Anda di halaman 1dari 5

oleh seorang lulusan sekolah dasar tanpa pengalaman.

Entahlah, mungkin ditulis


oleh orang lain. Setidak-tidaknya bukan oleh Robert Mellema. Tapi apa pentingnya
siapa penulisnya ? Surat itu memberanikan aku, mengembalikan kepribadianku:
bukan aku saja telah tergenggam oleh mereka, mereka sebaliknya pun tergenggam
olehku. Genggam-menggenggamlah, kalau tak dapat dikatakan sihir-menyihir.
Seorang ibu yang bijaksana dan berwibawa seperti Nyai memang dibutuhkan oleh
setiap anak, dan dara cantik tiada bandingan dibutuhkan oleh setiap pemuda.
Lihat: mereka membutuhkan aku demi keselamatan keluarga dan perusahaan. Kan
aku termasuk hebat juga ? Aduh, sekarang ini betapa banyak alasan dapat aku
bariskan untuk membenarkan diri sendiri. Baik. Aku akan datang.

4. SURAT NYAI MEMANG TIDAK BERLEBIHAN. Annelies kelihatan susut. Ia


sambut aku pada tangga depan rumah. Matanya bersinar-sinar menghidupkan
kembali wajahnya yang pucat waktu ia menjabat tanganku.
Robert Mellema tidak nampak. Aku pun tak menanyakan.
Nyai muncul dari pintu di samping ruang depan.
"Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus
abangmu itu, Ann, aku masih banyak kerja, Nyo."
Aku masih sempat melirik ke dalam ruangan di samping ruangdepan. Ternyata tak
lain dari kantor perusahaan. Nyai menutup kembali pintu, hilang di baliknya.
Seperti pada kedatanganku yang pertama juga sekarang timbul perasaan itu dalam
hati: seram. Setiap waktu rasanya bisa terjadi peristiwa aneh. Waspada, hati ini
memperingatkan. Jangan lengah. Seperti dulu juga sekarang sepantun suara
bertanya padaku: mengapa kau begitu bodoh berkunjung kemari ? Sekarang hendak
coba-coba tinggal di sini pula ? Mengapa tidak pulang pada keluarga sendiri kalau
memang bosan tinggal di pemondokan ? Atau cari pemondokan lain ? Mengapa kau
mengikuti tarikan rumah seram ini, tidak melawan, bahkan menyerahkan diri
mentah-mentah ?
Annelies membawa aku masuk ke kamar yang dulu pernah kutempati. Darsam
menurunkan kopor dan tasku dari bendi dan membawanya ke dalam kamar.
"Biar kupindahkan pakaianmu ke dalam lemari," kata gadis itu. "Mana kunci
kopormu ? Sini!"
Aku serahkan kunci koporku dan ia mulai sibuk. Buku-buku dari kopor ia deretkan di
atas meja, pakaian ke dalam lemari. Kemudian tas dibongkarnya. Darsam menaruh
kopor dan tas kosong dia atas lemari. Dan Annelies kini memperbaiki deret buku itu
sehingga nampak seperti serdadu berbaris.

! 46!
"Mas!" itulah untuk pertama kali ia memanggil aku - panggilan yang mendebarkan,
menimbulkan suasana seakan aku berada di tengah keluarga Jawa. "Ini ada tiga
pucuk surat. Kau belum lagi membacanya. Mengapa tak dibaca ?"
Rasanya semua orang menuntut aku membacai surat-surat yang kuterima.
"Tiga pucuk, Mas, semua dari B."
"Ya, nanti kubaca." .
Ia antarkan surat-surat itu padaku, berkata:
"Bacalah. Barangkali penting."
Ia pergi untuk membuka pintu luar. Dan surat-surat itu kuletakkan di atas bantal.
Kususul dia. Di hadapan kami terbentang taman yang indah, tidak luas, hampir-
hampir dapat dikatakan kecil-mungil, dengan kolam dan beberapa angsa putih
bercengkerama - seperti dalam gambar-gambar. Sebuah bangku batu berdiri di tepi
kolam.
"Mari," Annelies membawa aku keluar, melalui jalan beton dalam apitan gazon hijau.
Duduklah kami di atas bangku batu itu. Annelies masih juga memegangi tanganku.
"Apa Mas lebih suka kalau aku bicara Jawa ?"
Tidak, aku tak hendak menganiayanya dengan bahasa yang memaksa ia menaruh diri
pada kedudukan sosial dalam tata-hidup Jawa yang pelik itu.
"Belanda sajalah," kataku.
"Lama betul kami harus tunggu kau."
"Banyak pelajaran, Ann, aku harus berhasil."
"Mas pasti berhasil."
"Terimakasih. Tahun depan aku harus tamat. Ann, aku selalu terkenang padamu."
Ia pandangi aku dengan wajah bersinar-sinar dan dirapat kannya tubuhnya padaku.
"Jangan bohong," katanya.
"Siapa akan bohongi kau ? Tidak."
"Betul itu ?" ..,•
"Tentu. Tentu."
Aku pelukkan tanganku pada pinggangnya dan kudengar nafasnya terengah-engah.
Ya Allah, Kau berikan dara tercantik di dunia ini kepadaku. Aku pun berdebar-debar.
"Di mana Robert ?" tanyaku untuk penenang jantung.
"Apa guna kau tanyakan dia ? Mama pun tak pernah bertanya di mana dia berada."
Nah, satu masalah sudah mulai timbul. Dan aku merasa tak patut untuk
mencampuri.
"Mama sudah merasa tak sanggup, Mas, ia menunduk dan suaranya mengandung
duka. "Sekarang ini semua kewajibannya aku yang harus lakukan."
Aku perhatikan bibirnya yang pucat dan seperti lilin tuangan itu" “Dia tak menyukai

! 47!
Mama. Juga tidak menyukai aku. Dia jarang di rumah. Kan Mas sendiri pernah
saksikan aku bekerja ?"
Kudekap tubuhnya untuk menyatakan sympati.
"Kau gadis luarbiasa."
"Terimakasih, Mas," jawabnya senang. "Kau ak perlu perhatikan Robert. Dia benci
pada semua dan segala yang serba Pribumi kecuali keenakan yang bisa didapat
daripadanya. Rasa-rasanya dia bukan anak sulung Mama, bukan abangku, seperti
orang asing yang tersasar kemari."
Jelas ia banyak memikirkan abangnya, dan memikirkannya dengan prihatin -- anak
semuda ini.
"Aku juga tak melihat Tuan Mellema," kataku mencari pokok lain.'
"Papa ? Masih juga takut padanya ? Maafkan malam buruk itu. Dia pun tak perlu kau
perhatikan. Papa sudah menjadi begitu asing di rumah ini. Seminggu sekali belum
tentu pulang, itu pun hanya untuk pergi lagi. Kadang tidur sebentar, kemudian
menghilang lagi entah ke mana. Maka seluruh tanggungjawab dan pekerjaan jatuh ke
atas pundak Mama dan aku."
Keluarga macam apa ini ? Dua orang wanita, ibu dan anak, bekerja dengan diam-
diam mempertahankan keluarga dan perusahaan sebesar itu ?
"Bekerja di mana Tuan Mellema ?"
"Jangan perhatikan dia, pintaku, Mas. Tak ada yang tahu bekerja di mana. Dia tak
pernah bicara, seperti sudah bisu. Ka- I mi pun tak pernah bertanya. Tak ada orang
bicara dengannya. Sudah berjalan lima tahun sampai sekarang. Rasa-rasanya
memang sudah seperti itu sejak semula kuketahui. Dia dulu memang begitu baik dan
ramah. Setiap hari menyediakan waktu i untuk bermain-main dengan kami. Waktu
aku duduk di kias dua j E.L.S. mendadak semua jadi berubah. Beberapa hari perusa-
. haan tutup. Dengan mata merah Mama datang ke sekolah men- | jemput aku, Mas,
mengeluarkan aku dari sekolah untuk selain
lamanya. Mulai hari itu aku harus membantu pekerjaan Mama dalam perusahaan.
Papa tak pernah muncul lagi, kecuali beberapa menit dalam satu atau dua minggu.
Sejak itu pula Mama tak pernah menegurnya, juga tak mau menjawab
pertanyaannya....."
Cerita yang tidak menyenangkan.
"Juga Robert dikeluarkan dari sekolah ?"tanyaku mengalihkan. "Pada waktu aku
dikeluarkan dia duduk di kias tujuh — tidak, dia tidak dikeluarkan.'1
"Meneruskan sekolah mana dia kemudian ?", "Dia lulus, tapi tak mau meneruskan.
Juga tak mau bekerja. Sepakbola dan berburu dan berkuda. Itu saja." "Mengapa dia
tidak membantu Mama ?" "Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama.

! 48!
Bagi dia tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua Pribumi
harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh
perusahaan. Semua orang harus bekerja untuknya, termasuk Mama dan aku."
"Kau juga dianggapnya Pribumi ?" tanyaku hati-hati. "Aku Pribumi, Mas," jawabnya
tanpa ragu. "Kau heran ? Memang aku lebih berhak mengatakan diri Indo. Aku lebih
mencintai dan mempercayai Mama, dan Mama Pribumi, Mas."
Memang keluarga teka-teki, setiap orang menduduki tempatnya sebagai peran dalam
sandiwara seram. Banyak Pribumi me-ngimpi jadi Belanda, dan gadis yang lebih
banyak bertampang Eropa ini lebih suka mengaku Pribumi.
Annelies terus bicara dan aku hanya mendengarkan. "Kalau itu yang kau kehendaki,"
terusnya, "mudah, Robert, kata Mama, sekarang kau sudah dewasa. Kalau papamu
mati, pergi kau pada advokat, mungkin kau akan dapat kuasai seluruh perusahaan
ini. Kata Mama pula: Tapi kau harus ingat, kau masih punya saudara tiri dari
perkawinan syah, seorang insinyur bernama Maurits Mellema, dan kau takkan kuat
berhadapan dengan seorang Totok. Kau hanya Peranakan. Kalau betul kau hendak
menguasai perusahaan dengan baik-baik, belajarlah kau bekerja seperti Annelies.
Memerintah pekerja pun kau tidak bisa, karena kau tak bisa memerintah dirimu
sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena kau tak tahu bekerja."
"Lihat angsa itu, Ann, putih seperti kapas," kataku mengalihkan. Tapi dia bicara
terus. "Mengapa rahasia keluarga kau sampaikan padaku ?"
"Karena Mas tamu kami dalam lima tahun ini. Tamu kami, tamu keluarga. Memang
ada beberapa tamu, hanya semua berhubungan dengan perusahaan. Ada juga tamu
keluarga, tapi didokter keluarga kami. Karena itu kaulah tamu pertama itu. Dan kau
begitu dekat, begitu baik pada Mama mau pun aku," suaranya mendesah sunyi, tak
kekanak-kanakan. "Lihat, tak segan-segan aku ceritakan semua itu padamu, Mas.
Kau pun jangan segan-segan di sini. Kau akan jadi sahabat kami berdua/' Suaranya
menjadi semakin sentimentil dan berlebihan: "Segala milikku jadilah milikmu. Mas.
Kau bebas sekehendak hati dalam rumah M."
Betapa sunyi hati gadis dan ibunya di tengah-tengah kekayaan melimpah ini.
"Nah, mengasohlah. Aku hendak bekerja sekarang."
Ia berdiri hendak berangkat. Ia pandangi aku sebentar, ragu, mencium pipiku,
kemudian berjalan cepat meninggalkan aku seorang diri......
Berapa lama sudah ia simpan perasaannya. Sekarang akulah tempat tumpahan
curahan.
Dari tempat dudukku terdengar deru pabrik beras yang sedang bekerja. Bunyi
andong-andong pengantar susu yang berangkat dan datang. Derak-derik grobak-
grobak mengangkuti sesuatu dari dan ke gudang. Pukulan-pukulan gebahan orang

! 49!
melepas kacang-kacangan dari kulitnya, sambil bergurau.
Aku masuk ke kamar, membuka-buka buku catatanku dan mulai menulis tentang
keluarga aneh dan seram ini, yang karena suatu kebetulan telah membikin aku
terlibat di dalamnya. Siapa tahu pada suatu kali kelak bisa kubuat cerita seperti Bila
Mawar pada Layu cerita bersambung menggemparkan tulisan Hertog Lamoye ? Ya,
siapa tahu ? Selama ini aku hanya menulis teks iklan dan artikel pendek untuk
koran-lelang. Siapa tahu ? Dengan nama sendiri terpampang dan dibaca oleh umum
? Siapa tahu ?
Semua kata-kata Annelies telah kucatat. Bagaimana tentang Darsam si pendekar ?
Aku belum tahu banyak tentangnya. Berpihak pada siapa dia di antara tiga golongan
dalam keluarga seram ini ? Tiadakah dia justru bahaya terdekat bagi ketiga-tiga
pihak ? Bahaya ? Adakah bahaya itu sesungguhnya ? Kalau ada kan aku sendiri pun
ikut terancam ? Kalau benar ada, untuk apa pula aku tinggal di sini ? Kan lebih baik
aku pergi ?
Pergi begitu saja aku tak kuasa. Gadis mempesonakan ini ke mana pun terbawa
dalam pikiran.
Ketukan pada pintu itu membikin aku menggagap, Nyai telah berdiri di hadapanku.
"Tak terkirakan gembira Annelies dan aku Sinyo sudi datang, lihat Nyo dia sudah
mulai bekerja lagi, mendapatkan kegenitannya yang semula. Kedatangan Sinyo
bukan sekedar membantu kelancaran perusahaan, terutama untuk kepentingan
Annelies sendiri. Dia mencintai Sinyo. Dia membutuhkan perhatianmu. Maafkan
keterus-teranganku ini, Minke " .
“Ya Mama" jawabku takzim, rasanya lebih daripada kepada ibuku sendiri, dan
kembali kurasai daya sihirnya mencekam, ”Sudahlah, tinggal di sini saja. Kusir dan
bendi bisa disediakan khusus untuk keperluan Sinyo.”
"Terima-kasih, Mama."
"Jadi Sinyo bersedia tinggal di sini, bukan ? Mengapa diam saja?, ya .. ya pikirkanlah
dulu. Pendeknya, sekarang ini Sinyo sudah tinggal di sini."
“Ya Mama," dan genggamannya atas diriku semakin terasa.
Baik. Istirahatlah. Biar terlambat, tentunya tak ada buruknya aku ucapkan selamat
naik klas."
Dengan demikian aku mulai menjadi batih baru keluarga ini. Dengan catatan tentu:
aku harus tetap waspada, terutama terhadap Darsam. Aku takkan terlalu dekat
padanya. Sebaliknya harus selalu sopan padanya. Robert barangtentu akan
membenci aku sebagai Pribumi tanpa harga. Tuan Herman Mellema tentu akan
menyembur aku pada setiap kesempatan yang didapatnya Pendeknya aku harus
waspada - kewaspadaan sebagai bea kebahagiaan hidup di dekat gadis cantik tanpa

! 50!

Anda mungkin juga menyukai