Anda di halaman 1dari 226

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/287207760

BUKU PENGANTAR ANALISIS RETORIKA

Data · December 2015

CITATIONS READS

0 18,072

1 author:

Safnil Arsyad
Universitas Bengkulu
28 PUBLICATIONS   42 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

AronoUnib View project

The rhetorical analysis of English research article abstracts written by Indonesian speakers View project

All content following this page was uploaded by Safnil Arsyad on 18 December 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengantar Analisis Retorika Teks 1

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 2

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 3

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 4

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 5

Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1987 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang
Hak Cipta

1. Barang Siapa dengan sengaja dan tanpa hak


mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau memberi ijin untuyk itu
dipidana dengan pidana penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan,


memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 6

PENGANTAR ANALISIS
RETORIKA TEKS

Oleh:

Safnil

Penerbit
FKIP UNIB Press
Jl. Raya Kandang Limun Kota Bengkulu

2010

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 7

Pengantar Analisis
Retorika Teks
Oleh: Safnil

Sampul dan Perwajahan: Safnil


Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit FKIP UNIB Press, Oktober 2006

Alamat Penerbit:
FKIP UNIB Press
Jalan Raya Kandang Limun Kota Bengkulu
Telp./Faks.: (0736)-21186

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku tanpa izin dari penerbit

Isi di luar tanggung jawab percetakan

Cetakan Ketiga: 2010


Perpustakaan Nasional RI: Data Katalog Dalam Terbitan
(KDT)
Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks/ oleh: Safnil
Bengkulu: FKIP UNIB Press, 2010
155 + x; 20 cm
Bibliografi halaman 138
ISBN 979-25-0775-2
1. Wacana 1. Judul
410.1

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 8

PRAKATA

Buku Pengantar Analisis Retorika Teks ini


dimaksudkan untuk memperkenalkan kepada pembaca
teori-teori yang berkaitan dengan metode analisis teks
(written discourse) beserta contoh-contoh aplikasinya pada
teks-teks berbahasa Indonesia dari berbagai jenis teks
(genre). Kajian analisis teks ini merupakan salah satu
cabang bidang ilmu linguistik. Analisis retorika teks
ditujukan pada usaha menemukan ciri-ciri khas linguistik
dan nonlinguistik dari sekelompok tulisan atau teks dengan
konteks yang serupa atau mirip (genre). Ciri-ciri khas
linguistik dan nonlinguitik ini sangat diperlukan untuk
proses belajar-mengajar bahasa terutama bahasa kedua
(second language) atau bahasa asing (foreign language)
baik untuk proses pemahaman (comprehension) maupun
untuk proses penulisan (production) bahasa tersebut.

Buku kecil ini diharapkan bermanfaat bagi


mahasiswa jurusan bahasa dan seni dari program studi
Pendidikan Bahasa Indonesia maupun Pendidikan Bahasa
Inggris. Buku ini juga perlu dibaca oleh dosen dan guru-
guru bahasa Indonesdia dan Bahasa Inggris dan oleh semua
yang tertarik pada kajian analisis wacana (discourse
analysis) terutama yang tertarik pada bidang analysis
wacana tulis atau teks (written discourse).

Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-


tingginya dan terima kasih banyak kepada semua pihak

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 9

yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Penulis


berharap buku ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang
membaca dan oleh sebab itu kepada pembaca diharapkan
masukkan, saran, komentar dan kritikan demi
kesempurnaan buku ini.

Bengkulu, April 2010


Penulis,

Prof. Safnil, MA., Ph.D.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 10

DAFTAR ISI
Hal.
BAB. 1 PERKEMBANGAN ILMU
LINGUISTIK TENTANG TEKS
ATAU WACANA TULIS
Sejarah Perkembangan Ilmu Linguistik 2
Teks
Pendekatan Baru Dalam Kajian Teks 6
Teori Struktur Retorika (Rhetorical 7
Structure Theory)
Analisis Teks Berdasarkan Tujuan 9
Komunikatif Teks
Pola-pola Organisasi atau Retorika 10
Teks
Pola Teks Narasi 12
Pola Umum-khusus 13
Pola Masalah-solusi 19
Alasan Penggunaan Berbagai Model 20
Analisis Teks
Penutup 21
BAB. 2 HUBUNGAN ANTARA TEKS DAN
KONTEKS
Hubungan Antara Teks dan Konteks 24
Konteks Situasi dan Konteks Budaya 25
Penutup 28
BAB. 3 PENGHUBUNG ANTAR KLAUSA
SEBAGAI PENANDA WACANA
DALAM TEKS
Pembaca Khayalan (Imagined Readers) 30
dan Pembaca yang Sebenarnya
(Real Readers)
Penanda Hubungan Antar Klausa 33

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 11

(Clause Relation Signal)


Kategori Hubungan Antar Klausa 33
Penggunaan Konjugasi (Conjunction) 34
Sebagai Penghubung Antar Klausa
Pemakaian Kata-kata Khusus (Specific 35
Lexicon) Sebagai Penghubung
Antar Klausa
Pengulangan Kata (Repetition) Sebagai 36
Penghubung Antar Klausa
Penggunaan Parafrase (Paraphrase) 37
Sebagai Penghubung Antar Klausa
Penggunaan Kalimat Tanya 38
(Interrogative Sentence) Sebagai
Penghubung Antar Klausa
Penetapan Batas Unit Analisis 39
(Analysis Unit Boundary)
Penutup 41
BAB. 4 KOHESI DALAM SEBUAH TEKS
Contoh Analisis Kohesi Dari Sebuah 46
Teks Yang Utuh
Pengikat Kohesi Referen 48
Substitusi 50
Elip 51
Pengikat Kohesi Leksika 52
Sinonim 52
Hiponimi 54
Antonim dan Repetisi 55
Kolokasi 55
Penutup 56

BAB. 5 MODEL DAN CONTOH ANALISIS


TEKS UNTUK BERBAGAI
BENTUK ATAU TIPE WACANA

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 12

Model Analisis Khotbah (Sermon) 62


Gambaran Umum Tentang Khotbah 62
Berjudul “Kedudukan Ilmu
Dalam Islam”
Pola Makro Retorika Khotbah 63
“Kedudukan Ilmu Dalam Islam”
Teks Khotbah Beserta Bagian dan 67
Langkah-langkahnya
Fungsi Retorika dan Penanda Leksikal 74
Model Analisi Teks “Top-down” dan 79
“Bottom up” Pada Contoh
Karangan Argumentatif
Model Analisis Makro Monolog dan 85
Dialog
Langkah-langkah Analisis Teks 86
Proses Dialog (Top-down Analysis) 87
Proses Monolog (Bottom-up Analysis) 91
Model Analisis Teks Masalah Solusi 98
(Problem-Solution): Contoh Teks
Humor
Tinjauan Teoritis Struktur Generik 99
Teks Humor
Analisis Struktur Generik Humor 101
Contoh Humor Dengan Unsur Generik 113
Lengkap
Contoh Humor Dengan Unsur Generik 106
Tidak Lengkap
Pola Umum Retorika Teks Humor 107
Penggunaan Teks Humor Untuk 107
Pengajaran Bahasa
Model Analisis Teks „Triad‟: Contoh 109
Teks Editorial Surat Kabar
Model Analisis Pola Wacana “Triad” 110

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 13

Aplikasi Model Analisis Pola Wacana 114


„Triad‟ Dalam Teks Bahasa
Indonesia
Gambaran Umum (Overall View) 114
Tentang Teks yang Dianalisis
Pola Retorika Tajuk Rencana (TR): 116
Aplikasi Model „Triad‟
Penutup 124
BAB. 6 PENGAJARAN EKSPLISIT
MENGENAI GENRE (TIPE TEKS)
JURNAL PENELITIAN BAGI
MAHASISWA DI INDONESIA
Debat Mengenai Pengajaran Genre 127
Secara Eksplisit
Pendekatan Umum Terhadap 131
Pengajaran Teks Spesifik Genre
Penutup 136
DAFTAR PUSTAKA 138
LAMPIRAN-LAMPIRAN 149

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 14

BAB 1

PERKEMBANGAN ILMU
LINGUISTIK TEKS

H ampir semua cabang ilmu linguistik atau kebahasaan


merupakan studi deskriptif, tak terkecuali kajian linguistik

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 15

teks atau wacana tulis (Coulthard, 1994). Menurut


Coulthard, tujuan utama dari analisis wacana tulis atau teks
adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai apakah teks
itu (terutama teks yang sudah dipublikasikan). Pertanyaan
ini dapat diuraikan menjadi beberapa pertanyaan yang lebih
sederhana, yaitu: 1) Apakah komponen-komponen yang
membentuk sebuah teks dan 2) Bagaimanakah pola internal
setiap komponen tersebut. Sementara itu, secara umum
telah disepakati bahwa dengan menganalisis sebuah teks
seseorang dapat melihat pilihan pola kalimat yang mungkin
untuk tujuan komunikatif tertentu.
Linguistik teks (text linguistic) merupakan suatu
bidang ilmu yang relatif baru di kalangan para pakar bahasa
(linguists) di tingkat internasional, lebih-lebih lagi di
Indonesia. Beugrande dan Dressler (1981) mengatakan
bahwa bidang ilmu linguistik teks dimulai semenjak awal
tahun 1970-an. Teun van Dijk (1979), misalnya,
menekankan bahwa kajian teks tidak bisa dikategorikan
hanya ke dalam satu kategori saja; kajian teks merupakan
seluruh kajian bahasa yang menggunakan teks sebagai
objek kajian utama.
Menurut Beugrande dan Dressler (1981), kajian
teks paling awal dapat dijumpai dalam bentuk kajian
retorika, yang telah dilakukan semenjak jaman Yunani dan
Roma kuno hingga pada abad-abad pertengahan dan
seterusnya hingga saat ini. Kajian retorika pada jaman
dahulu sangat dipengaruhi oleh tugas utamanya yaitu untuk
melatih para orator publik. Bidang kajian utama mereka
adalah invention atau penemuan ide-ide baru, disposition
atau penyusunan ide-ide tersebut, elocution atau penemuan
ungkapan yang tepat untuk menyampaikan ide-ide,
memorization atau usaha mengingat atau menghafal ide-ide
tersebut sebelum penyampaian (delivery).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 16

1.1 Sejarah Perkembangan Ilmu Linguistik Teks

Pada awal masa perkembangan ilmu linguistik moderen,


analisis teks terbatas hanya pada pola kalimat sebagai unit
terbesar, dengan cara melihat pola internal dari kalimat-
kalimat yang tercantum dalam sebuah teks atau wacana;
padahal pola teks lebih luas dari kalimat yang diantaranya
termasuk gaya tulisan (style) atau retorika (rhetoric)
(deBeaugrande and Dressler 1981). Pandangan ini, menurut
deBeaugrande dan Dressler, didasarkan pada suatu
anggapan bahwa kalimat atau klausa merupakan bagian
yang sangat mendasar dalam bahasa, dan menganalisis
kalimat jauh lebih mudah dan sederhana bila dilakukan
dengan cara menentukan elemen-elemen apa saja yang
membentuk sebuah kalimat yang benar daripada dengan
cara menentukan elemen-elemen apa yang membentuk
sebuah satuan bahasa yang lebih luas dari kalimat, seperti
paragraph, bagian teks atau teks atau wacana secara utuh.
Berbeda dengan kalimat atau klausa, bahasa tulis
atau lisan lebih luas daripada kalimat atau klausa dan
mempunyai sifat-sifat yang lebih bebas, terutama dalam
pemilihan pola atau strukturnya. Misalnya, menurut
deBeaugrande dan Dressler, sebuah kalimat deklaratif
dalam bahasa Inggris harus mempunyai sebuah frasa
nomina (noun phrase) seperti dalam contoh berikut ini:

 The man hit the ball.

Namun, bila kalimat di atas dimasukkan ke dalam sebuah


teks yang lebih luas, beberapa kemungkinan pola teks dapat
dipergunakan, seperti dalam contoh berikut ini:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 17

 The man hit the ball and the crowd cheered him;
 The man hit the ball and he was cheered by the
crowd;
 The man hit the ball and the crowd cheered the
promising rookie;
 The man hit the ball and the promising rookie
was cheered by the crowd;
 The crowd cheered the man after he hit the ball;
 He was cheered by the crowd after the man hit
the ball;
 The crowd cheered the promising rookie after
he hit the ball;
 dan seterusnya.

Seperti terlihat dalam contoh-contoh di atas, bentuk kalimat


mana yang akan dipilih oleh penulis untuk menggabungkan
dua kalimat (the man hit the ball and the crowd cheered
him) sangat tergantung pada pilihan penulis itu sendiri.
Dengan kata lain, pilihan pola teks merupakan hak
prerogratif penulis, karena semua bentuk yang tersedia
merupakan pilihan yang benar secara tata-bahasa bahasa
Inggris. Pilihan bentuk tersebut akan ditentukan oleh gaya
bahasa atau gaya penulisan yang disukai oleh penulis
tertentu. Tidak ada satu aturan pun yang mengharuskan kita
memilih satu atau beberapa pilihan dari bentuk-bentuk
tersebut.
Disamping itu, teks telah lama menjadi objek studi
dalam bidang sastera, walaupun fokusnya terbatas pada
beberapa jenis dan bentuk teks. Para pakar telah lama
menggeluti pekerjaan seperti:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 18

1) mendeskripsikan proses dan hasil penulisan sebuah teks


dari seorang atau sekelompok penulis;
2) menemukan masalah yang terdapat pada teks dalam
proses pemahaman; dan
3) menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam satu
bentuk atau sekelompok teks tertentu.

Usaha untuk membuat pekerjaan-pekerjaan tersebut di atas


menjadi lebih sistematis dan obyektif telah mendorong
adanya penggunaan metode-metode linguistik terhadap
analisis teks. Lingkup kajian linguistik teks semacam ini
akan memberikan hasil temuan yang lebih bermanfaat
daripada temuan-temuan kajian tata bahasa yang dilakukan
secara konvensional. Oleh karena itu, saat ini pakar ilmu
bahasa berupaya menelaah bahasa dalam lingkup yang
lebih luas dari kalimat untuk dapat menemukan jawaban
bagaimana teks dapat disusun dan dipahami dengan baik.
Teks juga telah menjadi fokus studi para pakar
dalam bidang ilmu Antropologi dalam upaya mereka
mencari nilai-nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok
masyarakat atau bangsa. Bronislaw Malinowski (1935)
misalnya menyatakan bahwa arti penting dari pengkajian
bahasa sebagai sebuah kegiatan manusia (human activity)
adalah untuk mempelajari makna yang terkandung dalam
bahasa tersebut. Juga dalam bidang Sosiologi, para pakar
tertarik untuk menganalisis percakapan (oral language)
sebagai model dari organisasi dan interaksi. Telah banyak
dilakukan penelitian tentang bagaimana orang memperoleh
kesempatan berbicara dalam sebuah percakapan informal
(Sacks, Schegloff dan Jefferson 1974). Bidang kajian ini,
yang sering dinamakan „ethnomethodology‟, menelaah
hubungan antara pola berbicara seseorang atau sekelompok
orang dengan status sosial mereka; serta mengkaji

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 19

bagaimana orang menyesuaikan cara berbicara atau cara


berkomunikasi mereka dengan keadaan (speech event) yang
berbeda, bagaimana aturan berbicara terbentuk atau
berubah, bagaimana dominasi seseorang atau sekelompok
orang dalam berbicara akan muncul, dan sebagainya.
Dengan kata lain, kajian-kajian tentang percakapan
berupaya menelaah bagaimana orang atau sekelompok
orang tertentu menggunakan sebuah bahasa tertentu dalam
suatu kegiatan berbahasa informal (informal speech event)
tertentu.
Penelitian skala besar mengenai organisasi teks
yang pertama kali dipublikasikan adalah penelitian yang
dilakukan oleh Roland Harweg (1968, dikutip dalam
deBeaugrande dan Dressler 1981). Hipotesis Harweg
adalah bahwa sebuah teks terikat oleh mekanisme substitusi
seperti pronomina, proverbal, prokalimat atau bentuk-
bentuk kata ganti lainnya. Namun akhirnya Harweg
menyadari bahwa subtitusi tersebut sangatlah luas dan
kompleks hingga meliputi bentuk-bentuk hubungan
pengulangan kata atau kalimat (recurrence), sinonim,
klasifikasi atau contoh, sebab akibat, bagian dan
keseluruhan, hiponim dan sebagainya. Oleh karena itu,
sistem analisis yang diajukannya tidaklah mencukupi
karena tidak dapat memberikan informasi dan deskripsi
yang terperinci mengenai komponen-komponen dari
sebuah teks.
Beberapa penelitian lainnya menggunakan
pendekatan deskriptif struktural yang kecenderungan
utamanya adalah bahwa studi teks difokuskan pada bagian
teks yang lebih luas dari kalimat atau klausa. Pada studi-
studi ini, teks didefinisikan sebagai sebuah unit bahasa
yang lebih luas dari kalimat atau klausa. Kemudian
penelitian teks berkembang sehingga menemukan pola atau

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 20

struktur teks sehingga teks dapat dimasukkan ke dalam


beberapa kelompok berdasarkan persamaan pola atau
struktur tersebut. Pada beberapa contoh kajian teks,
kerangka analisisnya diperluas dengan memasukkan urutan
teks menurut bentuk atau urutan situasi kejadian dalam teks
tersebut. Tapi secara umum, struktur atau pola teks
dianggap sebagai sesuatu yang terbentuk secara tanpa sadar
oleh penulis teks.

1.2 Pendekatan Baru Dalam Kajian Teks

Dalam pendekatan baru kajian teks, teks tidak lagi


dipandang sebagai suatu unit lebih luas dari kalimat atau
klausa, melainkan sebagai suatu susunan kalimat. Teks
dipandang sebagai suatu kalimat super panjang yang
kebetulan dihubungkan dengan titik bukan dengan kata
penghubung. Pandangan seperti ini didukung oleh prinsip
gramatika standar, yaitu pendapat bahwa tidak ada batas
untuk panjang kalimat yang dapat ditulis atau diucapkan
oleh seseorang. Namun pandangan ini tidak mencerminkan
penggunaan bahasa secara alamiah dimana penutur
biasanya lebih suka memenggal bahasa menjadi kalimat-
kalimat pendek karena suatu tujuan dan ide tertentu yang
dihubungkan dengan berbagai kata penghubung.
Teun vanDijk (1972) menyarankan sebuah model
analisis teks yang agak berbeda. Menurut vanDijk, pola
atau gramatika teks tidaklah mencukupi bila akan
digunakan sebagai tujuan analisis teks, karena banyak hal
lain yang menarik dan penting diketahui berkenaan dengan
teks seperti tujuan komunikatif dari bagian-bagian teks,
alasan mengapa sebuah teks memiliki bentuk tertentu dan
lain sebagainya. Oleh karena itu, vanDijk menyarankan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 21

adanya pemakaian suatu metode analisis teks secara makro


menurut isi dari sebuah teks. Menurut vanDijk, penulisan
sebuah teks harus dimulai dengan sebuah ide utama yang
secara bertahap berkembang menjadi ide-ide atau
informasi-informasi terperinci yang disajikan dalam bentuk
kalimat. Pada saat sebuah teks disajikan, diperlukan adanya
suatu sistem yang dapat digunakan untuk menyederhanakan
sebuah teks atau untuk menemukan ide-ide utamanya.
Aspek ini tidak dapat dimasukkan ke dalam gramatika teks,
karena struktur makro teks tersebut tidak disajikan dalam
bentuk kalimat-kalimat terpisah. Model ini akhirnya
bermuara pada psikologi kognitif yang berorientasi pada
proses penyusunan sebuah teks. VanDijk bersama Kintsch
(1981) menelaah bagaimana orang membuat ringkasan dari
sebuah teks dalam berbagai bidang seperti cerita atau
novel, dan menemukan bahwa sebagian besar ringkasan
tersebut dibuat berdasarkan struktur makro teks.
Teori-teori tentang analisis teks masih terus
berkembang, sementara model-model analisis teks baru,
dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, senantiasa
diusulkan. Pendekatan yang berbeda disarankan oleh pakar
dari bidang lain atau untuk tujuan analisis yang lain.
Namun tidak diragukan lagi, pengetahuan tentang struktur
teks sangat penting, yaitu untuk mengetahui bagaimana
seseorang atau sekelompok orang dalam konteks dan tujuan
tertentu menggunakan bahasa tertentu dan bagaimana
kualitasnya.

1.3 Teori Struktur Retorika

Teori struktur retorika (Rhetorical Structure Theory atau


RST) merupakan suatu model analisis teks yang cukup

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 22

terkenal yang diciptakan oleh Mann dan Thomson (1992).


Menurut Mann dan Thomson, RST menggambarkan teks
secara terperinci namun terbatas sehingga dapat
meramalkan sifat teks dan pengaruhnya. Melalui model
RST, fungsi dan struktur yang membuat sebuah teks
menjadi efektif sebagai alat komunikasi bagi manusia.
Jelas, hubungan antara bagian-bagian teks tidak dilihat dari
susunan kata yang membentuk teks tersebut. Susunan kata
tersebut merupakan realisasi dari suatu hubungan abstrak
dari makna (meaning) dan niat (intention) yang disajikan
melalui susunan kata. Disini, analisis RST merupakan suatu
pra-realisasi, karena hasil analisisnya akan menjelaskan
bagaimana pola dan gabungan dari makna dan niat tersebut,
namun bukan bagaimana keduanya direalisasikan.
Tujuan analisis teks, menurut Mann dan Thomson
(1992), adalah untuk menunjukkan bagaimana struktur teks
atau wacana merefleksikan niat dan tujuan berkomunikasi
dari pembicara atau penulis. Tidak ada struktur linguistik
khusus yang secara unik menyamai tujuan atau orientasi
ini. Memang memungkinkan untuk menguji teks guna
melihat bentuk linguistik dan niat dari penulis melalui
pemahaman beberapa aspek pada struktur teks. RST
memandang pengertian teks sebagai suatu organisasi. Teori
ini berupaya menguraikan bagian-bagian teks yang dimiliki
sebuah teks serta prinsip-prinsip yang dipergunakan untuk
menggabungkan bagian-bagian teks tersebut menjadi
sebuah teks yang utuh. RST tentunya tidak akan
menjelaskan semua struktur yang mungkin dimiliki teks;
model analisis ini hanya terfokus pada tiga struktur teks
utama:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 23

1) Struktur holistik; yaitu struktur teks yang dilihat dari


bagian-bagian yang umumnya dipergunakan untuk
membentuk jenis teks tertentu, misalnya surat;
2) Struktur relational; yaitu struktur teks yang
menjelaskan organisasi dan kohesi teks yang umumnya
dipergunakan untuk menganalisis bagian inti dari
sebuah teks; dan
3) Struktur sintaksis dari teks.

Jadi, RST merupakan suatu teori struktur relational yang


menggabungkan antara struktur holistik dan struktur
sintaksis, namun tidak dipergunakan untuk melihat ciri
khas dari jenis atau gene teks tertentu.

1.4. Analisis Teks Berdasarkan Tujuan Komunikatif

Salah satu model analisis teks yang paling populer dari


sudut pandang pedagogi, terutama untuk tujuan pengajaran
bahasa, adalah analisis teks yang didasarkan pada tujuan
komunikatif dari setiap bagian teks mulai dari bagian yang
terbesar sampai ke bagian yang terkecil. Model analisis ini
sering disebut sebagai analisis tujuan komunikatif
(communicative purpose analysis atau CPA) seperti yang
disarankan oleh Swales (1990), Bathia (1993), dan John
(1997). Menurut Swales, sebuah teks memiliki seperangkat
tujuan komunikatif dan tujuan-tujuan komunikatif ini
dipergunakan oleh penulis untuk mengorganisir teks
tersebut. Dengan kata lain, struktur dari sebuah teks sangat
ditentukan oleh tujuan komunikatif yang ingin disampaikan
oleh penulis melalui teks tersebut. Jadi, sebelum menulis
teks, penulis sebaiknya telah memiliki tujuan yang jelas
untuk apa ia menulis teks tersebut dan bagaimana

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 24

merealisasikan tujuan tersebut dengan menggunakan kata-


kata, frase atau kalimat. Juga, dalam mengevaluasi dan
mengedit sebuah teks, penulis biasanya melihat pada
tujuan-tujuan komunikatifnya; yaitu apakah tujuan
komunikatif yang ingin dicapai telah terwujutkan melalui
teks tersebut atau apakah tujuan komunikatif yang
diinginkan telah tersampaikan dengan baik melalui
penggunaan kata, frasa, kalimat atau paragraf dalam teks
tersebut.
Arti penting dari tujuan komunikatif dalam sebuah
teks juga telah disampaikan oleh Callow dan Callow
(1992). Menurut mereka, sebuah teks bukan hanya
merupakan suatu gabungan kata yang terorganisir, namun
lebih merupakan pola pikir yang direalisasikan melalui
pengunaan bahasa. Jika kita memandang sebuah teks hanya
sebagai bentuk realiasi aturan pola sintaksis dan leksikal,
kita akan kehilangan hal-hal yang sangat penting dan
utama. Walaupun bentuk verbal memang dapat
merealisasikan sistem bahasa, tidak ada orang di luar kelas
yang akan menggunakan bentuk verbal demi tujuan ini.
Orang menggunakan bentuk-bentuk verbal untuk
mengkomunikasikan suatu makna. Mengeksploitasi bentuk
verbal dari suatu bahasa tidaklah ada gunanya. Teks utama
digunakan untuk merealisasikan makna, dan teks ditulis
untuk merealisasikan struktur bahasa. Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk tidak melihat bentuk verbal teks
secara terpisah; lebih baik bentuk verbal teks dilihat
sebagai tanda-tanda dari makna yang ingin disampaikan
oleh pembicara atau penulis.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 25

1.5 Pola-Pola Retorika Teks

Terdapat beberapa model analisis teks lain yang sering


dipergunakan, seperti analisis kohesif dan koherensi
(Halliday dan Hasan 1976), analisis hubungan antar klausa
(Hoey 1983), analisis ungkapan khusus (Moon 1994),
analisis inferensi (Shiro 1994), analisis tiga tahap triad
(Bolivar 1994), dan lain-lain. Disamping analisis teks pada
tingkat makro, analisis teks pada tingkat mikro juga sering
dilakukan, yaitu untuk menemukan ciri linguistik seperti
kata, frasa maupun kalimat dari suatu jenis teks. Bathia
(1993), misalnya, mengelompokkan analisis teks ke dalam
tiga tingkat: 1) analisis lexico-grammatical, 2) analisis pola
teks, dan 3) interpretasi teks secara struktural.
Pada tingkat pertama, menurut Bathia (1993),
analisis teks bertujuan untuk melihat ciri-ciri linguistik dari
suatu jenis teks secara kuantitatif, seperti jenis dan
frekuensi tense, frasa, klausa yang dominan ditemukan
pada sekelompok teks sejenis, dan lain sebagainya. Pada
analisis tingkat kedua, tujuan analisis difokuskan pada
fungsi-fungsi bentuk linguistik yang dominan pada
sekelompok teks sejenis, seperti fungsi penggunaan kalimat
pasif, frasa nominal atau verbal, klausa nominal, verbal dan
lain-lain sebagainya. Pada tingkat ketiga, fokus analisis
terletak pada struktur makro dari teks, seperti analisis
tujuan komunikatif teks, analisis perkembangan topik teks,
analisis pola koherensi teks, dan lain sebagainya.
Coulthard (1994:7) mengatakan, “Knowledge is not
linear but text is. Thus, every writer is faced with the
problem of how to organize and present his/her non-linear
message in a comprehensible form”. Menurut Coultard,
ilmu pengetahuan tidak bersifat linier namun tidak
demikian halnya dengan teks atau wacana tulis. Oleh

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 26

karena itu, setiap penulis dihadapkan pada tugas untuk


mengorganisir dan menyajikan pengetahuan yang tidak
linier tersebut ke dalam teks yang linear. Dengan kata lain,
menurut Coulthard setiap penulis atau pengarang berupaya
untuk menyusun ide-ide atau pesan-pesan dalam karangan
mereka sedemikian rupa hingga mudah untuk dipahami
atau dibaca oleh pembaca (comprehensible). Upaya
penyusunan ide inilah yang akhirnya mengantarkan semua
penulis atau pengarang pada pilihan akan suatu model pola
retorika tertentu sesuai dengan tujuan komunikatif dari
tulisan mereka. Dengan kata lain, bentuk atau pola retorika
dari sebuah karangan sangat ditentukan oleh hal-hal seperti
tujuan komunikatif (communicative purpose) dari karangan
tersebut, tingkat pengetahuan pembaca untuk siapa teks
tersebut ditulis (potential readers‟ schemata), gaya menulis
pengarang (writer‟s style), dan aturan-aturan yang berlaku
umum pada media dimana karangan tersebut diterbitkan
atau ditulis.
Banyak model analisis teks yang telah disarankan
atau dipergunakan oleh para pakar bahasa. Namun,
menurut Coulthard dan Brasil (1979), setiap model analisis
teks atau karangan harus mampu memberi dua bentuk
informasi penting, yaitu: 1) apa posisi dan fungsi dari setiap
unit analisis dari teks yang dianalisis, dan 2) apa bentuk
struktur internal unit analisis tersebut dalam teks secara
keseluruhan. Dengan kata lain, metode analisis teks harus
mampu membagi sebuah teks ke dalam unit-unit analisis
terkecil, menentukan posisi dan fungsi dari unit-unit
tersebut dalam kerangka teks secara utuh, serta
menjelaskan unsur-unsur yang membentuk setiap unit
analisis tersebut.

1.6. Pola Teks Narasi

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 27

Struktur generik teks narasi, seperti yang dikembangkan


oleh Labov (1972, dalam Trianto 2001), adalah dalam
Bagan berikut:

Bagian-Bagian Kualitas/Nilai

Abstrak E
v
Orientasi a
l
Kompleksitas Peristiwa u
a
Resolusi
s
i
Kode

Bagan 1: Struktur Generik Teks Narasi


(Labov 1972 dalam Trianto, 2001)

Trianto (2001) lebih lanjutkan mengatakan bahwa,


abstrak, seperti terlihat dalam bagan di atas, adalah
pernyataan singkat mengenai cerita, misalnya,

Saya akan bercerita tentang suatu kejadian yang


memalukan kemarin”.

Orientasi adalah penetapan waktu, tempat, dan karakter


cerita untuk diketahui pembaca atau pendengar, misalnya,

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 28

Kamu tahu guru baru di sekolah kita, dua hari yang


lalu dia ...

Kompleksitas peristiwa adalah peristiwa utama yang


membuat peristiwa yang bersangkutan terjadi, misalnya,

Komputer kita terbakar.

Resolusi merupakan bagaimana peristiwa terselesaikan,


misalnya,

Dia mendapat kompensasi dua juta rupiah.

Sedangkan kode adalah semacam jembatan antara dunia


perceritaan dan momen perceritaan, misalnya

… dan sejak itu, saya selalu muak bila melihat


duren.

Selanjutnya menurut Trainto, tidak semua cerita memiliki


rumusan semacam ini. Umumnya, yang tidak ada adalah
abstrak dan kode, sedangkan unsur lainnya haruslah ada
agar cerita dapat dikatakan sebagai sebuah cerita yang
terpahami.
Selain kelima unsur di atas, ada juga unsur evaluasi,
yaitu suatu unsur yang dimaksudkan agar cerita lebih
menarik untuk dibaca atau didengar, misalnya ungkapan
langsung seperti,

Kamu pasti senang mendengar yang satu ini, Saya


kaget sekali,

Dia melompat bagai kilat ... wuzz!

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 29

Dll.

1.7 Pola Umum-Khusus

Menurut Hoey (1983), terdapat dua bentuk hubungan antar


kalimat yang termasuk dalam pola retorika umum-khusus:

1) generalisasi-contoh (generalization-example);
dan
2) preview-rincian (preview-detail).

Diantara kedua bentuk hubungan kalimat dalam pola


retorika umum-khusus ini, bentuk hubungan antar kalimat
generalisasi-contoh lebih umum dipergunakan daripada
bentuk hubungan preview-rincian. Bentuk hubungan
generalisasi-contoh dapat digambarkan seperti pada bagan
di bawah ini. Seperti terlihat pada Bagan 2, sebuah
generalisasi diikuti oleh satu atau lebih contoh untuk
menjelaskan pernyataan dalam bagian generalisasi.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 30

Generalisasi

Contoh Contoh Contoh


.......
1 2 3

Bagan 2: Pola hubungan generalisasi-contoh


(Dari Hoey 1983, hal:136)

Hoey (1983) memperlihatkan teks berbahasa


Inggris berikut ini sebagai contoh teks yang berisikan
kalimat-kalimat yang punya hubungan generalisasi-contoh
(Terjemahan bebasnya diberikan dalam cetak tebal):

(S1) Many simple observations in physics may be


made by the naked eye, by touch or by ear. (S2) A
blacksmith judges the temperature of hot iron by the
color of glowing metal, knowing that there is a
relation between brightness of glow and degree of
hotness; (S3) a railway mechanic tests for flaws in
the metal of carriage wheels by the sound of his
hammer blows; (S4) the piano tuner can tell the
pitch a musical note by ear; (S5) the photographer
often judges lighting conditions by eye; and the

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 31

spinning wheel worker judges the thickness of


threads with great skill by touch (Hal:124).

Banyak observasi sederhana dalam bidang fisika


dilakukan dengan mata telanjang, sentuhan atau
pendengaran. Pandai besi mengukur panas besi
dengan melihat warna besi yang dipanaskan,
karena ada hubungan antara cerahnya warna
besi apabila dipanaskan dengan derajat panas
besi tersebut; seorang montir rel kereta api
mengetahui kerusakan pada roda gerbong
dengan cara memukulnya dengan palu; penyetel
piano dapat mengetahui nada hanya dengan
mendengarkannya dengan telinga; ahli foto
sering menguji cahaya dengan mata telanjang;
dan pemintal benang menguji ketebalan benang
dengan sentuhan.

Sebagaimana terlihat pada contoh teks di atas, kalimat


pertama (S1) merupakan pernyataan generalisasi
(generalisation) dari topik yang sedang dibicarakan
(observation in physics), sedangkan kalimat-kalimat
berikutnya (S2, S3, S4, dan S5) merupakan pernyataan-
pernyataan yang diklasifikasikan sebagai contoh-contoh
(examples) atau ilustrasi (illustration) untuk mendukung
pernyataan utama.
Pola hubungan kalimat kedua dalam retorika
umum-khusus, menurut Hoey (1983) adalah bentuk
hubungan antar kalimat preview-rincian (preview-detail).
Pola ini dapat digambarkan seperti pada bagan berikut ini:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 32

Preview

Rincian Rincian Rincian


........
1 2 3

Bagan 3: Pola hubungan kalimat preview-rincian


(Dari Hoey, 1983 hal:143)

Seperti terlihat pada Bagan di atas, sebuah preview diikuti


oleh satu atau lebih rincian yang bertujuan untuk
memperjelas pernyataan preview. Contoh teks yang
memiliki hubungan kalimat preview-rincian diberikan oleh
Hoey (1983:139) dalam bahasa Inggris sebagai berikut
(terjemahan bebasnya diberikan dalam cetak tebal):

(1) The physical reactions of gases and metals are


much less apparent than the chemical reactions, but
often are more important. (2) Gases work in metal in
two ways - by adsorption and by absorption. (3)
These terms are often confused because of their
similarity in spelling and punctuation. (4) Therefore,
clarification of their meaning is important if one is to
fully comprehend how gases affect metals.

Reaksi fisika dari gas dan logam jauh lebih tidak


nyata dibandingkan dengan reaksi kimianya,

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 33

namun reaksi fisika tersebut seringkali lebih


penting artinya. Gas beraksi dalam logam dengan
dua cara: ‘adsorption’ dan ‘absorption’. Istilah ini
sering membingungkan karena kemiripan ejaan
dan tanda-bacanya. Oleh sebab itu penjelasan
mengenai makna dari kedua istilah ini diperlukan
untuk memahami bagaimana gas berpengaruh
terhadap logam.

(5) Adsorption occurs at the surface of the metal in


contact with the gas, and may be looked upon as a
physical condensation of the gas in a layer one or
more molecules thick. (6) It can be readily seen that
the amount of gas retained in such a manner is
directly proportional to the total surface area of the
metal exposed to the gas. (7) This quantity of gas is
also a function of both pressure and temperature. (8)
As the pressure is decreased, the amount of adsorbed
gas correspondingly decreases, but as the
temperature is raised, the amount of gas adsorbed by
the metal surface increases.

„Adsorption’ terjadi pada permukaan logam bila


terjadi kontak dengan gas, dan tampak seperti
kondensasi gas dalam bentuk lempengan setebal
satu molekul atau lebih. Dapat juga tampak
bahwa jumlah gas yang tersisa dalam proses
reaksi tersebut adalah proposional dengan luas
keseluruhan dari permukaan logam yang terkena
gas. Kuantitas gas ini juga sebagai pengaruh dari
tekanan dan temperatur. Bila tekanan dikurangi,
maka jumlah gas yang tertinggal di permukaan
logam akan berkurang, namun apabila

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 34

temperatur dinaikkan, jumlah gas yang tertinggal


di permukaan logam akan meningkat.

(9) Absorption is the term applied to the phenomenon


by which gas is taken up by the inner structure of the
Metal exposed to the atmosphere. (10) Apparently,
molecules of the gas penetrate into the molecular
lattice of the metal and are retained there by
molecular forces. (11) The terms „occlusion‟ and
„occluded gases‟ mean absorbed gases as
differentiated from gases held on the surface by
adsorption. (12) The amount of given gas retained by
a given metal by absorption is function of the mass of
the metal involved, rather than the surface area
exposed. (13) Hence, solid metallic masses can
absorb gas in large quantities, whereas finely divided
metal powders, porous metals or metal shapes having
a large ratio or surface area to mass will absorb a
large amount of gas. (14) Absorption of gases also
changes with temperature and pressure; higher
temperature and lower pressure tend to reduce the
amount of gas absorbed by a given mass of metal.

„Absorption’ adalah istilah yang dipakai terhadap


fenomena dimana gas yang diserap oleh bagian
dalam logam terekspos terhadap atmosfir.
Ternyata, molekul gas menembus kedalam kristal
molekul logam dan tertinggal disana oleh
kekuatan molekuler. Istilah ‘occlusion’ dan
‘occluded gases’ pada gas digunakan untuk
menjelaskan perbedaan antara gas yang terserap
dengan gas yang tertinggal pada permukaan
logam melalui proses ‘adsorption’. Banyaknya gas

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 35

yang tertinggal pada permukaan logam melalui


proses ‘adsorption’ adalah fungsi masa dari logam
tersebut, bukan permukaan yang terekspos. Jadi,
masa logam padat dapat menyerap gas dalam
jumlah besar, sedangkan serbuk logam, kawat
atau lempengan logam yang punya rasio
permukaan lebar terhadap masa akan menyerap
gas dalam jumlah besar. ‘Absorption’ gas juga
berubah mengikuti perubahan temperatur dan
tekanan; temperatur yang lebih tinggi dengan
tekanan yang lebih rendah cenderung mengurangi
jumlah gas yang terserap oleh masa logam
tertentu.

Menurut Hoey, ada dua alasan kuat mengapa teks di atas


diklasifikasikan sebagai memiliki hubungan kalimat
preview-rincian. Pertama, seperti yang terlihat pada kalimat
(S4), penulis mengisyaratkan bahwa dia akan menjelaskan
maksud (definisi) dari dua istilah penting yang baru
diperkenalkan pada kalimat (S2): adsorption dan
absorption, yang diikuti oleh alasan terhadap penjelasan
tersebut dalam kalimat (S3). Menurut Hoey, definisi istilah
penting memang merupakan ciri khas pola teks yang punya
hubungan kalimat preview-rincian ini. Kedua, walaupun
kalimat keempat (S4) pada paragraf pertama tidak ada, teks
di atas masih dapat diklasifikasikan kedalam bentuk pola
preview-rincian. Teks di atas dapat diubah kedalam bentuk
dialog antara pembaca khayalan (imagined readers) dan
penulis (writer) dimana pembaca seakan-akan meminta
uraian atau penjelasan mengenai pernyataan yang diajukan
oleh penulis (“The physical reactions of gases and metals
are much less apparent than the chemical reactions, but
often are more important”). Hal inilah yang diuraikan oleh

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 36

penulis pada paragraf dua dan tiga. Dengan kata lain,


pembaca akan dengan mudah memahami bahwa paragraf
dua dan tiga tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan
pernyataan yang disajikan penulis pada kalimat (S1) dalam
paragraf pertama.
Perbedaan utama antara kedua pola teks di atas
(generalisasi-contoh dan preview-rincian), seperti terlihat
pada kedua contoh teks di atas, terletak pada bentuk bagian
pendukungnya, bukan pada pernyataan utama (generalisasi
atau preview). Walaupun memiliki tujuan yang sama, yaitu
menjelaskan maksud atau mendukung pernyataan utama
(generalisasi atau preview), bagian pendukung pada kedua
pola tersebut berbeda. Bagian pendukung pada pola
generalisasi-contoh adalah contoh-contoh atau ilustrasi dari
pernyataan generalisasi, sedangkan bagian pendukung pada
pola preview-rincian berupa keterangan lebih lanjut yang
dapat berupa definisi atau penjelasan dari istilah-istilah
penting atau penjelasan lebih rinci dari pernyataan yang
diajukan (preview).

1.8 Pola Masalah-Solusi

Pola kedua yang sering dijumpai pada teks adalah pola


masalah-solusi (problem-solution). Menurut Coulthard
(1994), pola teks ini biasanya terdiri dari empat bagian:
situasi, masalah, solusi, dan evaluasi. Coulthard memberi
sebuah ilustrasi untuk pola ini, yang diambil dari Winter
(1976) dalam teks berbahasa Inggris berikut ini
(Terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia diberikan
dalam cetak tebal):

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 37

Bagian Teks Fungsi


I was on a sentry duty.
Sitiasi
Saya sedang dalam tugas utama.

I saw an enemy approaching.


Masalah
Saya melihat musuh
mendekat.
I opened fire. Solusi
Saya menembakkan senjata.

The enemy retreated. Evaluasi


Musuh tersebut mundur.

Bagan 4 : Ilustrasi Pola Masalah-Solusi


(Dari Coulthard, 1994, Hal: 8)

Seperti terlihat pada contoh di atas, pertama-tama penulis


menggambarkan situasi (situation) dimana terdapat
masalah (problem) yang akan disampaikan. Kemudian,
penulis menjelaskan solusi (solution) yang diambil untuk
mengatasi masalah tersebut, yang kemudian diikuti oleh
evaluasi terhadap keampuhan atau kefektifan solusi yang
dipilih. Menurut Coulthard, pola retorika masalah-solusi
seperti pada contoh di atas sering dipergunakan pada karya
ilmiah, seperti artikel hasil penelitian. Bila salah satu
bagian teks di atas tidak ada, pembaca akan bertanya-tanya

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 38

atau teks tersebut dianggap belum lengkap (Kenworthy,


1991). Menurut Kenworthy, bila bagian evaluasi
(evaluation) tidak ada, pembaca akan bertanya apa hasil
dari solusi yang dipilih untuk mengatasi masalah yang ada
dan lain sebagainya.

1.9. Alasan Penggunaan Berbagai Model Analisis Teks

Penggunaan berbagai model analisis teks, menurut Meyer


(1992), antara lain disebabkan oleh tiga hal. Pertama,
ketertarikan terhadap analisis teks muncul dari berbagai
bidang ilmu seperti retorika, linguistik, pendidikan,
psikologi, dan kecerdasan artifisial. Bidang-bidang ilmu ini
memiliki tujuan yang berbeda dalam melakukan analisis
terhadap teks, dan karenanya model atau metode analisis
yang dipergunakanpun berbeda. Pakar ilmu linguistik,
misalnya, tertarik pada ciri-ciri linguistik dari sebuah teks,
sementara pakar retorika mungkin saja tertarik pada nilai-
nilai atau pengaruh persuasif dari teks. Dengan kata lain,
motivasi dan tujuan yang berbeda dalam analisis teks
berakibat pada bervariasinya model analisis teks yang
dipergunakan, yang sekaligus memperkaya pengetahuan
tentang ciri-ciri atau pola dari jenis teks tertentu.
Alasan ke dua dari bervariasinya model analisis teks
adalah karena berbedanya tujuan analisis teks yang
dilakukan. Jika tujuan dari analisis teks adalah untuk
memahami dan mengingat ide-ide utama dari sebuah teks,
maka model analisis akan berbeda dengan apabila tujuan
dari analisis teks adalah untuk memahami inferensi atau
makna-makna yang tersirat dalam sebuah teks. Alasan
terakhir adalah karena tingkat kompleksitas bentuk dari
sebuah teks, baik dari segi penulisan maupun dari segi

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 39

pemahamannya. Struktur teks akan tampak berbeda untuk


orang-orang atau kelompok orang yang berbeda latar
belakang pengetahuannya.

1.10. Ringkasan

Dalam bab ini telah disajikan beberapa hal seperti sejarah


perkembangan ilmu linguistik teks, pendekatan baru dalam
analisis teks dan berbagai model analisis teks. Juga
disajikan berbagai alasan dari bervariasinya model analisis
teks yang pernah dipergunakan. Yang pasti adalah bahwa
analisis teks, atau yang lazim disebut dengan linguistik teks
(text linguistics), merupakan suatu bidang ilmu yang masih
relatif baru, maka berbagai model baru sangat mungkin
akan bermunculan. Hal ini juga disebabkan oleh sangat
bervariasinya tujuan atau motivasi yang melatar-belakangi
upaya analisis teks tersebut.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 40

BAB 2

HUBUNGAN ANTARA
TEKS DAN KONTEKS

S ebuah teks atau wacana tertulis (written discourse)


adalah susunan kata melalui mana penulis menyatakan
pesan-pesan atau ide-idenya dan darimana pembaca
memahami pesan-pesan atau ide-ide tersebut (Coulthard,
1994). Menurut Coulthard, masalah sering timbul dalam
proses membaca atau memahami isi teks karena arti atau
makna dari kata-kata dalam teks tersebut tidak selalu tetap,
bahkan sering makna dari sebuah kata sebagian diambil
dari konteks dimana kata tersebut dipergunakan. Ini
merupakan ciri khas dari teks yang sangat menarik untuk
diamati, dimana konteks dapat mengubah makna sebuah
kata dari makna leksikal yang tercantum dalam kamus.
Lebih lanjut, Coulthard menyatakan bahwa kata dapat
mempunyai arti kontekstual yang mungkin tidak tercantum
dalam kamus.
Brown dan Yule (1983) mendefinisikan teks
(written text) secara lebih sederhana. Menurut mereka, teks
adalah catatan bahasa yang dipergunakan dalam tindakan
komunikatif. Brown dan Yule lebih lanjut menjelaskan
bahwa teks dapat disajikan melalui berbagai media, dalam
berbagai bentuk tulisan atau cetakan, yang ditulis atau

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 41

dicetak pada berbagai ukuran kertas, untuk berbagai tujuan,


dan dalam satu atau lebih kolom. Dengan kata lain,
menurut Brown dan Yule, teks merupakan sepotong bahasa
yang dipergunakan untuk suatu tujuan komunikatif dalam
bentuk tertulis.
Berbeda dengan definisi teks, definisi konteks
cenderung bervariasi antara satu pakar bahasa dengan pakar
bahasa lainnya. Kathpalia (1992) misalnya mendefinisikan
konteks melalui teks yang muncul sebelum dan sesudah
sepenggal teks tertentu, apa yang terjadi di luar teks, dan
semua lingkungan dimana teks tersebut berada. Dengan
kata lain, menurut Kathpalia, konteks merupakan bahan
linguistik dan non-linguistik yang berhubungan dengan
sebuah teks yang ikut mempengaruhi proses penulisan
maupun pemahaman teks tersebut. Sebagian dari konteks
mempengaruhi bentuk teks pada tingkat makro (misalnya
organisasi teks) dan sebagian lainnya pada tingkat mikro
(misalnya sifat leksikal dan pilihan kata).
Definisi lain dari konteks dikemukakan oleh
Meinholf dan Richardson (1994). Mereka menyatakan
bahwa apabila dipandang dari sudut proses pemahamannya,
bentuk teks sangat dipengaruhi oleh tempat dimana teks
tersebut berada. Misalnya, satu kalimat yang dipergunakan
dalam sebuah novel akan memiliki arti yang berbeda
apabila kalimat tersebut dipergunakan dalam sebuah surat
kabar. Bagi Meinhof dan Richardson, konteks dapat berupa
apa saja, mulai dari struktur sosial secara global sampai
pada situasi sosial yang langsung ikut mempengaruhi
makna dari sebuah teks.
Definisi konteks menurut proses penulisan dan
proses pemahamannya dikemukakan oleh Johns (1997).
Menurut Johns, konteks bukan hanya mengacu pada
lingkungan linguistik dari sebuah teks seperti koran, novel,

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 42

makalah, laporan atau buku, melainkan juga mengacu pada


lingkungan non-linguistik terkait yang mempengaruhi
proses penulisan dan proses pemahaman dari sebuah teks
seperti penulis, waktu, tempat, tujuan dan keadaan pembaca
potensial. Johns memberi contoh sebuah teks lisan beserta
konteksnya, apabila seseorang berbicara pada orang lain,
maka ucapannya dan hal-hal yang terjadi pada saat itu
dapat mempengaruhi proses berbicara dan proses
pendengarannya, dan karenanya semua itu disebut dengan
konteks. Namun sebagaimana yang dinyatakan oleh Johns,
banyak hal yang mungkin terjadi dan dengan berbagai
bentuk yang sebagian mungkin tidak berhubungan dengan
teks yang bersangkutan sehingga tidak berpengaruh pada
proses menulis dan proses membaca, dan karenanya hal-hal
tersebut tidak termasuk konteks. Jadi, konteks dari sebuah
teks bukan hanya teks itu sendiri atau unsur-unsur
linguistik yang berada di sekitar teks tersebut, melainkan
juga segala sesuatu yang berada di luar teks yang berbentuk
non-linguistik dan diperlukan dalam proses pemahaman
dan penciptaan sebuah teks tertentu.
Celce-Murcia dan Olshtain (2000) membuat
perbedaan antara contexts dan co-texts. Menurut mereka,
konteks adalah semua faktor atau elemen non-linguistik
atau non-tekstual yang mempengaruhi interaksi
komunikatif, sedangkan ko-teks adalah semua aspek atau
elemen kebahasaan yang mempengaruhi makna sebuah
teks. Dengan kata lain, menurut Celce-Murcia dan
Olshtain, setiap teks memiliki dua lingkungan yang
berpengaruh terhadap makna teks (influencial
environment), yaitu konteks dan ko-teks.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 43

2.1 Hubungan Antara Teks dan Konteks

Hubungan antara teks dan konteks sangat menentukan


proses penulisan dan pemahaman sebuah teks. Kress (1985)
misalnya menjelaskan hubungan antara teks dan konteks
dari sudut pandang semiotik. Dia mengatakan bahwa teks
muncul dari suatu situasi sosial khusus dan dibentuk
berdasarkan suatu tujuan komunikatif tertentu oleh seorang
penutur atau beberapa penutur ataupun penulis. Makna
sebuah teks terbentuk dari situasi di luar fisik teks tersebut,
sedangkan makna awalnya berasal dari pembicara ataupun
penulisnya. Situasi-situasi sosial ini ikut menentukan
bentuk teks yang dipadukan dengan kesepakatan-
kesepakatan tentang format teks yang sudah ada.
Menurut Kress dan Hodge (1979), interaksi antara
teks dan konteks sebaiknya dilihat sebagai hubungan antara
bahasa dan masyarakat. Oleh sebab itu, suatu deskripsi
linguistik untuk sebuah teks akan menjadi tak berarti
kecuali bila deskripsi tersebut melibatkan konteks sosial
yang lebih luas atau kejadian-kejadian sosial yang relevan
dengan teks tersebut, baik untuk proses pembuatan maupun
proses pemahamannya.

2.2 Konteks Situasi dan Konteks Budaya

Dua bentuk konteks non-linguistik yang sering


dipergunakan untuk menafsirkan atau memahami sebuah
teks adalah konteks situasi (context of situation) dan
konteks budaya (context of culture). Kedua isitilah ini
dipakai oleh pakar bahasa fungsional (functional linguist)
seperti Halliday, Malinowski, Hasan, Hymes, Firth dan
lain-lain.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 44

Adalah seorang antropolog Bronislaw Malinowski


(1949) yang pada awalnya memulai penggunaan konteks
situasi dan konteks budaya dalam proses penafsiran dan
pemahaman sebuah teks. Malinowski menceritakan sebuah
kejadian yang dia alami sendiri ketika dia berusaha
memahami dan menafsirkan bahasa (teks) yang
dipergunakan oleh para nelayan di pulau-pulau Pasifik
Selatan dan di Pulau Trobiand. Untuk mengumpulkan data,
Malinowski mengikuti para nelayan tersebut ke tengah laut
dan bukan hanya mencatat semua ujaran yang diucapkan
oleh para nelayan tersebut selama perjalanan melaut namun
juga mencatat apa saja yang dilakukan oleh para nelayan
tersebut. Namun Malinowski mengalami kesulitan dalam
memahami dan menafsirkan data yang telah diperolehnya
dari para nelayan tersebut walaupun dia menguasai bahasa
yang mereka pergunakan. Malinwoski menggambarkan
kerumitan bahasa yang dipergunakan oleh para nelayan
tersebut dengan mengatakan bahwa bahasa yang
dipergunakan para nelayan tersebut penuh dengan istilah-
istilah teknis, yang mengacu pada keadaan lingkungan dan
kebiasaan-kebiasaan yang hanya dapat dipahami oleh
kelompok tertentu saja. Dengan kata lain, teks yang
direkam Malinowski hanyalah bagian dari keseluruhan
aktivitas komunikasi nelayan di laut. Menurut Malinowski
(1935), fungsi utama bahasa bagi masyarakat primitif,
seperti para nelayan, bukanlah untuk mengekpresikan
pikiran atau pendapat namun sebagai bagian pragmatis dari
perilaku manusia dan sebagai pelengkap dari aktivitas fisik.
Oleh karena itu, menurut Malinowski, untuk memahami
sebuah teks seperti bahasa nelayan bukan hanya diperlukan
adanya pemahaman terhadap bahasa yang diucapkan dan
kejadian-kejadian yang mengikutinya (konteks situasi),

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 45

namun juga latar belakang budaya yang dianut oleh


kelompok pengguna bahasa tersebut (konteks budaya).
Firth (1957) mengembangkan teori konteks situasi
Malinowski tersebut agar dapat digunakan untuk
menganalisis sebuah teks secara sistematis dan sebagai
bagian teori linguistik. Menurut Firth, 4 ciri penting dari
konteks adalah:

1) peserta situasi, yaitu orang-orang yang terlibat


dalam kegiatan dimana teks dipergunakan;
2) rangkaian tindakan yang dilakukan dimana teks
dipergunakan;
3) ciri-ciri terkait lainnya seperti obyek-obyek atau
kejadian-kejadian yang ada di sekitar kejadian; dan
4) pengaruh yang diakibatkan teks terhadap perubahan
yang terjadi pada peserta dan lingkungan.

Kajian hubungan teks dan konteks semakin menarik


perhatian banyak pakar terutama dari pakar bahasa
fungsional (functional linguists), seperti Halliday dan
Hasan dan Hymes.
Hymes (1967:20-25) misalnya mengajukan lebih
banyak aspek untuk dimasukkan dalam konteks situasi.
Menurut Hymes konteks situasi meliputi:

 bentuk dan pesan teks


 latar teks
 peserta
 pengaruh komunikasi
 kunci
 alat-alat
 tipe teks, dan
 norma interaksi dan norma interpretasi.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 46

Menurut Halliday dan Hasan, konsep konteks situasi yang


diajukan Hymes sama saja dengan yang dikembangkan
Firth, karena keduanya dapat dipakai sebagai taxonomy
dalam analisis teks.
Halliday dan Hasan (1985) sendiri mengajukan tiga
bentuk konteks situasi yang mereka sebut dengan field,
tenor dan mode. Menurut mereka field adalah apa yang
terjadi sewaktu sebuah teks dihasilkan; tenor mengacu pada
siapa saja yang ambil bagian dalam aktivitas komunikatif
tersebut; dan mode adalah bagian bahasa atau fungsi bahasa
yang dipergunakan dalam aktivitas tersebut. Halliday dan
Hasan mengilustrasikan bagaimana ketiga bentuk konteks
situasi (field, tenor dan mode) dipergunakan dalam sebuah
aktivitas komunikatif. Misalnya, ketika seseorang akan ikut
ambil bagian dalam sebuah percakapan yang sedang
berlangsung dia harus memperkirakan tentang field (apa
yang sedang berlangsung), tenor (hubungan antara orang-
orang yang terlibat dalam percakapan tersebut) dan mode
(apa tujuan atau target yang akan dicapai). Hal ini perlu
dilakukan agar orang tersebut dapat mengikuti dengan baik
percakapan yang sedang berlangsung. Namun, menurut
Halliday dan Hasan, konteks situasi dari suatu jenis teks
tertentu dapat berbeda dengan jenis teks lainnya. Bahasa
berbeda karena fungsinya berbeda; bahasa berbeda antara
satu situasi dengan situasi lainnya.

2.3 Ringkasan

Dalam bab ini disajikan definisi teks sebagai wacana tulis


(written discourse) dan definisi konteks (context) dari
berbagai sumber, serta hubungan antara teks dan konteks.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 47

Juga disajikan berbagai bentuk konteks dan pengaruh


konteks terhadap makna sebuah teks.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 48

BAB 3

PENGHUBUNG ANTAR
KLAUSA SEBAGAI
PENANDA WACANA

C oulthard (1994:7) dengan kata-katanya sendiri


mengatakan, “Knowledge is not linear but text is” (Ilmu
pengetahuan tidak bersifat linier namun tidak demikian
halnya dengan teks). Menurut Coulthard, setiap penulis
dihadapkan pada suatu masalah bagaimana mengorganisir
dan menyajikan pesan-pesan atau ide-ide mereka yang
tidak linier tersebut ke dalam suatu bentuk tulisan sehingga
dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Untuk itu,
diperlukan suatu pola pengorganisasian teks tertentu yang
sesuai dengan tujuan komunikatif teks serta sesuai dengan
kebiasaan berbahasa dari para pembaca potensial sehingga
pembaca dapat menggunakan pengalaman atau
pengetahuan mereka terdahulu (schemata) dalam membaca
teks yang bersangkutan. Hal lain yang penting adalah
bagaimana menjamin agar setiap bagian teks memiliki
kaitan tertentu sehingga mudah dicerna oleh pembaca.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 49

3.1 Pembaca Khayalan dan Pembaca Ril

Diskusi mengenai komunikasi tertulis (written


communication) sering disajikan dalam bentuk komunikasi
antara penulis dan pembaca (khayalan atau ril) melalui
media teks atau wacana tertulis. Menurut model kajian ini,
sebuah teks menyampaikan secara jelas pendapat atau
pesan penulis. Setiap masalah yang dihadapi oleh pembaca
dalam memahami isi teks dianggap sebagai kesalahan atau
keterbatasan kemampuan atau pengetahuan dari pembaca.
Masalah ini sering dialami oleh pembaca teks yang bukan
penutur asli (native speaker) dari bahasa teks tersebut.
Namun, amat sulit membayangkan siapa yang akan
membaca tulisan yang sedang ditulis, karena umumnya kita
belum tahu dimana tulisan tersebut akan dimuat atau
diterbitkan. Oleh karena itu, penulis tidak dapat menulis
sambil membayangkan orang atau sekelompok orang
tertentu yang akan membaca tulisannya. Akibatnya, penulis
tidak dapat menebak sejauh mana calon pembaca
memahami topik bahasan yang ditulis dan apa saja yang
belum diketahui.
Satu-satunya strategi yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah ini adalah dengan membayangkan
seseorang atau sekelompok orang yang akan membaca
(imagined readers) tulisan yang sedang ditulis dan
menulisnya untuk pembaca khayalan tersebut. Hanya
dengan cara beginilah seorang penulis dapat menentukan
apa yang perlu ditulis atau disampaikan dan apa yang yang
dapat diasumsikan mengenai pembaca. Misalnya, bagian
mana dari tulisan yang perlu diuraikan secara rinci dan
bagian mana yang tidak perlu; istilah mana yang perlu
didefinisikan dan istilah mana yang tidak perlu, dan lain
sebagainya. Contoh lain misalnya seseorang menulis

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 50

tentang pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa


asing. Setelah tulisan selesai dan dibaca oleh para pembaca
yang sebenarnya (real readers), sebagian pembaca
mungkin sangat memahami topik yang ditulis (pendekatan
komunikatif) sedangkan sebagian lainnya kurang
memahami. Dengan kata lain, sebagian pembaca memiliki
latar belakang pengetahuan yang sama dengan pembaca
dalam pikiran penulis (imagined readers), sedangkan
sebagian lainnya mempunyai latar belakang pengetahuan
yang sangat berbeda. Jika pembaca ril tersebut mempunyai
latar belakang pengetahuan yang sama dengan yang
dimiliki oleh pembaca dalam pikiran penulis, dia tidak akan
mengalami kesulitan dalam membaca tulisan tersebut;
namun apabila dia mempunyai latar belakang pengetahuan
yang berbeda, dia akan mengalami kesulitan dalam
membaca tulisan tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembaca khayalanlah yang akan dapat membantu penulis
untuk menentukan batasan tingkat kesulitan dari sebuah
teks yang ditulis; tanpa ada gambaran yang jelas tentang
siapa saja yang akan membaca sebuah tulisan atau teks,
adalah mustahil untuk menulis sebuah teks yang persis
sesuai dengan pengetahuan pembaca. Jika gambaran
pembaca tersebut tidak dapat diciptakan atau diketahui, tak
mustahil sebuah tulisan akan dinilai terlalu sulit atau terlalu
mudah oleh pembaca. Oleh karena itu, seorang penulis
mutlak harus mengetahui siapa calon pembaca tulisan yang
akan ditulisnya, agar dia dapat menulis sebuah teks yang
sesuai dengan atau komunikatif untuk satu atau
sekelompok pembaca tertentu. Namun, seringkali kita
saksikan atau alami sendiri saat dimana sebuah tulisan
ditulis tanpa mengetahui gambaran pembaca potensial yang
akan membaca tulisan tersebut.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 51

Semenjak teori cohesion (keterpautan) dianjurkan


oleh Halliday dan Hasan (1976), penulis semakin
memperhatikan berbagai cara yang dapat membuat sebuah
teks menyatu, yaitu melalui model given dan new
information (informasi lama dan baru). Namun, yang
kurang disadari adalah bahwa setiap penulis dihadapkan
pada dua masalah utama dalam membuat keputusan:

1) apa yang dapat diasumsikan mengenai


pengetahuan pembaca; dan
2) apakah sesuatu yang telah dipahami tersebut masih
relevan dengan tulisan yang sedang ditulis.

Jadi, disini yang diperlukan bukanlah hanya informasi lama


dan baru secara tekstual, melainkan juga informasi lama
dan baru secara ide atau isi. Karena sebuah teks atau
wacana tulis ditulis untuk pembaca khusus, maka segera
setelah teks tersebut selesai ditulis atau dipublikasikan
penulis akan menentukan siapa pembaca tersebut. Tak
satupun penulis dapat menulis teks dengan baik tanpa
memiliki pembaca khayalan dalam pikiran mereka. Hampir
setiap kalimat yang ditulis memberi sinyal tentang siapa
pembaca yang dimaksud dengan pembaca khayalan
(imagined readers) terebut.
Namun, sebagian teks dapat menimbulkan
kebingungan pada pembaca karena penulisnya tidak
mampu mempertahankan gambaran mengenai pembaca
khayalan sewaktu menulis kalimat demi kalimat dalam
tulisannya tersebut. Sebagai akibatnya, didalam teks
tersebut terdapat kontroversi-kontroversi pernyataan yang
akan membuat pembaca dari teks tersebut mengalami
kesulitan dalam menangkap maksud utama dari tulisan
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya tanda-tanda

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 52

wacana (discourse signals) dan pola retorika (discourse


pattern) untuk menjaga agar setiap kalimat dalam sebuah
tulisan saling berkaitan antara satu dengan yang lain dan
agar sebuah tulisan ditulis dengan mengikuti suatu pola
yang utuh.

3.2. Penanda Hubungan Antar Klausa

Menurut Winter (1971 dikutip dalam Hoey, 1983:18),


hubungan antar klausa (clause relation) atau kalimat
adalah,

... the cognitive process whereby we interpret the


meaning of a sentence or group of senctences in the
light of its adjoining sentence or group of sentences.

Dengan kata lain, hubungan antar klausa adalah suatu


proses pikiran dalam rangka pemahaman atau penanfsiran
antar klausa atau sekelompok klausa atau kalimat yang
saling berkaitan.

3.3 Kategori Hubungan Antar Klausa

Hoey (1983) membagi bentuk hubungan antar klausa ke


dalam dua bagian:

1) hubungan berdasarkan susunan yang logis (logical


sequence relation); dan
2) hubungan berdasarkan kesesuaian (matching
relation).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 53

Hubungan susunan yang logis adalah hubungan antara


kejadian atau ide yang berurutan waktu (time sequence)
apakah itu aktual atau potensial seperti urutan waktu
kejadian dari suatu persitiwa, hubungan kondisi-
konsekuensi, hubungan instrumen-capaian, dan hubungan
sebab-akibat. Perhatikan beberapa contoh berikut ini:

Sesampainya di rumah pada malam itu, Pak Karto


membuka pintu depan. Kemudian, dia menghidupkan
lampu dan melepas jas hujan yang dipakainya.
Setelah itu, dia pergi ke dapur untuk mengambil
segelas air minum. Setelah itu barulah dia masuk ke
dalam kamar tidurnya dan menemukan istrinya
sedang sakit keras.

Kalau dalam beberapa hari ini tidak hujan (kondisi),


maka niscaya tanaman padi rakyat akan puso
(konsekuensi).

Petani di desa mengolah tanah pertanian mereka


(capaian) dengan menggunakan bantuan tenaga
hewan ternak seperti kuda, kerbau atau sapi (alat).

Setiap hari Sabtu, Ani datang pagi-pagi sekali ke


sekolah (kondisi), karena dia bertugas membersihkan
ruangan kelas pada hari itu (penyebab).

Hubungan kesesuaian (matching relation), menurut Hoey


(1983), merupakan susunan dari dua atau lebih klausa atau
kalimat berdasarkan tingkat kemiripan atau keidentikannya,
seperti hubungan pertentangan (contrast) dan hubungan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 54

persamaan atau kemiripan (compatibility). Perhatikan


contoh berikut ini:

Mahasiswa biasanya jarang ke perpustakaan di awal-


awal semester; tapi pada waktu-waktu ujian atau di
akhir semester mahasiswa sering berduyun-duyun ke
perpustakaan (contrast).

Di desa para petani pergi pagi pulang petang, sibuk


setiap hari bekerja di sawah atau di ladang.
Sementara itu, di kota para buruh, pegawai negeri
atau pedagang juga sibuk setiap hari dengan berbagai
macam urusan mereka (compatibility).

Dalam contoh di atas, kata tapi digunakan untuk


menunjukkan bentuk hubungan pertentangan antara dua
klausa dan kata hubung sementara itu dipakai untuk
menunjukkan bentuk hubungan kemiripan diantara dua
klausa.

3.4. Penggunaan Konjungsi Sebagai Penghubung


Antar Klausa

Alat penghubung antar klausa atau kalimat yang paling


nyata adalah kata penghubung atau konjugasi (conjunction)
dan subordinasi (subordination). Perhatikan contoh di
bawah ini:

Joni tidak ingin pulang ke kampung halamannya pada


musim libur tahun ini karena dia ingin mencari
pekerjaan agar dapat membayar uang kuliahnya
untuk semester depan.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 55

Kata hubung (subordinasi) karena dalam contoh di atas


menunjukkan bahwa kalimat di atas dapat dibagi ke dalam
dua kalimat (klausa) yang dihubungkan dengan kata
hubung karena.

3.5. Pemakaian Kata-kata Khusus Sebagai


Penghubung Antar Klausa

Hoey (1994) menyarankan penggunaan penanda leksikal


(lexical signal) untuk menunjukkan hubungan antar klausa
dalam sebuah teks. Hoey membagi penanda leksikal
tersebut ke dalam tiga bentuk yaitu:

a) kosa kata bentuk 1, yang terdiri dari kata hubung


sub-ordinasi;
b) kosa kata bentuk 2, yang terdiri dari kata
penghubung kalimat (sentence connectors) seperti
konjugasi; dan
c) kosa kata bentuk 3, yang terdiri dari kosa kata
tertentu (lexical items).

Menurut Hoey lebih lanjut, ketiga bentuk penanda wacana


(discourse signals) ini sering bertukar bentuk dalam sebuah
teks untuk menandai hubungan logis dari sebuah klausa
dengan klausa lainnya. Perhatikan contoh berikut dari
Winter (1977):

By appealing to scientists and technologists to support


his party, Mr. Wilson won many middle class votes in
the election.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 56

Mr. Wilson appealed to scientists and technologists to


support his party. He thus won many middle-class
votes in the election.

Mr. Wilson‟s appeals to scientists and technologists to


support his party were instrumental in winning many
middle-class votes in the election.

Dengan memohon dukungan dari para ilmuwan dan


ahli teknologi untuk partainya, Tuan Wilson
memenangkan dukungan dari banyak kaum menengah
dalam pemilihan tersebut.

Tuan Wilson memohon dukungan dari para ilmuwan


dan ahli teknologi untuk partainya. Karenanya dia
memenangkan dukungan dari banyak kaum menengah
dalam pemilihan tersebut.

Permohonan dukungan Tuan Wilson dari para ilmuwan


dan ahli teknologi untuk partainya merupakan alat
untuk memenangkan dukungan dari banyak kaum
menengah dalam pemilihan tersebut.

Seperti dalam contoh di atas, tiga kalimat majemuk yang


berbeda digunakan untuk menyampaikan maksud yang
sama.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 57

3.6. Pengulangan Kata Sebagai Penghubung Antar


Klausa

Bentuk lain dari penghubung antar klausa adalah


pengulangan kata (repetition). Perhatikan contoh dari Hoey
(1983:24) berikut ini:

In spite of the hopes and promises of her new allies,


Germany remains divided; in spite of strenuous
efforts at international virtue, she feels herself
morally reviled.

Meskipun adanya janji dan harapan dari sekutu-


sekutu baru-nya, Jerman tetap berbeda pendapat;
meskipun telah dilakukannya upaya mati-matian di
tingkat internasional, dia merasa diri-nya terhina
secara moral.

Pembaca akan mengalami kesulitan untuk mencari penanda


hubungan antar klausa seperti kata hubung (konjugasi) atau
pemakaian kata-kata tertentu dalam teks di atas. Satu-
satunya penanda yang ada hanyalah pengulangan kata
(repetition) dimana penulis mengulangi kata Jerman
beberapa kali dengan menggunakan pronomina (pronoun) -
nya. Dalam teks di atas, pengulangan juga terjadi pada
penggunaan pola kalimat dimana pola “In spite of (x),
Germany/she (y) digunakan dua kali.

3.7. Penggunaan Parafrase Sebagai Penghubung


Antar Klausa

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 58

Terdapat tempat-tempat dimana penulis membuat


penghubung yang jelas antar klausa atau kalimat terutama
dalam tulisan, namun demikian juga terdapat contoh-
contoh dimana hubungan itu tidak menjadi nyata.
Perhatikan contoh berikut dari Hoey (1983):

Peter went red. He knew that he had been silly.


Muka Peter memerah (karena malu). Dia
menyadari bahwa dia telah melakukan suatu
kebodohan.

Menurut Hoey, pada contoh di atas tidak terdapat kata


hubung yang menghubungkan antara kedua kalimat. Juga,
tidak ada tanda leksikal atau pengulangan kata yang
menghubungkan kedua kalimat tersebut. Walaupun ada
pengulangan kata Peter menjadi he, pengulangan ini
tidaklah bermakna. Namun demikian, pembaca memahami
bahwa ada suatu bentuk hubungan tertentu antara kedua
kalimat tersebut (hubungan sebab-akibat), dimana kalimat
pertama sebagai akibat dan kalimat kedua sebagai
penyebab.
Menurut Hoey lebih lanjut, untuk melihat hubungan
antara kedua kalimat dalam contoh di atas dapat dilakukan
melalui perubahan kalimat tersebut menjadi sebuah
parafrase:

Peter went red because he knew that he had been silly,

atau

Peter knew that he had been silly; therefore he went


red,

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 59

atau

Because Peter knew he had been silly, he went red.

Jadi, pembaca harus mencari hubungan antara kedua


kalimat dalam contoh di atas, sehingga kedua kalimat
tersebut menjadi satu kesatuan walaupun secara eksplisit
tidak terdapat kata hubung.

3.8. Penggunaan Kalimat Tanya Sebagai Penghubung


Antar Klausa

Salah satu ciri penggunaan bahasa adalah bahwa bahasa


lisan mendominasi bahasa tulisan. Dengan kata lain, dialog
atau polilog jauh lebih unggul dibandingkan dengan
monolog. Sehingga bentuk bahasa monologpun seperti
dalam karya tulis seringkali dianggap sebagai bentuk dialog
antara penulis dengan pembaca. Penulis perlu
menghadirkan pembaca potensial (potensial readers)
dihadapannya walaupun tidak secara nyata (imagined
readers). Untuk menghemat tempat dan waktu, bentuk
dialog biasanya tidak dipergunakan dalam karya tulis,
terutama karya tulis ilmiah atau akademik.
Salah satu akibatnya adalah berkurangnya
penggunaan tanda-tanda penghubung antar kalimat atau
klausa dalam karya tulis tersebut, sehingga hal ini dapat
menyulitkan proses pemahaman dari pembaca. Agar dapat
memahami teks secara utuh dan komprehensif, pembaca
harus menentukan bentuk hubungan antar kalimat atau
klausa dalam karya tulis yang bersangkutan. Apabila tanda
hubung eksplisit seperti konjugasi, pengulangan, kata-kata
khusus, dan lain-lain, tidak ada; pembaca dapat

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 60

menggunakan kalimat tanya yang relevan dengan teks yang


bersangkutan. Dengan menambahkan kalimat-kalimat
tanya pada teks yang tersebut, pembaca berupaya
mengubah karya tulis tersebut dari bentuk monolog
menjadi bentuk dialog. Keberhasilan pembaca mengubah
karya tulis dari bentuk monolog menjadi bentuk dialog
akan menentukan tingkat keberhasilan proses membaca
yang dilakukan.
Untuk lebih jelasnya marilah kita kembali contoh di
atas (Peter went red. He knew he had been silly.). Dengan
mengubah kalimat tersebut menjadi sebuah dialog, akan
diperoleh:

Tanya: What‟s wrong with Peter?


Jawab: Peter went red.
Tanya: Why?
Jawab: Because, he knew he had been silly

Dengan mengubah bentuk monolog menjadi bentuk dialog,


hubungan antar klausa atau antara kalimat dalam bahasa
tulis akan menjadi nyata, sehingga proses pemahaman atau
penafsirannyapun akan menjadi mudah.

3.9. Penetapan Batas Unit Analisis

Untuk mengetahui bentuk hubungan antar kalimat atau unit


analisis terkecil dalam teks (discourse signals), menurut
Hoey (1994), dapat digunakan sinyal-sinyal leksikal atau
bentuk kata tertentu. Hoey membagi sinyal-sinyal leksikal
tersebut ke dalam 3 bentuk yang disebut sebagai
Vocabulary 1, Vocabulary 2 dan Vocabulary 3. Yang
termasuk kedalam Vocabulary 1 adalah kata-kata atau frasa

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 61

yang menandai hubungan antara induk dan anak kalimat


(subordination), seperti „relative pronouns‟. Yang
termasuk ke dalam Vocabulary 2 adalah kata-kata
penghubung antar kalimat (konjugasi); sementara yang
dimaksud dengan Vocabulary 3 adalah kata-kata khusus
(lexical items) yang digunakan untuk menyatakan
hubungan antara dua kalimat atau lebih. Hoey memberi
contoh kata Vocabulary 3 dalam teks di bawah ini:

I was on a centry duty. I saw the enemy approching.


To prevent them from coming closer, I opened fire.
This way I beat off the enemy attack

Saya dalam tugas utama. Saya melihat musuh


mendekat. Untuk mencegah mereka semakin
mendekat, saya menembakkan senjata. Dengan
begini, saya memukul musuh mundur.

Pada contoh di atas, ada beberapa kata sinyal yang dapat


digunakan sebagai pedoman untuk melihat hubungan antara
kalimat-kalimat yang berdekatan. Misalnya, frase “to
prevent them from coming closer” menunjukkan hubungan
antara dua kalimat yang berdekatan, yaitu kalimat sebelum
(I saw the enemy approaching) dan sesudahnya (I opened
fire). Contoh berikutnya adalah frasa “this way” yang juga
memberi tanda hubungan antara kalimat-kalimat yang
berdekatan, yaitu kalimat sebelumnya (I opened fire) dan
kalimat sesudahnya (I beat off the enemy attack).
Disamping menandai hubungan antar kalimat,
tanda-tanda leksikal juga dapat digunakan untuk
menentukan tujuan komunikatif (communicative purpose)
dari sebuah kalimat atau klausa. Misalnya, frase to preven
them from coming closer pada contoh di atas menunjukkan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 62

tujuan komunikatif dari kalimat atau klausa I opened fire,


yaitu sebagai solusi terhadap masalah yang dikemukakan.
Selanjutnya, frase this way menunjukkan tujuan
komunikatif dari kalimat I beat off the enemy attack, yaitu
sebagai evaluasi terhadap solusi yang dilakukan.
Disamping ketiga jenis Vocabulary (1, 2, dan 3),
seperti yang disarankan oleh Hoey dan proses dialog di
atas, sinyal-sinyal wacana (discourse signals) atau tanda-
tanda wacana (discourse devises) lain, seperti pronomina
(pronouns), referensi kedepan dan kebelakang (cataphoric
dan anaphoric references), hiponim dan lain-lain, juga
sering dipergunakan. Sinyal lain adalah bentuk kalimat
(mood), seperti kalimat pernyataan (declarative) dan
kalimat menidakkan (negation), kalimat perintah
(imperative) atau kalimat bertanya (interrogative).

3.10. Ringkasan

Bab ini menyajikan berbagai bentuk penanda hubungan


antar klausa (clause relation signals) yang mungkin
dijumpai dalam sebuah teks (written discourse). Dari
berbagai bentuk penanda hubungan tersebut, beberapa
sering dipergunakan, sedangkan beberapa lainnya jarang.
Juga terdapat penanda hubungan antar klausa dominan
yang dipergunakan dalam jenis teks tertentu, sehingga
penanda hubungan itu menjadi ciri khas retorika (rhetorical
feature) dari teks tersebut.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 63

BAB 4

KOHESI DALAM
SEBUAH TEKS

P enggunaan berbagai kata, frasa atau kalimat dalam


sebuah teks dengan maksud untuk mengaitkan satu bagian
teks dengan bagian lainnya akan membuat sebuah teks
kohesif (cohesive) atau akan membentuk sebuah kesatuan
yang mengaitkan antara satu bagian teks dengan bagian lain
(Celce-murcia dan Olshtain, 2000). Kondisi sebuah teks
yang terkait antara satu bagian dengan bagian-bagian
lainnya inilah yang disebut dengan kohesi (cohesion).
Sebuah analogi dari kohesi dapat dikemukakan di sini
bahwa ibarat sebuah kota di mana jalan-jalan di dalam kota
tsersebut (baik jalan besar maupun jalan kecil, jalan
panjang maupun jalan pendek) menghubungkan antara satu
lokasi dengan lokasi-lokasi lainnya di dalam kota tersebut
sehaingga kota tersebut merupakan suatu kesatuan yang
tidak terpisahkan. Apabila ada sebuah atau lebih lokasi di
dalam kota tersebut yang terisolir atau tidak terhubung
dengan lokasi-lokasi lain maka lokasi tersebut tidaklah
dapat di katakan merupakan bagian dari kota tersebut atau
kota tersebut tidak merupakan kota yang menyatu atau
kohesif.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 64

Begitu juga halnya dengan sebuah teks; sebuah teks


baru dapat dikatakan kohesif apabila setiap bagian dari teks
(bagian kecil atau bagian besar, bagian pendek maupun
bagian panjang) terkait antara satu dengan yang lainnya,
kalau tidak maka teks tersebut tidaklah dapat dikatakan
kohesif atau tidak mempunyai kohesi yang baik. Oleh
sebab itu kualitas teks tersebut dari sudut pandang kualitas
wacana (discourse quality) tidaklah baik dan sekaligus akan
susah dipahami atau tidak komunikatif (communicative).

4.1. Jenis Pengikat Kohesi

Menurut Celce-Murcia dan Olshtain (2000) ada dua jenis


„pengikat‟ kohesi yang sering dipakai penulis, yaitu
pengikat grammatikal (grammatical ties) dan pengikat
leksikal (lexical ties). Pengikat gramatikal terdiri dari:
referen (refference), elip (ellipses), kata ganti (substitution)
dan konjugasi (conjunction) sementara pengikat leksikal
terdiri dari: pengulangan (repetition), sinonim (synonym)
antonim (antonym), dan hiponim (hyponym). Apabila
dsisajikan dalam tabel maka jenis kata pengikat tersebut
akan berbentuk sebagai berikut:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 65

Pengikat Kohesi
(Cohesive Ties)
Gramatikal Leksikal
• Referen • Repetisi
• Substitusi • AntonimS
• Konjugasi • inonim
• Hiponim
• Perbandingan
• Kolokasi

Bagan 3: Bentuk-bentuk Pengikat Kohesi


(Celce-Murcia dan Olshtain, 2000)

Brown dan Yule (1983) membagi pula pengikat


kohesi (cohesive ties) ke dalam dua kelompok yaitu:

1) eksoforik (exophoric) apabila pengikat kohesi di


dalam sebuah teks berhubungan dengan sesuatu
yang berada di luar teks, dan
2) endoforik (endophoric) apabila pengikat tersebut
berhubungan dengan kata atau frasa yang ada di
dalam teks.
Brown dan Yule lebih lanjut membagi kata pengikat kohesi
endoforik ke dalam dua kelompok yaitu:

a) anaforiki (anaphoric) yaitu pengikat kohesi yang


berhubungan dengan bagian teks sebelumnya, dan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 66

b) kataforik (cataphoric) apa bila pengikat kohesi


tersebut berhubungan dengan bagian teks
sesudahnya.

Apabila disajikan dalam sebuah diagram maka jenis-jenis


kata pengikat kohesi tersebut akan berbentuk sebagai
berikut:

Pengikat Kohesi

Eksoforik Endoforik

Anaforik Kataforik

Bagan4: Jenis Pengikat Kohesif

(Brown dan Yule, 1983)

Seperti terlihat dalam diagram di atas, pengikat kohesi


dapat berhubungan dengan benda atau informasi yang
berada di luar teks (mengacu kepada pengetahuan umum
pembaca) atau yang disebut dengan eksoforik. Bentuk
lainnya adalah endoforik yaitu sesuatu yang terdapat di
dalam teks baik yang berhubungan dengan sesuatu sebelum
(anaforik) atau sesudah (kataforik) pengikat kohesi
tersebut. Tugas pembaca dalam hal ini adalah mencari
hubungan antara pengikat kohesi yang terdapat di dalam

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 67

sebuah teks dengan informasi yang berhubungan


dengannya agar dapat memahami sebuah teks secara
komprehensif (comprehensive) dan apabila seorang
pembaca gagal menemukan informasi dengan apa pengikat
kohesi tersebut berhubungan (baik yang berada di dalam
teks maupun yang berada di luar teks) maka si pembaca
tersebut akan gagal memahami teks tersebut secara
komprehensif.

Celce-Murcia dan Olshtain (2000) memberikan


contoh potongan teks berikut ini untuk memperlihatkan
contoh-contoh pengikat kohesi yang berbentuk
grammatikal sebagi berikut:

I am a working mother with two pre-teens. After


dropping them off at school, I have to get right to
work. But my children are disorganized and always
late. A few times, I have had to turn around and go
back home because one or the other forgot
something. (Hal: 7)

Menurut Celce-Murcia dan Olshtain, kata pronomina them


pada kalimat ke dua dalam teks di atas merupakan refren
anaforik terhadap kata two pre-teens. Konjugasi but pada
awal kalimat ke dua menghubungkan antara kalimat ke dua
dan ke tiga yang menunjukkan harapan yang berlawanan.
Frasa always late merupakan bentuk elip dari kalimat they
are always late dan frasa one or the other adalah contoh
elip dari frasa one child or the other child. Pengikat dalam
leksikal juga dapat ditemukan dalam teks di atas yaitu
pengulangan atau repetisi dari kata working dan work pada
kailmat 1 dan 2, children dan pre-teens dan juga
berhubungan dengan kata mother. Kata school dan home

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 68

juga mempunyai hubungan semantik sebagaimana juga


kata disorganixed dan forgot something. Menurut Celce-
Murcia dan Olshtain lebih lanjut, kohesi dalam teks
tersebut merupakan akibat dari pemakaian kata atau frasa
ikatan kohesi yang membuat setiap bagian dari teks
tersebut terkait atau berhubungan sehingga membentuk
suatu kesatuan.

4.2. Contoh Analisis Kohesi Dari Sebuah Teks

Contoh analisis kohesi sebuah teks berikut ini diambil dari


Delleman (2005) yang mengambil sebuah teks dalam
bahasa Inggris tentang laporan pertandingan sepakbola di
Inggris yang diambil dari alamat website
http://www.football365.com/Match_Stats/Match_Reports/s
tory_70521.shtml. Teks yang dianalisis disajikan secara
utuh berikut ini:

Michael Owen celebrated his 50th international cap with


two goals to take England a step closer to the Euro 2004
finals (1).

The 23-year-old Liverpool striker now has 22 England


goals after his double saved England's blushes when
Slovakia were threatening an upset in Middlesbrough's
Riverside Stadium (2).

Vladimir Janocko's free-kick had given the visitors a half-


time lead but a penalty and a header by Owen saw
England do enough to keep above Turkey in the Group
Seven table (3).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 69

Owen could easily have scored five on the night (4). It


took just 49 seconds for his first chance when Paul
Scholes slid a ball out to Steven Gerrard and his first-time
pass found Owen sprinting between two defenders (5).

The striker looked odds-on to score and tried to lift the


ball over Miroslav Konig only for the Slovakian keeper to
get the merest of touches to deflect it past the post (6).

David James made a smart parry after Robert Vittek had


left fly with an angled drive and Matthew Upson followed
up with an important block to clear (7).

Although Slovakia continued to look suspect defensively -


Rastilav Michalik almost headed Scholes' cross into his
own net - the same could be said of England as Radoslav
Zabavnik picked out Igor Demo's run with a beautiful
lateral pass but he sliced into the crowd (8).

The warning was not heeded and after 31 minutes


Janocko swung over a free-kick from the left touchline,
the ball curled over every player and bounced past the
embarrassed James (9).

It was almost 2-0 when Michal Hanek forced James to


parry and then England and Slovakia traded miss for miss
for the rest of the half (10).

Catatan: angka dalam kurung menunjukkan nomor


kalimat

Teks yang dianalisis merupakan laporan


pertandingan sepak bola antara Inggris dan Slowakia dalam

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 70

kejuaraan Eropa yang dimainkan pada tanggal 11 Juni


tahun 2005. Hasil analisis kohesi yang dibuat Delleman
(2005) terhadap teks di atas disajikan berikut ini.

4.3. Pengikat Kohesi Referen

Contoh paling dominan dari pengikat kohesi referen dalam


teks di atas adalah penggunaan beberapa kata atau frasa
yang berbeda untuk mengacu pada satu orang Michael
Owen. Kata atau frasa tersebut disajikan dalam Bagan
berikut ini:

Bagan 5: Refren Terhadap „Michael Owen‟

Seperti terlihat dalam Bagan di atas ada enam referen


(pengikat kohesi) yang digunakan untuk mengacu pada satu
kata Michael Owen dalam kalimat yang berbeda (kalimat

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 71

1,2,3,4,5 dan 6). Dari keenam kata referen yang digunakan


untuk mengacu pada Michael Owen terdapat tiga referen
yang menggunakan nama ke dua saja dan ada pula dalam
bentuk lain seperti pronomina (his) dan posisinya dalam
tim sepakbola (the striker).
Dalam kalimat (6), terdapat sebuah referen
eksoforik yang penting bagi pemahaman teks tersebut
karena dua pemain lain selain Owen yaitu: Paul Scholes
dan Steven Gerrard, yang sama-sama berstatus pemain
tengah (mid-fielders) juga disebut dalam kalimat
sebelumnya. Jadi untuk memahami teks ini pembaca
memerlukan pengetahuan tambahan yang derdapat di luar
teks.
Referen lain yang terdapat dalam teks adalah
walaupun tidak begitu jelas „a ball‟ dan „the ball‟ dalam
kalimat (5) dan (6). Pada satu sisi, pembaca dapat melihat
referen demonstratif dalam kalimat (6) jelas mengacu pada
bola di lapangan pada waktu pertandingan tersebut, dan
secara tidak langsung berhubungan dengan „a ball‟ dalam
kalimat (5). Namun dari pengetahuan eksoforik pembaca
tahu bahwa dalam sebuah pertandingan sepak bola hanya
satu bola yang dipakai untuk bermain sehingga referen
kepada „a ball‟ mungkin terasa aneh kecuali dia menjadi
sinonim dengan kata pass. Mungkin juga penggunaan kata
„a ball‟ memberikan koherensi bahwa ke dua referen
terhadap kata ball ini dihubungkan dengan pemahaman
bahwa ke duanya berada dalam sebuah laporan
pertandingan penyerangan yang melibatkan tiga pemain
sepak bola Inggris.
Sebuah contoh referen komparatif terdapat pada
kalimat terakhir yang menjelaskan kesamaan antara ke dua
tim yang bertanding (tim Inggris dan tim Slovakia) sama-
sama gagal mencetak gol ketika penulis mengatakan „…and

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 72

then England and Slovakia traded miss for miss for the rest
of the half.‟

4.3.1. Substitusi

Satu contoh substitusi sebagai sebuah pengikat kohesi


dapat ditemukan dalam kalimat (8). Halliday dan Hasan
(1976) mengatakan bahwa kata „the same‟ digunakan untuk
menunjukkan substitusi dalam kalimat „(I)n the
environment where a „fact‟ is involved‟ (p:107). Dalam
kalimat (8) dapat dijumlai penulis menggunakan
pernyataan ini sebagai sebuah opini dalam kalimat berikut
ini:

„Although Slovakia continued to look suspect


defensively…the same could be said of England…‟

Dalam contoh ini kata-kata „the same‟ menggantikan kata-


kata „look suspect defensively‟.

4.3.2. Elipsis

Sebagian besar bentuk pengikat kohesi elip dalam teks di


atas merupakan penghilangan kata benda seperti ball dan
goal (seperti dalam kalimat score a goal). Penggunaan elip
seperti ini akan membuat teks semakin sulit dibaca tapi
akan terasa semakin efisien. Karena kata sinonim untuk
ball dan goal agak jarang maka penulis memutuskan untuk
menghilangkannya sama sekali agar tidak terdapat
pengulangan kata yang sama seperti dalam contoh berikut
ini:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 73

a) „...have scored five [goals] on the night.‟ (4)

b) „The striker looked odds-on to score [a goal]...‟ (5)

c) „…to get the merest of touches [to the ball] to defect


it...‟ (6)

d) „…with an important block to clear [the ball].‟ (7)

e) „…Vittek [a Slovak player] had let [the ball] fly with


an angled drive...‟ (7)

f) „… but he sliced [the ball] into the crowd.‟ (8)

g) „… the ball curled over every player and [it] bounced


past the …‟(9)

h) „… forced James [the goalkeeper] to parry [the ball]


and then England...‟ (10)

Sebagian besar dari kasus-kasus ini adalah elip


(penghilangan) kata benda dengan pola-pola yang sama.
Namun, dalam contoh (g), sebuah pronomina dengan
sebuah referen anaforik pada kata „the ball‟ sebelumnya
dihilangkan (elip). Penghilangan ini dikarenakan
penggunaan kata konjugasi „and‟ yang memungkinkan
pemasangan dua kata keja tampa membutuhkan subjek
untuk kata kerja ke duanya.

Contoh lain elip pronomina terdapat dalam kalimat


(6) dan (9) sebagai dampak pemakaian konjugasi „and‟
seperti dalam bagian teks berikut ini:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 74

„The striker looked odds-on to score and [he] tried


to lift the ball over Miroslav Konig….‟

Ada juga contoh penghilangan atau elip sebuah kata kerja


dalam kalimat (7) berikut ini:

„David James made a smart parry after


RobertVitteck had let fly with an angled drive and
Matthew Upson followed up [the angled drive]
with an important block‟

4.4. Pengikat Kohesi Leksikal

4.4.1. Sinonim

Kohesi dengan menggunakan kata yang mirip atau hampir


sama dapat dijumlai di beberapa bagian teks ini. Kalimat
(1) dan (2), misalnya, menunjukkan sebuah bentuk sinonim
penting dalam teks ini. Kata „two goals‟ dalam kalimat (1)
ditulis kembali dalam kalimat (2) dengan menggunakan
kata „double‟. Penting bagi pembaca untuk
menghubungkan antara ke dua kata tersebut karena tanpa
memahaminya pembaca akan mengalami salah paham atau
salah interpretasi. Bentuk sinonim lainnya dalam teks
tersebut disajikan di bawah ini:

1) kata „found‟ (5) mempunyai sinonim dengan kata


„picked out‟ (8)
2) kata „slide a ball‟ (5) mempunyai sinonim dengan
kata „pass‟ (5)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 75

3) kata „parry‟ (7) mempunyai sinonim dengan kata


„block‟ (7)

Menarik untuk diperhatikan bahwa di dalam contoh


terakhir di mana si penulis menggunakan sinonim dari
sebuah frasa yaitu: „a smart parry‟ dan „an important
block‟. Hal ini sengaja dilakukan untuk memberikan
dampak atau kesan simetris terhadap teks.

Sebagaimana disinggung di atas bahwa


pengetahuan eksoforik pembaca tentang sepak bola
diperlukan untuk menemukan sinonim leksikal antara
„Michael Owen‟ dalam kalimat (1) dan „(T)he striker‟
dalam kelimat (2). Contoh yang sama ditemukan antara
„Slovakia‟ dalam kalimat (1) dan „the visitors‟ dalam
kalimat (3). Dalam contoh ini, pengetahuan eksoforik
pembaca tentang lokasi geografis Slovakia sebagai sebuah
negara Eropah Edan Middlesbrough (2), tempat di mana
pertandingan diadakan yang berada di Inggris, sehingga
menunjukkan bahwa tim Inggris menjadi tim tuan rumah
dan Slovakia sebagai tim tamu „the visitors‟.

Bentuk hubungan kohesi lainnya dalam teks ini


adalah antara dua kata „blushes‟ dalam kalimat (2) dan kata
„embarrassed‟ dalam kalimat (9) namun sejauh mana
pengaruh kohesifnya masih dapat diperdebatkan. Halliday
dan Hasan (1976) mengatakan bahwa „relative proximity‟
atau jarak tekstual antara dua kata yang berhubungan
berpengaruh terhadap kohesi teks. Karena jarak tempat kata
„blushes‟ dan „embarrassed‟ sejauh tujuh kalimat, maka
kita melihat pengaruh kohesifnya agak berkurang. Contoh
serupa lainnya terjadi antara kata „threatening‟ dalam
kalimat (2) dan kata „warning‟ dalam kalimat (9).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 76

4.4.2 Hiponim

Dalam artikel seperti berita di koran atau majalah


disamping menjaga koherensi teks penulis sering
menangkap dan menjaga perhatian pembaca dengan
menggunakan sinonim dan hiponim. Dalam teks ini juga
demikian di mana penulis menggunakan berbagai kata
sinonim dan hiponim misalnya dari kata „kick, „run‟ dan
„save‟. Di bawah ini disajikan bentuk hiponim dari kata
induk (superordinate) kick sebagai kata benda (noun) :

Bagan 6: Referen Terhadap Kata „Kick‟

Seperti terlihat dalam bagan di atas, hiponim untuk kata


kick muncul dalam hampir semua kalimat dalam teks
tersebut kecuali dalam tiga kalimat pertama dengan
alternatif kata yang berbeda. Ini memperlihatkan dampak
kohesif yang kuat karena ketepatan kata yang dipakai
dengan kata induk „kick‟.

Dampak kohesif kuat lainnya dapat terlihat dalam


teks tersebut seperti dalam diagram di bawah ini dengan
kata induk (superordinate) kick sebagai kata kerja (verb):

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 77

Bagan 7: Referen Terhadap Kata „Kick‟

Dapat juga ditemukan berbagai kata yang digunakan dalam


teks tersebut yang berhubungan dengan kata „pass‟ seperti:
„first-time pass‟ (5),„cross‟ (8) dan „lateral pass‟ (8). Juga,
ada dua kata yang berhubungan dengan kata „save‟ yaitu:
„block‟ (7) dan „parry‟ (7&10) dan ada tiga kata
berhubungan dengan kata „players‟ seperti: „striker‟ (2&6),
„defender‟ (5) dan „keeper‟.

4.4.3. Antonim dan Repetisi

Satu pengikat kohesi antonim atau lawan kata yang


menimbulkan dampak kohesi yang cukup kuat dapat
dijumpai dalam penggunaan rangkaian kata-kata „…get the
merest of touches…‟ dalam kalimat (6) and „… let fly…‟
dalam kalimat (7) karena kedua phrasa ini berlawanan
secara semantik.

Juga, ada sepasang contoh repetisi dalam teks


tersebut dengan kata „goals‟ dalam kalimat (1) and (2) and
repetisi kata „miss‟ dalam kalimat (10).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 78

4.4.4. Kolokasi

Pembaca akan dapat menandai serangkaian kolokasi


(pasangan kata yang selalu muncul bersama) yang muncul
secara berulangkali dalam teks di atas. Kolokasi tersebut
adalah sebagai berikut:

1) „…his double saved England‟s blushes…‟ (2)


2) „…Slovakia were threatening an upset…‟
3) „…get the merest of touches‟ (6)
4) „The warning was not heeded…‟ (9)
5) „…England and Slovakia traded miss for
miss…‟ (10)

Banyak lagi pasangan kata atau kolokasi yang dapat


ditemukan dalam teks di atas saeperti „look suspect
defensively‟ dalam kalimat (8) yang sering dipakai dalam
teks sejenis ini.

4.5. Ringkasan

Analisis teks seperti yang telah dilakukan berdasarkan


pengalaman akan sangat bermanfaat bagi pengajaran
bahasa seperti pengajaran bahasa Inggris terhadap penutur
bahasa selain bahasa Inggris (non-native speakers). Agar
teks bacaan dalam bahasa Inggris menjadi kohesif dan
koheren bagi siswa atau mahasiswa, maka guru bahasa
Inggris harus mengajarkan semua pengetahuan eksoforik
(seperti pengetahuan tentang geografis yang berhubungan
dengan isi teks) agar siswa atau mahasiswa berhasil dalam

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 79

mengaitkan kata-kata dalam teks dengan referen


eksoforiknya. Dapat disimpulkan di sini bahwa pembaca
yang sukses adalah pembaca yang mampu dengan tepat
mengaitkan setiap bagian dari teks dengan bagian lain di
dalam teks tersebut (referen endoforik) atau dengan referen
yang berada di luar teks (referen eksoforik).
Juga, karena tulisan seperti ini sangat kaya dengan
kata-kata, frasa atau kalimat yang berhubungan dengan
sepak bola, membaca bacaan seperti ini akan memperkaya
perbendaharaan kata siswa atau mahasiswa tentang
olahraga terutama sepakbola sehingga akan membantu
mereka dalam membaca teks lain yang berhubungan
dengan sepakbola.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 80

BAB 5
MODEL DAN CONTOH
ANALISIS TEKS UNTUK
BERBAGAI BENTUK ATAU
TIPE WACANA

S wales (1981, 1984 dan 1990) mengajukan sebuah


model analisis „genre‟ (genre analysis) untuk menganalisis
pola retorika dari wacana tulis atau teks untuk tujuan-tujuan
edukatif. Model analisis „genre‟ yang diajukan Swales
tidak hanya dari sudut pandang linguistik namun juga
melibatkan aspek sosiokultural dan sosiolinguistik dari
sudut pandang penulisan dan pemahaman wacana. Analisis
„genre‟ seperti ini, menurut Cheong (1999), bertujuan
untuk menjawab suatu pertanyaan inti, yaitu “mengapa
suatu „genre‟ tertentu ditulis dan dipergunakan menurut
cara atau pola tertentu oleh anggota komunitas wacana
tersebut”. Dengan kata lain, tujuan analisis „genre‟ menurut
model Swales, bertujuan untuk melihat pola wacana yang
dominan dan alasan-alasan penulis atau anggota komunitas
wacana tertentu dalam memilih pola atau ciri-ciri wacana
tersebut.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 81

5.1. Model Analisis Khotbah1

Analisis pola retorika khotbah (sermon) yang disampaikan


di gereja-gereja dalam bahasa Inggris sudah sering
dilakukan. Moon (1985 dalam Cheong 1999) menganalisis
pola retorika sermon dan menemukan tiga bagian (sections)
yang terdapat pada teks tersebut: pendahuluan
(introduction), batang tubuh (body), dan kesimpulan
(conclusion). Menurut Moon, bagian pendahuluan dari
sermon memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk
memastikan atau memperoleh perhatian pendengar dan
menyampaikan topik pembicaraan dalam sermon tersebut.
Bagian batang tubuh merupakan bagian utama dari sermon
dan digunakan untuk menyampaikan proposisi yang
didukung oleh kutipan, keterangan tambahan, ilustrasi,
contoh dan aplikasi. Bagian terakhir atau bagian
kesimpulan memiliki dua tujuan utama, yaitu untuk
menyampaikan ringkasan sermon atau menekankan
kembali pentingnya poin-poin yang telah disampaikan pada
bagian batang tubuh dari sermon dan untuk mengajak atau
memohon pendengar agar merespon atau merealisasikan
secara individu semua poin yang telah disampaikan untuk
mengabdi pada Tuhan.
Kajian yang serupa pernah dilakukan oleh Braga
(1981 dalam Cheong 1999). Braga menyatakan bahwa
sermon memiliki lima bagian (sections) penting yaitu,
keterangan (explanation), argumentasi (argumentation),
kutipan (quotation), ilustrasi (illustration), dan aplikasi
(application). Menurut Braga, pola retorika dari sermon
yang disebut dengan proses retorika (rhetorical process)

1
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Jurnal „Linguistik Indonesia‟
tahun 20, No. 2 halaman: 197-216, Tahun 2002.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 82

atau elemen fungsional (functional elements) digunakan


untuk menandai kerangka (outline) dari sermon.
Penelitian lintas budaya tentang teks sermon
dilakukan oleh Cheong (1999), ketika ia menganalisis 15
buah sermon (khotbah di gereja) dalam bahasa Inggris yang
disampaikan oleh tiga pastor yang berasal dari tiga negara,
yaitu Korea, Amerika dan Filipina. Cheung menyatakan
bahwa taksonomi sermon terdiri dari tiga bagian (sections)
yang setiap bagiannya terdiri dari 5 atau 6 langkah (moves).
Pola retorika sermon menurut Cheung secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 2.
Cheong (1999) lebih lanjut menjelaskan bahwa
bagian pengantar (introduction) berisi pernyataan atau
ucapan dengan tujuan untuk memastikan perhatian
pendengar. Bagian ini berisi langkah-langkah sebagai
berikut: 1) ucapan pembuka (opening marker) yang
biasanya berisi pembicaraan tentang cuaca atau tentang
judul khotbah, 2) „gambit‟ yang bertujuan untuk menarik
perhatian pendengar, 3) ucapan yang berhubungan dengan
kitab suci dengan tujuan untuk menghubungkan topik
khotbah dengan ayat-ayat dalam kitab suci, dan 4)
proposisi dengan tujuan untuk menunjukkan pada
pendengar bagaimana kutipan ayat dalam kitab suci yang
telah disampaikan bermanfaat bagi pendengar, 5) transisi
dengan tujuan untuk memperkenalkan bagian batang tubuh
sermon pada pendengar, dan 6) doa dengan tujuan sebagai
penutup bagian pendahuluan sermon. Diantara enam
langkah yang tercakup dalam bagian pendahuluan, hanya
satu langkah yang diwajibkan (compulsory), yaitu langkah
ketiga (ucapan yang berhubungan dengan kitab suci)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 83

Pola Retorika Sermon Fungsi Retorika


(Rhetorical Patterns) (Rhetorical Function)
Pengantar 1. Ucapan pembukaan 1. Sebab-akibat
2. „Gambit‟ 2. Perbandingan dan
3. Hubungan dengan Pertentangan
kitab suci 3. Definisi
4. Proposisi 4. Deskripsi
5. Transisi 5. Penomoran
6. Doa 6. Pemberian contoh
Batang 7. Keterangan 7. Sebab-akibat
Tubuh 8. Argumentasi 8. Perbandingan-pertentangan
9. Kutipan 9. Definisi
10. Ilustrasi 10. Penomoran
11. Aplikasi 11. Pemberian contoh
Kesimpulan 12. Kesimpulan 12. Sebab-akibat
13. Permohonan 13. Perbandingan dan
14. Undangan pertentangan
15. Doa 14. Definisi
16. Tanda penutup 15. Deskripsi
16. Penomoran
17. Pemberian contoh

Tabel 2 : Pola Retorika Sermon (Dari Cheong 1999:50)

Bagian inti dari sermon adalah batang tubuh (body).


Menurut Cheong (1999), bagian batang tubuh ini
merupakan bagian khas dari sermon, yang membuat
sermon menjadi suatu „genre‟ khusus yang berbeda dengan
„genre‟ yang lain, seperti kuliah (lecture), pidato (talk atau
speech) atau pembicaraan khalayak umum (public
speaking). Bagian ini berisi langkah-langkah: 1)
keterangan, dengan tujuan untuk menjelaskan kutipan ayat
dari kitab suci yang telah disampaikan pada bagian
pendahuluan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, 2)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 84

argumentasi, yang bertujuan untuk membujuk, mengajak


dan meyakinkan pendengar mengenai kebenaran „claim‟
atau pesan yang telah disampaikan oleh pastor pada bagian
pendahuluan, 3) kutipan, yang biasa diambil dari ucapan
orang-orang terkenal dengan tujuan untuk memberikan
variasi atau bumbu untuk memberi kekuatan (force) pada
pesan (claim) yang telah disampaikan, 4) ilustrasi, yang
bertujuan untuk memberi contoh-contoh kongkrit atau
khayalan yang menarik dan mudah dipahami serta relevan
dengan topik khotbah yang bertujuan untuk mempermudah
pemahaman pesan khotbah yang telah disampaikan, dan 5)
aplikasi, yang bertujuan untuk menjelaskan kepada setiap
pendengar bagaimana aplikasi dari pesan (claim) yang telah
disampaikan.
Bagian terakhir dari sermon, menurut Cheong
(1999), adalah bagian kesimpulan (conclusion) yang
merupakan bagian puncak dari rangkaian kegiatan sermon.
Pada bagian ini, pastor tidak lagi memperkenalkan
informasi atau ide baru, namun hanya mengulang atau
menekankan kembali (reaffirm) dengan ringkas pesan-
pesan yang telah disampaikan. Bagian ini terdiri dari
beberapa langkah seperti: 1) ringkasan, yang bertujuan
untuk mengulang pesan-pesan inti yang telah disampaikan
dan menekankan kembali arti penting dari pesan-pesan
tersebut, 2) permohonan, yang bertujuan untuk memohon
kepada pendengar agar merespon atau merealisasikan
pesan-pesan sermon yang telah disampaikan, 3) undangan,
yang bertujuan untuk mengajak pendengar agar berjanji
pada diri mereka sendiri untuk merealisasikan pesan atau
nasehat dalam sermon, 4) doa, yang bertujuan untuk
meyakinkan pendengar bahwa apa yang telah disampaikan
dalam sermon adalah benar-benar bersumber dari kitab

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 85

suci, dan 5) tanda penutup, yang bertujuan untuk menandai


akhir dari rangkaian kegiatan sermon.
Cheong (1999) juga menjelaskan bahwa tidak
semua sermon memiliki langkah-langkah yang lengkap
seperti yang dipaparkan dalam taksonomi sermon di atas.
Juga, sebagian langkah (move) merupakan langkah inti dan
wajib (compulsory), sementara langkah-langkah yang lain
merupakan langkah tambahan (peripheral). Selain
membagi sermon kedalam beberapa langkah, Cheong juga
mengemukakan beberapa penanda fungsi retorika
(rhetorical function markers) yang lazim dipergunakan
dalam sermon seperti, sebab-akibat (cause-effect),
perbandingan dan pertentangan (comparison and contrast),
definisi (definition), deskripsi (description), penomoran
(enumeration), dan pencontohan (exemplification).

Model Analisis Khotbah (Sermon)

Model analisis sermon seperti yang disarankan oleh


Cheong (1999) dipergunakan untuk menganalisis pola
retorika khotbah Jumat yang ditulis oleh Drs. Effendi
Zarkasyi yang diterbitkan dalam sebuah buku yang
berjudul “Khutbah Pilihan” dan diterbitkan oleh Penerbit
CV Toha Putra Semarang pada tahun 1979. Dari 28
khotbah yang diterbitkan dalam buku tersebut, hanya satu
khotbah berjudul „Ilmu Dalam Islam‟ yang diambil. Tidak
ada alasan ilmiah tertentu yang mendasari pemilihan
khotbah tersebut. Alasan pemilihan khotbah hanyalah
merupakan pertimbangan bahwa penulis khotbah tersebut
cukup terkenal dan berpengalaman, sehingga diperkirakan
bahwa pola retorika khotbah yang ditulisnya lebih bersifat

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 86

standar daripada khotbah-khotbah yang ditulis oleh penulis


lain yang kurang terkenal atau kurang berpengalaman.

Gambaran Umum Tentang Khotbah Berjudul “Kedudukan


Ilmu Dalam Islam”

Dalam khotbah ini khatib menjelaskan arti penting dari


ilmu untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Kedudukan ilmu malah lebih tinggi dari harta
benda berbentuk apapun, karena harta benda bisa saja habis
atau hancur pada suatu saat, sedangkan ilmu akan mampu
bertahan lebih lama dalam diri seseorang. Begitu pula
dengan fungsi ilmu dalam mencapai kesempurnaan ibadah;
dimana ibadah seseorang yang berilmu akan lebih
sempurna daripada ibadah orang yang tidak berilmu. Rosul
Allah malah menggambarkan bahwa tiada kefakiran yang
lebih hebat daripada kebodohan dan tidak ada harta yang
lebih berharga daripada akal. Akal jugalah yang
membedakan antara manusia dan hewan. Untuk itu, sebuah
keluarga muslim harus mampu menciptakan kondisi yang
kondusif dalam keluarganya agar upaya mereka untuk
menuntut ilmu dapat berjalan dengan baik. Misalnya, orang
tua harus menyiapkan bahan-bahan dan alat-alat belajar
bagi anak-anaknya sebaik mungkin dan mendorong mereka
untuk rajin menuntut ilmu.
Penulis mengutip beberapa ayat Alquran dan
beberapa Hadis untuk mendukung pernyataannya tentang
arti penting dari fungsi ilmu bagi umat Islam baik untuk
melaksanakan ibadah maupun untuk menjalani kehidupan
keduniawian.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 87

Pola Makro Retorika Khotbah

Dalam analisis ini, bagian awal khotbah yang disampaikan


dalam bahasa Arab tidaklah dianalisis, karena bagian ini
dianggap sebagai bagian yang lebih bersifat standar dan
kurang dinamis. Teks khotbah yang berjudul „Ilmu Dalam
Islam‟ secara garis besar atau makro (macro teks structure)
dapat dibagi menjadi empat bagian (sections) yaitu: bagian
pembukaan (opening marjer), pendahuluan (introduction),
bagian batang tubuh atau inti khotbah (body), dan bagian
penutup (closure). Setiap bagian ini memiliki isi dan tujuan
komunikatif yang berbeda. Bagian pengantar berisi ucapan
syukur pada Allah, penyampaian shalawat kepada Rosul
Allah dan ajakan pada umat manusia agar bertakwa pada
Allah SWT. Bagian ini memiliki ciri khas tertentu, yaitu
secara keseluruhan disampaikan dalam bahasa Arab tanpa
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Bagian ini juga
merupakan syarat utama syah atau tidaknya suatu ritual
khotbah. Dengan kata lain, tujuan komunikatif utama
bagian ini adalah untuk memenuhi persyaratan sah atau
tidaknya suatu khotbah.
Bagian kedua (pendahuluan) berisi informasi yang
dianggap perlu untuk menyiapkan pengetahuan pendengar
untuk memahami topik khotbah yang akan disampaikan
(Kedudukan Ilmu dalam Islam). Pada bagian ini, penulis
mengarahkan perhatian pendengar terlebih dahulu pada
peran besar dari Rosul Allah dan manfaat ajaran yang
dibawanya, yaitu Islam. Diutusnya Rosul Allah dan
diturunkannya ajaran agama yang dibawanya itu didasarkan
pada kebutuhan manusia sebagai makhluk Allah.
Pada akhir bagian pendahuluan penulis mengajukan
pertanyaan, “Apakah syarat keberhasilan untuk misi hidup
kita?” Pertanyaan ini digunakan sebagai alat transisi

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 88

sebelum diajukannya topik inti khotbah yaitu „Peran Ilmu


dalam Islam‟. Dengan kata lain, penulis menggunakan
pertanyaan tersebut sebagai sinyal transisi (transition
signal) untuk memasuki bagian batang tubuh (body) dari
khotbah. Sehingga bagian batang tubuh tersebut merupakan
jawaban dari pertanyaan yang diajukan sendiri oleh penulis.
Pada bagian batang tubuh ini, penulis menjelaskan arti
penting dari peran ilmu bagi umat islam untuk mencapai
kebahagian hidup baik di dunia maupun di akhirat. Khotib
juga menjelaskan tentang kedudukan ilmu bagi manusia,
yang lebih tinggi dari harta benda sekalipun, dan
merupakan suatu hal yang hina bila orang yang tidak
berilmu.
Pada akhir dari bagian batang tubuh ini, penulis
lebih banyak mengajak pendengar untuk melakukan
tindakan baik secara fisik maupun secara mental untuk
merealisasikan pesan khotbah yang baru disampaikan.
Misalnya, penulis mengajak pendengar untuk
menggunakan akal dan pikiran serta menuntut ilmu
sebanyak-banyaknya melalui pengalakkan upaya
pendidikan.
Bagian terakhir dari teks khotbah adalah bagian
penutup (closure). Tanda linguistik (linguistik signal) yang
digunakan penulis adalah „Sebagai penutup dapat kita
simpulkan bahwa ...‟. Pada bagian penutup ini, penulis
mengulangi pernyataannya tentang arti penting dari ilmu
dalam Islam dan kemulian dari orang berilmu adalah di atas
orang yang tidak berilmu. Apabila digambarkan secara
diagramatik, teks khotbah ini dapat disajikan sebagai
berikut:

Bagian Langkah-langkah dan Fungsi


Tujuan Komunikatifnya Retorika

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 89

A. Pembukaan 1. Proposisi (menyiapkan -definisi


pengetahuan pendengar atau -sebab-
pembaca terhadap ajakan yang akibat
akan disampaikan)
2. Kutipan (memberikan referensi
atau dukungan terhadap ajakan
yang akan disampaikan)
3. Ajakan (mengajak pendengar
atau pembaca untuk melakukan
sesuatu)
B. Pendahulu- 4. Proposisi (menyiapkan -deskripsi
an pengetahuan pendengar tentang -interogatif
topik khotbah yang akan -sebab-
disampaikan) akibat
5. Kutipan (memberikan referensi -argumentasi
untuk mendukung proposisi
yang telah diajukan)
6. Penjelasan (menjelaskan
tafsiran atau makna kutipan
yang diambil)
7. Kutipan (memberikan landasan
atau referensi terhadap
proposisi yang diajukan)
8. Penjelasan (menjelaskan makna
atau tafsiran kutipan)
9. Transisi (memperkenalkan
topik atau tema inti khotbah)
C. Batang 10. Kutipan (memberikan landasan - definisi
Tubuh atau referensi terhadap -
proposisi yang akan perbanding
disampaikan) -an-kontras
11. Proposisi (menyampaikan -keterangan
topik khotbah sebagai jawaban -contoh
dari pertanyaan yang diajukan) -argumentasi
12. Argumentasi (memberi alasan
logis atau persuasip terhadap
pilihan topik khotbah)
13. Ilustrasi (memberikan contoh-

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 90

contoh untuk menjelaskan isi


khotbah dengan cara yang lebih
bervariasi agar lebih menarik
dan lebih mudah dipahami)
14. Penegasan kembali topik
khotbah
15. Kutipan (memberikan
dukungan atau jastifikasi
berupa referensi terhadap
pentingnya topik khotbah).
16. penjelasan (menjelaskan
tafsiran ayat atau hadis yang
dikutip)
17. ilustrasi (memberikan contoh-
contoh untuk menjelaskan isi
khotbah agar lebih menarik dan
mudah dipahami)
18. Kutipan (memberikan referensi
lebih lanjut untuk mendukung
propisisi yang telah diajukan)
19. Penjelasan (menjelaskan
makna atau tafsiran kutipan)
20. Ajakan (ajakan terhadap
aplikasi pesan khotbah)
21. Kutipan (memberikan referensi
pendukung terhadap ajakan
yang telah disampaikan)
22. Ajakan (memberikan alternatif
metode aplikasi pesan khotbah)
D. Penutup 23. Kesimpulan (memberikan -keterangan
simpulan isi khotbah berupa
hal-halpenting yang telah
disampaikan)
24. Kutipan (memberikan referensi
terhadap pentingnya topik
khotbah yang telah
disampaikan)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 91

Tabel 3 : Bagian-Bagian Khotbah Beserta Tujuan


Komunikatifnya dan Fungsi Retorika Yang Digunakan

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas bahwa suatu


khotbah terdiri dari sekurangnya empat bagian:
pembukaan, pendahuluan, batang tubuh, dan penutup.
Masing-masing bagian memiliki ciri khas tertentu, seperti
tujuan komunikatif dan fungsi retorika yang dominan.

Teks Khotbah Beserta Bagian dan Langkah-Langkahnya

Teks khotbah yang dianalisis disajikan berikut ini bersama


dengan bagian-bagian (sections) dan langkah-langkah
(moves) nya: (Isi teks yang berupa kutipan ayat Al Quran
atau Hadis Nabi tidak dituliskan).

Bagian Langkah Teks


A. Pembuka- 1. Proposisi Saudara-sudara kaum muslimin
an yang berbahagia. Nabi
Muhammad saw adalah utusan
Allah terakhir, yang ajaran dan
syariatnya berlaku sampai akhir
zaman. Kesempurnaan Islam
sebagai pedoman hidup
merupakan kenikmatan yang
sangat besar bagi kita ummat
manusia, sebab dengan mengikuti
ajaran Islam itulah berarti kita
berpegang pada jalan yang diridlai
Allah.
2. Kutipan
-
3. Ajakan
Dengan demikian sebagai
hamba Allah yang telah
memperoleh kenikmatan yang
besar itu, yakni kenikmatan agama

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 92

kita hendaknya mensyukurinya.


Sebagai bukti syukur, marilah
kita senantiasa taqwa kepada
Allah; taqwa dalam arti
melaksanakan perintah-perintah
Allah serta mencegah semua
larangan-Nya.
Juga taqwa yang dapat
menumbuhkan kesadaran hati,
bahwa hakikat hidup kita adalah
sebagai pengemban amanat Allah
dan khalifah-Nya.
B. Pendahu- 4. Proposisi Khalifah Allah di atas bumi
luan yang bertugas mengolah, mengatur
alam seisinya serta
menyelenggarakan suatu
kehidupan damai, bahagia penuh
kemaslahatan berdasarkan Hukum
dan Ketentuan-ketentuan Allah
yang terkandung dalam tuntunan-
Nya yakni agama Islam.
Tegasnya, tugas hidup kita
adalah mengusahakan kebahagian
hidup dunia dan mempersiapkan
bekal untuk keselamatan hidup
akhirat.
Dua kepentingan hidup itulah
yang melahirkan sabda Nabi saw.,
yang hingga saat ini diakui oleh
siapapun bahwa tidak ada satu
ajaran agamapun di dunia yang
dapat menandingi nilai ajaran
Islam tentang keseimbangan hidup
duniawi dan akhrawi, sabda Nabi
Muhammad SAW.
5. Kutipan
-
6. Penjelasan
Jelaslah, hadis di atas
merupakan bukti bahwa Islam

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 93

adalah agama dunia dan akhirat;


bahkan Islam melarang ummatnya
yang hanya menekuni satu antara
dua kepentingan dan tugas
7. Kutipan hidupnya itu.

8. Penjelasan -

Ayat di atas menggambarkan


betapa indahnya nilai dan ajaran
Islam karena perhatiannya terhadap
kebahagian lahir bathin, materil
dan sprituil atas dasar kasih sayang
dan hubungan baik sesama hamba
Allah. Dalam ayat itu pula
ditegaskan bahwa Islam tidak
menghendaki kerusakan, baik
lahirmaupun bathin yang
ditimbulkan oleh perilaku manusia
9. Transisi itu sendiri, karena yang demikian
sangat dicela oleh Allah.

Saudara-suadara kaum
Muslimin yang berbahagia.
Setelah melihat gambaran tigas
hidup manusia sebagaimana uraian
di atas, timbulah satu pertanyaan,
“Apakah syarat untuk keberhasilan
misi hidup kita ini?”

C. Batang 10. Kutipan -


Tubuh
11. Proposisi Ilmu merupakan syarat utama
untuk mencapai keberhasilan tugas
hidup kita, sekaligus bukti bahwa
Ilmu adalah kekayaan dan harta
yang paling besar.

12. Argumen Pengertiannya ialah, meskipun


hartakekayaan bertumpuk baik

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 94

berujud uang, gedung-gedung


bertingkat ataupun sawah ladang
yang menghampar, namun tidak
berilmu, maka harta dan
kekayaannya itu akan sia-sia
belaka, sebab bukan mustahil suatu
saat semuanya itu akan habis tak
menentu, entah dibodohi orang lain
ayaupun penggunaanya yang
kurang perhitungan lantaran
bodohnya.
Begitu pula dalam masalah
ibadah, meskipun seseorang tajin
dalam melakukannya sehingga
dapat digambarkan bahwa seumur
hidupnya semata-mata
digunakannya untuk ibadah namun
is tidak berilmu, maka
ibadahnyapun kurang sempurna.
13. Ilustrasi
Sebaliknya meskipun seorang
hidup dalam kemiskinan, tidak
berharta namun ia berilmu, maka
hidupnyapun akan lebih tenang
karena dengan ilmu itulah ia dapat
mencari kebutuhan untuk
mencukupi hidup sehari-hari.
Tegasnya, seorang yang berilmu
tidak akan mengalami jalan buntu
dalam mengusahakan kebutuhan
hidupnya.
Juga dalam masalah ibadah;
bagi orang-orang yang berilmu
ibadahnya lebih sempurna
dibanding orang-orang yang
bodoh, lantaran orang yang
berilmu lebih memahami dasar dan
tujuan serta pengertian ibadah yang
dilakukannya, sehingga
kemantapan beribadahnya lebih

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 95

sempurna dan tidak mudah begitu


14. Penegasan saja diombang-ambingkan oleh
kembali kewaswasan.
topik
khotbah Selanjutnya tentang ilmu pernah
pada suatu saat sebelum Rosulullah
saw. Wafat, beliau memberikan
nasehat kepada para sahabatnya,
antara lain terdapat sahabat Ali dan
Abi Hurairah.
Nasehat beliau waktu itu cukup
banyak, yang tersimpul dalam
delapan pokok, diantaranya ialah
yang berhubungan dengan ilmu.
Beliau bersabda kepada
Sayyidina Ali dan sahabat-sahabat
yang lain: “Ya, Ali, ketahuilah
bahwa tidak ada kefakiran yang
lebih hebat daripada kebodohan;
tidak ada harta yang lebih berharga
daripada akal”.
Berdasarkan riwayat tersebut
nyatalah bahwa ilmu merupakan
nikmat karunia Allah yang amat
besar, sebab dengan ilmu itulah
manusia dapat memperoleh
15. Kutipan kemuliaan martabat, kedudukan
dan derajatnya.
16. Penjelasan
-

Pengertian ayat di atas ialah


bahasanya manusia adalah
makhluk yang paling baik dan
sempurna, jasmani dan rohani; hal
itu karena adanya kelebihan yang
17. Ilustrasi diberikan kepada manusia dari
makhluk lain yaitu akal.

Akal merupakan batas pembeda

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 96

antara manusia dengan makhluk


lain, binatang misalnya. Dengan
akal itu pula manusia dapat
memilih jalan yang baik,
membedakan kebenaran dan
kebatilan, sehingga perjalanan
hidupnya menurut kehendak hawa
nafsunya belaka.
Sebaliknya kehidupan binatang
yang nyata-nyata tidak berakal
dapat kita saksikan, betapa mereka
tidak mempunya aturan hidup
sehingga tidak pernah terdngar
adanya kamus kesopanan dan etika
bagi binatang.
Oleh sebab itu, apa bila kita
melihat ada diantara manusia yang
laku perbuatan dan tingkah
hidupnya hanya menurutkan hawa
18. Kutipan nafsunya saja, tidak mematuhi
ketentuan dan tuntunan Allah,
19. Penjelasan maka orang yang demikian
derajatnya seperti binatang bahkan
lebih rendah dari itu.

Berdasarkan ayat di atas, maka


nampaklah kepentingan dan
kedudukan akal dalam kehidupan
20. Ajakan manusia sebagai Khalifah Allah
agar amanat yang dipikulnya dapat
dipenuhinya dengan sempurna dan
memperoleh balasan dari Allah
dengan kehidupan bahagia di
akhirt.

Oleh sebab itu dalam


kesempatan ini kami mengajak
saudara-sudara untuk senantiasa

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 97

menggunakan akal dan pikiran


serta berusaha mancari ilmu
seluas-luasnya terutama ilmu-ilmu
yang menyangkut hubungan kita
21. Kutipan dengan Al-Khaliq, dengan tidak
melupakan ilmu yang bermanfaat
22. Ajakan bagi kehidupan dunia.
Marilah kita berusaha untuk
tidak disamakan dengan binatang,
sebab jelaslah perbedaan kita
dengan bnatang, yakni dari hal
akal.

Adalah tugas kita bersama untuk


memenuhi hajat ilmu itu serta
meningkatkan kemampuan akal,
yakni dengan lebih banyak
menyelenggarakan usaha
pendidikan dan pengajaran
terhadap anak-anak kita.
Kewajiban kitalah untuk
menunjang usaha pembangunan
sarana pendidikan, baik berupa
sekolah-sekolah umum, madrasah-
madrasah ataupun tempat-tempat
pengajian agar terlaksana dengan
lancar dan membuahkan hasil yang
positif.
D. Penutup 23. Kesimpul- Sebagai penutup dapatlah kita
an simpulkan bahwa kedudukan ilmu
dan akal dalam Islam adalah
sangat penting, yakni sebagai harta
yang paling mahal dan berharga.

24. Kutipan -

Tabel 4: Bagian dan Langkah Teks Khotbah

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 98

Analisis pola retorika teks khotbah (Kedudukan


Ilmu Dalam Islam), seperti yang disajikan di atas,
menunjukkan bahwa suatu khotbah dapat berisi minimal
empat bagian (sections): pembukaan, pendahuluan, batang
tubuh, dan penutup, serta berbagai langkah atau Move,
terutama pada bagian pendahuluan dan batang tubuh.
Berbagai langkah atau Move yang digunakan memiliki
tujuan komunikatif yang berbeda serta menggunakan fungsi
retorika yang berbeda pula.
Analisis teks khotbah ini juga menunjukkan bahwa
terdapat suatu pengulangan dalam penggunaan pola
langkah seperti pengulangan proposisi-kutipan, kutipan-
penjelasan dan kutipan-ajakan. Ciri retorika lain dari teks
khotbah adalah penggunaan kutipan dan penjelasan yang
cukup sering; ini menunjukkan antara lain, bahwa penulis
sangat mengandalkan kekuatan referensi atau kutipan
hadis-hadis Nabi atau ayat Alquran sebagai pembenaran
dari arti penting dari topik khotbah atau keabsahan ajakan
yang diajukan.

Fungsi Retorika dan Penanda Leksikal

Analisis teks khotbah berikutnya dilakukan untuk melihat


fungsi retorika (rhetorical function), seperti yang
disarankan oleh Bathia (1991), yang dipergunakan oleh
penulis atau penyusun khotbah, dan untuk melihat kata-kata
penanda yang dipergunakan untuk menyajikan tujuan
retorika tersebut. Seperti juga dipaparkan pada Diagram 1,
berikut ini adalah daftar fungsi retorika yang dipergunakan
beserta contoh kata penandanya.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 99

1) Definisi: digunakan untuk mengklasifikasikan suatu


obyek atau manusia untuk kepentingan pengetahuan
pembaca. Lihat contoh berikut ini:

Muhammad saw adalah utusan Allah terakhir, yang


ajaran dan syariatnya berlaku sampai akhir zaman.
Kesempurnaan Islam sebagai pedoman hidup
merupakan kenikmatan yang sangat besar bagi kita
ummat manusia, sebab dengan mengikuti ajaran
Islam itulah berarti kita berpegang pada jalan yang
diridlai Allah.

Seperti terlihat dalam contoh di atas, salah satu ciri khas


definisi adalah pemakaian kata adalah atau ialah atau
merupakan.

2) Sebab-akibat: sebab mengacu pada situasi, kondisi


atau kejadian yang menghasilkan suatu akibat,
seperti dalam contoh berikut ini:

Kesempurnaan Islam sebagai pedoman hidup


merupakan kenikmatan yang sangat besar bagi kita
ummat manusia, sebab dengan mengikuti ajaran
Islam itulah berarti kita berpegang pada jalan yang
diridlai Allah.

Fungsi retorika sebab-akibat digunaan untuk


memberikan alasan terdapat proposisi atau ajakan yang
telah disampaikan baik secara logika maupun melalui
kutipan.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 100

3) Deskripsi: berfungsi untuk menggambarkan


keadaan fisik, fungsi maupun tujuan dari suatu
kegiatan dan menjelaskan proses atau cara kerja atau
prosedur. Perhatikan contoh di bawah ini:

Khalifah Allah di atas bumi [manusia] bertugas


mengolah, mengatur alam seisinya serta
menyelenggarakan suatu kehidupan damai, bahagia
penuh kemaslahatan berdasarkan Hukum dan
Ketentuan-ketentuan Allah yang terkandung dalam
tuntunan-Nya yakni agama Islam.

4) Interogatif: berfungsi untuk transisi atau menandai


perpindahan Move, seperti contoh berikut ini:

Setelah melihat gambaran tugas hidup manusia


sebagaimana uraian di atas, timbulah satu
pertanyaan, “Apakah syarat untuk keberhasilan
misi hidup kita ini?”

Kalimat tanya memang sering digunakan untuk


menandai perubahan langkah (move) dalam teks
sebagaimana halnya pertanyaan juga sering digunakan
untuk mengajukan perubahan topik dalam percakapan
atau untuk menandai perubahan „turn‟ (Bolivar, 1994).

5) Argumentasi: bertujuan untuk memberikan alasan


atau pembenaran untuk proposisi atau ajakan yang
diajukan, seperti dalam contoh berikut ini:

Selanjutnya mengenai ilmu, pernah pada suatu saat


sebelum Rosulullah saw wafat, beliau memberi
nasehat kepada para sahabatnya, antara lain
terdapat sahabat Ali dan Abi Hurairah.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 101

Nasehat beliau waktu itu cukup banyak, yang


tersimpulkan dalam delapan pokok, diantaranya
ialah yang berhubungan dengan ilmu.

Beliau bersabda kepada Sayyidina Ali dan sahabat-


sahabat yang lain: “Ya, Ali, ketahuilah bahwa tidak
ada kefakiran yang lebih hebat daripada kebodohan;
tidak ada harta yang lebih berharga daripada akal”.

Seperti dalam contoh di atas, penulis memberi


pembenaran untuk arti penting dari topik khotbah yang
dipilih (Kedudukan Ilmu Dalam Islam) dengan memberi
suatu ilustrasi mengenai kejadian pada masa Nabi saw.
Sebagian besar fungsi argumentasi ini dilakukan oleh
penulis dengan memberi kutipan Hadis atau Ayat dan
menjelaskan makna atau tafsirannya.

6) Perbandingan-kontras: fungsi retorika ini


bertujuan untuk membandingkan dua obyek atau
keadaan dalam usaha penulis membenarkan
proposisi yang disampaikan. Perbandingan mengacu
pada persamaan dan kontras menerangkan
perbedaan. Perhatikan contoh di bawah ini:

... meskipun harta kekayaan bertumpuk baik berujud


uang, gedung-gedung bertingkat ataupun sawah
ladang yang menghampar, namun tidak berilmu,
maka harta dan kekayaannya itu akan sia-sia belaka,
sebab bukan mustahil suatu saat semuanya itu akan
habis tak menentu, entah dibodohi orang lain
ataupun penggunaanya yang kurang perhitungan
lantaran bodohnya.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 102

Begitu pula dalam masalah ibadah, meskipun


seseorang rajin dalam melakukannya sehingga dapat
digambarkan bahwa seumur hidupnya semata-mata
digunakannya untuk ibadah namun ia tidak berilmu,
maka ibadahnyapun kurang sempurna.

Sebaliknya meskipun seorang hidup dalam


kemiskinan, tidak berharta namun ia berilmu, maka
hidupnyapun akan lebih tenang karena dengan ilmu
itulah ia dapat mencari kebutuhan untuk mencukupi
hidup sehari-hari. Tegasnya, seorang yang berilmu
tidak akan mengalami jalan buntu dalam
mengusahakan kebutuhan hidupnya.

Juga dalam masalah ibadah; bagi orang-orang yang


berilmu ibadahnya lebih sempurna dibanding orang-
orang yang bodoh, lantaran orang yang berilmu
lebih memahami dasar dan tujuan serta pengertian
ibadah yang dilakukannya, sehingga kemantapan
beribadahnya lebih sempurna dan tidak mudah
begitu saja diombang-ambingkan oleh kewaswasan.

7) Keterangan: fungsi retorika keterangan adalah


untuk menjelaskan makna atau tafsiran mengenai
kutipan yang diambil, seperti dalam contoh berikut
ini:

Ayat di atas menggambarkan betapa indahnya nilai


dan ajaran Islam karena perhatiannya terhadap
kebahagian lahir bathin, materiil dan sprituiil atas
dasar kasih sayang dan hubungan baik sesama
hamba Allah. Dalam ayat itu pula ditegaskan bahwa
Islam tidak menghendaki kerusakan, baik lahir

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 103

maupun bathin yang ditimbulkan oleh perilaku


manusia itu sendiri, karena yang demikian sangat
dicela oleh Allah.

Fungsi retorika (rhetorical function) dan kata atau


frasa penanda (lexical signal) yang dapat
dipergunsakan pada suatu teks khotbah bisa saja
bervariasi sesuai dengan keinginan atau gaya (style)
penulis, namun keefektifan fungsi retorika dan kata
penanda akan ditentukan oleh pembaca.

Hasil analisis teks khotbah dengan menggunakan


model analisis berdasarkan tujuan komunikatif teks
menunjukkan bahwa teks ini sekurangnya berisi empat
bagian (sections), yaitu: pengantar (opening remark),
pendahuluan (introduction), batang tubuh (body) dan
penutup (closure). Setiap bagian juga dapat dibagi kedalam
beberapa langkah (move) dan setiap langkah ditandai
dengan penggunaan fungsi retorika tertentu dengan
penggunaan kata-kata atau frasa tertentu pula. Terdapat
pola pengulangan langkah (recursive moves) dalam teks
khotbah yang juga bisa menjadi suatu ciri khas teks
tersebut.
Penggunaan kutipan yang cukup sering atau dominan
dalam teks khotbah, terutama untuk membenarkan
proposisi atau ajakan yang diajukan, menunjukkan bahwa
kepercayaan penulis terhadap daya atau kekuatan
argumentatif dan persuasive dari kutipan-kutipan tersebut
terhadap pembaca atau pendengar. Namun, upaya analisis
teks khotbah ini baru merupakan upaya awal yang bersifat
eksploratif. Oleh karena itu, diperlukan adanya analisis
lebih lanjut yang melibatkan lebih banyak teks dari penulis

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 104

atau penyusun khotbah yang beragam guna menguji


keabsahan dari hasil analisis ini.

5.2. Model Analisis Teks ‘Top-down’ dan ‘Bottom-up’


2
Pada Contoh Karangan Argumentatif

Setiap metode analisis teks atau karangan harus mampu


memberi dua informasi penting, yaitu apa posisi dan fungsi
dari setiap unit analisis dan apa bentuk struktur internal dari
unit analisis tersebut (Coulthard dan Brasil, 1979). Dengan
kata lain, metode analisis teks atau karangan harus mampu
membagi teks atau karangan kedalam unit-unit analisis dan
menentukan posisi dan fungsi dari unit-unit tersebut dalam
kerangka karangan secara utuh serta menjelaskan unsur-
unsur yang membentuk setiap unit analisis tersebut.

Model Analisis Makro Monolog dan Dialog

Salah satu metode analisis karangan argumentatif pada


tingkat makro yang sering dipergunakan adalah teknik
proses dialog dan monolog yang sering disebut dengan
model „top-down‟ dan „bottom-up‟ seperti yang disarankan
oleh Tirkkonen-Condit (1984). Tirkkonen-Condit
mengatakan bahwa karangan argumentatif bisa dianggap
sebagai suatu proses dialog antara penulis dan pembaca
(top-down process) dan proses monolog (bottom-up
process). Bila dipandang sebagai proses dialog, sebuah
karangan argumentatif idealnya memiliki bagian situasi
(situation), masalah (problem) dengan atau tanpa bantahan

2
Tulisan ini pernah diterbitkan pada jurnal Komposisi Vol.4 No.1
Tahun 2003.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 105

(refutation), solusi (solution), dan evaluasi (evaluation).


Proses dialog tersebut dapat digambarkan seperti pada
Bagan berikut ini.

Pengantar/Situasi

Masalah
(Bantahan)

Solusi

Evaluasi

Bagan 8: Proses Dialog dalam Karangan Argumentatif

Seperti terlihat pada bagan di atas, pembaca pertama


disuguhi situasi dalam karangan melalui pengantar
(introduction) atau pernyataan yang memperkenalkan
pembaca pada masalah yang akan diajukan, yaitu fakta dan
pendapat yang dimaksudkan untuk memberi gambaran
pada pembaca mengenai latar belakang masalah.
Kemudian, masalah (problem) atau pernyataan mengenai
kondisi atau hal yang tidak diinginkan disajikan kepada
pembaca. Karangan argumentatif dapat memiliki bagian
yang disebut bantahan (refutation) atau pernyataan yang
mengambarkan pendapat oposisi (opponent‟s views)
mengenai isu yang dibahas. Penulis kemudian
menyarankan sebuah solusi (solution) atau pernyataan
mengenai kondisi ideal menurut pendapat penulis dan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 106

memberi evaluasi (evaluation) atau pernyataan untuk


menguji hasil dari solusi yang diajukan.
Menurut Tirkkonen-Condit (1984) dan Connor
(1987 dan 1990), dalam sebuah karangan argumentatif,
penulis beranggapan bahwa pembaca berada pada posisi
yang berlawanan (contra) dengan posisi penulis sendiri
mengenai sebuah isu yang kontroversial. Tujuan utama
penulis adalah untuk mengubah posisi pembaca agar berada
pada posisi yang sama (pro) dengan penulis. Tujuan
penulis tersebut tidak dapat dicapai secara langsung,
melainkan melalui beberapa langkah. Agar lebih
meyakinkan, karangan tersebut harus memiliki bagian
bantahan (refutation) atau pernyataan yang mengemukakan
pendapat oposisi tentang isu kontroversial tersebut dan
memberi sanggahan terhadap pendapat tersebut. Sanggahan
tersebut berupa pembuktian secara logika bahwa pendapat
oposisi tidak dapat diterima atau memiliki kelemahan
sehingga dengan mudah dapat diabaikan (Levin, 1966;
Chessel and Birnstihl, 1976 dan Wyrick, 1987).
Bantahan atau sanggahan (refutation) merupakan
bagian atau komponen penting dalam karangan
argumentatif, terutama untuk membantu menanamkan
kepercayaan pada pembaca terhadap pendapat penulis
(Levin, 1966). Pendapat yang sama disampaikan oleh
Franklin (1988), yang menyatakan bahwa pendapat oposisi
mungkin memiliki kebenaran dalam taraf tertentu. Oleh
karena itu, penulis harus mengemukakannya dengan jujur
untuk memperlihatkan pada pembaca bahwa ia berpikir dan
berpendapat secara jujur dan obyektif bukan secara
emosional atau membabi-buta (Franklin yang dikutip dalam
Rottenberg, 1988).
Apabila dilihat sebagai proses monolog, fokus
analisis akan berubah. Proses monolog melihat hubungan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 107

antara urutan tindak-tutur hanya dalam bagian masalah


(problem) dalam karangan tersebut (Aston, 1977 yang
dikutip dalam Connor, 1990). Menurut Aston, urutan T-unit
pada bagian masalah ini memiliki tindak-tutur sebagai
berikut 1) klaim (claim) yang bersifat evaluatif
(evaluative), 2) pembenaran (justification) yang bersifat
asertif (assertive), dan 3) induksi (induction) yang bersifat
asertif (assertive). Urutan tindak-tutur pada bagian masalah
ini dalam sebuah karangan argumentatif digambarkan pada
Bagan 9.

Klaim (Claim)

Pembenaran (Justification)

Induksi (Induction)

Bagan 9: Proses Monolog Pada Bagian Masalah


Dalam Karangan Argumentatif

Seperti terlihat pada Bagan 9, penulis memulai


bagian masalah (problem) dengan mengajukan suatu klaim
(claim) atau pernyataan mengenai pendapat penulis untuk
pembaca (Toulmin, dan kawan-kawan 1979:29) dan klaim
ini didukung dengan suatu pembenaran (justification) yang

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 108

berbentuk pengalaman, fakta statistik atau kejadian otentik


yang bertujuan untuk mendukung pendapat penulis
(Connor dan Lauer, 1988:144). Yang terakhir, penulis
mengemukakan suatu induksi (induction) atau kesimpulan
logis yang diambil dari pembenaran (Toulmin dan kawan-
kawan, 1984). Untuk menggambarkan berbagai tindak-
tutur pada bagian masalah dalam sebuah karangan
argumentatif, Toulmin dan kawan-kawan (1979:45)
memberi contoh sebagai berikut:

A: There is a fire.
Q: Why do you say that?
A: The smoke, you can see it?
Q: So?
A: Wherever there is smoke, there is a fire.

Klaim dalam contoh di atas adalah “There is a fire”;


pembenaran untuk mendukung klaim adalah “The smoke”,
sedangkan induksi adalah “Wherever there is smoke, there
is a fire”.
Pernyataan jenis lain yang biasa mengikuti
pembenaran disebut „warrant‟ atau pernyataan yang
menunjukkan adanya hubungan logis antara pembenaran
dengan klaim. Secara rinci, Rottenberg (1988:11)
mendefinisikan „warrant‟ sebagai berikut,

“… an assumption, a belief or principle that is taken


for granted…[it] is a guarantee of reliability [of an
argument]; it guarantees the soundness of the
relationship between the support and the claim. It
allows the reader to make the connection between the
support and the claim.”

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 109

Dengan kata lain, „warrant‟ adalah asumsi yang mendasari


penilaian terhadap kualitas sebuah benda atau orang.
Menurut Rottenberg, „warrant‟ penting dalam sebuah
argumen, terutama dalam argumen yang mempunyai klaim
tentang nilai dan kebijaksanaan. Berikut ini contoh
„warrant‟ dari Rottenberg (1988:117).

Claim : Larry is pretty dumb.


Support : He cannot read above third-grade level.
Warrant : Anybody who cannot read above third-
grade level must be dumb.

Dalam tulisan ini, kedua bentuk pernyataan yang mengikuti


pembenaran (induksi dan „warrant‟) disebut induksi.
Dalam sebuah karangan argumentatif, proses dialog
dan monolog memiliki pola hubungan yang unik. Pola khas
tersebut digambarkan pada Bagan 10. Bagian sebelah atas
pada Bagan 3 merupakan proses monolog, sementara
bagian di bawah merupakan proses dialog. Seperti terlihat
pada Bagan 10, pertama-tama, penulis menggambarkan
situasi sebagai latar belakang informasi dalam karangan
tersebut. Kemudian, untuk menjawab kemungkinan
pertanyaan I, II dan III dari pembaca, penulis mengajukan
bagian masalah (problem) yang terdiri dari klaim utama
dan sub-klaim, pembenaran, dan induksi. Kemudian
penulis menjawab pertanyaan IV dengan mengajukan
usulan solusi yang diikuti dengan memberi evaluasi
terhadap solusi yang diajukan untuk menjawab pertanyaan
V.

(Pertanyaan pembaca)
1). What is the point of you telling me all this?
2). On what ground are you claiming this?

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 110

3). OK, I agree with you. How would you


conclude the discussion so far?
4). What should be done about this problem?
5). Why should we do this?
(Jawaban penulis)

1) main 2) 3)
and Justifica Induct-
sub- t-ions ion
claims or
warrant
Situat- Problem 4) 5)
ion/ Solution Eva-
Intro- luation
ductio
n

Bagan 10: Hubungan Antara Proses Dialog Dengan


Monolog Dalam Sebuah Karangan Argumentatif
(Diataptasi Dari: Tirkkonen-Condit, S., 1984:221-223)

Seperti terlihat pada Bagan 10, bagian masalah


dalam sebuah karangan argumentatif merupakan bagian
terbesar dan paling penting dari karangan tersebut; bagian
ini terdiri dari klaim, pembenaran, dan induksi, dan ini
merupakan obyek analisis (proses monolog). Tirkkonen-
Condit (1984) mengatakan bahwa bagian masalah
(problem) merupakan struktur utama dalam sebuah
karangan argumentatif. Dalam penelitian ini, proses
pengidentifikasian bagian (pengantar, masalah, solusi,
evaluasi, dan kesimpulan) disebut proses analisis „top-
down‟, sementara proses pengidentifikasian tindak-tutur
yang terdapat dalam bagian masalah (problem section) dari

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 111

karangan argumentatif tersebut disebut analisis „bottom-


up.‟

Langkah-langkah Analisis Teks

Sebelum karangan dianalisis, sebuah karangan argumentatif


dibaca secara hati-hati untuk memahami isi karangan
tersebut, terutama mengenai ide-ide utamanya. Kemudian,
karangan tersebut dibagi kedalam unit-unit gramatika
(grammatical unit) yang disebut dengan T-unit. T-unit
sama dengan klausa yang memiliki sekurangnya subyek
dan predikat kalimat. Jadi, satu kalimat terdiri dari
setidaknya satu T-unit. Satu T-unit bisa memiliki tindak-
tutur yang berbeda. Misalnya, dalam sebuah T-unit terdapat
dua tindak-tutur yang berbeda: evaluatif (evaluative) dan
pernyataan (assertive).
Berdasarkan posisi dan fungsi dari setiap T-unit
dalam karangan itulah setiap karangan dianalisis kembali
untuk menentukan bagian-bagian (pengantar, problem
dengan atau tanpa bantahan, solusi, evaluasi dan
kesimpulan) yang terdapat dalam karangan yang
bersangkutan. Setelah menandai bagian-bagian dari setiap
karangan tersebut, bagian yang disebut bagian masalah dari
karangan tersebut dianalisis untuk melihat tindak-tutur
secara lebih rinci (klaim utama (evaluatif), sub-klaim
(evaluatif atau asertif), pembenaran (asertif), dan induksi
(asertif). Kemudian, frekuensi pemunculan tindak-tutur
yang berbeda dikalkulasi sebelum diperbandingkan dan
didiskusikan.
Tak dapat disangkal bahwa dalam kajian analisis
wacana atau teks hampir selalu melibatkan penilaian yang
subyektif dan tak terkecuali dalam penelitian ini, seperti

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 112

dalam penetapan T-unit, penetapan bagian dan penentuan


tindak-tutur yang membentuk suatu bagian, walaupun
terdapat pedoman-pedoman seperti konjugasi (conjunction)
dan tanda wacana (discourse device). Oleh karena itu,
pengecekan terhadap sampel analisis data dilakukan oleh 2
orang penilai independen (1 penutur asli bahasa Inggris dan
1 penutur asli bahasa Indonesia), yang sudah dilatih
terlebih dahulu dalam menggunakan metode penelitian
yang dipilih (metode analisis top-down dan bottom-up)
untuk menguji tingkat keterpercayaan hasil analisis data.
Pengecekan dilakukan sampai hasil analisis antara penilai
independen dan peneliti mencapai kecocokan atau sampai
peneliti memiliki keyakinan terhadap keakuratan dari hasil
analisis data.

Proses Dialog (Top-down Analysis)

Pola retorika yang umum dipergunakan untuk sub-bagian


bantahan atau sanggahan dimulai dengan mengemukakan
kemungkinan tanggapan atau pendapat oposisi (opponent)
mengenai topik yang ditulis dan kemudian diikuti dengan
pernyataan yang berlawanan dengan menggunakan
konjugasi perlawanan seperti “but”, “however”, atau “yet”.
Beberapa contoh bantahan (refutation) dari karangan
argument dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh penutur
bahasa Inggris (A.E.) diberikan di bawah ini (terjemahan
bebas dalam bahasa Indonesia diberikan dalam cetak tebal
dan semua contoh-contoh ini diambil dari Safnil, 2003):

“Some smokers may complain that they might be able to


work as fast or as well as they normally can if they
smoke, but…” (A.E.1)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 113

Sebagian perokok mungkin mengatakan bahwa


mereka hanya 113ela bekerja dengan cepat dan baik
kalau mereka merokok, tapi ...

“A non-smoker would complain if I brought my car to


the food hall and let the exhaust fumes cover his table
and his food, but…” (A.E.7)

Seseorang yang bukan perokok akan mengatakan


bahwa bagaimana jika saya bawa mobil ke restoran
dan membiarkan asap knalpotnya memenuhi
ruangan restoran, tapi ...

Karangan yang tidak memiliki sub-bagian bantahan


(refutation) disebut argumen satu sisi („one sided
argument‟) (Hatch, 1992:185). Menurut Hatch, karangan
argumen tanpa bantahan terkesan lebih emosional dan
kurang obyektif sehingga terasa kurang persuasif. Sebagian
besar karangan argument dalam bahasa Indonesia tidak
memiliki sub-bagian bantahan (Safnil, 2003). Hal ini
mungkin dikarenakan hambatan budaya yang terdapat
dalam budaya Indonesia. Keraf (1992) mengatakan bahwa
penulis Indonesia jarang mau mempertimbangkan pendapat
orang lain bila menulis dalam bahasa Indonesia. Menurut
Keraf, hal ini dikarenakan mengkritik pendapat orang lain,
terutama orang yang lebih tua atau berstatus soial lebih
tinggi, dalam tulisan masih dianggap kurang sopan.
Penyebab lain mungkin adalah karena mengkritik orang
lain memiliki dampak sosial yang dapat menyebabkan
rusaknya keharmonisan hubungan individu atau kelompok.
Kasus yang sama dijumpai pada mahasiswa Jepang oleh
Rubin dan kawan-kawan (1990). Rubin melihat bahwa
mahasiwa Jepang dididik untuk menghindari pendapat

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 114

setuju (pro) atau berlawanan (contra) dengan orang lain.


Menurut Rubin, hal ini penting artinya dalam budaya
Jepang untuk menjaga keharmonisan kelompok dan
menghindari konflik sosial.
Aspek lain yang berbeda antara karangan argument
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris adalah
mengenai penggunaan bagian evaluasi (evaluation section).
Bagian evaluasi lebih sering ditemui pada karangan
Indonesia dari pada karangan A.E. Hal ini menunjukkan
antara lain bahwa sebagian besar penulis karangan A.E.
tidak membenarkan saran yang diajukan untuk mengatasi
masalah yang dibahas. Dengan kata lain, penulis karangan
A.E. (penutur bahasa Inggris) hanya mengajukan saran atau
solusi terhadap masalah yang dibahas tanpa memberikan
alasan mengapa saran tersebut yang diajukan atau apa
kekuatan atau keampuhan dari saran yang diajukan
tersebut. Contoh-contoh bagian evaluasi yang terdapat pada
karangan argumentatif dalam bahasa Indonesia yang ditulis
oleh penutur bahasa Indonesia (I.I.) diberikan di bawah ini
(semua contoh-contoh ini diambil dari Safnil, 2003):

Anda harus berhenti merokok di tempat umum kalau


anda tidak mau dibenci orang lain (I.I.12)

Perbuatan merokok di tempat umum dianggap sebagai


perbuatan yang tidak bermoral dan 114elation, oleh
sebab itu orang seharusnya tidak merokok di sana.
(I.I.5)

Dengan melarang orang merokok di tempat umum,


perokok telah berpartisipasi dalam program
pembangunan negeri ini, yaitu dalam menciptakan
bangsa yang sehat. (I.I.41)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 115

Bukti ini juga menunjukan bahwa penulis karangan


I.I. (penutur bahasa Indonesia) menyadari nilai persuasif
dari bagian evaluasi bagi karangan argumentatif mereka,
yaitu untuk membujuk pembaca agar melakukan sesuatu
atau mengubah pendapat mereka mengenai topik karangan
yang sedang dibahas. Seperti yang dikatakan oleh Connor
dan Lauer (1985), permohonan atau permintaan persuasif
(persuasive appeal) merupakan satu unsure penting dalam
sebuah karangan argumentatif yang baik. Lebih lanjut,
menurut Connor dan Lauer, permintaan yang persuasif
adalah permintaan kepada pembaca untuk mengubah posisi
mereka dalam memandang topik yang kontroversial dengan
mem-bangkitkan emosi mereka, seperti ketakutan (fear),
kemarahan (anger), dan kesenangan (joy).
Aspek yang sama diantara kedua kelompok
karangan ini adalah mengenai penggunaan bagian masalah
(problem) dan solusi (solution) yang konsisten. Hal ini
menunjukkan antara lain bahwa sebagian besar subyek
penelitian memandang karangan argumentatif sebagai suatu
masalah yang harus dicari jalan keluar atau solusinya
(problem-solving proses). Sebagaimana yang disarankan
oleh Tirkkonen-Condit (1984) dan Connor (1987), didalam
karangan argumentatif pembaca diasumsikan memiliki
masalah dalam berpendapat mengenai isu atau topik
karangan. Tugas penulis adalah memberi bantuan bagi
pembaca tersebut agar mereka dapat mengatasi masalah
tersebut atau agar pembaca memiliki pendapat yang sama
dengan penulis.

Proses Monolog

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 116

Aspek yang berbeda secara signifikan diantara kedua


kelompok karangan (AE dan II) dari segi proses monolog
adalah dalam hal penggunaan sub-klaim, dimana penulis
karangan kelompok A.E. menggunakannya secara lebih
konsisten daripada penulis karangan kelompok I.I. Hal ini
menunjukan bahwa karangan kelompok A.E. lebih
mengikuti pola retorika karangan argumentaif seperti yang
disarankan oleh Tirkkonen-Condit (1984) bila dilihat dari
pola internal bagian masalah (monologic process). Mereka
menyarankan bahwa tujuan dalam karangan argumentatif
tidak dapat dicapai sekali gus atau hanya melalui satau
klaim tapi melalui beberapa argumen kecil (mini argument)
atau sub-klaim yang masing-masing sub-klaim mempunyai
didukung oleh jastifikasi dan induksi. Susunan tindak-tutur
ini merupakan ciri khas bagian masalah (problem section)
dari karangan argumentatif. Pembagian klaim utama
menjadi beberapa sub-klaim dalam bagian masalah
dilakukan untuk tujuan membagi masalah menjadi
beberapa bagian yang terselesaikan (manegable). Suatu
contoh pola umum sub-bagian masalah dalam karangan
argumentatif kelompok A.E. diberikan di bawah ini
(terjemahan bebas dari karangan tersebut ke dalam bahasa
Indonesia diberikan pada bagian lampiran):

Karangan A.E.2
Sections Functions T-unit
[Dialogue] [Monologue]

-Masalah -Klaim utama (1) There are numerous reasons why


smoking should be banned in public
places due to the ill effects of passive
smoking.

-Pembenaran (2)Whereas individuals have the choice as


to whether they smoke or not (3)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 117

passive smokers have no choice. (4)


They suffer the ill effects of smoking
of whether they like it or not.
(5)These passive smokers have no
choice in the matter. (6) If somebody
nearby is smoking, they are bound to
inhaling the smoke as they must
breathe.

-Induksi (7) I think it is extremely unfair for


an innocent person to suffer bad
health due to someone else‟s
smoking.

-(Refutation) -Sub-klaim 1 (8) I have no argument


against anybody
ruining their own
lungs by smoking
cigarettes, (9) each
individual has that
choice, (10) but
once somebody
makes up their mind
not to smoke, (11)
clearly it is unfair to
suffer smoking‟s ill
effects. (12)
Especially, when
there is nothing they
can do about it.

-Pembenaran (13) There are no preventive


measures.

-(Bantahan) -Sub-klaim 2 (14) Some people might


argue that the non-
smoker should leave or
vacate the area.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 118

-Pembenaran (15) Again, this is unjust,


why should a non-smoker
be forced to leave a
public place?

-Solusi (16) It is reasonable for a smoker to


enter a public area but not for that
person to smoke there. (17) At
home, in the car or in any other
private place, the smoker is free to
smoke. (18) For example, if you are
travelling in a friend‟s car and
she/he lights a cigarette, it is that
person‟s privilege to smoke since it
is his/her car. (19) He/she can do as
he/she wishes. (20) In this case the
smoker has the right. (21) But, in
public, the smokers should not have
the right since the act they are
engaging in affects other people.

-Kesimpulan (22) Therefore, many strong


reasons exist supporting the
argument that smoking should be
banned in public places due to the
ill effects of passive smoking. (23) It
is simply unjust for the people to
suffer smoking‟s undesirable effects
when they do not wish to. (24)
Smoking is a dangerous habit and a
health hazard. (25) It surely must be
limited to private places only.
Catatan: Nomor dalam karangan di atas mengacu pada
nomor T-unit.

Sebaliknya karangan kelompok I.I. cenderung


hanya memiliki klaim tunggal yang diikuti oleh
pembenaran dan induksi. Satu contoh pola umum bagian

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 119

masalah dari karangan kelompok I.I. diberikan di bawah


ini:

Bagian Fungsi T-units


[Dialog] [Monolog]

-Pengantar (1) Di jaman moderen sekarang ini,


kemajuan teknologi semangkin meningkat.
(2) Berbagai mesin dan peralatan
diciptakan untuk memenuhi tuntutan
masyarakat yang senantiasa berkembang.
(3) Begitu juga dengan perusahaan rokok
yang senantiasa berkembang. (4) Aneka
macam rokok diciptakan dan mendapat
perhatian khusus dari para pengusaha. (5)
Harus kita akui bahwa merokok
merupakan salah satu kebutuhan manusian
yang tidak dapat ditinggalkan oleh
kalangan masyarakat tertentu karena
merokok dapat menenteramkan dan
menyenangkan diri. (6) Inilah salah satu
pendapat sebagian masyarakat yang sudah
tergantung dengan rokok. (7) Jika kita
analisis pendapat di atas maka hal tersebut
justru bertolak belakang adanya karena
rokok dapat menimbulkan bermacam
penyakit, terutama penyakit dibagian
dalam seperti paru-paru dan lain
sebagainya. (8) Berbagai usaha dikerahkan
untuk mendapatkan rokok; (9) bahkan ada
yang sampai nekat mencuri karena mereka
sudah begitu tergantung dengan rokok
yang justru akan membahayakan diri
mereka sendiri.

-Masalah -Klaim utama (10) Rokok juga dapat membahayakan diri


orang lain yang kebetulan menghisap asap
rokok yang keluar dari mulut atau hidung

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 120

perokok atau yang dari rokok yang sedang


terbakar.

-Pembenaran (11) Kalangan medis pernah melakukan


penelitian mengenai bahaya merokok
terutama di tempat-tempat umum. (12)
Kadar nikotin yang ditimbulkan oleh si
perokok lebih kecil terhisap oleh si
perokok itu sendiri dibandingkan dengan
yang terhisap oleh orang yang berada di
dekat si perokok (perokok pasif). (13) Hal
ini seing kita jumpaidi dalam taksi atau
ruangan tertentu dimana orang banyak
sering berada.

-Induksi (14) Jadi harus kita sadari bahwa rokok


sangat berbahaya bagi si perokok atau
orang yang secara tidak langsung
menghirup asap rokok tersebut.

-Solusi (15) Maka untuk itu marilah kita


mengubah perilaku kita yang terbiasa
merokok di tempat-tempat umum.
Catatan: Nomor pada karangan di atas mengacu pada
nomor T-unit.

Contoh-contoh di atas menunjukkan perbedaan yang


signifikan antara pola retorika karangan argumentatif dalam
bahasa Inggris (A.E.) dan karangan dalam bahasa Indonesia
(I.I.) terutama dari sudut pandangan analisis dialog dan
monolog. Dibandingkan penulis Indonesia, penulis bahasa
Inggris menggunakan lebih banyak ide untuk mendukung
posisi mereka dan melemahkan posisi oposisi mengenai isu
atau topik yang kontroversial dalam karangan mereka
dengan tujuan mempengaruhi dan membujuk pembaca.
Secara logis, semakin banyak ide relevan yang digunakan
untuk meyakinkan pembaca dalam karangan argumentatif

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 121

maka semakin persuasiflah karangan tersebut. Tapi kualitas


ide-ide pendukung tersebut juga berpengaruh pada
kemampuan persuasif dari sebuah karangan argumentatif.
Kualitas karangan argumentatif ini bisa dilihat antara lain
dari relevansi sub-klaim dengan klaim utama,
keterpercayaan pembenaran yang diajukan, dan variasi
teknik yang digunakan seperti penggunaan analogi, ilustrasi
dan contoh-contoh nyata.
Penggunaan sub-bagian induksi (induction) dalam
kedua kelompok karangan ini juga berbeda dimana sub-
bagian induksi lebih sering dijumpai dalam kelompok
karangan AE. Beberapa contoh sub-bagian induksi dalam
karangan kelompok A.E. diberikan di bawah ini
(terjemahan bebasnya ke dalam bahasa Indonesia diberikan
dalam cetak tebal):

“I think it is extremely unfair for the innocent person to


suffer bad health due to someone else‟s smoking.”
(A.E.2)

Saya kira sangat tidak adil bila orang yang tidak


bersalah ikut menderita karena orang lain yang
merokok.

“So, when the non-smokers inhale the exhaled smoke,


they run a bigger risk of getting lung cancer or other
cigarette related diseases than the smokers themselves
do.” (A.E.7)

Jadi, bila orang yang tidak merokok menghirup asap


rokok dari orang lain maka mereka akan beresiko
lebih besar mengidap penyakit yang disebabkan oleh
asap rokok tersebut dari pada si perokok itu sendiri.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 122

“Why should we put the life of non-smokers at risk for


the sake of a bad habit of smokers?” (A.E.1)

Kenapa kita harus membahakan kehidupan orang


yang tidak merokok hanya demi kebiasaan perokok?

Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar


mahasiswa Australia (penulis karangan AE) menyadari arti
penting dari induksi dalam sebuah karangan argumentatif
sebagai bagian dari proses berargumen. Birk dan Birk
(1967:316) menyarankan bahwa pembaca yang kritis akan
mengajukan dua pertanyaan dalam membaca dan menilai
kualitas sebuah karangan argumentatif:

1) “Is the evidence good?” (Apakah bukti yang


diajukan bagus?) dan
2) “Is the reasoning sound?” (Apakah alasannya
dapat diterima?).

Menurut Birk dan Birk, pembaca akan menggunakan


pengetahuan logika mereka terutama untuk menjawab
pertanyaan kedua; yaitu untuk menilai apakah hubungan
antara klaim dan pembenaran dan hubungan logis ini
dinyatakan dalam sub-bagian induksi.
Walaupun bersifat sementara (tentative), beberapa
kesimpulan penting dapat diambil dari hasil penelitian ini.
Pertama, dari sudut pandang pola teks secara makro atau
analisis teks monologis, teks II (karangan berbahasa
Indonesia yang ditulis oleh penutur bahasa Indonesia)
berbeda dengan teks AE. (karangan berbahasa Inggris yang
ditulis oleh penutur bahasa Inggris), terutama dari segi
frekuensi penggunaan dan panjang bagian pengantar

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 123

(introduction) serta frekuensi penggunaan bagian bantahan.


Kedua, dari segi pola teks secara mikro atau analisis teks
dialogis, perbedaan yang berarti antara kedua kelompok
karangan tersebut adalah pada frekuensi penggunaan sub-
klaim. Frekuensi penggunaan kedua sub-bagian lain dari
analisis monologis (penggunaan klaim dan pembenaran)
relatif sama antara kedua kelompok karangan tersebut.
Yang terakhir, pola retorika karangan argumentatif
dalam bahasa Indonesia dan dalam bahasa Inggris berbeda
karena perbedaan budaya dan aturan (konvensi) penulisan
karangan akademik. Oleh karena itu, mahasiswa Indonesia
yang belajar bahasa Inggris, terutama yang bertujuan
akademik (English for Academic Purposes), perlu
mempelajari pola retorika yang dapat diterima dan disukai
dalam karangan argumentatif berbahasa Inggris agar
karangan mereka dapat lebih dipahami oleh penutur bahasa
Inggris (English Native Speakers). Begitu juga sebaliknya,
penutur bahasa Inggris juga harus mempelajari pola
retorika karangan argumentaif yang dapat diterima dalam
karangan bahasa Indonesia apabila mereka menulis dalam
bahasa Indonesia.

5.3. Model Analisis Teks Masalah-Solusi:


Contoh Teks Humor

Humor terdapat dalam semua kalangan masyarakat di dunia


ini, karena humor juga mengungkapkan aspek-aspek
sosiologis (Goldstein dan McGhee, 1972) yang terjadi
dalam humor (joking). Humor juga berkaitan dengan
psikologi karena humor tercipta akibat dari adanya
semacam tekanan (depresi) dalam jiwa manusia. Rasa

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 124

jengkel, marah, sombong, terhina dapat bermuara pada


humor (Yunus, dan kawan-kawan, 1997; Suhadi, 1989).
Meski humor memiliki target pada kelucuan,
kenyataannya tidak semua cerita lucu dapat dikisahkan
dengan baik sehingga dapat menimbulkan tawa.
Penceritaan yang tidak mengena tidak akan membuat orang
tertawa, meski cerita tersebut merupakan cerita lucu. Jadi,
sebagian besar kelucuan tidak ditimbulkan oleh topik/tema
cerita dan isi cerita, melainkan pada gaya penceritaan
(retorika). Retorika merupakan pengkajian pola/gaya
penceritaan yang terkait secara budayawi.
Belum pernah ada yang mengajarkan atau
menuliskan bagaimana cara menceritakan humor,
khususnya humor dalam wacana Indonesia. Orang
cenderung berpendapat bahwa menceritakan humor
merupakan bakat. Namun, sebagaimana halnya dengan
keahlian berpidato yang semula dianggap bakat dan
kemudian malah dapat dipelajari, demikian juga halnya
dengan menceritakan humor. Menceritakan humor adalah
bagian retorika yang dapat dipelajari. Untuk dapat
dipelajari, humor perlu dideskripsikan. Deskripsi yang
memadai bertolak dari wujud humor sebagai wacana.

Tinjauan Teoritis Struktur Generik Teks Humor

Struktur generik teks narasi adalah orientasi, komplikasi,


dan resolusi. Humor sebagai salah satu jenis karya bahasa
narasi memiliki unsur generik yang sama. Struktur generik
tersebut adalah model yang dikembangkan oleh Labov
(1972):

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 125

Abstrak

Orientasi

Perumitan Peristiwa

Resolusi

Kode

Bagan 10: Pola Generik Teks Narasi

Abstrak adalah pernyataan singkat mengenai cerita:


(misalnya, Saya akan bercerita tentang kejadian
memalukan Sabtu kemarin). Orientasi merupakan
penetapan waktu, tempat, dan karakter cerita yang perlu
diketahui oleh pembaca/pendengar (misalnya, Kamu tahu
guru baru di sekolah kita, dua hari yang lalu dia ....).
Perumitan peristiwa merupakan peristiwa utama yang
membuat peristiwa tersebut terjadi (misalnya, Komputer
kita terbakar) Resolusi adalah bagaimana suatu peristiwa
terselesaikan (misalnya, dia mendapat kompensasi dua juta
rupiah). Sedangkan kode adalah semacam jembatan antara
dunia penceritaan dan mengenai momen penceritaan
(misalnya, dan sejak itu, saya selalu muak jika melihat
duren).
Tidak semua cerita memiliki rumusan seperti di
atas, biasanya yang tidak ada adalah abstrak dan kode,
sedangkan unsur lainnya harus ada agar dapat dikatakan
sebagai sebuah cerita yang dapat dipahami. Disamping
kelima unsur di atas, ada pula istilah „evaluasi.‟ Evaluasi
terkandung dalam setiap tahapan unsur naratif. Disini,

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 126

evaluasi dimaksudkan agar cerita menjadi lebih menarik


untuk dibaca atau didengarkan, misalnya ungkapan
langsung, “kamu pasti senang mendengar yang satu ini,
„saya kaget sekali‟, „dia melompat bagai kilat ... wuzzz!‟
Penamaan unsur evaluasi mungkin belum begitu sesuai
untuk menggambarkan hal tersebut. Swan (dalam
McCarthy, 1996) mengusulkan untuk menggantinya
dengan istilah „validasi‟ yang mungkin lebih baik dari
istilah „evaluasi‟ (komunikasi personal). Untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas, bandingkanlah
dengan struktur generik yang telah dibahas dalam
Pengajaran Berbicara yaitu: Pendahuluan/Pengantar,
Orientasi, Peristiwa, Komentar, dan Kesimpulan.

Analisis Struktur Generik Humor

Berikut ini adalah beberapa contoh teks (humor) beserta


model analisis unsur generiknya.
Contoh: 1
(K1) Dalam sebuah seminar dibicarakan
mengenai asal usul manusia. (K2) Para peserta
seminar terlihat dalam perdebatan yang seru,
masing-masng berusaha mempertahankan
pendapatnya. (K3) Kelompok I dengan dalil
yang mendukung teori evolusi Darwin, bahwa
manusia berasal dari kera. (K4) Kelompok II
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk
paling sempurna dan merupakan keturunan
Adam dan Hawa.

(K5) Karena perdebatan terus berlangsung


seru tanpa ada kesimpulan yang pasti, maka
sang moderator mengetukkan palunya untuk

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 127

menghentikan perdebatan itu seraya berkata.


“Baiklah, Saudara-saudara, saya akan
mencoba mengetengahi. (K6) Tapi sebelumnya,
pertama-tama saya persilakan Anda yang
merasa dirinya sebagai manusia asli duduk di
sebelah kanan saya. (K7) Dan bagi mereka
yang merasa dirinya keturunan kera, silakan
mengisi kursi di sebelah kiri saya”. (K8) Maka
suasana menjadi riuh sejenak karena para
peserta langsung berpindah ke kanan semua
dan kursi yang sebelah kiri kosong sama sekali.

Kode K1 s/d 8 dalam teks di atas menunjukkan nomor dan


jumlah kalimat dalam teks tersebut. Teks humor di atas
tidak memiliki bagian abstraksi, tetapi langsung ke bagian
orientasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, orientasi
merupakan penetapan waktu, tempat dan karakter cerita
yang perlu diketahui pembaca/pendengar. Dalam teks di
atas, yang dianggap sebagai unsur generik dari orientasi
adalah bagian teks:

(K1) Dalam sebuah seminar dibicarakan mengenai


asal usul manusia....

Bagian teks di atas yang diklasifikasikan sebagai unsur


generik Perumitan Peristiwa adalah:

(K2) Para peserta seminar terlihat dalam


perdebatan yang seru, masing-masng berusaha
mempertahankan pendapatnya. (K3) Kelompok I
dengan dalil yang mendukung teori evolusi Darwin,
bahwa manusia berasal dari kera. (K4) Kelompok

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 128

II mengatakan bahwa manusia adalah makhluk


paling sempurna dan merupakan keturunan Adam
dan Hawa.

Sementara bagian teks selanjutnya (K5 s/d K 8) dapat


diklasifikasi sebagai unsur generik Resolusi. Bagian teks
tersebut disajikan kembali di bawah ini:

(K5) Karena perdebatan terus berlangsung seru


tanpa ada kesimpulan yang pasti, maka sang
moderator mengetukkan palunya untuk
menghentikan perdebatan itu seraya berkata.
“Baiklah, Saudara-saudara, saya akan mencoba
mengetengahi. (K6) Tapi sebelumnya, pertama-
tama saya persilakan Anda yang merasa dirinya
sebagai manusia asli duduk di sebelah kanan saya.
(K7) Dan bagi mereka yang merasa dirinya
keturunan kera, silakan mengisi kursi di sebelah
kiri saya”. (K8) Maka suasana menjadi riuh
sejenak karena para peserta langsung berpindah
ke kakan semua dan kursi yang sebelah kiri kosong
sama sekali.

Teks di atas juga tidak memiliki unsur generik Kode.


Sebagaimana dijelaskan di atas, sebagian besar teks humor
hanya memiliki unsur generik Orientasi, Perumitan
Peristiwa, dan Resolusi. Ketiga unsur ini merupakan unsur
wajib (compulsory) dalam sebuah narasi termasuk humor,
sedangkan unsur Abstraksi dan Kode hanya merupakan
unsur tambahan (peripheral). Dengan kata lain, sebuah teks
narasi seperti humor akan sulit dipahami atau dianggap
belum selesai bila ketiga unsur wajib (Orientasi, Perumitan
Peristiwa, dan Resolusi) tersebut tidak dicakup dalam teks

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 129

narasi tersebut. Namun demikian, teks narasi terse-but akan


terasa lebih lengkap apabila kedua unsur penunjang
(peripheral), Abstrak dan Kode, juga ada.
Unsur lain dalam sebuah teks narasi, seperti yang
dijelaskan di atas, adalah Evaluasi. Tujuan pencakupan
unsur tersebut adalah untuk membuat humor menjadi lebih
menarik. Karena sifatnya sebagai pelengkap, maka unsur
Evaluasi dapat muncul dalam setiap unsur lain dalam
sebuah humor. Namun, dalam contoh teks di atas, unsur
generik Evaluasi tidaklah ada.

Contoh Humor Dengan Unsur Generik Lengkap

Walaupun agak jarang, beberapa teks humor memiliki


unsur generik teks lengkap (Abstrak, Orientasi, Perumitan
Peristiwa, Resolusi, dan Kode). Di bawah ini adalah sebuah
contoh teks humor dengan unsur generik yang lengkap:

Contoh: 2
(K1) Walau sudah merasa bosan, petang itu untuk
kesekian kalinya si Kliwon bertengkar dengan
istrinya. (K2) Persoalannya waktu baru dari kantor
dan mengganti baju kemeja, istrinya menemukan
dua helai sobekan karcis bioskop.

(K3) „Sialan, kau nonton dengan siapa?‟ tanya


istrinya geram.

(K4) „Nonton apa?„ Sengaja Kliwon balik bertanya.


Lupa dengan karcis yang berada di dalam kantong
baju.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 130

(K5) „Peduli nonton apa!‟ Kata istrinya, kian


marah. „Nonton bola kek. Nonton lenong, kek ...!‟
tambahnya.

(K6) „Aku tadi memang nonton bola bersama


teman-teman, siaran televisi di kantor ...‟ si Kliwon
berdusta.

(K7) ‟Nonton televisi di kantor? Mengapa pakai


karcis bioskop?‟ Kata istrinya, sementara dua jari
tangannya menjepit sobekan karcis bekas dari
kantong baju si Kliwon tadi.

(8) ‟Oh, itu tadi bekas majikanku yang nonton


bioskop ...‟ Masih si Kliwon berusaha membela diri.
(K9) Tetapi ternyata sia-sia. (K10) Perang mulut
terus terjadi. (K11) Tak berkesudahan walau
sampai habis halaman sebuku humor ...

Unsur generik Abstraksi dalam teks humor di atas adalah


K1, sementara unsur Orientasinya adalah K 2 s/d K6. K7
dalam teks humor di atas diklasifikasikan sebagai unsur
Perumitan Peristiwa, sedangkan K8 adalah unsur Resolusi.
Unsur Kode dalam teks di atas adalah K9 s/d K11.
Terdapatnya semua unsur generik dalam teks di atas
menunjukkan bahwa teks humor di atas memiliki unsur
teks yang lengkap. Unsur-unsur generik yang membentuk
teks humor di atas dapat pula digambarkan melalui bagan
berikut:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 131

Abstrak (K1)

Orientasi (K2 s.d. K6)

Perumitan Peristiwa (K7)

Resolusi (K8)

Kode K9 s.d. K11)

Bagan 11: Pola Teks Humor

Bila teks humor yang kurang lengkap (contoh: 1)


dan yang tidak lengkap (contoh: 2) dibandingkan ternyata
efek kelucuannya tidak jauh berbeda. Dengan kata lain,
keberadaan unsur abtraksi dan kode tidak banyak
berpengaruh terhadap efek kelucuan dari sebuah teks
humor. Yang lebih berpengaruh adalah substansi atau isi
dari humor tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Trianto (2000)
menunjukkan bahwa dari 37 teks humor yang diteliti
(lengkap dan tidak lengkap), teks humor yang lengkap
(yang memiliki keseluruhan atau lima unsur generik)
dianggap kurang lucu oleh responden penelitian, sementara
teks humor yang kurang lengkap (yang hanya memiliki tiga
unsur generik wajib) malah dianggap sangat dan cukup
lucu. Trianto juga menemukan bahwa sebagain teks humor
dalam data penelitiannya hanya memiliki tiga unsur generik
wajib yaitu, Orientasi, Perumitan Peristiwa, dan Resolusi.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 132

Contoh Humor Dengan Unsur Generik Tidak Lengkap

Sebagaimana dijelaskan di atas, sebuah teks humor harus


memiliki tiga unsur geneik penting yaitu: Orientasi,
Perumitan Peristiwa, dan Resolusi. Dengan kata lain,
apabila sebuah teks humor tidak memiliki ketiga unsur
generik tadi, maka efek kelucuan humor tersebut akan
berkurang. Di bawah ini adalah sebuah contoh teks humor
yang hanya memiliki dua unsur generik yaitu: Orientasi dan
Resolusi

Contoh 3:
(K1) Seekor anjing putih bertanya kepada anjing
hitam. Anjing putih: (K2) ‟Kenapa sih dua orang itu
berkelahi?‟Anjing hitam: (K3 )‟Wah, soalnya sih
sepele, ketika salah seorang mulai meneriakkan
nama kita maka berkelahilah mereka.‟

Dalam contoh teks di atas, kalimat pertama (K1)


merupakan unsur teks Orientasi, sedangkan kalimat kedua
dan ketiga (K2 dan K3) merupakan unsur Resolusi. Dengan
kata lain, teks humor di atas tidak memiliki unsur penting
Perumitan Peristiwa. Namun, walau terasa tidak lengkap
teks humor di atas masih memiliki efek kelucuan. Hal ini
disebabkan pembaca mampu memahami unsur Perumitan
Peristiwa yang tidak ada (ellips), karena dalam budaya atau
kebiasaan di Indonesia apabila seseorang memanggil orang
lain dengan kata „anjing‟ akan dianggap sebagai suatu
penghinaan yang dapat menimbulkan kemarahan dan dapat
memicu perkelahian. Apabila dalam suatu budaya, aspek
tersebut tidak ada atau orang tidak biasa menghina orang
lain dengan menggunakan kata „anjing‟ maka orang yang

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 133

dihina tersebut tentu tidak akan merasa tersinggung.


Apabila seseorang membaca teks humor seperti pada
contoh di atas, maka orang tersebut tentu tidak akan
mengerti atau merasa bahwa teks humor tersebut sebagai
sesuatu yang lucu.
Karena teks humor sangat bergantung pada budaya
dimana teks tersebut diciptakan dan digunakan, maka untuk
memahami sebuah teks humor dalam suatu bahasa, seorang
pembaca atau pendengar juga harus mengerti budaya yang
hidup dalam bahasa tersebut. Apabila pembaca atau
pendengar tersebut tidak memahami budaya yang
melatarbelakangi sebuah teks humor, maka ia akan
mengalami kegagalan dalam memahami efek kelucuan dari
teks humor tersebut.

Pola Umum Retorika Teks Humor

Seperti terlihat pada tiga contoh teks humor di atas, urutan


unsur-unsur generik teks tersusun dengan rapi; artinya tidak
terdapat pengulangan unsur atau suatu unsur generik yang
muncul dua kali. Unsur-unsur generik teks humor pada
contoh di atas selalu berurutan mulai dari Abstrak (kalau
ada) lalu diikuti oleh Orientasi, Perumitan Peristiwa,
Resolusi, dan kemudian oleh Kode (kalau ada). Tidak
terdapat teks dengan urutan unsur-unsur generik yang
berbeda, misalnya yang dimulai dengan Kode dan diakhiri
dengan Abstrak (flash-back).

Penggunaan Teks Humor Untuk Pengajaran Bahasa

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 134

Sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini, humor


bersifat universal; artinya humor ada dalam setiap bahasa
dan budaya, serta sesuatu yang dianggap lucu oleh
sekelompok masyarakat (language community) tertentu
juga dianggap lucu oleh kelompok masyarakat lain asalkan
masyarakat tersebut memahami budaya yang
melatarbelakangi teks humor tersebut. Dengan kata lain,
apabila pembaca atau pendengar gagal memahami atau
salah memahami unsur budaya yang melatarbelakangi
sebuah humor, maka pembaca atau pendengar tersebut
tidak akan memahami humor yang didengar atau dibacanya
atau ia akan salah paham (misunderstand), sehingga
menimbulkan efek lain seperti tersinggung atau marah.
Penggunaan humor dalam pengajaran bahasa,
terutama untuk mata pelajaran membaca (reading) dan
mendengar (listening) sangatlah disarankan, karena teks
humor merupakan suatu teks yang menarik untuk dibaca
atau didengar. Karena memang menarik, membaca atau
mendengarkan teks humor akan membangkitkan motivasi
siswa dalam mempelajari suatu bahasa atau memiliki
keterampilan menggunakan suatu bahasa. Namun, agar
siswa memahami dan menangkap efek kelucuan dalam teks
humor tersebut, mereka harus diberi penjelasan terlebih
dulu mengenai aspek-aspek budaya (kebiasaan) yang
melatarbelakangi teks humor tersebut. Hal lain yang perlu
diajarkan pada siswa adalah pola retorika (rhetorical
structure) dari sebuah humor atau unsur-unsur generik
yang sering terdapat dalam sebuah humor beserta tujuan
komunikatif unsur-unsur tersebut. Dengan adanya
pengetahuan mengenai retorika humor dan latar belakang
budaya humor, siswa akan sangat terbantu dalam
memahami teks humor yang mereka baca atau dengar.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 135

Teks humor memiliki unsur-unsur generik yang


sama dengan teks narasi yaitu: Abstrak, Orientasi,
Perumitan Peristiwa, Resolusi, dan Kode. Tiga dari lima
unsur generik tersebut (Orientasi, Perumitan Peristiwa, dan
Resolusi) merupakan unsur wajib (compulsory), sementara
dua unsur lainnya (Abstrak dan Kode) merupakan unsur
tambahan (peripheral).
Tingkat kelucuan suatu teks tidak ditentukan oleh
kelengkapan unsur generik teks humor, melainkan oleh
kualitas isi (content) dari teks tersebut, yaitu nilai ketidak-
terdugaan peristiwa dan solusi yang digambarkan dalam
teks humor tersebut. Namun, apabila sebuah teks humor
tidak memiliki salah satu unsur generik wajib dan pembaca
atau pendengar gagal menebak atau memahami unsur yang
tidak ada tersebut, teks humor tersebut tidak akan terasa
lucu atau sulit dipahami.
Humor merupakan bahan pelajaran bahasa yang
sangat menarik terutama untuk mata pelajaran membaca
dan menyimak, sehingga dapat meningkatkan motivasi
belajar bahasa dari siswa. Namun agar siswa dapat
menangkap efek kelucuan dalam sebuah teks humor,
mereka harus memahami latar belakang budaya dimana
teks humor tersebut ditulis dan dipergunakan.

5.4. Model Analisis Teks Triad: Contoh Teks Editorial


Surat Kabar3

Salah satu jenis media tulis yang lazim dibaca oleh banyak
orang setiap harinya adalah surat kabar atau Koran, karena

3
Tulisan ini pernah diterbitkan dalam Jurnal Linguistika Vol 8 No.15
Tahun 2001.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 136

koran menyajikan berita-berita terbaru yang menjadi


perhatian dan kebutuhan banyak orang. Surat kabar
biasanya menyajikan beberapa jenis tulisan yang berbeda,
seperti berita (news), artikel (essay), pemberitahuan
(announcement), iklan (advertisement), surat pembaca
(letters from the readers), dan ulasan atau tajuk rencana
(editorials). Dalam tulisan ini, yang akan dianalisis adalah
pola retorika tajuk rencana. Tidak ada alasan ilmiah khusus
yang mendasari pemilihan jenis tulisan ini sebagai obyek
studi kecuali atas dasar pertimbangan ukuran panjang
tulisan yang relatif singkat sehingga layak (managable)
untuk dianalisis.
Tujuan utama analisis teks (TR Kompas) ini adalah
untuk mengetahui apakah model analisis pola retorika
„triad, yang diusulkan oleh Bolivar (1994), untuk
menganalisis „newspaper editorials‟ yang diterbitkan
dalam koran berbahasa Inggris. Pertanyaan utama yang
diajukan adalah, “Apakah pola triad ini dapat dipakai untuk
menganalisis pola retorika tajuk rencana (editorials) pada
surat kabar dalam bahasa Indonesia?”. Disamping itu,
tulisan ini juga bermotivasi untuk membuktikan hipotesis
bahwa tidak semua pola retorika yang terdapat dalam suatu
jenis karangan dalam bahasa Inggris juga terdapat dalam
karangan dengan jenis yang sama namun dalam bahasa
lain, seperti yang ditemukan oleh Kaplan (1966), Ahmad
(1997), Golebiowski (1997), Clyne (1983), dan Safnil
(2000).

Model Analisis Pola Wacana „Triad‟

Model analisis teks yang sering dipergunakan untuk


menganalisis editorial surat kabar dalam bahasa Inggris

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 137

adalah model “triad” atau analisis tiga bagian (three parts


analysis), seperti yang disarankan oleh Bolivar (1994).
Menurut Bolivar, sebuah teks (tajuk rencana) yang
dinamakan „artifact‟ terdiri dari beberapa bagian
(movement) dan setiap bagian terdiri dari satu triad atau
lebih, sedangkan setiap triad terbentuk dari segmen-
segmen berbeda yang lebih kecil yang dinamai turn (yaitu,
Lead, Follow, dan Valuate). Setiap triad memiliki fungsi
yang berbeda seperti Situasi (Situation), Pengembangan
(Development), atau Rekomendasi (Recommendation). Bila
digambarkan dalam bentuk bagan pola teks, menurut
Bolivar, akan berbentuk seperti pada bagan di bawah ini.

Teks

Bagian 1 Bagian 2 Bagian 3

Triad 1 Triad 2 Triad 3

Bagan 12: Pola Retorika Triad


(Dari Bolivar, 1994:280)

Seperti terlihat pada bagan di atas, sebuah teks (artifact)


memiliki satu bagian (movement) atau lebih. Sebuah bagian
minimal terdiri dari satu triad, sedangkan satu triad
terbentuk dari minimal tiga segmen yang disebut turn,
dimana turn dibagi kedalam tiga jenis, yaitu Lead, Follow,
dan Valuate. Namun, berbeda dengan triad yang memiliki
fungsi-fungsi yang berbeda, Bolivar tidak menyarankan
fungsi yang berbeda terhadap bagian (movement), kecuali

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 138

hanya pada urutan dari bagian-bagian tersebut (yaitu,


bagian A, B, C, dst.) pada sebuah teks.
Bolivar memberi contoh sebuah triad yang diambil
dari bagian awal editorial surat kabar yang berjudul
„Behind closed Irish doors‟, yang diambil dari koran The
Gurdian, 3 Maret 1981 seperti terlihat berikut ini
(Terjemahan bebasnya diberikan dalam cetak tebal).

Turn Kalimat
Lead (1) Britain and Ireland are now trying, at long last, to
work a less artificial link between them than that which
binds two foreign states.
Negara Inggris dan Irlandia akhirnya mencoba
memperbaiki hubungan mereka menjadi lebih
realistis dari pada hanya hubungan dua negara asing
yang berdekatan.
Follow (2) This is the most hopeful departure of the past decade
because it opens for inspection what had lain concealed
for half a century and goes to the root of the anguish in
Northern Ireland.
Ini usaha awal yang paling memberi harapan dalam
satu dekade terakhir karena langkah ini terbuka
untuk diperiksa apa yang selama setengah abad
belakangan ini ditutup-tutupi dan menusuk masuk ke
akar kemarahan rakyat di Irlandia Utara.
Valuate (3) The two countries now recognize that though they are
independent of one another they cannot be foreign.
Kedua negara tersebut sekarang sama-sama
menerima bahwa walaupun mereka tidak tergantung.

Bagan 13: Pola Internal Satu Triad

Seperti pada contoh di atas, sebuah triad terdiri dari tiga


turn yang berbeda, yaitu: Lead, Follow, dan Valuate
dengan fungsi yang berbeda pula. Menurut Bolivar (1994),
turn L (Lead) berfungsi untuk memperkenalkan topik (the

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 139

aboutness) dari triad tersebut yang biasanya menyajikan


berita atau informasi baru, sedangkan turn F (Follow)
berfungsi untuk merespon berita atau informasi yang
diperkenalkan dalam turn L. Turn ketiga atau terakhir V
(Valuate) berfungsi untuk mengevaluasi berita atau
informasi baru yang disajikan pada turn L dan sekaligus
mengakhiri topik (the aboutness) dari triad tersebut.
Menurut Bolivar lagi, walaupun fungsi evaluasi sering
dilakukan oleh turn V, namun tidak tertutup kemungkinan
bahwa fungsi ini juga terdapat pada turn F seperti pada
contoh di atas. Dengan kata lain, turn F juga bisa berisi
penilaian dari penulis terhadap pernyataan awal (initiation)
yang disajikannya.
Bolivar (1994) lebih lanjut menerangkan bahwa
triad dalam contoh di atas dapat diklasifikasikan sebagai
triad Situasi atau S (Situation) yang biasanya muncul pada
awal dari suatu bagian (movement) dari sebuah teks (yaitu,
editorial atau tajuk rencana) dan berfungsi untuk
menerangkan suatu kejadian masa kini (current event) yang
sedang dievaluasi atau dibahas. Jenis triad lainya adalah
triad Pengembangan atau D (develop-ment) yang biasanya
muncul di tengah-tengah dari sebuah bagian (movement)
teks setelah triad S dan berfungsi untuk mengembangkan
referensi atau memperkenalkan kejadian yang relevan
dengan triad awal (S). Jenis triad terakhir adalah
rekomendasi atau R (Re-commendation) yang biasanya
menempati posisi terakhir dalam sebuah bagian (movement)
teks setelah triad Situasi (S), Pengembangan (D), dan
Rekomendasi (R). Triad R berfungsi untuk menutup
referensi dan evaluasi yang diberikan terhadap suatu
kejadian yang dibicarakan. Namun, menurut Bolivar
(1994), satu bagian (movement) tidak mesti terdiri dari tiga
triad dari jenis yang berbeda; satu bagian bisa saja hanya

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 140

terdiri dari dua jenis triad (S dan D) tanpa ada triad R


(Recommendation), namun jarang sekali ditemukan satu
bagian yang hanya terdiri dari satu triad saja (yaitu Situasi).
Demikian juga halnya dengan pola internal sebuah
triad; sebuah triad bisa terdiri lebih dari tiga turn yang
berbeda (yaitu Lead, Follow, dan Valuate). Misalnya,
sebuah triad memiliki pola L-F-L-f-V atau L-F-L-F-L-F-V
bila penulisan turn V (Valuate) ditunda oleh penulis atau
pengarang guna memberi dukungan atau pembenaran yang
lebih lengkap atau meyakinkan terhadap turn L atau
initiation yang sedang dibahas atau membuat pembaca
menunggu pendapat penulis mengenai topik yang dibahas
atau sebelum Evaluasi diberikan.

Aplikasi Model Analisis Pola Wacana Triad Dalam Teks


Bahasa Indonesia

Model analisis triad dipergunakan untuk mengetahui pola


retorika teks pada bagian Tajuk Rencana (TR) dalam surat
kabar Kompas. Untuk tujuan ujicoba ini, dipilih sebuah
teks (TR) berjudul „Bagi Almarhum Jenderal Nasution
Dalil Lord Acton Tidak Berlaku‟ (Kompas Sabtu, 9
September, 2000). Tidak ada alasan ilmiah khusus yang
mendasari pemilihan koran Kompas sebagai sumber teks
mewakili koran-koran lainnya yang terbit dalam bahasa
Indonesia. Anggapan yang dipergunakan sebagai dasar
pemilihan teks ini hanyalah bahwa Kompas sebagai salah
satu koran tertua dan beroplah besar di Indonesia, sehingga
tentunya Kompas memiliki pola retorika yang lebih standar
dibandingkan dengan teks atau karangan dalam koran-
koran lain yang lebih muda usianya atau lebih kecil
oplahnya. Sementara pemilihan karangan atau teks Tajuk

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 141

Rencana (TR) sebagai obyek analisis dimaksudkan untuk


mengikuti analisis yang dilakukan oleh Bolivar terhadap
bagian editorial koran „The Gurdian‟ seperti diuangkapkan
di atas. Kutipan data seutuhnya diberikan pada bagian
Lampiran. Disamping itu, dengan mengingat bahwa TR
merupakan jenis tulisan yang penting dalam surat kabar,
TR sering diulas oleh penyiar radio atau pembawa acara
televisi.

Gambaran Umum Tentang Teks Yang Dianalisis

Tajuk Rencana (TR) Kompas Sabtu 9 September 2000


membahas tentang peninggalan atau warisan dari Jenderal
Besar A. H. Nasution yang tak ternilai harganya bagi
bangsa Indonesia. Pada bagian awal, penulis TR terlebih
dulu mengungkapkan betapa besarnya nilai moral
peninggalan atau warisan dari Jenderal Nasution bagi
bangsa Indonesia. Di bagian tengah tulisan ini, penulis,
melalui pola interaktif (pola tanya-jawab), menjelaskan
bagaimana Jendral Nasution bisa bertahan pada sifat, sikap,
dan pengabdiannya dalam berbagai kondisi pemerintahan
yang berubah-rubah dan dalam keadaan yang terpinggirkan
oleh kekuasaan. Sedangkan pada bagian akhir, penulis TR
menutup tulisannya dengan mengemukakan secara jelas
dan ringkas bentuk warisan yang ditinggalkan oleh Jenderal
Nasution dan relevansinya terhadap pembanguan
demokrasi di Indonesia. Dengan kata lain, seperti lazimnya
tulisan berbahasa Indonesia (Wahab, 1992), penulis
menunda perkenalan topik tulisan secara utuh sampai pada
akhir karangan, dan memilih untuk memperkenalkan topik
secara tidak langsung. Pembaca dibiarkan bertanya-tanya,
misalnya apa bentuk warisan Jenderal Nasution yang

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 142

dianggap oleh penulis sangat berharga bagi bangsa


Indonesia itu, sampai pada akhir karangan.
Cara tidak langsung yang dipilih penulis, melalui
pembatasan ruang lingkup topik dengan menjelaskan apa
yang tidak termasuk dalam cakupan topik. Misalnya, pada
paragraph 1 (P.1) kalimat 2 dan 3 (K.2 &3), penulis TR
mengatakan, “Warisan itu bukan harta kekayaan. Warisan
itu diantaranya justru karena dia tidak meninggalkan harta
kekayaan bagi keluarganya”. Dengan kata lain, sebelum
penulis menjelaskan apa warisan Jenderal Nasution itu, ia
menjelaskan terlebih dulu apa yang tidak termasuk dalam
warisan Jenderal Nasution.
Ciri khas lainnya dari TR adalah bahwa penulis
memilih memberikan penilaian (evaluation) terhadap topik
tulisan (warisan Jenderal Besar A. H. Nasution) justru
sebelum memperkenalkan topik tulisannya. Penilaian
tersebut, dengan mengatakan bahwa warisan tersebut
“sangat berharga dan relevan (dengan pembangunan
demokrasi di Indonesia)” (P.2); “warisan emas kencana
murni yang bersinar-sinar di langit Indonesia” (P.6); dan
“memberikan bahan refleksi” (P.8).“

Pola Retorika Tajuk Rencana : Aplikasi Model Triad

Di bawah ini adalah teks (Tajuk Rencana Kompas Sabtu, 9


September 2000) yang disajikan secara utuh dengan
bagian-bagiannya (movement), triad beserta fungsi
komunikatifnya (yaitu Situasi, Pengembangan, dan
Rekomendasi), dan turn (yaitu Lead, Follow, dan Valuate)
dari hasil analisis teks yang diajukan.

Bg Tr Tu Kalimat atau Klausa

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 143

I S L (1) Jenderal Besar Abdul Haris Nasution yang


meninggal pada hari Rabu yang lalu,
meninggalkan warisan.

F (2) Warisan itu bukan harta kekayaan (3)


Warisan itu diantaranya justru karena ia tidak
meninggalkan harta kekayaan bagi
keluarganya. (4) Padahal ia pernah berkuasa
bahkan amat berkuasa untuk bertahun-tahun
lamanya.
V
(5) Baginya tidak berlaku pernyataan Lord
Acton, bahwa kekuasaan itu korup dan
kekuasaan secara absolut korup secara absolut
pula. (6) Untuk bangsa Indonesia, juga dewasa
ini, warisan Pak Nas itu sangat berharga dan
amat relevan.
D L (7) Terus terang meskipun kita kini
menempatkan kekuasaan pada sistem
demokrasi yang transparan dan akuntabel,
yang terbuka lagi bertanggung jawab, kita
masih terus menerus cemas, dapatkah kita
menegakkan dan menyelenggarakan
pemerintahan yang baik dan bersih.

F (8) Yakni, pemerintahan yang tidak


berkorupsi, tidak berkolusi, tidak berkroni,
baik kroni lingkungan dan kelompok maupun
kroni keluarga.

L (9) Mengapa kecemasan itu menghantui?

F (10) Sebab, sekarang saja, ketika mantan


Presiden Soeharto yang jatuh karena represi
politik, represi ekonomi dan represi keadilan,
harus dihadapkan ke pengadilan, kita belum
melihat isyarat yang meyakinkan bahwa
kebiasaan, budaya dan paham KKN akan kita
tinggalkan dan terutama akan ditanggalkan
oleh mereka yang punya kekuasaan.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 144

V (11) Dalam kondisi itulah, warisan Jenderal


Nasution yang sama sekali tidak menggunakan
kesempatan kekuasaannya, apalagi
menyalahgunakannya, menjadi warisan emas
kencana murni yang bersinar-sinar di langit
Indonesia. (12) Benar seperti yang dikatakan
oleh semua komentar yang mengantarkan
kepergiannya, yakni Jendral Nasution
merupakan sosok teladan.

L (13) Darimana almarhum menimba kekuatan


dan motivasi untuk bertahan menegakkan
sosok bersih itu?

F (14) Dari visi interpretasi, dan penghayatan


imannya. (15) Dari kesadaran dan
pergulatannya sebagai prajurid pejuang
Saptamarga. (16) Dari motivasinya sebagai
patriot, cinta Tanah Air, cinta alam, dan
penghuni Tanah Air.
L
(17) Warisan dan pengalaman almarhum juga
memberikan bahan refleksi.
F
(18) Diperlukan sosok pribadi yang bersih,
jujur, dan tak terkorupsikan oleh kesempatan,
wewenang, dan kekuasaan.
V
(19) Sosok seperti Pak Nas, apalagi dari
angkatannya terhitung lebih banyak.

R L (20) Mengapa kehadiran dan teladan mereka


tidak sedemikian besar pengaruhnya sehingga
berhasil mencegah bersalahgunanya kekuasaan
sampai mencapai tingkat dan ukuran yang
menempatkan Indonesia pada urutan bawah
dalam aib itu?

V (21) Sosok pribadi amat sangat diperlukan dan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 145

besar peranannya. (22) Tetapi jika akan efektif


dan berskala luas, komitmen daan kebajikan
sosok-sosok pribadi itu harus ditunjang dan
ditempatkan dalam suatu sistem serta institusi
dan perangkat-perangkatnya.
II S L (23) Gambaran dan cita-cita filsuf negarawan
seperti Plato yang berbicara tentang peranan
King-Philosopher, raja dan filsuf, raja dan
negarawan, tidaklah memadai jika tidak
ditempatkan pada sistem dan perangkat yang
menempatkan kekuasaan pada posisi yang
dikontrol, dikoreksi, terbuka serta
dipertanggungjawabkan.

F (24) Sistem dan perangkat itu adalah sistem


politik, sistem ekonomi, dan sistem sosial. (25)
Sistem-sistem itu dikenal sebagai sistem
diktator absolut, sistem otokrasi proletar
(kerakyatan), sistem demokrasi liberal, sistem
demokrasi sosial.
III S L 26) Jenderal Nasution seperti juga Jenderal
TB. Simatupang, serta para pemikir militer
lainnya, terlibat dalam pergulatan bahwa
pergulatan perjuangan untuk menemukan
sistem dan perangkat yang pas dan kena untuk
kondisi nyata Indonesia, sekaligus komitmen
cita-cita dan sejarah perjuangannya.

D L (27) Pada mulanya terutama oleh pemikir sipil,


yang disebut dengan Jalan Indonesia itu lebih
ditafsirkan bukan ini dan bukan itu, bukan
demokrasi liberal dan bukan pula demokrasi
proletar, bukan juga diktator atau otokrasi.

F (28) Sesuai dengan pembawaan militer, jalan


tengah yang dikatakan bukan ini bukan itu,
berkat kontribusi pemikiran militer
diformulasikan menjadi lebih konkret. (29)
Mula-mula secara moderat terutama oleh
Jenderal Nasution diformulasikan dengan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 146

dwifungsi. (30) Kemudian terutama oleh


kalangan militer pragmatis Jenderal Soeharto
dijabarkan dalam Dwifungsi plus kekuatan
politik Golkar serta Birokrasi.

L (31) Bagaimana perkembangan dan hasilnya,

F (32) kita menyaksikan, mengalami bahkan


terlibat dalam pergulatannya.

F (33) Proses dan hasilnya yang salah jadi


membuahkan kontra produksi seperti yang kita
alami kemudian.

V (34) Akan tetapi dalam proses menuju salah


jadi itu, Jendral Nasution tidak bertanggung
jawab.
L
(35) Ia disisihkan dan seperti halnya pada
pemerintahan presiden Soekarno, Pak Nas
menerima status dipinggirkan itu tanpa protes,
tanpa upaya melawan.
F
(36) Apa yang melatarbelakangi sikap Pak
Nas? (37) Pemahamannya sebagai sikap
prajurid Saptamarga yang taat, loyal, dan
menghormati pemerintahan yang sah? (38)
Atau juga sosok pribadinya yang pernah
dilukiskan seperti sikap mendua Pangeran
Hamlet karya pujangga Inggris William
L Shakespeare?

(39) Pada hari-hari menjelang dan setelah


terjadinya peristiwa G 30 S, tokoh dan yang
tampil sebagai pahlawan adalah Jendral Abdul
L Haris Nasution.

(40) Yang ternyata memetik buahnya adalah


F Jenderal Soeharto.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 147

(41) Apapun sirkumstansi serta interpetai-


interpretasinya, menurut faktanya itulah yang
V terjadi. (42) Pak Harto tampil, Pak Nas surut.

(43) Bahkan sejarahpun berulang sekalipun


konteksnya berbeda, yakni Pak Nas
L terpinggirkan dari panggung sentral politik.

(44) Ia tetap mengemban sosoknya yang jujur


dan tanpa pamrih. (45) Ia tetap produktif
berkarya lewat tulisan-tulisannya yang
F bermutu, seperti halnya karyanya tentang
Perang Gerilya.

(46) Akan tetapi sebagai tokoh politik militer


dan pemikir politik, sebagai prajurid
Saptamarga dan patriot, ia terpinggirkan. (47)
Dari posisi dipinggiran itu, ia tidak mampu
mencegah bersalahgunanya perkembangan
dwifungsi dan jalan ke tiga.
R L (48) Dari sisi itulah Pak Nas, seperti halnya
sejumlah tokoh lainnya, sebutlah Ali Sadikin,
disamping kebesarannya juga menyiratkan sisi
tragis.
IV S L (49) Perubahan besar terjadi lagi di Tanah Air
(50) Bukan dari demokrasi parlementer ke
jalan ketiga lewat demokrasi terpimpin,
dwifungsi serta dekabel (runyamnya)
demokrasi Pancasila (de facto otokrasi).

F (51) Perubahan yang masih sempat disaksikan


oleh Pak Nas dari pinggir, justru perubahan
dari otokrasi ke demokrasi. (52) Karena itu,
dwifungsi dan peranan militer surut.
D L (53) Teringatlah kita akan pidato Presiden
Philipina Fidel Ramos di Universitas Nasional
Australia di Canberra tahun 1998.

F (54) Katanya, tanggung jawab orang dibanyak


negara di seantero dunia sekarang, bukan lagi

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 148

mengganti otokrasi dengan demokrasi. (55)


Tanggung jawab itu ialah membuat demokrasi
bekerja, bekerja di kalangan rakyat.
R L (56) Untuk itu, warisan Pak Nas tetap relevan,
yakni warisannya sebagai sosok pemegang
kekuasaan yang tidak korup, (57) warisannya
sebagai pemimpin yang hidup sederhana, (58)
warisannya sebagai prajurit Saptamarga yang
loyal dan patriotik.
Bg = Bagian Tr = Triad Tu = Turn

Bagan 14: Model Analisis Teks Tajuk Rencana Dengan


Pola Analisis Triad

Seperti terlihat pada analisis teks di atas, teks terdiri dari 4


bagian (yaitu I, II, III dan IV). Setiap bagian minimal
memiliki satu triad (Situation). Setiap triad minimal
memiliki satu turn (Lead); sementara pola triad sangat
bervariasi dari satu triad ke triad yang lain. Ada triad yang
hanya terdiri dari satu turn, namun ada juga triad yang
terdiri dari beberapa turn seperti triad Pengembangan
(Development) pada Bagian III. Triad ini terdiri dari 13
turn dengan pola L-F-L-F-V-F-L-F-L-F-V-L-F. Apabila
hasil analisis teks di atas digambarkan pada sebuah bagan,
maka akan terlihat seperti disajikan pada bagan berikut ini:

Teks (TR)

Bag. I Bag. II Bag. III Bag. IV

S D R S S D R S D R

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 149

(L) (L) (L) (L) (L) (L) (L) (L) (L) (L)
(F) (F) (V) (F) (F) (F) (F)
(v) (L) (L)
(F) (F)
(V) (V)
(L) (L)
(F) (F)
(L) (L)
(F) (F)
(V)
(L)
(F)
(V)

Bagan 15: Pola Teks (Tajuk Rencana Kompas)

Seperti terlihat pada bagan di atas, pola teks (TR) sangat


didominasi oleh Triad D (Development). Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, Triad D berfungsi untuk
mengembangkan referensi atau memperkenalkan kejadian
yang relevan dengan Triad awal (S). Dengan kata lain, teks
TR didominasi oleh upaya penulis untuk menjelaskan atau
mendukung pernyataan yang disajikan pada awal sebuah
bagian teks. Selanjutnya, seperti juga terlihat pada Bagan 5,
teks terdiri dari 4 bagian (I, II, III dan IV). Pola ini
merefleksikan empat bagian teks yang umum
dipergunakan, yang diawali oleh Pendahuluan, kemudian
Isi dan Kesimpulan atau Penutup, dimana bagian isi
(content) dipecah menjadi dua bagian untuk memudahkan
pembaca memahami teks.
Hal lain yang menarik diperhatikan adalah bahwa
tidak semua triad memiliki turn V (Valuate); sebagian
besar Triad hanya terbentuk dari Turn L dan F. Salah satu
interpretasi dari fakta ini adalah bahwa penulis teks yang
dianalisis (TR) menganggap Turn V kurang penting

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 150

dibandingkan dengan Turn lain (L dan F). Dengan kata


lain, penulis TR kurang berkeinginan untuk memasukkan
penilaiannya sendiri terhadap pernyataan atau kenyataan
yang disajikan.
Bila dibandingkan dengan pola teks (Editorials:
“Behind The Closed Irish Door”) yang dianalisis oleh
Bolivar (1994), terdapat perbedaan yang cukup berarti.
Pada teks Bolivar, pola setiap Triad agak berimbang,
dimana tidak ada Triad yang terlalu panjang atau yang
terbentuk dari banyak Turn seperti dalam teks (TR). Pada
teks Bolivar, setiap Triad (S, D atau R) terbentuk dari tiga
Turn yang berbeda (L, F dan R), walaupun panjang atau
jumlah kalimat pada setiap Turn tidaklah sama. Pebedaan
ini mungkin disebabkan oleh perbedaan persepsi penulis
mengenai pengetahuan dan/atau kesukaan pembaca.
Sebagaimana yang sering ditemui pada teks ilmiah, penulis
Indonesia cenderung lebih memanjakan pembaca dengan
berbagai cara, seperti dengan mengemukakan fakta
sebanyak mungkin untuk mendukung pernyataan atau
„thesis statement‟ yang sudah diajukan.
Hasil analisis terhadap TR Kompas di atas
menunjukkan bahwa model analisis Triad yang diajukan
oleh Bolivar (1994) dapat dipergunakan untuk menganalisis
pola retorika teks (Tajuk Rencana) pada surat kabar
berbahasa Indonesia. Pola retorika teks (TR) berbahasa
Indonesia berbeda dengan pola retorika Editorials
berbahasa Inggris. Perbedaan yang sangat berarti terdapat
pada bentuk Triad D (Development).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 151

5.5. Ringkasan

Pada Bab 5 ini telah dibicarakan berbagai model analisis


teks beserta contoh dari berbagai bentuk atau tipe wacana
berdasarkan tujuan komunikatif teks tersebut. Namun
model-model ini hanya merupakan salah satu bentuk atau
model alternatif analisis teks yang mungkin dilakukan.
Sangat mungkin terdapat model-model analisis teks lain
yang bisa dilakukan berdasarkan tujuan analisis lain seperti
berdasarkan ciri-ciri linguistik, ciri-ciri kohesi dan
koherensi, pengembangan topik dan lain-lain.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 152

BAB 6

POLA RETORIKA BAGIAN


PENDAHULUAN ARTIKEL
JURNAL PENELITIAN4

B arang kali, bagian artikel jurnal penelitian yang


paling banyak diteliti atau dianalisis adalah bagian
pendahuluan untuk melihat persamaan dan/atau perbedaan
pola retorika bagian tersebut dalam berbagai bidang ilmu
yang berbeda atau dalam berbagai bahasa yang berbeda.
Hal ini antara lain disebabkan karena bagian pendahuluan
tersebut merupakan bagian yang paling awal dibaca oleh
pembaca artikel jurnal dan juga karena bagian ini
merupakan bagian artikel yang paling sulit ditulis.
Pola retorika bagian pendahuluan artikel jurnal
penelitian yang paling sring diujicobakan ketika para
peneliti melihat atau menemukan pola retorika bagian
pendahuluan artikel jurnal penelitian dalam suatu bidang
ilmu dan dalam sebuah bahasa adalah pola yang ditemukan
oleh Swales (1981, 1984, 1988, and 1990). Oleh Swales
pola retorika ini diberi nama dengan CAR (creat a research
space). Pola ini disamping mudah dipahami juga mudah
4
Tulisan ini dalam versi bahasa Inggris pernah diterbitkan dalam jurnal
“The Asian-Pacific Education Researcher‟, Vol. 12, No. 1 Tahun 2003.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 153

digunakan dalam berbagai bidang ilmu dan berbagai


bahasa. (Ahmad 1997).
Melalui pola retorika yang dia beri nama CARS,
Swales (1990) memperkenalkan bahwa bagian
pendahuluan artikel jurnal penelitian mempunyai tiga sub-
bagian (Move) seperti yang disajikan dalam Bagan di
bawah ini.

•Step1: Claiming centrality


Move 1 : • and/or
•Step 2: Making a topic generalization
Establishing • and/or
a territory •Step 3: Reviewing items of previous
research effort

•Step 1A: Counter claiming


Move 2: • or
•Step 1B: Indicating a gap
Establihing • or
a niche •Step 1C: : Question-raising
•Srep 1D: Continouing tradition

Move 3: •Step 1A: Outlining purposes


• or
Occupying •Step 1B: Announcing present research
•Step 2: Announcing principle findings
the niche •Step 3: Indicating RA structure

Bagan 16: Model „CARS‟ Dalam Bagian Pendahuluan


Artikel Jurnal Penelitian (Dari Swales, 1990: 141)

Menurut Swales, model CAR ini lebih mampu dalam


menangkap berbagai tujuan komunkatif penting dalam
bagian pendahuluan artikel tersebut. Tujuan komunikatif
penting tersebut adalah:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 154

a) to establish the significance of the research,


(untuk menyatakan bahwa penelitian yang telah
dilakukan itu penting)

b) to situate the research in terms of its significance,


and
(untuk menempatkan penelitian tersebut dalam
konteks penting tersebut), dan

c) to show how this niche will be occupied and


defended in the wider ecosystem” (p: 140).
(untuk menunjukkan bagaimana celah untuk
penelitian yang tersedia dimanfaatkan dan
dipertahankan oleh peneliti).

Seperti terlihat dalam bagan di atas, setiap sub-bagian


(Move) mempunyai sub-sub-bagian (Step) lagi. Sebagian
sub-sub-bagian tersebut harus ada (compulsary) dan
sebagian lagi boleh ada dan boleh juga tidak (optional).

6.1. Penjelasan Tentang Wilayah Penelitian (Move 1)

Untuk menjelaskan wilayah penelitian dalam model CARS,


peneliti harus menyampaikan tujuan-tujuan komunikatif
berikut ini: pengakuan bahwa topik penelitian menjadi
pusat perhatian para peneliti lain, pernyataan tentang
perkembangan ilmu mutakhir tentang topik penelitian, dan
mengulas temuan-temuan dalam penelitian terkait
sebelumnya. Karena artikel jurnal penelitian merupakan
suatu karya retorika persuasif yang pada umumnya dibagi
ke dalam beberapa bagian, yaitu introduction, methods,
results and discussion atau IMRD (Bazerman, 1984;

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 155

Berkenkotter and Huckin, 1995; Day, 1979; Swales, 1990;


Brett, 1994; and Holmes, 1997). Kemudian dalam setiap
bagian penulis juga berusaha melalukan retorika persuasif
kepada pembaca untuk mencapai tujuan kolektif dari artikel
jurnal penelitian tersebut (Hunston, 1994). Dalam bagian
pendahuluan, menurut Hunston (1994), penulis berusaha
meyakinkan pembaca dengan mengatakan bahwa penelitian
yang telah dilakukan penting dan perlu karna ia mengisi
kekosongan atau kekurangan pengetahuan yang
ditinggalkan oleh peneliti terdahulu. Jadi, dalam setiap
Move penulis berusaha meyakinkan pembaca bahwa
penelitian yang telah dilakukan adalah penting dan berguna
sehingga artikel tersebut perlu dibaca.
Secara umum retorika persuasif dapat dibagi ke
dalam tiga tipe: 1) persuasif secara rasional, 2) persuasif
secara kredibilitas, dan 3) persuasif secara afektif (Connor
and Lauer 1988). Menurut Connor and Lauer, persuasif
rasional meliputi pengelompokkan dan pertentangan;
persuasif kredibilitas mengacu kepada ketertarikan dan
sudut pandang yang sama; dan persuasif afektif
menggunakan emosi pembaca atau pendengar.

6.2. Penciptaan Celah untuk Penelitian (Move 2)

Setelah menjelaskan wilayah penelitian, penulis perlu


menunjukkan celah (gap) yang terdapat dalam penelitian-
penelitian terkait terdahulu atau dalam pengetahuan terkini
tentang sebuah topik dengan tujuan untuk menciptakan
peluang atau alasan yang kuat kenapa penelitian ini penting
dilakukan (Swales, 1990). Retorika ini biasanya dilakukan
dengan melihat kelemahan, kesalahan atau keterbatasan
peneltian-penelitian terkait terdahulu (Swales, 1984).

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 156

Ada empat cara yang dapat dipilih oleh penulis


untuk mengeritik literatur yang ada:

1) menyatakan tidak sependapat dengan hasil penelitian


atau pendapat penulis terdahulu;
2) menyatakan bahwa peelitian-penelitian terkait
sebelumnya kurang atau valid dan reliabel;
3) ingin menjawab pertanyaan yang muncul dari hasil
penelitian terdahulu; dan
4) ingin melihat perkembangan lebih jauh tentang suatu
kasus.

Ciri khusus Move 2 ini, menurut Swales (1984), adalah


penggunaan kuantifier yang negatif atau semi negatif, kata-
kata menidakkan, dan penggunaan tanda-tanda negatif
dalam frasa verba.

6.3. Pemanfaatan Celah Penelitian (Move 3)

Peran Move 3 dalam model CARS adalah untuk


merobah peluang penelitian yang telah disampaikan pada
Move 2 menjadi alasan yang menadasari kegiatan
penelitian yang telah dilakukan (Swales, 1990: 159). Dalam
Move 3 ini, peneliti memberikan solusi atau jawaban
terhadap pertanyaan yang belum terjawab dalam penelitian
terdahulu, atau memberikan perbaikan terhadap kegiatan
penelitian terdahulu atau untuk menjawab pertanyaan
khusus sebagaia kelanjutan dari kegiatan penelitian
terdahulu; oleh sebab itu hubungan antara Move 2 dan
Move 3 sangat erat. Swales menyarankan bahwa Step yang
wajib dalam Move 3 adalah adalah Step 1 yang dapat
berbentuk kalmat seperti dalam contoh di bawah ini:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 157

Step 1A: Penulis menyatakan tujuan khusunya


dalam penelitian tersebut; dan
Step 1B: Penulis menguraikan apa yang dia anggap
menjadi ciri khas dari penelitiannya.

Bila dibandingkan dengan Move 1, pola retorika dalam


Move 3 lebih langsung dan sederhana secara sintaksis
maupun seacara simpler syntactisemantik. Oleh sebab itu
bagian ini sering lebih pendek diobandingkan dengan
bagian-bagian lainnya (Ahmad, 1997). Tujuan komunikatif
utama dari Move 3 ini adalah untuk mengumumkan tujuan
penelitian, ciri-ciri khas penelitian, temuan-temuan penting,
dan struktur artikel penelitian tersebut. Beda dengan Move
1 yang lebih argumentatif dan persuasif, Move 3 lebih lebih
informatif; dan oleh sebab itu, satu ciri khas Move 3 ini
menurut Swales (1990: 159) adalah tidak adanya kutikan
atau referensi.
Swales (1990) lebih lanjut menyarankan bahwa
model CARS butuh validasi tidak hanya pada artikel
penelitian dalam bahasa atau budaya selain Inggris tapi
juga pada artikel penelitian dalam bidang ilmu yang
berbeda dalam bahasa Inggris khususnya tentang
kestandaran pola retorika tersebut. Swales juga telah
membuat pernyataan dengan sangat yakin bahwa pola
retorika bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian dalam
bidang ilmu alam (natural science) dan bidang ilmu sain
murni lebih konvensional atau standar dari pada yang
terdapat dalam bidang ilmu sosial. Ini terjadi antara lain
karena, dalam bidang ilmu sain terdapat konsensus bahwa
tujuan penelitian merupakan hal yang sangat penting
sehingga struktur makro retorika ilmiah mereka lebih

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 158

beraturan dari pada yang terdapat dalam bidang ilmu sosial


dan humaniora.

6.4. Move dan Step dalam Bagian Pendahuluan Artikel


Jurnal Penelitian Berbahasa Indonesia

6.4.1. Move 1 (Penjelasan Tentang Wilayah Penelitian)

Tidak seperti pola retorika artikel jurnal penelitian


dalam bahasa Inggris, pola retorika bagian pendahuluan
dalam bahasa Indonesia dapat dibagi ke dalam dua pola,
yaitu pola langsung dan pola tidak langsung. Pola langsung
terjadi ketika penulis langsung memperkenalkan topik
penelitian atau isu utama penelitian. Cara ini merupakan
pola yang ideal dalam bahasa Indonesia sebagaimana
dianjurkan oleh Rifai (1995) yang mengatakan bahwa
penulis harus langsung memperkenalkan topik atau
masalah penelitian mereka di awal bagian pendahuluan
artikel jurnal penelitian mereka tanpa membahas bahan-
bahan yang tidak terkait atau tidak perlu. Hal yang sama
juga disampaikan oleh Wahab (1992), ketika dia
mengatakaan bahwa pola pengantar langsung dalam artikel
atau tulisan ilmiah sepertinya dipakai oleh penulis
Indonesia dimana mereka harus menyampaikan topik atau
masalah penelitian mereka sejak paragraf pertama.
Dalam pola langsung ini terdapat dua bentuk
retorika yang sering dipakai oleh penulis Indonesia, yaitu:

1) menyampaikan topik penelitian; atau


2) menyampaikan masalah penelitian.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 159

Masing-masing bentuk retorika ini akan dibahas dengan


contoh di bawah ini. (Semua contoh yang disajikan diambil
dari Safnil, 2001).

Contoh 1:
[Prg. 1] Lingkungan kerja memiliki potensi
menyebabkan guru stres. Beberapa temuan penelitian
menunjukkan bahwa guru mengalami stres yang
bersumber dari lingkungan kerjanya (Bork dan
Riding, 1993; Fontana dan Abouserie, 1993; Smith
dan Bourge, 1992). Penelitian Smith dan Bourke,
misalnya, menemukan bahwa 66 persen stres yang
dialami guru sekolah perawat bersumber dari
pekerjaannya. Temuan itu dapat dijelaskan
berdasarkan ciri pekerjaan guru yang bersifat
repetitif. Long dan Kahn (1992) mengemukakan,
pekerja yang melakukan tugas yang bersifat rutin
akan mengalami stres jangka panjang.

Dalam contoh di atas, penuls menyampaikan topik


penelitian pada kalimat pertama dalam paragraf pertama:
lingkungan kerja guru yang dapat menyebabkan guru stres.
Penulis mendukung pernyataan tersebut dengan mereviu
hasil-hasil penelitian atau referensi terdahulu.

Contoh 2:
[Prg. 1] Agresifitas remaja akhir-akhir ini
menunjukkan gejala yang semakin meningkat, baik
dari segi kwantitas maupun dari segi kwalitasnya.
Dulu perilaku agresif remaja yang ditunjukkan
bersifat musiman. Hal ini biasanya berwujud
perkelahian antar remaja yang dilakukan pada saat-
saat tertentu, misalnya pada awal atau akhir semester.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 160

Sekarang ini perilaku agresif mereka seolah-olah


tidak memandang waktu lagi. Ada masalah sedikit
atau sepele saja, segera timbul perkelahian.

[Prg. 2] Dari segi kwalitas, perkelahian remaja


menunjukkan gejala yang semakin meningkat.
Korban yang jatuh tidak sekadar mengalami luka,
akan tetapi menelan korban jiwa. Keadaan semacam
ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan
semua pihak, baik keluarga, sekolah, masyarakat,
maupun pemerintah. Sebab tidak jarang fasilitas
umum banyak yang rusak akibat perkelahian
tersebut.

Dalam contoh di atas, penulis menyampaikan masalah


penelitiannya Peningkatan agresifitas remaja akhir-akhir
dalam paragraf pertama. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menemukan penyebab msasalah tersebut. Hipotesis penulis
adalah terdapat hubungan yang positif antara menonton
filem atau acara televisi kekerasan dengan peningkatan
keagresifan para remaja.
Seperti terlihat dalam kedua contoh di atas, penulis
tidak berusaha memberikan latar belakang informasi,
seperti definisi dan elaborasi tentang istilah-istilah penting;
mereka langsung saja memperkenalkan topik penelitian.
Mungkin mereka berasumsi bahwa pembaca telah akrab
dengan bidang penelitian tersebut. Ciri kas lainnya adalah
bahwa beberapa penulis menggunakan referensi atau
kutipan untuk mendukung pentingnya topik dan/atau
masalah penelitian mereka.
Pola retorika ke dua dari bagian pendahuluan artikel
jurnal penelitian berbahhasa Indonesia adalah pola tidak
langsung; walaupun tidak konvensional (Rifai 1995 and

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 161

Djaali 1994) pola ini sering dipakai oleh penulis Indonesia.


Pola retorikaa tidak langsung ini digunakan ketika penulis
memberikan latar belakang informasi atau informasi yang
diperlukan bagi pembaca agar dapat memahami topik
penelitin yang akan diajukan. Salah satu tujuannya adalah
untuk menyiapkan skemata atau latar belakang
pengetaahuan pembaca agar dapat memahami topik
penelitian dan sekaligus menghindari terjadinya
kesalahpahaman dari pembaca terhadap topik atau masalah
penelitian yang diajukan. Pola retorika serupa juga biasa
ditemukan dalam bahasa Polandia (Duszak, 1994). Menurut
Duszak, penulis akademik Polandia cendrung
mendefinisikan dan mengelaborasi istilah-istilah penting
dalam artikel penelitian mereka untuk mengantisipasi
kesalahpahaman pembaca yang dapat menimbulkan
kritikan. Dengan kata lain, disamping untuk menyiapkan
skemata pembaca, latar belakang informasi juga digunakan
sebagai strategi pertahanan bagi penulis dari pembaca
terhadap serangan mereka karena kesalahpahaman.
Dalam pola retorika tidak langsung, penulis
Indonesia memperkenalkan topic dan/atau masalah
penelitian belakangan; mereka menyajikan atau merujuk
beberapa hal terlebih dahulu dibagian awal seperti:

1) kebijakan pemerentah yang terkait dengan topic


penelitian mereka,
2) uraian tentang ciri-ciri khusus lokasi penelitian,
3) definisi istilah-istilah penting,
4) membuat klaim umum, dan/atau
5) menguraikan sejarah bidang ilmu yang diteliti.

Dalam beberapa artikel lebih dari satu retorika atau


gabungan dari beberapa retorika dapat kita temukan.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 162

Misalnya, artikel tersebut dimulai dengan klaim umum,


kemudian diikuti oleh definisi istilah-istilah penting atau
dimulai dengan definisi istilah penting dan diikuti oleh
uraian sejarah bidang ilmu penelitian.

6.4.2. Riviu Hasil-hasil Penelitian Terdahulu

Sebagaimana dibahas sebelumnya, Swales (1990)


mengklasifikasikan kutipan atau referensi menjadi empat
tipe yang berbeda: Integral Reporting (IR), Nonintegral
Reporting (NR), Integral Nonreporting (INR), dan
Nonintegral Nonreporting (NINR). Dengan cara yang agak
berbeda untuk mengetahui pengarang yang karyanya
dikutip juga terjadi, meskipun dengan sangat jarang dalam
pendahuluan RA bahasa Indonesia. Inilah dimana kedua
nama (nama pertama dan nama kedua) dari pengarang yang
karanya dikutip muncul dalam teks tersebut. Hal ini
diperlihatkan dalam contoh-contoh berikut ini:

Contoh 3:
1) [Prg. 9] (S.6) Onong Uchana (1979: 42) membagi
komunikasi menjadi tiga yaitu: (1) komunikasi
vertikal, (2) komunikasi horizontal, dan (3)
komunikasi eksternal. (ECO. 19)

2) [Prg. 14] (S.3) Hasil-hasil studi menunjukkan


bahwa soal-soal ujian masuk perguruan tinggi
memiliki validitas prediktif (yang Djamaludin
Ancok, 1988) (EDU. 1)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 163

Seperti yang terlihat dalam contoh-contoh di atas, baik


nama pertama maupun nama kedua dari pengarang, Onong
Ucha dan Djamaludin Ancok digunakan dalam referensi
ini. Tehnik ini digunakan baik untuk integral citation
(Contoh 3:1) dan non-integral citation (Contoh 3:2). Rifai
(1995) menyatakan bahwa praktek ini adalah cukup umum
dalam penulisan ilmiah bahasa Indonesia meskipun tidak
standar. Hal itu digunakan karena dalam komunikasi setiap
harinya, seseorang dipanggil hanya dengan nama
pertamanya (tidak pernah dengan nama kedua atau nama
kain), dan hanya bila mereka diacu hanya untuk nama
kedua atau lainnya dalam RA, orang tidak akan
mengetahuinya, dan karenanya, banyak penulis tidak
nyaman untuk menggunakan tehnik pengetahuan tersebut
bahkan dalam penulisan ilmiah.
Suatu temuan yang menarik adalah dalam hal
frekwensi tipe kutipan yang digunakan dalam data untuk
studi ini adalah pada kenyataannya, frekwensi kutipan yang
diklasifikasikan sebagai Non-reporting jauh lebih banyak
dari pada kutipan yang diklasifikasikan sebagai Reporting.
Temuan ini sejalan dengan temuan dari Bazerman (1984)
ketika dia menemukan tendensi dari peralihan dari tipe
kutipan reporting ke non-reporting dalam teks-teks
Physical Review nya. Menurut Swales (1990), tidak seperti
tipe kutipan Non-reporting, tipe Reporting dapat digunakan
untuk menciptakan ruang untuk penelitian karena
memungkinkan para penulis untuk menyediakan signal
awal untuk para pembaca bahwa suatu klaim (yang
penting) akan diacu untuk lagi kemudian dalam bagian
pembahasan dari RA. Persentase kecil dari tipe kutipan
reporting dalam bahasa Indonesia dapat memperlihatkan
bahwa para penulis RA bahasa Indonesia menggunakan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 164

tehnik yang berbeda untuk menciptakan ruang untuk


penelitian. Cara-cara dari para penulis RA bahasa Indonesia
menciptakan ruang untuk penelitian akan dibahas secara
terperinci kemudian dalam bab ini.

6.4.2. Move 2 (Penciptaan Celah untuk Penelitian)

Move 2 terutama melibatkan penunjukkan pada kelemahan


dari karya relevan yang sebelumnya, yang menyangkal
klaim terdahulu yang dibuat oleh para penyelidik
sebelumnya dan membuat klaim yang dapat membantah
karya orang lain; hal ini cara yang umum dari para penulis
RA bahasa Inggris mengembangkan suatu niche atau
menciptakan ruang untuk penelitian (Swales, 1990).
Dengan kata lain, para penulis RA bahasa Inggris
menjustifikasi karya mereka saat ini dengan mengupas
karya orang lain. Dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia
hanya sedikit dari RA bahasa Indonesia memiliki segmen
yang dapat diklasifikasi sebagai Move 2. Segmen
pembuatan celah penelitian ini diekspresikan dengan
menggunakan dua tipe karya retorik yang berbeda:

1) yang menyatakan bahwa penelitian mengenai


bidang tertentu belum pernah dilaksanakan atau
dilaporkan; dan
2) yang mengklaim bahwa hasil dari studi terdahulum
adalah tidak konsisten.

Dasar pemikiran untuk mengklasifikasi dua tipe karya


retorik dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia ke dalam
Move 2 dari model CARS adalah karena para pengarang
mencoba untuk mengindikasikan jurang pengetahuan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 165

dalam topik penelitian dengan atau tanpa riviu item dari


studi terdahulu. Jurang pengetahuan ini menjadi justifikasi
logis untuk proyek penelitian yang dilaporkan dalam RA.
Tipe Move 2 pertama adalah suatu klaim sederhana
mengenai tidak adanya atau hanya sedikit bidang literatur
yang tersedia pada topik tertentu sebagaimana teritori
penelitian yang belum ditelaah yang disarankan oleh
Swales (1990). Tipe dari Move 2 ini lebih dominan dalam
pendahuluan RA bahasa Indonesia.

Contoh 4:
[Prg. 12] (S.4) Hasil-hasil penelitian yang
menunjukkan kaitan langsung antara motif
berprestasi dengan status anak dalam
keluarga belum ditemukan.

Temuan penelitian yang memperlihatkan hubungan


langsung antara motivasi akan keberhasilan dan status anak
dalam keluarha belum ditemukan.

Contoh 5:
[Prg. 5] (S.1) Sampai saat ini belum kami
dapatkan penelitian mengenai sikap anak
terhadap orang tua bila salah satu orang
tuannya menderita skizofrenia kronik.

Contoh 6:
[Prg. 2] (S.3) Namun sejauh itu pula belum
diketahui belum diketahui dampak ekonomi
industri pengolahan kayu terhadap

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 166

pengembangan wilayah di kabupaten Batang


Hari.

Tipe Move 2 diekspresikan melalui dua cara yang berbeda.


Beberapa penulis secara eksplisit mengklaim bahwa studi
mengenai topik tertentu belum pernah dilaksanakan atau
dilaporkan sedangkan beberapa orang yang lain mengacu
pada gaya implisit. Dibawa ini adalah contoh-contoh dari
pernyataan eksplisit:

Contoh 7:
1) Sebaliknya belum banyak penelitian yang
diarahkan pada …
2) Sampai saat ini belum kami dapatkan penelitian
mengenai …
3) Di Indonesian penelitian … belum dilakukan atau
tidak dilaporkan
4) … belum pernah diterapkan dalam teks bahasa
Indonesia.
5) Hasil-hasil penelitian tentang … belum ditemukan
Selanjutnya diberikan contoh-contoh gaya implisit:
Contoh 8:
1) … tampaknya telah luput dari perhatian para
peneliti
2) … pendapat para ahli itu belum dibuktikan melalui
penelitian
3) Dugaan-dugaan di atas masih perlu dibuktikan
secara empiris
4) Oleh karena itu belum diketahui keadaan
sesungguhnya di lapangan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 167

Dalam contoh-contoh di atas, para penulis RA bahasa


Indonesia membahas suatu Move 2 dengan menyimpulkan
bahwa penelitian mengenai topik tertentu dan dalam
wilayah tertentu belum pernah dilaksanakan atau diabaikan
oleh para peneliti yag lain. Karenanya, proyek penelitian
mereka adalah sangat penting atau perlu. Kesimpulan atau
tantangan mengenai ketidak-tersediaan atau ketidak-adaan
studi mengenai topik tertentu tidak pernah didukung oleh
referensi, seperti indeks dari karya ilmiah; karenanya,
klaim atau kesimpulan ini akan terdengar tidak meyakinkan
bagi beberapa pembaca. Bagaimanapun, hal ini adalah cara
minor dimana para penulis RA bahasa Indonesia
menjustifikasi penelitian mereka saat in; cara utama untuk
menjustifikasi proyek penelitian saat ini yang digunakan
oleh para penulis RA bahasa Indonesia adalah melalui
identifikasi masalah penelitan dan ini akan dibahas dalam
bab berikutnya.
Contoh yang hampir sama dari Move 2 adalah juga
ditemukan dalam pendahuluan RA bahasa Malaysia
(Ahmad, 1997). Ahmad mengklaim bahwa para penulis RA
bahasa Malaysia sangat bergantung pada klain dari ketidak-
adaan atau jumlah yang terbatas dari studi yang
dilaksanakan di wilayah tertentu untuk menjustifikasi karya
mereka saat ini. Menurut Ahmad, mereka menghindari
dengan secara tegas mengindikasikan jurang penelitian
spesifik dalam studi terdahulu untuk mengembangkan suatu
niche. Ahmad beranggapan bahwa alasan untuk
menggunakan gaya semacam itu oleh para penulis RA
baasa Malaysia adalah bahwa mereka tidak menghadapi
suatu ancaman atau tidak terlibat dalam kompetisi untuk
ruang penelitian. Banyak bidang penelitian telah
diperkenalkan dalam bahasa Malaysia dan tidak terlalu
banyak orang bahkan yang menyadari bahwa wilayah

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 168

penelitian seperti itu ada. Ahmad mengklaim bahwa dengan


secara eksplisit mengindikasikan ketidak-adaan atau jumlah
yang terbatas dari studi dalam bidang tertentu, para peneliti
Malaysia mengembangkan diri sebagai pelopor penelitian
di bidang itu.
Seperti di Malaysia, proyek penelitian di banyak
disiplin di Indonesia adalah masih ada dalam tahap awal
dari produksi bidang literatur. Alasan klasik untuk
kurangnya produktivitas diantara para peneliti di Indonesia
adalah fakta bahwa hanya sedikit insentif finansial yang
disediakan oleh pemerintah; memiliki posisi dalam hirarki
administrasi dan manajemen universitas dianggap lebih
terhormat dan secara finansial lebih menguntungkan
daripada posisi penelitian (PDK, 1994). Alasan laoin untuk
kurangnya minat dalam melakukan penelitian diantara para
akademisi Indonesia di masa lalu adalah terbatasnya
pendahaan yang dialokasikan untuk penelitian oleh
pemerintah. Hal ini membuat para peneliti bergantung pada
pendanaan sendiri atau mencari dana dari lembaga swasta,
yang sangat jarang tersedia atau sulit untuk diperoleh.
Bagaimanapun pada sepuluh tahun yang lalu, jumlah
proyek penelitian yang dilaksanakan oleh para dosen
universitas telah meningkat dengan pesat mengikuti
perhatian pemerintah mengenai masalah semacam itu dan
mengalokaskan jumlah dana yang mencukupi, terutama
untuk para dosen universitas (PDK, 1993) telah meningkat.
Tidak seperti di negara sedang berkembang seperti
Malaysia dan Indonesia, proyek penelitian di negera
berkembang, seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan
Australia memiliki tradisi yang lama. Hasil dalam
ketersediaan bidang literatur yang substantial terutama
dalam bentuk laporan penelitian atau RA; hal ini
menyediakan banyak materi untuk para peneliti Inggris

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 169

untuk meriviu dan menggunakan sebagai landasar untuk


proyek penelitian masa depan. Disamping itu, bidang
literatur yang lebih besar dan jumlah yang lebih banyak
peneliti profesi di negara berkembang yang menghasilkan
kompetisi sengit untuk niche ekologi dalam ekosistem
penelitian yang padat, untuk meminjam istilah Swales,
untuk memenangkan ruang untuk proyek penelitian atau
untuk memenangkan dukungan dari pemirsa yang lebih
luas (para pembaca jurnal penelitian) dalam penelitian
tertentu adalah untuk mengembangkan kredibilitas sendiri.
Ini adalah salah satu dari alasan mengapa tipe Move 2
(establishing a niche), seperti counter-claiming atau
menunjuk pada kelemahan studi terdahulu, adalah jauh
lebih umum dalam pendahuluan RA tertutama di Inggris
daripada dalam pendahuluan RA di negara sedang
berkembang seperti Malaysia dan Indonesia.
Tipe kedua dari Move 2 dalam pendahuluan RA
bahasa Indonesia adalah ditemukan pada empat
pendahuluan RA bahasa Indonesia. Dalam tipe karya
retorik, para penulis Indonesia mengklaim bahwa studi
sebelumnya memiliki temuan yang tidak konsisten. Maka,
para penulis meriviu item dari penelitian sebelujmnya
namun, tidak seperti para penulis Inggris, mereka secara
negatif tidak mengevaluasinya; mereka hanya
membandingkan temuan dari beberapa studi relevan dan
membuat klaim atau kesimpulan mengenai ketidak-
konsistenan dari temuan. Fragmen berikut mengilustrasikan
tipe kedua dari Move 2 dalam pertanyaan (Penekanannya
ditambah sebagaimana digaris-bawahi untuk
memperlihatkan realisasi leksikal dari Move 2 dalam tipe
ini):

Contoh 9:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 170

[Prg. 4] (2) Penelitian sebelumnya yang dilakukan di


Barat menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Ada
yang menemukan bahwa memang terdapat saling
hubungan antara kedua variable tersebut (Osarchuck
& Tatz, 1973) namun ada pula yang mengatakan
bahwa tidak terdapat hubungan (Templer & Dadson,
1970).

Contoh 10:
[Prg. 7] Beberapa penelitian tersebut jelas
menunjukkan bahwa hubungan antara filem
kekerasan di televisi dengan perilaku agresif masih
belum menunjukkan hasil yang konsisten.

Contoh 11:
[Prg. 3] (S2) Dari sejumlah penelitian itu tampak
bahwa temuan mengenai sumber-sumber stres kerja
guru tidak konsisten dari satu penelitian ke penelitian
lainnya.

Tidak seperti tipe pertama dari Move 2 yang seringkali


datang setelah pernyataan dari masalah penelitian, tipe
kedua dari Move 2 dapat datang sebelum atau seteah riviu
studi terdahulu (Move 1-Step 3). Ketika hal tersebut datang
sebelum Move 1-Step 3, hal tersebut menjadi klaim penulis
yang didukung oleh riviu dari beberapa studi relevan;
namun ketika hal tersebut datang setelah Move 1-Step 3,
hal tersebut menjadi kesimpulan yang didasarkan pada
hasil dari studi terdahulu yang diriviu.
Tipe Move 2 dari karya retorik dalam pendahuluan
RA bahasa Inggris tidak ditemukan dalam pendahuluan RA
bahasa Indonesia dalam data untuk studi ini. Alasan yang
mungkin untuk ketidak-adaan dari model riil dari Move 2

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 171

dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia akan dibahas


kemudian dalam bab ini. Disamping itu, ciri tipikal dari
Move 2 dalam model CARS, seperti yang ditentukan oleh
Swales (1990), adalah cyclicity dan hubungan dekatnya
dengan Move 1-Step 3 (meriviu item dari studi terdahulu).
Swales, ketika meriviu studi yang dilaksanakan oleh
Crookes (1986), Hopkins dan Dudley-Evans (1988)
mengklaim bahwa siklus Move 1-Step 3 dan Move 2 dapat
berulang. Dalam pendahuluan RA bahasa Indonesia, bukti
yang sama juga ditemukan; dimana Move 1-Step 3 diikuti
oleh Move 2 dan kemudian oleh Move 1-Step 3 yang lain
yang lagi-lagi diikuti oleh Move 2 lain dan akhirnya diikuti
noleh Move 1. Contoh-contoh berikut ini memperlihatkan
siklus semacam itu:

EDU. 12
Sumber-Sumber Stres Kerja Guru
(The Source of Teachers’ Working Stress)

Move 1-Step 3
[Prg. 3] (S.1) Dalam beberapa tahun terakhir
ini sejumlah ahli telah melakukan penelitian
mengenai sumber stres kerja guru, seperti
Cayul (1992), Feitler and Tokar (1982), Litt
dan Turk (1985), Smith and Burks (1985)
serta Kreme-Haton dan Goldstein (1990).

Move 2
[Prg. 3] (S2) Dari sejumlah penelitian itu
tampak bahwa temuan mengenai sumber-
sumber stres kerja guru tidak konsisten dari
satu penelitian ke penelitian lainnya.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 172

Move 1-Step 3
[Prg. 3] (S3) Sebagai contoh penelitian
Feitler dan Tokar (1982) menemukan bahwa
sumber-sumber stres dominan yang
menduduki peringkat pertama adalah siswa
yang berkelakukan buruk terus-menerus. (S4)
Temuan itu berbeda dengan hasil penelitian
Capel (1992) dan Hodge, Jupp, dan Taylor
(1994). (S5) Penelitian Capel mengungkapkan
bahwa terlalu banyaknya pekerjaan yang
harus dilakukan merupakan sumber stres yang
utama guru. (S6) Sementara penelitian Hodge
terhadap sampel guru seni musik dan guru
matematika menemukan bahwa pekerjaan
ekstra kurikuler merupakan sumber stres yang
paling dominan pada kedua kelompok guru
tersebut.

Move 2
[Prg, 4] (1) Inkonsistensi temuan penelitian
itu secara tersirat disebabkan oleh perbedaan
penilaian individu terhadap situasi kerja yang
dianggap sebagai sumber stres.

Move 1-Step 3
[Prg. 4] (S.2) Untuk sebagian, perbedaan
penilaian tersebut berkaitan dengan nilai
sosial-budaya masyarakat yang melatarinya
(Baron dan Greenberg, 1990). (S.3)
Perbedaan itu juga menyangkut tatanan
sosial-budaya sekolah sebagai subsistem
masyarakat sekitarnya.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 173

Seperti yang terlihat dalam contoh di atas, siklus tersebut


memulai dengan riviu yang singkat dari studi terdahulu
(Move 1-Step 3) yang diikuti oleh kesimpulan atau evaluasi
penulis yang ditaril dari riviu dari studi terdahulu (Move 2).
Kesimpulan atau evaluasi penulis (Move 2) adalah
didukung oleh bukti lanjutan dari beberapa studi lain
(Move 1-Step 3); kemudian ini diikuti oleh penulis yang
mengacu kembali ke kesimpulan atau evaluasi sebelumnya
(klaim mengenai penyebab dari hasil studi sebelumnya
yang tidak konsisten). Akhirnya, klaim ini didukug oleh
riviu item yang lain dari studi sebelumnya (Move 1-Step 3).
Maka, siklus Move 1-Step 3 dan Move 2 berulang
setidaknya dua kali dalam pendahuluan RA tertentu.
Meskipun cyclicity merupkan suatu ciri dari
hubugan dekat antara Move 1-Step 3 dan Move 2 dari
model CARS, para pengarang dapat memilih untuk
membahas serangkaian riviu item dari studi terdahulu
sebelum memberikan komentar, evaluasi atau kritik pada
studi tersebut. Format ini juga ditemukan dalam
pendahuluan RA bahasa Indonesia, dimana para pengarang
mengindikasi jurang pengetahuan dalam topik penelitian
(Move 2) di akhir dari riviu literatur atau setelah membahas
serangkaian riviu item dari studi terdahulu (Move 1-Step
3). Pertimbangkan contoh berikut ini:

Contoh 12:
Move 2
[Prg. 5] (S.1) Sampai saat ini belum kami
dapatkan penelitian mengenai sikap anak
terhadap orang tua bila salah satu orang
tuanya menderita skizofrenia kronik.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 174

Pada awal paragraf 1 dari PSY. 3, pengarang


mendefinisikan istilah schizophrenic, sedangkan dalam
sebagian teks sampai akhir dari paragraf 4, para pengarang
meriviu item dari studi relevan yang sebelumnya (Move 1-
Step 3). Dalam paragraf 5, sebagaimana dalam contoh di
atas, para pengarang mengindikasi jurang dalam
pengetahuan mengenai topik penelitian dengan menyatakan
bahwa tidak ada studi mengenai topik tersebut sejauh
perhatian pengarang. Pernyataan ini diklasifikasikan
sebagai Move 2 dalam model CARS.

6.4.3. Pemamfaatan Celah Penelitian (Move 3)

Dalam pendahuluan artikel penelitian Indonesia,


Move 3 merupakan segmen umum dijumpai yang terdiri
dari pernyataan langsung secara eksplisit dari tujuan
penelitian atau pengumuman dari ciri spesifik dari
penelitian. Disamping itu, tidak seperti Move 2 yang
seringali dibahas dalam beberapa kalimat dalam suatu
paragraf, Step 1A dari Move 3 (tujuan penguraian) dibahas
dalam paragraf penuh; beberapa dari mereka bahkan
memiliki sub-judul Tujuan Penelitian.
Tipe umum dari Move 3 adalah Step 1A dand1B;
sebenarnya, hampir semua penulis RA dalam data ini
mengumumkan tujuan dari penelitian mereka baik melalui
format Step 1A atau formart Research Question (RQ). Di
bawah ini adalah contoh dari Move 3 Step 1A dalam
pendahuluan RA bahasa Indonesia;

Contoh 13:
Tujuan Penelitian

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 175

(Prg. 4] Berdasarkan rumusan masalah di


atas tujuan yang ingin dicapai ialah untuk
mengetahui ada tidaknya perbedaan prestasi
praktik keguruan antara mahasiswa yang
berasal dari sekolah keguruan dengan non-
keguruan pada program studi PMP FKIP
Universitas Dwijendra Denpasar.

Dalam contoh di atas, tujuan dari studi diekspresikan dalam


kalimat lengkap. Kalimat pembukaan umum yang
menandai Step 1A yang ditemukan dalam studi ini aadalah
berikut ini:

- Tujuan penelitian ini adalah untuk (mengetahui) …


- Penelitian berikut bermaksud untuk mencari tahu
(mengetahui) …
- Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab
pertanyaan …
- Yang ingin diteliti apakah …
- Penelitian ini bermaksud membandingkan …
dengan …
- Penelitian ini akan mencoba menganalisis …
- Penelitian tentang … bertujuan untuk …
- Maksud penelitian ini adalah untk …
- Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan.
Pertama, ...
- Penelitian ini dirancang untuk menyelidiki …

Ciri umum lain dari Move 3 Step 1A adalah penggunaan


angka numerik bukannya penggunaan konstruksi paragraf
normal. Format ini jarang ditemukan dalam move atau step
yang lain. Di bawah ini adalah Move 3 Step 1A dengan
angka numerik:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 176

Contoh 14:
Tujuan Penelitian
[Pr.g. 7] Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengeksplorasi seberapa jauh misi Bank
Perkreditan Rakyat itu telah tercapai.
Evaluasinya akan mengacu pada beberapa
indikator berikut ini:
1. Jumlah dana masyarakat desa yang dapat
dihimpun dalam bentuk tabungan dan
deposito berjangka.
2. Kemampuan BPR memberikan kredit.
3. Sektor-sektor usaha yang dibiayai dengan
kredit itu.
4. Kemampuan bekerja sama dengan Bank
Umum dalam penyaluran Kredit Usaha
Kecil dan beberapa volume KUK yang
telah disalurkan.

Walaupun Step 1A memiliki format standar (pengumuman


dari tujuan studi), hal tersebut memiliki berbagai realisasi
leksikal, Step 1B menggambarkan beberapa ciri yang
berbeda dari penelitian. Swales (1990) menyatakan bahwa
Step 1B adalah deskrips dari ciri utama dari penelitian dari
sudut pandang penulis. Disamping itu, hal tersebut
bergantung pada para penulis RA untuk memutuskan
apakah akan menjadi ciri utama dari penelitian; dan,
karenanya hal tersebut dapat bervariasi dalam hal ini dari
satu RA ke RA yang lain. Di bawah ini adalah beberapa
contoh dari Move 3-Step 1B dalam berbagai format yang
ditemukan dalam data:

Contoh 14:

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 177

[Prg. 7] (S.1) Dalam penelitian ini akan


dibahas tentang sistem pengendalian
manajemen, dengan tujuan untuk mengetahui
apakah benar struktur pengendalian
manajemen yang merupakan prasarana dalam
melaksanakan proses pengendalian
manajemen merupakan dua hal yang saling
berkait dan sulit dipisahkan.

Contoh 15:
[Prg. 11] (S.2) … penelitian ini khusus
membatasi pada variable harapan orang tua
akan prestasi anak.

Contoh 16:
[Prg. 8] Untuk mengatasi kepincangan ini,
maka dalam penelitian ini, dikembangkan
pendekatan yang disesuaikan dengan
dikarakteristik siswa dan materi pengajaran
menggambar. Metode pengajaran itu adalah
metode mewujudkan dan mencetuskan.

Dalam contoh di atas (ECO. 1), ciri penting dari penelitian


adalah fokus penelitian: management control system,
sedangkan contoh kedua (PSY. 26) ciri spesifik adalah
lingkup studi: parents’ expectation of their children’s
study results. Dalam contoh terakhir (EDU. 2) ciri penting
dari penelitian, menurut penulisnya, adalah metode ajar
spesifik yang digunakan dalam studi percobaan: the
shaping and expressing method.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 178

Seperti cirinya, kalimat awalnya pada signal Move


3-Step 1B juga dapat bervariasi. Di bawah ini adalah
realisasi klausa dari Step 1B yang umumnya ditemukan
dalam studin ini:

Step 1B (announcing present research)

- Penelitian ini difokuskan pada ...


- Dalam penelitian akan dibahas tentang …
- Subjek dalam penelitian ini adalah …
- Penelitian semacam ini menuntut digunakan
pendekatan ...
- Dalam penelitian ini yang dititikberatkan adalah ...
- Dalam penelitian ini akan dicoba untuk …
- Ruang lingkup penelitian ini menitikberatkan
pada...
- Penelitian ini melibatkan ... model.

Dalam contoh di atas, Step 1B membahas beberapa aspek


dari penelitian yang dilaporkan, seperti fokus studi, subyek
studi, alat yang dignakan, lingkup studi, atau beberapa
unsur dari metodologi penelitian.
Step 2 dari Move 3 (announcing the principle
findings) adalah sangat tidak sering dalam pendahuluan RA
Indonesia. Karya retorik ditemukan hanya dalam dua
pendahuluan RA psikologi; tidak ada dalam pendahuluan
RA pendidikan dan ekonomi yang memiliki pengumuman
dari temuan prinsip studi. Di bawah ini adalah contoh dari
Move 3-Step 2 dalam pendahuluan RA Indonesia:

Contoh 16:
[Prg. 9] (S.3) Kesimpulan dari penelitian
yaitu meditasi dapat mengurangi ketegangan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 179

otot, membuat tubuh santai, menurunkan


konsumsi oksigen, dan menurunkan kadar
kolesterol. (S.4) Kondisi ini selanjutnya dapat
mengurangi keluhan-keluhan fisik seseorang.

Pada contoh di atas, pengumuman temuan penelitian adalah


sangat singkat; sebenarnya, penulis hanya mengumumkan
bagian dari kesimpulan. Juga, hal ini adalah satu-satunya
bagian dari paragraf (kalimat 3 dan 4 dari paragraf 9), yang
mengikuti pengumuman tujuan penelitian (Move 3-Step
1A).
Dalam RA bahasa Inggris pengumuman temuan
prinsip dalam bagian pendahuluan (Move 3-Step 2) adalah
cukup umum karena ada yang perbedaan disipin yang
cukup ditandai. Swales dan Najjar (1987), misalnya,
menemukan bahwa 45% dari RA Educational
Psychological memiliki pernyataan semacam itu namun
hanya 7% dari RA Physic memiliki peryataan semacam itu.
Hampir sama, Berkenkotter dan Huckin (1995) mengklaim
bahwa mengumumkan temuan prinsip dalam bagian
pendahuluan menjadi semakin populer dalam RA Inggris
karena hal ini adalah strategi penulis untuk
mempromosikan nilai berita dari RA. Dengan kata lain,
dengan mengumumkan temuan prinsip dalam bagian
pendahuluan, para pembaca mungkin tertarik untuk
membaca seluruh artikel. Karena sejumlah kecil dari RA
Indonesia memiliki Move 3-Step 2, kesimpulannya adalah
RA Indonesia berbeda dari yang ada di Inggris dalam hal
penampilan dari Move 3-Step 2. Juga, tidak ada bukti dari
Move 3-Step 3 (indicating RA structure) dalam data dari
studi ini.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 180

6.5. Pengaruh Budaya dalam Bagian Pendahuluan


Artikel Jurnal Penelitian

Sebagaimana dibahas sebelumnya, karya retorik tipikal


untuk menciptakan ruang penelitian atau mengembangkan
niche penelitian dalam pendahuluan RA Inggris adalah
melalui mengevaluasi atau mengkritik secara negatif item
dari studi terdahulu. Dengan melakukan hal tersebut, para
penulis Inggris berharap bahwa para pembaca akan
menemukan proyek penelitian yang dilaporkan dalam RA
sebagai penting dan perlu. Bagaimanapun, karya retorik
semacam itu tidak ditemukan dalam pendahuluan RA
Indonesia dalam data untuk studi ini. Meskipun para
penulis Indonesia meriviu item dari studi terdahulu, mereka
tampak menghindari mengkritik atau secara negatif
mengevaluasi temuan studi. Lihatlah pada contoh berikut
ini dari PSY. 13:

Contoh 17:
Minat Terhadap Filem Kekerasan di Televisi
Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif
Remaja

Move 2
[Prg. 5] (S.1) Beberapa penelitian telah
dilakukan, namun hasilnya masih belum konsisten.

Move 1
[Prg. 5) (S.2) Friedrich and Stein (dalam Worchel
& Copper, 1983) mengadakan penelitian terhadap
murid taman kanak-kanak laki-laki dan
perempuan yang melihat tayangan film televisi
yang bertemakan kekerasan, netral, dan prososial.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 181

(S.3) Hasilnya menunjukkan bahwa anak-anak


yang menonton tayangan netral dan prososial
dapat menurun agresifitasnya, sedang anak-anak
yang menonton tayangan kekerasan meningkat.

[Prg. 6] Parke dkk. (dalam Worchel & Cooper,


1983) mengadakan penelitian terhadap penghuni
panti anak nakal di Amerika dan Belgia. Anak-
anak yang melihat tayangan film kekerasan
menunjukkan perilaku yang lebih agresif
dibanding dengan anak-anak yang melihat
tayangan film netral. Penelitian Martani dan
Adiyanti (1992) terhadap anak prasekolah dan
Taman Kanak-kanak di Yogyakarta hasilnya
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkah
laku agresif antara anak-anak yang suka
menonton film kekerasan dan tidak mengandung
kekerasan di televisi. Penelitian Eron (1987)
terhadap murid sekolah dasar menunjukkan
bahwa semakin banyak adegan kekerasan di
televisi yang ditonton maka anak semakin agresif.
Selanjutnya dilaporkan walaupun koefisien
korelasi tidak begitu tinggi, namun hasil yang
sama diperoleh baik di Amerika, Eropah dan
Australia.

Dalam contoh di atas, dari 5 studi terdahulu yang diriviu,


misalnya, hanya satu studi yang memperlihatkan temuan
yang berbeda; studi ini dilaksanakan di Yogyakarta,
Indonesia, oleh para peneliti Indonesia [(Martani dan
Adiyanti, 1992)]. Empat studi yang lain yang dilaksankan d
luar Indonesia (di Amerika Serikat, Australia dan Belgia),
di sisi lain, memiliki temuan yang hampir sama. Jumlah

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 182

yang tidak sama dan tempat yang berbeda antara hasil studi
sebelumnya yang konsisten dan tidak konsisten telah
menciptakan keraguan akan para penulis RA. Misalnya,
para penulis harus melihat dengan lebih dalam pada studi
yang dilaksanakan di Indonesia oleh para peneliti Indonesia
untuk menemukan mengapa hal tersebut telah menhasilkan
kesimpulan yang berbeda dengan studi lain yang
dilaksanakan di luar negeri.
Satu alasan lain untuk penghindaran atau
keengganan para penulis Indonesia untuk mengkritik karya
orang lain terutama dalam penulisan akademik atau ilmiah
adalah disarankan oleh Keraf (1992). Dia mengklaim
bahwa ketika para penulis Indonesia menulis di Indonesia,
mereka jarang ingin mengkritik pandangan orang lain
karena mengkritik orang lain, terutama mereka yang lebih
tua atau yang memiliki status sosial atau ekonomi yang
lebih tinggi, dianggap secara budaya tidak sopan. Menurut
Keraf, ini bukanlah sikap ideal untuk para ilmuwan karena
tujuan utama dari karya ilmiaj adalah menemukan
kebenaran. Klaim ini adalah sejalan dengan temuan dari
ethnographers, seperti Saville-Troike (1982) dan
Gudykunst dan Ting-Toomey (1988), yang mengklaim
bahwa, tidak seperti budaya Western, orang Timur seperti
orang Cina, Korea, dan Jepang mempertimbagkan harmoni
kelompok dan nilai kolektif sangat penting; mereka bahwa
memilih untuk tetap diam terhadap semua kritik dari orang
lain. Para penulis akademik Indonesia tampaknya
mengadopsi gaya yang sama ketika menulis artikel
akademik; yaitu menghindari untuk mengkritik atau
menunjuk pada kelemahan karya dari orang lain agar tidak
muncul dengan face-threatening atau dianggap tidak sopan
atau agar menjaga harmoni kelompok.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 183

Penjelasan yang mungkin lain untuk keenggan para


penulis Indonesia untuk secara negatif mengevaluasi karya
orang lain adalah karena mereka tidak melihat kebutuhan
untuk melakukannya. Misalnya, mereka tidak harus
bersaing untuk ruang penelitian atau bahkan memperoleh
tempat dalam publikasi jurnal. Klaim bahwa penelitian
mengenai topik tertentu tidak ada atau belum pernah
dilaporkan dapat dianggap sebagai seruan yang
meyakinkan dari penulis untuk pembaca agar menerima
bahwa karya saat ini adalah perlu dan penting. Memang,
adalah satu konvensi dalam penulisan RA di Indonesia
bahwa faktu yang paling penting untuk para peneliti
Indonesia adalah memperlihatkan dalam pendahuluan
mereka bahwa masalah penelitian yang dipilih untuk
penelitian mereka benar-benar ada (Rifai, 1995).
Para peneliti Indonesia juga cenderung untuk
berfokus pada konteks lokal tanpa mempertimbangkan efek
holistik atau universal dari karya ilmiah mereka (Soeparno,
dan kawan-kawan 1987). Bukti dalam studi ini
memperlihatkan bahwa para penulis RA Indonesia tidak
berusaha untuk menemukan apakah studinya relevan
dengan atau hampir sama dengan karya ini dilaksanakan
oleh para penulis lain di tempat lain di Indonesia. Bukan
hanya para penulis telah melaporkan konsultasi indeks dari
karya yang dilaksanakan atau artikel yang ditulis dalam
bahasa Indonesia seperti Indeks Majalah Ilmiah Indonesia
„Index of Indonesian Learned Periodicals‟, yang diterbitkan
oleh Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia „Center for Scientific
Documentation and Information of Indonesian Institute of
Sciences‟.
Jarangnya kehadiran Move 2, yang umumnya
ditemukan dalam RA Inggris, dalam pendahuluan RA

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 184

Indonesia tidak berarti bahwa RA Indonesia kurang


justifikasi dalam arti penting atau kebutuhan dari penelitian
saat ini; suatu tehnik yang berbeda telah diterapkan.
Hampir semua RA membahas masalah penelitian dalam
pendahulan dan ini digunakan untuk menjustifikasi
penelitian saat ini dalam pendahulan RA Indonesia.
Sebenarnya, mengidentifikasi dan menyatakan masalah
penelitian adalah strategi universal dari menjustifikasi arti
penting dari penelitian tertentu (Nachmias dan Nachmias,
1976). Menurut Nachmias dan Nachmias, masalahnya
adalah “… stimulus intelektual meminta adanya respon
dalam bentuk jawaban ilmiah (hal: 10)” dan karena para
ilmuwan adalah problem solvers, maka, adalah masuk akal
bula dalam penelitian mereka, para ilmuwan mengangkat
masalah untuk mendasari penelitian mereka.
Dalam konvensi RA Inggris, masalah penelitian
juga merupakan isu kunci dalam penelitian sebagaimana
dicatat oleh Day (1996: 30), yang menulis, “Any piece of
research is built around a design, which begins with
identifying a problem and then the issue that guides our
understanding.” Day terus mengklaim bahwa penelitian
didesain terutama untuk menemukan jawaban bagi
pertanyaan problematik tertentu. Swales (1990:140) juga
mengklaim bahwa masalah adalah pusat dari penelitian
dalam berbagai disiplin, dengan mengatakan, “problems or
research questions or unexplained phenomena are the life
blood of many research undertakings.” Format dari
pertanyaan penelitian daopat menjadai bentuk pertanyaan
dalam format pernyataan hipotesis, seperti yang dicatat
oleh Travers (1969). Travers menyarankan bahwa masalah
penelitian dapat dinyatakan dalam bentuk pertanyaan
dimana penelitian yang dikemukakan didesain untuk

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 185

memperoleh jawaban dan kadang-kadang pertanyaan


tersebut diacu sebagai hipotesis.

6.6. Pola Retorika Bagian Pendahuluan Artikel Jurnal


Penelitian dalam Bahasa Indonesia

Model CARS tidak menangkap tujuan komunikatif penting


dan ciri retorik spesifik dari pendahuluan RA bahasa
Indonesia untuk beberapa alasan. Pertama, mayoritas
pendahuluan RA Indonesia telah diklasifikasikan dengan
menggunakan gaya penulisan tidak langsung dengan
berbagai tipe dari informasi latar belakang pada awal dari
bagian pendahuluan. Ini secara normal ditujukan untuk
menyiapkan dan menarik minat para pembaca untuk
membaca seluruh RA. Model CARS, di sisi lain,
didasarkan pada pendahuluan RA Inggris yang telah
memiliki gaya penulisan langsung diman, dalam beberapa
kalimat pertama dari paragraf pertama, para penulis sudah
diperkirakan akan memperkenalkan topik penelitian dengan
membuat klain sentralitas atau menggunakan tehnik yang
hampir sama (Swales, 1981, 1984, 1987, dan 1990).
Perbedaan stylistic antara pendahuluan RA Indonesia dan
pendahuluan RA Inggris, sebagian merupakan hasil dari
berbagai konvensi dari penulisan ilmiah atau akademik,
dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta perbedaan
dalam harapan dan sikap penulis terhadap para pembaca
potensial.
Kedua, tidak seperti penulis Inggris, para penulis
RA Indonesia cenderung menjustifikasi proyek penelitian
mereka dengan meyakinkan para pembaca bahwa masalah
penelitian dalam topik tertentu atau pada bidang penelitian

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 186

tertentu benar-benar ada. Bukti dari data studi ini, seperti


yang sudah dibahas dalam Bab 5, memperlihatkan beberapa
pendahuluan dalam RA Indonesia memiliki pernyataan
yang dapat diklastifikaskan sebagai Move 2 (establishing a
niche) dari model CARS, suatu cara umum yang
dimanfaatkan oleh para penulis RA Inggris untuk
menjustifikasi proyek penelitian mereka. Juga, sejumlah
kecil Move 2 yang ditemukan dalam pendahuluan RA
Indonesia dibahas dengan berbagai tehnik yang ditemukan
dalam pendahuluan RA Inggris. Para penulis RA Indonesia,
misalnya, hanya mengklaim bahwa hasil dari studi relevan
sebelumnya tidak konsisten atau bahwa topik tertentu
belum pernah diselidiki atau dilaporkan untuk menciptakan
ruang penelitian untuk proyek penelitian saat ini atau
menjustifkasi proyek penelitian.
Referensi atau kutipan dalam RA Indonesia adalah
berserakan di seluruh bagian pendahuluan dengan berbagai
tujuan komunikatif dan persuasif, untuk memvalidasi
definisi dari istilah kunci, mendukung klaim umum atau
spesifik, mendukung klain tentang masalah penelitian,
memvalidasi pilihan metode atau pendekatan penelitian,
dan meriviu pengetahuan dan praktek saat ini.
Bagaimanapun, dalam pendahuluan RA Inggris, seperti
yang disarankan oleh Swales (1990), refrensi atau kutipan
dgunakan untuk mengembangkan teritori atau bidang
penelitian (Move 1).
Akhirnya, para penulis Indonesia cenderung untuk
mengumumkan ciri-ciri dari proyek penelitan saat ini,
seperti manfaat penelitian yang diharapkan, hipotesis
penelitian, mengajukan solusi untuk masalah penelitian,
dan lingkup penelitian dalam bagian terakhir dari
pendahuluan RA. Ini dikerjakan sebagai bagian dari cara

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 187

persuasif untuk menarik minat pembaca untuk membaca


seluruh RA. .
Kebutuhan untuk model analisis spesifik untuk
pendahuluan RA bahasa Indonesia adala juga dipicu dan
diperkuat oleh fakta bahwa bagian pendahuluan dalam RA
bahasa Indonesia memiliki tujuan komunikatif yang
berbeda dengan bagian pendahuluan dalam RA bahasa
Inggris dari sudut pandang preskriptif. Dalam RA bahasa
Inggris, sebagaimana disarankan oleh Hunston (1994),
bagian pendahuluan terutama bertujuan untuk meyakinkan
para pembaca bahwa penelitian tersebut, yang hasilnya
adalah untuk dilaporkan, adalah perlu dan penting karena
ada jurang pengetahuan pada suatu topik penting. Dengan
kata lain, dalam RA bahasa Indonesia, sebagaimana
dinyatakan oleh Djaali (1994) dan Rifai (1995), bagian
pendahuluan bertujuan untuk membahas dasar pemikiran
untuk proyek penelitian, untuk memandu para pembaca
dalam membaca seluruh RA dan untuk mengumumnkan
kontribusi dari hasil penelitian pada pengembangan
pengetahuan dalam bidang disiplin tertentu dan/atau negara
itu. Dengan kata lain, justifikasi untuk proyek penelitian
dalam praktek ilmiah Indonesia ada tidak hanya karena
topik penelitian adalah penting dan ada jurang pengetahuan
yang dapat menyediakan kontribusi praktis substantif untuk
pengembangan negara tersebut dalam bidang atau wilayah
tertentu.
Suatu model analisis retorika yang dapat
menangkap tujuan komunikatif dan ciri retorik penting
yang mengkarakterisasi pendahuluan RA bahasa Indonesia
adalah perlu. Untuk tujuan ini, model analisis empat-move,
yang diadaptasi dari model CARS dari Swales (1990) dan
Project Justifying Model (PJM) dari Ahmad (1997)
diajukan berikut ini. Model ini disebut model Masalah

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 188

Menjastifikasi Penelitian (MMP). Hampir sama dengan


model CARS dan PJM, model MMP juga mengadopsi
suatu pandangan yang didasarkan pada hubungan bentuk-
fungsi; empat move komunikatif, misalnya,
menggambarkan tujuan komunikatif dari pendahuluan RA
bahasa Indonesia sedangkan sub-move, yang selanjutnya
disebut step, dapat diacu sebagai bentuk tekstual atau
retorikal.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 189

•Step A: Mendefinisikan istilah penting


Move 1 : •Step B: Mengacu kepada kebijakan
pemerentah
Menyamakan •Step C: Menjelaskan sejarah singkat
bidang penelitian
latar belakang •Step D: Mendeskripsikan lokasi geografis
pengetahuan penelitian
•Step E: Membuat klaim umum

Move 2: •Step A: Memperkenalkan topik


Menjelaskan penelitian
•Step B: Mengidentifikasi masalah
bidang penelitian
•Step C: Merefiu literatur terkait
penelitian

•Step A: Menunjukkan
ketidakkonsistenan hasil penelitian
Move 3: terdahulu
Menjastifikasi •Step B: Menyatakan bahwa masalah
tersebut belum pernah diteliti
kegiatan •Step C: Menyatakan bahwa topik
tersebut penting diteliti
penelitian •Step D: Menyatakan tertarik meneliti
masalah terebut

•Menjelaskan tujuan penelitian


Move 4: •Menyatakan pertanyaan penelitian
Mengumumkan •Mendeskripsikan ciri-ciri khusus penelitian
kegiatan •Menyatakan manfaat penelitian
•Mengumumkan temuan penelitian
penelitian •Menyatakan hipotesis penelitian

Bagan 17: Masalah Menjastifikasi Penelitian

Model Masalah Menjastifikasi Penelitian (MMP),


sebagaimana diperlihatkan pada Bagan 17, terdiri dari
empat move komunikatif: 1) establishing shared schemata,
2) establishing the researach field or territory, 3) justifying

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 190

the present research project, dan 4) announcing the research


specifications. Juga, dalam setiap movel ada beberapa Step
(tahap) dimana penulis RA dapat menggunakannya untuk
mencapai tujuan komunikatif utama dari Move itu.
Penggunaan dari „dan/atau‟ di akhir semua tahap dalam
model MMP memperlihatkan bahwa para penulis RA harus
menggunakan setidaknya satu tahap dalam setiap Move
untuk mengekspresikan tujuan komunikasi utama dari
Move tersebut, namun tetap saja memiliki pilihan tentang
tahap apa yang akan mereka gunakan.

6.7. Perbedaan Nilai Persuasif dalam RAI Bahasa


Inggris dan Bahasa Indonesia

Bagian pendahuluan artikel (RAI) jurnal penelitian


berisikan bagian dari usaha persuasif penulis untuk
meyakinkan pembaca bahwa penelitian yang telah dia
lakukan penting, menarik dan perlu sehingga artikel
tersebut perlu dibaca (Hunston 1994). Menurut Hunston,
agar dapat meyakinkan pembaca, penulis harus
menyampaikan dua alasan yang sangat penting dalam
melakukan penelitian: pertama, terdapat kesenjangan
penetahuan yang ditinggalkan oleh peneliti terdahulu dalam
bidang dan topik yang sama dan kedua, kesenjangan
pengetahuan tersebut terdapat tentang topik yang penting
dan perlu. Dua alasan penelitian ini sama pentingnya tapi
dinyatakan dengaan retorika yang agak berbeda. Tapi,
penulis dalam bahasa Indonesia berbeda dengan penulis
dalam bahasa Inggris dalam menyampaikan retorika yang
persuaif dan argumentatif ini.
Pertama, dalam bahasa Inggris penulis menarik
perhatian pembaca terhadap pentingnya topik penelitiannya

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 191

dengan menyatakan bahwa topik penelitian mereka


penting, telah banyak diteliti, dan masih sering
diperbincangkan para pakar lainnya (Swales 1990: 144).
Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia pernyataan bahwa
penelitian yang telah dilakukan itu penting dilakukan
dengan beberapa cara seperti dengan mengacu pada
kebijakan pemerentah, dengan memberikan sejarah singkat
tentang bidang yang diteliti, atau dengan membuat
pernyataan umum dan mendukungnya dengan referensi.
Dengan begitu, penulis Indonesia secara implisit
menyatakan bahwa topik penelitian mereka penting dan
perlu karena topik tersebut telah didiskusikan dan diteliti
oleh penelit lain atau karena topik itu menjadi fokus
program pemerentah sebagai penyandang dana sebagian
besar kegiatan penelitian.
Kedua, dalam artikel jurnal penelitian bahasa
Inggris alasan penelitian disampaikan dengan menilai hasil
penelitian terdahulu secara negatif; yaitu dengan
menyatakan kelemahan, kekurangan, keterbatasan atau
kesalahan yang terdapat dalam penelitian terkait
sebelumnya dan menggunakan kelemahan ini sebagai
alasan yang kuat untuk melakukan penelitiannya. Dengan
kata lain, peneliti dalam bahasa Inggris melakukan evaluasi
kritis terhadap penelitian terdahulu untuk mendukung
pentingnya penelitian yang telah dia lakukan. Sebaliknya
peneliti Indonesia jarang melakukan evaluasi kritis
terhadap hasil penelitian terdahulu untuk mendukung
pentingnya penelitian yang telah dia lakukan, mereka
memberi alasan penelitian dengan menyatakan bahwa
terdapat masalah tentang suatu topik atau disuatu tempat
atau suatu bidang ilmu sehingga perlu penelitian untuk
mengatasi atau mengetahui penyebab-penyebab masalah
tersebut. Dengan menyatakan masalah penelitian tersebut,

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 192

peneliti Indonesia merasa secara implisit menyatakan


bahwa penelitian yang telah mereka lakukan penting. Hal
ini mungkin dilakukan karena alasan-alasan praktis; kalau
terdapat masalah tentang topik yang penting seperti pada
program pembanguan pemerentah yang membutuhkan
solusi atau bantaun ilmiah, lalu penelitian hatus dilakukan
yaitu untuk mencari solusi terbaik atau penyebab yang
sebenarnya dari masalah-masalah tersebut sehingga
program pemerentah bisa berjalan dengan baik dan sukses
untuk mendapatkan hasil yang diharapka.
Ketiga, pola persuaif dalam bagian pendahuluan
artikel jurnal penelitian adalah promosi nilai berita (news
value) artikel tersebut. Dalam bahasa Inggris, penulis
mengumumkan hasil-hasil penting dari penelitian mereka
untuk meyakinkan pembaca bahwa artikel mereka
mempunyai nilai berita (Berkenkotter and Huckin 1995);
sehingga pembaca akan tertarik membaca artikel tersebut
secara keseluruhannya. Dalam artikel berbahasa Indonesia
cara seperti ini jarang ditemkan; penulis Indonesia,
sebaliknya pada bagian ini menyatakan kegunaan-kegunaan
(significancies) dari hasil penelitian yaang telah dia
lakukan seperti yang terdapat dalam laporan penelitian.
Dengan kata lain, penulis Indonesia mempromosikan agar
pembaca mau membaca artikelnya secara utuh dengan
menyatakan signifikansi atau kegunaan hasil penelitian
yang telah dia lakukan buak dengan cara menyampaikan
temuan-temuan penting dari penelitinnya.
Terakhir, penulis bahasa Inggris menggunakan
rujukan pada referensi untuk memberikan alasan ilmiah
yang kuat untuk penelitian mereka. Ini biasanya dilakukan
dengan menilai secara negatif hasil-hasil penelitian
terdahulu sementara meyakinkan pembaca bahwa
penelitian yang telah mereka lakukan penting, menarik dan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 193

perlu. Penulis bahasa Indonesia sebaliknya menggunakan


referenssi untuk paling kurang tiga tujuan, 1) untuk
meyakinkan pembaca bahwa topik penelitian mereka juga
menjadi topik penelitian peneliti lainnya, 2) referensi
terutama pada kebijakan pemerentah digunakan untuk
meyakinkan pembaca bahwa penelitian mereka bermanfaat
yaitu untuk membantu pemerentah menyukseskan
program-program pemerentah, dan 3) referensi digunakan
untuk meyakinkan pembaca bahwa mereka mempunyai
pengetahuan dan penglaman yang cukup dalam bidang
ilmu tersebut sehingga mereka layak untuuk meneliti topik
tersebut.

6.8. Ringkasan

Dalam Bab 6 ini telah dibicarakan segala sesuatu tentang


pola retorika bagian pendahuluan artikel jurnal penelitian
dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Terdapat banyak
perbedaan antara pola retorika dalam dua bahasa tersebut
kalau ditulis oleh penutur asli (native speakers) dari kedua
bahasa tersebut. Dengan demikian, penulis Indonesia harus
mempelajari bagaimana pola retorika bagian pendahuluan
artikel jurnal penelitian dalam bahasa Inggris agar dapat
menulis artikel tersebut dalam bahasa Inggris dan begitu
juga sebaliknya. Begitu juga kalau siswa atau mahasiswa
Indonesia akan membaca artikel jurnal penelitian dalam
bahasa Inggris harus mempelajari pola retorika dan ciri-ciri
linguistik yang umum terdapat dalam artikel tersebut dan
sebaliknya.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 194

BAB 7

PENGAJARAN GENRE
JURNAL PENELITIAN BAGI
MAHASISWA DI INDONESIA5

M ahasiswa Indonesia perlu membaca artikel-artikel


penelitian berbahasa Inggris (yang diacu sebagai Artikel
Jurnal Penelitian), terutama yang berada dalam bidang
disiplin mereka, sebagai bagian dari aktivitas belajar
mandiri mereka dan untuk mempersiapkan studi atau
tinjauan literatur untuk penulisan esai atau tesis mereka.
Terdapat beberapa alasan mengapa Artikel Jurnal
Penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris
merupakan sumber penting bagi mahasiswa Indonesia.
Pertama, artikel-artikel berbahasa Inggris yang diterbitkan
dalam jurnal-jurnal ilmiah membahas perkembangan
pengetahuan terkini dalam disiplin ilmu tertentu atau
perkembangan praktek penelitian yang terbaru di bidang
tersebut. Informasi ini akan sangat bermanfaat bagi
mahasiswa Indonesia dalam memilih topik untuk tesis atau
esai mereka.

5
Tulisan ini dalam versi bahasa Inggris pernah diterbitkan dalam
„Journal of English and Foreign Languages‟, N0. 32 Desember, 2003.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 195

Kedua, artikel-artikel jurnal penelitian yang


diterbitkan dalam Bahasa Inggris adalah bahan bacaan yang
berharga dan penting bagi mahasiswa Indonesia. Artikel-
artikel tersebut tersedia dalam jumlah yang banyak di
perpustakaan universitas mereka (sekurangnya di
perpustakaan-perpustakaan universitas yang baik).
Disamping itu, mahasiswa Indonesia, terutama mereka
yang mengambil jurusan Bahasa Inggris, perlu membaca
Artikel Jurnal Penelitian berbahasa Inggris sebagai salah
satu bahan bacaan otentik. Ini karena, tidak seperti bacaan-
bacaan yang digunakan dalam buku teks bahasa Inggris
yang seringkali dimodifikasi atau disederhanakan, Artikel
Jurnal Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal penelitian
adalah teks yang otentik atau realistis yang akan memberi
tantangan realistis untuk dipahami kepada para mahasiswa.
Akhirnya, Artikel Jurnal Penelitian yang diterbitkan
dalam bahasa Inggris adalah penting bagi mahasiswa
Indonesia karena dalam hal ukuran, artikel jurnal penelitian
lebih mudah untuk dibaca. Bila dibandingkan dengan buku
teks, Artikel Jurnal Penelitian jauh lebih pendek dalam hal
halaman yang membahas kasus atau topik yang sangat
spesifik.
Untuk dapat membaca Artikel Jurnal Penelitian
dengan baik, mahasiswa Indonesia perlu mengenal bukan
hanya bidang disiplin yang bersangkutan namun juga
struktur-struktur retorika dari teks-teks akademiknya,
seperti unit-unit komunikatif umum dan persuasi-persuasi
dalam teks dan sumber-sumber linguistik yang digunakan
untuk memperlihatkannya. Dengan kata lain, dengan
pengetahuan mengenai struktur-struktur dan ciri-ciri
retorika Artikel Jurnal Penelitian, mahasiswa diharapkan
akan mampu memahami teks-teks yang bersangkutan
dengan lebih baik. Ini dikarenakan pengetahuan (skema)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 196

mengenai struktur retorika menjadi salah satu skemata yang


diperlukan untuk membaca teks tertentu (Johns, 1997).
Pertanyaan utama yang dibahas dalam bab ini
adalah bahwa “meskipun mahasiswa membutuhkan akses
ke artikel-artikel jurnal penelitian yang diterbitkan dalam
bahasa Inggris dan kemampuan untuk memahaminya,
apakah mengajar genre di kelas memang diperlukan?
Pertanyaan ini dapat diuraikan menjadi dua pertanyaan
yang lebih praktis sebagaimana berikut ini:

 Apakah mengajar struktur retorika dari artikel jurnal


penelitian bahasa Inggris kepada mahasiswa Indonesia
memang diperlukan; dan

 Bagaimana mengajar struktur retorika Artikel Jurnal


Penelitian bahasa Inggris dapat diimplementasikan
secara efektif di kelas?

7.1. Debat mengenai Pengajaran Genre secara


Eksplisit

Para ahli teori genre terapan masih memperdebatkan


apakah pengajaran genre spesifik secara eksplisit memang
diperlukan atau bermanfaat. Freedman (1993) menyatakan
bahwa pengajaran genre secara eksplisit tidaklah mungkin
karena ciri-ciri genre adalah terlalu kompleks dan terlalu
banyak untuk menyajikan cara sistematis kepada
mahasiswa di kelas. Menurut Freedman, pengejaran genre
secara eksplisit bahkan tidak perlu karena para mahasiswa
dapat mengembangkan genre tertentu ketika mereka
mengerjakan tugas, mendengarkan kuliah dan berpartisipasi
dalam seminar, diskusi atau percakapan dengan rekan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 197

mahasiswa lain, dosen, dan tutor. Dari penelitiannya sendiri


bersama dengan mahasiswa S1 jurusan hukum, Freedman
menemukan bahwa para mahasiswa mengembangkan
kesadaran pengetahuan genre mereka sendiri melalui
keterlibatan mereka dalam aktivitas akademik dan sosial.
Dengan kata-katanya sendiri, Freedman mengatakan,

In the law study I was impressed by the richness


and thickness of the texture of the context woven by
the instructors and by the degree to which the
writing elicited was a response to this context. This
enabling context was established through the
lectures, through the reading assigned, through the
questions posed in the seminars to the students, and
through the talk and social interaction in general in
the lecture hall and seminar room. The assignment
evolved naturally out of the disciplinary
conversation, and in responding to it, the students
were able to draw on the appropriate cues so that
on the one hand they all produced the same
distinctive academic sub-genre (writing for law)
and on the other hand through this writing, they
enacted they ways of thinking and the ways of
identifying, delimiting, construing, and approaching
phenomena characteristic of this discipline
(hal:239).

Begitu pula, Berkenkotter dan Huckin (1993) menyatakan


bahwa pengetahuan genre dan penggunaannya dalam
konteks sosial tidak diajarkan sebagaimana yang diperoleh
melalui enkulturasi dalam komunitas wacana tertentu.
Maka, menurut pandangan Freedman dan pandangan
Berkenkotter dan Huckin, para mahasiswa dapat
memperoleh genre baru secara efektif dan efisien hanya

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 198

melalui pengalaman; yaitu melalui proses learning-by-


doing (belajar dengan melakukannya), seperti halnya dalam
upaya untuk menyelesaikan masalah atau tugas yang
disusun dengan cara tertentu dan upaya untuk memahami
kuliah meskipun tidak ada ajaran eksplisit mengenai
pengetahuan genre sebelumnya.
Para ahli teori genre yang lain, seperti Williams dan
Colomb (1993), Swales (1990) dan Johns (1997);
bagaimanapun, menemukan bahwa ajaran eksplisit
mengenai genre memang diperlukan. Williams dan
Colomb, misalnya, menyatakan bahwa melalui pengalaman
saja, para siswa, kecuali bila mereka memang sangat
kompeten, akan gagal memperoleh ciri-ciri signifikan dari
genre tertentu. Menurut Williams dan Colomb, ajaran
eksplisit mengenai genre akan memberi peluang bagi siswa
rata-rata untuk mengetahui dan menyadari akan ciri-ciri
signifikan dari genre tertentu. Bagaimanapun, Williams dan
Colomb juga mengakui manfaat-manfaat dari pengalaman
dengan teks-teks spesifik-genre.
Johns (1997) juga setuju dengan arti penting dari
ajaran eksplisit mengenai genre untuk tujuan
mengembangkan pengetahuan latar atau skemata
dari siswa. Hal ini, menurut Johns, karena bila
para pembaca dan penulis saling membagi skemata
yang sama untuk ciri-ciri dari teks spesifik-genre,
mereka akan mampu memproses dan menghasilkan
teks-teks serupa secara efektif. Johns berkata,

When student readers share some or all of this


knowledge with the writer of an assigned texts, they
comprehend, and we are happy with their text
summaries. When writers share this knowledge,
readers are often pleased with their ability to

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 199

produced what is considered appropriate written


products. This sharing makes reading and writing
much more efficient, and it contributes to mutual
understanding among those involved. Without it, the
lives of readers and writers would be much more
difficult because they would have to make many
more decisions before processing each text (hal:37).

Lebih lanjut Johns menyatakan bahwa ketika memproses


teks spesifik-genre, para pembaca menggunakan model-
model mental yang didasarkan pada skemata mereka, yang
kemudian direvisi ketika mereka membaca atau menulis
untuk situasi tertentu. Maka, mengenal struktur retorika
dari teks dapat membantu siswa untuk mengembangkan
model-model mental dan menggunakannya ketika
menghadapi teks-teks dari genre yang sama untuk
pemahaman atau produksi teks yang efektif.
Swales (1990) juga mendukung ide ajaran eksplisit
mengenai genre, terutama bagi bukan pembicara asli dari
suatu bahasa tertentu. Swales menyatakan bahwa mengajar
dasar pemikiran dan aturan-aturan dari suatu tipe teks
tertentu, seperti teks akademik, dapat membawa pada
pembuatan teks-teks yang cukup sesuai dengan skemata
formal si pembaca. Menurut Swales, pemahaman atas teks
akademik akan bergantung pada “kemampuan pembaca
untuk mengamati blok-blok notional yang tercakup dalam
teks-teks yang bersangkutan dan hubungan hirarkis yang
menyetarakannya secara konseptual” (hal:89). Oleh
karenanya, sebagaimana dinyatakan oleh Swales lebih
lanjut, ajaran eksplisit mengenai struktur retorika untuk
teks-teks dari genre tertentu bersifat sentral di kelas-kelas
membaca dan menulis akademik.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 200

Freedman (1994) baru-baru ini merevisi


pendapatnya mengenai peran-peran potensial dari ajaran
eksplisit dalam akuisisi genre dan menyatakan bahwa
ajaran eksplisit mengenai genre memang perlu sejauh
memenuhi kriteria tertentu. Pertama, para pelajar harus siap
berkembang dan mereka harus dilibatkan dalam
mengerjakan tugas-tugas otentik. Kedua, ajaran eksplisit
harus mampu meningkatkan pengetahuan para pelajar
mengenai ciri-ciri genre sehingga mereka kemudian akan
memperhatikan dan karenanya memperoleh ciri-ciri dalam
masukan berfokus pada arti. Bila ciri-ciri tertentu dari suatu
genre ditunjuk secara eksplisit untuk beberapa pelajar
sebelum mereka dilibatkan dalam membaca atau menulis
contoh-contoh lain dari genre tersebut, mereka dapat
memperhatikan dan memperoleh aturan yang mengatur
ciri-ciri tersebut. Dengan kata lain, ajaran eksplisit
mengenai ciri-ciri formal dari genre terbukti bermanfaat
bagi siswa yang gaya belajarnya sesuai, namun hanya
ketika ajaran tersebut disajikan saat siswa terlibat dalam
tugas membaca dan menulis otentik dengan menggunakan
genre yang ditargetkan.
Singkatnya, ajaran eksplisit mengenai ciri-ciri
spesifik-genre tampaknya diperlukan dan penting untuk
membuat setidaknya beberapa siswa mengetahui ciri-ciri
tersebut saat menangani teks-teks otentik. Pengetahuan
siswa mengenai ciri-ciri retorika dan linguistik dari Artikel
Jurnal Penelitian akan membantu mereka memahami teks-
teks atau menghasilkan teks-teks serupa secara efektif dan
efisien. Ketika mereka secara aktif menggunakan
pengetahuan generik dalam memahami dan/atau
menghasilkan Artikel Jurnal Penelitian, sebagian dari
pengetahuan sadar mereka dapat menjadi akuisisi dan siswa
dapat mulai menggunakannya secara tanpa sadar.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 201

Disamping itu, ajaran eksplisit mengenai ciri-ciri retorika


yang umumnya digunakan dalam Artikel Jurnal Penelitian
dapat mempercepat proses belajar dan meningkatkan
tingkat pencapaian mereka. Yang lebih penting lagi, ajaran
eksplisit dapat membantu mengembangkan atau
meningkatkan motivasi siswa untuk sering membaca
Artikel Jurnal Penelitian. Karenanya, perlu untuk
mengembangkan suatu pendekatan pada pengajaran ciri-
ciri generik dari Artikel Jurnal Penelitian yang ditulis
dalam Bahasa Inggris untuk mahasiswa Indonesia.

7.2. Pendekatan Umum terhadap Pengajaran Teks


Genre Khusus

Terdapat serangkaian pendekatan pada ajaran eksplisit


mengenai genre dan pendekatan yang paling umum
mungkin adalah untuk menyajikan pada siswa teks-teks
model yang dapat dianalisis untuk sifat-sifat generik
tertentu sebelum siswa diminta untuk membaca dan/atau
menulis teks pilihan mereka sendiri (Charney dan Carlson
1995). Menurut Charney dan Carlson, ini adalah refleksi
dari situasi dunia nyata; insinyur pemula seringkali sangat
bergantung pada arsip-arsip laporan teknis saat menulis
laporan mereka sendiri. Charney dan Carlson menemukan
bahwa teks-teks yang ditulis oleh siswa yang diberi teks
model untuk diperiksa dan diikuti memiliki nilai yang lebih
tinggi pada parameter organisasi teks daripada teks-teks
yang ditulis oleh siswa tanpa teks model. Menurut Charney
dan Carlson, hal ini dikarenakan dengan mempelajari teks
model, siswa dapat memahami pola-pola retorika dari teks-

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 202

teks spesifik-genre pada tingkat kalimat, tingkat paragraph,


dan tingkat wacana lebih tinggi lagi.
Dudley-Evans (1997) juga menyatakan bahwa
penggunaan model teks dalam ajaran eksplisit mengenai
ciri-ciri retorika teks spesifik-genre adalah untuk tujuan
meningkatkan pengetahuan siswa mengenai ciri-ciri formal
dari teks. Menurut Dudley-Evans, pendekatan ini memberi
siswa kemampuan komunikatif untuk mengekspresikan
ide-ide mereka dengan cara-cara yang diasumsikan oleh
para anggota komunitas wacana mereka. Bagaimanapun,
sebagaimana yang diingatkan oleh Dudley-Evans, bahaya
dari pendekatan ini adalah bahwa guru dan siswa mungkin
percaya bahwa model-model tersebut merupakan satu-
satunya cara dimana penulisan akademik dapat disajikan.
Untuk alasan ini, Dudley-Evans menyatakan bahwa ajaran
genre akademik juga harus mencakup ajaran mengenai
strategi-strategi komunikatif, seperti penggunaan hedging
dalam membuat klaim pengetahuan dan cara-cara
mengevaluasi item-item dari studi-studi terdahulu.
Pendekatan lain pada ajaran eksplisit mengenai
genre akademik di tingkat perguruan tinggi adalah
„pendekatan proses‟. Dalam pendekatan ini, siswa diminta
untuk saling membagi sampel-sampel teks dari proyek-
proyek penulisan mereka sendiri dengan rekan atau anggota
kelas mereka. Ini dilakukan untuk memperlihatkan kepada
siswa bahwa menulis adalah suatu proses sosial dimana
negosiasi berulang antara penulis dan pembaca mengenai
bentuk dan isi dari teks-teks mereka memang diperlukan
untuk menghasilkan teks-teks yang sesuai dari sudut
pandang kedua belah pihak (Ahmad 1997). Begitu pula,
Swales (1990) menyatakan bahwa arti penting dari proses
penulisan di kelas-kelas menulis kini sangat maju dan
berfokus pada proses penulisan yang bermanfaat bukan

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 203

hanya untuk kelas Bahasa Kedua (L2) namun juga untuk


kelas Bahasa Pertama (L1). Menurut Swales, manfaat
nyatanya adalah bahwa respon (misalnya komentar,
koreksi, pertanyaan atau kritik) dari para anggota kelas
terhadap konsep dari siswa, yang berasal dari sudut
pandang pembaca, berasal dari perspektif yang tidak dapat
digunakan oleh penulis siswa sendiri. Ini karena para
penulis, bahkan penulis yang berpengalaman, tidak dapat
menjadi pembaca efektif dari teks-teks mereka sendiri.
Disamping itu, membagi karya mereka dengan para rekan
siswa juga akan membuat menulis menjadi lebih realistis
dan alami karena pemirsa telah berubah dari menulis untuk
instruktur menjadi menulis untuk rekan. Ini juga dapat
membuat tujuan menulis menjadi lebih realistis atau otentik
bagi penulis siswa.
Pendekatan lain yang umumnya digunakan dalam
ajaran spesifik-genre adalah „pendekatan studi kasus‟,
terutama mengenai kisah dari penulis dan/atau pembaca
berpengalaman atau profesional (Swales 1990:203). Swales
menyatakan bahwa pendekatan studi kasus dalam membaca
dan menulis akademik didasarkan pada pandangan bahwa
para siswa memiliki gaya atau strategi belajar yang
berbeda; satu strategi dapat bersifat efektif untuk kelompok
siswa tertentu namun tidak demikian untuk kelompok yang
lain. Menurut Swales, mengamati beberapa model
bagaimana penulis dan/atau pembaca berpengalaman
menangani teks-teks akademik dapat memberi pilihan bagi
para siswa untuk diikuti. Maka, bila para siswa mengetahui
gaya atau strategi belajar mereka sendiri, mereka dapat
memilih salah satu model yang ada untuk diikuti atau
menyesuaikan model yang bersangkutan dengan tugas
membaca dan menulis mereka.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 204

Pendekatan yang lebih komprehensif terhadap


mengajar dan mempelajari genre yang disebut „siswa
sebagai peneliti‟ disarankan oleh Johns (1997). Johns
menyatakan bahwa pendekatan yang bersangkutan
dirancang secara spesifik „... untuk mendorong keingin-
tahun siswa pada teks dan genre, kehidupan membaca
mereka, dan praktek membaca dari orang lain, sehingga
mereka dapat bersiap diri dengan lebih baik dalam
memposisikan mereka dalam konteks akademik dan
konteks sosial lain‟ (hal:92). Tujuan utama dari pendekatan
ini, menurut Johns, adalah untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan berikut ini:

1) Bagaimana siswa dapat menggunakan teks sebagai


katalis untuk meneliti? Bagaimana mereka dapat belajar
dari contoh-contoh genre mengenai sifat-sifat internal
teks?

2) Apa ciri-ciri eksternal teks dari genre yang mungkin


ditelaah siswa?

3) Bagaimana kita dapat mengembangkan penelitian siswa


menjadi proses-proses dan strategi-strategi yang mereka
gunakan untuk menyelesaikan tugas-tugas membaca dan
menulis? Bagaimana kita dapat mendoronga mereka
untuk menggunakan penelitian mereka untuk
mengembangkan rangkaian strategi mereka? dan

4) Proyek-proyek penelitian eksternal-kelas apa yang dapat


dilakukan siswa? Bagaimana mereka dapat
menggunakan wawancara dan observasi peserta dalam
mencapai tujuan-tujuan mereka? (hal:93)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 205

Dalam pendekatan ini, para siswa diminta untuk


menemukan ciri-ciri generik dari teks spesifik-genre
tertentu, seperti Artikel Jurnal Penelitian dengan bantuan
dari instruktur mereka. Ciri-ciri ini mencakup ciri retorika
dan cirri linguistik dari teks yang bersangkutan, ciri-ciri
eksternal dari teks (misalnya judul, penulis dan pembaca,
tujuan komunikatif, dan konteks situasi), strategi-strategi
pemrosesan untuk membaca dan menulis teks bagi siswa,
dan penelitian diluar kelas (misalnya mewawncarai para
ahli-lapang, menjadi peserta pbservasi dan menghadiri
kuliah atau mengunjungi laboratorium). Maka, aktivitas
kelas menurut pendekatan ini melibatkan empat tipe
aktivitias, analisis teks, analisis proses membaca dan
menulis, dan analisis konteks dan mewawancarai para
anggota ahli dari genre tertentu.
Tiga pendekatan di atas memiliki suatu persamaan;
semuanya melibatkan sejenis analisis retorika dari teks
pilihan untuk genre tertentu seperti Artikel Jurnal
Penelitian oleh siswa. Ini dilakukan dengan tujuan untuk
menemukan ciri-ciri linguistik retorika tipikal dan penting
dari teks-teks yang bersangkutan dan membuat siswa
mengetahui ciri-ciri tersebut sehingga mereka memiliki
sejumlah harapan saat membaca dan/atau menulis teks
serupa. Ini dikarenakan dengan harapan-harapan yang tepat
terhadap ciri-ciri retorika dari teks dalam genre tertentu,
siswa dapat membaca dan/atau menulis teks tertentu secara
lebih efektif.
Bagaimanapun, suatu pendekatan tertentu mungkin
hanya akan sesuai untuk kelompok siswa tertentu dan
bukan untuk kelompok yang lain, dan suatu pendekatan
tertentu dapat digunakan untuk lingkungan ajar tertentu
namun tidak dengan lingkungan ajar lainnya. Maka,
keputusan mengenai pendekatan-pendekatan mana yang

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 206

akan digunakan di kelas tertentu untuk pengajaran genre


akademik akan bergantung pada observasi dan persepsi
guru terhadap gaya belajar siswa, atmosfir kelas, dan
fasilitas dan/atau materi belajar dan/atau mengajar yang
tersedia. Untuk mengajar genre Artikel Jurnal Penelitian
Bahasa Inggris kepada mahasiswa Indonesia, guru harus
mempertimbangkan fakta bahwa kelas-kelas bahasa
biasanya relatif besar karena jumlah guru dan kelas yang
terbatas dan jarangnya media ajar.
Maka, pangajaran genre Artikel Jurnal Penelitian
harus bertujuan untuk memperlihatkan kepada para
mahasiswa struktur-struktur retorika umum dan bagaimana
Artikel Jurnal Penelitian diatur mengikuti struktur-struktur
tersebut. Bagi mahasiswa Indonesia, beberapa aktivitas
mengajar di kelas dapat digunakan seperti, menganalisis
sampel-sampel Artikel Jurnal Penelitian Bahasa Inggris
yang baik dalam disiplin ilmu tertentu (yaitu, mengikuti
jurusan siswa) pada struktur retorika makronya (misalnya
menggunakan model CARS dari Swales untuk
menganalisis bagian pendahuluan Artikel Jurnal Penelitian)
dan fungsi retorikanya, membandingkan Artikel Jurnal
Penelitian yang berhasil dengan yang tidak berhasil,
mewawancarai para ahli di komunitas wacana tertentu
mengenai bagaimana mereka membaca Artikel Jurnal
Penelitian, dan sebagainya.

7.3. Ringkasan

Mahasiswa Indonesia perlu membaca artikel-artikel jurnal


penelitian yang diterbitkan dalam bahasa Inggris terutama
artikel-artikel di bidang disiplin mereka karena beberapa
alasan tertentu, seperti ketersediaan jurnal-jurnal penelitian
di perpustakaan universitas, ukuran artikel yang mudah

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 207

untuk dibaca dan sifat otentik atau realistis dari sumber


bacaan. Agar berhasil dalam membaca artikel, para
mahasiswa perlu mengenal genre yang bersangkutan dari
sudut pandang struktur dan ciri retorika mereka. Ini karena
struktur dan ciri retorika teks merupakan bagian dari latar
pengetahuan (skemata) yang diperlukan untuk proses-
proses pemahaman yang berhasil. Untuk itu, pengajaran
mengenai struktur dan ciri retorika dari Artikel Jurnal
Penelitian memang diperlukan untuk membuat para
mahasiswa menyadari struktur dan ciri dominan dari
Artikel Jurnal Penelitian bahasa Inggris dan bagaimana
struktur dan ciri tersebut dapat mempengaruhi kualitas dari
artikel yang bersangkutan.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 208

Daftar Pustaka

Ahmad, U. Khair (1997) Scientific Research Articles in


Malay: A Situated Discourse Analysis, a Ph.D.
Dissertation in the University of Michigan,
Michigan: UMI Publication.

Ballard, B. and J. Clanchy (1984) Study Abroad: A Manual


for Asian Students, Petaling Jaya, Selangor
Darul Ehsan: Malaysian Longman.

Bathia, Vijay K. (1991) A Genre Based Approach to ESP


Materials, World Englishes, Vol. 10, No. 2.

Bazerman, Charles (1981) „What Written Knowledge


Does: Three Examples of Academic Discourse‟,
Dalam Philosophy of the Social Sciences, 11,
pp:361-382.

Berkenkotter, Carol and Thomas N. Huckin (1995) Genre


Knowledge in Disciplinary Communication:
Cognition/Culture/Power, New Jersey: Lawrence
Erlbaum Associates.

Birk, N. and G. Birk (1967) „Persuasion by Logical


Argument‟ in Glorfeld, L.E., T.E. Kakones, and
J.C. Wilcox (eds.). Language Rhetoric and Idea:
A Unified Approach to Composition. Columbus,
Ohio: C.E. Merrill Books.

Boas, Franz (1974) Introduction to the Handbook of


American Indian Language. Dalam Blount, Ben

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 209

G. Language Culture and Society: A Book of


Reading, Cambridge: Winthrop Publishers, Inc.

Bolivar, Adriana (1994) “The Structure of Newspaper


Editorials”, dalam R. M. Coulthard (ed.)
“Advances in Written Text Analysis”, London:
Roudledge.

Charney, Davida H and Richard A. Carlson (1995)


„Learning to Write in a Genre: What Student
Writers Take from Model Texts‟ in Reasearch in
the Teaching of English, 29/1, pp:88-125.

Cheong, Eun-Ye (1999) Analyss of Sermon Delivered By


Korean, Pilipino and American Pastors: The
View of Genre Analysis, Relc Journal, Vol. 30,
No. 2, pp:44-60

Chessel, P. and H. Birnstihl (1978) Essay Writing: A guide


(2nd ed.), Malvern, Victoria: Sorrett Publishing.

Choi, Y. H. (1988) Text Structure of Korean Speakers‟


Argumentative Essays in English, Dalam World
Englishes 7/2:129-142

Clyne, Michael (1987) „Cultural Differences in the


Organization of Academic Texts: English and
German‟ Dalam Journal of Pragmatics, 11, pp:
211-247.

Connor, U. and J. Lauer. 1985. „Understanding Persuasion


Essay Writing: Linguistic/Rhetorical
Approach‟. Text 5/4:309-326.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 210

Connor, U. (1987) „Argumentative Patterns in Student


Essays: Cross-cultural differences‟ in Connor,
U. and R.B. Kaplan (eds.). Writing Across
Languages: Analysis of L2 Text. Reading,
Massachusetts: Addison-Wesley Company.

_________ (1990) „Linguistics/Rhetorical Measures for


International Persuasive Student Writing‟.
Research in the Teaching of English 24/1:67-87.

_________ 1996 Contrastive Rhetoric: Cross-cultural


aspects of second-language writing, Cambridge:
CUP.

Corbett, Edward, P. J. (1990) Classical Rhetoric for


Modern Student (3rd.ed), Oxford: Oxford
University Press.
Coulthard, R. Malcolm (1994) “On Analysing and
Evaluating Written Text”, dalam M. Coulthard
(ed.) “Advances in Written Text Analysis”,
London: Roudledge.

Coulthard, R. Malcolm (1994) “On Analysing and


Evaluating Written Text”, dalam M. Coulthard
(ed.) “Advances in Written Text Analysis”,
London: Roudledge.

Crismore, Avon and William J. Vande Kopple (1997) „The


Effects of Hedges and Gender on the Attitudes of
readers in the United States Towards Material in

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 211

a Science Textbook‟ in Anna Duszak (ed.) pp:


223-247.

Crookes, Graham (1986) „Towards a Validated Analysis of


Scientific Text Structure‟, Dalam Applied
Linguistics ,7/1, pp:57-70.

Darian, Steven (1997) „The Language of Classifying in


Introductory Science Texts‟, in Journal of
Pragmatics, 27, pp: 815-839.

Day, R. Abby (1996) How to Get Research Published in


Journals, Hampshire: Gown Publishing Limited.

Dudley-Evans, Tonny (1997) „Genre: How far can we,


should we go?‟, in World Englishes, 16/3, pp:
351-358.

Duszak, Anna (1997) (ed.) Culture and Styles of Academic


Discourse, Berlin: Mouton de Gruyter.

Egginton, W. G. (1987) Written Academic Discourse in


Korean: Implication for Effective
Communication‟ Dalam Connor, U. and R. B.
Kaplan (eds) Writing Across Languages:
Analysis of L2 Texts, Reading Massachusetts:
Addison-Wesley Publishing Company.

Freedman, Aviva and Peter Medway (eds.) (1994) Genre


and the New Rhetoric. London: Taylor and
Francis.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 212

Golebiowski, Z and H. Borland (eds.) (1997) Academic


Communication Across Discplines and Cultures,
Selected Proceedings of the First National
Conference on Tertiary Literacy: Research and
Practice, Vol. 2, Melbourne: Victoria University
of Technology.

Hatch, E. and A. Lazaraton (1991) The Research Manual:


Design and Statistics for Applied Linguistics,
Boston: Heinle & Heinle Publishers.

Hatch, E. (1992) Discourse and Language Education.,


Cambridge: Cambridge University Press.

Hinds, J. (1983) „Contrastive Rhetoric: Japanese and


English‟, Text 3/2:183-195.

Hoey, Michael (1983) On The Surface of Discourse,


London: George Allen and Unwin.

Holmes, Janet (1982) „Expressing Doubt and Uncertainty


in English‟, RELC Journal 13:9-28.

Homes, Richard (1997) „Genre Analysis and the Social


Sciences: An Investigation of the Structure of
Research Article Discussion Sections in Three
Disciplines‟, in English for Specific Purposes,
16/4, pp: 321-337.

James, Allen (1983) „Compromises in English: A Cross


Disciplinary Approach to Their Interpersonal
Significance‟, Journal of Pragmatics 7:191-286.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 213

Johns, Ann M. (1997) Text, Role, and Context: Developing


Academic Literature, Cambridge: Cambridge
University Press.

Kaplan, Robert B. (1966) „Cultural Thought Patterns in


Inter-Cultural Education‟ in Language Learning,
XVI, pp: 1-20.

Kaplan, R.B. (1972) The Anatomy of Rhetoric:


Prolegomena to a Functional Theory of Rhetoric,
Philadelphia. P.A.: Centre for Curriculum
Development.

Kenworthy, Joanne (1991) Language in Action: An


Introduction to Moder Linguistics, Longman
Group UK Limited.

Keraf, Gorys (1981) Tata Bahasa Rujukan Bahasa


Indonesia, Jakarta: Grasindo.

Keraf, G. (1992) Argumen dan Narasi, Jakarta: Gramedia.

Kirkpatrick, A. (1994) Contrastive Rhetorics and the


Teaching of Academic Discourse, (unpublished
material): Paper presented at RELC Singapore
Conference, April 18-20 1994.
____________ (1997) 'Writing Expository Essays in
Chinese: Chinese or Western Influences? in Z.
Golebiowski and H. Borlland (eds.)Academic
Communication Across Disciplines and Cultures,
Melbourne: Victoria University of Technology.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 214

Kreutz, Heinz and Annette Harres (1997) „Some


Observations on the Distribution and function of
hedging in German and English Academic
Writing‟ in Anna Duszak (ed.) pp: 181-201.

Landau, Sydney I. (1984) Dictionaries: the Art and Craft of


Lexicography, New York: Scribner.

Levin, G. (1966) A Brief Handbook of Rhetoric, New York:


Harcourt, Brace and Word.

Liddicoat, A. J. (1997) 'Communicating Within Cultures,


Communicating Across Cultures,
Communicating Between Cultures' in
Golebiowski, Z. and H. Borlland (eds.)
Academic Communication Across Disciplines
and Cultures, Melbourne: Victoria University of
Technology.

Liddicoat, Anthony (1997b) „Communicating Within


Cultures, Communicating Across Cultures,
Communicating Between Cultures‟, Dalam Z.
Golebiowski and H. Borland (eds.), pp: 12-23.

Malinowski, Bronislaw (1949) „The Problem of Meaning in


Primitive Language‟ Dalam C. K. Ogden and I.
A. Richards (eds.) The Meaning of Meaning: The
Study of the Influence of Language upon
Thought and of the Science of Symbolism,
London: Routledge and Kegan Paul.

Meyer, Bonie J. F. (1992) An Analysis of a Plea for


Money, dalam W. C. Mann dan S. A Thompson

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 215

(eds) Discourse Description: Diverse Linguistic


analyses of a fund-raising texs, Philadelphia:
John Benjamin Publishing Company

Markkanen, Raija and Hartmut Schroder (1997) „Hedging:


A Challenge for Pragmatics and Discourse
Analysis‟ in Raija Markkanen and Hartmut
Schroder (eds) pp: 3-18.

Markkanen, Raija and Hartmut Schroder (eds) (1997)


Hedging and Discourse, Berlin: Walter de
Gruyter.

Mohan, B. A. and W. A. Y. Lo (1985) „Academic Writing


and Chinese Students‟ Transfer and
Development Factors, TESOL Quarterly
19/3:515-534

Najjar, Hazem Y. (1989) Scientific Arabic: the Agricultural


Research Article, an Unpublished Ph.D.
Dissertation at The University of Michigan, Ann
Arbor.

Ngadiman, Austinus (1998) Javanese Cultural Thought


Patterns as Manifested in Expository Discourse,
Tesis Ph.D di IKIP Malang Jawa Timur.

Nwogu, Kevin Ngozi (1997) „The Medical Research Paper:


Structure and Functions‟, dalam English for
Specific Purposes, 16/2, pp: 139-150.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 216

Posteguillo, Santiago (1999) „The Schematic Structure of


Computer Science Research Articles‟ dalam
English for Specific Purposes, 18/2, pp:139-160.

Rifai, Mien A. (1995) Pegangan Gaya Penulisan,


Penyuntingan dan Penerbitan Karya Ilmiah
Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Rottenberg, A.T. (1988) Elements of Argument, New York:


St. Martins Press.

Rubin, D., R. Goodrum, and B. Hall, (1990) „Orality, Oral-


based, and the Academic Writing of ESL
Learners‟, Issues in Applied Linguistics 1:56-76.

Safnil (2001) Rhetorical Structure Analysis of the


Indonesian Research Articles, (an unpublished
material) Ph. D. Thesis at the Department of
Linguistics, The Faculty of Languages and Arts
of the Australian National University, Canberra
Australia.

Sapir, Edward (1974) „The Unconscious Patterning of


Behaviour in Society‟, dalam Blount, Ben G.
Language Culture and Society: A Book of
Reading, Cambridge: Winthrop Publishers, Inc.

Swales, John M. (1981) Aspects of Articles Introduction,


Birmingham, UK: The Language Studies Unit,
University of Aston.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 217

_____________(1984) „Research into the Structure of


Introductions to Journal Articles and its
Application to the Teaching of Academic
Writing‟ dalam R. Williams, J. Swales and J.
Kirkman (eds.) Common Ground: Shared
Interests in ESP and Communication Studies,
Pergamon Press International, pp:77-86.

_____________(1990) Genre Analysis: English in


Academic and Research Settings, Cambridge:
Cambridge University Press

Tirkkonen-Condit, S. (1984) „Towards a Descriptive of


Argumentative Text Structure‟ in Hikam, R. and
M. Rissanen (eds.). Proceeding for the Second
Nordic Conference for English Studies.
Publications of the Research Institute of the Abo
Akademi Foundation.

Toulmin, S.E., R. Rieke, and A. Janik. (1979) An


Introduction to Reasoning, New York:
Macmillan.

_________ (1984) An Introduction to Reasoning (2nd. ed.)


, New York: Macmillan.

Trianto, Agus (2000) Analisis Retorika Humor Mahasiswa,


bahan tidak terbit.

Widdowson, Henri G. (1979) Explorations in Applied


Linguistics, Oxford: Oxford University Press.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 218

Williams, Joseph M. and Gregory G. Colomb (1993) „The


Case for Explicit Teaching: Why What You
Don‟t Know Won‟t Help You‟, in Research in
the Teaching of English, 27/3, pp:252-264.

Worf, Benjamin Lee (1974) „The Relation of Habital


Thought and Behavior to Language‟, Dalam
Blount, Ben G. Language Culture and Society: A
Book of Reading, Cambridge: Winthrop
Publishers, Inc.

Wyrick, J. (1987) Steps to Writing Well, Orlando, Florida:


Holt, Rinehart and Winston.

Yudojono, K.S. (1984) Bahasa Indonesia untuk Penulisan


Ilmiah, Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 219

Lampiran-Lampiran
Lampiran 1: Terjemahan bebas dalam Bahasa
Indonesia karangan A E 2

(1) Terdapat beberapa alasan kenapa merokok


seharusnya dilarang di tempat-tempat umum, terutama
karena pengaruh buruk yang bisa ditimbulkan perokok
pasif. (2) Sedangkan setiap individu mempunyai pilihan
apakah dia akan merokok atau tidak (3) perokok pasif
tidak punya pilihan. (4) Mereka suka atau tidak suka
menderita pengaruh jelek dari orang lain yang merokok
(5) Perokok pasif ini tidak punya pilihan dalam hal ini. (6)
Jika orang lain di sekitarnya merokok, seseorang yang
tidak merokok terpaksa menghirup asap rokok karena
mereka harus bernapas. (7) Saya kira ini sangat tidak adil
bagi seorang yang tidak bersalah untuk menderita
pengaruh jelek dari orang lain yang merokok. (8) Saya
tidak keberatan atas setiap orang yang ingin merusak
paru-parunya sendiri dengan mengisap rokok; (9) setiap
orang punya pilihan tersebut, (10) tapi sekali seseorang
mengambil keputusan untuk tidak merokok, (11) jelas
sangat tidak adil kalau dia menderita penyakit akibat
merokok. (12) Khususnya, bila tak ada yang dapat mereka
perbuat untuk menghindarinya. (13) Tidak ada cara
preventif.
(14) Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa
orang yang tidak merokok harus meninggalkan tempat
umum dimana ada orang merokok. (15) Sekali lagi, ini
sangat tidak adil kenapa orang yang tak merokok harus
dipaksa meninggalkan tempat-tempat umum. (16) Adalah
beralasan bagi perokok untuk masuk ke tempat umum tapi

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 220

bukan untuk merokok di sana. (17) Di rumah, di dalam


mobil, atau di tempat-tempat pribadi lainnya, perokok
bebas merokok. (18) Misalnya, jika anda menompang
mobil seorang teman dan dia menyalakan rokok, ini hak
orang tersebut untuk merokok karena itu mobil dia. (19)
Dia biasa melakukan apa saja yang dia sukai. (20) Dalam
kasus ini si perokok punya hak untuk merokok. (21) Tapi,
di tempat-tempat umum, si perokok seharusnya tidak
punya hak untuk merokok karena apa yang mereka
lakukan mempengaruhi orang lain.
(22) Oleh karena itu, banyak alasan kuat untuk
mendukung bahwa merokok harus dilarang di tempat-
tempat umum yaitu karena pengaruh buruh yang
diakibatkan oleh perokok pasif. (23) Adalah sangat tidak
adil untuk seorang menderita penyakit akibat asap rokok
sementara mereka tidak menginginkannya. (24) Merokok
adalah kebiasaan yang berbahaya bagi kesehatan. (25)
Merokok haruslah dibatasi pada tempat-tempat khusus
atau pribadi saja.

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 221

Lampiran 2:

Pengaruh Minat Terhadap Film Kekerasan Di Televisi


Terhadap Kecenderungan Perilaku Agresif Remaja

Fauzan Heru Santhoso


Universitas Gajah Mada

[Prg.1] Agresivitas remaja akhir-akhir ini


menunjukan gejala yang semakin meningkat, baik dari
segi kwantitas maupun kualitas. Dulu perilaku agresif
remaja remaja yang ditunjukan bersifat musiman. Hal itu
biasanya berwujud perkelahian antar remaja yang
dilakukan pada saat-saat tertentu, misalnya pada awal atau
akhir semester. Sekarang ini perilaku agresif mereka
seolah-olah tidak memandang waktu lagi. Ada masalah
sedikit atau sepele saja, segeral timbul perkelahian.
[Prg.2] Dari segi kwalitas, perkelahian remaja
menunjukan gejala semakin meningkat. Korban yang
jatuh tidak sekedar mengalami luka, akan tetapi menelan
korban jiwa. Keadaan semacam ini sudah barang tentu
menimbulkan keprihatinan semua pihak baik keluarga,
sekolah, masyarakat, maupun pemerentah. Sebab tidak
jarang fasilitas umumbanyak yang rusak akibat
perkelahian tersebut.
[Prg.3] Melihat kondisi demikian ini, beberapa ahli
dari berbagai disiplin ilmu berusaha menganalisis sebab-
sebab terjadinya perilaku agresif remaja. Sebagian
mengatakan bahwa penyebab perilaku agresif remaja saat
ini adalah karena pengaruh filem kekerasan di telivisi
(Rakhmat, 1989; Jester dan Stein dalam Pikunas, 1976;
Berkowits dalam Worchel & Cooper, 1984). Para ahli
dalam kelompok ini sangat dipengaruhi teori belajar

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 222

Bandura. Sebagian yang lain menyatakan bahwa bukan


tema-tema kekerasan di telivisi yang menyebabkan
perilaku agresif remaja, tetapi ada faktor-faktor lain. Para
ahli tersebut berpandangan bahwa justru dengan melihat
tayangan kekerasan di film, perilaku agresif dapat ditekan.
Pandangan ini mendasarkan diri pada teori frustasi agresi
yang dikemukakan oleh Dollar, dan kawan-kawan (Baron
& Byrn, 1984).
[Prg.4] Dengan demikian tujuan dari penelitian ini,
ialah untuk mengetahui hubungan antara minat terhadap
film kekerasan di televisi dengan kecenderungan perilaku
agresif remaja.
[Prg.5] Beberapa penelitian telah dilakukan, namun
hasilnya masih belum konsisten. Fiedrich dan Stein
(dalam Worchel & Copper, 1983) mengadakan penelitian
terhadap murid taman kanak-kanak laki-laki dan
perempuan yang melihat tayangan film televisi yang
bertemakan kekerasan, netral, dan prososial.
(S.3)Hasilnya menunjukan bahwa anak- anak yang
menonton tayangan netral dan prososial dapat menurun
agresifitasnya, sedang anak-anak yang menonton
tayangan kekerasan meningkat.
[Prg.6] Parke dkk. (dalam Worchel & Cooper,
1983) mengadakan penelitian terhadap penghuni panti
anak nakal di Amerika dan Belgia. Anak-anak yang
melihat tayangan film kekerasan menunjukan perilaku
yang lebih agresif dibanding dengan anak-anak yang
melihat tayangan film netral. Penelitian Martani dan
Adiyanti (1992) terhadap anak prasekolah dan Taman
Kanak-kanak di Yogyakarta hasilnya menunjukan bahwa
tidak ada perbedaan tingkah laku agresif antara anak-
anak yang suka menonton film kekerasan dan tidak
mengandung kekerasan di televisi. Penelitian Eron (1987)

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 223

terhadap murid sekolah dasar menunjukan bahwa


semakin banyak adegan kekerasan di televisi yang
ditonton maka anak semakin agresif. Selanjutnya
dilaporkan walaupun koefisien korelasi tidak begitu
tinggi, namun hasil yang sama diperoleh baik di
Amerika, Eropah dan Australia.
[Prg.7] Beberapa penelitian tersebut jelas
menunjukan bahwa hubungan antara film kekerasan di
televisi dengan perilaku agresif masih belum menunjukan
hasil yang konsisten. Oleh sebab itu pula, maka beberapa
waktu yang lalu di dalam masyarakat terjadi polemik
yang cukup panjang tentang pengaruh film kekerasan di
televisi terhadap perilaku agresif remaja. Apakah perilaku
agresif remaja disebabkan oleh minat remaja terhadap
tayangan film kekerasan di televisi atau ada faktor-faktor
lain penyebab meningkatnya perilaku agresif remaja saat
ini?

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 224

Prof. Safnil MA., Ph.D. lahir di Desa


Koto Kecil Kecamatan Guguk
Kabupaten Lima Puluh Kota, Propinsi
Sumatera Barat pada tanggal 21 Januari
1961. Dia menyelesaikan Program
Strata 1 (S.1) pada Jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris FPBS Institut Keguruan
dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Padang
pada tahun 1984. Kemudian dia melanjutkan studi pada
Program Post Graduate Diploma (Diploma Pasca Sarjana)
dalam bidang TESL (the Teaching of English as a Second
Language) di English Language Institute (ELI), Victoria
University di Wellington, Selandia Baru pada tahun 1990.
Pada tahun 1992, dia kuliah di Jurusan TESOL (the
Teaching of English to Speakers of Other Languages), the
Faculty of Education of University of Canberra (UC) di
Canberra, Australia dan tamat dengan gelar Master of Arts
(MA) pada tahun 1994. Program S3 (Doktor) dalam bidang
Linguistik diselesaikannya pada tahun 2001 pada the
Linguistic Department of the Faculty of Arts of the
Australian National University (ANU) of Canberra,
Australia. Safnil juga pernah mengikuti program pelatihan
non-gelar (non-degree training) dalam bidang English for
Business and Technology (EBT) pada SEAMEO-RELC
Singapore pada tahun 1995 dan program magang
(internship) tentang Language Teaching Center
Management di the Economic Institute (EI) di Boulder,
Colorado, USA pada tahun 1997. Dia memperoleh gelar
Guru Besar (Profesor) dalam bidang Pengajaran Bahasa
Inggris sejak Juni 2007 pada program studi Pendidikan
Bahasa Inggris Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas

Safnil
Pengantar Analisis Retorika Teks 225

Bengkulu. Beberapa tulisannya pernah terbit di berbagai


jurnal ilmiah baik di dalam negeri seperti, Jurnal
Komposisi (UNP Padang), Linguistik Indonesia
(Masyarakat Linguistik Indonesia), Linguistika
(Universitas Udayana, Bali), Pelangi Pendidikan (BKS
PTN Wilayah Barat), Vidya Karya (Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin). TEFLIN Journal (Asosiasi Guru
dan Dosen Bahasa Inggris se-Indonesia), Wacana (FKIP-
Universitas Bengkulu), Forum Pendidikan (FKIP
Universitas Sriwijaya, Palembang) dan Jurnal Sastra
Inggris (Universitas Kristen Maranatha, Bandung) maupun
di luar negeri seperti: Guidelines (SEAMEO-RELC,
Singapore), Australian Review of Applied Linguistics
(ARAL, Australia), the Asian Pacific Researcher (Filipina)
dan Journal of English as a Foreign Language (Hiderabat,
India). Safnil juga pernah memperoleh hibah dana
penelitian dari SEAMEO-RELC Singapore untuk meneliti
kualitas guru Bahasa Inggris SMP di Bengkulu dalam
menggunakan buku ajar pada tahun 2002.

Safnil

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai