Anda di halaman 1dari 16

KONSEPSI ADAT BASANDI SYARA’, SYARA’ BASANDI KITABULLAH

DAN IMPLIKASINYA PADA DUNIA PENDIDIKAN

Oleh: Nelly Izmi


(STIT Ahlussunnah Bukittinggi)

ABSTRAK

Dinamika kemajuan dan perkembangan zaman dalam kehidupan


masyarakat semakin hari semakin menunjukkan gejala tidak peduli atau
apatis terhadap adat, tatakrama dan akhlaqul karimah. Apabila hal ini
dibiarkan berlarut-larut, semakin hari tentulah lambat laun akan hilang
adat, tatakrama dan akhlaqul karimah tersebut. Mestikah sikap apatis
tersebut dipertahankan? Padahal kita hidup di alam Minangkabau
dengan falsafah Adat Basabdi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah,
Syara’ mangato Adat mamakai. Sebelum agama Islam masuk ke
Minangkabau, masayarakat Minangkabau mengambil pedoman untuk
keselamatan hidup dari pituah-pituah orang tua yang dilontarkan
melalui petatah petitih. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba
menjelaskan bagaimana Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi
Kitabullah yang terkenal di Minangkabau (Sumatera Barat) dengan
istilah ABSSBK harus diperjuangkan kembali implementasinya di tengah
masyarakat dan implikasinya terhadap dunia pendidikan.
Kata Kunci: ABSSBK, adat, syara’, kurikulum, pendidikan.

A. PENDAHULUAN

Gejala yang muncul dalam kehidupan masyarakat di era globalisasi dan


kemajuan luar biasa pada bidang teknologi informasi adalah terserabutnya
masyarakat dari nilai-nilai kearifan lokal seperti budaya atau adat. Khusus di
Minangkabau, Adat itu bersendikan kepada Syara’, Syara’ bersendikan kepada
Kitabullah, jadi pedoman hidup masyarakat merupakan integrasi antara adat
dan Syara’, dalam hal ini, syara’ mangato, adat mamakai.
Pada dekade belakangan ini nampak jelas kemerosotan di tengah
masyarakat dalam mengetahui, memahami dan mengamalkan falsafah yang
terkandung dalam Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah yang
dikenal dengan istilah ABS SBK. Peningkatan pengetahuan, pemahaman dan
pengamalan ABS SBK sangatlah urgens dan mendesak untuk segera

40
dilaksanakan melalui berbagai media, salah satunya adalah peran yang bisa
dilakukan dalam dunia pendidikan, baik secara formal maupun non formal.
Penelitian ini merupakan penelitian studi kepustakaan atau library
research. Penelitian kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh
peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah
yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku
ilmiah, jurnal, majalah, hasil penelitian berupa tesis atau disertasi dan laporan
penelitian, yang ada hubungannya dengan masalah yang sedang dipecahkan.1
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer yaitu buku-buku
/referensi yang terkait langsung dengan penelitian dan sumber sekunder yaitu
referensi yang mendukung data penelitian. Pembahasan dalam penelitian
adalah menggunakan pendekatan analisis induktif (khusus ke umum), deduktif
umum ke khusus) dan komparatif (perbandingan).

B. HASIL PENELITIAN
1. Adat
Adat adalah tata cara untuk menyusun hubungan manusia dengan
manusia, oleh sebab itu adatpun bersandi syara’, karena adat juga mengatur
hubungan makhluk dengan khaliq.2 Dapat juga disebut bahwa adat adalah
peraturan hidup sehari-hari. Kalau hidup tanpa aturan, bagi orang Minang
namanya tak beradat.3
Secara terminologi adat adalah kebiasaan yang dilakukan masyarakat
pada suatu tempat tertentu. Oleh sebab itulah adat disebut juga hukum yang
tidak tertulis.4 Namun Adat haruslah bersendikan kepada syara’, syara’
bersendikan Kitabullah, syara’ mangato adat mamakai.
Pembagian Adat

1
M. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, 2003, h 27
2
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (Bandung, CV
Rosda, 1978), Cet I hal 13
3
Amir. MS, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta Pusat, CV Sumber Widya,
1999) Cet I hal 14
4
Nur Khalif Hazin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya, Terbit Terang, 1994)
Cet I Hal 9

41
Dengan memperhatikan daya lentur ketentuan adat Minang, maka
ketentuan adat tersebut dapat diklasifikasikan kedalam empat tingkatan,
sebagai berikut:
1. Adat nan sabana adat
2. Adat nan diadatkan
3. Adat nan teradat
4. Adat istiadat

Adat nan sabana adat adalah aturan pokok dan falsafah yang
mendasari kehidupan suku Minang yang berlaku turun temurun tanpa
terpengaruh oleh tempat, waktu dan keadaan sebagaimana dikiaskan dalam
kata-kata adat:
Nan indak lakang dek paneh
Nan indak lapuak dek hujan 5
Adat Minangkabau itu tetap supel dan dinamis, bisa menyesuaikan
diri dengan keadaan serta situasi yang dilalui kalau terus dipakai tidak kepada
arah dan tujuan yang salah karena adat itu selalu menjadi sesuatu yang telah
berlalu untuk menjadi contoh dan perbandingan. Agar adat itu tetap baru,
hendaklah pada waktu dan tempatnya dilaksanakan. Dan harus selalu
diadakan pembinaan sehingga dapat mengukur dan memperbandingkan
dengan perkembangannya, dengan tidak mengubah dasar semula serta ide dan
tujuan adat itu. Adat nan sabana adat ini merupakan undang-undang dasarnya
adat Minang yang tidak boleh dirubah.
Adat nan diadatkan adalah peraturan setempat yang telah diambil
dengan kata mufakat ataupun kebiasaan yang sudah berlaku umum dalam
suatu nagari. Pengertian kaidah adat di atas ialah bahwa alam semesta (alam
takambang dijadikan guru) sebagai iktibar dan kemudian disusun kalimat-
kalimat dari ketentuan alam tersebut sesuai dengan hukum dan sifatnya,
disusun menjadi kaidah untuk menyusun masyarakat sebagai suber hokum
dalam segala bidang, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan

5
Amir. MS, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta Pusat, CV Sumber Widya,
1999) Cet I hal 14

42
keamanan. Dengan kaidah yang disusun dari ketentuan alam takambang jadi
guru dengan itulah diatur hubungan baik antara sesama manusia dalam
masyarakatnya, semenjak dari tingkatan yang terendah sampai kepada
tingakatan yang paling tinggi. Seperti dari anak-anak sampai orang tua, rakyat
dengan pemimpin, agar antara yang satu dengan yang lain terwujud hubungan
yang baik dan harmonis antar sesamanya, yang saling menghormati, tolong
menolong, kasih mengasihi, saling tenggang rasa.
Adat nan teradat adalah kebiasaaan dalam kehidupan bermasyarakat
yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh ditinggalkan. Yang
berhubungan dengan tingkah laku dan kebiasaan.6 Artinya adalah aturan
pelaksanaan disetiap nagari akan berbeda antara yang satu dengan yang
lainnya. Walaupun berbeda dalam aturan pelaksanaan, namuntidak berbeda
tentang dasar hukumnya, yakni sama-sama berdasarkan adat nan diadatkan
oleh nenek moyang yang menciptakannya. Sebagai contoh tentang
perkawinan di Minangkabau, tentang membangun pusaka tinggi, dan tentang
kematian dalam suatu keluarga atau kaum sako dan pusako.
Adat istiadat ialah aneka kelaziman dalam suatu nagari yang
mengikuti pasang naik dan pasang surut situasi masyarakat, seperti acara-
acara keramaian anak nagari misalnya pertunjukan randai, saluang, rabab,
tari-tarian dan aneka kesenian yang dihubungkan dengan upacara perhelatan
perkawinan, pengangkatan penghulu maupun untuk menghormati tamu
agung. Semuanya untuk memupuk hubungan kekeluargaan, persatuan.7
Jadi adat istiadat adalah merupakan pengejawantahan yang ada dalam
kehidupan sehari-hari dilingkungan adat Minangkabau, karena adat istiadat
adalah merupakan hubungan antara pribadi dengan pribadi. Selain dari itu
adat sopan santun dan basa basi serta tata krama pergaulan termasuk juga
dalam klasifikasi adat istiadat ini. Adat istiadat semacam ini sangat
tergantung pada situasi sosial ekonomi masyarakat. Apabila sedang panen

6
Ibid, hal 15
7
Ibid, hal 16

43
baik, biasanya mengadakan suatu acara dengan megah meriah begitu juga
keadaan sebaliknya.8
Keempat macam adat tersebut menyatu dalam penghayatan dan
pengamalan masyarakatnya, dan ditemui juga ungkapan “baadat
Minangkabau”. Di Minagkabau dalam membimbing anak kemenakan
ditangani oleh dua komponen kepemimpinan, yaitu pertama kewajiban ibu
dan bapak, kedua adalah mamak (saudara kandung ibu yang laki-laki).
Andaikata anak kemenakan berbuat keonaran, bertingkah laku salah cando,
bertingkah lakunan indak katuju di urang, tercemar namanya dalam
masyarakat, harus diupayakan mencari penyelesaiannya sehingga “rancak
diawak katuju di urang”.
Untuk itu dikembalikan permasalahan kepada familinya (kaum
keluarganya) dengan cara bijaksana bertanya siapa mamaknya (kemenakan
siapa). Kemudian harus ditanya “Bapaknya”, karena ditanah Minang yang
dimintakan tanggung jawab dari seorang anak kemenakan yang tersalah, lebih
dahulu ditanya adalah mamaknya dan baru dari segi syara’ dimintakan
tanggung jawab dari bapaknya.
Masalah ini bukanlah mencari kambing hitamnya, akan tetapi
melakukan suatu koreksi kembali atas yang apa yang telah terjadi. Seperti apa
yang telah disampaikan oleh pepatah adat bahwa rantiang nan lah
mancucuak, dahan nan lah maimpok. Patokan tersebut telah digunakan oleh
orang Minang semenjak dahulu. Orangtua yang arif dan bijaksana akan
mencari sebab dan musababnya dari dalam diri sendiri.9
Kewibawaan orangtua (ibu bapak) seringkali dipertanyakan. Pasalnya
ialah karena seringkali terjadi perbincangan antara hubungan keluarga dengan
kenakalan remaja. Terseretnya generasi muda kedalam jurang kecanduan
narkotika, morfin, ganja, pergaulan bebas dan lain sebagainya adalah
merupakan renggangnya pergaulan oleh orangtua dan anak di rumah.

8
Amir. MS, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta Pusat:
PT Mutiara Sumber Widya, 1999) Cet I hal 73-75
9
Ahmad Anis, Menelusuri Sikap Jiwa Manusia Miang, (Bukittinggi: CV Pustaka
Indonesia, 1997), Cet. I hal 12

44
Tugas ibu bapak dan Ninik Mamaknyalah yang pertama mendidik
anaknya menjadi anak yang shaleh, bukan orangtua atau mamaknya hanya
bangga setelah anakya diserahkan kesekolah atau pesantren, lalu orangtua
akan berpangku tangan saja tanpa mengontrol perkembangan watak anaknya.
Masalah ini telah lama dirisaukan oleh anggota masyarakat. Kerisauan
tersebut adalah kerisauan bersama yaitu berasal dari hubungan keluarga
dengan sang anak.
Akan tetapi jika diselidiki sampai kehulunya terlihatlah tumpukan
tanggung jawab yang harus dipikul oleh orangtua dan ninik mamak sebagai
orang yang berdiri di barisan paling depan. Di lingkungan keluargalah yang
lebih awal dan dengan masa yang paling panjang sang anak berinteraksi dan
berindetifikasi. Kemudian disusul secara interaktif yang menyatu dengan
kelompok masyarakat.
Orangtua yang bijaksana, apabila berhadapan dengan masalah yang
pelik seperti itu, tidak akan serta merta mencari sebabnya pada pihak lain.
Tentu ia akan berfikir sejenak, kesalahan apa yang telah menyelinap dalam
tindakannya dalam memberikan pendidikan kepada anak atau kemenakannya.
Karena masalah kenakalan remaja adalah masalah lanjutan dari ketidak
patuhan anak kepada orangtuanya, dan kurang berperannya seorang ninik
mamak dalam lingkungan keluarga. Sehingga anak lebih banyak mencari
hiburan, karena didepak oleh hingar bingarnya dalam rumah tangga sendiri.
Pada gilirannya ikut serta dalam kelompok-kelompok yang tidak
mengindahkan aturan-aturan umum yang berlaku dalam masyarakat lalu
merupakan beban batin bagi orang tua dan masyarakat tersebut, serta
menimbulkan suatu kerisauan.10
Pepatah adat juga telah menyampaikan:
Nan kuriak iyolah kundi
Nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi
Nan endah iyolah baso

10
Ibid, hal 11-12

45
Karena budi pekerti yang baik (akhlaqul karimah) yang menjiwai
setiap gerak dan perilaku manusia dapat dicapai hasil yang baik pula.
Disebabkan budi pekerti yang dihayati oleh manusia itulah tegak kebenaran
dan keadilan, dan tercapainya suatu kemakmuran yang menjadi pokok
pangkal hidup di dunia.
Apabila dalam suatu lingkungan masyarakat yang tidak menghayati
budi pekerti yang baik, pasti selalu terjadi dalam masyarakat tersebut
kekacauan dan tidak adanya kestabilan dalam segala bidang, yang akhirnya
mengakibatkan suatu kehancuran.
Pepatah adat telah menasehati pada mulanya, yakni:
Kuat rumah karano sandi
Rusak sandi rumah binaso
Kuat bangso karano budi
Rusak budi hancurlah bangso11
Adat yang bersendi agama telah mengatur mana yang pantas ditiru
dan diteladani. Seperti diantaranya pepatah adat yang telah mencerminkan
bahwa:
Adat jo syarak kok tasusun
Bumi sanang padi manjadi
Laweh ijan manyangkuik
Cadiak ijan manjua
Indak dapek bakandak hati
Kandak Tuhan nan balaku
Adat basandi syarak
Syarak basandi kitabullah12
Tingkah laku anak yang demikian, sebenarnya tidaklah berdiri sendiri.
Akan tetapi secara hereditas atau dari sononya. Orangtua dan ninik mamak
(dalam lingkungan adat Minang) terlupa memberi resep pendidikan adat dan
agama (Islam) dari waktu kecilnya. Kemudian mereka (anak) telah

11
Idrus Hakimi, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
(Bandung, CV Rosdakarya, 1978), Cet I hal 35
12
Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, (Bukittinggi: CV Pustaka
Indonesia, 1995), Cet I hal 18

46
dipengaruhi oleh pihak-pihak lain secara interaktif yang saling
mempengaruhi.
Adat adalah salah satu dari ikatan-ikatan untuk mengantarkan manusia
kearah hidup yang bermoral, berakhlaqul karimah, bermental yang kuat, lebih
damai dan sempurna. Adat Minangkabau merupakan suatu sistem yang
meliputi kehidupan orang (pribadi) dan masyarakat, dan mempunyai ide
kehidupan yang senantiasa menghayati budi pekerti yang baik terhadap
sesamanya.
Dan ibu adalah sumber utama perkembangan seorang anak dari suatu
keluarga. Dengan perkataan lain, ibu yang baik dan berbudi luhur yang sesuai
dengan ketentuan “alam takambang jadi guru”
Seperti kata bidal menyampaikan:
Bijo nan baulek dan bengkok
Melahirkan buah dan batang
Nan baulek dan bengkok juo
Kalau karuah aie dihulu
Sampai ka muaro karuah juo
Kalau kuriak induaknyo
Rintiak anaknyo.
Keunikan di Minang, sebagai penganut Islam yang taat setiap
tindakan yang akan dilakukannya diukur dulu kepada standar dua dimensi,
yaitu dimensi adat dan dimensi syara’ (Islam). Sebab ajaran agama Islam
meliputi dua hal yang pokok, yaitu ajaran tentang hubungan antar manusia
dengan Allah (Hablumminallah) dan hubungan dengan antar manusia dengan
mausia (Hablumminannaas). Oleh sebab itulah ajaran tentang
Hablumminallah dapat diterima langsung oleh orang Minang, bagaikan
pucuak dicinto ulam tibo.13
Di Minangkabau hasrat hidup untuk bermasyarakat itu terjelma dalam
bahasa klise berbentuk pepatah-petitih yang beratus-ratus banyaknya,
diantaranya adalah:
 Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang

13
Amir MS, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta Pusat: PT Mutiara Sumber
Widya, 1999), Cet I hal 80

47
 Duduak baiyo, tagak bamolah
 Bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mufakat
 Tambilang samo tatagak, jae samao baselo
Pepatah-petitih tersebut adalah merupakan pengejawantahan dari
musyawarah, kerjasama, tolong menolong, gotong royong, kongsi dan
sebagainya. Sebagai ciri-ciri khas kehidupan sosial dari satu masyarakat.14
Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau yang matrilinial, di rumah
gadang ini, berkuasa seorang laki-laki yang disebut dengan “mamak rumah”
atau “tungganai” yaitu saudara pria sekandung menurut garis ibu. Untuk
menjadi pembimbing, anggota-anggota keluarga yang terdekat. Pada
umumnya jatuh pada saudara laki-laki yang tertua sekaligus juga menjadi
mamak kepala waris dari kaumnya.
Tidaklah dapat dipungkiri, kalau penghulu atau pemangku adat
sebagai penanggung jawab berlangsungnya norma dan nila-nilai etik dari adat
Minangkabau, sebagai ikatan yang baik. Uswatun hasanahnya di
Minangkabau yang harus selalu berjuang untuk memiliki kepribadian,
menegakkan kewibawaan yang tangguh dan cemerlang.
Sepanjang waktu kepribadian yang digenangi air ketaqwaan kepada
Allah SWT karena penghulu itu adalah pemimpin kaum dan sukunya.
Suaranya selalu didengar apalagi akan mempertanggung jawabkan hasil
kepemimpinannya di hari akhirat kelaknya. Apalagi Minangkabau dengan
adatnya yang tak lekang karena panas dan tak lapuk karrena hujan itu telah
pernah jaya, mempunyai norma dan nilai-nilai etik yang tinggi masa
dahulunya, karena berpedoman hukum alam atau sunnatullah. Di dalam diri
seorang penghulu/ pemangku adat bersatu, sifat kerohanian adat dengan
kerohanian agama Islam, jika bukan demikian, tidak akan mungkin pula
filsafat hidup Minang bertemu dalam suatu sintesa: Adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah.

14
Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, (Bukittinggi: CV Pustaka
Indonesia, 1995) Cet I hal 20

48
Kemudian lagi, tercermin suatu tata krama yang begitu mengesankan
bila diikuti proses kedatangan seorang mamak yang hendak melakukan suatu
pengawasan kepada kaumnya. Sang mamak pulang ke rumah ibunya, tidaklah
ia langsung mengetuk pintu atau memanggil-manggil untuk naik ke atas
rumah, akan tetapi terlebih dahulu melakukan sesuatu di halaman rumah.
Sebagai pemberitahuan secara tak langsung. Mungkin itu berupa mendeham,
atau semacam batuk-batuk kecil yang sopan. Semua itu dilakukan tidak lain
hanya untuk memberi tenggang waktu kepada dunsanaknya, kemenakan atau
semenda. Tenggang waktu itu mempunyai nilai etiket di Minangkabau, juga
telah memberikan rasa lega kepada “semenda”, karena ia merasa dihargai dan
pada gilirannya timbul rasa segan kepada mamak rumah/ tungganai.
Dari sinilah akan nampak suatu etiket Minang yang terkenal dengan
sebutan “jalan nan ampek” sebagaimana yang telah penulis sebutkan pada
bab yang lalu, bahwa jalan yang empat itu adalah: jalan mandaki dari yang
kecil kepada yang besar, anak kepada ibu bapak, mamak dan kakak.
Sedangkan jalan yang menurun adalah sifatnya mendidik/ membimbing dari
yang besar kepada yang kecil. Dari sinilah dapat dilihat bahwa, orang Minang
apabila anak kemenakannya berbuat suatu kesalahan di luar tata krama, adab
sopan santun, disebutnya dengan “Ndak tahu diampek”.15
Berbicara tentang sikap seorang mamak yang demikian luwes,
berakhlaq tinggi, dengan sendirinya menimbulkan respek dari saudara
perempuannya, kemenakan, orang semenda dan orang kampungnya sendiri.
Mamak yang demikian inilah yang diandalkan sebagai tempat
menggantungkan harapan (sandaran kokoh), pai tampek batanyo, pulang
tampek babarito, terasalah kaitan kasih sayang murni antara mamak dengan
kemenakannya, karena untuk mendidik telah ada didalamnya.
Begitu pula hendaknya sikap seorang penghulu kepada seluruh
kelompok keluarga dalam satu akumnya. Mempunyai gaya (style) sikap
“menyelesaikan” rambuik tak putuih, tapuang tak taserak, dalam menghadapi
suatu masalah atau sekiranya terdapat suatu silang sengketa dalam kaumnya,

15
Ibid, hal 12

49
karena akan menjadi aib di Minangkabau kalau urusan anak kemenakannya
dimasuki oleh orang lain.
Dengan padang yang lapang dan dengan alam lebarnya, “indak ado
karuah nan indak kajaniah”, dan kusuik nan indak kasalasai di
Minangkabau, karena kejayaan jiwanya terletak dalam sayapnya
musyawarah.
Bulek aie di pambuluah
Bulek kato dek mufakaik
Rela turuik manuruik-i
Dengan demikian, dapatlah dibenarkan bahwa stuktur kepemimpinan
musyawarah, adalah menggunakan sistem informasi dari kemenakan dalam
pengambilan keputusan.
Yaitu:
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo kapado alue
Alue barajo kapado patuik jo mungkin
Patuik jo mungkin barajo ka nan bana
Bana nanlah manjadi rajo
Dalam ajaran adat Minangkabau budi pekerti yang baik itu menjelma
pengalamannya melalui empat faktor yang biasa disebut dalam adat, yaitu
melalui “raso”, “pareso”, “malu”, dan “sopan”. Yang disebut dengan raso
menurut ajaran adat Minangkabau ialah: “yang terasa bagi diri”, artinya setiap
yang dirasakan oleh indra yang lima. Sedangkan yang disebut pareso ialah
yang dirasakan oleh hati manusia. Malu adalah suatu sifat yang merupakan
tanggungan bagi hati setiap manusia. Sopan adalah tingkah laku, gerak-gerik
dalam perbuatan sehari-hari, dalam pergaulan (sopan santun) sebagai
pencerminan budi baik.
Pepatah adat Minangkabau meyanpaikan bahwa:
Rarak kalikih dek mindalu
Tumbuah sarumpun di tapi tabek
Kok habih raso jo malu
Bak kayu lungga kabek
Nak urang koto hilalang

50
Nak lalu ka pakan Baso
Malu jo sopan kalau hilang
Habihlah raso jo pareso
Budi pekerti yang baik dan mulia (akhlaqul karimah) yang dihayati
dan diamalkan oleh setiap anggota masyarakat yang dinamakan kato, adat nan
limo. Kemudian lebih dikenal dengan sandi nan limo yaitu:
1. Suri Tauladan
2. Ukua Jangko
3. Barih Balabiah
4. Cupak Gantang
5. Bungko naraco
Dalam penghayatan dan pengamalan kelima sandi tersebut tiap butir-
butirnya bernafaskan Islam yang diperdapat dalam Al-Quran. Manusia yang
pantas dijadikan Suri Tauladan adalah orang-orang yang percaya kepada Allah
SWT. Nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam suri tauladan ialah
menyuruh orang untuk beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Karena
orang-orang itulah yang pantas ditiru dan diteladani yang saling menghormati
sesamanya dan bersifat adil dan beradab dalam setiap laku dan perbuatan.16
Seperti yang terdapat dalam Al Quran Surat Al Ahzab ayat 21

َ‫َّللا‬ ‫َّللاِ أ ُ ْس َوةٌ َح َسنَةٌ لِ َم ْن َكانَ يَرْ جُو ه‬


‫َّللاَ َو ْاليَوْ َم ْاْل ِخ َر َو َذ َك َر ه‬ ‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِي َرسُو ِل ه‬
‫َكثِيرًا‬

Artinya: Sesungguhnya pada Rasulullah (Muhammad) ada ikutan


yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharapkan (pahala) Allah dan
hari yang kemudian, serta ia banyak mengingat Allah.17

Di Minangkabau seseorang yang tidak mempunyai akhlaq yang mulia


dipandang sebagai seseorang yang tidak beradat. Oleh karena adat
Minangkabau itu beradasarkan atas ketentuan-ketentuannya berasal dari dalam
alam, maka falsafah adat minangkabau, baru akan sampai pada alam nyata dan

16
Ibid hal 16
17
Al-Ahzab (Q: 33: 21)

51
alam yang ghaib, apabila mengambil contoh dan pedoman dari ayat-ayat Allah
(Al Quran) dan sunnah Nabi besar Muhammad SAW.
Misalnya ada fatwa:
Masaklah padi tulang ladang
Ditumbuak mangko digiliang
Digiliang rang Koto Tuo
Harimau mati maninggakan balang
Gajah mati maninggakan gadiang
Manusia mati maninggakan namo/jaso 18
Dalam Hadits Rasulullah menyampaikan bahwa yang artinya:
Dari Abu Hurayrah r.a berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Apabila
seorang manusia meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga
perkata, yaitu: Shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang
shaleh yang selalu mendo’akannya (ibu-bapaknya).

Kebenaran dalam adat yang harus tertulis begitu indah sejalan dengan
agama Islam. Tidaklah mungkin dipungkiri bilamana dikaburkan, berarti
mendustai diri sendiri serta menyiksakan batin, bak kata pepatah Minang.
Tarapuang tak anyuik, tarandam tak basah, akhirnya jadi penyakit. Seperti
mamang Minang menyatakan:
Hilia banda tampuruang sayak
Lukah nan usah dibangkik-bangkik
Kato nan bana usah diasak
Kok siasak jadi panyakik
Jadi dengan begitu, ialah dimana tidak ada pertanyaan yang tidak
terjawab, yaitu jawaban yang berisi pemecahan masalah, tidak ada pengaduan
dari anak kemenakan yang tidak terselesaikan, yaitu dengan penyelesaian
yang tuntas dan menyenangkan timbal balik antara yang tersangkut dengan
persoalan itu. Sifat yang digunakan adalah sifat melindungi dari penghinaan
orang lain, menolong menentramkan fakir miskin.
2. Peran Pendidikan dalam mengimplementasikan ABSSBK.

18
Ahmad Anis, Menelusuri Sikap Jiwa Manusia Minang, (Bukittinggi: CV Pustaka
Indonesia, 1997), Cet I hal 65

52
Pendidikan merupakan syarat utama untuk memajukan bangsa dan
negara. Meningkatkan mutu pendidikan merupakan tugas dari setiap instansi
yang memiliki perhatian terhadap dunia pendidikan baik formal maupun non
formal, mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi, termasuk organisasi
masyarakat. Berkaitan dengan hal itu maka mengevaluasi dan memperbaharui
kurikulum secara berkala semestinya menjadi keharusan. Sistem Pendidikan
Nasional memberikan ruang bagi lembaga pendidikan untuk memadukan
kurikulum sekolah dengan kearifan lokal, bisa dalam bentuk mata pelajaran
tersendiri sebagai muatan lokal, maupun memadukannya dengan mata
pelajaran yang lain.
Sekolah adalah suatu sarana atau wadah yang menampung aspirasi
dan mengarahkan, mendidik serta mengasuh seorang anak dari perihal belum
tahu sampai ketingkat lebih mengerti. Salah satu mata pelajaran sekolah yang
pernah masuk dalam program pemerintah adalah mata pelajaran Budaya
Alam Minangkabau. Dengan mata pelajaran ini siswa akan mengetahui dan
mengerti dengan budaya yang ada di daerahnya sendiri, khususnya
Minangkabau, kalaupun mata pelajaran ini adalah mata pelajaran muatan
lokal. Namun belakangan mata pelajaran tersebut telah dihilangkan pula.
Syukurlah, sejak tahun 2017, Pemerintah Sumatera Barat melalui
Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat sudah menyusun Program
Pengintegrasian Pendidikan Al-Qur’an dan Budaya Alam Minangkabau pada
seluruh mata pelajaran di tingkat Sekolah Menengah Atas. Pengintegrasian
ini merupakan realisasi dari visi pemerintah Provinsi Sumatera Barat yaitu
terwujudnya Sumatera Barat yang madani dan sejahtera. Pengintegrasian
nilai-nilai religius, pewarisan nilai Budaya Minangkabau yang terintegrasi
dalam semua pembelajaran akan mampu mewujudkan peserta didik yang
memiliki nilai religius, cerdas, nasionalis, berintegritas, gotong royong,
berbudaya, dan mandiri. Oleh sebab itu dipandang perlu untuk melakukan
perubahan, pengembangan kurikulum pendidikan dengan mengakomodir
kearifan lokal, demi melestarikan nilai-nilai tradisi Budaya Alam
Minangkabau yang terkenal dengan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi

53
Kitabullah (ABS SBK), Syara’ Mangato Adat Mamakai, Alam Takambang
Jadi Guru.
ABS-SBK merupakan landasan yang memberikan lingkungan sosial
budaya yang melahirkan kelompok signifikan manusia unggul dan
tercerahkan. ABS-SBK dapat diibaratkan ”Surau Kito” tempat pembinaan
”anak nagari” yang ditumbuh-kembangkan menjadi ”nan mambangkik
batang tarandam, nan pandai manapiak mato padang, nan bagak manantang
mato ari, nan abeh malawan dunia urang, dan di akhiraik beko masuak
Sarugo ”. Namun, ketika ”jalan lah di alieh urang lalu” dan di masa ”lupo
kacang jo kuliknyo”, adat dan syara’ mulai dikucawaikan, maka bagian peran
yang berada di tangan etnis Minangkabau nyaris tak terdengar. Para penghulu
ninik mamak, para ulama suluh bendang, dan para cerdik cendekia, menjadi
sasaran keluhan dan pertanyaan umat.

C. KESIMPULAN
1. Pada dekade belakangan ini nampak jelas kemerosotan di tengah
masyarakat dalam mengetahui, memahami dan mengamalkan falsafah
yang terkandung dalam Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah
yang dikenal dengan istilah ABS SBK. Peningkatan pengetahuan,
pemahaman dan pengamalan ABS SBK sangatlah urgens dan mendesak
untuk segera dilaksanakan melalui berbagai media, salah satunya adalah
peran yang bisa dilakukan dalam dunia pendidikan, baik secara formal
maupun non formal.
2. Peran dunia pendidikan diharapkan dapat membantu mengatasi keadaan
tersebut di atas dengan melakukan penambahan Kurikulum tentang
Keminangkabauan, mulai dari tingkat pendidikan dasar, menengah dan
Perguruan Tinggi.

54
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al-Qur’anul Karim
Ahmad Anis, Menelusuri Sikap Jiwa Manusia Miang, (Bukittinggi:CV Pustaka
Indonesia,1997), Cet I
Amir. MS, Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta Pusat, CV Sumber Widya,
1999) Cet I
……………, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta Pusat:
PT Mutiara Sumber Widya, 1999) Cet I
Idrus Hakimi, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau, (Bandung, CV
Rosda, 1978), Cet I
……………., Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah,
(Bandung, CV Rosdakarya, 1978), Cet I

Nurdin Yakub, Hukum Kekerabatan Minangkabau, (Bukittinggi: CV Pustaka Indonesia,


1995), Cet I
M. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, 2003

55

Anda mungkin juga menyukai