Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Istilah organisasi dalam bahasa Indonesia atau organization dalam bahasa


Inggris bersumber pada perkatan Latin organization yang berasal dari kata kerja
Latin pula, organizare yang berarti to form as or into a whole consisting of
interdependent or coordinated parts (membentuk sebagai atau menjadi
keseluruhan dari bagian-bagian yang saling bergantung atau terkoordinasi). Jadi,
secara harfiah organisasi itu berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama
lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut paduan itu
sistem, ada juga menamakannya sarana, dan lain-lain.

M. Rogers dan Rekha Agarwala Rogers dalam bukunya, Communication in


Organization, menyebut paduan tadi suatu sistem. Secara lengkap organisasi
didefinisikannya sebagai: ”a stable of individuals who work together to achieve,
through a hierarchy of ranks and divison of labour, common goals.” (Suatu
sistem yang mapan dari mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama, melalui suatu jenjang kepangkatan dan pembagian tugas. Kedua
pengarang tersebut dalam bukunya membahas organisasi dengan pendekatan
sistem. Penggunaan sistem untuk menghampiri pengertian organisasi itu dapat
dinilai tepat, sebab pengertian sistem adalah suatu totalitas himpunan bagian yang
satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan
yang terpadu untuk mencapai tujuan tertentu. Sistem menunjukkan bahwa bagian-
bagian (subsistem-subsistem) yang dicakupnya berinteraksi dan beroperasi secara
harmonis dalam keteraturan yang pasti.

 
BAB II PEMBAHASAN

A. Komunikasi dan Organisasi

Disebabkan oleh kedudukannya sebagai kepala suatu unit organisasi,


seorang ketua melakukan tugas yang bersifat keupacaraan (ceremonial nature).
Karena ia seorang tokoh, ia juga diundang oleh pihak luar untuk menghadiri
berbagai upacara, misalnya upacara peringatan hari hari nasional, pembukaan
sebuah proyek, ulang tahun suatu istansi, pernikahan rekan ketua, dan peristiwa-
peristiwa lainnya.

Jelas bahwa di kantornya sendiri seorang ketua akan tampil menjadi komunikator,
dan pada kesempatan itu ia memberikan penerangan, penjelasan, himbauan,
ajakan, dan lain-lain.

1. Peranan pemimpin (leader role)

Sebagai pemimpin, seorang ketua bertanggung jawab atas lancar tidaknya


pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya. Beberapa kegiatan bersangkutan
langsung dengan kepemimpinannya pada semua tahap manajamen: Penentuan
kebijaksanaan, perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan
penilaian. Ada juga kegiatan-kegiatan yang tidak langsung berkaitan dengan
kepemimpinannya, antara lain memotivasi para anggotanya agar giat bekerja,
yang tidak perlu dilaksanakan si ketua sendiri. “Effective leadership means
effective communication”. Demikian kata Henry Clay Lindgren dalam
bukunya, Effective Leadership ini Human Communication.Kalau seorang ketua
ingin menjadi seorang pemimpin yang benar-benar pemimpin, ia harus dapat
melaksanakan kepemimpinannya secara efektif. Dalam konteks kepemimpinan,
seorang ketua berkomunikasi efektif bila ia mampu membuat para anggotanya
melakukan kegiatan tertentu dengan kesadaran, kegairahan, dan kegembiraan.
Dengan suasana kerja seperti itu akan dapat diharapkan hasil yang memuaskan.

2. Peranan penghubung (liaison role)


Dalam peranannya sebagai penghubung, seorang ketua melakukan
komunikasi dengna orang-orang di luar jalur komando vertikal, baik secara formal
maupun secara tidak formal. Menurut Henry Mintzberg, hasil beberapa penelitian
mengenai pekerjaan manajerial menunjukkan bahwa para ketua menghabiskan
waktunya untuk berhubungan dengan orang-orang di luar organisasinya, sama
dengan waktu yang dipergunakan untuk berhubungan dengan bawahannya. Yang
cukup mengejutkan ialah bahwa waktu yang dipergunakan untuk berhubungan
dengan atasannya sendiri amat sedikit. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Rosemary Stewart terhadap 160 orang manajer puncak dan manajer menengah di
Inggris menunjukkan bahwa mereka menggunakan waktunya 47% dengan teman
sejawatnya, 41% dengan orang-orang di luar unit kerjanya, dan hanya 11%
dengan atasannya. Penelitian-penelitian lainnya juga menunjukkan distribusi
waktu yang sama. Para manajer melakukan komunikasi seperti itu terutama untuk
mencari informasi.

3. Peranan monitor (monitor role)

Dalam melakukan peranannya sebagai monitor, ketua memandang


lingkungannya sebagai sumber informasi. Ia mengajukan berbagai pertanyaan
kepada rekan-rekannya atau kepada bawahannya, dan ia menerima informasi pula
dari mereka tanpa diminta berkat kontak pribadinya yang selalu dibinanya.

4. Peranan penyebar (disseminator role)

Sebagai kebalikan dari peranannya sebagai penghubung (liaison role)


seperti diterangkan di muka, yakni menyampaikan informasi mengenai
organisasinya kepada khalayak luar, dalam peranannya sebagai ia menerima dan
menghimpun informasi dari luar itu langsung kepada bawahannya. Si ketua
mengomunikasikan informasi dari luar itu langsung kepada bawahannya karena
para anggotanya tidak banyak berkesempatan untuk memperoleh informasi dari
luar, padahal banyak informasi dari luar yang penting artinya dan manfaatnya bagi
organisasi.
5. Peranan jurubicara (spokesman role)

Peranannya sebagai jurubicara memiliki persamaan dengan peranannya


sebagai penghubung, yakni dalam hal mengomunikasikan informasi kepada
khalayak luar. Perbedaannya ialah dalam hal caranya: jika dalam peranannya
sebagai penghubung ia menyampaikan informasi secara antarpersonal atau kontak
pribadi dan tidak selalu resmi, maka dalam peranannya sebagai jurubicara tidak
selamanya secara kontak pribadi, tetapi selalu resmi. Dalam kewiraswastaannya,
seorang ketua berusaha memajukan organisasinya dan mengadakan penyesuaian
terhadap perubahan kondisi lingkungannya. Dia senantiasa memandang ke depan
untuk mendapat gagasan-gagasan baru. Jika sebuah gagasan muncul, maka dia
mengambil prakarsa untuk mengembangkan sebuah proyek yang diawasinya
sendiri atau didelegasikannya kepada bawahannya.

6. Peranan pengendali gangguan (disturbance handler role)

Dalam peranannya sebagai pengendali gangguan, seorang ketua dengan


sendirinya menangapi setiap tekanan yang menimpa dirinya. Dalam hal ini
perubahan terjadi di luar pengawasannya. Dia harus bertindak karena tekanan-
tekanan situasi tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut, misalnya kaum buruh
mogok, para pelanggan menghilang dan supplier menarik diri. Timbulnya
gangguan bukan saja karena si manajer kurang tanggap terhadap situasi, tetapi
juga karena dia tidak bisa membayangkan konsekuensi-konsekuensi dari kegiatan-
kegiatan yang dilakukannya.

7. Peranan penentu sumber (resource allocater role)

Pada seorang ketua terdapat tanggung jawab untuk memutuskan pekerjaan


apa yang harus dilakukan, siapa yang akan melaksanakan, dan bagaimana
pembagian pekerjaan dilangsungkan. Ketua juga mempunyai wewenang
mengenai pengambilan keputusan penting sebelum implementasi dijalankan.

8. Peranan perunding (negotiator role)


Studi mengenai karya manajerial dalam taraf apa pun menunjukkan bahwa
para ketua menggunakan waktunya yang banyak untuk perundingan. Perundingan
dilakukan bukan saja mengenai hal-hal yang resmi dan langsung berhubungan
dengan organisasi, melainkan juga tentang hal-hal yang tidak resmi dan tidak
langsung berkaitan dengan kekaryaan, misalnya pertandingan sepak bola antara
kesebelasan organisasinya dan kesebelasan lain. Bahkan Leonard Sayles dalam
karyanya, “Managerial Behavior”, menyatakan bahwa bagi ketua, perundingan
merupakan “gaya hidup” (way of life) karena hanya dialah yang mempunyai
wewenang untuk menangani sumber-sumber organisasional pada waktu yang
tepat, dah hanya dialah yang merupakan “pusat jaringan informasi” yang sangat
diperlukan bagi perundingan yang penting.

B. Dimensi Dimensi Komunikasi Dalam Organisasi

1. Komunikasi Internal

Komunikasi internal didefinisikan oleh Lawrence D. Brennan


sebagai: “Interchange of ideas among the administrators and it’s particular
structure (organization) and interchange of ideas horizontally and vertically
within the firm which gets work done (operation and management).” (Pertukaran
gagasan di antara para administrators dan karyawan dalam suatu perusahaan atau
jawatan yang menyebabkan terwujudnya perusahaan atau jawatan tersebut
lengkap dengan strukturnya yang khas (organisasi) dan pertukaran gagasan
horizontal dan vertikal di dalam perusahaan atau jawatan yang menyebabkan
pekerjaan berlangsung). Untuk memperoleh kejelasan, komunikasi internal dibagi
menjadi dua dimensi dan dua jenis, yaitu:

1) Dimensi Komunikasi Internal Dimensi komunikasi internal terdiri dari


komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal.
2) Komunikasi Vertikal Komunikasi vertikal, yakni komunikasi dari atas ke
bawah (downward communication) dan dari bawah ke atas (upward
communication), adalah komunikasi dari pimpinan kepada bawahan dan dari
bawahan kepada pimpinan secara timbal balik (two-way tra
3) ffic communication).

Dalam komunikasi vertikal, pimpinan memberikan instruksi-instruksi,


petunjuk-petunjuk, informasi-informasi, penjelasan-penjelasan, dan lain-lain
kepada bawahannya. Dalam pada itu, bawahan memberikan laporan-laporan,
saran-saran, pengaduan-pengaduan, dan sebagainya kepada pimpinan.
Komunikasi dua arah secara timbal balik tersebut dalam organisasi penting sekali
karena jika hanya satu arah saja dari pimpinan kepada bawahan, roda organisasi
tidak akan berjalan dengan baik. Pimpinan perlu mengetahui laporan, tanggapan,
atau saran para anggotanya sehingga suatu keputusan atau kebijaksanaan dapat
diambil dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Komunikasi Horizontal

Komunikasi horizontal ialah komunikasi secara mendatar, antara anggota


dengan anggota lainnya, karyawan sesama karyawan, dan sebagainya. Berbeda
dengan komunikasi vertikal yang sifatnya lebih formal, komunikasi horizontal
sering kali berlangsung tidak formal. Mereka berkomunikasi satu sama lain bukan
pada waktu mereka sedang bekerja saja, melainkan pada saat istirahat, sedang
rekreasi, atau pada waktu pulang kerja. Dalam situasi komunikasi seperti ini,
desas desus cepat sekali menyebar dan menjalar. Dan yang didesas-desuska sering
kali mengenai hal-hal yang menyangkut pekerjaan atau tindakan pimpinan yang
merugikan mereka.

Antara komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal tersebut kadang-


kadang terjadi apa yang disebut komunikasi diagonal. Komunikasi diagonal atau
disebut juga komunikasi silang (cross communication) adalah komunikasi antara
pimpinan seksi dengan pegawai seksi lain. Sebagai contoh, seorang sopir yang
termasuk seksi angkutan berkomunikasi dengan kepala bagian personel, yang
secara struktural tidak mencakup seksi angkutan tersebut. Andaikata komunikasi
seperti itu terjadi tak formal, tidak akan menimbulkan masalah. Akan tetapi, tidak
jarang terjadi komunikasi antara kepala bagian personel dengan seorang karyawan
di bagian seksi lain mengenai keluhan yang menyangkut nasibnya disebabkan
oleh kurang memuaskakannya informasi yang diperoleh langsung dari atasannya.

3. Komunikasi Eksternal

Komunikasi eksternal ialah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan


khalayak di luar organisasi. Pada instansi-instansi pemerintah seperti departemen,
direktorat, jawatan, dan pada perusahaan-perusahaan besar, disebabkan oleh
luasnya ruang lingkup, komunikasi lebih banyak dilakukan oleh kepala hubungan
masyarakat (public relations officer) daripada oleh pimpinan sendiri. Yang
dilakukan sendiri oleh pimpinan hanyalah terbatas pada hal-hal yang dianggap
sangat penting, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain, umpamanya
perundingan (negotiation) yang meyangkut kebijakan organisasi. Yang lainnya
dilakukan oleh kepala humas yang dalam kegiatan komunikasi eksternal
merupakan tangan kanan pimpinan. Komunikasi eksternal terdiri atas dua jalur
secara timbal balik, yakni komunikasi dari organisasi kepada khalayak dan dari
khalayak kepada organisasi.

4. Komunikasi Dari Organisasi Kepada Khalayak

Komunikasi dari organisasi kepada khlayak pada umumnya bersifat


informatif,  yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak merasa memiliki
keterlibatan, setidak-tidaknya ada hubungan batin. Kegiatan ini sangat penting
dalam usaha memecahkan suatu masalah jika terjadi tanpa diduga. Sebagai contoh
ialah masalah yang timbul akibat berita yang salah yang dimuat dalam surat
kabar. Dengan adanya hubungan baik sebagai akibat kegiatan komunikasi yang
dilakukan oleh organisasi, masalah yang dijumpai kemungkinan besar tidak akan
terlalu sulit diatasi. Bukan tidak mungkin pula sebelum berita itu dimuat, si
wartawan terlebih dahulu bertanya mengenai kebenaran kejadian yang akan
diberitakan itu. Komunikasi dari organisasi kepada khalayak dapat melalui
berbagai bentuk seperti:

 Majalah organisasi
 Press release

 Artikel surat kabar atau majalah

 Pidato radio

 Pidato televisi

 Film dokumenter

 Brosur

 Leaflet

 Poster

 Konferensi pers

4. Komunikasi dari khalayak kepada organisasi

Komunikasi dari khalayak kepada organisasi merupakan umpan balik


sebagai efek dari kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh organisasi. Jika
informasi yang disebarkan kepada khalayak itu menimbulkan efek yang sifatnya
kontroversial (menyebabkan adanya yang pro dan kontra di kalangan khalayak),
maka ini disebut opini publik (public opinion). Opini publik ini sering sekali
merugikan organisasi. Karenanya harus diusahakan agar segera dapat diatasi
dalam arti kata tidak menimbulkan permasalahan.

BAB III

KESIMPULAN

Komunikasi organisasional adalah komunikasi yang terjadi di lingkungan


organisasi atau dalam lingkungan sistem sosial tertentu yang merupakan
kelompok independen dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan unit analisisnya adalah struktur  organisasi itu sendiri. Sementara itu,
yang dipelajari adalah proses dan pola-pola komunikasi yang terjadi di dalamnya.
Hukum dan fungsi-fungsi komunikasi pada umumnya tetap berlaku untuk ranah
organisasional ini.

Beberapa teori yang mendukung atau bisa digunakan untuk menjelaskan proses
komunikasi organisasional yang dimaksud, yakni information systems
approach (pendekatan sistem informasi), organizational
assimilation/sosialization (sosialisasi organisasional), cultural
approach (pendekatan budaya), dan critical approach to
organization (pendekatan kritis aas organisasi). Teori-teori dengan pendekatan
lain tentu masih ada, namun itulah yang sempat kami catat. Anda pun bisa
menambahkan lagi pendekatan lain yang lebih pas untuk dunia informasi.

Contoh-contoh teori yang sudah dijelaskan di ataspada prinsipnya cocok


digunakan untuk menjelaskan kasus-kasus atau permasalahan keseharian dalam
lingkup kelompok kecil baik yang belum terstruktur ataupun yang mengarah
kepada bentuk-bentuk organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Remaja


Rosdakarya, Bandung, 2005.

M. Yusuf, Pawit, Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan, Bumi Aksara,


Jakarta, 2009

Muhammad, Arni, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

P. Siagian, Sondang, Teori Pengembangan Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta,


1995.

BAB III
TEORI KOMUNIKASI KELOMPOK DAN
ORGANISASIONAL KONTEKSTUAL

1. A.    TEORI-TEORI KOMUNIKASI DALAM KONTEKS


KELOMPOK KECIL
 

1. 1.      Adaptive Sructuration Theory


Teori ini dikemukakan oleh Gary Dickson, Scott Pole, dan Geradin DeSanctis
pada tahun 1992. Teori ini memfokuskan diri pada penjelasan mengenai struktur-
struktur yang diciptakan secara terus menerus melalui aturan-aturan generatif dan
adaftif, serta sumber-sumber anggota dalam suatu kelompok atau lembaga.

Secara ontologis, teori ini tergolong deterministik, dimana kelompok harus


mengikuti aturan-aturan dan garis pedoman yang telah dibuat, meskipun ada
kemauan dalamkelompok untuk mengadopsi berbagai struktur kelompok yang
berbeda. Sedangkan secara epistimologi, teori ini menegaskan bahwa secara
konstan kelompok itu berubah aturan-aturannya, juga garis pedomannya. Selain
itu, kelompok juga mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap
perubahan aturan-aturannya.

1. 2.      Constellation Models
Teori ini dikemukakan oleh Steven A. Beebe dan Jhon T. Masterson pada tahun
1997. Model kontstelasi dari Beebe dan Materson ini digunakan untuk
menjelaskan suatu kelompok dari persfektif sistem, dengan tujuan agar suatu
kelompok itu berhasil maka ia harus mempertimbangkan semua aspek atau
tepatnya vaariabel yang mungkin terkait dengan kelompok yang bersangkutan,
misalnya aspek pengirim, penerima, aspek pesan, dan juga aspek lainnya.

Dilihat dari segi konsistensinya, teori ini cukup konsisten, yakni adanya
keyakinan bahwa secara normal, suatu kelompok dan juga berfungsinya suatu
kelompok, sangat ditentukan oleh sejumlah keahlian yang tersedia di kelompok
yang bersangkutan, juga bergantung kepada aspek komunikasi dari para
anggotanya.

1. 3.      Decision Emergence Theory


Teori ini tergolong ke dalam small group context. Dikemukakan oleh Fisher pada
tahun 1968. Teori ini digunakan untuk menjelaskan proses komunikasi yang
kompleks dalam rangka menyelesaikan masalah guna mencapai mufakat dalam
pengambilan suatu keputusan. Teori ini memiliki tiga konsep dasar yang meliputi
tindakan, pengaruh-mempengaruhi, dan double-interact. Ketiga konsep ini akan
mewarnai dan membawakan batas-batas tingkatan perkembangan kelompok.

Contoh sederhana dalam kasus keseharian kita, yang mnggambarkan proses


komunikasi kelompok kecil, yang terdiri atas tiga orang sahabat sebagai berikut:

Act                                    : “saya suka mie instan.”

Interact                  : “Baik, saya juga suka mie instan.”

Double-Interact     : “Bagus, mari kita pesan satu dus mie instan untuk pesta nanti
malam.”

Gambaran dialog di atas sangat sederhana. Tidak ada yang kompleks di dalamnya.
Kekompleksannya adalah jika terjadi pada kelompok yang lain, yang anggota-
anggotanya memiliki sifat, kebutuhan, keinginan, dan selera yang berbeda satu
sama lain.

1. 4.      Decision Mapping Theory


Dikemukakan oleh T. Cartwright Stephents pada tahun 1999. Teori ini
menjelaskan kepemimpinan yang bisa meningatkan kemungkinan suatu kelompok
akan menghasilkan sesuatu hasil yang positif. Teori ini menawarkan suatu
penjelasan tentang bagaimana meningkatkan kemungkinan hasil-hasil yang positif
dalam kelompok.

1. 5.      Developmental Models
Dikembangkan oleh tim performance model: Drexter/sibber: Forming, stroming,
norming, performing (Tuchman 1965). Model ini membantu menjelaskan atau
meramalkan bagaimana pola dari hubunbgan antara individu dalam kelompok,
atau hubungan antartim keanggotaan dalam kelompok yang diadakannya.

Contoh dalam kasus pengembangan kelompok yang dituturkan oleh Tuchman


adalah sebagai berikut; hubungan antar anggota kelompok diawali oleh fase
pembentukan (forming), kemudian dilanjutkan menjadi perdebatan atau diskusi
(storming), lalu pembentukan norma (norming), dilanjutkan dengan penyesuaian
(conforming), dan akhirnya sampai pada fase permainan (performing). Memang
hubungan ini tidak berhenti pengembangannya pada fase performing, tetapi terus
berkembang melewati sejumlah fase tertentu, namun tidak berpola seperti garis
lurus.

1. 6.      Dialectical Tensions Theory


Dikemukakan oleh Laurence Frey dan Kevin Barge pada tahun 1998. Teori ini
menjelaskan suatu perjuangan yang sifatnya tetap bahwa anggota kelompok akan
selalu mengalami tahap-tahap, seperti entering (masuk), encountering
(mengalami, menghadapi), engaging (keikutsertaan), dan ending (berakhir) dari
kehidupan suatu kelompok.

Contoh kasus dalam keseharian kita adalah ketika seorang karyawan baru masuk
ke lingkungan kerja kita, misalnya di perpustakaan, di jurusan keilmuan suatu
perguruan tinggi, atau dimanapun kelompok itu berada, orang baru tadi tentu
banyak mendapatkan arahan tertentudari beberapa orang yang berbeda, baik dari
atasan langsungnya, dari para seniornya, atau dari orang lain yang ada dalam
kelompok tersebut. Orang tersebut memahami bahwa arahan-arahan dari orang-
orang tersebut semuanya masuk akal dan bisa digunakan sebagai patokan
kerjaannya, namun jika semua arahan diterapkan secara sekaligus pada saat yang
bersamaan, akan menimbulkan ketidak cocokan tertentu.

1. 7.      Dramatism Theory
Teori ini dikemukakan oleh Kenneth Burke pada tahun 1968. Teori ini mengklaim
bahwa komunikator harus bertindak dan berprilaku seolah-olah ia sebagai aktor
dalam sebuah drama, dimana mereka mencoba mencapai audiens guna menerima
pandangan-pandangan dari mereka tentang kehidupan nyata. Stidaknya ada lima
unsur pokok dalam drama manusia yang serupa dengan model pendekatan kepada
audiens, yakni act/response, scene/situation, agent/seubject, agency/stimulus, dan
purpose/target. Namun, metode ini tidak selamanya bisa diterapakan secara pas
untuk situasi kelompok yang berbeda-beda.

Contohnya, ketika seorang politikus akan memulai berpidato ke segenap


pengunjung, dia mengawalinya dengan menyapu pandangan dari satu mata ke
mata yang lain sejauh bisa dilakukannya. Harapan komunikator yang politikus
tersebut adalah bisa diterima dengan baik, pada gilirannya mereka mau mengakui
pandangan-pandangannya. Sang politikus mengungkapkan kecintaannya kepada
audiens dengan segala aspeknya dan mengatakan segala sesuatu yang
dikatakannya dan juga informasi yang diperolehnya dari audiens, sangat penting
dan menarik.

1. 8.      Fantacy Theme Analicy (Symbolic Convergence Theory)


Teori ini dikemukakan oleh Ernest Bormann pada tahun 1992. Teori ini
merupakan suatu mode yang digunakan untuk mengintensifkan dinamika
kelompok yang didasarkan atas komunikasi yang mengizinkan saling berbagi
informasi di antara anggota kelompok.

Contohnya, sebagai menejer kita sering menegaskan kepada sekelompok orang


untuk melaksanakan tugas yang secara khusus kita tugaskan kepada mereka
(audiens, siswa, atau mahasiswa). Untuk kalangan pendidikan dosen memberikan
tugas kepada mahasiswa, guru menugaskan kepada beberapa siswanya untuk
melaksanakan tugas-tugas sekolah.

1. 9.      Funcional Perpective Theory


Dikemukakan oleh Randy Hirokawa dan Dennis Gouran pada atahun 1983. Teori
ini mengklaim ada empat fungsi bagi suatu pengambilan keputusan secara efektif
yang meliputi menganalisis masalah, merumuskan tujuan, mengidentifikasi
alternatif, dan mengevaluasi karakteristik positif dan negatif. Semua fungsi
tersebut sama pentingnnya.

Contohnya, ketika ada tugas kelompok akademik dari dosen tentang pembuatan
suatu usulan penelitian atau makalah ilmiah, maka baik kita sebagai dosen
maupun mahasiswa, bisa menggunakan model analisis perspektif fungsional yang
meliputi empat unsur tersebut.

1. 10.  Group Hate Theory


Dikemukakan oleh S.M. Sorensen pada tahun 1981. Teori ini menjelaskan tentang
pengalaman seseorang dalam berkelompok yang tidak menyenangkan atau
memuakkan, dan banyak dibicarakan orang.

Teori ini digunakan untuk menjelaskan fenomena kelompok yang memang


bervariasi, terutama jika dilihat dari keanggotaanya yang terdiri atas beragam
karakter perorangannya. Fenomena lain juga mungkin muncul dalam kelompok,
misalnya perilaku penyimpangan dari beberapa anggotanya, mungkin bahkan
merusak. Contohnya, jika seseorang memiliki pengalaman yang buruk terhadap
kelompok di masa lalunya, maka dia sekarang akan membenci kelompok,
setidaknya ia berprasangka tidak baik terhadap kelompok, termasuk kelompok
kerja dalam suatu tim.

1. 11.  Group Polarization Theory


Dikemukakan oleh J. F Stoner pada tahun 1961. Group polarization theory adalah
teori yang menjelaskan kecenderungan kelompok dalam membuat suatu
keputusan, baik keputusan yang berbahaya (berersiko) maupun yang sekadar hati-
hati setelah musyawarah dilakukan, bukan didasarkan kepada pilihan pandangan
kelompok pada awalnya. Keputusan-keputusan yang diambil bukan dari hasil
musyawarah kelompok, melainkan dari pandangan perseorangan. Hal seperti ini
sangat menarik  untuk dicermati sebab faktor perseorangan terkadang cukup
menentukan kebijakan-kebijakan kelompok.
Manfaat yang bisa diambil dari teori ini, setidaknya bisa dipahami bahwa
fenomena kelompok itu sangat dipengaruhi oleh aspek pesonal anggota dan
lingkungan sosial yang melingkupinya. Aspek ruang dan waktu juga turut
mempengaruhi kondisi kelompok sehingga keunikan kelompok semakin sulit
diramalkan kecenderungannya.

1. TEORI-TEORI KOMUNIKASI DALAM KONTEKS


ORGANISASIONAL
Komunikasi organisasional adalah komunikasi yang terjadi di lingkungan
organisasi atau dalam lingkungan sistem sosial tertentu yang merupakan
kelompok independen dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Berikut adalah bebarapa teori yang mendukung atau yang bisa digunakan untuk
menjelaskan proses komunikasi organisasional yang dimaksud:

1. 1.      Information System Approach Theory


Dikemukakan oleh Karl Weick pada tahun 1969. Weick menggunakan teori
sistem umum dalam menjelaskan hubungan antarindividu dalam suatu organisasi.
Mengorganisasikan penggunaan proses berbuat/pemeran, pemilihan, dan
penyimpanan.

Teori ini menggambarkan kecenderungan-kecenderungan dalam usaha


menggunakan interaksi timbal balik atau interaksi ganda ketika seseorang
berkomunikasi dalam suatu organisasi. Model double interact meliputi tindakan
langsung (an act), response, dan penyesuaian diri diantara dua orang. Ini terjadi
pada hubungan antarindividu dalam suatu organisasi, yang menggambarkan
bahwa orang didalam suatu organisasi biasanya menciptakan multirealitas.

1. 2.      Organizational Assimilation/Socialization Theory


Dikemukakan oleh Fred Jablin pada tahun 1982. Teori ini menjelaskan bagaimana
seseorang yang memasuki lingkungan organisasi mencoba membaur dalam
lingkungan organisasi dengan menggunakan komunikasi.
Contoh kasus dalam keseharian kita misalnya seorang pegawai baru, ketika
memasuki lembaga tempat kita bekerja, tentu mencoba berbaur dengan kita-kita
yang sudah lama bekerja. Kita, baik scara formal maupun informal, langsung
maupun tidak langsung, mencoba berkomunikasi dengan pegawai baru tersebut
dengan memberinya berbagai informasi yang mungkin bisa membantu dia dalam
memahami lingkungan yang baru. Ia sebagai pegawai baru juga berusaha mencari
informasi, berkomunikasi dengan beberapa orang yang bisa diajak bicara tentang
lingkungan yang baru itu. Semua itu dalam rangka untuk berbaur dengan
lingkungan kita yang sudah berjalan seperti biasanya. Dari sanalah proses
asimilasiberjalan, hasilnya bisa dilihat setelah beberapa waktu, dia bisa berubah
dan berbaur dengan kita, atau bisa saja lingkungan kita yang akan diubahnya.

1. 3.      Cultural Approach Theory


Dikemukakan oleh Clifford Geertz dan pacanowsky pada tahun 1973. Teori ini
menjelaskan bahwa organisasi mempunyai budayanya sendiri. Setiap organisasi
memiliki karakter budaya tertentu yang mengharuskan orang-orang yang masuk
di dalamnya dapat menyesuaikan diri dengan budaya organisasi itu.

Contoh kasusnya. waktu, tenaga, pikiran, dan seluruh potensi yang kita miliki,
tidak mutlak milik organisasi atau lembaga tempat kita bekerja. Ketika kita
sedang berada dikantor atau tempat kerja, potensi kita milik kantor, meskipun
tidak semuanya. Adakalanya kita juga bertindak dan berfikir untuk yang lain. Kita
juga berinteraksi dengan kolega kita bukan tentang pekerjaan saja, melainkan
tentang pribadi kita masing-masing, keinginan kita, kebutuhan kita, hal-hal yang
baik dan buruk mengenai lembaga kita, dan lain-lain. Kebiasaan kita dan budaya
kita ketika di kantor kira-kira seperti itu keadaannya.

1. 4.      Cricital Approach to Organizations Theory


Dikemukakan oleh Stanley Deetz pada tahun 1982. Masih dalam konteks
komunikasi organisasional, teori ini menjelaskan bahwa komunikasi tidak hanya
berupa pengekalan transmisi informasi sekitar menegerialisme dan corporate
colonialization sepanjang waktu.
Contoh kasusnya. Sebagai seorang yang merasa memiliki tanggung jawab
terhadap lembaga, kita mencoba melibatkan seluruh karyawan dalam bebagai hal
yang dapat mengingatkan kinerja lembaga. Caranya antara lain dengan
berkomunikasi dengan mereka. Seluruh pegawai di organisasi kita diberi
kebebasan untuk berkomunikasi dan mengungkapkan keinginan-keinginannya
yang berkaitan dengan pencapaian tujuan lembaga. Kita juga melibatkan pihak-
pihak lain sebagai stakeholder untuk berpartisipasi dengan lembaga kita. Dengan
demikian, visi, misi, dan tujuan lembaga kita dapat dipertanggungjawabkan
kepada mereka, apapun hasilnya, sebab mereka semuanya turut menentukan arah
dan kebijakan lembaga.

BAB III

KESIMPULAN

Komunikasi organisasional adalah komunikasi yang terjadi di lingkungan


organisasi atau dalam lingkungan sistem sosial tertentu yang merupakan
kelompok independen dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Sedangkan unit analisisnya adalah struktur  organisasi itu sendiri. Sementara itu,
yang dipelajari adalah proses dan pola-pola komunikasi yang terjadi di dalamnya.
Hukum dan fungsi-fungsi komunikasi pada umumnya tetap berlaku untuk ranah
organisasional ini.

Beberapa teori yang mendukung atau bisa digunakan untuk menjelaskan proses
komunikasi organisasional yang dimaksud, yakni information systems
approach (pendekatan sistem informasi), organizational
assimilation/sosialization (sosialisasi organisasional), cultural
approach (pendekatan budaya), dan critical approach to
organization (pendekatan kritis aas organisasi). Teori-teori dengan pendekatan
lain tentu masih ada, namun itulah yang sempat kami catat. Anda pun bisa
menambahkan lagi pendekatan lain yang lebih pas untuk dunia informasi.
Contoh-contoh teori yang sudah dijelaskan di ataspada prinsipnya cocok
digunakan untuk menjelaskan kasus-kasus atau permasalahan keseharian dalam
lingkup kelompok kecil baik yang belum terstruktur ataupun yang mengarah
kepada bentuk-bentuk organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Effendy, Onong Uchjana, Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek, Remaja


Rosdakarya, Bandung, 2005.

M. Yusuf, Pawit, Ilmu Informasi, Komunikasi, dan Kepustakaan, Bumi Aksara,


Jakarta, 2009

Muhammad, Arni, Komunikasi Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.

P. Siagian, Sondang, Teori Pengembangan Organisasi, Bumi Aksara, Jakarta,


1995.

Anda mungkin juga menyukai