Data Buku
Tahun : 2006
ISBN : 978-979-21-4405-5
Kelompok : 5 (Bab 5)
Pendahualuan
Berikut ini akan dibicarakan empat model agnostisisme filosofis: Epistemologi Kant yang menyangkal bahwa
orang dapat mengetahui sesuatu tentang Tuhan; Positivisme Logis yang menyangkal makna wacana metafisik
dan etika ; penerapan prinsip falsifikasi Popper pada hal ketuhanan oleh Antony Flew; clan penolakan
kemungkinan sebuah pendasaran akhir oleh Hans Albert. Namun sebelumnya akan dibicarakan latar belakang
dan konteks budaya agnostisisme filosofi.
Pembahasan
Agnostisisme tidak menolak adanya Tuhan. Malah, menyangkal adanya Tuhan dianggap sebagai ketinggalan
zaman. Tetapi di lain pihak, agnostisisme tidak mengakui rasionalitas wacana Tuhan. orang percaya kepada
Tuhan boleh, tetapi hal itu dianggap termasuk selera pribadi. Yang ditolak oleh agnostisisme, bahwa hal
ketuhanan dapat dihubungkan dengan claim kebenaran. Silahkan orang percaya apa yang sesuai dengan
kecenderungan pribadinya. Debar antara agama-agama tentang mana yang lebih benar, serta semangat
penyebaran agamanya sendiri sebagai agama yang benar, dianggap kampungan.
Implikasinya adalah relativisme agama total. Agama tergantung dari selera orang. maka, agama memang
menjadi urusan pribadi. Bahwa agama-agama besar memiliki nilai-nilai luhur diakui dan karena itu sumbangan
agama-agama bagi moralitas bangsa dihargai. Sikap sekularisasi di sini adalah kenyataan bahwa semakin
banyak wilayah kehidupan dapat dijalankan tanpa acuan pada agama. Hanya kehidupan dalam keluarga masih
ditentukan oleh apakah mereka beragama atau tidak dan bagaimana penghayatan dan pengamalan keagamaan
mereka. orang dapat melakukan profesi-profesinya, serta berkomunikasi dengan lancar dengan, rekan-rekan
seprofesi maupun dengan para klien tanpa sedikitpun mempermasalahkan keyakinan beragama.
Hal itu di satu pihak merupakan suatu kemajuan. Perbedaan dalam hal agama tidak lagi memecah belahkan
masyarakat. Karena itu, keyakinan beragama menjadi urusan pribadi, sesuai dengan keyakinan, bahkan selera,
orang masing-masing. orang lain tidak akan mencampurinya. Agnostisisme filosofis sesuai. dengan kenyataan
ini. Seakan-akan filsafat mengatakan bahwa tidak mungkin memastikan sesuatu yang objektif tentang
keagamaan, maka hendaknya setiap orang mengambil sikap yang terasa cocok baginya, dan selain itu hal
keyakinan keagamaan pribadi pantang dibicarakan.
Immanuel Kant (1724-1804) masuk ke dalam sejarah filsafat sebagai "sang penghancur metafisika". dalam
Keritik Akal Budi Murni, karyanya yang paling termasyur, Kant menyatakan "kegagalan segala usaha
metafisika". memikirkan objek-objek yang di luar cakupan pengalaman inderawi hanya menghasilkan
"kesesatan" dan "tipuan", karena Tuhan terletak di luar pengalaman manusia, maka tidak mungkin "menentukan
sesuatu secara teoretis tentang eksistensi Tuhan. Kant memang tegas-tegas membatasi pengetahuan manusia
pada objek-objek inderawi. Dan karena Tuhan bukan objek inderawi, Tuhan menurut Kant bukan objek
pengetahuan manusia. Kant menyangkal kemungkinan pengetahuan objektif tentang Tuhan bukan untuk
memarikan pemikiran tentangNya; melainkan ia mau menutup jalan kc Tuhan yang dianggapnya jalan buntu
agar manusia mencari jalan yang sebenarnya untuk mempertanggungjawabkan imannya kepadaNya. Kant
sendiri menegaskan bahwa penyangkalan kemungkinan pengetahuan teoretis tentang Tuhan berarti bahwa
eksistensi Tuhan juga tidak dapat dibantah. Ateisme pun secara filosofis tidak masuk akal.
mari kita lihat bagaimana Kant sendiri mengangkat kembali wacana filsafat tentang Tuhan.
Positivisme Logis nama aliran filsafat dari tahun 20 an sampai tahun 30 an pada abad ke-20 secara
radikal yang menolak metafisika dan etika. Hal ini kemungkinkan yang bicara secara bermakna tentang
Tuhan disangkal, pada tahun 20-an pada abad ke-20 sejumlah pemikir dari berbagai ilmu sering berkumpul di
Wiena, ibu kota Austria untuk membahas bagaimana ilmu-ilmu mendapatkan ajaran pendasaran filosofis yaitu
adalah:
Mereka memiliki cita-cita yang sama yaitu mengembangkan filsafat yang eksak, logis dan jelas dengan ilmu
pasti dan ilmu-ilmu alam, mereka berobsesi membersihkan filsafat dari masalah-masalah semu dengan analisa
bahasa sebagai alat pembersih.
Menurut positivisme hanya memiliki dua macam kalimat yang mempunyai arti yang rasional, yaitu
dapat ditunjuk bisa benar atau salah. Kalimat-kalimat yang murni dan pertanyaan empiris, kalimat analisa
yaitu adalah dimana predikat tidak mengatakan lebih daripada yang ada di subjek kalimat. Menurut mereka
yang termasuk kalimat ilmu pasti, ilmu ukur, dan logika. Misalnya kalimat “7+5= 12” langsung kita ketahui
sebagai benar, asal kita tahu arti kata “7 dan 5”. Kecuali kalimat analisis, ini kalimatnya yang dapat
diverifikasi dengan pengamatan empiris yang menurut mereka yang mempunyai makna dan hal ini lah mereka
sependapat dengan Kant. Yang dimana diluar kalimat analitis,kalimat yang masuk akal hanyalah kalimat-
kalimat yang memang betul dapat di cek kebenarannya dengan pengamatan inderawi. Pandangan mereka
adalah pandangan yang empirisme yaitu “hanya kalimat kalimat-kalimat logika dan matematika dan kalimat
yang mengenai pengamatan inderawi mempunyai arti, yang lainnya tidak sah yang tidak mempunyai arti.
Anggapan mengenai hal tersebut bahwa semua pernyataan etika dan metafisika menurut mereka tidak
mempunyai arti. Pernyataan-pernyataan tentang Tuhan atau dasar dari segalanya yang tidak mempunyai arti
karena tidak terbuka terhadap verifikasi. Contohnya seperti “Tuhan”, dan “Roh” ini tidak mempunyai arti
sama sekali. Pertanyaan apakah Tuhan ada atau tidak yang merupan ini adalah pertanyaan semu, yang
dimana setiap kalimat tentang Tuhan bukan benar atau salah, melainkan tidak masak akal dan tidak dapat
dimengerti.
Positivisme Logis umumnya sekarang ditinggalkan karena tidak dapat dipertahankan, dapat kita
ketahui kritikan yang dikemukakan oleh Karl Popper yang membantah positivisme logis sama miripnya
dengan bantahan nya terhadap Kant: Positivisme Logis menyangkal intuisi bukan inderawi, yang dimana sama
seperti Kant posotivisme Logis pun harus ditanyai bagaimana kebenaran kalimat “7+5= 12” dapat ditanggap
kecuali lewat intuisi bukan inderawi.
Argument utama ini menyangkut prinsip yang verifikasi, prinsip ini menyatakan bahwa pertanyaan
yang dapat di cek kebenarannya secara empiris yang mempunyai makna. Tetapi apakah prinsip verifikasi ini
dapat dibuktikan benar tanpa mengandaikan apa yang justru oleh prinsip verifikasi sendiri disangkal. Apakah
memang pernyataan itu sendiri dapat di cek pada pengalaman empiris ? tentu tidak. Dimana pernyataan ini
logis tetapi tidak analitis dan kebenarannya hanya dapat dipastikan secara intuitif. Maka menurut pengandaian
positivisme logis prinsip verifikasi tidak mempunyai makna alias tidak berguna untuk membuktikan sesuatu
apapun. Prinsip verifikasi tidak berlaku, karena prinsip verifikasi bertenntangan dengan dirinya sendiri, oleh
sebab itu bantahan dari positivisme logis yang berbicara secara bermakna tentang Tuhan terbantah sendiri.
1. Falsifikasi
Karl Popper ( 1902-1994) yang membuktikan bahwa prinsip verfikasi tidak berguna sebagai alat
pengecekan rasionalitas sebuah hipotesa ilmiah. Hipotesa ilmiah merumuskan sebuah hukum yang berlaku
umum. Misalnya bahwa “semua burung gagak hitam warnanya”. Tetapi yang dapat diverifikasi selalu
hanya satu peristiawa tertentu, tidak pernah, bahwa peristiaw itu berdasarkan sebuah hukum umum.
Kalaupun semua burung gagak yang muncul sampai hari ini berwarna hitam, akan tetapi darimana kita tahu
bahwa dimasa depanpun tidak pernah aka nada burung gagak putih muncul, jadi burung gagak yang tidak
hitam tidak mungkin?
Maka rasionalitas sebuah hipotesa tidak bias diverifikasi dengan pengamatan, tetapi yang mungkin adalah
falsifikasi. Begitu ada burung gagak berwarna orange muncul maka hipotesa bahwa semua burung gagak
berwarna hitam akan runtuh selamanya. Jadi agar sebuah pernyataan umum dapat dianggap rasional, harus
ada kemungkinan untuk memfalsifikasikannya.
Prinsip falsifikasi ini merupakan tantangan serius tentang segenap wacana tentang Tuhan. Bukan dalam
arti empirisme (yang akan menuntut adanya kemungkinan pengamatan empiris untuk memfalsifikasikan
pernyataan “ada Tuhan”). Yang menjadi masalah adalah pernyataan kaum beriman tentang sifat Tuhan,
misalnya mahabaik,maha adil, dll. Menurut para teolog tak ada peristiwa di dunia ini yang dapat
memfalsifikasikan, atau membantah pernyataan-pernyataan ini. Menurut mereka apapun yang terjadi di
dunia ini sifat Tuhan tetap ada.
Weger mengatakan bahwa betapa banyaknyapun masalah dibumi ini, namun orang yang yakin bahwa Allah
mencintai umatnya tetap akan berpegang padanya. Jadi pengalaman apapun tidak dapat menjatuhkan
keyakinan orang beriman.
Dalam bentuk lain Nasionalisme Kritis menyangkal rasionalitas wacana tentang Tuhan.
Rasionalisme Kritis adalah sebutan untuk cara berfikir yang mengikuti Karl Popper yang tokohnya berada di
Jerman yaitu Hans Albert (1921). Hal yang di tekankan dalam Rasionalisme Kritis yaitu fallibilitas nalar
manusia, artinya bahwa manusia tak pernah akan dapat mencapai kebenaran definitive. Ciri khasnya adalah
bahwa mereka dapat di falsifikasi, dan karena itu tak pernah akan mencapai kepastian akhir tentang
anggapan ilmiah apa pun. Percaya akan kebenaran akhir sudah ditemukan adalah wisbfull thingking. Untuk
itu menurut Albert, jangan membuat pernyataan tegas, dan jangan merumuskan teori apa pun, kecuali terus
berusaha untuk memfalsifikasikan nya. Albert juga berpendapat bahwa bahwa segala usaha untuk
mempertahankan sebuah pernyataan sebagai kebenaran akhir yang tidak mungkin difalsifikasi dihadapkan
pada tiga kemungkinan yang tidak dapat di terima, situasi itu di sebutnya atrilemma Manebbausen. Disebut
Trilema karena situasi itu sebuah dilemma, tetapi dengan pilihan bukan antara dua melainkan antara tiga
kemungkinan yang tiga” nya tidak dapat di pertahankan. “Muncbbausen” untuk menyindir ke kisah rakyat
Jerman tentang Baron Von Muncbbausen yang pernah kuda nya masuk kerawa karena habis minum anggur
terlalu banyak, yang kemudian menarik bulu kuda nya sampai ke atas. Menurut Albert, mereka yang mau
memberikan senuah penjelasan akhirta terbantah terperangkap dalam trilemma Muncbbausen, dan usaha
untuk dari pada nya tidak lebih efektif dari pada cara Baron von Muncbbausen untuk keluar dari sedotan
rawa itu. Ada tiga kemungkinan untuk memberikan penjelasan paling akhir:
1. Atau orang mundur terus (infinite regress) dari penjelasan fakta semula ke semula ke penjelasan
terhadap penjelasan itu ke penjelasan terhadap penjelasan terhadap penjelasan dan begitu tanpa akhir
(jadi tidak ada penjelasan akhir).
2. Jatuh ke dalam Lingkaran setan logi dimana akhirnya apa yang mau di menjelaskan dijelaskan oleh apa
yang mau dijelaskan atau
3. Kita hentikan pencarian penjelasan dengan begitu saja, tetapi hal itu bersifat sewenang-wenang, atau
dogmatisme (orang harus percaya bahwa inilah penjelasan yang paling akhir).
Dogmaitsme itulah yang di tuduhkan Albert dilakukan oleh para teolog. Dari pada mengemuka kan
eksistensi Tuhan sebagai bipotesa yang terbuka terhadap falsifikasi, mereka mengatakan bahwaTuhan tidak
bisa difalsifikasi. Jadi Tuhan tidak dapat dipertanyakan lagi.
KESIMPULAN
Kita boleh menyimpulkan bahwa argument kant tentang Tuhan tidak mungkin ada pengetahuan, karena
pengetahuan selalu terbatas pada objek inderawi-tidak sah. Kant tidak memperhatikan bahwa di samping
pengetahuan objektif ada juga pengetahuan transendental yang memang hanya akan diperhatikan apabila
kita memakai pendekatan fenomena logis. Namun perlu diperhatikan bahwa yang dibantah disini
hanyalah penolakan kemungkinan pengetahuan tentang Tuhan. Flew menuduh bahwa kaum agama
menghindari dari tes falsifikasi dengan selalu mengatakan bahwa Tuhan itu lain, dan lain lagi dst., sehingga
akhirnya tidak ada yang tinggal dari Tuhan. Sedangkan Albert mengatakan bahwa penolakan kemungkinan
falsifikasi oleh kaum agama adalah membuktikan bahwa pernyataan mereka tentang ad anya Tuhan adalah
irasional. Perumpamaan flew dapat mempertahankan keyakinan akan esksitensi tukang kebun dan Hans albert
menjawab menjawab kalau saya percaya bahwa Tuhan yang mengambulkan doa dan menyembuhkan orang
sakit keras, yang sangat dekat dengan saya, saya tidak bermaksud membuat pernyataan objektif tetapi disini
Tuhan memberi tanda kasih sayang-Nya. Dari sini kita dapat melihat mereka bukan untuk menambah
pengetahuan mereka, melainkan sebagai ajakan untuk juga melihat dengan mata hati dan mengalami makna
kehidupan yang mendalam. Jadi bicara tentang Tuhan itu bukan membuat pernyataan fakta-fakta, melaikan
selalu berupa ajakan untuk mau melihat agar dapat percaya. Orang yang percaya kepada Tuhan harus secara
positif memperlihatkan bahwa kepercayaan masuk akal, itulah tugas filasafat Ketuhanan ini, berikut perlu dua
langkah selanjutnya. Pertama, perlu ditunjukkan bahwa ada alasan-alasan baik, untuk menerima adanya Tuhan,
kedua, tuduhan realitas buruk dunia ini membantah adanya Tuhan perlu ditanggapi.