PENDAHULUAN
Konsep Etika
Bila dilihat dari faktor sejarah, kata etika berasal dari bahasa Yunani “ethos”
yang artinya watak kesusilaan atau adat. Sedangkan moral berasal dari bahasa
latin “mos” yang bentuk jamaknya “mores” yang berarti adat atau cara hidup. Di
mana moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedang etika dipakai
untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.[4] Yang dimaksud nilai di sini
merupakan salah satu cabang dari kajian filsafat. Oleh karena itu mempelajari
etika sebenarnya juga mempelajari filsafat tingkah laku atau filsafat moral (nilai).
[5]
Adapun Hamzah Ya’qub sebagaimana yang dikutip oleh Sudarsono, mendefinisikan etika
sebagai “ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan
amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.” Iapun merumuskan
pengertian akhlaq sebagai “media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq
dengan makhluk dan antara makhluk dengan makhluk.”[6]Dengan kata lain, secara tidak
langsung Ya’qub tidak menyamakan atau menyatukan antara etika “murni” (sekuler) dengan
akhlak dalam satu lingkup pengertian atau pemahaman.
Etika berbeda dengan ajaran moral. Ajaran moral adalah ajaran, patokan, dogma, dan kumpulan
peraturan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang
baik. Sumber ajaran moral adalah otoritas[7] yang ada di sekitar manusia di mana ia hidup.
Sedangkan etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar (filsafat) tentang ajaran dan
pandangan moral.[8] Dengan kata lain etika dan ajara moral tidak berada di tingkat yang sama,
karena etika adalah sebuah ilmu bukan sebuah ajaran.[9] Lebih spesifik, moral berbicara tentang
bagaimana manusia harus menjalani kehidupan, sedang etika mengkaji tentang mengapa
manusia harus mengikuti ajaran moral tertentu. Serta bagaimana manusia dapat mengambil
sikap bertanggun jawab yang dihadapkan dengan berbagai ajaran moral.[10]
Harus diakui, kehidupan manusia senantiasa dibentuk oleh moral. Ini artinya kehidupan
alaminya, seperti nafsu, kecenderungan, cita-cita, dan sebagianya seolah-olah disalurkan pada
suatu “bentuk” tertentu. Yang di maksud bentuk di sini adalah batasan atau aturan yang
melarang atau menyuruh individu untuk bertindak sebagaimana mestinya.[11] Bila seseorang
melanggarnya maka akan dikenai sanksi, tergantung jenis moral apa yang lebih kuat
dominasinya dalam masyarakat. Misalnya, orang yang melakukan bunuh diri dalam tindakan
terorisme, bisa saja satu sisi dinilai sebagai perbuatan heroik serta mengharukan bagi
masyarakat. Serta secara individu pelakunya perbuatan tersebut dianggap “menyenangkan”
secara kejiwaan. Di sinilah peran etika, yaitu menelaah secara ilmiah apakah perbuatan
semacam itu memang secara “nilai” sungguh diperbolehkan atau hanya karena ada kepentingan
terselubung di balik itu
Menurut De Vos, perbedaan antara etika dengan kesusialaan (moral) ditinjau dari segi sejarah
terdapat dua persoalan. Yakni, ada jarak pemisah antara “moral” yang diajarkan dengan
penghayatan sehari-hari (etika). Selain itu,petunjuk-petunjuk serta cita-cita moral yang diajarkan
selama ini masih sering berbeda dengan petunjuk serta cita-cita moral yang diterima secara
umum.[12] Dapat dipahami, masih ada kesenjangan antara ilmu moral (etika) dengan ajaran
moral yang hendak diterapkan itu sendiri. Di sinilah, peran agama bisa tampil memberikan solusi
yang secara detail akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan pengertian etika ialah sebagai ilmu pengetahuan
tentang perilaku baik-buruk atau wajib-terlarang yang didasarkan pada arahan otoritas, perilaku
manusia pada umumnya, kebiasaan, aturan, pedoman, keyakinan, dan keteguhan (kesadaran)
manusia dalam memutukan sikap atau melakukan tindakan. Dapat dikatakan, kajian etika hanya
terkait dengan perilaku yang disengaja[13] oleh pelakunya. Itu artinya, perilaku orang gila, orang
tidur yang menggerakkan tubuhnya karena mimpi, orang hilang ingatan, dan di mungkinkan juga
orang kesurupan, tindakan reflek, serta “latah” tidak bisa dinilai atau ditelaah dari sudut
pandang etika. Penulis menyadari untuk pernyataan terakhir yang masih bersifat “mungkin”
berpotensi dan layak untuk diperselisihkan.