PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit
dan nilai LFG, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin
buruk. Tanda dan gejala yang muncul pada CKD sering dideskripsikan sebagai
uremia. Uremia merupakan beberapa gejala yang muncul karena terganggunya
fungsi ginjal disertai akumulasi toksin pada plasma darah (Eknoyan, 2009; Levey
et al., 2005).
Pasien CKD harus mendapatkan monitoring terhadap kemungkinan
adanya DM, hipertensi, penyakit kardiovaskuler, kanker, dan penyakit kronis
lainnya pada pasien tersebut. Monitoring tersebut penting untuk dilakukan karena
keadaan gagal ginjal dapat memperburuk progresifitas penyakit yang ada dan
sebaliknya (Eknoyan, 2009).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
B. Epidemiologi
4
Penyakit ginjal kronis (CKD) merupakan masalah kesehatan di seluruh
dunia. Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100
juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di
Malaysia, dan di negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar
40-60 kasis perjuta penduduk per tahun . Di negara berkembang lain, insidensi
ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra,
2007).
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia tahun
2000 (Murray et al., 2007 & Suwitra, 2007) yaitu:
1. Glomerulonefritis (46,39%)
2. Diabetes Mellitus (18,65%)
3. Obstruksi dan infeksi (12,85%)
4. Hipertensi (8,46%)
5. Sebab lain (13,65%)
Penyakit gagal ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
Insidennya pun lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih (Arora,
2014).
C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
5
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)
D. Faktor Resiko
Faktor risiko potensial GGK dapat dilihat dari faktor klinis dan faktor
sosiodemografi.Faktor klinis berkaitan dengan kondisi kesehatan atau adanya
penyakit yang diderita sebelumnya.Sedangkan faktor sosiodemografi
menekankan kepada kondisi seseorang yang dapat menyebabkan orang
tersebut berisiko terkena GGK.Faktor risiko tersebut dijabarkan pada Tabel 4
(National Kidney Foundation, 2002).
6
Faktor Klinis Faktor Sosiodemografi
E. Patofisiologi
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron
terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron
yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron
sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi
dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal,
namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban
solut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan
keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al,
2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
7
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin.Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi.Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi.Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin.Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron.Saat muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik.Dengan
berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan.Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus
ginjal mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price
et al, 2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin
yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin
adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-
sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD,
produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et
al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat – zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam
urine penderita.Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et
al, 2005).
8
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (McCance dan Sue, 2006):
1. Penurunan Fungsi Ginjal. Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR
< 50%. Pada keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun
sudah terdapat peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
2. Insufisiensi Ginjal. Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah
tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini
GFR mengalami penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta
disfungsi ginjal yang ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi
akan melakukan kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal.
Kelainan konsentrasi urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi
ginjala saat stres dapat terjadi pada tahapan ini.
3. Gagal Ginjal. Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia,
asidosis, ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan
elektrolit (hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan
gagal ginjal terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek
pada sistem organ lain.
4. ESRD. End Stage Renal Disease merupakan tahapan terakhir dari
gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang
berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi
juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi
cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler,
hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan
tulang dan mineral juga dapat terjadi.
F. Manifestasi klinis
9
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al.,
2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
ataupun kronik (Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding Capacity
(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit,
kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al., 2007;
Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
b. Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian
pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis
mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
10
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian
kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah
beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat,
misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati)
mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada
conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan
hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa
pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder
atau tersier.
d. Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik
sangat kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi,
aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan dapat
menyebabkan kegagalan faal jantung.
G. Penatalaksanaan
Perencanaan terapi yang tepat untuk mencegah progresi penyakit dan
memperbaiki keadaan umum. Tujuan dari terapi CRF adalah (National Kidney
Foundation, 2002):
1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
11
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak
bermanfaat (Suwitra, 2006).
12
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia,
dengan demikian pembatasan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan
protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Suwitra, 2006).
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu,
sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria,
karena proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan
fungsi ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE
inhibitor melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).
4. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular
40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan
terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, anemia, hperfosfatemia, dan terapi terhadap cairan dan
gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan terapi dan
pencegahan terhadap koplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan
(Suwitra, 2006).
13
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang
manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi,
yaitu sebagai berikut (Suwitra, 2006):
a. Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (LFG 60-89
ml/menit) : tekanan darah mulai meningkat
b. Penurunan LFG sedang (LFG 30-59 ml/menit) : hiperfosfatemia,
hipokalsemia, anemia, hiperparatiroid, hipertensi, dan
hiperhomosisteinemia
c. Penurunan LFG berat (LFG 15-29 ml/menit) : malnutrisi, asidosis
metabolik, kecenderungan hiperkalemia, dan dislipidemia
d. Gagal ginjal (LFG < 15 ml/menit) : gagal jantung dan uremia
6. Terapi Pengganti Ginjal berupa Dialisis atau Transplantasi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik
stadium 5, yaitu pada LFG ≤ 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat
berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra,
2006).
Monitoring balance cairan, tekanan darah, ureum, kreatinin, Hb, dan Gula
darah juga perlu dilakukan untuk mecegah progresivitas penyakit untuk
berkembang lebih cepat (National Kidney Foundation, 2002).
H. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis
yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing.
Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%),
infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%)
(Rahardjo, 2006).
14
I. Komplikasi
1. Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.
2. Perkarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade
jantung akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
5. Gagal jantung terjadi karena anemia yang mengakibatkan jantung harus
bekerja lebih keras, sehingga terjadi pelebaran bilik jantung kiri (LVH).
Lama-kelamaan otot jantung akan melemah dan tidak mampu lagi
memompa darah sebagaimana mestinya (sindrom kardiorenal).
6. Osteodistofi ginjal dan penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi
fosfat, kadar kalsium serum rendah, metabolisme vitamin D dan
peningkatan kadar aluminium (Arora, 2014).
BAB III
15
STUDI KASUS
16
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
17
DAFTAR PUSTAKA
Murray L., Ian W., Tom T., Chee K C. 2007. Chronic Renal Failure in Ofxord
Handbook of Clinical Medicine. Edisi ke-7. New York: Oxford University.
294-97.
Nahas, M.E. The patient with failing renal failure. Dalam: Cameron JS, Davison
AM. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. Edisi ke-3. Oxford
University Press. 2003; hal 1648-98.
18
Rahardjo, P., Susalit, E., Suhardjono., 2006. Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Marcellus, S.K., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 579-580
Suwitra, K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A,
Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4 Jilid I.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hlm 570-3.
19