan makanan yang disajikan Sarah, tak jarang Delvi memecahkan dengan sengaja perabotan
yang ada di hadapannya sehingga Sarah terpaksa membersihkan pecahan-pecahan itu yang
mengakibatkan tanggannya terluka. Dan sering pula terpaksa Sarah terbangun tengah malam hanya
karena harus menuruti keinginan Delvi yang cenderung sepele.

Hingga suatu hari, "Eh belikan aku rokok!" Perintah Delvi kepada Sarah dengan ekspresi semaunya.

"Kamu nggak boleh ngerokok, jaga kesehatanmu! Itu perintah dokter."

"Akh tau apa kamu?! Aku butuh rokok. Cepat cariin aku rokok!"

"Ngga! Ngga akan." Ucap Sarah, "Kalau kamu ngga peduli sama kesehatanmu. Setidaknya aku peduli"

Tanpa sepengetahuan Sarah, Delvi pergi ke luar seorang diri dengan kursi rodanya. Sarah panik ketika
mengetahui Delvi tidak ada di rumah. Dia pun berusaha mencari Delvi. Berteriak-teriak memanggil
Delvi di sepanjang komplek perumahan yang masih dia hapal. Ketika dia sadar dia sudah keluar dari
kawasan yang dia kenal, dia mulai takut. Namun rasa khawatir terhadap keadaan Delvi dan lebih
kepada janji terhadap ayahnya mengalahi rasa takut itu, Sarah pun terus mencari Delvi meski lelah.
Beberapa kali dia tersungkur, dia pun kebingungan, dia tak tau apa yang akan dia katakan kepada
ayahnya nanti. Hujan pun turun membasuh bumi, ketakutannya menjadi-jadi, untung saja ada
seseorang yang menuntunnya ke halte terdekat. Dia menangis saat duduk di halte itu, meskipun dia tau
ada beberapa orang yang juga berteduh... Sarah pun lalu bertanya kepada orang-orang itu tentang
Delvi, namun tak satu pun yang melihat pria berkursi roda yang digambarkan Sarah. Hujan mulai reda,
satu per satu orang pergi dari halte itu. Sarah makin kebingungan, dia pun menangis lagi. Hingga ada
suara pria yang terdengar tak asing yang tiba-tiba menyapanya, "kenapa kamu menangis?" Tanya pria
itu. "Astaga.. Kamu Sarah kan?"

Pria itu bernama Roy, Sarah mengenalnya ketika mereka terlibat dalam organisasi kemanusiaan
beberapa Tahun lalu. Lama mereka tidak bertemu hingga kini bertemu kembali. Sarah pun
menceritakan apa yang dia risaukan.

"Sebaiknya kamu aku antar pulang, mungkin saja Delvi sudah di rumah." Nasehat Roy.

Roy pun mengantarkan Sarah hingga rumah. Ketika Roy memberitahu ada pria berkursi roda
menunggu di teras, Sarah pun akhirnya tenang.
"Lain kali aku akan mampir, itu juga kalau dibolehkan." Ucap Roy.

Sarah hanya mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Dan Roy pun berpamitan.

"Oh ruapnya asik pacaran." Sindir Delvi seketika itu juga.

Sarah langsung menangis sejadi-jadinya, hingga membenamkan wajahnya ke kedua tangannya.

Sontak Delvi terkejut melihat Sarah yang menangis.

"Apa kamu tau betapa khawatirnya aku begitu tau kamu ngga ada di rumah, apa kamu tau betapa
takutnya aku kalau terjadi sesuatu padamu?" Ucap Sarah terisak, "Aku berjam-jam cari kamu di luar di
tempat yang asing bagiku. Aku ingat kata dokter kondisimu ngga kuat dengan cuaca yang dingin,
belum lagi kamu yang mau merokok.
"Aku..." Kalimat Sarah terpotong dengan tangisan

"Kamu nyariin aku ke luar?" Tanya Delvi nggak percaya.

Sarah hanya bisa terus menangis.

Entah kenapa Delvi merasa sesak melihat tangisan itu. "Kenapa? Kenapa kamu begitu peduli padaku?"

"Ini semua karena janjiku kepada ayah. Ayah memintaku untuk menjagamu. Dan apa yang akan terjadi
jika ayah tau kalau..."

"Sesederhana itu." Potong Delvi.

"Ngga sesederhana itu.


"Kamu tau. Ayah dan ibuku, sejak dulu mengabdi pada keluargamu. Dia berusaha untuk tetap setia
kepada keluargamu apapun keadaanya, karena menurutnya ayahmu orang yang luar biasa, ayahmu
selalu baik terhadap kami. Ayahmu lah yang membuatku tetap bisa menikmati pendidikan, Ayahmu lah
yang menyelamatkan ibuku. Ibuku menderita alzeimer, penyakit itu membuatnya berkali-kali ingin
bunuh diri, hingga akhirnya dia pun dinyatakan mengalami gangguan kejiwaan. Namun dalam situasi
seperti itu ayahmu tetap menerima kami, tetap mempekerjakan ayahku, mau membiayai pengobatan
ibuku. Hingga saat itu tiba..." Sarah kembali menagis terisak-isak, "Hingga ibuku sekarat, otaknya tak
mampu lagi berfungsi, dokter mengatakan dia tak mungkin lagi terselamatkan. Tepat saat kamu
membutuhkan jantung yang lebih kuat untuk tetap bertahan hidup. Ayahku diberi pilihan yang berat.
Dan akhirnya jantung ibuku ada di dalam dirimu sekarang."

Bagai petir yang seakan menyambar dirinya saat ini, Delvi seakan tak percaya mendengar apa saja
yang baru di dengarnya. Dia mati rasa, bibirnya seakan kelu.

"Karena itulah ayahku ingin agar setidaknya ibuku tidak mati sia-sia, ia ingin ibuku masih bisa hidup
meskipun itu dalam dirimu." Tangisan itu terdengar lagi.

Udara seakan menghimpit Delvi, ada benda asing yang ada di tubuhnya. Selama ini ia tak sadar ia
hidup dengan jantung yang ternyata bukan jantungnya. Ingin rasanya dia tidak mempercayai hal itu,
ingin dia lari menjauh dari kebenaran itu. Tapi entah mengapa perasaan itu tak sebanding dengan rasa
betapa bodohnya dia, betapa biadapnya dia karena bersikap tak pantas terhadap orang-orang yang
begitu baik kepadanya.

***

Esok harinya, Sarah terbangun terlalu siang, nampaknya ia begitu kelelahan. Menyadari itu, ia pun
begitu panik dan khawatir.

"Gawat!!! Delvi bisa marah besar karena ini." Pikirnya.

Bergegas ia mencari keberadaan Delvi, di setiap ruangan dia tidak menemukan Delvi, hingga dia
mendengar suara gaduh yang bersumber dari ruang dapur.

"Rupanya kamu sudah bangun. Ayo cepat ke meja makan, sebentar lagi aku menyusul." Kata Delvi,
yang anehnya dengan nada yang tak pernah didengar Sarah. Suara itu terdengar riang dan antusias.

Sarah heran namun dia tetap mengikuti perintah Delvi, duduk di depan meja makan. Tak lama
kemudian terdengar suara kursi roda Delvi yang mendekat. "Maaf aku kesiangan." Ucap Sarah

Namun Delvi mengacuhkan perkataan itu dengan berkata "Hari ini aku coba memasak. Aku masak
spagheti. Kamu harus mencobanya! Sekarang buka mulutmu!" Perintah Delvi dengan nada lembut.

Meski heran dengan sikap Delvi ini, Sarah hanya bisa mengikuti kemauan Delvi. Ketika ujung sendok
terasa menyentuh bibirnya Sarah pun membuka mulutnya. Dia siap jika semua ini hanya permainan
Delvi.

"Bagaimana?" Tanya Delvi

"Sebenarnya agak terlalu manis." Jawab Sarah

Terdengar helaan nafas kecewa dari Delvi.

"Tapi, aku justru suka sama spagheti yang manis." Tiba-tiba Sarah berkata begitu saja.

"Benarkah?! Kalo begitu kamu habiskan yang ada di piring ini."

"Kenapa?.... Kenapa kamu jadi berbeda seperti ini?" Tanya Sarah tiba-tiba.

Delvi hanya diam, kebisuan yang hadir diantara mereka... Lalu tiba-tiba kata itu keluar dari mulut
Delvi. "Maaf! Maafkan aku!"

Tak lama Sarah terdiam, lalu ia pun juga berkata, "Sudahlah! Yang penting ngga terjadi apa-apa sama
kamu kemarin."

"Bukan hanya tentang itu. Aku minta maaf akan segala hal. Aku minta maaf atas sikapku selama ini ke
kamu. Aku tau perbuatan dan perkataanku pasti sangat menyakitimu. Aku sangat menyesal.
"Kumohon maafkan aku." Terdengar tulus dan getir dalam suara Delvi
Sarah hanya terdiam tak tau harus berkata apa. Sebelum ia berpikir lebih panjang, Delvi berkata lagi,
"Aku juga ingin berterima kasih ke kamu. Terima kasih udah mau merawatku, udah mau melakukan
segala keinginan bodohku. Udah mau peduli sama orang yang angkuh ini" Ucap Delvi seakan
mencemooh dirinya sendiri, "Terlebih lagi, terima kasih buat jantung ini."

Lagi-lagi kebisuan hadir dalam ruangan itu. Hingga suara helaan nafas panjang Sarah mengusik
kebisuan. "Aku sudah maafkan kamu, aku sudah memaafkanmu bahkan sebelum kamu minta maaf.
Aku berusaha ngerti dengan keadaanmu. Dan soal terima kasih. Itu ngga perlu, ngga perlu kamu
ucapkan. Berterima-kasihlah dengan berusaha untuk tetap hidup. Kehidupanmu saat ini sangat berarti
bagiku... Terutama bagi Ayahku."

Dada Delvi terasa sesak mendengar semua itu. "Baiklah... Aku berjanji padamu. Aku akan terus
berjuang untuk tetap hidup."

***

Hari-hari Sarah dan Delvi lalui bersama, tapi kali ini dengan perubahan sikap Delvi yang begitu terasa.
Delvi kini begitu bersemangat setiap melakukan hal sekecil apapun, dan tentunya bersikap dan berkata
lebih sopan kepada Sarah. Dia tak lagi memerintahkan banyak hal kepala Sarah, kini dia lebih banyak
melakukan hal dengan mandiri. Banyak kegiatan yang mereka lalui bersama, mulai dari memasak,
menata dan menyiram taman, hingga membaca buku. Hal baru satu ini paling disukai Sarah, Delvi
sering berjam-jam membacakan Novel buat Sarah. Dia senang melihat ekspresi Sarah ketika
mendengar cerita yang dibacakan, terkadang terkejut, heran, was-was, bahagia hingga menangis. Dari
situlah dia bisa melihat, betapa cantiknya gadis yang sekarang berada dihadapannya. Bodohnya dia
selama ini tidak pernah menyadari ada gadis yang begitu mempesona di kehidupannya... Mungkin
karena sikap angkuhnya lah yang telah membutakan mata hatinya, bahkan mata fisiknya selama ini
sehingga tidak bisa melihat betapa indah mata itu meski tak bisa melihat, betapa manis senyum itu
dengan lesung pipi yang hadir setiap kali dia tersenyum. Tapi jauh dari itu semua, betapa cantiknya hati
gadis ini. Delvi pun menyadari bahwa sepertinya dia telah jatuh hati pada gadis ini, ia mulai merasakan
cinta... ia mencintai Sarah. Namun ia tak berani menyatakan cinta itu, ia tak sanggup. Dia sadar
bagaimana kondisinya saat ini. Sarah layak mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya. Belum lagi
tampaknya pemuda yang bernama Roy tak jarang berkunjung ataupun menjemput Sarah untuk pergi ke
luar. Sarah pun tak segan bercerita dengan bersemangat tentang Roy kepada Delvi.
"Heran deh.. Jaman sekarang ini masih ada ya pria seperti Roy. Peduli sama sesama, peduli sama
penderitaan orang lain." Tutur Sarah saat bercerita tentang organisasi kemanusiaan yang dipimpin Roy.
"Dia itu dokter muda yang hebat." Sarah selalu memuji pemuda itu.
'Roy itu begini Roy itu begitu...' Itulah yang sering didengar Delvi tentang Roy. Setiap akan keluar
dengan Roy, Sarah akan berjam-jam menanyakan bagaimana penampilannya kepada Delvi. Cemburu?!
Tentu saja Delvi cemburu, hanya saja ia merasa tak pantas untuk cemburu. Karena ia bukanlah siapa-
siapa bagi Sarah.

***

Pak Surya menceritakan segala persoalan yang diahadapi perusahaan, banyak hal pekerjaan yang jauh
dari kapasitasnya untuk diselesaikan. Hingga ia pun menyarankan agar Delvi segera mengambil alih
tugas sebagaimana yang seharusnya.

"Sebaiknya pak Surya saja yang mengerjakan semua itu. Aku malas melakukan pekerjaan-pekerjaan
itu. Aku akan memberikan hak dan kedudukanku kepada pak Surya secara hukum." Ucap Delvi
"Bukannya saya tidak menghargai pemberian Den. Persoalannya apa yang akan terjadi jika saya
menduduki posisi itu, para pemegang saham yang lain akan sangat tidak senang dengan hal itu. Saat ini
saja mereka memandang rendah saya. Saya takut koalisi besar-besaran akan terjadi untuk meruntuhkan
kedudukan itu. Untuk itu Den lah yang secara pandangan orang dan secara hukum berhak atas
kedudukan itu. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap pewaris yang sah." Jelas Pak Surya
dengan meyakinkan.

"Tapi... Tapi sepertinya aku tak bisa." ungkap Delvi

"Kamu harus bisa! Itu janjimu." Tiba-tiba Sarah berkata setelah dari tadi hanya mendengarkan.

"Janji? Apa maksudmu?" Tanya Delvi heran.

"Bukankah kamu berjanji aku terus bertahan hidup. Hidup bukan hanya tentang berdetaknya jantung,
bukan bagaimana kamu menghirup udara. Hidup juga tentang bagaimana kamu bertindak terhadap
yang hidup di sekitarmu, bagaimana kamu bekerja, bagaimana kamu memimpin, bagaimana kamu
melalui persoalan hidup, bagaimana kamu berkeluarga kelak. Dan masih banyak lagi hal-hal tentang
kehidupan. Itu cerita Hidup yang sangat ingin aku dengar dari cerita HIDUPMU.
"Bukan kah kamu sudah berjanji untuk itu?!" Tanya Sarah

"Aku... Aku memang berjanji. Tapi... Tapi aku tak bisa." Ucap Delvi gagap

"Aku yakin kamu bisa."

"Kamu ngga tau... aku ini bodoh. Pendidikan selama ini yang aku lalui hanya semu, hanya kulitanya
saja. Tapi begitu dibuka, kosong... tak ada isinya. Uang yang berbicara selama ini dalam pendidikanku.
Aku sama sekali bodoh, tak tau apa-apa, apalagi dalam dunia bisnis." Jelas Delvi malu.

"Aku yakin kamu ngga bodoh, hanya saja selama ini kamu ngga peduli dan kamu tutup telinga sama
pendidikan yang diberikan padamu, sehingga kamu pun tak tau. Aku akan membantumu. Aku akan
memberikan pendidikan yang ku tau. Tapi kali ini kamu harus peduli, kamu ngga boleh tutup telinga
lagi."

Delvi tercengang dengan apa yang baru dikatakan Sarah.

"Kamu ngga percaya aku?" Ucap Sarah jengkel. "Meskipun aku buta. Tapi aku cukup cerdas. Apa
kamu lupa kalau ayahmu menghabiskan banyak uang hanya untuk pendidikanku." Kali ini bangga.
"Aku akan membantumu, asal kamu bisa percaya padaku."

"Tentu saja aku percaya akan kemampuanmu, tapi aku masih ngga yakin sama diriku." Tutur Delvi
bimbang.

"Ayolah!! Tunjukkan pada mereka kalau kamu bisa. Dan tentu saja tunjukkan janjimu!."

Delvi dan Sarah saling menatap penuh arti.

"Baiklah.. Aku akan mencoba." Akhirnya Delvi menanggapi dengan yakin.


Sarah pun membantu Delvi dengan memberikannya segala pengetahuan bisnis yang ia tahu setiap
harinya, Sarah mengajarkan segalanya dengan antusias. Delvi pun dengan semangat menerima arahan
dan ilmu yang disampaikan Sarah. Lambat laun Delvi pun akhirnya bisa memimpin perusahaan-
perusahaan yang diwariskan kepadanya. Namun Sarah tak pernah berhenti untuk memberikan
bimbingan. Sarah selalu bisa membantu memberikan solusi, Sarah pun yang selalu bisa
membangkitkan semangat dan kepercayaan dirinya. "Udahlah! Jangan dengarkan omongan mereka!
Seperti apapun ejekan mereka, tunjukan pada mereka siapa dirimu sebenarnya." Nasehat Sarah yang
selalu menenangkan Delvi.

Delvi merasa senang setiap hari bisa melalui hari bersama Sarah, bisa menunjukkan bagaimana dia
hidup seperti yang ia janjikan. Namun ditengah-tengah itu ia pun harus merelakan hari setiap kali Sarah
pergi bersama Roy. Delvi meyakinkan diri, Sarah pastilah menyukai Roy.

Ketakutan Delvi pun terjadi, Sarah menceritakan bahwa Roy menyatakan cinta kepadanya.

"Bagaimana menurutmu?" Tanya Sarah tentang pernyataan cinta Roy.

"Kau orang baik, maka kau pantas dapatkan yang terbaik. Dan aku yakin Roy adalah yang terbaik."
Jawab Delvi berusaha tenang.

Maka tak lama kemudian Sarah dan Roy pun resmi pacaran, meski hati Delvi sakit tapi dia tetap
berusaha kuat menghadapi kenyataan itu. Dia tak ingin suasana hatinya membuat segala sesuatu yang
telah ia coba bangun kembali dengan bantuan Sarah menjadi hancur. Dia harus tetap terlihat kokoh
sebagai bukti janjinya kepada Sarah. Delvi pun menunjukkan dan membuktikan tak hanya kepada
Sarah tapi juga kepada dunia, bagaimana luar biasanya dia sekarang. Dia mampu menjalankan
perusahaan dengan sangat baik. Remehan dan cacian pun hanya berlalu begitu saja. Orang yang dulu
menjauh dan mencemooh pun kini datang mendekat. Sementara Sarah, orang yang sangat dia ingin
selalu berada di dekatnya, justru kian hari kian menjauh. Dia memahami itu, Sarah kini milik Roy dan
tentulah Sarah akan lebih memilih menghabiskan waktu bersama Roy dibanding bersama dia yang
bukan siapa-siapa.

Namun hubungan Sarah dan Roy tak berlangsung lama. Keluarga Roy tak menyetujui hubungan
mereka, mereka tak mau punya calon menantu yang buta.

"Aku mendengar sendiri bagaimana ibunya tidak menyukaiku, semua itu karena aku buta. Bukan hanya
ibunya, ayahnya pun tidak setuju... Ayahnya mendatangiku dan memintaku menjauhi Roy.
"Bodohnya aku, sempat berpikir bahwa akan ada orang tua yang setuju anaknya menikahi aku." Cerita
Sarah dengan tangisan

Delvi hanya diam mendengarkan, dia tak tau harus berkata apa. Dia tak tau harus memposisikan
dirinya dimana, dia senang Sarah kembali kepadanya, tapi dia tak tahan melihat tangisan itu. Dia ingin
melihat Sarah tersenyum dan bahagia.

Hari istimewa bagi Sarah pun tiba, hari disaat Sarah berulang tahun. Delvi sengaja membuat acara
makan malam untuk mereka berdua, Delvi memasak sendiri masakan yang akan disajikannya, dia
melakukannya setidaknya untuk mengurangi kesedihan Sarah. Ketika Sarah datang, Delvi sedikit heran
melihat dia memeluk sesuatu yang tampaknya seperti boneka kelinci dengan telinga yang panjang.

"Baru kali ini aku melihatmu membawa boneka?" Tanya Delvi.


"Ngga apa-apa kan aku membawa serta ini? aku ingin mengajak boneka kesayanganku ini makan
malam bersama kita." Pinta Sarah.

"Tentu saja. Hanya saja aku baru tau kamu penyuka boneka."

"Boneka ini spesial buat aku. Ini dari seseorang yang sangat aku sayangi. Aku ingin dia juga hadir
dalam acara spesial kita malam ini."

Delvi berpikir orang yang memberikan boneka itu pastilah Roy, "Baiklah... Kalau begitu sepertinya aku
harus menyiapkan tiga piring."

Keduanya tertawa geli mendengar gurauan Delvi itu. Malam itu mereka lewatkan dengan cada tawa.
Delvi senang melihat senyum yang hadir di wajah Sarah.

"Jika seandainya aku jin dalam lampu ajaib yang bisa mengabulkan tiga permintaanmu, apa yang akan
kamu inginkan?" Tanya Delvi tiba-tiba.

"Hemm... Apa ya? Duh akan banyak banget, tiga ngga akan cukup." Jawab Sarah santai.

"Ayolah!! Setidaknya yang paling kamu inginkan." Desak Delvi.

"Oke! Yang pertama... Hem... " Pikir Sarah sejenak. "Aku ingin bisa menikmati jalan-jalan, shopping
dan makan di mall layaknya orang-orang pada umumnya."

Delvi tak menyangka sesederhana itu keinginan Sarah, dia juga tak menyangka Sarah tak pernah
menginjakkan kaki ke Mall.

"Kok diam? Kamu pasti menertawakan keinginanku ya?!" Tanya Sarah

"Tentu saja enggak... Terus yang kedua?"

"Aku ingin hidup bahagia selamanya dengan orang yang sudah ngasih aku boneka ini." Jawab Sarah
seraya memeluk boneka itu.

Permintaan kedua ini membuat Delvi seakan susah untuk bernafas. Dia melihat keinginan mendalam di
mata Sarah waktu mengatakan permintaan keduanya itu. Dia yakin itu cinta, cinta yang tampaknya
begitu besar kepada Roy. Ia merasa kasihan melihat gadis yang dia cintai, tak bisa meraih cintanya.

"Terus yang ketiga?" Tanya Delvi lanjut.

Diam sejenak, lalu Sarah berkata dengan berkaca-kaca, "Aku ingin bisa melihat."

Delvi paling terkejut mendengar permintaan yang ini, ia ikut merasakan kesedihan mendalam itu.
Mereka berdua sama-sama tahu, keinginan itu tak mungkin terwujud. Sarah sudah pernah cerita pada
Delvi, bahwa kasus kebutaan yang dialami Sarah membuat seumur hidupnya tak akan pernah bisa
melihat bahkan dengan cara donor mata sekalipun.
"Mendengar permintaanku aku yakin kamu akan mengundurkan diri jadi jin." Ceplos Sarah membuat
mereka tertawa kecil.

"Apapun akan aku lakukan jika itu bisa membuatmu dapat melihat." Ucap Delvi serius.

Sarah pun tersenyum, "Terima kasih."

***

Esok harinya, Delvi meminta Sarah menemaninya ke suatu tempat. Tempat yang belum sempat ia
kunjungi selama ini, tempat yang telah menguburkan kedua orang-tuanya untuk selama-lamanya.
Dengan di temani seorang sopir mereka pun pergi.

"Maaf aku baru bisa mengunjungi kalian." Tutur Delvi dalam kebiruan. "Jujur aku tak sanggup jika
harus melihat kalian seperti ini."

Tiba-tiba saja Delvi tak kuasa membendung tangisannya. "Maaf atas kelakuanku selama ini. Dan
terima kasih atas segala yang telah kalian berikan kepadaku. Maaf baru kali ini aku mengucapkan
terima kasihku."

"Mereka pasti bangga padamu saat ini. Mereka pasti melihat betapa luar biasanya kamu kini." Hibur
Sarah yang berdiri di belakang kursi roda Delvi, seraya meletakkan jemari lembutnya di kedua pundak
Delvi. "Aku yakin itu..."

"Terima kasih. Aku harap begitu."


"Heeemm... Ayo ikut aku!" Ajak Delvi tiba-tiba.

"Kemana?" Tanya Sarah

Delvi pun membawa Sarah ke tempat yang selama ini tak pernah dipikirkan oleh Sarah untuk
dikunjungi. Tak butuh berapa lama mereka telah sampai di depan area bangunan yang sangat besar.
"Sebagai Jin dalam lampu ajaib, aku akan mengabulkan permintaanmu."

Sarah hanya tercengang, "Apa maksudmu?"

"Sekarang kita berada di depan sebuah Mall. Permintaanmu akan segera terkabul." Ucap Delvi dengan
gaya bicara yang dibuat-buat seakan dia seorang jin.

Sarah mengingat permintaan pertama yang diungkapkannya pada Delvi, dia tidak menyangka Delvi
menganggap serius keinginannya itu. Bahkan segera mengabulkannya.

"Setidaknya, hanya satu permintaan ini yang sepertinya sanggup aku wujudkan.
"Apa kamu siap?" Tantang Delvi seraya mengenggam tangan Sarah.

"Kamu serius?!"

"Tentu saja aku serius. Apa kamu takut? Tampaknya ini akan menarik. Orang-orang akan terbengong-
bengong melihat sepasang orang cacat, si lumpuh dan si buta nongkrong di Mall." Sambil tertawa
Delvi mencoba meyakinkan Sarah.
"Atau mereka justru menertawakan kita. Mereka pikir kita tersesat." Tambah Sarah yang juga ikut
tertawa.

"Jadi bagaimana? Apa kamu siap?!"

Hanya dengan senyuman dari Sarah, tampaknya Delvi sudah tau bahwa Sarah mengiyakan
tantangannya.

Mereka pun memasuki pusat perpelanjaan itu, dengan Sarah yang memegangi pegangan kursi roda
Delvi yang berada di belakang sandaran kursi roda.

"Tedeng... Pam para pam pam... Dengan bangga kupersembahkan inilah Mall." Delvi berkata dengan
logat yang dibuat-buat.

Sarah merasakan suara riuh dimana-mana. Dia merasakan atmosfer yang berbeda. Meski dia merasa
seakan terhimpit oleh suara-suara yang bercampur jadi satu tapi dia menyukai sensasi itu. Sarah masih
memegangi pegangan kursi roda, sementara Delvi yang memberi aba-aba kemana arah mereka
berjalan, Sarah pun mendorong kursi roda Delvi dengan bantuan aba-aba itu. Mereka terus
melakukannya dengan kompak selama berada dalam pusat perbelanjaan itu, seakan itu seperti
tantangan buat mereka. Beberapa kali Sarah salah mengartikan instruksi Delvi, dan Begitupun Delvi
salah memberi instruksi kepada Sarah, sehingga beberapa kali mereka menabrak tong sampah,
beberapa rak-rak etalase bahkan menabrak beberapa orang pengunjung.

"Ini seperti game show yang pernah aku tonton di TV." Ucap Delvi sambil tertawa geli atas apa yang
mereka lakukan.

Mereka hanya bisa tertawa karena ulah mereka itu. Sarah yakin pasti saat ini banyak yang melihat aneh
dan heran kepada mereka. Dan Delvi hanya berkata, "Cuek ajalah!! Kamu nikmati saja harimu ini!"

"Aku mau ke toko mainan." Ucap Sarah spontan. "Dari kecil aku ngga pernah ke situ. Aku pengen ke
situ."

Mereka pun menuju ke salah satu toko mainan. Di dalam toko, Delvi menjelaskan satu per satu mainan
yang ada di hadapan mereka. Saat Sarah meraba bentuk mainan-mainan itu, Delvi melihat kegirangan
anak kecil yang tampak di wajah Sarah.

"Coba kau pegang yang satu ini." Delvi menyodorkan salah satu mainan yang ada disitu ke tangan
Sarah.

"Apa ini?" Tanya Sarah seraya memegang benda itu.

"Coba kamu raba! Lalu tekan di bagian ini!" Saran Delvi seraya meletakkan jemari Sarah di salah satu
bagian benda itu.

Sambil meraba dengan sangat teliti, lalu menekan bagian yang disarankan Delvi, tiba-tiba benda itu
berbunyi. Sontak saja Sarah tertawa mendengarnya dan langsung menebak benda apa yang
dipegangnya. "Hahahaa ini kodok. Apakah kodok seperti ini? selama ini aku hanya bisa mendengar
suaranya saja." Kembali ia meraba boneka kodok itu dengan antusias.
"Ya seperti itulah kodok, tidak menakutkan seperti yang kamu duga kan?" Jawab Delvi

"Aku mau ini. Belikan aku satu ya! Please!!" Pinta Sarah manja.

"Jangankan yang itu, semua mainan yang ada disini beserta toko-tokonya kalau kamu mau akan aku
belikan." Balas Delvi bersungguh-sungguh.

Sarah tersenyum mendengar itu, "Aku cuma mau yang ini."

Delvi senang melihat senyum itu, dia akan melakukan apapun hanya agar dapat melihat senyum itu
terus, "Baiklah jika itu maumu.... Sekarang kita ke mana?."

"Aku lapar... " Jawab Sarah polos.

Mereka pun menuju ke resto terdekat. Delvi melihat banyak sekali mata yang memandang mereka
seolah mereka makhluk dari planet lain. Ada yang berbisik, ada yang menyenggol temannya saat
mereka lewat, bahkan ketika mereka sudah sampai di meja makan ada yang terang-terangan menyindir
mereka.
"Eh lihat deh, ada dua orang cacat yang ikut makan disini!" Kata salah seorang disitu. "Yang satu buta
dan yang satu di kursi roda, kasian sih. Tapi gua kok jadi risih ya liatnya."

"Gimana caranya si buta makan ya? Pasti si kursi roda deh yang nyuapin." Timpal salah satunya lagi,
"Mereka ngga malu apa ya?"

Sarah mendengar gerakan Delvi, dia tau Delvi ingin bertindak karena mendengar ocehan itu. Namun
sekilat itu juga Sarah menangkap pergelangan tangan Delvi yang dia tau ada di atas kursi rodanya tepat
di samping Sarah duduk. "Udah biarin aja! Toh yang mereka bilang benar. Kita memang si buta dan si
kursi roda."

"Tapi ngga semestinya mereka...."

"Udahlah..." Potong Sarah. "Itu hanya membuatmu tampak bodoh saja jika melayani ocehan mereka.
Biarkan saja mereka dengan ejekan mereka. Yang penting kita... " Sarah tidak melanjutkan kata-
katanya.

"Yang penting kita apa?" Tanya Delvi heran.

"Yang penting kita makan." Jawab Sarah dengan terkekeh.

Delvi pun jadi ikut tertawa mendengarnya. Lalu berusaha mengabaikan tatapan dan ocehan-ocehan
sumbang yang didengarnya. Merekapun memesan makanan yang belum pernah Sarah rasakan
sebelumnya. Makan siang kali ini terasa berbeda bagi mereka berdua, mereka makan di sekeliling
orang yang tampak memperhatikan mereka, tapi mereka berdua tampak acuh dan seakan hanya mereka
berdua yang ada disitu. Beberapa kali Delvi tertawa melihat ekspresi Sarah ketika merasakan makanan
yang baru pertama kali dia makan. Hari itu seakan jadi hari mereka, tak ada kesedihan hanya tawa
canda yang hadir. Hingga tiba-tiba Delvi membahas sesuatu yang serius. "Jujur, aku masih ngga ngerti
sama kehidupan. Apakah kehidupan yang kita jalani adalah karma?"
"Kenapa kamu ngomong gitu?" Tanya Sarah heran.

"Apa yang telah aku alami sekarang ini, kondisiku yang sekarang ini... Membuat aku sadar, ini adalah
hukumanku atas semua yang pernah aku lakukan. Berapa banyak orang yang telah aku sakiti dan
permainkan. Betapa dulu aku mempermainkan apa yang namanya kehidupan.
"Dan inilah cara Tuhan menegurku... Aku begini karena dosaku. Ini Karmaku." Jelas Delvi

Sarah hanya diam mendengarkan

"Tapi... Seharusnya berbeda padamu. Kau orang yang baik, kau jauh berbeda dibanding orang seperti
aku. Tapi kenapa Tuhan membuatmu tak bisa melihat seumur hidupmu? Bagiku itu tak adil..." Jelas
Delvi berapi-api.

Sarah kini tersenyum, lalu berkata, "Itulah yang namanya takdir. Ngga ada yang tau seperti apa
jalannya. Tapi bagaimanapun itu kita harus tetap menjalaninya. Hingga kita tau bagaimana kita melalui
jalan itu dan bagaimana akhir perjalanan itu.
"Jujur aku ngga percaya adanya karma... Bagiku yang terjadi padamu adalah hadiah, bukannya aku
mensyukuri keadaanmu yang sekarang. Hanya saja, mungkin jika semua ini ngga terjadi kamu ngga
akan pernah bicara padaku seperti saat ini, mungkin aku ngga akan pernah dengar kamu ngucapin maaf
atau terima kasih seperti saat di hadapan makam orang tuamu tadi... Dan mungkin saja kamu ngga akan
jadi pebisnis yang sehebat sekarang." Jelas Sarah dengan bijak.

Entah mengapa Delvi merasa tenang atas penjelasan Sarah itu. "Lantas tentang dirimu?"

"Apa kamu menyesal dengan keadaanku yang buta ini?"

"Tentu saja tidak. Hanya saja kamu akan menjadi sangat sempurna jika bisa dapat melihat."

"Bagiku... Kekurangan sesuatu pada diriku bukanlah ketidaksempurnaan, karena kekurangan itu adalah
cara Tuhan membuat aku agar jadi sempurna." Lanjut Sarah.

"Ya.. Aku bisa melihat dan merasakan kesempurnaan pada dirimu."

Sarah tersenyum malu mendengar itu. "Coba deh bayangkan! Andai saja aku bukanlah gadis yang buta,
apa kamu yakin aku akan tetap sama seperti Sarah yang kamu kenal?! Bisa saja aku jadi gadis yang
arogan. Untuk itu, aku cuma bisa bersyukur atas apa yang sekarang terjadi padaku, menurutku
kehidupan sudah adil. Tuhan sudah bertindak adil padaku.
"Bagaimana Tuhan memberiku Ayah yang sangat menyayangiku, bagaimana Tuhan mengirim orang
seperti orang-tuamu yang peduli padaku. Dan bagaimana Tuhan... membuatku mengenalmu." Senyum
hadir saat Sarah menjelaskan semua itu.

"Aku makin kagum padamu, sekaligus membuat aku malu pada diriku sendiri. Kamu benar-benar kuat"

"Aku ngga sekokoh itu, aku juga manusia biasa.


"Tetap ada pengandaian pada diriku. Bukan berarti aku ingkar dari bersyukur. Itu manusiawi kan? Aku
ingin bisa melihat, bukan berarti aku ngga terima dengan keadaanku. Aku ingin tau bagaimana wajah
dunia, bagaimana wajah kodok ini.." Ucap sarah seraya memamerkan kodok yang dia pegang.
"Bagaimana wajah ayahku... Dan bagaimana wajahmu.." Lanjutnya begitu saja.
"Wajahku..?" Tanya Delvi sekenanya

"Ya.. Aku dengar kau adalah pria yang luar biasa tampan, katanya kau sangat mempesona. Ngga heran
banyak yang tergila-gila padamu."

"Benar kah kau dengar seperti itu? Apa kau pikir aku benar-benar tampan?" Tanya Delvi dengan geli.

"Atau kamu ngga setampan yang aku bayangkan."

"Mungkin dulu iya.. Tapi sekarang, kau tau sendiri bagaimana aku. Wanita pasti akan enggan
bersamaku. Dulu waktu aku tidak lumpuh saja, aku tau pasti tak ada wanita yang mencintaiku dengan
tulus." Ucap Delvi muram.

"Bagaimana kamu tau? Mungkin saja ada yang mencintaimu tulus."

"Mana mungkin... Tak ada wanita yang aku perlakukan layak waktu itu."

"Ya... Siapa yang tau."

"Entahlah..."

***

Setelah menghabiskan satu hari untuk bersenang-senang, Delvi merasa lega karena setidaknya ia bisa
mewujudkan satu dari tiga keinginan Sarah yang diungkapkannya kepada Delvi. Ada kebahagiaan
tersendiri bagi Delvi ketika melihat senyum Sarah setiap ia merasa bahagia. Untuk itu ia ingin terus
berusaha agar Sarah bisa selalu bahagia. Dan kali ini ia pun harus rela mengorbankan perasaannya, ia
harus sanggup merelakan cintanya demi mewujudkan keinginan Sarah yang kedua. Delvi berjanji pada
dirinya sendiri untuk melakukan apa saja agar Sarah dapat kembali bersama orang yang dicintainya,
yaitu Roy.

Delvi pun berusaha untuk bertemu Roy, berusaha untuk meyakinkan Roy agar kembali kepada Sarah.

"Apa kamu mencintai Sarah?" Tanya Delvi kepada Roy.

"Tentu saja... Sarah adalah satu-satunya wanita yang aku cintai. Meski orang tuaku melarang hubungan
kami, tapi aku tetap ingin bersamanya. Bahkan aku mengajaknya menikah meski tanpa restu orang
tuaku.
"Namun... Sarah menolak keinginanku, ia malah memintaku mengakhiri saja hubungan kami. Ia tak
ingin aku menentang orang tuaku." Jelas Roy dengan sedih.

"Seharusnya kamu terus meyakinkan Sarah! Kamu jangan menyerah begitu saja." Tantang Delvi.

"Aku sudah berusaha... Dia bilang orang tuaku harusnya jadi prioritas utamaku bukannya dirinya. Dan
kamu tau sendiri bagaimana kerasnya Sarah. Aku tak bisa memaksakan keinginanku, aku terpaksa
menuruti keinginannya." Lanjut Roy.

"Jika kamu mencintainya harusnya kamu terus memperjuangkannya!"


"Aku... Aku..." Roy terbata-bata.

"Apa kamu rela kehilangan orang seperti Sarah?"

Roy tak mampu menjawab, justru tampak heran dengan sikap Delvi. "Apa kamu mencintainya?" Tanya
Roy tiba-tiba.

"Apa?"

"Apa kamu mencintai Sarah?"

Delvi hanya terdiam sesaat, lalu, "Aku hanya ingin membantu Sarah, aku ingin dia bahagia. Karena
selama ini dia telah berarti banyak dalam membantu kehidupanku."

"Hanya itu... Apa hanya itu? Entah mengapa caramu ini justru membuatku berpikir lain.
"Apa kamu mencintai Sarah?" Roy masih menanyakan hal yang sama.

Delvi merasa salah tingkah, tak tau harus menjawab apa. "Ya BENAR... Aku mencintai Sarah."

"Lalu kenapa kamu malah...?" Tanya Roy bingung kata-kata apa yang tepat untuk menggambarkan apa
yang dilakukan Delvi.

"Aku memang mencintai Sarah, karena itu aku tak sanggup melihat dia menderita. Aku memang
mencintainya, tapi rasa itu tidak lebih besar dari keinginanku untuk membuatnya selalu bahagia...
"Tak tau siapa diantara dari kita yang paling besar mencintainya. Tapi itu tak jadi soal, karena toh
kenyataannya kamulah yang dicintai Sarah."

"Tapi kamu tau sendiri, Sarahlah yang mengakhiri hubungan kami."

"Dan kamu akan diam begitu saja. Apa kamu tak tau bagaimana sedihnya dia sekarang?"

"Jadi menurutmu aku harus bagaimana? Aku tak tau.. Aku bingung." Ucap Roy seraya mengacak-acak
rambutnya.

"Jadi kuncinya adalah orang tuamu?"

Roy hanya menatap Delvi, berharap ada sesuatu dari Delvi yang dapat membantunya.

"Baiklah kalau begitu. Aku pergi dulu. Tapi aku harap kamu memperjuangkan cintamu!" Ucap Delvi
berlalu.

Setelah mendatangi Roy, Delvi pun mendatangi orang tua Roy, memohon agar mereka mau menerima
Sarah. Tentu saja tak semudah yang dibayangkan Delvi, orang tua Roy tetap bersikeras dengan
keputusan mereka.

"Sarah berperan penting dalam kehidupanku... Dia mengubah segala sesuatu yang salah pada diriku
menjadi sesuatu yang benar. Kalian harus tau betapa luar biasanya gadis itu." Jelas Delvi.
Delvi menceritakan segala keistimewaan pada diri Audey, bagaimana kesabaran dan kecantikan hati
yang dimilikinya. Ibu Roy sedikit tergugah mendengar kisah Delvi, dia menjadi simpati pada sosok
Sarah. Namun harga diri tetap membutakan hatinya. Hingga terpaksa Delvi menggunakan jalan lain,
yaitu menawarkan aset kekayaan yang dimiliki Delvi asalkan mereka mau menerima Sarah. Ayah Roy
yang tergiur akan itu justru merendahkan harga diri mereka dengan mau menerima tawaran itu. Delvi
agak terkejut dengan sikap kedua orang tua Roy ini, yang selama pembicaraan selalu
mengatasnamakan harga diri dan nama baik, tapi begitu mengenai uang... hilang begitu saja. Namun
Delvi tak perduli, ia senang akhirnya selangkah lagi keinginan Sarah akan terkabul.

***

"Kamu mau bawa aku kemana?" Tanya Sarah kepada Delvi, di dalam mobil yang melaju.

"Ke suatu tempat..." Jawab Delvi singkat

"Jangan bikin aku penasaran deh!"

"Heemmm... Yang jelas kita akan menuju ke tempat yang nantinya akan mengantarkan kamu menuju
ke kebahagiaan yang kamu inginkan."

"Apa-apaan deh? Ngga usah berbelit-belit gitu. Cepat katakan!!" Paksa Sarah penasaran

"Sebentar lagi kita juga sampai."

Sarah penasaran kemana Delvi akan membawa mereka. Hingga mobil yang membawa mereka
berhenti.

Sarah merasakan angin malam membelai rambutnya ketika mereka tiba di ujung suatu tempat, suara
deburan air terdengar memecah keheningan malam. Aroma air laut terasa menggugah indra
penciumannya. Ia yakin saat ini berada di dermaga suatu pantai.

"Ada meja makan dengan hidangan yang lezat di hadapan kita sekarang... Duduklah!" Ucap Delvi
seraya menuntun Sarah ke tempat duduknya.

Sarah pun duduk dan tersenyum menikmati keindahan walau hanya dapat dirasakan indra penciuman
dan pendengarannya.

"Meskipun kamu tak dapat melihat tapi aku tau kamu bisa merasakan keindahan tempat ini." Tutur
Delvi.

"Ya... Sepertinya ini akan jadi malam yang romantis."

Delvi tertegun mendengar perkataan itu. Tapi dia ingat tujuan awalnya. "Sebentar lagi keinginanmu
yang kedua pada Jin lampu ajaib akan segera terkabul." Ucap Delvi dengan aksen yang dibuat-buat.

Sarah terkejut, dia ingat betul keinginan itu. Apakah Delvi akan mewujudkannya. Gugup, rasa tak
percaya dan senang bercampur jadi satu.

"Aku senang kamu bahagia.... Aku pergi dulu mengambil kejutannya." Ucap Delvi seakan berbisik.
Sarah pun mendengar Delvi menjauh pergi, tak menunggu beberapa lama ia mendengar suara yang
mendekat. "Apa kejutannya? Buruan jangan bikin aku penasaran!" Ucap Sarah

"Halo Sarah"

Sapaan itu membuat Sarah terkejut, dia kaget mendengar suara itu.

"Roy?? Kenapa kamu disini? Mana Delvi?" Tanya Sarah heran.

"Kamu cantik banget malam ini." Hanya itu yang keluar dari mulut Roy.

Sarah hanya terbengong-bengong dengan keberadaan Roy.

"Aku senang akhirnya kita bisa bersama lagi. Aku selalu mencintaimu Sarah."

Sarah berusaha memahami keadaan yang tiba-tiba ini. Tampak panik dalam wajahnya, ia hanya
menggeleng-gelengkan kepala sehingga membuat Roy bingung.

"Ada apa? Apa kamu tidak suka aku disini?" Tanya Roy

"Aku hanya ngga ngerti kenapa kamu disini." Ucap Sarah polos

Roy menceritakan segalanya pada Sarah, menceritakan bagaimana Delvi berusaha menyatukan mereka
kembali. Air mata pun keluar tak terkendali dari mata Sarah, dia tak percaya Delvi begitu bodoh
membaca situasi. Dan bagaimana dia salah memahami, disaat dia tahu ternyata Delvi mencintainya
seperti yang dikatakan Roy.

"Aku pikir kau mencintaiku." Ada kegetiran di suara Roy.

"Aku menyukaimu. Aku akui itu... Kau hadir disaat aku takut dengan perasaanku. Aku merasa tak
mungkin dia menyukaiku, aku sadar siapa diriku. Sehingga aku mencoba membuka hatiku untukmu,
berharap kau bisa mengisi hatiku yang sejak dulu aku kemas untuk dia. Ternyata aku salah... Keadaan
pun menyadarkanku, kita tak bisa memaksa orang tuamu, itu seakan teguran takdir. Aku tak bisa
memaksakan hatiku.... Maafkan aku!! Maafkan karena telah melibatkanmu dalam situasi ini." Sarah
menangis dalam kata. "Aku tak tau harus bagaimana..." Tangisnya seakan berlomba dengan deburan
ombak.

"Dia mencintaimu.... Dia sangat mencintaimu. Itu yang harus kau tau." Ucap Roy mengatasi tangisan
Sarah.

"Maafkan aku... " Pinta Sarah.

"Tak ada yang perlu dimaafkan. Aku ngga menyesal telah hadir dalam situasi ini, malah aku bersyukur
telah mengenal dua orang hebat dalam kehidupanku." Tutur Roy menenangkan. "Dia mengajarkanku
bahwa melihat orang yang kita cintai bahagia jauh di atas rasa cinta itu sendiri. Kejarlah cintamu!
Kalian berdua layak untuk bahagia."

***
Delvi termenung di balkon sebuah Villa yang dari tadi malam dia kunjungi, sudah lama dia tak
menginjakkan kaki ke villa milik keluarganya ini. Biasanya waktu kecil jika ia ditinggal orang tuanya
pergi, ia akan minta diantar ke Villa ini. Sambil memandang keindahan langit tak berbatas, Delvi
berusaha mengingat masa kecil yang pernah dia lalui namun kini seakan terlupakan olehnya... Dia
melihat sebuah boneka kelinci tergeletak di atas bangku panjang di sudut balkon. Boneka kelinci milik
Sarah itu tertinggal di dalam mobilnya saat dia mengantar Sarah ke dermaga dekat pantai kemarin
malam. Ia meraih boneka itu, sambil tersenyum ia memperhatikan setiap inchi bentuk boneka itu. Tiba-
tiba ia melihat kelinci itu memakai gelang yang berlabelkan sebuah nama. Nama yang menyontakkan
ingatannya.. Label itu tertera namanya, Delvi.

Delvi kecil selalu menghabiskan waktu di rumah dengan bermain bersama para pembantu. Tak ada
teman sebaya yang menemaninya karena orang tuanya terlalu mengekangnya dalam pertemanan masa
kecil, mereka terlalu khawatir anak mereka akan mengalami apa-apa jika bergaul di luar. Hingga
hadirlah seorang anak pembantu yang mengisi hari-harinya dengan bermain, meskipun ia seorang gadis
kecil yang buta. Delvi kecil selalu mencoba melindungi si gadis buta itu, menghiburnya di kala sedih
dan melakukan apa saja untuk membuatnya tertawa. Termasuk memberikan sebuah boneka kelinci.

"Aku harap kelinci ini, bisa selalu nemani kamu kalau aku ngga ada. Jangan sedih lagi ya!!" Ucap
Delvi kecil kepada gadis kecil buta yang menangis. "Kodok itu tidak akan berani mengganggumu...
Jadi jangan takut hanya karena suaranya!"

Kenangan masa kecil itu seakan mengubah segalanya. Delvi merasa bodoh bisa begitu gampangnya
melupakan hal yang justru menjadi kunci segalanya. Ketika dia memutar kursi rodanya betapa
terkejutnya ia melihat gadis buta yang ketika kecil sangat ia lindungi berdiri di pintu balkon. Gadis itu
kini berlinang air mata.

"Sarah?!"

"Kenapa kamu begitu bodoh! Kenapa kamu ngga ingat sama sekali tentang aku?" Isak Sarah. "Kenapa
kamu ngga ingat sama boneka kelinci? Tentang kodok yang dulu sangat aku takuti. Seharusnya kamu
tau kenapa aku mau mainan kodok itu."

"Ya, aku emang bodoh. Tapi sekarang aku ingat tentang kelinci ini." Kata Delvi berusaha mengatasi
tangis Sarah.

"Kenapa kau tidak bilang jika kau mencintaiku?" Tanya Sarah.

"Aku merasa tak pantas untukmu, kau pantas mendapatkan yang lebih baik. Belum lagi ada Roy di
kehidupanmu."

"Aku gadis buta, justru aku yang tak pantas untukmu. Aku anak pembantu, kamu harus ingat itu. Dan
tentang Roy, kamu juga harus ingat dia seorang dokter. Aku sering bertemu dia untuk berkonsultasi
tentang kesehatanmu. Aku sering menanyakan penampilanku ke kamu, karena aku ingin kamu
menilaiku, aku ingin tampil menarik di depanmu. Tapi tampaknya kau tak pernah sadar hingga Roy
menyatakan cinta padaku." Ucap Sarah diantara linangan air mata.

Delvi mendekati Sarah perlahan dengan kursi rodanya, menatap wajah yang seakan telah lama tak
dilihatnya. "Aku mencintaimu Sarah. Maafkan aku begitu bodoh."
Sarah berusaha meresapi kalimat indah itu.

"Aku mencintaimu Delvi. Maafkan aku begitu bodoh." Ucap Sarah masih dengan tangisan.

Delvi meraih jemari Sarah lalu menggenggamnya lembut. "Maukah kau menerima cintaku, dengan
segala kecacatanku ini."

Sarah pun duduk berlutut menghadap Delvi yang duduk di kursi roda. "Aku yang cacat ini menerima
segala cintamu."

Saat jari-jemari mereka saling bergenggaman, tiba-tiba Delvi berkata denga aksen yang sangat dihafal
Sarah. "Pam para pam pam Keinginan keduamu terkabul."

Mereka berdua pun tertawa menguasai tangis.

"Janji jangan pernah menangis lagi!" Pinta Delvi kepada Sarah seraya menghapus air mata di pipi
Sarah.

Sarah hanya mengangguk lembut.

"Permintaan ketigamu akan terkabul." Tiba-tiba Delvi berkata yang membuat Sarah terkejut.

"Jangan bercanda! kita berdua sama-sama tau." Ucap Sarah merajuk manja.

"Aku ngga bercanda".

Sarah masih tak mengerti

"Aku akan menjadi mata bagimu, aku akan menjadi pengelihatan bagimu. Kau akan melihat apa yang
aku lihat." Delvi meyakinkan Sarah. "Aku adalah mata bagimu."

Sarah terharu mendengar itu. Delvi pun meraih wajah gadis itu lalu mengecup bibir indahnya.

Anda mungkin juga menyukai