Anda di halaman 1dari 119

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN HUBUNGANNYA

DENGAN KUALITAS PERAIRAN MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

OLEH

F. KASTRO SIMANJUNTAK
NIM. 087030008

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara


KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KUALITAS PERAIRAN MUARA SUNGAI ASAHAN

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Biologi pada
Sekolah Pascasarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara

OLEH

F. KASTRO SIMANJUNTAK
087030008

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN
HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN MUARA SUNGAI
ASAHAN
Nama : F. KASTRO SIMANJUNTAK
NIM : 087030008
Program Studi : BIOLOGI

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M. Sc Prof. Dr. Dwi Suryanto,


M. Sc
Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc Dr. Sutarman, M. Sc

Tanggal Lulus: 30 Juli


Telah diuji pada

Universitas Sumatera Utara


Tanggal: 30 Juli 2010
---------------------------------------------------------------------------------------------------
----

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M. Sc


Anggota : Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc
: Prof. Dr. Ir. Sengli J. Damanik, M. Sc
: Dr. Suci Rahayu, M. Si
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah benar-benar hasil
karya saya sendiri dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah untuk

Universitas Sumatera Utara


memperoleh gelar kesarjanaan pada perguruan tinggi dan lembaga manapun.
Sumber imformasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini.

Medan, 30 Juli 2010


Penulis

F. Kastro Simanjuntak

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Penelitian yang berjudul Keanekaragaman Plankton dan Hubungannya


dengan Kualitas Perairan Muara Sungai Asahan telah dilakukan pada bulan
Agustus 2009. Pengambilan sampel dilakukan di tiga stasiun penelitian, tiga
kedalaman yaitu kedalaman 0 m (permukaan), kedalaman batas penetrasi cahaya,
kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya, dan tiga kali ulangan. Penentuan titik
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode Purporsive
Random Sampling. Sampel plankton diambil dengan menggunakan alat plankton
net. Identifikasi sampel plankton dilakukan di Laboratorium Ekologi, Departemen
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera
Utara Medan.
Hasil penelitian didapat sebanyak 12 kelas plankton yang terdiri dari 5
kelas fitoplankton dan 7 kelas zooplankton. Nilai kelimpahan, kepadatan relatif
dan frekuensi kehadiran tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu dari genus
Coscinodiscus, kelas Coscinodiscaceae sebesar 13591,83 individu/l, 14,59 % dan
100 %. Total kelimpahan tertinggi terdapat pada Stasiun 3 sebesar 93142,85
individu/l. Sedangkan total nilai kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 1
sebesar 19102,041 individu/l.
Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2,92
sedangkan nilai keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 2,48
Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,48
sedangkan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,78. Nilai
indeks similaritas tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan 2 sebesar 74,285%
sedangkan nilai indeks similariras terendah terdapat pada stasiun 1 dengan 3
sebesar 59,793%.
Analisis varian antar stasiun menunjukkan nilai indeks keanekaragaman
dan kelimpahan plankton antara stasiun 1 dengan 2, Stasiun 1 dengan 3, Stasiun 2
dengan 3 tidak ada perbedaan yang nyata, artinya komunitas ini mirip. Sedangkan
analisis varian antar kedalaman menunjukkan nilai indeks keanekaragaman dan
kelimpahan plankton antara kedalaman 0 m (permukaan) dengan kedalaman batas
penetrasi cahaya, dan dengan kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya tidak
ada perbedaan yang nyata, sedangkan antara kedalaman 0 m (permukaan) dengan
kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya adalah beda nyata.
Analisis korelasi Pearson sifat fisika-kimia perairan terhadap nilai indeks
kelimpahan plankton menunjukkan bahwa suhu, penetasi cahaya, intensitas
cahaya, TDS, pH, salinitas, DO, dan fosfat berkorelasi positif, sedangkan TSS,
BOD 5, COD dan nitrat berkorelasi negatif. Kualitas air berdasarkan nilai indeks
keanekaragaman masuk kategori tercemar sedang.

Kata kunci : Plankton, Muara Sungai Asahan

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

This study deals with The diversity of Plankton and Its relations with the
Quality of Sungai Asahan Mouth’s Waters, the research has been conducted on
August 2009. Sample was taken from three stations with three depth namely 0 m
(surface), depth of end line in light penetration, depth under end line of light
penetration, and three repetitions. In defining the points of taking sample is by
adopting purposive random sampling. Sample of plankton was taken there using a
net plankton tool. For identification of plankton sample was completed at Ecology
Laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
North Sumatra University Medan.
The outcome there were obtained 12 plankton class comprising 5 pytho-
plankton Class and 7 Zooplankton Class. The highest abundantly rate, relative
dense and the emerging frequency found on station 3 there are Coscinodiscus
genus, Coscinodiscaceae Class is 13591,83 individu/l, 14,59% and 100%, The
totality highest abundantly rate on Stasion 3 of 93142,85 individu/l. Where as the
totality lowest abundantly rate was noted on station 1 of 19102.041 individu/l.
The highest diversities index rate was found on station 3 noted 2.92 whereas
the lowest diversities rate noted on station 1 of 2.48. The highest equality index
rate found on station 1 was noted 0.48 while the lowest equality rate was found on
station 3 with 0.78. The highest similarities index rate was found on station 1
noted 74.285% whereas the lowest similarities index rate was found on station 1
and 3 with 59.793%.
The variance analysis inter stations showed its diversity index rate and
abundantly plankton between Station 1 and 2, Station 1 and 3, Station 2 and 3
there is no significantly difference indicated this community is resemblance. Still,
the variance analysis between its depth showed its diversity index rate and
abundantly plankton inter depth 0 m (surface) with the depth of end line light
penetration, for the depth under end line of light penetration there is no significant
difference, whereas between the depth 0 m (surface) with the depth under end line
of light penetration is significantly different.
The analysis correlation of Pearson on physical and chemical properties of
waters over the abundantly plankton index rate showed that temperature, light
penetration, light intensity, TDS, pH, salinity, DO, and phosphate correlated
positively, whereas TSS, BOD 5 , COD and nitrate correlated negatively. The
quality of water based its diversities index rate is classified into a moderate
polluted.

Keywords : Plankton, Asahan River mouth

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Penelitian ini berjudul, "Keanekaragaman Plankton dan Hubungannya

dengan Kualitas Perairan Muara Sungai Asahan". Hasil penelitian ini dituangkan

dalam bentuk tulisan berupa tesis yang merupakan salah satu syarat dalam

penyelesaian studi pada Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ing. Ternala

Alexander Barus. MSc. sebagai Dosen Pembimbing I dan Prof. Dr. Dwi Suryanto,

MSc. sebagai Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan

bimbingan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian, dan penulisan

tesis ini sehingga selesai.

Penulis juga menyampaikan banyak terima kasih kepada rekan-rekan

mahasiswa Program Studi Magister Biologi angkatan 2008 yang telah banyak

memberi masukan atau saran sehingga selesainya penelitian dan tulisan ini.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sengli J. Damanik, M. Sc dan Dr. Suci Rahayu, M. Si., sebagai

dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan masukan dalam

penyempurnaan penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M. Sc., sebagai Ketua Program Studi Magister Biologi

Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara Medan.

Universitas Sumatera Utara


3. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Program Studi Magister Biologi

Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah membekali penulis berbagai

disiplin ilmu.

4. Gubernur Propinsi Sumatera Utara dan Ketua Bapeda Propinsi Sumarera Utara

yang telah memberikan beasiswa S-2 kepada penulis.

5. Istri (Dra. Maria Damenta Sinulingga) dan anak-anak yang kami sayangi

(Fieldta Roully Egia, Ramosta Charisma Hocky dan T. Dian Adinda) serta

orang tua dan mertua yang kami hormati.

6. Keluarga besar SMA Swasta Angkasa Lanud Medan.

7. Rekan-rekan dalam tim penelitian dan adik-adik mahasiswa yang telah

meluangkan waktunya menemani penulis sejak mulai survei sampai penelitian.

Akhir kata semoga Tuhan selalu menyertai dan memberkati kita dalam semua

aktivitas kita masing-masing. Terima kasih.

Medan, 30 Juli 2010

Penulis

F. Kastro Simanjuntak

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...................................................................................................... i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................... iii
DAFTAR ISI................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian............................................................................. 3
1.4. Hipotesis .......................................................................................... 3
1.5. Manfaat Penelitian........................................................................... 4
1.6. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 5

BAB II TINJUAN PUSTAKA ...................................................................... 6


2.1. Ekosistem Estuaria .......................................................................... 6
2.1.1. Tipe Estuaria.......................................................................... 6
2.1.2. Sifat Fisik Estuaria ................................................................ 7
2.1.3. Biota Estuaria ........................................................................ 9
2.2. Planton dan Pembagiannya.............................................................. 11
2.3. Ekologi Plankton ............................................................................. 11
2.4. Plankton Sebagai Bioindikator ........................................................ 13
2.5. Parameter Fisika - Kimia ................................................................. 13

BAB III BAHAN DAN METODA................................................................ 23


3.1. Tempat, Waktu dan Metode Penelitian ........................................... 23
3.2. Deskripsi Area ................................................................................. 23
3.3. Pengambilan Sampel Plankton ........................................................ 25
3.4. Pengukuran Faktor Fisika dan Kimia .............................................. 26
3.5. Identifikasi Plankton........................................................................ 30
3.6. Analisis Data.................................................................................... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 37


4.1. Identifikasi Plankton........................................................................ 37
4.2. Kelimpahan Plankton ...................................................................... 39
4.3. Indeks Keanekaragaman (H’) dan Keseragaman (E)
Masing-masing Stasiun Penelitian dan Kedalaman ....................... 49
4.4. Indeks Similaritas (IS) ..................................................................... 53
4.5. Faktor Abiotik Perairan ................................................................... 54

Universitas Sumatera Utara


4.6. Korelasi/Hubungan Antara Keanekaragaman dan
Kelimpahan Plankton dengan Sifat Fisika-Kimia
Perairan............................................................................................ 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 73


5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 73
5.2. Saran ................................................................................................ 74

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

2.1 Pengelompokan Plankton Berdasarkan Ukuran dan Contoh


Biotanya.................................................................................................. 11

2.2. Klasifikasi Air Berdasarkan Nilai Salinitasnya (Schlieper,


1958) ....................................................................................................... 20

3.1. Parameter Fisika-Kiamia, Satuan, Alat dan Tempat


Pengukuran ............................................................................................. 30

3.2. Klasifikasi tingkat pencemaran berdasarkan indkes


Shannon-Wiener ..................................................................................... 34

4.1. Planton yang ditemukan pada setiap stasiun penelitian.......................... 37

4.2. Nilai Kelimpahan Plankon (Ind/1), Kelimpahan Relatif (%)


dan Frekuensi Kehadiran (%) yang Didapatkan Pada
Masing-masing Staisuan Penelitian........................................................ 40

4.3. Nilai Kelimpahan Plankton (Ind/1), Kelimpahan Relatid dan


Frekuensi Kehadiran (%) yang Didapatkan Pada Masing-
masing Kedalaman Disetiap Stasiun Penelitian ..................................... 44

4.4. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks


Keseragaman (E) pada Masing-masing Staisun Penelitian
dan Kedalaman ....................................................................................... 50

4.5. Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Penelitian .................................. 54

4.6. Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan Pada Masing-masing


Staisun Penelitian ................................................................................... 56

4.7. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Indeks


Keanekaragaman Planton dengan Faktor Fisik-Kimia
Perairan................................................................................................... 69

4.8. Nilai Koefisien Korelasi ......................................................................... 71

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1.1 Kerangka pemikiran ............................................................................... 5

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO ............................ 80

2. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BDO 5 ........................ 81

3. Bagan Kerja Untuk Mengukur COD ..................................................... 82

4. Bagan Kerja Untuk Mengukur Kadar Organik Substrat ....................... 83

5. Bagan Kerja Kandungan Nitrat (NO 3 ) .................................................. 84

6. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO 4 )........................................................ 85

7. Foto Peta Lokasi Penelitian ................................................................... 86

8. Foto Lokasi Pengambilan Sampel ......................................................... 87

9. Data Mentah Plankton ........................................................................... 88

10. Contoh Perhitungan (K, KR, FK, H’, E, dan IS)…………………. ...... 92

11. Contoh Perhitungan Analisis Varian...................................................... 93

12. Gambar Beberapa Contoh Plankton Hasil Penelitian............................ 98

13. Analisis Korelasi.................................................................................... 104

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Penelitian yang berjudul Keanekaragaman Plankton dan Hubungannya


dengan Kualitas Perairan Muara Sungai Asahan telah dilakukan pada bulan
Agustus 2009. Pengambilan sampel dilakukan di tiga stasiun penelitian, tiga
kedalaman yaitu kedalaman 0 m (permukaan), kedalaman batas penetrasi cahaya,
kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya, dan tiga kali ulangan. Penentuan titik
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode Purporsive
Random Sampling. Sampel plankton diambil dengan menggunakan alat plankton
net. Identifikasi sampel plankton dilakukan di Laboratorium Ekologi, Departemen
Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera
Utara Medan.
Hasil penelitian didapat sebanyak 12 kelas plankton yang terdiri dari 5
kelas fitoplankton dan 7 kelas zooplankton. Nilai kelimpahan, kepadatan relatif
dan frekuensi kehadiran tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu dari genus
Coscinodiscus, kelas Coscinodiscaceae sebesar 13591,83 individu/l, 14,59 % dan
100 %. Total kelimpahan tertinggi terdapat pada Stasiun 3 sebesar 93142,85
individu/l. Sedangkan total nilai kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 1
sebesar 19102,041 individu/l.
Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2,92
sedangkan nilai keanekaragaman terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 2,48
Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,48
sedangkan nilai keseragaman terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,78. Nilai
indeks similaritas tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan 2 sebesar 74,285%
sedangkan nilai indeks similariras terendah terdapat pada stasiun 1 dengan 3
sebesar 59,793%.
Analisis varian antar stasiun menunjukkan nilai indeks keanekaragaman
dan kelimpahan plankton antara stasiun 1 dengan 2, Stasiun 1 dengan 3, Stasiun 2
dengan 3 tidak ada perbedaan yang nyata, artinya komunitas ini mirip. Sedangkan
analisis varian antar kedalaman menunjukkan nilai indeks keanekaragaman dan
kelimpahan plankton antara kedalaman 0 m (permukaan) dengan kedalaman batas
penetrasi cahaya, dan dengan kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya tidak
ada perbedaan yang nyata, sedangkan antara kedalaman 0 m (permukaan) dengan
kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya adalah beda nyata.
Analisis korelasi Pearson sifat fisika-kimia perairan terhadap nilai indeks
kelimpahan plankton menunjukkan bahwa suhu, penetasi cahaya, intensitas
cahaya, TDS, pH, salinitas, DO, dan fosfat berkorelasi positif, sedangkan TSS,
BOD 5, COD dan nitrat berkorelasi negatif. Kualitas air berdasarkan nilai indeks
keanekaragaman masuk kategori tercemar sedang.

Kata kunci : Plankton, Muara Sungai Asahan

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

This study deals with The diversity of Plankton and Its relations with the
Quality of Sungai Asahan Mouth’s Waters, the research has been conducted on
August 2009. Sample was taken from three stations with three depth namely 0 m
(surface), depth of end line in light penetration, depth under end line of light
penetration, and three repetitions. In defining the points of taking sample is by
adopting purposive random sampling. Sample of plankton was taken there using a
net plankton tool. For identification of plankton sample was completed at Ecology
Laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
North Sumatra University Medan.
The outcome there were obtained 12 plankton class comprising 5 pytho-
plankton Class and 7 Zooplankton Class. The highest abundantly rate, relative
dense and the emerging frequency found on station 3 there are Coscinodiscus
genus, Coscinodiscaceae Class is 13591,83 individu/l, 14,59% and 100%, The
totality highest abundantly rate on Stasion 3 of 93142,85 individu/l. Where as the
totality lowest abundantly rate was noted on station 1 of 19102.041 individu/l.
The highest diversities index rate was found on station 3 noted 2.92 whereas
the lowest diversities rate noted on station 1 of 2.48. The highest equality index
rate found on station 1 was noted 0.48 while the lowest equality rate was found on
station 3 with 0.78. The highest similarities index rate was found on station 1
noted 74.285% whereas the lowest similarities index rate was found on station 1
and 3 with 59.793%.
The variance analysis inter stations showed its diversity index rate and
abundantly plankton between Station 1 and 2, Station 1 and 3, Station 2 and 3
there is no significantly difference indicated this community is resemblance. Still,
the variance analysis between its depth showed its diversity index rate and
abundantly plankton inter depth 0 m (surface) with the depth of end line light
penetration, for the depth under end line of light penetration there is no significant
difference, whereas between the depth 0 m (surface) with the depth under end line
of light penetration is significantly different.
The analysis correlation of Pearson on physical and chemical properties of
waters over the abundantly plankton index rate showed that temperature, light
penetration, light intensity, TDS, pH, salinity, DO, and phosphate correlated
positively, whereas TSS, BOD 5 , COD and nitrate correlated negatively. The
quality of water based its diversities index rate is classified into a moderate
polluted.

Keywords : Plankton, Asahan River mouth

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Soemarwoto (2001), sungai sebagai sumber daya alam

merupakan ekosistem perairan yang sangat besar manfaatnya bagi kehidupan

manusia. Pada umumnya sungai dimanfaatkan untuk keperluan aktivitas rumah

tangga, bahan baku air minum, rekreasi, pemandian, pertanian, perikanan,

penambangan pasir, transportasi bahkan untuk perindustrian dalam skala kecil

maupun besar. Selain itu sungai menjadi media tempat hidup berbagai jenis

tumbuhan air, ikan, plankton, dan makroinvertebrata yang melekat di dasar

sungai.

Beragamnya aktivitas manusia sepanjang aliran sungai menyebabkan

sungai banyak mendapatkan beban pencemaran yang berasal dari industri,

pertanian, rumah sakit, maupun limbah domestik. Hal tersebut terjadi karena saat

ini masih ada anggapan bahwa air sungai merupakan tempat pembuangan limbah

yang mudah dan murah, serta pengaturan penggunaan sungai belum memadai dan

berjalan sebagaimana mestinya (Astirin et al, 2002)

Pembuangan berbagai jenis limbah secara langsung yang berasal dari

pemukiman (domestik), industri, pertanian, peternakan, dan sebagainya ke dalam

badan sungai tanpa terlebih dahulu diolah dalam instalasi pengolahan limbah,

berakibat buruk bagi kehidupan jasad hidup di dalam air (Muksin, 2008). Bahan

Universitas Sumatera Utara


pencemar menyebabkan terjadinya perubahan parameter lingkungan di dalam air

yang tidak sesuai lagi bagi kehidupan jasad hidup. Apabila perubahan yang terjadi

melewati ambang batas akibatnya akan fatal bagi kelangsungan kehidupannya

(Barus, 2004).

Sungai Asahan merupakan satu satunya pintu pengeluaran air Danau Toba,

sepanjang aliran Sungai Asahan mulai dari hulu yaitu Danau Toba telah banyak

menerima beban pencemaran yang berasal dari kegiatan industri, pertanian,

limbah domestik dan erosi DAS yang terjadi di sepanjang aliran sungai. Semua

material pencemaran tersebut terbawa oleh aliran sungai sampai di muara sungai.

Di muara sungai semakin bertambah lagi beban pencemaran oleh aktivitas

manusia. Di daerah sekitar muara Sungai Asahan dimanfaatkan menjadi tempat

pemukiman penduduk, sebagai tempat industri, pergudangan dan sarana

pelabuhan mulai dari kapal berbobot kecil dan kapal berbobot besar. Limbah dari

aktivitas manusia langsung dibuang ke dalam badan air muara sungai.

Muara Sungai Asahan yang menjadi tempat pembuangan berbagai jenis

limbah dan padatan tersuspensi dapat mempengaruhi lingkungan perairan

tersebut. Selain dipengaruhi oleh aliran sungai, muara juga dipengaruhi oleh

gerakan air laut terutama pasang surut. Adanya pasang surut tersebut

menyebabkan terjadinya percampuran massa air sehingga padatan tersuspensi dari

sungai dan abrasi dari pantai sekitarnya, menyebabkan perairan muara menjadi

keruh (Dianthani, 2003).

Melihat banyaknya beban pencemaran terhadap badan air muara Sungai

Asahan yang dapat menyebabkan penurunan kualitas perairan perlu dilakukan

Universitas Sumatera Utara


penelitian tentang tingkat pencemaran perairan muara Sungai Asahan. Salah satu

cara dengan menggunakan metode biologi atau yang disebut indikator biologi.

Penelitian ini juga dilatar belakangi belum adanya laporan penelitian tentang

kualitas perairan muara Sungai Asahan dengan menggunakan metode biologi

dengan menggunakan plankton sebagai indikator biologi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang disebutkan di atas maka dirumuskanlah

masalah: Bagaimana keanekaragaman dan kelimpahan plankton di perairan

muara Sungai Asahan, dan hubungannya dengan sifat fisika-kimia atau kualitas

perairan yang dipengaruhi oleh berbagai aktivitas masyarakat sepanjang aliran

sungai.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan plankton dan

hubungannya dengan kualitas air muara Sungai Asahan.

2. Untuk mengetahui kualitas air muara Sungai Asahan berdasarkan parameter

fisika-kimia

1.4 Hipotesis

1. Terdapat perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan plankton pada masing-

masing stasiun penelitian

Universitas Sumatera Utara


2. Terdapat perbedaan keanekaragaman dan kelimpahan plankton pada masing-

masing kedalaman air disetiap stasiun penelitian.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan atau informasi awal dan bahan pertimbangan bagi

instansi terkait pengambil keputusan dan pihak yang berkompeten atau

berwewenang dalam pengelolaan air atau penyelamatan lingkungan perairan

muara Sungai Asahan

2. Sebagai bahan penyebar luasan informasi mengenai metode biologi sebagai

metode alternatif dalam menentukan kualitas air.

3. Memberikan imformasi awal bagi peneliti selanjutnya atau sebagai bahan

acuan kepada pembuat kebijakan dalam pengelolaan lingkungan perairan

Universitas Sumatera Utara


1.6 Kerangka Pemikiran

Sumber Pencemaran Muara


Sungai Asahan (Air estuaria)

Domestik Industri Pertanian Transportasi Erosi DAS

Limbah

Analisis Kualitas Air

Fisika-Kimia Biologi

Plankton
Baku Mutu
Kualitas Air PP
82/2001
Indeks
Keanekaragaman

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran

Universitas Sumatera Utara


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Estuaria

Estuaria adalah suatu perairan semi tertutup yang berada di bagian hilir

sungai dan masih berhubungan dengan laut, sehingga memungkinkan terjadinya

percampuran antara air tawar dan air laut (Dahuri, 2004; Efrieldi, 1999). Atau

merupakan daerah pertemuan massa air asin dan air tawar, yang secara periodik

berubah-ubah karena adanya percampuran. Percampuran ini menyebabkan zona

lingkungan dikawasan muara sungai sangat labil. Walaupun demikian kawasan ini

merupakan daerah yang sangat produktif karena input nutrient dari daratan yang

dibawa oleh aliran sungai (Thoha, 2007).

2.1.1 Tipe Estuaria

Berdasarkan pada sirkulasi air dan stratifikasi airnya estuaria terbagi atas 3

tipe yaitu:

1. Estuaria berstratifikasi sempurna/nyata atau estuaria baji garam, cirinya adanya

batasan yang jelas antara air tawar dan air laut/asin. Air tawar dari sungai

merupakan lapisan atas dan air laut menjadi lapisan bawah. Terjadinya perubahan

salinitas dengan cepat dari arah permukaan ke dasar. Estuaria ditemukan didaerah-

daerah dimana aliran air tawar dan sebagian besar lebih dominan daripada intrusi

air laut yang dipengaruhi oleh pasang surut, contoh: muara Missisipi, Amerika.

Universitas Sumatera Utara


2. Estuaria berstratifikasi sebagian/parsial (paling umum di jumpai). Aliran air

tawar dari sungai seimbang dengan air laut yang masuk melalui air pasang.

Percampuran air dapat terjadi karena adanya turbulensi yang berlangsung secara

berkala oleh pasang surut, contoh: Teluk Chesapeaks, Amerika.

3. Estuaria campuran sempurna atau estuaria homogen vertikal. Dijumpai di

lokasi-lokasi dimana arus pasang surut sangat dominan dan kuat, sehingga air

estuaria tercampur dan tidak terdapat stratifikasi.

2.1.2 Sifat Fisik Estuaria

Beberapa sifat fisik penting estuaria antara lain :

1. Salinitas

Estuaria memiliki peralihan (gradien) salinitas yang bervariasi, terutama

tergantung pada permukaan air tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut.

Variasi ini menciptakan kondisi yang menekan bagi organisme, tetapi mendukung

kehidupan biota yang padat dan juga menyangkal predator dari laut yang pada

umumnya tidak menyukai perairan dengan salinitas yang rendah.

2. Substrat

Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang berasal

dari sedimen yang dibawa melalui air tawar (sungai) dan air laut. Sebagian besar

partikel lumpur estuaria bersifat organik, bahkan organik ini menjadi cadangan

makanan yang penting bagi organisme estuaria (Efrieldi, 1999).

Universitas Sumatera Utara


3. Suhu

Suhu air di estuaria lebih bervariasi daripada diperairan pantai didekatnya.

Hal ini terjadi karena di estuaria volume air lebih kecil, sedangkan luas

permukaan lebih besar. Dengan demikian pada kondisi atmosfer yang ada, air

estuaria lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Penyebab lain terjadinya variasi

ini ialah masuknya air tawar dari sungai. Air tawar di sungai lebih dipengaruhi

oleh perubahan suhu musiman daripada air laut. Suhu estuaria lebih rendah pada

musim dingin dan lebih tinggi pada musim panas daripada perairan pantai

sekitarnya (Dianthani, 2003; Thoha, 2003).

4. Pasang surut

Arus pasang-surut berperan penting sebagai pengangkut zat hara dan

plankton. Disamping itu arus pasang-surut juga berperan untuk mengencerkan dan

menggelontorkan limbah yang sampai ke estuaria.

5. Sirkulasi air

Selang waktu mengalirnya air dari sungai kedalam estuaria dan masuknya

air laut melalui arus pasang-surut menciptakan suatu gerakan dan bermanfaat bagi

biota estuaria, khususnya plankton yang hidup tersuspensi dalam air.

6. Kekeruhan air

Karena besarnya jumlah partikel tersuspensi dalam perairan estuaria, air

menjadi sangat keruh, kekeruhan tertinggi terjadi pada saat aliran sungai

maksimum. Kekeruhan minimum di dekat mulut estuaria dan makin meningkat ke

arah pedalaman atau hulu. Pengaruh ekologi dari kekeruhan adalah penurunan

Universitas Sumatera Utara


penetrasi cahaya secara mencolok. Selanjutnya hal ini akan menurunkan

fotosintesis dan tumbuhan bentik yang mengakibatkan turunnya produktivitas.

7. Oksigen (O 2 )

Masuknya air tawar dan air laut secara teratur kedalam estuaria bersama

dengan pendangkalan, pengadukan, dan pencampuran air dingin biasanya akan

mencukupi persediaan oksigen di dalam estuaria. Karena kelarutan oksigen dalam

air berkurang dengan naiknya suhu dan salinitas, maka jumlah oksigen dalam air

akan bervariasi sesuai dengan variasi parameter tersebut di atas.

8. Penyimpanan Zat Hara

Peranan estuaria sebagai penyimpan zat hara sangat besar. Pohon mangrove

dan lamun serta ganggang lainya dapat mengkonversi zat hara dan menyimpannya

sebagai bahan organik yang akan digunakan kemudian oleh organisme hewani.

2.1.3 Biota Estuaria

1. Komposisi Fauna

Di perairan estuaria terdapat 3 komponen fauna yaitu: fauna laut, fauna air

tawar dan fauna payau. Komponen fauna yang terbesar adalah fauna air laut yaitu

hewan stenohaline yang terbatas kemampuannya dalam mentolelir perubahan

salinitas (umumnya ≥ 300/ 00 ) dan hewan euryhaline yang mempunyai kemampuan

untuk mentolerir berbagai perubahan atau penurunan salinitas di bawah 300/ 00 .

Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika

dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Hal ini

disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang

memiliki kekhususan fisiologi yang mampu bertahan hidup di estuari

Universitas Sumatera Utara


2. Komponen Flora

Selain miskin dengan jumlah fauna estuaria juga miskin dengan flora.

Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan yang mencuat yang

dapat tumbuh mendominasi, mungkin terdapat padang rumput laut (Zosfera

thalassia, Cymodocea) selain di tumbuhi oleh alga hijau dari Genera Ulva,

Entheromorpha dan Chadophora. Estuaria berperan sebagai perangkap nutrien

(nutrient trap) yang mengakibatkan semua unsur-unsur esensial dapat didaur ulang

oleh bermacam kerang, cacing dan oleh detritus atau bekteri secara

berkesinambungan sehingga terwujud produktivitas primer yang tinggi.

1. Plankton Estuaria

Plankton estuaria miskin dalam jumlah spesies. Hal ini di sebabkan oleh

kekeruhan yang tinggi dan cepatnya penggelontoran. Menurut Barner, (1974)

dalam Dianthani, (2003), jumlah spesies pada umumnya jauh lebih sedikit

daripada yang mendiami habitat air tawar atau air laut didekatnya. Fitoplankton

yang dominan di estuaria yaitu Genera Diatom (Skeletonema sp, Asterionella sp,

Chaetoceros sp, Nitzchia sp, Thalassiionema sp, dan Melosira sp) dan

dinoflagellata yang melimpah di estuaria (Gymnodinium sp, Gonyaulax sp,

Peridinium sp dan Ceratium sp). Zooplankton estuaria yang khas yaitu Genera

Kopepoda (Eurytemora sp, Acartia sp, Pseudodiaptomus sp dan Centropages sp),

Misid (Neomysis sp, Praunus sp, dan Mesopodopsir sp) dan Amfipoda

(Gammarus sp).

2.2. Plankton dan Pembagiannya

Plakton adalah organisme yang terapung atau melayang-layang di dalam

air tubuhnya umumnya berukuran relatif kecil, mempunyai daya gerak relatif pasif

Universitas Sumatera Utara


sehingga distribusinya sangat dipengaruhi oleh daya gerak air seperti arus dan

lainnya (Suin, 2002). Secara umum plankton dibedakan menjadi 2 jenis yaitu:

fitoplankton yaitu plankton tumbuhan dan zooplankton yaitu plankton hewan.

Menurut Arinardi (1995) secara umum plankton dapat dikelompokkan

berdasarkan ukuran dan contoh biotanya seperti tertera pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1. Pengelompokan Plankton Berdasarkan Ukuran dan Contoh


Biotaya

Kelompok Ukuran Biota umum


A. Plankton
1. Ultranoplankton 2 µm Bakteri
2. Nanoplakton 2-20 µm Fungi, Flagellata dan Diatomae kecil
3. Mikroplankton 2-200µm Pitoplankon, Foraminifera, Ciliata,
dan Rotifera
B. Plankton Net
1 Mesoplankton 0,2-2 mm Copepoda, Cadocera
2 Mikroplankton 2-20 mm Cephalopoda, Enphasid
3 Makroplankton 20-200 mm Copepoda
4 Megaplankron > 200 mm Cyanea, Schiphozoa

2.3. Ekologi Plankton

Kehadiran fitoplankton di ekosistem perairan sangat penting, karena

fungsinya sebagai produsen primer dalam perairan atau karena kemampuan dalam

mensintesis senyawa organik dari senyawa anorganik melalui proses fotosintesis

(Heddy dan Kurniati, 1996). Dalam ekosistem air, proses fotosintesis dilakukan

oleh fitoplankton bersama dengan tumbuhan air lainnya disebut sebagai

produktivitas primer. Fitoplankton hidup terutama pada lapisan perairan yang

mendapat cahaya matahari yang dibutuhkan untuk melakukan proses fotosintesis.

Universitas Sumatera Utara


Faktor lingkungan yang mempengaruhi kepadatan fitoplankton di suatu

perairan lentik adalah kecepatan arus air. Selain itu kekeruhan air juga sangat

mempengaruhi keberadaan fitoplankton. Kelompok fitoplankton yang

mendominasi perairan tawar umumnya terdiri dari diatom dan ganggang hijau

serta dari kelompok ganggang biru. Pada perairan yang tercemar, seperti di sungai

Daplim George, Amerika Serikat, fitoplankton yang dominan adalah fitoflagellata

dan ganggang biru, selanjutnya pada daerah hilir banyak di temukan ganggang

biru dan diatom (Marshall, 1985).

Kepadatan fitoplankton dapat dipengaruhi oleh musim, terjadi fluktuasi

kepadatan fitoplankton yang bervariasi antara musim panas dan musim dingin.

Kelompok zooplankton yang terdapat pada ekosistem perairan adalah dari jenis

Crustaceae/Copepoda dan Cladocera, serta Rotifera. Kepadatan zooplankton di

suatu daerah lentik jauh lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Sebagian

besar zooplankton menggantungkan sumber nutrisinya pada materi organik, baik

berupa fitoplankton maupun detritus. Berhubung karena bentuk dan ukuran tubuh

yang bervariasi maka terdapat berbagai tipe makanan zooplankton dalam

memanfaatkan materi.

2.4. Plankton Sebagai Bioindikator

Kualitas suatu perairan terutama perairan menggenang dapat ditentukan

berdasarkan fluktuasi populasi plankton yang mempengaruhi tingkat tropik

perairan tersebut. Fluktuasi dari populasi plankton sendiri dipengaruhi terutama

Universitas Sumatera Utara


perubahan berbagai faktor lingkungan. Salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi populasi plankton adalah ketersediaan nutrisi disuatu perairan.

Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi dalam suatu perairan

akan menyebabkan terjadinya ledakan populasi fioplankton dan proses ini akan

menyebabkan terjadinya eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas perairan

(Fahrul et al, 2002).

Yang perlu diperhatikan dalam memilih indikator biologi adalah tiap spesies

mempunyai respon terhadap pencemaran yang spesifik. Alga hijau biru

(Mycroytis sp) meningkat bila perairan subur/pencemaran pupuk nitrogen,

pencemaran pupuk fosfat dapat dilihat dengan meningkatnya kehadiran alga hijau

biru.

2.5. Parameter Fisika-Kimia

Menurut Nybakken (1992), sifat fisik-kimia perairan sangat penting dalam

ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik,

perlu juga dilakukan pengamatan faktor abiotik perairan. Dengan mempelajari

aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor abiotik akan

diperoleh gambaran tentang kualitas perairan. Faktor fisika-kimia perairan yang

mempengaruhi kehidupan plankton antara lain:

1. Suhu

Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi

kehidupan organisme air, termasuk plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan

Universitas Sumatera Utara


kebutuhan organisme akan oksigen. Perubahan suhu dalam perairan akan

mempengaruhi kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas

biologis di dalam ekosistem akuatik.

Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan suhu sebesar 10Ԩ hanya pada

kisaran suhu yang masih ditolerir, akan meningkatkan aktivitas fisiologi

(misalnya: respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Suhu ekosistem akuatik

secara alamiah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti intensitas cahaya

matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor

kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di sekitarnya.

Disamping itu pola suhu perairan dapat dipengaruhi oleh faktor antropogen

yaitu faktor yang diakibatkan oleh manusia seperti limbah panas yang berasal dari

pendingin pabrik, penggundulan DAS yang menyebabkan hilangnya pelindung

sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung. Hutapea (1990)

dalam Azwar (2001), menyatakan bahwa perbedaan suhu pada suatu perairan

dipengaruhi faktor yaitu: (1) variasi jumlah panas yang diserap (2) pengaruh

konduksi panas (3) pertukaran tempat masa air secara lateral oleh arus (4)

pertukaran air secara vertikal.

Universitas Sumatera Utara


Soetjipta (1993) dalam Azwar (2001), menyatakan bahwa suhu yang dapat

ditolerir oleh organisme pada suatu perairan berkisar antara 20-30Ԩ. Isnansetyo

& Kurniastuti (1995), menyatakan suhu yang sesuai dengan fitoplankton berkisar

antara 25-30Ԩ, sedangkan yang sesuai untuk pertumbuhan zooplankton berkisar

antara 15-30Ԩ.

Suhu di suatu ekosistem air berfluktuasi baik harian maupun tahunan,

fluktuasi terutama mengikuti pola suhu antara lingkungan sekitarnya. Selain itu

terlihat bahwa suhu air juga dipengaruhi faktor ketinggian dan letak geografis,

selanjutnya suhu sungai juga akan berfluktuasi mengikuti aliran air mulai dari

hulu sampai kearah hilir.

2. Penetrasi cahaya

Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman

berapa cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosisten perairan. Besar

Universitas Sumatera Utara


nilai penetrasi cahaya dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang

memungkinkan masih berlangsungnya fotosintesis. Penetrasi cahaya sangat

mempengaruhi keberadaaan plankton disuatu badan perairan. Sebab penetrasi

cahaya sangat menentukan proses fotosintesis.

Menurut Nybakken (1992), kedalaman penetrasi cahaya yang merupakan

kedalaman dimana produksi fitoplankton masih dapat berlangsung, bergantung

pada bekerjanya faktor antara lain absorpsi cahaya oleh air, panjangnya

gelombang cahaya, kecerahan air, pantulan cahaya oleh permukaan air, lintang

geografik dan musim. Menurut Barus (2004), kedalaman penetrasi cahaya akan

berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisme air, intesitas

cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan

organisme tersebut dalam habitatnya. Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi

intesitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan plankton disuatu

perairan. Menurut Haerlina (1987), penetrasi cahaya merupakan faktor pembatas

bagi organisme fotosintetik (fitoplankton) dan juga mempengaruhi migrasi

vertikal harian dan dapat pula mengakibatkan kematian pada organisme tertentu.

3. Arus

Arus air adalah faktor yang mempunyai perananan yang sangat penting baik

pada perairan lotik maupun pada perairan lentik. Hal ini berhubungan dengan

penyebaran organisme, gas-gas terlarut dan mineral yang terlarut dalam air. Arus

air pada perairan lotik umumnya bersifat turbulen. Selain itu dikenal arus laminar.

Arus terutama berfungsi sebagai pengangkut energi panas dan substansi yang

terdapat di dalam air. Arus juga mempengaruhi penyebaran organisme. Arus

vertikal mempengaruhi distribusi plankton

Universitas Sumatera Utara


Adanya arus pada ekosistem akuatik membawa plankton khususnya

fitoplankton yang menumpuk pada tempat tertentu. Jika tempat baru itu kaya

akan nutrisi yang menunjang pertumbuhan fitoplankton dengan faktor abiotik

yang mendukung bagi pertumbuhan kehidupan plankton (Basmi, 1992). Pengaruh

arus bagi organisme air yang paling penting adalah ancaman bagi organisme

tersebut dihanyutkan oleh arus yang deras.

4. Dissolved Oxygen (DO)

Oksigen terlarut merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu

perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam

ekosistem air, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian

besar organisme air. Umumnya kelarutan oksigen dalam air sangat terbatas,

dibandingkan dengan kadar oksigen di udara yang mempunyai konsetrasi

sebanyak 21% volum, air hanya mampu menyerap oksigen sebanyak 1% volum

saja. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu

sebesar 14,16 mg/l O 2. Kosentrasi menurun sejalan dengan meningkatnya suhu

air. Peningkatan suhu menyebabkan konsetrasi oksigen menurun dan sebaliknya

suhu yang semakin rendah meningkatkan konsetrasi oksigen terlarut (Barus,

2004).

Kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan jumlah

garam terlarut dalam air. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah

penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara

dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan

Universitas Sumatera Utara


dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme

air (Barus, 2004).

Nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun

musiman. Fluktuasi ini selain dipengaruhi oleh perubahan temperatur juga

dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen.

Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/l. Sanusi

(2004), menyatakan bahwa DO yang berkisar antara 5,45-7,00 mg/l cukup baik

bagi proses kehidupan biota perairan. Semakin rendah nilai DO suatu perairan,

maka semakin tinggi pencemaran suatu ekosistem. Disamping pengukuran

konsetrasi biasanya dilakukan pengukuran terhadap tingkat kejenuhan oksigen

dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai tersebut

merupakan nilai maksimum atau tidak.

5. Biochemical Oxygen Demand (BOD 5 )

Nilai BOD 5 menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme

aerob dalam proses penguraian senyawa organik yang diukur pada suhu 20°C

(Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Dari hasil penelitian diketahui bahwa untuk

menguraikan senyawa organik yang terdapat dalam limbah rumah tangga secara

sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya.

Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses

pengukuran ini, sementara dalam hasil penelitian diketahui bahwa setelah

pengukuran dilakukan selama 5 hari senyawa organik diuraikan sudah mencapai

Universitas Sumatera Utara


kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran

selama 5 hari. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD 5 adalah

jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob

yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut, dan tersedianya sejumlah

oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian itu.

Pengukuran BOD 5 didasarkan pada kemampuan mikroorganisme untuk

menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah

diuraikan secara biologi seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah

rumah tangga. Menurut Brower et al, (1990), nilai konsetrasi BOD 5 menunjukkan

kualitas suatu perairan yang masih tergolong baik apabila konsumsi O 2 selama

periode 5 hari berkisar 5 mg/l O 2, maka perairan tersebut tergolong baik dan

apabila konsumsi O 2 berkisar 10 mg/l-20 mg/l O 2 akan menunjukkan tingkat

pencemaraan oleh materi organik yang tinggi dan untuk air limbah nilai BOD 5

umumnya lebih besar dari 100 mg/l.

6. Chemical Oxygen Demand (COD)

Nilai COD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses

oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg/l O 2 . Untuk produk-produk kimiawi

seperti senyawa minyak dan buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan

tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme, oleh karena itu disamping mengukur

nilai BOD perlu dilakukan pengukuran terhadap COD. Dengan mengukur nilai

COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang

dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang

Universitas Sumatera Utara


mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar/tidak bisa diuraikan

secara biologis.

7. Derajat Keasaman ( pH)

Organisme air dapat hidup dalam perairan yang mempunyai nilai pH netral

dengan kisaran toleransi antara asam lemah dengan basa lemah. Nilai pH yang

ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya terdapat pada 7 sampai 8,5.

Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan

membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan

terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat

rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion

aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi nilai pH perairan tentunya akan

mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang sengat tinggi

akan menyebabkan keseimbangan antara ammonium dan amoniak dalam air akan

terganggu. Kenaikan pH di atas netral akan meningkatkan konsetrasi amoniak

yang bersifat sangat toksik bagi organisme

Derajat keasaman perairan air tawar berkisar antara 5-10 (Laporan

Pelaksanaan Kursus Analisa Limbah Industri Angkatan II Staf Akademik PTN

Indonesia Bagian Timur 7-17 Juli 1994). Setiap organisme mempunyai nilai pH

yang optimum bagi kehidupannya. Perkembangan alga Cyanophiceae akan sangat

jarang dalam perairan apabila nilai pH di bawah 5 (Shubert, 1984).

8. Salinitas

Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut

dalam satuan volum air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promil (0/ 00 ).

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan Venice System to Classification of water According to Salinity, air

diklassifikasikan berdasarkan nilai salinitasnya sebagai berikut :

Tabel 2.2. Klafikasi Air Berdasarkan Nilai Salinitasnya (Schlieper 1958)

No. Jenis Air Salinitas (0/00)


1 Limnin (Air Tawar) < 0,5 0/00
2 Mixohalin (Payau) 0,5 – 30 0/00
3 Enhalin (Air Laut) 30 – 40 0/00
4 Hyperhalin > 40 0/00

Dalam keseluruhan biosfer terbentuk batas yang jelas antara habitat perairan

tawar dengan habitat perairan laut yang di batasi air payau (estuaria). Hanya 1%

dari keseluruhan organisme air yang dapat hidup pada kedua habitat yang berbeda

tersebut. Sisanya sebagian akan hidup pada habitat air tawar saja dan sebagian lagi

hidup hanya habitat air laut saja.

Secara alami kandungan garam terlarut dalam air dapat meningkat apabila

populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas

respirasi dari hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses mineralisasi yang

menyebabkan kadar garam air meningkat.

9. Nitrat dan Nitrit

Mikroorganisme akan mengoksidasi ammonium menjadi nitrit dan akhirnya

menjadi nitrat. Penguraian ini dikenal sebagai proses nitrifikasi. Proses oksidasi

ammonium menjadi nitrit dilakukan oleh jenis bakteri Nitrosomonas. Selanjutnya

nitrit oleh aktivitas bakteri Nitrobacter akan dirombak menjadi nitrat, yang

merupakan produk akhir dari proses penguraian senyawa protein dan diketahui

sebagai senyawa yang kurang berbahaya jika dibandingkan ammonium/amoniak

atau nitrit. Nitrat adalah merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan untuk

dapat tumbuh dan berkembang. Kadar nitrat yang optimal untuk pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara


fitoplankton adalah 3,9 mg/l-15,5 mg/l (Basmi, 1992). Sementara nitrit

merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

10. Ammonium dan Amoniak

Limbah domestik dari hasil peruraian bahan organik seperti lemak dan

protein dapat menimbulkan masalah dalam perairan yaitu zat amoniak (NH 3 ) dan

ammonium (NH 4 +). Dari hasil penelitian diketahui bahwa kesetimbangan antara

ammonium dan amoniak di dalam air dapat dipengaruhi oleh nilai pH air (Baur,

1987; Borneff, 1982 dalam Barus, 2004). Semakin tinggi nilai pH akan

menyebabkan keseimbangan antara ammonium dengan amoniak semakin bergeser

ke arah amoniak, artinya kenaikan pH akan meningkatkan konsetrasi amoniak

yang diketahui bersifat sangat toksik bagi organisme air.

11. Fosfor

Fosfor bersama dengan nitrogen sangat berperan dalam proses terjadinya

eutrofikasi di suatu ekosistem air, seperti di ketahui bahwa fitoplankton dan

tumbuhan air lainya membutuhkan nitrogen dan fosfor sebagai sumber nutrisi

yang utama bagi pertumbuhannya. Dengan demikian maka peningkatan unsur

fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi alga secara massal yang dapat

menimbulkan eutrofikasi dalam ekosistem air. Kadar fosfor yang optimal untuk

pertumbuhan fitoplankton adalah 0,27-5,51 mg/l (Wardhana, 1994).

Biomassa dari vegetasi ini setelah mati akan mengalami proses

pembusukan/dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri dan berlangsung secara

aerob, artinya proses tersebut membutuhkan ketersediaan oksigen terlarut didalam

air. Akibat proses dekomposisi tersebut kandungan oksigen terlarut akan semakin

sedikit, bahkan apabila proses tersebut terus berlangsung dapat menimbulakan

Universitas Sumatera Utara


kondisi anaerob karena kandungan oksigen terlarut sudah sangat sedikit. Dalam

kondisi tidak tersedia oksigen terlarut proses penguraian akan berjalan secara

anaerob yang menghasilkan berbagai jenis senyawa yang bersifat toksik dan

menimbulkan bau busuk seperti amoniak (Barus, 2004).

Universitas Sumatera Utara


BAB III

BAHAN DAN METODA

3.1 Tempat, Waktu, dan Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di muara Sungai

Asahan, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, dan sebelum dilakukan penelitian

terlebih dahulu dilakukan survei. Penentuan lokasi penelitian berdasarkan pada

rona lingkungan dengan menggunakan metode Purposive Random Sampling dan

ditentukan 3 lokasi atau stasiun pengamatan atau tempat pengambilan sampel,

dimana diharapkan ketiga lokasi ini dapat mewakili karakteristik seluruh wilayah

perairan muara Sungai Asahan.

3.2 Deskripsi Area

Lokasi penelitian adalah perairan muara Sungai Asahan. Dengan

berpedoman dari hasil survey lapangan dan berdasarkan rona lingkungan

ditetapkan 3 stasiun atau lokasi tempat pengambilan sampel yaitu:

Stasiun 1 : Mewakili kawasan hutan mangrove (bakau)

Stasiun 2 : Mewakili kawasan pemukiman dan pelabuhan

Stasiun 3 : Mewakili mulut muara

3.2.1 Stasiun 1

Lokasi ini berada pada bagian tepi dari muara Sungai Asahan, berbatasan

atau kontak langsung dengan hutan mangrove. Pada bagian hulu lokasi ini banyak

Universitas Sumatera Utara


aktivitas manusia dengan adanya pemukiman dan pelabuhan. Posisi geografis:

02°, 59’, 30,2’’ LU dan 99°, 51’, 43,7’’ BT. Lokasi ini jauh dari permukiman

penduduk, sehingga limbah dosmetik tidak terdedah secara langsung pada

perairan, tetapi pada lokasi ini banyak beraktivitas nelayan penangkap kepah.

Lokasi ini tidak merupakan lalulintas transportasi. Dari hasil survei pendahuluan

yang sudah dilakukan perairan ini mempunyai kedalaman ± 2,5 m pada saat

pasang, dasar berlumpur, dan airnya keruh.

3.2.2 Stasiun 2

Lokasi ini berada pada bagian tepi muara Sungai Asahan, di sekitarnya

merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat. Pada lokasi ini dibangun

pelabuhan. Posisi geografis : 03°, 01’, 20,8’’ LU dan 99°, 51’, 37,6’’ BT. Lokasi ini

banyak terdedah limbah berupa limbah dosmetik dari perumahan penduduk dan

juga limbah dari hasil buangan kapal berupa limbah minyak dan sampah organik

maupun anorganik. Dari hasil survei yang dilakukan, perairan ini mempunyai

kedalaman ± 4,5 m pada saat pasang, dasar berlumpur, dan airnya keruh.

3.2.3 Stasiun 3

Lokasi ini merupakan mulut muara Sungai Asahan, jauh dari pemukiman

penduduk. Letak geografis 03°, 03’, 33,8’’ LU dan 99°, 51’, 22,3’’ BT. Lokasi ini

merupakan jalur lalulintas keluar masuknya kapal kecil maupun besar yang

digunakan sebagai alat transport. Dari hasil survei yang dilakukan, perairan ini

mempunyai kedalaman ± 5 m, dasar berpasir campur lumpur dan airnya tampak

lebih jernih, kebiruan.

Universitas Sumatera Utara


3.3 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Mikroskop,

Haemocytometer, pH meter, Termometer, Keping Sechii, Jaring plankton

(Plankton Net) no. 25, Pipet tetes, Erlenmeyer, Lux meter, GPS, Botol film,

Spidol, Reprektometer, Timbangan Elektronik, dan Pensil. Bahan yang digunakan

antara lain: MnSO 4, KOH.KI, H 2 SO 4, Na 2 S 2 O 3, Alkohol, Larutan Amilum, dan

Lugol.

3.4 Pengambilan Sampel Plankton

Pengambilan sampel plankton dilakukan di tiga stasiun, tiga kedalaman

yaitu kedalaman 0 m (permukaan) air, kedalaman batas penetrasi cahaya,

kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya, dan tiga kali ulangan. Pengambilan

sampel air di permukaan, dilakukan dengan menggunakan ember bervolume 5

liter. Sampel air disaring dengan jaring plankton (plankton net) no.25 yang pada

bagian bawahnya dilengkapi dengan botol penampung. Pengambilan sampel air di

kedalaman batas penetrasi cahaya dan di bawah batas penetrasi cahaya, dilakukan

dengan dengan cara memasukkan atau menenggelamkan Lamnot ke dalam

perairan, lalu diangkat, sampel air yang tertampung dalam Lamnot dituangkan ke

dalam ember dan diulangi hingga diperoleh sebanyak 5 l. Sampel air disaring

dengan menggunakan plankton net yang dilengkapi dengan botol penampung.

Sampel yang tertampung pada botol penampung dipindahkan kedalam botol film,

lalu ditetesi dengan larutan lugol 10% sebanyak 2-3 tetes. Perlakuan diulangi

Universitas Sumatera Utara


sebanyak 5 kali. Sampel plankton dibawa ke Laboratorium Ekologi Departemen

Biologi FMIPA USU Medan untuk diidentifikasi dengan mengacu pada buku

identifikasi Edmondson (1963), Bold dan Wynee (1985), Pennak (1978), Streble

dan Kranter (1988). Uji faktor fisika-kimia perairan dilakukan di Laboratorium

Puslit LP USU Medan.

3.5 Pengukuran Faktor Fisika-Kimia

Pengamatan dan pengukuran faktor fisika-kimia perairan dilakukan pada

lokasi sampling yang telah ditentukan dengan metode Purposive Random

Sampling dengan mempertimbangkan perbedaan kondisi ekologis pada setiap

lokasi pengamatan serta perbedaan aktivitas masyarakat di sekitar kawasan.

Pengambilan sampel dilakukan di 3 lokasi yang telah ditentukan, pada 3

titik kedalaman yaitu: 0 m (permukaan), batas penetrasi cahaya, dan di bawah

batas penetrasi cahaya, dilakukan 3 kali ulangan. Sampel air yang telah diperoleh

dikelompokkan berdasarkan lokasi, dan kedalaman yang sama. Suhu, penetrasi

cahaya, intensitas cahaya, oksigen terlarut, pH, DO, dan salinitas diukur langsung

di lapangan (insitu) pada saat pengambilan sampel, sedangkan TDS, TSS, BOD 5,

COD, NO 3, PO 4, dan kandungan organik substrat, sampelnya dibawa ke

Laboratorium Kimia Pusat Penelitian Lingkungan USU Medan untuk dianalisis

lebih lanjut.

Faktor fisika dan kimia perairan yang diteliti atau diukur pada penelitian ini

antara lain:

1. Suhu

Universitas Sumatera Utara


Suhu air yang diukur yaitu suhu permukaan, suhu batas penetrasi cahaya

dan suhu dibawa batas penetrasi cahaya dengan menggunakan alat ukur

Termometer air raksa. Alat ukur Termometer air raksa dicelupkan ke dalam

sampel air yang diperoleh dari setiap kedalaman, pada alat akan terlihat angka

yang menunjukkan suhu.

2. Penetrasi Cahaya (Kecerahan)

Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan alat keping Sechii yang telah

diikat dengan seutas tali yang telah diberi skala. Keping Sechii ditenggelamkan

kedalam badan perairan sampai batas keping Sechii tidak kelihatan, batas inilah

menjadi batas penetrasi cahaya.

3. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya diukur dengan menggunakan alat Lux Meter. Pengukuran

dilakukan dengan cara mengarahkan alat Lux Meter kearah sumber sinar, pada

alat akan terlihat angka yang menunjukkan intensitas cahaya.

4. pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman diukur dengan menggunakan alat pH Meter. Pengukuran

pH dilakukan dengan cara mengambil sampel air dari permukaan dan kedalaman

dengan menggunakan lamnot, lalu kedalam sampel air dimasukkan pH Meter.

5. Kandungan Organik Substrat

Kandungan organik substrat diukur dengan menggunakan alat timbangan

elektronik disebut metode abu. Sampel berupa substrat dasar dihomogenkan, lalu

Universitas Sumatera Utara


ditimbang sebanyak 100 gram dan dipanaskan dalam oven pada suhu 45Ԩ sampai

diperoleh berat substrat yang konstan. Kemudian subtrat dihaluskan dengan cara

menggerus dengan lumping, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu 45Ԩ selama 1

jam. Selanjutnya ditimbang sebanyak 25 gram dan dibakar dalam tungku

pembakar pada suhu 700Ԩ selama 3,5 jam sampai dihasilkan substrat yang sudah

berupa abu. Kadar organik substrat ditentukan dengan menggunakan rumus:

KO (%) =
Dimana:
KO = Kadar organi substrat
A = Berat konstan substrat
B = Berat abu

6. Dissolved Oxygen (DO)

Universitas Sumatera Utara


Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan alat ukur DO Meter. Sampel

air diambil dari kedalaman badan air dan dimasukkan kedalam botol lalu

dilakukan pengukuran oksigen terlarut dengan cara memasukkan DO meter,

pengukuran DO dilakukan dengan cara metode Winkler.

7. Biologi Chemical Ozygen Demand (BOD 5 )

Kebutuhan oksigen biologi (BOD 5 ) diukur dengan menggunakan metode

Winkler atau dengan menggunakan DO Meter. Sampel yang diambil dari ke

dalaman badan air dimasukkan kedalam botol Winkler untuk diinkubasi selama 5

hari, pada suhu 20Ԩ. Sebelum diinkubasi diukur terlebih dahulu DO nya yang

disebut DO awal. Kemudian diinkubasi selama 5 hari pada suhu 20Ԩ lalu diukur

DO nya yang disebut DO akhir, BOD 5 diukur dengan cara mengurangkan DO

awal dengan DO akhir.

Rumus : BOD 5 = DO awal - DO Akhir

1. Kejenuhan Oksigen

Kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Universitas Sumatera Utara


Kejenuhan (%) =
Dimana :

O 2(U) = Nilai konsetrasi oksigen yang diukur (m/l) diukur dengan

metode Winkler

O 2(t) = Nilai konsetrasi oksigen sebenarnya (pada tabel sesuai dengan

besarnya suhu.

2. Kandungan Nitrogen

Pengukuran kandungan nitrogen dilakukan dengan alat Spektrofotometer.

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditetesi 1 ml NaCl, 5 ml H 2 SO 4 kadar

75% dan 4 tetes asam brucine sulfat sulfanik, akan terbentuk larutan baru.

Kemudian dipanaskan selama 25 menit, didinginkan, lalu diukur dengan

Spektrofotometer pada λ = 410 nm.

3. Kandungan Fosfat

Pengukuran kandungan fosfat dilakukan dengan alat Spektrofotometer.

Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditetesi 1 ml amstrong reagen dan 1 ml

asam ascorbik, akan terbentuk larutan baru. Kemudian dibiarkan selama 20 menit,

lalu diukur dengan Spektrofotometer λ = 880 nm.

4. Salinitas

Penentuan salinitas air dapat dilakukan dengan menggunakan alat

Refrektometri. Sampel air yang diambil dari kedalaman badan air dengan

menggunakan pipet diteteskan 1 tetes kepermukaan lensa objek Refrektometer.

Kemudian diamati akan terlihat nilai salinitas pada alat Refektometri yang

Universitas Sumatera Utara


dilengkapi dengan skala. Dengan menggunakan alat ini nilai salinitas air dapat

diukur dengan mudah, cepat dan tepat.

Uraian yang lebih ringkas mengenai parameter fisika-kimia yang diukur

pada penelitian dan alat ukur serta lokasinya disajikan pada Tabel 3.1 berikut ini :

Tabel 3.1. Parameter Fisika-Kimia, Satuan, Alat dan Tempat Pengukuran

Paremeter Satuan Metode Pengukuran Lokasi


0
Suhu C Termometer air raksa Insitu
Exsitu lab
mg/l Skala 0-500C
TDS kimia
FISIKA Exsitu lab
mg/l Timbangan Elektronik
TSS kimia
Penetrasi cahaya cm Keping Sechii Insitu
Intesitas cahaya Candela Lux meter Insitu

pH - pH meter Insitu
DO mg/l Metode Winkler Insitu
BOD 5 mg/l Metode Winkler Insitu/exsitu
COD mg/l Metode Reflax Insitu/exsitu
Exsitu lab
KIMIA mg/l Spektofotometri
PO 4 kimia
Exsitu lab
mg/l Spektofotometri
NO 3 kimia
0 Exsitu lab
/ 00 Spektofotometri
Salinitas kimia
EExsitu lab
% Oven dan Tanur
Organik Substrat kimia

3.6 Identifikasi Plankton

Sampel plankton yang diperoleh dari lapangan selanjutnya dibawa ke

Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Departemen

Biologi FMIPA USU Medan untuk diamati dengan Sedgewich-Rafter di bawah

mikroskop. Pemeriksaan dan identifikasi dengan mengacu pada buku identifikasi

Edmondson (1963), Bold dan Wynne (1985), Pennak (1978), Streble dan Krauter

(1980).

Universitas Sumatera Utara


3.7 Analisis Data

Data plankton yang diperoleh pada penelitian ini, selanjutnya akan dihitung

nilai keanekaragamannya, nilai kelimpahannya, kelimpahan relatif, frekuensi

kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wiener, indeks ekuitabilitas, indeks

kesamaaan (similaritas), analisis korelasi dan analisis varian.

1. Kelimpahan Plankton

Untuk mendapatkan data atau kepadatan plankton digunakan alat

Haemocytometer atau sedgewick-raffer, dihitung jumlah individu per liter air

dengan menggunakan rumus modivikasi Isnansetyo dan Kurniatuty (1995).

N=
Dimana :

N = Jumlah plankton per liter

T = Luas penampung permukaan Sedgewich-rafter(mm2)

L = Luas satu lapang pandang (mm2)

P = Jumlah pankter yang dicacah

p = Jumlah lapang yang diamati

V = Volume konsentrasi plankton pada bucket (ml)

v = Volume konsentrat di bawah gelas penutup (ml)

W = Volume air media yang disaring dengan plankton net (l)

Karena sebagian unsur-unsur yang disebut diatas telah diketahui antara

lain yaitu T = 196 mm2 dan V = 0.196 ml atau 19.6 mm2, sehingga rumusnya

menjadi:

Universitas Sumatera Utara


N=
2. Kelimpahan Relatif (KR)

Kelimpahan Relatif (KR) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai

berikut:

KR =
Dimana :

ni = Kelimpahan individu

∑ N = Total kelimpahan individu seluruh jenis

Suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai perkembangan suatu organisme, apabila

KR > 10% (Barus, 2004).

3. Frekuensi Kehadiran (FK)

Frekuensi Kehadiran (FK) dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

FK =

Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu

spesies dalam sampling plot yang ditentukan.

Apabila FK = 0 - 25 % kehadiran sangat jarang

= 25 - 50% kehadiran jarang

= 50 - 75% kehadiran sedang

= 75 - 100% kehadiran absolut

Suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai bagi perkembangan suatu organisme

apabila nilai FK > 25%.

4. Indeks Diversitas Shannon-Wiener (H’)

Universitas Sumatera Utara


Keanekaragaman spesies atau indeks Diversitas Shannon-Wiener

merupakan karakteristik yang unik dari tingkat komunitas dalam organisasi

biologi yang diekspresikan melalui struktur komunitas. Suatu komunitas

dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies tinggi apabila terdapat banyak

spesies dengan jumlah individu masing-masing spesies relatif merata. Indeks

keanekaragaman pada umumnya dihitung dengan menggunakan indeks

keanekaragaman Shannon - Wiener dengan rumus (Suin, 2002)

H’ = -∑pi ln pi

Dimana :

H’ = Indeks Shannon-Wiener

Pi = Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan

keseluruhan jenis (∑ ni/N).

Ln = Logaritma natural

Nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies,

jumlah individu dan penyebaran individu pada masing-masing spesies. Klasifikasi

pencemaran berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon-Wiener ditunjukkan pada

Tabel 3.2.

Table 3.2. Klassifikasi Tingkat Pencemaran Berdasarkan Indeks Shannon-


Wiener

No. Derajat Pencemaran Indeks Diversitas (H')


1 Tidak tercemar > 2,0
2 Tercemar ringan 1,6 – 2,0
3 Tercemar sedang 1,0 – 1,6
4 Tercemar berat/parah < 1,0

5. Indeks Ekuitabilitas (E)

Universitas Sumatera Utara


Untuk mengetahui sebaran ataupun distribusi kelimpahan antar takson

dalam komunitas dilakukan uji indeks ekuitabilitas yang disebut juga sebagai

indeks keseragaman. Indeks Ekuitabilitas (E) dapat dihitung dengan menggunakan

rumus :

Indeks Keseragaman (E) =


Dimana :

H’ = Indeks Diversitas Shannon-Wienner

H maks = Indeks diversitas maksimum = ln S (dimana S banyaknya spesies

dengan nilai E berkisar antara 0-1 (Michael, 1984).

Dengan kriteria:

0 < E < 0,4 Keseragaman rendah

0,4 < E < 0,6 Keseragaman sedang

E > 0,6 Keseragaman tinggi

6. Indeks Kesamaan (Similaritas)

Indeks Kesamaan (Similaritas) digunakan untuk mengetahui berapa besar

kesamaan komposisi plankton antar stasiun pengamatan. Indeks kesamaan dicari

dengan menggunakan rumus indeks similaritas menurut Sorensen (Brower et al,

1990).

Indeks Similaritas (IS) =


Dimana :

a = Jumlah takson yang sama-sama hadir pada 2 stasiun pengamatan yang

dibandingkan.

S1 = Jumlah takson yang hadir pada stasiun A, tetapi tidak pada stasiun B

Universitas Sumatera Utara


S2 = Jumlah takson yang hadir pada stasiun B, tetapi tidak pada stasiun A.

Berdasarkan aturan 50% oleh Kendeigh (1980), menyatakan bila indeks

kesamaan dari 2 komunitas yang dibandingkan lebih besar dari 50%, maka kedua

komunitas yang dibandingkan tersebut dapat dianggap 1 komunitas bukan

menjadi 2 komunitas yang berbeda, atau dengan kata lain 2 komunitas dikatakan

berbeda nyata bila indeks kesamaannya lebih kecil dari 50% atau indeks

keanekaragamannya lebih besar dari 50%.

7. Analisis Varian

Analisis varian digunakan untuk mengetahui adanya perbedaaan yang

signifikan dari keanekaragaman dan kelimpahan plankton antar stasiun dan antar

kedalaman, dengan melihat pengaruh sifat fisika-kimia perairan terhadap

keanekaragaman dan kelimpahan plankton.

8. Analisis Korelasi Pearson

Analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui adanya korelasi,

hubungan atau pengaruh faktor fisika-kimia perairan terhadap nilai indeks

keanekaragaman dan kelimpahan plankton. Analisis varian dan analisis korelasi

Pearson dihitung dengan menggunakan program komputer SPSS ver. 17.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Identifikasi Plankton

Hasil identifikasi terhadap plankton yang didapat pada setiap stasiun

penelitian diperoleh klasifikasi plankton seperti dicantumkan pada Tabel 4.1

Tabel 4.1. Plankton yang Ditemukan pada Setiap Stasiun Penelitian

Kelompok Kelas No Famili No Genus


FITOPLANKTON Bacillariophyceae 1. Achnanthaceae 1. Achnanthes
2. Biddulphia 2. Biddulphia
3. Triceratium
3. Chaetoceraceae 4. Chaetoceros
4. Corethronaceae 5. Thalassiosira
5. Coscinodiscaceae 6. Actinocyclus
7. Arachnoidiscus
8. Coscinodiscus
9. Stephanodiscus
6. Cymbellaceae 10. Cymbella
7. Epithemaceae 11. Denticula
8. Fragilariaceae 12. Asterionella
13. Diatoma
14. Fragilaria
15. Plagiogramma
16. Tabellaria
17. Thalassionema
18. Thalassiothrix
10. Naviculaceae 19. Amphiprora
20. Cocconeis
21. Diatomella
22. Diploneis
23. Gyrogsima
24. Navicula
25. Pinnularia
26. Pleurosigma
11. Nitzschiaceae 27. Amphora
28. Bellerochea
29. Ditylum
30. Nitzchia
12. Rhizosoleniaceae 31. Rhizosolenia
13. Skeletonemaceae 32. Skeletonema
14. Surirellaceae 33. Surirella
Chlorophyceae 15. Cladophoraceae 34. Rizoclonium
16. Desmidiaceae 35. Closterium
36. Staurastrum

Universitas Sumatera Utara


37. Penium
17. Halosphaeraceae 38. Dislephanus
18. Hydrodictyaceae 39. Pediastrum
19. Mesotaeniaceae 40. Cylindrocystis
20. Microsporaceae 41. Microspora
21. Oocystaceae 42. Chadotella
43. Closteriopsis
44. Tetraedron
22. Protococcaceae 45. Protococcus
23. Scenedesmaceae 46. Scenedesmus
24. Schizogoniaceae 47. Schizogonium
25. Sphaeropleaceae 48. Sphaeroplea
26. Ulothrichascaceae 49. Binuclearia
50. Ulothrix
27. Zygnemataceae 51. Spyrogira
Chrysophyceae 28. Chrysocapsaceae 52. Phaeoplaca
29. Malmonadaceae 53. Chrysosphaerella
Myxophyceae 30. Oscilatoriaceae 54. Oscilatoria
31. Chlorosaccaceae 55. Chlorobotrys
Xanthophyceae 32. Pleurochloridaceae 56. Goniochloris
33. Tribonemataceae 57. Tribonema
ZOOPLANKTON Ciliophora 1. Lichomolgidae 1. Pachysoma
2. Rhabdonellidae 2. Rhabdonella
Cladocera 3. Bosminidae 3. Bosmina
Copepoda 4. Calanoidae 4. Nauplius
Crustaceae 5. Acartiidae 5. Acartia
6. Cyclopidae 6. Cyclops
7. Diacyclops
8. Eucyclops
9. Macrocyclops
10. Megacyclops
11. Merocyclops
12. Paracyclops
7. Diaptomidae 13. Diaptomus
14. Eudiaptomus
Monogononta 8. Brachionidae 15. Brachionus
16. Keratella
Ostracoda 9. Cypridae 17. Cyclocypris
Rhizopoda 10. Microgromidae 18. Acanthocystis
19. Rhaphidiophrys

Dari Tabel 4.1 diketahui bahwa pada seluruh stasiun penelitian ditemukan

5 kelas Fitoplankton yang tergolong dalam 33 famili dan 57 genus dan 7 kelas

Zooplankton yang tergolong dalam 10 famili dan 19 genus. Barus (2004),

menyatakan bahwa kepadatan zooplankton di suatu perairan lotik (mengalir) jauh

lebih sedikit dibandingkan dengan fitoplankton. Pengaruh kecepatan arus terhadap

Universitas Sumatera Utara


zooplankton jauh lebih kuat dibandingkan pada fitoplankton. Oleh karena itu

umumnya zooplankton banyak ditemukan pada perairan yang mempunyai

kecepatan arus yang rendah serta kekeruhan air yang sedikit. Muara Sungai

Asahan termasuk perairan lotik, menyebabkan fitoplankton lebih banyak dijumpai

dari pada zooplankton.

4.2. Kelimpahan Plankton

Dari hasil perhitungan terhadap sampel plankton, maka diperoleh nilai

kelimpahan plankton (individu/l), Kelimpahan Relatif (%) dan Frekuensi

Kehadiran (%) pada masing-masing stasiun penelitian dan masing-masing

kedalaman dicantumkan pada Tabel 4.2 dan 4.3. Dari Tabel 4.2 dapat dilihat

bahwa nilai kelimpahan, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi

untuk ketiga stasiun terdapat pada genus Coscinodiscus. Pada stasiun 1 nilai

kelimpahan, kelimpahan relatif, dan frekuensi kehadiran sebesar 2653,061

individu/l, 13,889%, dan 100%. Pada Stasiun 2 sebesar 9632,653 individu/l,

21,592%, dan 100%. Pada Stasiun 3 sebesar 13591,837 individu/l, 14,592%, dan

100%.

Tabel 4.2. Nilai Kelimpahan Plankton (individu/l), Kelimpahan Relatif (%)


dan Frekuensi Kehadiran (%) yang Didapatkan Pada Masing-
masing Stasiun Penelitian

Stasiun
No Taksa
1 2 3
K KR FK K KR FK K KR FK
FITOPLANKTON
I Bacillariophyceae
A Achnanthaceae
1 Achnanthes - - - 81.633 0.183 33.33 122.449 0.131 66.66
B Biddulphiaceae
2 Biddulphia 122.449 0.641 33.33 857.143 1.921 100 5306.122 5.697 100
3 Triceratium 81.633 0.427 33.33 81.633 0.183 33.33 122.449 0.131 33.33
C Chaetoceraceae
4 Chaetoceros 367.347 1.923 100 4122.449 9.241 100 9836.735 10.56 100

Universitas Sumatera Utara


D Corethronaceae
5 Thalassiosira - - - - - - 2612.245 2.805 100
E Coscinodiscaceae
6 Actinocyclus - - - - - - 40.816 0.044 33.33
7 Arachnoidiscus - - - - - - 40.816 0.044 33.33
8 Coscinodiscus 2653.061 13.89 100 9632.653 21.59 100 13591.83 14.59 100
9 Stephanodiscus - - - - - - 81.633 0.088 33.33
F Cymbellaceae
10 Cymbella - - - 40.816 0.091 33.33 40.816 0.044 33.33
G Epithemaceae
11 Denticula 122.449 0.641 33.33 - - - 40.816 0.044 33.33
H Fragilariaceae
12 Asterionella 122.449 0.641 66.66 408.163 0.915 66.66 3795.918 4.075 100
13 Diatoma - - - - - - 244.898 0.263 33.33
14 Fragilaria - - - - - - 244.898 0.263 66.66
15 Plagiogramma - - - - - - 81.633 0.088 33.33
16 Tabellaria 40.816 0.214 66.66 - - - 285.714 0.307 100
17 Thalassionema 408.163 2.137 66.66 2163.265 4.849 100 9918.367 10.64 100
18 Thalassiothrix 530.612 2.778 66.66 3510.204 7.868 100 10857.14 11.65 100
I Naviculaceae
19 Amphiprora - - - - - - 122.449 0.131 66.66
20 Cocconeis - - - 163.265 0.366 33.33 - -
21 Diatomella - - - - - - 40.816 0.044 33.33
22 Diploneis 40.816 0.214 33.33 - - - - -
23 Gyrogsima - - - - - - 40.816 0.044 33.33
24 Navicula 122.449 0.641 66.66 40.816 0.091 33.33 489.796 0.526 100
25 Pinnularia - - - - - - 81.633 0.088 33.33
26 Pleurosigma 612.245 3.205 100 2285.714 5.124 100 6653.061 7.143 100
J Nitzschiaceae
27 Amphora 122.449 0.641 33.33 122.449 0.274 66.66 612.245 0.657 66.66
28 Bellerochea - - - - - 81.633 0.088 33.33
29 Ditylum - - - 81.633 0.183 33.33 - - -
30 Nitzchia 571.429 2.991 33.33 448.980 1.006 33.33 244.898 0.263 66.66
K Rhizosoleniaceae
31 Rhizosolenia 122.449 0.641 66.66 571.429 1.281 66.66 979.592 1.052 100
L Skeletonemaceae - -
32 Skeletonema 448.980 2.350 66.66 775.510 1.738 33.33 1632.653 1.753 100
M Surirellaceae
33 Surirella 40.816 0.214 33.33 - - - 40.816 0.044 33.33
II Chlorophyceae
O Cladophoraceae
34 Rizoclonium - - - 40.816 0.091 33.33 285.714 0.307 33.33
P Desmidiaceae
35 Closterium - - - 163.265 0.366 66.66 612.245 0.657 100
36 Staurastrum - - - - - - 40.816 0.044 33.33
37 Penium - - - - - - 40.816 0.044 33.33
Q Halosphaeraceae
38 Dislephanus - - - 1755.102 3.934 100 4081.633 4.382 100
R Hydrodictyaceae
39 Pediastrum 81.633 0.427 33.33 - - - 40.816 0.044 33.33
S Mesotaeniaceae -
40 Cylindrocystis - - - - - - 81.633 0.088 33.33
T Microsporaceae - -
41 Microspora - - - - - - 40.816 0.044 33.33
U Oocystaceae
42 Chadotella - - - - - - 81.633 0.088 33.33
43 Closteriopsis - - - - - - 204.082 0.219 33.33
44 Tetraedron - - - - - - 163.265 0.175 66.66
V Protococcaceae
45 Protococcus - - - - - - 122.449 0.131 66.66
W Scenedesmaceae
46 Scenedesmus - - - - - - 122.449 0.131 66.66
X Schizogoniaceae
47 Schizogonium 122.449 0.641 33.33 285.714 0.640 100 612.245 0.657 100
Y Sphaeropleaceae
48 Sphaeroplea 163.265 0.855 66.66 204.082 0.457 100 1224.490 1.315 100
Z Ulothrichascaceae
49 Binuclearia - - - - - - 81.633 0.088 33.33
50 Ulothrix 122.449 0.641 66.66 653.061 1.464 66.66 1673.469 1.797 100

Universitas Sumatera Utara


A’ Zygnemataceae
51 Spyrogira - - - 81.633 0.183 33.33 - - -
III Chrysophyceae
B’ Chrysocapsaceae
52 Phaeoplaca 653.061 3.419 100 163.265 0.366 33.33 367.347 0.394 33.33
C’ Malmonadaceae
53 Chrysosphaerella - - - 408.163 0.915 66.66 285.714 0.307 66.66
IV Myxophyceae
D’ Oscilatoriaceae - -
54 Oscilatoria - - - - - - 40.816 0.044 33.33
V Xanthophyceae
E’ Chlorosaccaceae - -
55 Chlorobotrys - - - 530.612 1.189 33.33 816.327 0.876 33.33
F’ Pleurochloridaceae - -
56 Goniochloris - - - 204.082 0.457 33.33 122.449 0.131 66.66
G’ Tribonemataceae -
57 Tribonema - - - - - - 81.633 0.088 33.33

ZOOPLANKTON
VI Ciliophora
H’ Lichomolgidae
1 Pachysoma - - - - - - 40.816 0.044 33.33
I’ Rhabdonellidae
2 Rhabdonella 81,633 0,752 33,33 - - - - - -
VII Cladocera
J’ Bosminidae
3 Bosmina - - - - - - 367.347 0.394 66.66
VIII Copepoda
K’ Calanoidae
4 Nauplius 816.327 4.274 100 612.245 1.372 100 408.163 0.438 66.66
IX Crustaceae
L’ Acartiidae
5 Acartia 2489.79 13.03 100 3020.408 6.770 100 489.796 0.526 66.66
M’ Cyclopidae
6 Cyclops 979.592 5.128 100 2081.633 4.666 100 979.592 1.052 66.66
7 Diacyclops 938.776 4.915 66.66 489.796 1.098 33.33 938.776 1.008 100
8 Eucyclops - - - 3224.490 7.228 100 6367.347 6.836 100
9 Macrocyclops 1469.38 7.692 33.33 122.449 0.274 33,33 - - -
10 Megacyclops 163.265 0.855 66.66 408.163 0.915 33.33 1142.857 1.227 66.66
11 Merocyclops - - - - - - 81.633 0.088 33.33
12 Paracyclops 2244.89 11.75 66.66 163.265 0.366 33.33 1061.224 1.139 100
N’ Diaptomidae
13 Diaptomus 530.612 2.778 66.66 816.327 1.830 33.33 - - -
14 Eudiaptomus 1673.46 8.761 66.66 3673.469 8.234 100 1061.224 1.139 100
X Monogononta
O’ Brachionidae
15 Brachionus - - - - - - 326.531 0.351 66.66
16 Keratella 40.816 0.214 33.33 122.449 0.274 33.33 122.449 0.131 66.66
X1 Ostracoda
P’ Cypridae
17 Cyclocypris - - - - - - 81.633 0.088 33.33
XII Rhizopoda
Q’ Microgromidae
18 Acanthocystis - - - - - - 81.633 0.088 33.33
19 Rhaphidiophrys - - - - - - 81.633 0.088 33.33
TOTAL 19102.041 100 - 44612.24 100 - 93142.85 100 -
Jumlah Taksa 33 39 69

Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Mangrove
Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman
Stasiun 3: Mulut Muara

Secara keseluruhan dari ketiga stasiun, total kelimpahan tertinggi terdapat

pada stasiun 3 dengan nilai 93142,857 individu/l dan terendah pada stasiun 1

Universitas Sumatera Utara


dengan nilai 19102,041 individu/l. Menurut Nybakken (1992), fosfat merupakan

unsur dalam air dan unsur yang paling penting bagi plankton. Hal ini didukung

oleh nilai kandungan fofat yang didapat pada stasiun penelitian termasuk kategori

baik yaitu rata-rata sebesar 0,139 mg/l (Tabel 4.6), sedangkan kandungan fosfat

yang optimum untuk pertumbuhan plankton berkisar 0,27-5,51 mg/l. Caraco et al,

(1978) mengatakan bahwa perubahan satu diantara faktor lingkungan akan

mempengaruhi keragaman fitoplankton, penambahan unsur nitrogen dan fosfat

akan memperlihatkan pertumbuhan fitoplankton yang signifikan pada kisaran

salinitas 0-31 ppm. Selanjutnya Barus (2004) menyatakan bahwa kelimpahan

plankton akan meningkat jika di perairan tersebut terdapat nutrisi yang

mendukung pertumbuhannya.

Berdasarkan nilai kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran plankton

pada setiap stasiun penelitian, maka didapat hanya genus Coscinodiscus yang

dapat hidup dengan baik pada ketiga stasiun penelitian dengan nilai kelimpahan

relatif >10% dan frekuensi kehadiran >25%. Hal ini sesuai dengan yang

dinyatakan oleh Suin (2002), apabila didapat nilai kelimpahan relatif >10% dan

frekuensi kehadiran >25% menunjukkan bahwa organisme tersebut dapat hidup

dan berkembang biak dengan baik pada habitat tersebut.

Hasil identifikasi plankton antar stasiun ternyata ada genus yang hanya

dijumpai pada satu stasiun. Genus yang hanya dijumpai pada Stasiun 1 yaitu

genus Diploneis. Hal ini desebabkan karena genus ini yang dapat beradaptasi

dengan kondisi lingkungan perairan; pH (5,2), dan salinitas (12,83‰) yang lebih

rendah sedangkan TSS (84 mg/l) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan

Universitas Sumatera Utara


Stasiun 2 dan 3 (Tabel 4.6). Genus yang hanya dijumpai pada Stasiun 2 yaitu

genus Cocconeis, Ditylum dan Spirogira. Hal ini desebabkan karena genus ini

yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan perairan; BOD 5 (1,80 mg/l)

dan COD (54,4 mg/l) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 3

(Tabel 4.6). Dan ada sebanyak 31 genus yang hanya dijumpai pada Stasiun 3

(Tabel 4.2). Hal ini desebabkan karena genus-genus ini yang dapat beradaptasi

dengan kondisi perairan; COD (25.6 mg/l) yang lebih rendah dan salinitas

(26,8‰) yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 2 (Tabel 4.6).

Perhitungan nilai kelimpahan, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran

antar kedalaman dicantumkan pada Tabel 4.3. Dari Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa

kelimpahan, kelimpahan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi terdapat pada

genus Coscinodiscus. Pada kedalaman 0 meter (permukaan) nilai kelimpahan,

kelimpahan relatif, dan frekuensi kehadiran sebesar 4938,776 individu/l, 17,587%,

dan 100%. Pada kedalaman batas penetrasi cahaya sebesar 9102,041 individu/l,

16,642%, dan 100%. Pada kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya sebesar

11836,735 individu/l, 15,978%, dan 100%.

Tabel 4.3. Nilai Kelimpahan Plankton (individu/l), Kelimpahan Relatif (%)


dan Frekuensi Kehadiran (%) yang Didapatkan Pada Masing-
masing Kedalaman

Kedalaman
No Taksa
0 m(permukaan) b.p.c d. b. p. c
K KR FK K KR FK K KR FK
FITOPLANKTON
I Bacillariophyceae
A Achnanthaceae
1 Achnanthes 163.265 0.581 66.66 - - - 40.816 0.055 33.33
B Biddulphiaceae
2 Biddulphia 285.714 1.017 66.66 3102.041 5.672 66.66 2897.959 3.912 100
3 Triceratium - - - 122.449 0.224 33.33 163.265 0.220 66.66
C Chaetoceraceae
4 Chaetoceros 2081.633 7.413 100 4571.429 8.358 100 7673.469 10.38 100
D Corethronaceae
5 Thalassiosira 1061.224 3.779 33.33 612.245 1.119 33.33 938.776 1.267 33.33
E Coscinodiscaceae

Universitas Sumatera Utara


6 Actinocyclus - - - 40.816 0.075 33.33 - - -
7 Arachnoidiscus 40.816 0.145 33.33 - - - - - -
8 Coscinodiscus 4938.776 17.58 100 9102.041 16.642 100 11836.73 15.98 100
9 Stephanodiscus - - - 81.633 0.149 33.33 - - -
F Cymbellaceae
10 Cymbella - - - 40.816 0.075 33.33 40.816 0.055 33.333
G Epithemaceae
11 Denticula 40.816 0.145 33.33 - - - 122.449 0.165 33.33
H Fragilariaceae
12 Asterionella 816.327 2.907 66.66 1836.735 3.358 100 1673.469 2.259 100
13 Diatoma 244.898 0.872 33.33 - - - - - -
14 Fragilaria 40.816 0.145 33.33 204.082 0.373 33.33 - - -
15 Plagiogramma - - - 81.633 0.149 33.33 - - -
16 Tabellaria 204.082 0.727 66.66 40.816 0.075 33.33 81.633 0.110 33.33
17 Thalassionema 2489.796 8.866 66.66 5428.571 9.925 100 4571.429 6.171 100
18 Thalassiothrix 2244.898 7.994 66.66 4367.347 7.985 100 8285.714 11.18 100
I Naviculaceae
19 Amphiprora 81.633 0.291 33.33 - - - 40.816 0.055 33.33
20 Cocconeis - - - - - - 163.265 0.220 33.33
21 Diatomella - - - 40.816 0.075 33.33 - - -
22 Diploneis - - - - - - 40.816 0.055 33.33
23 Gyrogsima - - - 40.816 0.075 33.33 - - -
24 Navicula 244.898 0.872 66.66 122.449 0.224 33.33 285.714 0.386 66.66
25 Pinnularia 81.633 0.291 33.33 - - - - - -
26 Pleurosigma 1224.490 4.360 100 2897.959 5.299 100 5428.571 7.328 100
J Nitzschiaceae
27 Amphora 612.245 2.180 100 244.898 0.448 66.66 - - -
28 Bellerochea 81.633 0.291 33.33 - - - - - -
29 Ditylum - - - 81.633 0.149 33.33 - - -
30 Nitzchia 571.429 2.035 33.33 40.816 0.075 33.33 653.061 0.882 66.66
K Rhizosoleniaceae
31 Rhizosolenia 285.714 1.017 33.33 448.980 0.821 100 938.776 1.267 100
L Skeletonemaceae
32 Skeletonema 530.612 1.890 33.33 408.163 0.746 66.66 1918.367 2.590 100
M Surirellaceae
33 Surirella 81.633 0.291 66.66 - - - - - -
II Chlorophyceae
O Cladophoraceae
34 Rizoclonium - - - 326.531 0.597 66.66 - - -
P Desmidiaceae
35 Closterium 163.265 0.581 66.66 326.531 0.597 66.66 285.714 0.386 33.33
36 Staurastrum - - - 40.816 0.075 33.33 - - -
37 Penium - - - 40.816 0.075 33.33 - - -
Q Halosphaeraceae -
38 Dislephanus 816.327 2.907 66.66 1265.306 2.313 66.66 3755.102 5.069 66.66
R Hydrodictyaceae
39 Pediastrum - - - 40.816 0.075 33.33 81.633 0.110 33.33
S Mesotaeniaceae
40 Cylindrocystis 81.633 0.291 33.33 - - - - - -
T Microsporaceae
41 Microspora - - - 40.816 0.075 33.33 - - -
U Oocystaceae
42 Chadotella - - 81.633 0.149 33.33 - - -
43 Closteriopsis 204.082 0.727 33.33 - - - - - -
44 Tetraedron 40.816 0.145 33.33 122.449 0.224 33.33 - - -
V Protococcaceae
45 Protococcus 40.816 0.145 33.33 81.633 0.149 33.33 - - -
W Scenedesmaceae -
46 Scenedesmus - - - 81.633 0.149 33.33 40.816 0.055 33.33
X Schizogoniaceae
47 Schizogonium 285.714 1.017 66.66 285.714 0.522 66.66 448.980 0.606 100
Y Sphaeropleaceae
48 Sphaeroplea 285.714 1.017 66.66 489.796 0.896 100 816.327 1.102 100
Z Ulothrichascaceae
49 Binuclearia 81.633 0.291 33.33 - - - - - -
50 Ulothrix 367.347 1.308 66.66 1346.939 2.463 100 734.694 0.992 33.33
A’ Zygnemataceae
51 Spyrogira - - - - - - 81.633 0.110 33.33
III Chrysophyceae

Universitas Sumatera Utara


B’ Chrysocapsaceae
52 Phaeoplaca 734.694 2.616 66.66 204.082 0.373 33.33 244.898 0.331 66.66
C’ Malmonadaceae
53 Chrysosphaerella 244.898 0.872 66.66 - - - 448.980 0.606 66.66
IV Myxophyceae
D’ Oscilatoriaceae
54 Oscilatoria 40.816 0.145 33.33 - - - - - -
V Xanthophyceae
E’ Chlorosaccaceae
55 Chlorobotrys - - - - - - 1346.939 1.818 66.66
F’ Pleurochloridaceae - -
56 Goniochloris 81.633 0.291 33.33 - - - 244.898 0.331 66.66
G’ Tribonemataceae
57 Tribonema - - - 81.633 0.149 33.33 - - -

ZOOPLANKTON
VI Ciliophora
H’ Lichomolgidae
1 Pachysoma - - - 40.816 0.075 33.33 - - -
I’ Rhabdonellidae
2 Rhabdonella - - - - - - 81.633 0.110 33.33
VII Cladocera
J’ Bosminidae
3 Bosmina 244.898 0.872 33.33 - - - 122.449 0.165 33.33
VIII Copepoda
K’ Calanoidae
4 Nauplius 285.714 1.017 66.66 775.510 1.418 100 775.510 1.047 100
IX Crustaceae
L’ Acartiidae
5 Acartia 1102.041 3.924 66.66 2775.510 5.075 100 2122.449 2.865 100
M’ Cyclopidae
6 Cyclops 489.796 1.744 66.66 2530.612 4.627 100 1020.408 1.377 66.66
7 Diacyclops 448.980 1.599 33.33 938.776 1.716 66.66 979.592 1.322 100
8 Eucyclops 1183.673 4.215 66.66 3877.551 7.090 66.66 4530.612 6.116 66.66
9 Macrocyclops 122.449 0.436 33.33 - - - 1469.388 1.983 33.33
10 Megacyclops - - - 653.061 1.194 66.66 1061.224 1.433 100
11 Merocyclops 81.633 0.291 33.33 - - - - - -
12 Paracyclops 326.531 1.163 66.66 285.714 0.522 66.66 2857.143 3.857 66.66
N’ Diaptomidae
13 Diaptomus 40.816 0.145 33.33 489.796 0.896 100 816.327 1.102 33.33
14 Eudiaptomus 1306.122 4.651 66.66 3265.306 5.970 100 1836.735 2.479 66.66
X Monogononta
O’ Brachionidae
15 Brachionus 163.265 0.581 33.33 163.265 0.299 33.33 - - -
16 Keratella 204.082 0.727 100 - - - 81.633 0.110 33.33
X1 Ostracoda
P’ Cypridae
17 Cyclocypris 81.633 0.291 33.33 - - - - - -
XII Rhizopoda
Q’ Microgromidae
18 Acanthocystis 81.633 0.291 33.33 - - - - - -
19 Rhaphidiophrys - - - 81.633 0.149 33.33 - - -
TOTAL 28081.63 100 - 54693.88 100 - 74081.63 100 -
Jumlah Taksa 52 51 45
Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Mangrove
Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman
Stasiun 3: Mulut Muara
Permukaan (p): 0 Meter
Batas Penetrasi Cahaya (b.p.c): St. 1: 0,5 Meter, St. 2: 1,2 Meter, St.3: 1,5 Meter
Dibawah Batas Penetrasi Cahaya (d.b.p.c): St.1: >0,5 Meter, St.2: >1,2 Meter, St.3: >1,5 Meter

Secara keseluruhan jika dibandingkan antar kedalaman maka total

kelimpahan tertinggi terdapat pada kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya

Universitas Sumatera Utara


dengan nilai 74081,633 individu/l dan terendah pada kedalaman 0 meter

(permukaan) dengan nilai 28081,633 individu/l. Berdasarkan nilai kelimpahan

relatif dan frekuensi kehadiran plankton pada setiap kedalaman penelitian, maka

didapat hanya genus Coscinodiscus yang dapat hidup dengan baik pada ketiga

kedalaman penelitian dengan nilai kelimpahan relatif >10% dan frekuensi

kehadiran >25%. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suin (2002), apabila

didapat nilai kelimpahan relatif >10% dan frekuensi kehadiran >25%

menunjukkan bahwa organisme tersebut dapat hidup dan berkembang biak dengan

baik pada habitat tersebut. Nontji (1993) dan Wickstead (1965) dalam Nurdahlanti

(2008), menyatakan bahwa keberadaan diatom umumnya sangat melimpah pada

perairan muara sungai. Hal tersebut disebabkan zat hara dari daratan terbawa oleh

air hujan (run-off) melalui sungai masuk ke muara sehingga perairan muara

mengalami penyuburan. Boney (1979) dan Nontji (1993) dalam Nurdahlanti

(2008), menyatakan bahwa keberadaan diatom yang melimpah umumnya terdapat

di perairan sekitar upwelling dan muara sungai karena terjadinya penyuburan di

kedua perairan tersebut. Hal inilah yang menyebabkan tingginya kelimpahan

diatom dari genus Coscinodiscus pada setiap stasiun dan kedalaman di perairan

muara Sungai Asahan.

Hasil identifikasi plankton antar kedalaman ternyata ada genus yang

hanya dijumpai pada satu kedalaman. Genus yang hanya dijumpai pada

kedalaman 0 meter (permukaan) ada 11 genus (Tabel 4.3). Hal ini desebabkan

karena genus-genus ini yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan

perairan; salinitas (19‰), dan nilai BOD 5 (0,8 mg/l) yang rendah jika

Universitas Sumatera Utara


dibandingkan dengan pada kedalaman batas penetrasi cahaya dan kedalaman di

bawah batas penetrasi cahaya (Tabel 4.6). Genus yang hanya dijumpai pada

kedalaman batas penetrasi cahaya ada 13 genus (Tabel 4.3). Hal ini desebabkan

karena genus-genus ini yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan

perairan; DO (5,4 mg/l) yang lebih rendah dan COD (54,4 mg/l) yang lebih tinggi

jika dibandingkan dengan pada kedalaman 0 meter (permukaan) dan kedalaman di

bawah batas penetrasi cahaya (Tabel 4.6). Genus yang hanya dijumpai pada

kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya yaitu genus Diploneis, Spyrogira,

Chlorobotrys dan Rabdonella (Tabel 4.3). Hal ini desebabkan karena genus-genus

ini yang dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan perairan; COD (25.6 mg/l)

yang lebih rendah dan salinitas (23,1‰) yang lebih tinggi jika dibandingkan

dengan pada kedalaman 0 meter (permukaan) dan kedalaman batas penetrasi

cahaya (Tabel 4.6).

Menurut Hynes (1974) kelimpahan Ulothrix sp dan Asterionella sp cukup

tinggi di perairan yang bersih atau sudah mengalami purifikasi. Kedua jenis ini

merupakan indikator biologi untuk perairan yang sudah pulih dari pencemaran

organic. Kehadiran kedua genus; Ulotrix (367,347 individu/l) dan Asterionella

(816.327 individu/l) di setiap stasiun dan kedalaman menandakan perairan muara

Sungai Asahan belum tercemar berat.

Menurut Barus (2004), bahwa fluktuasi dari populasi plankton dipengaruhi

oleh perubahan berbagai kondisi lingkungan, salah satunya adalah ketersediaan

nutrisi di perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fosfor yang terakumulasi

dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan populasi

Universitas Sumatera Utara


plankton. Hal ini didukung oleh nilai kandungan fosfat yang didapat pada

kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya cukup baik yaitu rata-rata sebesar

0,121 mg/l (Tabel 4.6), sedangkan kandungan fosfat yang optimum untuk

pertumbuhan plankton berkisar 0,27-5,51 mg/l.

Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian antar stasiun, ternyata

kelimpahan plankton antar stasiun tidak ada perbedaan yang nyata. Sedangkan

hasil perhitungan analisis varian antar kedalaman, ternyata kelimpahan plankton

antar kedalaman menunjukkan perbedaan yang nyata. Dengan kata lain bahwa

kelimpahan plankton antar kedalaman terdapat perbedaan yang signifikan.

4.3. Nilai Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks Keseragaman (E) pada
Masing-Masing Stasiun Penelitian dan Kedalaman.

Nilai Indeks keanekaragaman (H’) dan nilai indeks keseragaman (E) yang

diperoleh pada masing-masing stasiun penelitian dan kedalaman dicantumkan

pada Tabel 4.4. Dari Tabel 4.4 dapat dilihat bahwa indeks rata-rata

keanekaragaman tertinggi untuk masing-masing stasiun didapat pada Stasiun 3

sebesar 2.92. Hal ini karena stasiun ini cocok untuk pertumbuhan plankton akibat

fosfat yang tinggi yaitu sebesar 0,139 mg/l (Tabel 4.6), sehingga nutrisi plankton

terpenuhi. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa keanekaragaman plankton

memiliki korelasi yang sangat kuat dengan fosfat yaitu sebesar 0,999**. Indeks

rata-rata keanekaragaman terendah terdapat pada Stasiun 1 sebesar 2,48 karena

merupakan daerah mangrove (kontrol) sehingga masukan nutrisi tidak ada dan

tidak didapatkan spesies-spesies yang mendominasi.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.4. Nilai Rata-Rata Indeks Keanekaragaman (H’) dan Indeks
Keseragaman (E) pada Masing-Masing Stasiun Penelitian dan
Kedalaman

Stasiun Kedalaman
1 2 3 p b.p.c d.b.p.c
H 2.48 2.62 2.92 2,71 2,60 2,67
E 0.84 0.82 0.78 0,84 0,56 0,79
Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Mangrove
Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman
Stasiun 3: Mulut Muara
Permukaan (p): 0 Meter
Batas Penetrasi Cahaya (b.p.c): St. 1: 0,5 Meter, St. 2: 1,2 Meter, St.3: 1,5 Meter
Dibawah Batas Penetrasi Cahaya (d.b.p.c): St.1: >0,5 Meter, St.2: >1,2 Meter, St.3: >1,5 Meter

Indeks Keanekaragaman tertinggi pada masing-masing kedalaman terdapat

pada kedalaman 0 meter (permukaan) yaitu sebesar 2,71. Edward (1995)

menyatakan bahwa kecerahan yang baik untuk kehidupan biota adalah jumlah

cahaya yang masuk tidak terlalu besar, sehingga proses fotosintesis dapat berjalan

seimbang dan jumlah fitoplanton memadai untuk kehidupan semua biota perairan.

Sedangkan indeks keanekaragaman terendah terdapat pada kedalaman batas

penetrasi cahaya sebesar 2.60, hal ini disebabkan oleh pengaruh intensitas cahaya

yang masuk kebadan perairan.

Analisis varian antar stasiun (Lampiran 11), menunjukkan tidak ada

perbedaan yang nyata keanekaragaman dan kelimpahan plankton antar stasiun.

Keadaan ini terjadi karena sifat fisika-kimia antara lain: suhu, intensitas cahaya,

penetrasi cahaya, pH, DO, BOD 5 , COD, nitrogen, fosfat, dan salinitas, pada setiap

stasiun penelitian memiliki banyak persamaan (Tabel 4.6).

Hasil analisis varian antar kedalaman (Lampiran 11), menunjukkan ada

perbedaan yang nyata keanekaragaman dan kelimpahan plankton antar

kedalaman. Dapat dilihat kelimpahan plankton pada kedalaman 0 meter

Universitas Sumatera Utara


(permukaan) berbeda nyata dengan kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya,

sedangkan kedalaman 0 meter (permukaan) dengan kedalaman batas penetrasi

cahaya beda tidak nyata, demikian juga halnya kedalaman batas penetrasi cahaya

dengan kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya beda tidak nyata.

Menurut Krebs (1985), keanekaragaman rendah bila 0<H’<2,30,

keanekaragaman sedang bila 2,302<H’<6,907 keanekaragaman tinggi bila

H’>6,907. Berdasarkan kriteria tersebut dapat disimpulkan bahwa daerah muara

Sungai Asahan mempunyai tingkat keanekaragaman plankton yang sedang. Barus

(2004), suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman spesies yang

tinggi apabila terdapat banyak spesies dengan jumlah individu masing-masing

spesies yang relatif merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu komunitas

hanya terdiri dari sedikit spesies dengan jumlah individu yang tidak merata, maka

komunitas tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah. Menurut Begon et

al (1986), nilai diversitas berdasarkan indeks Shannon-Wiener dihubungkan

dengan tingkat pencemaran yaitu apabila H’<1 tercemar berat, apabila nilai 1<

H<3 tercemar sedang dan apabila nilai H'>3 tidak tercemar/bersih. Dari kategori

diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seluruh stasiun penelitian termasuk

mengalami pencemaran pada tingkat tercemar sedang.

Indeks rata-rata keseragaman tertinggi pada masing-masing stasiun

terdapat pada Stasiun 1 sebesar 0,844. Dan indeks rata-rata keseragaman tertinggi

unutuk masing-masing kedalaman terdapat pada kedalaman 0 meter (permukaan)

yaitu sebesar 0,844, karena penyebaran plankton merata dan tidak ada spesies

yang mendominasi. Sedangkan indeks keseragaman yang terendah pada masing-

Universitas Sumatera Utara


masing stasiun terdapat pada Stasiun 3 sebesar 0,78, dan pada masing-masing

kedalaman terdapat pada kedalaman batas penetrasi cahaya sebesar 0,562.

Menurut Suin (2002) bahwa pola penyebaran plankton di dalam air tidak sama

pada kedalaman yang berbeda. Tidak samanya penyebaran plankton dalam badan

air disebabkan oleh adanya perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya dan

faktor-faktor lainnya di kedalaman air yang berbeda. Hal ini disebabkan pada

kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya nilai rata-rata dari oksigen terlarut

(5,66 mg/l), salinitas (23,10/ 00 ) dan fosfat (0,358 mg/l) cukup tinggi (Tabel 4.6)

dan berdasarkan hasil analisis korelasi ternyata oksigen terlarut (+0,709), salinitas

(+0,798) dan fosfor (+0,999) terlarut berkorelasi positip atau searah (Tabel 4.7),

sehingga menyebabkan keanekaragaman dan kelimpahan plankton menjadi tinggi

pada kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya. Sedangkan pada kedalaman 0

meter (permukaan) nilai rata-rata oksigen terlarut (5,66 mg/l), salinitas (19,0310/ 00 )

dan Fosfor (0,10 mg/l), juga cukup tinggi (Tabel 4.6), namun lebih rendah, tetapi

berdasarkan analisis korelasi ternyata masih berkorelasi searah (Tabel 4.7).

Menurut Krebs, (1985) apabila indeks keseragaman mendekati 0 maka

semakin kecil keseragaman suatu populasi dan penyebaran individu setiap genus

tidak sama, serta ada kecenderungan suatu genus mendominasi pada populasi

tersebut. Sebaliknya semakin mendekati nilai 1 maka populasi plankton

menunjukkan keseragaman jumlah individunya merata.

Jika dihubungkan dengan hasil perhitungan Analisis Korelasi Pearson,

korelasi antara faktor fisika-kimia perairan terhadap keseragaman plankton antar

stasiun dan antar kedalaman, ternyata bahwa; fosfat, pH, penetrasi cahaya,

Universitas Sumatera Utara


intensitas cahaya, TDS, DO, suhu, dan salinitas berkorelasi searah (Tabel 4.7).

Sedangkan rata-rata keseragaman antar stasiun yaitu stasiun 1 = 0,84, stasiun 2 =

0,82, stasiun 3 = 0,78 dan antar kedalaman yaitu kedalaman 0 meter (permukaan)

= 0,84, kedalaman batas penetrasi cahaya = 0,56, kedalaman di bawah batas

penetrasi cahaya = 0,79 (Tabel 4.4), artinya mendekati nilai 1. Dalam hal ini

faktor fisika-kimia antar stasiun dan antar kedalaman hampir sama, akibatnya

kondisi perairan menjadi hampir sama dan plankton yang hidup di dalam juga

menjadi hampir sama, dalam arti keseragaman tinggi.

4.4. Indeks Similaritas

Nilai indeks similaritas (indeks kesamaan) antar stasiun penelitian dapat

dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Nilai Indeks Similaritas Antar Stasiun Penelitian

Stasiun 1 2 3
1 - 74,285% 59,793%
2 - - 60,952%
Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Mangrove
Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman
Stasiun 3: Mulut Muara

Dari Tabel 4.5 diketahui bahwa indeks similaritas yang diperoleh pada

Stasiun 1 dan 2, Stasiun 1 dan 3 , Stasiun 2 dan 3, tergolong pada stasiun yang

Universitas Sumatera Utara


dapat dikatakan sama, berarti komunitas ini dianggap satu atau sama. Berdasarkan

aturan 50% oleh Kendeigh (1980), menyatakan bila indeks kesamaan dari 2

komunitas yang dibandingkan lebih besar dari 50%, maka kedua komunitas yang

dibandingkan tersebut dapat dianggap 1 komunitas bukan menjadi 2 komunitas

yang berbeda, atau dengan kata lain 2 komunitas dikatakan berbeda nyata bila

indeks kesamaannya lebih kecil dari 50% atau indeks keanekaragamannya lebih

besar dari 50%. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor fisik-kimia perairan

antara stasiun-stasiun tersebut hampir sama dan memiliki jumlah dan jenis yang

tidak jauh berbeda, dicantumkan pada (Tabel 4.6).

4.5. Faktor Abiotik Perairan

Faktor abiotik merupakan faktor yang penting untuk diketahui nilainya

karena sangat mempengaruhi faktor biotik lainnya di suatu perairan. Sifat fisika-

kimia perairan atau yang disebut faktor abiotik, secara langsung maupun tidak

langsung menentukan kehidupan biotik. Faktor abiotik yang diukur pada saat

penelitian dilakukan meliputi faktor fisika-kimia lingkungan antara lain suhu,

penetrasi cahaya, intensitas cahaya, TDS, TSS, pH, salinitas, DO, BOD 5 , COD,

nitrat dan fosfor. Adapun hasil pengukuran faktor fisika-kimia lingkungan yang

diperoleh pada setiap stasiun penelitian dan kedalaman dicantumkan pada Tabel

4.6 berikut ini:

Universitas Sumatera Utara


Tabel 4.6. Nilai Faktor Fisik-Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun
Penelitian dan Kedalaman

Stasiun
N Parame Satua 1 2 3
o ter Rata- Rata- Rata-
n
Kedalaman (m) rata
Kedalaman (m) rata Kedalaman (m) rata

>0, >1, >1,


0 0,5 0 1,2 0 1,5
5 2 5
Fisik
1 Suhu 28 28 28 28 28 30, 30 29, 30, 30 29 29,
°C
Air 5 5 5 83
2 P. 50 120 150
cm
Cahaya
3 I. 248 384 343
Cand
Cahaya
ela
4 TDS 230
mg/l 12752 21178
36
5 TSS mg/l 84 68 62
Kimia
6 pH Air 5,2 5,2 5,2 5,2 5,6 5,6 5,6 5,6 6,6 5,7 5,8 6,0
-
3
7 Salinitas 0
/ 00 8,5 12 18 12, 22 26 24 24 26, 26,6 27, 26,
83 5 3 8
8 DO 5.5
mg/l 5,8 5,5 5,4
6
5,2 4,8 5,6 5,2 6 6 6 6
9 BOD 5 0,4 1,2 0,9 0,8 1,2 2,6 1,6 1,8 0,8 0,5 1 0,7
mg/l
3 6
1 COD 25,6
0 mg/l 42,4 54,4
1 Nitrat 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,0 0,08 0,0 0,0
1
mg/l
45 24 10 23 08 04 08 06 90 2 84 85
1 Fosfat 0,0 0,0 0,1 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,14 0,1 0,1
2
mg/l
96 93 03 97 06 09 14 09 29 3 46 39

Keterangan:
Stasiun 1: Daerah Mangrove
Stasiun 2: Daerah Pelabuhan dan Pemukiman
Stasiun 3: Mulut Muara
Permukaan (p): 0 Meter
Batas Penetrasi Cahaya (b.p.c): St. 1: 0,5 Meter, St. 2: 1,2 Meter, St.3: 1,5 Meter
Dibawah Batas Penetrasi Cahaya (d.b.p.c): St.1: >0,5 Meter, St.2: >1,2 Meter, St.3: >1,5 Meter

Universitas Sumatera Utara


1. Suhu

Dari hasil pengukuran suhu pada masing-masing stasiun penelitian, maka

diperoleh rata-rata suhu tertinggi terdapat pada Stasiun 3 dengan nilai 29,83Ԩ,

tingginya suhu pada Stasiun 3 disebabkan oleh tingginya intensitas cahaya dan

adanya percampuran air laut (asin) dengan air tawar dimana garam dapat

menyimpan panas. Hal inilah salah satu penyebab Stasiun 3 lebih panas

dibandingkan dengan stasiun lainnya. Suhu yang terendah terdapat pada Stasiun 1

dengan nilai 28Ԩ, hal ini disebabkan karena pada Stasiun 1 merupakan daerah

hutan mangrove sehingga terlindung oleh kanopi pohon mangrove yang banyak

tumbuh pada daerah tersebut. Suhu pada stasiun ini relatif konstan yakni 28Ԩ

pada kedalaman yang berbeda. Suhu yang konstan disebabkan karena adanya

Universitas Sumatera Utara


percampuran air yang merata sehingga perbedaan suhu dari kedalaman yang

berbeda tidak ada.

Menurut Barus (2004) bahwa fluktuasi suhu di perairan tropis yang

umumnya sepanjang tahun mempunyai fluktuasi suhu udara yang tidak terlalu

tinggi sehingga mengakibatkan fluktuasi suhu air tahunan juga tidak terlalu besar.

Secara umum kisaran suhu tersebut merupakan kisaran normal bagi organisme air

termasuk plankton.

Suhu yang dimiliki perairan muara Sungai Asahan jika dihubungkan

dengan kehidupan plankton masih termasuk dalam kisaran suhu yany relatif

optimum. Menurut Isnansetio & Kurniastuty (1995), kisaran suhu yang optimum

bagi kehidupan plankton adalah 22-300C. Suhu suatu perairan dapat

mempengaruhi kelulushidupan organisme yang berada didalamnya termasuk

plankton. Menurut Barus (2004) hal itu terjadi karena suhu suatu perairan akan

mempengaruhi kelarutan oksigen yang sangat diperlukan organisme akuatik untuk

metabolismenya. Semakin tinggi suhu perairan, kelarutan oksigennya semakin

menurun.

2. Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya berkaitan dengan padatan tersuspensi, warna air dan

intensitas cahaya matahari. Hasil pengukuran penetrasi cahaya pada ketiga stasiun

berkisar antara 0,5-1,5 meter. Terendah pada Stasiun 1 (daerah mangrove) sebesar

0,5 meter dan yang terdalam pada Stasiun 3 sebesar 1,5 meter. Keadaan ini sudah

Universitas Sumatera Utara


sangat mengganggu untuk kehidupan plankton. Menurut Nybakken (1982), untuk

kepentingan plankton diperlukan penetrasi cahaya sekitar 3 meter

Keadaan ini bisa terjadi dilihat dari tipe substratnya bahwa pada daerah

mangrove merupakan sedimen berlumpur. Menurut Agusnar (2007), padatan

tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air sehingga

mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.

Menurut Sastrawijaya (1991), padatan terlarut dalam air umumnya terdiri

dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan

hewan, dan limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan

cahaya yang datang, sehingga akan menurunkan intensitas cahaya yang

ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan

(kecerahan) dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas.

3. Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa

intensitas cahaya yang tertinggi terdapat di Stasiun 2 (daerah pemukiman dan

dermaga) yaitu 384 Candela. Hal ini disebabkan karena sedikitnya vegetasi

disekitar daerah ini dan pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah

atau dapat dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi oleh

awan. Intensitas cahaya terendah di Stasiun 1 (daerah mangrove) yaitu 248

Candela. Rendahnya intensitas cahaya ini karena adanya vegetasi di sekitar daerah

yaitu tumbuhan mangrove.

Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi.

Semakin maksimal intensitas cahaya, maka akan semakin tinggi penetrasi cahaya,

Universitas Sumatera Utara


demikian sebaliknya, semakin tinggi penetrasi cahaya semakin maksimal

intensitas cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat

dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan

musiman.

4. Total Dissolved Solid (TDS)

Jumlah padatan terlarut pada perairan berpengaruh terhadap penetrasi

cahaya. Semakin tinggi padatan terlarut berarti akan semakin menghambat

penetrasi cahaya ke dalam perairan. Hal ini secara langsung akan berakibat

terhadap penurunan aktivitas dari fotosintesis oleh organisme berhijau daun yang

terdapat pada perairan misalnya hydrophita dan fitoplanktoan. Dari pengukuran

yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan terlarut pada perairan muara Sungai

Asahan berkisar 12752-23036, dimana padatan terlarut tertinggi berada di Stasiun

3, dan terendah di Stasiun 1. Tingginya padatan terlarut pada Stasiun 3 yaitu

sebesar 23036, karena daerah ini merupakan mulut muara, berbatasan langsung

dengan laut bebas dan volume air lebih besar untuk melarutkan material yang

masuk kedalam badan perairan. Pada Stasiun 1 padatan terlarut lebih rendah yaitu

sebesar 12752, sebab daerah ini volume air sebagai pelarut semakin sedikit

sehingga material yang masuk kedalam badan perairan semakin berkurang yang

dapat dilarutkan.

5. Total Suspended Solid (TSS)

Universitas Sumatera Utara


Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan tersuspensi

pada perairan muara Sungai Asahan berkisar 62-84, dimana padatan tersuspensi

tertinggi berada di Stasiun 1 yaitu sebesar 84, dan terendah di Stasiun 3 yaitu

sebesar 62. Tingginya padatan tersuspensi pada Stasiun 1 karena daerah ini

banyak menerima marerial yang terbawa oleh arus sungai antara lain erosi DAS

dan abrasi oleh hempasan atau gelontoran ombak. Rendahnya padatan tersuspensi

pada Stasiun 3 karena daerah ini tidak lagi menerima langsung material yang

terbawa oleh arus sungai sebab daerah ini berbatasan langsung dengan laut bebas.

Menurut Kristanto (2002), padatan tersuspensi adalah padatan yang

menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat langsung mengendap,

terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari

sedimen. Padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam

air sehingga akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.

6. pH Air

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH pada masing-masing

stasiun penelitian dapat dilihat bahwa rata-rata nilai pH tertinggi terdapat pada

Stasiun 3 yaitu 6,03. Hal ini disebabkan karena daerah ini jauh dari pemukiman

dan pelabuhan, sehingga senyawa organik sebagai sumber asam organik yang

dapat menurunkan nilai pH perairan tidak banyak dijumpai. Penyebaran nilai pH

mulai dari permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya tidak

sama. Hal ini terjadi karena percampuran air yang tidak merata, dan akibat

aktifitas transportasi. Rata-rata nilai pH terendah terdapat pada Stasiun 1 yaitu 5,2.

Rendahnya nilai pH pada stasiun ini disebabklan karena stasiun ini merupakan

Universitas Sumatera Utara


daerah mangrove yang mana terdapat banyak seresah atau bahan organik dari

mangrove, yang apabila mengalami peruraian menghasilkan asam organik, yang

dapat mengakibatkan turunnya nilai pH perairan menjadi asam. Secara

keseluruhan nilai pH pada stasiun penelitian ini sangat rendah. Hal ini akan

mempengaruhi kelangsungan hidup organisme, sebab nilai pH yang rendah akan

menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium

yang bersifat toksit. Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam

suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara

asam lemah sampai basah lemah (6,20-8,50).

7. Salinitas

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai salinitas pada masing-masing

stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai salinitas tertinggi terdapat pada

Stasiun 3 yakni 26,80/ 00 . Hal ini karena berbatasan langsung dengan air laut (asin),

kadar garam tinggi, jadi pengaruh air asin lebih dominan, penyebaran nilai

salinitas mulai dari permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya

tidak sama. Rata-rata nilai salinitas terendah terdapat pada Stasiun 1 yakni

12.830/ 00 . Hal ini karena lebih banyak dipengaruhi oleh air tawar atau air sungai

dimana kadar garamnya rendah. Menurut Nybakken (1982), gambaran dominan

lingkungan estuari ialah berfluktuasinya salinitas. Secara definitif, suatu gradien

salinitas akan tampak pada suatu saat tertentu, tetapi pola gradien bervariasi,

Universitas Sumatera Utara


bergantung pada musim, topografi estuari, pasang surut, dan jumlah air tawar.

Tetapi ada juga faktor lain yang berperan dalam mengubah pola salinitas, pasang

surut merupakan salah satu faktornya, dimana saat pasang salinitas akan naik

karena pengaruh air laut (asin), sedangkan saat surut salinitas akan menurun

karena pengaruh masuknya air sungai (air tawar).

8. Oksigen Terlarut

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada masing-

masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai oksigen terlarut tertinggi

terdapat pada Stasiun 3 yaitu sebesar 6 mg/l. Tingginya nilai oksigen terlarut pada

Stasiun 3 berkaitan erat dengan lebih banyaknya jenis fitoplankton yang hidup

pada daerah ini dan adanya gerak turbulensi air, penyebaran nilai oksigen terlarut

mulai dari permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya sama.

Rata-rata nilai oksigen terlarut terendah terdapat pada Stasiun 2 yaitu 5,2 mg/l.

Rendahnya nilai oksigen terlarut pada Stasiun 2, karena lokasi ini merupakan

daerah pemukiman dan pelabuhan sehingga banyak menerima pencemaran limbah

domestik dan limbah buangan dari kapal berupa limbah organik yang jika terurai

akan menghasilkan asam organik yang dapat menghambat kelarutan oksigen pada

perairan dan oksigen juga banyak digunakan untuk menguraikan materi organik

oleh mikroorganisme.

Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut dalam perairan alami

bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer.

Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman bergantung

Universitas Sumatera Utara


pada percampuran, dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan

limbah. Menurut Barus (2004), sumber oksigen terlarut dalam air adalah

penyerapan oksigen dari udara, melalui kontak antara permukaan dengan udara,

dan dari proses fotosintesis. Organisme air akan hidup dengan baik jika nilai

oksigen terlarut lebih besar dari 5,0 mg/l. Menurut Nybakken (1992), masuknya

air tawar dan air laut secara teratur ke dalam estuaria, bersama-sama dengan

kedangkalannya, pengadukannya, dan pencampuran oleh angin, akan

mengakibatkan percampuran air, biasanya berarti cukupnya persediaan oksigen

didalam air. Karena kelarutan oksigen dalam air berkurang dengan naiknya suhu

dan salinitas, jumlah oksigen dalam air akan bervariasi sesuai dengan variasi

parameter tersebut. Kandungan oksigen terlarut pada perairan muara Sungai

Asahan tergolong sangat layak dalam mendukung kehidupan organisme, sebab

menurut Sastrawijaya (1991), kehidupan organisme akuatik berjalan dengan baik

apabila kandungan oksigen terlaru minimal 5 mg/l.

9. Biologi Chemical Oxygen Demand (BOD 5)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai BOD 5 pada masing-masing

stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai BOD 5 tertinggi terdapat pada

Stasiun 2 yakni 1,8 mg/l. Hal ini mengindikasikan bahwa kadungan bahan organik

di Stasiun 2 lebih tingggi jika dibandingkan dengan Stasiun 1 dan 3. Bahan

organik ini berasal dari limbah domestik dan limbah dari kapal, karena daerah ini

merupakan daerah pemukiman dan pelabuhan. Penyebaran nilai BOD 5 mulai dari

permukaan sampai kedalaman di bawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Rata-

Universitas Sumatera Utara


rata nilai BOD 5 terendah terdapat pada Stasiun 3 yakni 0,76 mg/l, hal ini

mengindikasikan bahwa kandungan bahan organik di stasiun ini rendah, karena

lokasi ini jauh dari pemukiman penduduk dan berbatasan langsung dengan laut

bebas, sehingga pengaruh limbah domestik berkurang dan volume air untuk

melarutkan limbah lebih besar yang mengakibatkan konsentrasi bahan organik

menjadi berkurang.

Menurut Effendi (2003), BOD 5 merupakan gambaran kadar bahan

organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk

mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. BOD 5 hanya

menggambarkan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis. Bahan

organik ini dapat berupa lemak, protein, glukosa dan sebagainya. Bahan organik

dapat berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati atau hasil buangan

limbah domestik dan industri.

Nilai BOD 5 di muara Sungai Asahan relatif kecil yaitu sebesar 0,76 - 1,8

mg/l jika dibandngkan dengan nilai kelarutan oksigen yaitu sebesar 5,2 - 6,0 mg/l.

Hal ini menunjukkan bahwa muara Sungai Asahan belum terjadi pencemaran

limbah organik yang berat. Menurut Barus (2001), nilai BOD 5 merupakan

parameter indikator pencemaran bahan organik, dimana semakin tinggi angka

nilai BOD 5 semakin tinggi tingkat pencemaran oleh bahan organik demikian

sebaliknya.

10. Chemical Oxygen Demand (COD)

Universitas Sumatera Utara


Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD tertinggi pada

Stasiun 2 yaitu 54,4 mg/l dan terendah pada Stasiun 3 yaitu 25,6 mg/l. Tingginya

nilai COD pada Stasiun 2 menunjukkan bahwa limbah cair yang berasal dari

pemukiman dan dermaga mengandung banyak senyawa organik dan anorganik

yang harus diuraikan secara kimia karena tidak dapat diuraikan hanya secara

biologis saja. Sedangkan pada Stasiun 3 lebih rendah karena daerah ini jauh dari

pemukiman dan pelabuhan. Nilai COD menunjukkan jumlah total oksigen yang

dibutuhkan untuk proses oksidasi yang berlangsung secara kimiawi. Pada

umumnya nilai COD selalu lebih besar dibandingkan dengan nilai BOD 5 , karena

BOD 5 terbatas hanya terhadap bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis

saja, sementara nilai COD menggambarkan kebutuhan oksigen untuk total

oksidasi baik terhadap senyawa yang dapat diuraikan secara biologis maupun

terhadap senyawa yang tidak dapat diuraikan secara biologis.

Menurut Kristanto (2002), untuk mengetahui jumlah bahan organik di

dalam air dapat dilakukan suatu uji berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan

oksidan, misalnya Kalium Dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik

yang terdapat dalam air. Banyaknya bahan organik yang tidak mengalami

penguraian biologis secara cepat berdasarkan pengujian BOD 5 , tetapi senyawa

organik tersebut juga menurunkan kualitas air. Bahan-bahan yang stabil terhadap

reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.

Ratio antara BOD 5 dengan COD untuk limbah domestik umumnya

mempnyai nilai 1 berbanding 4. Dari ratio antara BOD 5 dengan COD yang

diperoleh pada stasiun penelitian, yaitu nilai BOD 5 sebesar 0,76-1,8 mg/l

Universitas Sumatera Utara


sedangkan nilai COD sebesar 25,6-54,4 mg/l, terlihat bahwa kandungan kimiawi

yang terdapat di dalam air pada lokasi penelitian banyak mengandung bahan yang

sukar atau tidak dapat diuraikan secara biologis atau perairan ini banyak tercemar

oleh limbah anorganik.

11. Nitrat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai nitrat pada masing-masing

stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai nitrat tertinggi terdapat pada

Stasiun 1 yaitu 0,123 mg/l, penyebaran nilai nitrat mulai dari permukaan sampai

kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Rata-rata nilai nitrat

terendah terdapat pada Stasiun 3 yaitu 0,085 mg/l. Menurut Barus (2004), nitrat

merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Hal inilah yang

menyebabkan konsentrasi nitrat lebih tinggi pada Stasiun 1 jika dibandingkan

dengan Stasiun 2 dan 3, karena kadar nitrat akan semakin bertambah jika semakin

jauh dari titik pembuangan limbah protein, dimana Stasiun 1 jauh dari pemukiman

dan pelabuhan, sementara Stasiun 2 dan 3 lebih dekat dengan pemukiman dan

pelabuhan. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk

algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit

merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air.

12. Fosfat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai fosfat pada masing-masing

stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai fosfat tertinggi terdapat pada

Universitas Sumatera Utara


Stasiun 3 yaitu 0,139 mg/l, penyebaran nilai fosfat mulai dari permukaan sampai

kedalaman dibawah batas penetrasi cahaya tidak sama. Rata-rata nilai fosfat

terendah terdapat pada Stasiun 1 yaitu 0,097 mg/l. Barus (2004), menyatakan

dalam ekosistem air fosfor terdapat dalam tiga bentuk yaitu senyawa fosfor

anorganik seperti ortofosfat, senyawa organik dalam protoplasma dan sebagai

senyawa organik terlarut yang terbentuk dari proses penguraian tubuh organisme.

Fosfor berasal terutama dari sedimen yang selanjutnya akan terinfiltrasi ke

dalam air tanah dan akhirnya masuk kedalam sistem perairan terbuka (sungai dan

danau). Kadar fosfat meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Keadaan ini

sesuai dengan pendapat Raymond (1963) yang menyatakan bahwa di daerah

lintang menengah dan tropis kadar fosfat akan meningkat dengan bertambahnya

kedalaman. Kadar fosfat yang tinggi pada kedalaman tertentu dapat berasal dari

peruraian senyawa-senyawa organic (hewan, tumbuhan dsb), pengadukan dari

lapisan-lapisan yang lebih dalam yang kaya akan fosfat, sedangkan pada lapisan

dekat dasar dapat berasal dari peluruhan sedimen di dasar perairan. Di laut dalam

sumber fosfat adalah batuan-batuan dan endapan-endapan atau sedimen yang

terbentuk pada tahun-tahun geologi masa lalu, yang secara berangsur-angsur

mengalami pengikisan dan melepaskan fosfat ke perairan. Dengan demikian

sedimen berperan utama dalam menyediakan fosfor dibanyak perairan (Connel at

al 1995). Selain itu dapat berasal dari atmosfer dan bersama dengan curah hujan

masuk ke dalam sistem perairan. Hal inilah yang menyebabkan kadar fosfat lebih

tinggi pada Stasiun 3. Menurut Nybakken (1992), ada tiga komponen fauna di

estuaria; laut, air tawar dan air payau atau estuarine. Komponen fauna laut ini

Universitas Sumatera Utara


merupakan yang terbesar dalam jumlah spesies, dan banyak dijumpai pada Stasiun

3 karena berbatasan langsung dengan laut bebas. Hal ini juga akan meningkatkan

kadar fosfat sehingga lebih tinggi pada Stasiun 3 jika dibandingkan dengan

Stasiun 1 dan 2, sebab di Stasiun 3 banyak dijumpai organisme terutama fauna

laut dan estuaria, yang apabila mati akan mengalami peruraian yang dapat

meninggalkan fosfat dalam sistem perairan.

4.6. Korelasi/Hubungan Antara Keanekaragaman dan Kelimpahan Plankton


dengan Sifat Fisika-Kimia Perairan

Berdasarkan hasil pengukuran faktor fisika-kimia perairan yang telah

dilakukan pada setiap stasiun penelitian dan selanjutnya dikorelasikan dengan

keanekaragaman dan kelimpahan plankton maka didapat nilai indeks korelasi

seperti yang dicantumkan pada Tabel 4.7

Tabel 4.7. Nilai Analisis Korelasi Pearson antara Indes Keanekaragaman


Plankton dengan Faktor Fisika-Kimia Perairan

Suhu Penetrasi Intensitas


Parameter TDS TSS pH
( °C) (m) Cahaya

H’ +0.847 +0,901 +0,516 +0,847 -0,894 +0,983

DO BOD 5
Parameter Salinitas COD Nitrat Fosfat
(mg/l) (mg/l)

H’ +0,798 +0,709 -0,264 -0,736 -0,989 +0,999**

Keterangan:
α = 0,05
** = Korelasi Sangat Nyata
Nilai + = Arah Korelasi Searah
Nilai - = Arah Korelasi Berlawanan

Dari Tabel 4.7 menunjukkan bahwa hasil uji analisis korelasi Pearson

antara faktor fisik-kimia perairan dengan Indeks Keanekaragaman (H’) berbeda

Universitas Sumatera Utara


tingkat korelasi dan arah korelasinya. Nilai (+) menunjukkan korelasi yang searah

antara nilai faktor fisik-kimia perairan dengan nilai Indeks Keanekaragaman (H’),

yaitu suhu, penetrasi cahaya, intensitas cahaya, TDS, pH, salinitas, DO, dan

fosfat, artinya semakin besar nilai salah satu faktor fisik-kimia maka nilai indeks

keanekaragaman akan semakin besar pula. Peningkatan faktor fisiks-kimia

tersebut sampai batas optimum dapat meningkatkan keanekaragaman plankton

dalam perairan. Suhu, intensitas cahaya, penetrasi cahaya, dan TDS

mempengaruhi laju fotosintesis oleh organisme fotosintetik, sehingga

mempengaruhi ketersediaan oksigen dan nutrisi dalam perairan, pH rendah dapat

memobilisasi logam berat yang bersifat racun, salinitas dapat meningkatkan

garam-garam nutrisi yang dapat dimanfaatkan plankton, oksigen terlarut

dibutuhkan untuk proses respirasi dan fosfat merupakan nutrisi yang utama untuk

pertumbuhan plankton. Nilai (-) menunjukkan korelasi yang berlawanan yaitu

TSS, BOD 5, COD dan nitrat berkorelasi berlawanan dengan Indeks

Keanekaragaman (H’), artinya semakin besar nilai faktor fisik-kimia perairan

tersebut maka nilai H’ akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya, jika semakin

kecil nilai faktor fisik-kimia perairan maka nilai H’ akan semakin besar.

Peningkatan TSS, BOD 5, COD dan nitrat dapat menekan keanekaragaman dan

kelimpahan plankton dalam perairan. TSS menghambat laju fotosintesis, BOD 5 ,

COD dan nitrat menghabiskan ketersediaan oksigen.

Menurut Sokal & James (1992) koefisien dapat berkisar dari +1 untuk

hubungan positif sempurna sampai -1 untuk hubungan negatif sempurna dan

Sarwono (2006), mengatakan bahwa koefisien korelasi ialah pengukuran statistik

Universitas Sumatera Utara


kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar

antara -1 s/d +1. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan

linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefisien korelasi positif, maka

kedua variabel mempunyai hubungan searah. Menurut Sugiono (2005), koefisien

korelasi dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu:

Tabel 4.8. Nilai Koefisien Korelasi

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,00 – 0,199 Sangat Rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0,799 Kuat
0,80 – 1,00 Sangat Kuat

Berdasarkan Tabel 4.8 di atas, dapat diketahui bahwa korelasi antara

faktor fisik-kimia dengan Indeks Keanekaragaman (H’) plankton di muara Sungai

Asahan memiliki hubungan yang sedang, kuat dan sangat kuat. Hubungan yang

sangat kuat dan memiliki korelasi yang positif (searah) terdiri dari, fosfat

(+0,999**), pH (+0,983), penetrasi cahaya (+0,901), suhu (+0.847), dan TDS

(+0,847). Menurut Sastrawijaya (1991), cahaya matahari tidak dapat menembus

dasar perairan jika konsentrasi bahan tersuspensi atau terlarut tinggi, akibatnya

akan mempengaruhi proses fotosintesis di dalam perairan tersebut. Berkurangnya

intensittas cahaya matahari karena banyak faktor, antara lain adanya bahan yang

Universitas Sumatera Utara


tidak larut seperti debu, tanah liat maupun mikroorganisme air yang

mengakibatkan air menjadi kotor atau tidak jernih.

Untuk tingkat hubungan yang kuat dan arah korelasi positif (searah) adalah,

salinitas (+0,798) dan DO (+0,709), dan hubungan yang sedang dan arah korelasi

positip (searah) adalah intensitas cahaya (+0,516). Menurut Wardhana (1995),

kehidupan mikroorganisme dan hewan air lainnya, tidak terlepas dari kandungan

oksigen yang terlarut di dalam air. Air yang tidak mengandung oksigen tidak akan

dapat memberikan kehidupan bagi kehidupan mikroorganisme dan hewan air

lainnya. Pada umumnya perairan di lingkungan yang tercemar kandungan

oksigennya menjadi rendah. Hal ini terjadi karena oksigen yang terlarut dalam air

diserap oleh mikroorganisme untuk memecah atau mendegradasi bahan buangan

organik sehingga menjadi bahan buangan yang mudah menguap (ditandai dengan

bau busuk). Semakin banyak bahan buangan organik dalam air akan semakin

sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya.

Hubungan yang kuat dengan arah korelasi negatif (berlawanan) adalah

nitrat (-0,989), TSS (-0,894) dan COD (-0,736), dan BOD 5 (-0,264). Menurut

Barus (2004), semakin tinggi nilai COD akan mengakibatkan konsumsi oksigen

meningkat disamping itu proses pembentukan oksigen dari hasil fotosintesis

relatif tetap. Hal ini akan mengakibatkan kondisi perairan menjadi defisit oksigen

sehingga seluruh organisme mengalami gangguan proses respirasi. Kondisi

tersebut dapat mengakibatkan kematian bagi organisme tertentu yang mempunyai

kisaran toleransi yang sempit terhadap kebutuhan oksigen.

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian keanekaragaman Plankton dan keterkaitannya dengan

kualitas perairan Muara Sungai Asahan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Plankton yang didapatkan terdiri dari 5 kelas fitoplankton yang tergolong

dalam 33 famili dan 57 genus dan 7 kelas zooplankton yang tergolong dalam

10 famili dan 19 genus.

2. Total kelimpahan plankton tertinggi berdasarkan stasiun terdapat pada stasiun

3 dengan nilai 93142,857 individu/l dan terendah pada stasiun 1 dengan nilai

19102,041 individu/l.

3. Total kelimpahan plankton tertinggi berdasarkan kedalaman terdapat pada

kedalaman 1,5 meter dengan nilai 74081,633 individu/l dan terendah pada

kedalaman 0 meter dengan nilai 28081,633 individu/l.

4. Indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 2,92 dan

terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 2,48 dan indeks keseragaman

tertinggi terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,84 dan terendah terdapat pada

stasiun 3 sebesar 0,78.

5. Tidak terdapat perbedaan yang nyata kelimpahan plankton antar stasiun

namun berbeda nyata antar kedalaman.

6. Faktor fisik-kimia perairan menunjukkan bahwa suhu, penetrasi cahaya,

intensitas cahaya, TDS, pH, salinitas, DO, dan fosfat berkorelasi positif

Universitas Sumatera Utara


(searah) terhadap nilai indeks keanekaragaman plankton. Sedangkan TSS,

BOD 5, COD dan nitrat berkorelasi negatif (berlawanan). Berdasarkan

koefisien korelasi hubungan antara faktor fisik-kimia terutama fosfat

berkorelasi sangat kuat (0,999**) dengan nilai indeks keanekaragaman

plankton.

7. Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman plankton, bahwa muara Sungai

Asahan termasuk kategori tercemar sedang.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian selanjutnya berdasarkan perbedaan musim

antara musim hujan dan musim kemarau dan berdasarkan pasang-surut untuk

melihat bagaimana persebaran kelimpahan plankton berdasarkan musim, dan

pasang-surut.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Afiati, N., Susilo, Y. S. B., Lumbantobing, Y., dan Susiati, H. 2008. Rona Awal
Plankton di Perairan Tapak PLTN Mura. Abstrak.
www.batan.go.id/ppen/web%202008/rona.pdf

Agusnar, H. 2007. Kimia Lingkungan. USU Press. Medan.

Akrimi dan Subroto, G. 2002. Teknik Pengamatan Kualitas Air dan Plankton. Di
Reservat Danau Arang-Arang Jambi. Buletin Teknik Pertanian. 7: 2-5.
www.pustaka- deptan.go.id/publikasi/abstract/bt72025.pdf

Alaerts, G dan Sumestri. S. 1987. Metode Penelitian Air. Usaha Nasional,


Surabaya.

Arinardi, 1995. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di


Sekitar Pulau Sumatera. LIPI, Jakarta.

Astirin, O. P., Setyawan, A. D., dan Harini, M. 2002. Keragaman Plankton


Sebagai Indikator Kualitas Sungai di Kota Surakarta. Jurusan Biologi
FMIPA Surakarta. 557126. Biodiversitas. 3: 236-241
www.unsjournals.com./D/D0302/pdf/D030205.pdf

Azwar, E. 2001. Pengaruh Aktivitas Pabrik Semen Andalas Terhada Kelimpahan,


Diversitas dan Produktivitas Plankton di Perairan Pantai Lhokn Kabupaten
Aceh Besar. Fakultas FMIPA UNSYAH.

Barners, M. K., Colombus,S. H., Hulliday,N. C dan Pingree, R. D. 2009.


Disribution of Plankton and Hydrography in Relation to Great Sole,
Cockburn and Little Sole Banks. Journal of the Marine Biological
Association of the United Kingdom. 89: 11-18.
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did1647378041&SrchMode.

Barus, T. A. 1996. Metode Ekologis Untuk Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik.
Fakultas MIPA USU Medan.

_________ 2001. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan


Danau. Fakultas MIPA USU Medan.

_________ 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Air Daratan.


USU Press, 2004. Medan.

Basmi, J. 1992. Ekologi Pankton. Fakultas Perikanan IPB, Bogor.

Universitas Sumatera Utara


________1995. Panktologi: Organisme Penyusun Plankton, Klassifikasi dan
Terminologi Hubungan Antara Fitoplankton dan Zooplankton,
Siklus Produksi Umumnya di Perairan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor

Bold, H. C. dan Wayne, M. J. 1985. Introduction to The Algae. Second Edition,


Prentice Hal, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey 07632, USA.

Caraco, N., Tamse, A., Boutros, O dan Valiela, I. 1978. Nutrient Limitation of
Phytoplankton Growth in Brack, Fish Coastal Ponds. Canadian Journal
Fish Aquatic Science. Diakses Mei 2010.

Connel, W. D. dan Miller, G. J. 1995. Kimia dan Ekotoksitologi Pencemaran.


Penerbit Universitas Indonesia.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. PT. Gramedia Pustaka Utama,


Jakarta

________ 2004. Pengelolaan SDA Wilayah Pesisir dan Lautan Secara


Terpadu. Edisi Revisi. Penerbit PT Pradnya Paramita.

Darmono, 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran. UI Press. Jakarta.

Dianthani, D. 2003. Identifikasi Jenis Plankton di Perairan Muara Badak,


Kalimantan Timur. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pasca
Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor. Posted Mei 2003

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Kebudayaan,1994.


Analisa Kimia dari Air Limbah Industri. Laporan Pelaksanaan Kursus
Analisa Limbah Industri Angkatan II Staf Akademik PTN Indonesia
Bagian Timur 7-17 Juli 1994.

Edmonson, W. T. 1963. Fresh Water Biologi. Second Edition. Jhon Wiley dan
Sons,Inc.New York.

Edward, 1995. Kualitas Perairan Waisarisa dan Sumber Daya Perikanan. Jurnal
Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia. 15: 4-7.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta, Penerbit Kanisius.

Efrieldi, 1999. Sebaran Spasial Karakteristik Sedimen dan Kualitas Air Muara
Sungai Bantan Tengah, Bengkalis Kaitannya Dengan Budidaya KJA
(Keramba Jaring Apung). Jurnal Natur Indonesia, Unri. 11: 85-88.
www.unri.ac.ad./jurnal/natur/vol2/14.pdf

Ewise, J. Y. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Penerbit ITB, Bandung.

Universitas Sumatera Utara


Fahrul, M. F., Haeruman, H., dan Sitepu, L. C. 2005 Komunitas Fitoplankton
Sebagai Bio-Indikator Kualitas Perairan Teluk Jakarta. Seminar Nasional
MIPA 2005, Universitas Indonesia. Depok.
Email: Melati@hotmail.com.melati@trisakti.ac.id.

Fortner, R. W dan Jenkins, D. B. 1978. Simulated Sampling of Estuary Plankton.


Copyright © 2009 Heldref Publications. 46: 26
http://proqueat.umi.com/pqdweb?index=0&did=1647378041&SrchMode

Haerlina, E. 1987. Komposisi dan Distribusi Vertikal Darian Fitoplankton Pada


Siang dan Malam Hari di Perairan Pantai Bojonegoro, Teluk Banten.
Fakultas Perikanan, IPB Bogor.

Heddy, S. dan Kurniati. M. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi. PT. Raja


Grapindo Persada, Jakarta.

Hutauruk, S. 1984. Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton Serta


Produktivitas Primer di Sungai Anakan Cilacap, Jawa Tengah
Fakultas Perikanan IPB, Bogor.

Hutabarat, S dan Evans, M. S. 1986. Kunci Identifikasi Plankton. UI Press.


Jakarta.

Hayanto. S, Irawan. B dan Soedarti. T. 2008. Teori dan Praktek Ekologi.


Penerbit Airlangga University Press.

Isnansetyo, A., dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan


Zooplankton. Penerbit Kaninus, Yogyakarta.

Kendeigh, S. C. 1980. Ecology With Special Reference to Animals and Man.


Prentice Hall of India, New Delhi.

Kimbal, J. W. 1999. Biologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Krebs, C. J. 1985. Experimental Analysis of Distribution of Abudance. Third


Edition. Harper & Row Publisher, New York.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri, Yogyakarta. Penerbit Andi.

Marshall, H. G. 1985. Phytoplankton Assesment of the Duplin Riper, Georgia


Costanea.

Michael, P. 1984. Metode Ekologi untuk Penelitian Lapangan dan


Laboratorium. Penerjemah:Yanti R, Koestoer. UI Press Jakarta.

Universitas Sumatera Utara


Muksin.,I.K. 2008. Keanekaragaman Jenis Plankton di Danau Bayan Buleleng
Bali. Universitas Udayana, Abstrak.
Website: ejournal.unud.ac.id./abstrak/plangton.pdf

Nurdahlanti, L. 2008. Struktur Komunitas. FMIPA Unuversitas Indonesia 2008

Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekat Ekologis Penerjemah H.


Muhammad Eidman, PT. Gramedia. Jakarta.

Odum, E. P. 1994. Dasar-dasar Ekologi. Penerjemah: Tjahjono Samingan,


Edisi Ketiga, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Pennak, R. W. 1978. The Freshwater Invertebrates of the United States. New


York Jhon Wiley dan Sons.

Pitt, K. A., Welsh, D. T dan Condon, R .H. Influence of Jellyfish Blooms on


Carbon, Nitrogen and Phosphorus Cycling and Plankton Produktion.
Hydrobiologia. 616: 133-137.

Purnomo, K., Kantamiharja, E. S. dan Sunarno,T. D. 2004. Pengaruh Pencemaran


Das Way Seputih di Lampung Tengah Terhadap Sumber Daya Perikanan.
Jurnal Ilmu-Ilmu Perikanan dan Budidaya Perairan, 2: 13-16.

Raimond, J. E. G. 1963. Plankton and Productivity in the Osean. Mc. Millan Co.
New York.

Sabo, E., Roy. D., Hamilton. P. B., Hehanussa.P. E., McNeely. R dan
Haffner.G.D. 2008. The Plankton Community of Lake Matano: Factors
regulating Plankton Composition and Relative Abundance in an
Ancient,Tropical Lake of Indonesia. Hydrobiologia. 615: 225-229.
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=0&did=1896403851&SrchMode

Sanusi, H.2004. Karakteristik Kimiawi dan Kesuburan Perairan Teluk Pelabuhan


Ratu pada Musim Barat dan Timur. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia. Departemen Sumber Daya Perairan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB-Bogor.

Sarwono, 2006. Metode Penelitian Kualitatif Mengenal Analisis Korelasi. diakses


Mei 2010.

Sastrawijaya, A. T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta, Jakartaa.

Soemarwoto, O. 2001. Atur Diri Sendiri. Paradigma Baru Pengelolaan


Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press.

Soeriaatmadja, R. E. 1977. Ilmu Lingkungan Hidup. Penerbit: ITB Bandung

Universitas Sumatera Utara


Sokal, R. R. dan James. F. 1992. Pengantar Biostatistik, Edisi 2. Yogyakarta.
Gadjah Mada, University Press.

Streble, H, dan Krauter, D. 1988. Das Leben Im Wassertropfen. Germani:


Franckh’sche Verlagshandlung, W. Keller & Co.

Sugiyono 2005. Analisis Statistik Korelasi Sederhana. diakses Mei 2010.

Suin, N. M, 2002 Metoda Ekologi. Penerbit:Universitas Andalas. Padang.

Thoha, H. 2003. Pengaruh Musim terhadap Plankton di Perairan Riau Kepulauan


dan Sekitarnya. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta, Indonesia. Makara Sains. 7: 59-61.
E. mail: ahwganda@dnet.net.id.

_________2007. Kelimpahan Plankton di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk,


Taman Nasional, Bali Barat. Pusat Penelitian Oseanografi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Indonesia. Makara Sains. 11: 44-48.

Wardhana, W. A. 1994. Dampak Pencemaran Lingkungan. Edisi Revisi,


Penerbit Andi Yogykarta.

Zar, J. H. 1999. Biostatistical Analysis. Prentice Hall. Inc. New. Jersey.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan
Oksigen (DO)

Sampel Air

1 ml MnSO 4
1 ml KOH – KI
dikocok
didiamkan

Sampel Dengan
Endapan Putih/Coklat

1 ml H 2 SO 4
dikocok
didiamkan
Larutan Sampel
Berwarna Coklat

diambil sebanyak 100 ml


ditetesi Na 2 S 2 O 3 0,0125 N

Sampel Berwarna
Kuning Pucat

ditambahkan 5 tetes amilum

Sampel Berwarna
Biru

dititrasi dengan Na 2 S 2 O 3 0,0125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na 2 S 2 O 3 yang terpakai


(= nilai DO akhir)
Hasil
Lampiran 2. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD 5 (Suin, 2002)

Universitas Sumatera Utara


Sampel Air

Sampel Air Sampel Air

diinkubasi selama 5 hari


pada temperatur 20°C dihitung nilai DO awal
dihitung nilai DO akhir

DO Akhir DO Awal

Keterangan :
 Penghitungan nilai DO awal dan DO akhir sama dengan
penghitungan Nilai DO
 Nilai BOD = Nilai awal – Nilai DO akhir

(Suin, 2002)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3. Bagan Kerja Pengukuran COD dengan Metode Refluks

10 ml sampel air

dimasukkan ke dalam erlenmeyer


ditambah 5 ml K 2 Cr 2 O 7 dan 0,2 gr
HgSO
dimasukkan 2 batu didih
ditambah 5 ml H 2 SO 4 (p)
direfluks selama 45 menit
dibiarkan sampai dingin dan dilepas
dari rangkaian
k i 30 ml akuades
ditambah
diteteskan indikator feroin
dititrasi dengan Ferro Amonium
Sulfat 0,025 N
dicatat volume peniternya

Hasil Merah Kecoklatan

(Suin, 2002)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 4. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat

Substrat dasar pada titik


pengamatan

Dihomogenkan

100 gram substrat dasar

Dikeringkan dalam oven 45Ԩ

Berat konstan tanah

Dihaluskan/digerus dengan lumpang

Dikeringkan dalam oven 45Ԩ selama 1 jam

Ditimbang sebanyak 5 gram

5 gram tanah

Dibakar di dalam tungku pembakar

pada suhu 600Ԩ selama 3 jam

Universitas Sumatera Utara


Abu

Hasil

(Barus, 2004)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 5. Bagan Kerja Pengukuran Kandungan Nitrat (NO 3 )

5 ml sampel air

1 ml NaCl (dengan pipet volum)


5 ml H 2 SO 4 75%
4 tetes Brucine Sulfat Sulfanic Acid

Larutan

Dipanaskan selama 25 menit

Larutan

Didinginkan
Diukur dengan spektrofotometer pada λ = 410 nm

Hasil

(Michael, 1984 ; Suin, 2002)

Universitas Sumatera Utara


Lampian 6. Bagan Kerja Analisis Fosfat (PO 4 )

5 ml sampel air

1 ml Amstrong Reagen
1 ml Ascorbic Acid

Larutan

Dibiarkan selama 20 menit


Diukur dengan spektrofotometer pada λ = 880 nm

Hasil

(Michael, 1984 ; Suin2002)

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 7. Peta Lokasi Penelitian
Stasiun 1 Daerah Mangrove 020 ; 59’ ; 30,2” LU dan 990 ; 51’ ; 43,7” BT
Stasiun 2 Daerah Pemukiman dan Pelabuhan 030 ; 01’; 20,8” LU dan
990 ; 51’; 37,6” BT
Stasiun 3 Daerah Muara 030 ; 03’; 33,8” LU dan 990 ; 51’; 22,3” BT

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 8. Foto Lokasi Pengambilan Sampel

Stasiun 1

Stasiun 2

Stasiun 3

Lampiran 9. Data mentah Plankton


No Taksa Stasiun 1,2 dan 3 Stasiun 1,2 dan 3 Stasiun 1,2 dan 3
0m 0m 0m 0,5 m 1,2 m 1,5 m >0,5 m >1,2 m >1,5 m

Universitas Sumatera Utara


U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3 U1 U2 U3
FITOPLANKTON
I Bacillariophyceae
A Achnanthaceae
1 Achnanthes 2 2 1
B Biddulphiaceae
2 Biddulphia 2 2 3 1 7 3 46 19 3 9 2 25 15 17
3 Triceratium 3 1 1 2
C Chaetoceraceae
4 Chaetoceros 1 4 5 15 19 1 6 1 1 7 9 1 15 38 40 3 3 37 9 14 29 45 48
D Corethronaceae
5 Thalassiosira 26 10 5 17 6
E Coscinodiscaceae
6 Actinocyclus 1
7 Arachnoidiscus 1
8 Coscinodiscus 1 4 7 20 18 20 30 21 14 8 28 30 10 30 61 42 11 11 16 66 13 44 54 47 28
9 Stephanodiscus 2
F Cymbellaceae
10 Cymbella 1 1
G Epithemaceae
11 Denticula 1 3
H Fragilariaceae
12 Asterionella 1 2 6 9 2 1 1 18 20 5 2 6 23 5 5
13 Diatoma 4 2
14 Fragilaria 1 5
15 Plagiogramma 2
16 Tabellaria 1 4 1 2
17 Thalassionema 6 2 13 20 10 10 2 4 7 4 6 55 19 36 1 3 15 19 21 53
18 Thalassiothrix 5 4 14 17 2 13 3 1 3 7 13 2 10 68 4 5 15 22 3 26 43 85
I Naviculaceae
19 Amphiprora 2 1
20 Cocconeis 4
21 Diatomella 1
22 Diploneis 1
23 Gyrogsima 1
24 Navicula 2 1 3 1 2 1 2 3 1
25 Pinnularia 2
26 Pleurosigma 3 5 1 1 6 12 2 1 3 2 9 2 11 16 27 1 1 1 30 5 32 28 35
J Nitzschiaceae
27 Amphora 3 2 7 3 1 5
28 Bellerochea 2
29 Ditylum 2
30 Nitzchia 1 6 7 1 10 1 5
K Rhizosoleniaceae
31 Rhizosolenia 7 1 1 2 7 1 12 4 2 4
L Skeletonemaceae
32 Skeletonema 13 5 5 1 5 19 22
M Surirellaceae
33 Surirella 1 1
II Chlorophyceae
O Cladophoraceae
34 Rizoclonium 1 2 5
P Desmidiaceae
35 Closterium 2 2 2 1 5 7
36 Staurastrum 1
37 Penium 1
Q Halosphaeraceae
38 Dislephanus 4 2 12 2 5 2 6 11 7 11 5 2 12 22 40
R Hydrodictyaceae
39 Pediastrum 1 2
S Mesotaeniaceae
40 Cylindrocystis 2
T Microsporaceae
41 Microspora 1
U Oocystaceae

Universitas Sumatera Utara


42 Chadotella 2
43 Closteriopsis 1 4
44 Tetraedron 1 3
V Protococcaceae
45 Protococcus 1 2
W Scenedesmaceae
46 Scenedesmus 2 1
X Schizogoniaceae
47 Schizogonium 1 2 2 2 2 5 2 1 2 6
Y Sphaeropleaceae
48 Sphaeroplea 1 6 2 2 1 7 2 2 16
Z Ulothrichascaceae
49 Binuclearia 1 1
50 Ulothrix 2 3 4 1 3 10 16 3 6 4 8
A’ Zygnemataceae
51 Spyrogira 2
III Chrysophyceae
B’ Chrysocapsaceae
52 Phaeoplaca 6 3 9 3 2 2 4
C’ Malmonadaceae
53 Chrysosphaerella 1 4 1 9 2
IV Myxophyceae
D’ Oscilatoriaceae
54 Oscilatoria 1
V Xanthophyceae
E’ Chlorosaccaceae
55 Chlorobotrys 13 20
F’ Pleurochloridaceae
56 Goniochloris 2 5 1
G’ Tribonemataceae
57 Tribonema 2

ZOOPLANKTON
VI Ciliophora
H’ Lichomolgidae
1 Pachysoma 1
I’ Rhabdonellidae
2 Rhabdonella 2
VII Cladocera
J’ Bosminidae
3 Bosmina 6 3
VIII Copepoda
K’ Calanoidae
4 Nauplius 1 1 3 2 2 11 1 5 5 3 2 4 1 4
IX Crustaceae
L’ Acartiidae
5 Acartia 2 1 5 3 16 25 4 18 18 3 21 12 8 2 9
M’ Cyclopidae
6 Cyclops 2 4 6 8 20 16 10 8 14 11
7 Diacyclops 11 10 6 7 7 12 5
8 Eucyclops 3 14 5 7 46 3 46 10 6 33 62
9 Macrocyclops 3 23 13
10 Megacyclops 2 14 2 4 6 2 4 8
11 Merocyclops 2
12 Paracyclops 4 4 2 3 2 37 16 17
N’ Diaptomidae
13 Diaptomus 1 12 12 8
14 Eudiaptomus 6 8 11 7 15 22 10 29 1 3 26 15 4
X Monogononta
O’ Brachionidae
15 Brachionus 4 4
16 Keratella 1 3 1 2
X1 Ostracoda
P’ Cypridae
17 Cyclocypris 2

Universitas Sumatera Utara


XII Rhizopoda
Q’ Microgromidae
18 Acanthocystis 2
19 Rhaphidiophrys 2

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 10 . Contoh Perhitungan (K, KR, FK, H', E dan IS)
a. Kelimpahan Plankton (K) Biddulphia pada Stasiun 1

PV ind.
K=
0.0196 W l

1 x 60 ind.
=
0.0196 x 25 l

= 122,449 ind/l

b. Kelimpahan Relatif ( KF) Biddulphia pada Stasiun 1

122.449
KR= 100%
19102,042

= 0,641%

c. Frekuensi Kehadiran (FK) Biddulphia pada Stasiun 1

1
FK= x100%
3
= 33,33 %

d. Indeks Diversitas Shahhon-Wiener (H’) Plankton pada Stasiun 1


kedalaman
0 meter
s
H’ = -  pi ln pi
i 1

=-  i
1
55
ln 551  555 ln 555  ....dst

= 2,33

e. Indeks Equitabilitas / Keseragaman (E) Plankton pada Stasiun 1

H'
E =
H max

2,33
=
ln 15
= 0,86
Lampiran 11. Contoh Perhitungan Analisis Varian

Universitas Sumatera Utara


a. Uji Statistik Analisis Varian Populasi Plankton Perstasiun

Rumus Hipotesis

Ho : U1 = U2 = U3

HA : U1 = U2 = U3

n1 = 33

n2 = 39

n3 = 70

Level signifikan : 0,05 dan 0,01

T1 = 468

T2 = 1093

T3 = 2282

( xij ) 2 (3843) 2 14768649


CF = = = = 104004,57
n 142 142
SST =  ( xij ) 2  CF
= 3 2  2 2  8 2  .......... 2 2  104004 ,57
= 522649-104004,57
= 418644,43
SSP = Tj 2  CF
(468) 2 (1093) 2 (2282) 2
=    104004,57
33 39 70
= 6637,09 + 30632 + 74393,2 – 104004,57
= 111662,32 – 104004,57
= 7657,75
SSE = SST – SSP
= 418644,43 – 7657,75
= 410986,68
SSp 7657,75
MSP =   3828,875
DFp 2

Universitas Sumatera Utara


SSE 410986,68
  2956,74
= DFp 139

MSp 3828,875
=   1,295
MSE 2956,74

Tabel Analisis Varian Populasi Plankton Perstasiun

Sumber Derajat Nilai Total Nilai F Hitung F Tabel


Variasi Bebas Perlakuan Rataan
Antar Stasiun 2 7657,75 3828.875 1,295 3,07
Galat 139 410986,68 2956.738 4,78
Total 141 418644,43

MS terbesar = 3828.875

MS terkecil = 2956.738

Harga F pada tabel:

F 0,05 ; 2 ; 139 = 3,07

F 0,01 ; 2 ; 139 = 4,78

Daerah penolakan

Tolak Ho, terima HA jika :

F > 3,07 pada level 0,05

F > 4,78 pada level 0,01

Terima Ho, tolak HA jika :

F < 3,07 pada level 0,05

F < 4,78 pada level 0,01

Berdasarkan Tabel di atas karena F hitung = 1,295 maka F hitung < 3,07

pada level 0.05 sehingga daerah penolakan yang dipakai adalah terima Ho.

Universitas Sumatera Utara


Dimana Ho merupakan U1=U2=U3 atau perbedaan mean tidak signifikan

sehingga tidak diperlukan uji signifikan selanjutnya.

b. Uji Statistik Analisis Varian Populasi Plankton Perkedalaman

Tabel Analisis Varian Populasi Plankton antar Kedalaman

Sumber Derajat Nilai Total Nilai F Hitung F


Variasi Bebas Perlakuan Rataan Tabel
Antar Stasiun 2 17727,442 8863,72 4,53 3,07
4,78
Galat 145 283587,39 1955,77
Total 147 418644,43

MS terbesar = 8863,72
MS terkecil = 1955,77

Harga F pada tabel:

F 0,05 ; 2 ; 145 = 3,07

F 0,01 ; 2 ; 145 = 4,78

Daerah penolakan

Tolak Ho, terima HA jika :

F > 3,07 pada level 0,05

F > 4,78 pada level 0,01

Terima Ho, tolak HA jika :

F < 3,07 pada level 0,05

F < 4,78 pada level 0,01

Berdasarkan Tabel di atas karena F = 4,53 maka F > 3,07 pada level 0.05

sehingga daerah penolakan yang diterima adalah tolak Ho. Dimana Ho merupakan

U1 = U2 = U3 atau perbedaan rataan berbeda sehingga diperlukan uji signifikan

selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara


Untuk uji signifikan selanjutnya dengan menggunakan LSD 0,05 untuk masing-

masing beda rataan adalah:

 MSE   MSE 
0 vs 1,2 LSD 0 , 05 ; df = 1,96    
 n1   n2 
 1955,77   1955,77 
= 1,96 x    
 52   51 
= 1,96 x 37,61  38,35
= 1,96 x 75,96
= 1,96 x 8,71
= 17,07
 1955,77   1955,77 
0 vs 1,5 = 1,96 x   
 52   45 
= 1,96 x 37,61  43,46
= 1,96 x 81,07
= 1,96 x 9.003
= 17,64

 1955,77   1955,77 
1,2 vs 1,5 = 1,96 x   
 51   45 
= 1,96 x 38,35  43,46
= 1,96 x 81,81
= 1,96 x 9,044
= 17,72

Nilai LSD 0,05 Dibandingkan dengan Rataan Masing-masing Perlakuan

Beda Antara Beda Mean LSD 0.05 Kesimpulan


Kedalaman 0 vs b.p.c 13,04 17,07 Beda tidak nyata
Kedalaman 0 vs d.b.p.c 27,1 17,64 Beda nyata
Kedalaman b.p.c vs d.b.p.c 14,06 17,72 Beda tidak nyata

Keterangan:
Permukaan: 0 Meter
Batas Penetrasi Cahaya (b.p.c): St. 1: 0,5 Meter, St. 2: 1,2 Meter, St.3: 1,5 Meter
Dibawah Batas Penetrasi Cahaya (d.b.p.c): St.1: >0,5 Meter, St.2: >1,2 Meter, St.3: >1,5 Meter

MSP = Nilai rataan antar perlakuan

Universitas Sumatera Utara


MSE = Nilai rataan galat

DFP = Derajat bebas antar perlakuan

DFE = Derajat bebas galat

DFT = Derajat bebas total

SSP = Nilai total antar perlakuan

SSE = Nilai total galat

SST = Nilai total

CF = Faktor koreksi

 Xij = Total seluruh jumlah pengamatan


T1 = Total jumlah pengamatan (pada perlakuan 1)

n1 = Besar (banyaknya) sample pada perlakuan 1

n = Total pengamatan (n1 + n2 + n3……)

k = Jumlah perlakuan

F = Statistik F

Lampiran 12. Gambar Beberapa Contoh Plankton Hasil Penelitian


FITOPLANKTON
Kelas Bacillariaceae

Cymbella sp Surirella sp

Universitas Sumatera Utara


Ditylum sp Navicula sp

Coscinodiscus sp Diploneis sp

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Plagiogramma sp Denticula sp

Stephanodiscus sp Pleurosigma sp

Rhizosolenia sp Thalasionema sp

Universitas Sumatera Utara


Kelas Chloropyceae

Pediastrum sp Dislephanus sp

Staurastrum sp Ulotrix sp

Spirogyra sp

Universitas Sumatera Utara


ZOOPLANKTON

Acartia sp Acanthocystis sp

Biddulpia sp Diaptomus sp

Diacyclops sp. Eucyclops sp

Universitas Sumatera Utara


Keratella sp

Rhabdonella sp

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 13. Hasil Analisis Korelasi
Correlations

Suh P.Cahay I.Cahay TD TS Salinita BOD CO Nitra


u a a S S pH s DO 5 D t Fosfat
H Pearson -
.98 .70 - .999(*
' Correlatio .847 .901 .516 .847 .89 .798 -.264 -.989
3 9 .736 )
n 4
Sig. (2- .29 .11 .49
.357 .286 .655 .357 .412 .830 .474 .093 .023
tailed) 5 8 8
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai