Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Endometriosis merupakan penyakit akibat implantasi jaringan kelenjar endometrium


beserta stromanya di luar kavum uteri, berhubungan dengan haid, bersifat jinak, tetapi dapat
menyerang organ-organ sekitarnya.1,2
Pada pasien yang khas, implantasi ektopik terletak di pelvis (ovarium, tuba fallopi,
vagina, serviks, ligamen uterosakral atau di septum rektovaginal) dan bermanifestasi sebagai
dismenore berat, nyeri panggul kronis, atau infertilitas.1 Pada kasus yang jarang, dapat terjadi
pada diafragma, pleura, dan pericardium, yang disebut sebagai endometriosis ektopik.3
Endometriosis mengenai hampir 7-10% wanita pada populasi umum di Amerika Serikat
dengan 4 per 1000 diantaranya dirawat di rumah sakit tiap tahunnya.1 Di Indonesia sendiri,
insiden pasti dari endometriosis belum diketahui.4
Endometriosis merupakan penyumbang utama nyeri panggul dan subfertilitas. Kondisi
ini mempengaruhi 6-10 % dari wanita usia reproduksi, 50 - 60 % wanita dan gadis-gadis usia
remaja dengan nyeri panggul, dan sampai 50 % dari wanita dengan infertilitas. 5 Beberapa
wanita dengan kondisi ini sering tidak bergejala. Pada wanita tanpa gejala, prevalensi
endometriosis berkisar antara 2-22 %, tergantung pada populasi yang diteliti. Namun karena
ada kaitan dengan infertilitas dan nyeri panggul maka endometriosis lebih umum ditemukan
pada wanita dengan keluhan infertilitas dan nyeri panggul. Pada wanita subur, prevalensi
telah dilaporkan antara 20 - 50 % dan pada mereka dengan nyeri panggul, 40 - 50 %.3
Mekanisme terjadinya endometriosis belum diketahui secara pasti dan sangat kompleks.
Beberapa teori yang telah diketahui saat ini yaitu, regurgitasi haid, gangguan imunitas,
Luteinized Unruptured Follicle (LUF) dan spektrum disfungsi ovarium.5
Berbagai faktor resiko diyakini memiliki kontribusi pada kejadian penyakit ini adalah
riwayat keluarga endometriosis, menstruasi pertama di usia yang lebih muda, siklus
menstruasi yang pendek atau panjang, menstruasi dengan pendarahan berat, kontrasepsi,
defek pada uterus atau tuba fallopi serta defisiensi besi juga mungkin berkontribusi pada onset
dini dari endometriosis.1
Endometriosis memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi, efek samping dari terapi yang
cukup banyak, dan lama terapi yang panjang, serta kesembuhan total yang sampai saat ini
masih belum dapat dicapai, maka penting bagi dokter untuk dapat melakukan edukasi yang

1
baik pada pasien sehingga dapat tercapai 3 tujuan pengobatan endometriosis, yaitu
berkurangnya rasa nyeri, meningkatkan rate kehamilan pada wanita yang menginginkannya,
dan menunda kekambuhan.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Endometriosis adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya jaringan
endometrium di luar kavum uteri, berhubungan dengan haid, bersifat jinak, tetapi dapat
menyerang organ-organ sekitarnya.1,2 Endomteriosis merupakan penyebab morbiditas
yang signifikan pada wanita usia reproduksi yang mengakibatkan nyeri panggul dan
infertilitas.6 Lokasi yang paling sering adalah pada organ dalam pelvis peritonium,
ovarium, dan septum rektovagina. Selain itu, terdapat juga beberapa kasus ditemukan
pada diaphragma, pleura, dan pericardium. Keadaan ini disebut endometriosis ektopik.3

2.2. EPIDEMIOLOGI
Endometriosis sering ditemukan pada wanita usia reproduksi dengan persentase
masing-masing 7-10% wanita usia reproduksi dan kira-kira 4 orang per 1000 wanita
masuk rumah sakit dengan kondisi tersebut tiap tahunnya. Kondisi ini mempunyai
prevalensi sebesar 20-50% pada wanita yang infertil, namun dapat meningkat hingga
80% pada wanita dengan nyeri panggul kronis.1
Namun, endometriosis terdapat juga pada remaja dan wanita usia menopause yang
mendapat terapi hormonal, dengan persenatase 50-60% remaja dengan nyeri panggul
(pelvic pain) dan 50% wanita yang sudah infertil.7
Insiden pasti pada populasi keseluruhan belum pasti, karena diagnosis definitif
memerlukan biopsi atau visualisasi terhadap implantasi endometrial pada saat
laparoscopy atau laparotomy. Pada wanita dewasa dengan nyeri panggul kronis, 45%
ditemukan memiliki endometriosis saat laparoscopy. Rasio endometriosis meningkat
seiring bertambahnya usia dari 12% pada wanita umur 11-13 tahun menjadi sebesar
45% pada wanita umur 20-21 tahun. Perkembangan terakhir menunjukan bukti bahwa
endometriosis ditemukan saat laparoscopy pada 20-50% wanita yang asimptomatik.
Beberapa penelitian dilakukan pada populasi orang kulit putih namun tidak menunjukan
adanya perbedaan diantara etnis dan kelomopok sosial tertentu.1
Endometriosis selama kurang lebih 30 tahun terakhir ini menunjukkan angka
kejadian yang meningkat. Angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan secara

3
pasti karena belum ada studi epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit,
angkanya berkisar 13,6 - 69,5% pada kelompok infertilitas.2

2.3. ETIOPATOGENESIS
Penyebab utama timbulnya endometriosis belum diketahui secara pasti. Beberapa
teori yang ada berusaha untuk menjelaskan penyakit ini, meskipun belum ada yang
sepenuhnya terbukti. Secara garis besar dikatakan bahwa penyebab endometriosis terdiri
dari beberapa kelompok penyebab yaitu : kelompok imunologi, kelompok
endokrinologi, kelompok genetik serta kelompok lingkungan dan penyebab lain yang
belum dapat diketahui. Kemungkinan kombinasi dari berbagai faktor yang
menyebabkan dan menentukan beratnya penyakit ini.1,8
a. Menstruasi retrograde dan teori implantasi (teori Sampson)
Teori yang ditemukan pada awal abad ke-20 (1927) ini menyatakan bahwa
terdapat refluks dari implan jaringan endometriosis pada permukaan ovarium dan
peritoneum pada wanita dengan gangguan sistem imun. Hal ini didukung oleh adanya
hubungan antara obstruktif anomali dari traktus reproduktif wanita yang dapat
meningkatkan aliran retrograde dan endometriosis pada remaja. Pada menstruasi
retrograde, darah menstruasi yang mengandung sel-sel endometrium mengalir kembali
melalui Tuba Fallopi dan menuju kavitas. Hal ini menyebabkan sel endometrium yang
menempel pada dinding pelvis dan permukaan dari organ pelvis, dimana mereka
tumbuh dan terus menebal dan berdarah selama perjalanan dari setiap siklus
menstruasi.9
Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa menstruasi retrograde adalah peristiwa
fisiologis yang sangat umum dan tidak adekuat menjelaskan implantasi ekstrauterin
jaringan endometrium. Laparoskopi diagnostik juga menemukan darah haid dalam
cairan peritoneum pada 75-90 % wanita dengan tuba fallopi yang paten saat menstruasi.
Meskipun demikian kondisi yang meningkatkan laju mestruasi retrograde, seperi
obstruksi kongenital saluran keluarnya darah menstruasi dapat meningkatkan resiko
endometriosis. Berbagai hewan percobaan dan pengamatan klinis mendukung teori ini.
Dikarenakan sebagian besar wanita tidak memiliki endometriosis, maka mungkin
gangguan imunologi dan hormonal membuat beberapa wanita memiliki kecenderungan
untuk keadaan ini.1

4
b. Teori Coelomic Metaplasia
Metaplasia, atau perubahan dari satu jenis sel normal ke jenis sel normal lainnya
pada suatu jaringan, merupakan teori lainnya dari patogenesis endometriosis.Teori ini
pertama kali diperkenalkan pada abad ke-20 oleh Meyer. Teori ini menyatakan bahwa
endometriosis berasal dari perubahan metaplasia spontan dalam sel-sel mesotelial yang
berasal dari epitel soelom (terletak dalam peritoneum dan pleura). Perubahan metaplasia
ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor seperti infeksi, hormonal dan
rangsangan induksi lainnya. Teori ini dapat menerangkan endometriosis yang
ditemukan pada laki-laki, sebelum pubertas dan gadis remaja, pada wanita yang tidak
pernah menstruasi, serta yang terdapat di tempat yang tidak biasanya seperti di pelvik,
rongga toraks, saluran kencing dan saluran pencernaan, kanalis inguinalis, umbilikus,
dimana faktor lain juga berperan seperti transpor vaskular dan limfatik dari sel
endometrium.1
Sel-sel yang melapisi abdomen dan kavitas pelvis merupakan sel embrionik.Pada
saat remaja, peningkatan produksi estrogen menginduksi maturitas peritonium atau
permukaan sel ovarium untuk mengalami metaplasia menjadi sel endometrium. 8 Ketika
satu atau lebih area dari abdomen berubah menjadi jaringan endometrium,
endometriosis dapat terjadi.9

c. Teori Penyebaran limfatik (Halban-Javert) dan vaskuler (Navatril)


Sel-sel endometrium yang viabel dapat menyebar melalui saluran vaskuler atau
limfatik sehingga menghasilkan endometriosis di tempat yang jauh. Hal ini dapat
menjelaskan mengenai adanya lesi endometriotik yang ditemukan pada tempat-tenpat
ekstrapelvis seperti otak, paru, meskipun endomteriosis lebih umum terjadi pada daerah
pelvis.9

d. Teori penyakit endometrial


Infiltrasi endometriosis dan kista endometriotik dari ovarium yang merupakan lesi
patologis yang dihasilkan dari mutasi somatik dari beberapa sel.7

e. Implantasi operasi jaringan parut


Setelah operasi, seperti hysterectomy atau C-section, sel-sel endometrium dapat
menempel pada insisi operasi.9

5
f. Gangguan sistem imun
Terdapat hubungan antara gangguan sistem imun dengan penyakit ini karena
tubuh tidak mampu mengenali dan menghancurkan jaringan endometrium yang tumbuh
di luar uterus.9

2.4. KLASIFIKASI 3
Sistem klasifikasi untuk endometriosis pertama kali dibuat oleh American
Fertility Society (AFS) pada tahun 1979, yang kemudian berubah nama menjadi ASRM
pada tahun 1996, klasifikasi ini kemudian direvisi oleh AFS tahun 1985. Revisi ini
memungkinkan pandangan tiga dimensi dari endometriosis dan membedakan antara
penyakit superfisial dan invasif. Sayangnya, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa
kedua klasifikasi ini tidak memberikan informasi prognostik.
Pada tahun 1996, dalam usaha untuk menemukan hubungan lebih lanjut
penemuan secara operasi dengan keluaran klinis, ASRM lalu merevisi sistem
klasifikasinya, yang dikenal dengan sistem skoring revised-AFS (r-AFS). Dalam sistem
ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni:
- Stadium I (minimal) : 1-5
- Stadium II (ringan) : 6-15
- Stadium III (sedang) : 16-40
- Stadium IV (berat) : >40
Walaupun tidak ada perubahan staging dari klasifikasi tahun 1985, sistem
klasifikasi tahun 1996 memberikan deskripsi morfologi lesi endometriosis, yakni putih,
merah, dan hitam. Modifikasi ini didasarkan dari beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa terjadi beberapa aktivitas biokimia di dalam implan dan mungkin
prognosis penyakit dapat diprediksi melalui morfologi implan.

6
Gambar 1. Klasifikasi Endometriosis menurut ASRM, revisi 1996 (sumber
www.medicinesia.com)

7
Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4 derajat
keparahan tergantung pada lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel endometriosis,
adanya perlengketan, dan ukuran dari endometrioma ovarium.3

Gambar 2. Pembagian stadium endometriosis (sumber: repository.usu.ac.id)

8
2.5. GEJALA KLINIS
2.5.1. Nyeri (10)
Selama haid, sejumlah darah haid ada yang berbalik masuk melalui Tuba
Falloppii atau saluran telur mengalir ke dalam rongga panggul dan selaput rongga perut
(peritoneum). Di dalam darah haid tersebut terbawa serta debris dan sel endometrium
masuk ke dalam rongga perut menempel di atas organ-organ panggul dan selaput
rongga perut. Akibat dari keadaan tersebut terjadi proses inflamasi dengan peningkatan
leukosit dan defek imunologi dengan peningkatan aktivitas makrofag di dalam zalir
peritoneum (D’Hooghe, 1996). Terjadi penyimpangan ekspresi dari berbagai sitokin
oleh aktivitas makrofag antara lain interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6),
interleukin-8 (IL-8). Tumor Necrosis Factors-α (TNF- α ) dalam zalir peritoneal
kesemuanya itu merubah lingkungan zalir peritoneal yang memungkinkan sel
endometrium berimplantasi dan bertumbuh menjadi endometriosis.
Endometriosis pelvis atau panggul merupakan kelainan endometriosis yang sering
terjadi jika dibandingkan dengan endometriosis di tempat lain. Proses darah haid yang
berbalik itu akan terjadi terus-menerus setiap bulan dan sepanjang tahun akhirnya akan
menimbulkan nyeri yang berhubungan dengan haid.
Keluhan nyeri pada endometriosis dapat berupa dismenorea (nyeri sebelum,
selama, dan sesudah haid), nyeri pelvis (nyeri panggul terasa pada perut bagian bawah),
dyspareunia, diskezia. Dimana nyeri ini berhubungan dengan lokasi dari endometriosis
di dalam tubuh. Endometriosis yang terletak pada ligamentum sakrouterinum atau
serabut saraf presakral akan menimbulkan keluhan nyeri punggung, nyeri tungkai
bawah, tungkai atas, menjalar sampai ke pangkal paha dan nyeri saat bersanggama.
Endometriosis yang berada pada kavum Douglasi akan menimbulkan dyspareunia,
gangguan pada gastrointestinal (saluran pencernaan) dan dapat pula perasaan nyeri
terjadi sesudah bersanggama. Keluhan pada saluran pencernaan umumnya disebabkan
karena endometriosis terletak pada kavum Douglasi dekat dinding belakang uterus dan
berada dekat usus atau pada dinding usus. Endometriosis ini juga menimbulkan
gangguan pencernaan berupa kembung, sulit buang air besar, mual dan diare.
Endometriosis yang berada pada dinding luar kandung kemih atau vesika urinaria dapat
menimbulkan perasaan nyeri atau perasaan panas pada waktu buang air kecil.

9
2.5.2. Infertilitas
Endometriosis sangat erat kaitannya dengan infertilitas, dan diperkirakan 20%
sampai 40% perempuan infertil menderita endometriosis. Pada endometriosis berat
terjadi distorsi dari anatomi panggul, perubahan bentuk anatomi dari tuba
falloppii dan dapat pula terjadi obstruksi dari tuba falloppii. Pada endometriosis
berat terbentuk endometrioma yang besar kadang berganda yang merusak jaringan
ovarium, secara mekanis mengganggu ovulasi dan fertilisasi. Dengan kondisi seperti ini
dengan mudah dapat dijelaskan bahwa gangguan mekanis sangat berperan terhadap
fungsi reproduksi. Endometriosis ringan yang pada pengamatan dengan laparoskop
tidak terjadi distorsi seperti pada endometriosis berat tetapi dapat menimbulkan
infertilitas. Mekanisme infertilitas pada endometriosis ringan masih banyak silang
pendapat di antara para ahli. Infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis dapat
dijelaskan melalui mekanisme.
a. Distorsi anatomi dari adnexsa, menghalangi atau mencegah penangkapan ovum
sesudah ovulasi.
b. Gangguan pertumbuhan oosit atau embryogenesis.
c. Penurunan reseptivitas atau kemampuan menerima endometrium.
Pada endometriosis yang ringan kemungkinan besar mekanisme infertilitas,
disebabkan oleh : (1) gangguan pada implantasi; (2) defek imunologi dan; (3)
penurunan kualitas oosit karena terganggunya proses folikulogenesis.

2.5.3. Tumor
Penderita endometriosis ada yang berlangsung tanpa keluhan (asimptomatik).
Endometriosis berat seringkali tidak menimbulkan nyeri yang hebat kadang hanya
keluhan ringan. Pada endometriosis berat terjadi perlekatan yang luas dan timbul kista
ovarii (endometrioma) yang cukup besar dan dapat berganda. Oleh karena keluhan yang
relatif ringan pada umumnya baru berobat setelah merasa ada benjolan pada perut
bagian bawah atau didapat secara kebetulan pada saat memeriksakan diri mengenai
infertilitas.

2.6. DIAGNOSIS

10
Untuk menegakkan diagnosa endometriosis, dibuat atas dasar anamnesis dan
pemeriksaan fisik dipastikan dengan laparoskopi.
2.6.1. Anamnesis7
Anamnesis harus dilakukan pada setiap pasien yang datang. Hampir 80% penyakit
mampu didiagnosis dengan melakukan anamnesis yang benar dan tepat. Kecurigaan
terhadap pasien endometriosis nampak pada gejala yang dialami oleh pasien. Anamnesis
pada pasien endometriosis dilakukan dengan memperhatikan basic four and sacred
seven, yaitu:
1. Riwayat penyakit sekarang, terdiri dari :
- Keluhan utama: gejala utama dan tersering endometriosis adalah nyeri abdomen
bagian bawah atau area pelvis saat menstruasi dan biasanya nyeri semakin
memburuk.
- Onset: sejak kapan atau mulai gejala tersebut dirasakan.
- Lokasi: dibagian manakah gejala tersebut dirasakan. Endometriosis memiliki
gejala utama nyeri abodmen bagian bawah atau area pelvis.
- Kronologi: bagaimana keluhan tersebut bisa dirasakan oleh pasien pertama kali.
- Kualitas: bagaimana nyeri abdomen pasien apakah seperti tertusuk, tumpul atau
panas.
- Kuantitas: keluhan yang dirasakan pasien apakah sampai mengganggu
aktivitasnya atau masih bisa beraktivitas secara normal.
- Gejala yang memperingan atau memperburuk gejala yang dirasakan: saat sedang
apakah gejala yang dirasakan terasa lebih baik. Hal yang menyebabkan nyeri
membaik biasanya sangat bervariasi pada sebagian orang. Adakah hal yang
menyebabkan nyerinya semakin bertambah sakit. Hal ini biasanya sangat
subyektif.
- Gejala penyerta: selain keluhan utama yang dirasakan pasien, gejala lain juga
dapat dirasakan pasien, misal nyeri saat urinasi ketika sedang menstruasi, infertil
atau belum memiliki anak, lelah, diare, mual dan konstipasi selama menstruasi.
2. Riwayat penyakit terdahulu7
Penting untuk mengetahui adanya penyakit yang pernah diderita oleh pasien.
Sebelumnya sudah pernah merasakan keluhan yang dirasakannya sekarang atau
untuk pertama kali. Endometriosis memiliki kaitan dengan beberapa penyakit

11
lainnya, seperti adanya riwayat asma, alergi dan sensitivitas terhadap zat kimia
tertentu, fibromyalgia, kelainan katup mitral dan infeksi jamur.

3. Riwayat keluarga
Endometriosis selain berkaitan dengan adanya penyakit tertentu pada pasien, juga
berkaitan dengan penyakit genetik atau autoimun. Systemic lupus erythematosus,
multiple sclerosis, hipotiroid, kanker payudara, ovarium melanoma dan non-
Hodgkin’s lymphoma merupakan contah penyakit autoimun atau genetik yang
memiliki predisposisi terhadap endometriosis.
4. Riwayat pengobatan
Pengobatan yang pernah dilakukan atau sedang dijalani pasien juga perlu diketahui
untuk menghindari adanya alergi obat, resistensi terhadap obat ataupun efek
samping.

2.6.2. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi pada
vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan bimanual dan
palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas
dari uterus.3
Pemeriksaan yang dilakukan dalam keadaan mestruasi sangat sensitif karena
selama menstruasi terjadi pembengkakan dan kekakuan yang optimal pada pelvis. Area
cul-de-sac dan ligamen uterosacral merupakan area pemeriksaan pelvis yang biasanya
dilakukan. Namun jika area endometriosis sempit maka sulit dirasakan pada
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk mempalpasi ligamentum
sakrouterina dan septum rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya nodul
endometriosis. Pada pemeriksaan ini akan ditemukan nodularitas uterosakral,
retroverted uterus atau kekakuan pada daerah posterior cul-de-sac atau retrovaginal
septum. Selain pemeriksaan diatas, pain mapping juga bisa dilakukan untuk mengetahui
lokasi nyeri. Ruptur endometrium ovarian terjadi pada nyeri akut abdomen. Pada
pemeriksaan colok dubur kadang teraba adanya nodul-nodul di daerah kavum
Douglasi.3,7,8

12
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Endometriosis tidak bisa didiagnosis hanya berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik saja. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan fisik terhadap diagnosis
rendah sehingga memungkinkan adanya false positive. Pemeriksa laboratorium harus
peka dan jeli terhadap gambaran imaging yang bervariasi dari endometriosis.7
1. Ultrasonografi (USG)3
Ultrasonografi transvaginal merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama
yang mempunyai akurasi cukup baik terutama dalam mendeteksi kista endometriosis.
USG tidak memberikan hasil baik untuk pemeriksaan endometriosis peritoneal. Pada
endometriosis dalam, angka sensitifitas dan spesifisitasnya bervariasi tergantung
lokasi lesi endometriosis. (tabel 1)

Tabel 1. Sensitifitas dan Spesifisitas Ultrasonografi dalam diagnosis endometrioma3

Moore dkk melakukan review sistematis mengenai akurasi ultrasonografi


dalam mendiagnosis endometriosis. Sensitifitas dan spesifisitas ultrasonografi tanpa
Doppler dapat dilihat pada tabel 1.
Dengan bantuan USG dapat terlihat adanya massa kistik pada salah satu atau
kedua ovarium yang mengarah ke kista coklat. Terlihat gambaran yang khas dari
endometrioma berupa jaringan yang homogen hipoechoic. Namun untuk tingkat
endometriosis lainnya manfaat USG dan MRI sekalipun sangat terbatas.11
Diagnosis endometriosis dengan pencitraan ultrasonografi adalah
ditemukannya karakteristik endometrioma yaitu adanya internal echoe yang difus
dengan derajat rendah dan focus hiperechoic pada dinding kista. Positif palsu dapat
terjadi pada kasus korpus luteum dan kista lutein, teratoma atau dermoid

13
kistadenoma, fibroid ovarium, tubo-ovarian abscess dan karsinoma ovarium. Doppler
juga dapat membantu diagnosis sonografi dimana endometrioma menerima suplai
darah yang sedikit (pericystic flow at the level of the ovarian hilus), sedangkan
karsinoma ovarium menerima suplai darah yang banyak.11

Gambar 3. Gambaran ultrasonografi endometrioma ovarium (sumber:


www.accessmedicine.com)

2. Pemeriksaan Marka Biokimiawi


Pemeriksaan ini juga bisa digunakan untuk menunjang diagnosis
endometriosis yaitu dengan melihat adanya peningkatan TNF-α pada cairan
peritoneal.7
Endometriosis merupakan kelainan yang disebabkan oleh inflamasi. Sitokin,
interleukin, dan TNF-α mempunyai peran dalam pathogenesis endometriosis. Hal
ini dilihat dari meningkatnya sitokin dalam cairan peritoneal pada pasien dengan
endometriosis. Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk membedakan wanita
dengan atau tanpa endometriosis, dan untuk mengidentifikasi derajat dari
endometriosis.3

3. Laparoskopi7,11

14
Laparoskopi tetap merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosa
pasti suatu endometriosis yaitu dengan cara melihat langsung ke dalam rongga
abdomen. Disini akan tampak lesi endometriosis yang berwarna merah atau
kebiruan dan berkapsul, juga terlihat lesi endometriosis yang minimal. Diagnosis
visual secara laparoskopi atau laparotomi dari endometrioma diindikasikan untuk
endometriosis dengan :
- Ukuran kista yang tidak lebih dari 12 cm diameternya
- Perlekatan dengan dinding samping pelvis, sisi posterior ligamentum latum
dan/atau uterus
- Retraksi dari korteks ovarium dengan ’powder burns’ dan bercak merah, biru
atau kehitaman.
- Kandungan kista seperti coklat, kental.

Gambar 4. Gambaran laparaskopi endometrioma (sumber: slideshare.net)

2.7. PENATALAKSANAAN
Penanganan endometriosis terdiri dari terapi medikamentosa dan terapi pembedahan.
2.7.1. Terapi Medikamentosa
Standar terapi medik pada pasien endometriosis meliputi : analgesik (NSAID atau
acetaminophen), pil kontrasepsi oral, agen androgenik (danazol [Danocrine]), agen

15
progestogen (medroksiprogesteron asetat [Provera]), hormon pelepas-gonadotropin
(GnRH) misalnya leuprolid (Lupron), goserelin (Zoladex), triptorelin (Trelstar Depot),
nafarelin (Synarel), dan antiprogestogen (gestrinone).12
Sebagai dasar pengobatan hormonal endometriosis ialah bahwa pertumbuhan dan
fungsi jaringan endometrios dikontrol oleh hormone steroid. Jaringan endometriosis
umumnya mengandung reseptor estrogen, progesteron, dan androgen. Progesteron
sistetik umumnya mempunyai efek androgenik yang menghambat pertumbuhan
endometriosis. Prinsip pertama pengobatan hormonal adalah menciptakan lingkungan
hormon rendah estrogen dan asiklik. Keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid
yang berarti tidak terjadi pelepasan jaringan endometrium yang normal sehingga dapat
dihindari timbul sarang endometriosis yang baru karena transportretrograde serta
mencegah pelepasan dan perdarahan jaringan endometriosis yang menimbulkan rasa
nyeri karena rangsangan peritoneum. Prinsip kedua, menciptakan lingkungan hormon
tinggi androgen atau tinggi progestogen (progesterone sintetik) yang secara langusng
menyebabkan atrofi jaringan endometriosis dan juga menyebabkam keadaan rendah
estrogen yang asiklik karena gangguan pada pertumbuhan folikel.12
Adapun terapi medikamentosa baik berupa obat maupun hormon yang digunakan
pada kasus endometriosis, adalah sebagai berikut:12
1. Androgen
Preparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis 5-10
mg/hari. Biasanya diberikan 10 mg/hari pada bulan pertama dilanjutkan dengan 5
mg/hari selama 2-3 bulan berikutnya. Keberatan pemakaian androgen adalah
timbulnya efek samping maskulinisasi dan bila terjadi kehamilan dapat menyebabkan
cacat bawaan. Keuntungannya adalah untuk terapi nyeri, dispareuni, dan untuk
membantu menegakkan diagnosis. Jika nyeri akibat endometriosis biasanya akan
berkurang dengan pengobatan androgen satu bulan.
2. Estrogen-progestogen
Kontrasepsi yang dipilih sebaiknya mengandung estrogen rendah
dan progestogen yang kuat atau yang mempunyai efek androgenik yang kuat. Terapi
standar yang dianjurkan adalah etinil estradiol 0,03 mg dan norgestrel 0,3 mg
per hari. Bila terjadi perdarahan, dosis ditingkatkan menjadi estradiol 0,05 mg dan

16
norgestrel 0,5 mg per hari atau maksimal estradiol 0,08 mg dan norgestrel 0,8 mg
per hari. Pemberian tersebut setiap hari selama 6-9 bulan, bahkan 2-3 tahun.

3. Progestogen
Dosis yang diberikan adalah medroksiprogesteron asetat 30-50 mg per hari
atau noretisteron asetat 30 mg per hari. Pemberian parenteral dapat menggunakan
medroksiprogesteron asetat 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap bulan. Lama
pengobatan yakni 6-9 bulan.
4. Danazol
Danazol adalah turunan isoksazol dari 17 alfa etiniltestosteron. Danazol
menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen rendah. Kadar androgen
meningkat disebabkan oleh sifatnya yang androgenik dan danazol mendesak
testosterone sehingga terlepas dan kadar testosterone bebas meningkat. Kadar
estrogen rendah disebabkan karena danazol menekan sekresi GnRH, LH, dan FSH
serta menghambat enzim steroidogenesis di folikel ovarium sehingga estrogen turun.
Dosisnya 400-800 mg per hari dengan lama pemberian minimal 6 bulan. Efek
sampingnya berupa acne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan
berat badan, dan edema. Kontraindikasi absolut yaitu kehamilan dan menyusui,
sedangkan kontraindikasi relatif yaitu disfungsi hepar, hipertensi berat, gagal jantung
kongestif, atau gagal ginjal.

2.7.2. Terapi Pembedahan


Terapi Bedah bisa diklasifikasikan menjadi terapi bedah konservatif jika fungsi
reproduksi berusaha dipertahankan, semikonservatif jika kemampuan reproduksi
dikurangi tetapi fungsi ovarium masih ada, dan radikal jika uterus dan ovarium diangkat
secara keseluruhan. Usia, keinginan untuk memperoleh anak lagi, perubahan kualitas
hidup, adalah hal-hal yang menajdi pertimbangan ketika memutuskan suatu jenis
tindakan operasi. Bagi pasien yang infertil, atau pasien yang tidak berespon dengan
terapi konservatif, terapi bedah merupakan pilihan. Pembedahan terbagi atas terapi
bedah definitif, konservatif dan semi konservatif. Pembedahan terbagi atas terapi bedah
definitif, konservatif dan semi konservatif.13

17
a. Terapi bedah konservatif
Bertujuan untuk mengembalikan posisi anatomi panggul, mengangkat semua
lesi endometriosis yang terlihat dan melepaskan perlengketan perituba dan
periovarian yang menjadi sebab timbulnya gejala nyeri dan mengganggu transportasi
ovum.13
Pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu
laparotomi dan laparoskopi operatif. Laparoskopi operatif mempunyai beberapa
keuntungan jika dibandingkan laparotomi, yaitu lama tinggal di RS lebih singkat,
kembali aktivitas kerja lebih cepat, dan biaya lebih murah. Namun, luas dan derajat
perlekatan setelah laparoskopi operatif lebih sedikit. Ablasi bisa dilakukan dengan
dengan laser atau elektrodiatermi. Secara keseluruhan, angka rekurensi adalah 20 %.
Pembedahan ablasi laparoskopi dengan diatermi bipolar atau laser efektif dalam
menghilangkan gejala nyeri pada 90 % kasus. Kista endometriosis dapat diterapi
dengan drainase atau kistektomi. Kistektomi laparoskopi mengobati keluhan nyeri
lebih baik daripada tindakan drainase. Terapi medis dengan agonis GnRH
mengurangi ukuran kista tetapi tidak berhubungan dengan hilangnya gejala nyeri.12, 13
Flushing tuba dengan media larut minyak dapat meningkatkan angka
kehamilan pada kasus infertilitas yang berhubungan dengan endometriosis. Untuk
dismenorhea yang hebat dapat dilakukan neurektomi presakral. Bundel saraf yang
dilakukan transeksi adalah pada vertebra sakral III, dan bagian distalnya diligasi.
Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) berguna untuk mengurangi gejala
dispareunia dan nyeri punggung bawah. Untuk pasien dengan endometriosis sedang,
pengobatan hormonal adjuvant postoperative efektif untuk mengurangi nyeri tetapi
tidak berefek pada fertilitas. Analog GnRH, danazol, dan medroksiprogesteron
berguna untuk hal ini.13

b. Pembedahan Semi Konservatif


Indikasi pembedahan jenis ini adalah wanita dengan anak yang cukup, dan
terlalu muda untuk menjalani pembedahan radikal, serta merasa terganggu oleh
gejala-gejala endometriosis. Pembedahan yang dimaksud adalah histerektomi dan
sitoreduksi dari jaringan endometriosis pelvis. Kista endometriosis bisa diangkat
karena sepersepuluh dari jaringan ovarium yang berfungsi diperlukan untuk
memproduksi hormon. Pasien yang dilakukan histerektomi dengan tetap

18
mempertahankan ovarium memiliki risiko enam kali lipat lebih besar untuk
mengalami rekurensi dibandingkan dengan wanita yang dilakukan histerektomi dan
ooforektomi.13

c. Terapi Definitif (Radikal)


Pembedahan radikal dilakukan pada wanita dengan endometriosis yang
umurnya hampir 40 tahun atau lebih, dan yang menderita penyakit yang disertai
dengan banyak keluhan. Operasi yang paling radikal ialah histerektomi total,
salpingo-ooforektomi bilateral, dan pengangkatan semua sarang-sarang
endometriosis yang ditemukan. Akan tetapi pada wanita kurang dari 40 tahun dapat
dipertimbangkan untuk meninggalkan sebagian jaringan ovarium yang sehat. Hal ini
mencegah jangan sampai terlalu cepat timbul gejala premenopause dan menopause
dan juga mengurangi kecepatan timbulnya osteoporosis.12,13

2.8. PROGNOSIS
Nyeri panggul akut atau kronis dan infertilitas umum pada pasien dengan
endometriosis. Sekitar 30-40% wanita dengan endometriosis akan subfertil. Gejala tidak
berkorelasi baik dengan tingkat keparahan penyakit, endometriosis berat kadang-kadang
tanpa gejala. Rasa nyeri pada endometriosis memberikan respon buruk terhadap
antiprostaglandin dan kontrasepsi oral. Gejala berhubungan dengan bagian sisi dari
implan endometriosis dan sistem organ yang terlibat.(7)
Endometriosis telah ditemukan bisa sembuh secara spontan pada sepertiga wanita
yang tidak diobati secara aktif. Namun, umumnya merupakan penyakit progresif,
dengan tingkat perkembangan dan morbiditas berikutnya yang tak terduga. Meskipun
sebagian besar pasien (sampai 95% pada beberapa studi) memberikan respon terhadap
terapi medis (penekanan ovulasi) untuk mengurangi nyeri panggul. Terapi tersebut tidak
efektif untuk pengobatan infertilitas yang terkait endometriosis tetapi menjaga potensi
untuk pembuahan. Meskipun demikian, sebanyak 50% wanita mengalami gejala
kembali dalam waktu 5 tahun dengan terapi medis.(7)
Kombinasi estrogen/progestin meringankan rasa sakit pada 80-85% dari pasien
dengan nyeri panggul yang terkait endometriosis. Setelah 6 bulan terapi danazol,
sebanyak 90% pasien dengan endometriosis sedang, mangalami peredaan nyeri yang
adekuat. Terapi bedah dengan minimally invasive yang minimal memberi tingkat

19
kesuburan yang lebih baik. Terapi bedah definitif (histerektomi total dengan salpingo-
ooforektomi bilateral dan peritoneal stripping) menawarkan kesempatan terbaik untuk
resolusi nyeri jangka panjang (hingga 90%). Namun, opsi ini sebagai pilihan terakhir
pada pasien dengan kelumpuhan (incapacitating disability) atau orang-orang yang tidak
memiliki keinginan di masa depan untuk melahirkan.(7) Angka kejadian rekurensi
endometriosis setelah dilakukan terapi pembedahan adalah 20% dalam waktu 5 tahun.
Ablasi komplit dari endometriosis efektif dalam menurunkan gejala nyeri sebanyak 90%
kasus.13
Secara umum, kehamilan mungkin terjadi, tetapi tergantung pada tingkat
keparahan penyakit. Pasien dengan endometriosis sedang memiliki peluang untuk hamil
sebanyak 60%, sedangkan pada kasus-kasus endometriosis yang berat keberhasilannya
hanya 35%. Tanda-tanda dan gejala endometriosis umumnya mengalami regressi
dengan onset menopause dan selama kehamilan.7,13

20
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Endometriosis adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya jaringan
endometrium di luar kavum uteri, berhubungan dengan haid, bersifat jinak, tetapi dapat
menyerang organ-organ sekitarnya. Endometriosis merupakan penyebab morbiditas
yang signifikan pada wanita usia reproduksi yang menyebabkan nyeri panggul dan
infertilitas.
Penyebab utama timbulnya endometriosis belum diketahui secara pasti. Secara
garis besar dikatakan bahwa penyebab endometriosis terdiri dari beberapa kelompok
penyebab yaitu : kelompok imunologi, kelompok endokrinologi, kelompok genetik serta
kelompok lingkungan dan penyebab lain yang belum dapat diketahui.
Endometriosis diklasifikasikan menjadi 4 derajat keparahan menurut ASRM,
tergantung dari lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel endometriosis, adanya
perlengketan, dan ukuran dari endometrioma ovarium.
Gejala yang disebabkan karena endometriosis yaitu berupa nyeri (dismenorrea,
nyeri pelvik, dyspareunia dan diskezia) dan infertilitas.
Penanganan untuk endometriosis sendiri terdiri dari terapi medikamentosa dan
pembedahan. Yang mana pada penanganan medik bisa diberikan terapi berupa obat
maupun hormone, sedangkan untuk pembedahan dapat dilakukan secara konservatif
(laparaskopi atau laparatomi), semikonservatif (histerektomi dan sitoreduksi jaringan
endometriosis) dan definitif atau radikal histerektomi total atau salpingo-ooforektomi
bilateral).

3.2. SARAN
Diperlukannya deteksi dini terhadap semua penyakit kandungan terutama
endometriosis karena dapat menyebabkan infertilitas, oleh karena itu tenaga kesehatan
hendaknya meningkatkan kemampuannya dalam mendiagnosis penyakit endometriosis.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kapoor D, et al. Endometriosis. 2015, [cited: February 12th, 2016]. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/271899-overview.

2. Mukti P, 2014, Faktor Resiko Kejadian Endometriosis, Unnes Journal of Public Health,
Semarang.

3. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas Indonesia, 2013, Konsensus Tata


Laksana Nyeri Haid Pada Endometriosis, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia, Jakarta

4. Heriansyah R, 2011, Endometriosis, Universitas Sumatera Utara, [cited: February 12th,


2016], Available at : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30234/4/Chapter
%20II.pdf.

5. Gunawan T, 2014, Endometriosis dan Infertilitas, Bagian Obstetri dan Ginekologi FK


UGM, Yogyakarta.

6. Seracchioli R, et al, 2014, Endometriosis: Novel Models, Diagnosis, and Treatment,


BioMed Research International, Italia.

7. Mahardika J, et al, 2013, The Reproductive System and Disorders: Endometriosis,


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali.

8. Ichnandy AR, Andon H, Peranan Dioxin Dan Zat Seperti Dioxin Dalam Patogenesis
Endometriosis, Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

9. Mayo Clinic. Causes endometriosis. [cited: February 12th 2016]. Available at:
http://www.mayoclinic.com/health/endometriosis/DS00289/DSECTION=causes

10. Oepomo TD, 2007, Dampak Endometriosis pada Kualitas Hidup Perempuan, Universitas
Sebelas Maret, Surakarta.

11. Manurung ES, 2014, Endometriosis, Universitas Sumatera Utara, [cited: February 12th,
2016]. Available at : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/40067/4/Chapter%
20II.pdf

12. Giudice Linda C, 2010, The New England Journal of medicine Clinical Pracice :
Endometriosis. National Cheng Kung University, Available at : www.nejm.org.

13. Nilamsari L, 2012, Endometriosis, Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUD


Panembahan Senopati Bantul, Yogyakarta.

22

Anda mungkin juga menyukai