Pers
di Indonesia diawali pada masa pergerakan nasional atau pergerakan Budi Utomo.
Adanya pers ini menjadi sarana baru untuk berkomunikasi untuk memperkuat
persatuan dan kesatuan pada masa itu. Pers ini digunakan untuk mencatat
perkembangan yang sedang berlangsung pada masa itu dan diwujudkan dalam
bentuk majalah dan surat kabar.
Selama lima tahun berturut-turut, hasil survei indeks kebebasan pers menunjukkan
tren peningkatan nilai, yaitu, 63,44 (2016), menjadi 67,92 (2017), 69,00 (2018), 73,71
(2019), dan terakhir 75,27 (2020). Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai
peringkat cukup bebas. Akan tetapi angka ini masih relatif rendah dibanding negara
lain. Di tahun 2019 sendiri Indonesia menduduki peringkat 124, berada dibawah
Malaysia, Ethiopia dan Kenya.
Pada Ahad, 2 Mei 2021 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menggelar aksi
yang bertajuk Bike4PressFreedom di Patung Kuda, Jakarta Pusat dalam rangka
perayaan hari kebebasan pers dunia yang diperingati setiap tanggal 3 Mei. Dalam
aksi gowes bareng ini AJI memiliki 3 tuntutan yaitu yang pertama tentang
pemberhentian dari segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan usut tuntas
semua kasus kekerasan pada jurnalis, kedua yaitu AJI Jakarta mendesak
pemerintah agar merevisi UU ITE khususnya pada pasal-pasal karet yang
memberangus kebebasan pers, dan yang ketiga yaitu AJI Jakarta mendesak agar
perusahaan media menjamin hak bagi para pekerjanya, khususnya di masa pandemi
Covid-19.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah meskipun sudah ada Undang-Undang yang
menjamin kebebasan pers, tetapi bukan berarti kebebasan pers di Indonesia
menempati peringkat tertinggi dibanding negara lain karena masih perlu perbaikan
dari kebijakan yang ada dan diperlukan adanya revisi terhadap peraturan yang
dianggap masih mengekang kebebasan pers di Indonesia. Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) mencatat, terdapat 61 kasus kekerasan terhadap wartawan
sepanjang 2017. Diantaranya mengalami kekerasan fisik dan 13 kasus pengusiran
dan pelarangan peliputan.