Anda di halaman 1dari 10

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada BAB ini peneliti akan menjelaskan hasil dan pembahasan dari penelitian yang
dilakukan selama ± 1 bulan lebih dengan metode penelitian Deksriptif. Penelitian ini
dilakukan untuk mendapatkan Klasifikasi Tingkat Nyeri Pada Lansia Dengan Arthritis
Rheumatoid Di Puskesmas Banggae 1 Majene.

5.1 Hasil Penelitian


5.1.1 Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan terhadap variabel dari hasil penelitian
menghasilkan distribusi frekuensi dari tiap variabel yang diteliti.
5.1.1.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Usia Pada Lansia
Di Puskesmas Banggae 1 Majene

Usia Frekuensi Persentase (%)

45-59 Tahun 47 31,3%

60-74 Tahun 75 50 %
75-90 Tahun 28 18,7%

Total 150 100%

*Data Primer

Berdasarkan tabel 5.1 dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan


Usia menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang memiliki persentase
tertinggi adalah usia 60-74 tahun yaitu 75 orang atau 50%. Sedangkan responden
yang memiliki persentase terendah adalah usia 75-90 tahun yaitu sebanyak 28 orang
atau 18,7%.

46
5.1.1.2 Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.2
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Jenia Kelamin Pada Lansia
Di Puskesmas Banggae 1 Majene

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki-Laki 55 36,7 %

Perempuan 95 63,3 %
Total 150 100%

*Data Primer
Berdasarkan tabel 5.2 dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan
jenis kelamin menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang memiliki
persentse tertinggi adalah jenis kelamin perempuan yaitu 95 orang atau 63,3%.
Sedangkan responden yang memiliki persentase terendah adalah jenis kelamin laki-
laki yaitu sebanyak 55 orang atau 36,7%.
5.1.1.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Tabel 5.4
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pekerjaan Pada Lansia Di
Puskesmas Banggae 1 Majene

Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)


IRT 61 40,6 %
PNS 22 14,7 %
Buruh 1 0,7 %
Pensiunan 15 10 %
Wiraswasta 2 1,3 %
Nelayan 16 10,7 %
Lainnya 33 22 %

Total 150 100%


*Data Primer
Berdasarkan tabel 5.4 dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan
pekerjaan menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang memiliki persentase

47
tertinggi adalah IRT yaitu 61 orang atau 40,6% sedangkan responden yang meiliki
persentase terendah adalah pekerja buruh yaitu sebanyak 1 atau 0,7%.
5.1.1.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Tabel 5.5
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Pendidikan Pada Lansia Di
Puskesmas Banggae 1 Majene
Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
SD 73 40,0 %
SMP 26 32,5 %
SMA 39 20,0%
S1 12 7,5 %
Total 150 100%
*Data Primer
Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan
pendidikan menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang memiliki
persentase tertinggi adalah SD yaitu 73 orang atau 40,0%. Sedangkan responden
yang memiliki persentase terendah adalah S1 yaitu sebanyak 12 orang atau 7,5%.
5.1.1.6 Distribusi Responden Berdasarkan Skala Nyeri

Tabel 5.7
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Skala Nyeri Pada Lansia Di
Puskesmas Banggae 1 Majene
Skala Nyeri Frekuensi Persentase (%)
Nyeri ringan (1-3) 8 5,3%
Nyeri sedang (4-6) 106 70,7%
Nyeri berat (7-9) 35 23,3%
Nyeri sangat berat (10) 1 0,7 %
Total 150 100%
*Data Primer
Berdasarkan tabel 5.7 dapat dilihat bahwa distribusi responden berdasarkan
nyeri menunjukkan bahwa dari 150 orang responden yang memiliki nyeri ringan 8
orang 5,3%, atau responden yang nyeri sedang 106 orang 70,7%, nyeri berat 35
orang 23,3% dan nyeri sangat berat 1 orang 0,7%.

48
5.2 Pembahasan
5.2.1 Karakteristik Analisa Univariat
Analisa univariat ini menjelaskan karakteristik dari data demografi responden
yang akan dijelaskan sebagai berikut:
5.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
Hasil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan bahwa karakteristik usia
responden yang tertinggi rata-rata ditemukan pada usia 45-59 tahun dengan persentase
(50%) dan usia 60-74 dengan persentase (31,3%) atau sebanyak 150 responden. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin bertambahnya usia, kemampuan fisiknya menurun
namun dengan adanya kegiatan membuat responden tetap semangat. Hasil tersebut
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayumar dan Kasma (2016) di
puskesmas Tompobulu responden yang lebih banyak terdiagnosa RA pada rentan usia
45-59 tahun dengan persentase (53,3%) atau 210 responden. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Elsi (2018) di Wilayah Kerja Puskesmas Danguang-danguang
responden yang terdiagnosa Ra banyak terjadi pada usia 45-65 dengan persentase
83,9% atau 26 responden. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Siregar
(2016) di Panti Jompo Guna Budi Bakti Medan dengan jumlah responden yang rentan
usia terdiagnosa Rheumatoid Arthritis >40 tahun dengan presentase 53,37% atau 35
responden. Dari hasil tiga persamaan penelitian dapat disimpulkan bahwa usia
mempengaruhi terjadinya Rheumatoid Arthritis.
Usia dapat mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan.
Pada usia lanjut secara tidak langsung kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya akan menurun dan mengalami
kerusakan, seperti lapisan pelindung pada persendian mulai menipis dan cairan sendi
mulai mengental dan kaku saat digerakkan. Biasanya terjadi pada usia 45 tahun
(Ayumar dan Kasma, 2016). Selain itu menurut Nugroho (2010) mengatakan bahwa
lansia umumnya mengalami penurunan pada fisik, psikologis maupun sosial.
Permasalahan pada yang berkembang memiliki keterkaitan dengan perubahan fisik
seperti menurunnya kempuan pada muskuloskeletal menjadi lebih buruk.
Berdasarkan WHO (2017) dijawa ditemukan bahwa Rheumatoid Arthritis
menempati urutan pertama (49%) dari hasil pola penyakit lansia. Teori tersebut
sejalan dengan hasil penelitian ini. Dilihat dari tabel diatas didapatkan bahwa

49
kebanyakan penderita Rheumatoid Arthritis pada usia 45-59 tahun yaitu sebanyak 47
orang (50%). Penelitian ini juga sesuai dengan (Ni Putu Sumartini, 2012). Hasil
penelitian tersebut selaras dengan penelitian oleh (Olwin Nainggolan, 2010), dengan
judul Gambaran Karakteristik Penderita Rheumatoid Arthritis Di Bagian Penyakit
Dalam RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung 2013, menyatakan bahwa
arthritis menyerang umumnya dimulai dari umur 45 tahun keatas.
Semakin tinggi usia seseorang akan lebih berisiko mengalami masalah
kesehatan karena adanya aktor-faktor penuaan lansia akan mengalami perubahan baik
dari segi fisik, ekonomi, psikososial, kognitif dan spiritual. Asil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh (Kurniawan, 2014) di wilyah Paroki
Kristoforus Jakarta Barat, dimana jumlah lansia usia 60-74 tahun lebih banyak
dibanding dengan lansia usia 75 tahun ke atas yaitu (73,9%). Penelitian Agustin
(2014) yang akan dilakukan dipanti Wredha Wering Wardoyo Ungaran menunjukkan
hasil yang sejalan dimana sebagian besar lansia adalah usia 60-74 tahun (80,9%).
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rinajumita (2011) di
wilayah kerja Puskesmas Lampasi, dimana sebagian besar lansia (522,2%) adalah
lanjut usia tua usia 74 tahun keatas.
5.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa responden yang
berjenis kelamin perempuan lebih tinggi yaitu 95 orang atau (36,7%) sedangkan laki-
laki 95 orang atau (63,3%) dengan 150 responden. Pada laki-laki dan perempuan
memiliki kemampuan yang berbeda dalam menghadapi penyakit, khususnya pada
penderita Arthritis Rheumatoid perempuan 2-3 kali lipat terdiagnosa RA dari pada
laki-laki. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yazid (2015)
di Ruang Cempaka RS. Methodist Medan bahwa responden yang terdiagnosa
Rheumatoid Arthritis lebih banyak pada perempuan dengan persentase 62,9% atau 22
responden. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ayumar dan Kasma (2016) di
Puskesmas Tompobulu perempuan lebih banyak terdiagnosa RA dengan persentase
64,9% atau 24 responden. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Siregar (2016) di Panti Jompo Guna Bakti Medan dengan persentase
penderita Rheumatoid Arthritis sebanyak 65,58 % atau 40 responden. Dari asil
persamaan ketiga penelitian dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin perempuan lebih
rentan terjadi RA. Menurut pernyataan Muttaqin (2009) bahwa penderita Rheumatoid
Arthritis merupakan inflamasi kronis yang terjadi memuncak pada usia 40-60 tahun

50
dan lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki dengan perbandingan 2:1.
Dari hasilketiga persamaan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin
perempuan lebih rentan terjadi Rheumatoid Arthritis dari pada laki-laki.
Hasil ini sebanding dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rinajumita
(2011) menunjukkan bahwa responden yang berjenis kelamin perempuan lebih
banyak yaitu (56,7%) dibanding dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mery (2012) di Panti Sosial Werdha Teratai
Palembang menunjukkan asil yang sama bahwa responden yang berjenis kelamin
perempuan lebih banyak yaitu (60%) dibanding dengan responden yang berjenis
kelamin laki-laki (40%).
Demikian juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka (2012),
dimana jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak yaitu (58%)
dibanding responden yang berjenis kelamin laki-laki (42%). Hal ini sesuai dengan
usia harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki, yaitu 74
tahun untuk usia harapan hidup perempuan dan 69 tahun untuk usia harapan hidup
laki-laki (KEMENKES 2012). Namun berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Suhartini (2008), dimana jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki lebih
banyak dibanding dengan jumlah responden yang berjenis kelamin perempuan yaitu
56 orang (53,8 %).
5.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi pekerjaan pada responden tertinggi yaitu
IRT (Ibu Rumah Tangga) dengan persentase sebanyak 40,7% atau 150 responden. Ibu
rumah tangga umumnya melakukan banyak kegiatan dirumah yang dapat
mengakibatkan banyaknya pergerakan pada sendi. Hasil tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ahdaniar, Hasanuddin dan Indar (2014) di Wilayah
Puskesmas Kassi-kassi Makassar dengan jumlah 28,2% atau 22 responden.
Menurut Andriyani (2018) di pekerjaan yang dilakukan tertinggi ibu rumah
tangga dengan jumlah 53,2%. Pekerjaan merupakan salah aktor yang dapat memicu
timbulnya penyakit sendi. Aktivitas dengan bebas yang berat serta daya tekan yang
dapat memperburuk keadaan sendi dan melakukan pekerjaan yang banyak
menggerakan bagian tangan dan kaki dalam jangka waktu lama akan menimnulkan
keluhan yang dirasakan penderita Rheumatoid Arthritis (Bawarodi, Rottie dan
Malara, 2017).

51
Rasa sakit yang tibatiba biasanya disebabkan oleh aktivitas disik berat atau
tidak biasa. Keluhan nyeri akan lebih hebat sesudah mengadakan gerakan badan atau
bertambah dengan aktivitas dan bisa membaik dengan istirahat. Hal ini buktikan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Olwin Nainggolan (2017) dengan judul
prevalensi dan determinan penyakit rheumatoid arthritis indonesia yang menyebutkan
bahwa pekerjaan buruh, petani, nelayan, IRT, tukang becak dan lainnya mempunyai
risiko rheumatoid arthritis dua kali dibanding dengan responden yang masih
bersekolah. Rheumatoid arthritis sering barkaitan dengan profesi seseorang.
Contohnya seperti buruh pelabuhan yang sering memikul beban berat pikulan. Hal ini
bisa juga terjadi jika keryawan tersebut selalu bekerja dengan sikap badan yang salah.
Sikap duduk dan sikap menulis atau mengetik yang salah yang dilakukan berulang
kali dalam waktu bertahun-tahun dapat menjadikan otot tulang belikat menjadi
tegang.
5.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi pendidikan pada responden dengan
Rheumatoid Arthritis tertinggi yaitu tingkat SD (Sekolah Dasar) dengan persentase
(40,0%) atau 150 responden. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pengetahuan
responden, seseorang dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan mempengaruhi
pengetahuan dan dapat menerima informasi dengan baik untuk dapat memperbaiki
kualitas hidupnya (Nainggolanm 2009). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Siregar (2016) di Panti Jompo Guna Budi Bakti Medan dengan
frekuensi responden dengan tingkat pendidikan SD sebanyak 62,30% atau 38
responden. Menurut Klien (2018) dalam penelitiannya mengenai tingkat
pengetahuan pasien Rheumatoid Arthritis turki tentang penyakit mereka dengan
persentase 62,7% atau 141 responden. Beberapa penelitian diatas mendukung hasil
penelitian ini dan dapat disimpulkan baha semakin tinggi tingkat pendidikan semakin
baik pula pengetahuan dan informasi yang diterima.
5.2.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Skala Nyeri
Berdasarkan hasil distribusi frekuensi skala nyeri pada responden dengan
penyakit Rheumatoid Arthritis tertinggi yaitu skala nyeri ada pada angka 6 dengan
keterangan (4-6 nyeri sedang) dan jumlah frekuensi sebanyak 48 dengan persentase
(32,0%) atau 150 responden, sehingga responden terasa kram di area persendian pada
ekstremitas bawah, kram/nyeri tersebut menyebar ke bagian tubuh lainnya, kurang
nafsu makan, sebagian aktivitas dapat terganggu, sulit/susah berkontraksi, terkadang

52
merengek kesakitan, wajah netral, tubuh bergeser secara metral, durasi nyerinya
berlangsung lama, menepuk/meraih area yang nyeri. Dari hasil penelitian mengenai
nyeri Rrheumatoid Arthritis diperoleh persentase yang memiliki skala nyeri ada pada
angka 3 pada tingkat nyeri sedang yaitu sebesar 51,3%. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Wiedya (2008) pada lansia di Puskesmas Mampang
Jakarta Selatan diperoleh hasil nyeri sedang yaitu skala 4-6.
Skala nyeri Rheumatoid Arthritis lansia pada penelitian ini dilihat dari empat
komponen yang telah di kemukakan oleh Anderson (2012) yaitu komponen fisiologis,
komponen afektif, komponen sensorik-diskriminatif, dan komponen kognitif. Dari
keempat komponen yang diteliti, ternyata didapatkan sebesar 64,8% untuk komponen
afektif yang sebagian besar dimiliki oleh responden. Ini artinya sebagian besar
responden mengalami sendi terasa nyeri ketika digerakandan sendi terasa kram,
kemudian kaku pada pagi hari berlangsung selama 30 menit.menurut Hardywinoto
(2015), bahwa adanya nyeri sendi pada Reumatoid Arthritis membuat penderitanya
seringkali takut untuk bergerak sehingga mengganggu aktivitas sehari-harinya dan
dapat menurunkan produktivitasnya. Penurunan kemampuan muskuloskeletal karena
nyeri sendi dapat juga menurunkan aktivitas fisik dan latihan, sehingga akan
mempengaruhi lansia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of
daily living atau ADL). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dikarenakan responden
mengalami nyeri sedang akan tergantung kepada keluarga anggota keluarga lain
sehingga mengganggu aktivitas kehidupan sehari-harinya. Sedangkan responden yang
mengalami nyeri rendah akan lebih mandiri dan dapat melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari tanpa dibantu oleh orang lain.
5.2.7 Berdasarkan hasil distribusi nyeri
Hasil penelitian berdasarkan nyeri didapatkan bahwa responden yang
merasakan nyeri sedang pada Rheumatoid Arthritis (AR) yang tinggi yaitu dengan
jumlah frekuensi 107 dengan persentase 71,3% atau 150 responden.
Menurut Suratun et.al (2016) dalam penelitiannya responden yang merasakan
nyeri sedang dengan jumlah frekuensi 132 dengan persentase 91,2% atau 210
responden. Nyeri utama yang di rasakan oleh responden tersebut pada bagian lutut,
nyeri bertambah saat dia sedang melakukan aktivitas, nyeri dirasakan hilang timbul
seperti tertusuk dan nyeri yang dirasakan itu nyeri sedang. Berdasarkan diagnosa yang
didapatkan pada responden tersebut sejalan dengan teori yag ada namun penulis
hanya berfokus pada satu diagnosa prioritas yang diterapkan pada responden yaitu

53
nyeri akut (nyeri sedang). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan
Malm (2017) di Wilayah Kerja Puskesmas Kartasura bahwa semakin sakit penyakit
yang di derita seseorang maka semakin besar pula nyeri yang dirasakannya seperti
pada pasca-operasi, luka dan luka bakar, patah tulang, melahirkan (nyeri akut), sakit
kepala, menderita cancer, nyeri pada punggung dan sistem saraf, radang sendi (nyeri
kronis), perutt dan usus (nyeri nosiseptif), batu ginjal, usus buntu akut, pankreatitis,
gangguan pencernaan, (nyeri neuropati), kecanduan alkohol, kecelakaan, infeksi,
HIV, radiasi dan obatobatan kemoterapi, penyakit parkinson, (phanton pain), sesorang
yang baru saja menjalani proses amputasi.
Dari hasil penelitian (Suirako, 2912) bahwa dari 31 responden penderita
arthritis rheumatoid semuanya sering mengalami nyeri sendi dibagian atas
(pergelangan tangan, bahu, siku, leher, dan rahang) serta dibagian baah (pergelangan
kaki, lutut, dan panggul). Nyeri merupakan sensasi yang rumit, untuk universal dan
bersifat individual. Dikatakan individual karena respon individu terhadap sensasi
nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Nyeri sendi
merupakan keluhan utama pada penyakit rematik.
Sarwono (2012) juga mengatakan bahwa selain aktivitas yang berlebihan
suhu dingin juga berpengaruh pada penderita arthritis rheumatoid yang merupakan
penyakit autoimun ketika selsel pertahanan tubuh menyerang tubuh itu sendiri dimana
persendian menjadi lebih sensiti sehingga terjadi peradangan disemua sendi akibat
reaksi imun berlebihan. Pada musim dingin yang ekstim, pembuluh darah mengkerut
sehingga asupan darah terutama ke daerah kaki berkurang dan organ-organ akan
menyimpan panas. Kulit mejnadi lebih kaku menyebabkan lebih banyak tekanan pada
sarafsaraf yang sudah sensiti sehingga dkatakan juga nyeri sedang.
5.2.8 Keterbatasan Peneliti
Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi keterbatasan
dalam penelitian, Berikut ini adalah keterbatasan yang ada pada penelitian:
5.2.8.1 Terdapatnya responden yang tidak bersedia untuk diwawancarai.
5.2.8.2 Selama proses pengambilan data, ada beberapa responden yang tidak mengerti jadi
peneliti menjelaskan ulang Selama proses penelitian tersebut.
5.2.8.3 Terdapatnya stigma masyarakat bahwa penyakit Rheumatoid Arthritis (AR)
merupakan penyakit semua orang tua (Lansia) sehingga peneliti butuh pendamping
(tokoh masyarakat) pada saat penelitian.

54
5.2.8.4 Selama proses penelitian adapun responden yang lama menjawab lembar kuesioner
sehingga keluarga atau sipeneliti membacakan lembar kuesioner tersebut.
5.2.8.5 Adapun keterbatasan responden pada saat melakukan penelitian tetapi tidak semua
juga responden memiliki keterbatasan itu seperti, penglihatan, pendengaran.

55

Anda mungkin juga menyukai