Anda di halaman 1dari 7

11.

45 : SEBUAH SUDUT DI RUANG WAKTU

Mengapa manusia selalu bertanya nama? Hanya agar tak sama, hanya agar merasa
berbeda. Kalau kuberi namaku pun, apakah akan kamu ingat dan kamu hafalkan?
Apakah dengan mengingat namaku menyenangkan hatimu?
Kamu sama dengan mereka. Mereka bertanya namaku, kemudian cemoohku, mereka
mengenal namaku, lalu, lalu..yang tinggal hanya duka.
--
Aku ingin namaku dilupakan.
--
Tapi kamu terus meminta aku bicara, walaupun nantinya kamu tak akan
mendengarkan. Semua sama, semua hanyalah perulangan dari waktu-waktu yang
telah lampau. Dan sama seperti mereka, kamu pun akan pergi. Jadi biarlah aku bicara
untuk diriku. Karena aku tidak kesepian dalam kesendirianku. Akan kuberitahu kamu
rahasiaku. Tapi, ah, mungkin kamu akan lupa dan kamu pun akan segera berlalu…
--
Hari itu hari ulangtahunku yang ketujuh. Hari bahagia. Ibu tersenyum memakaikan
aku pita berenda warna merah, bilang anaknya sudah besar dan mulai merekah. Hari
itu aku tersenyum. Hari itu aku tertawa. Hari itu ayah mengangguk ramah, menepuk
kepalaku penuh sayang.

----sentuhannya masih terasa hangat---

Hari itu hari bahagiaku. Aku senang, tiup lilin dan bernyanyi gembira. Potong kue.
Potong kue ulangtahun besar dengan hiasan mawar berwarna merah jambu. Saat itu
ada dia, dia juga bernyanyi gembira buatku. Dia panggil aku ‘adik manis’, aku
berikan potongan besar kue yang penuh krem. Aku sayang dia. Aku bermanja
padanya. Aku sayang dia. Sayang sekali. Andaikan waktu berhenti berputar di hari
itu. Dan segala sesuatu mengkristal, seperti juga hatiku di masa itu.

---Sstt..jangan beritahu ibu, nanti dia marah. Dia selalu marah bila cerita itu diungkit

Kamu tidak sabar, hehehe…aku bisa lihat itu dari wajahmu. Tapi, apa itu benar?
Mungkin sepuluh detik lagi kamu akan pergi dari sini karena bosan, sama seperti yang
lainnya. Tapi aku tetap bisa membaca ketidaksabaran dari wajahmu itu. Jadi aku
cerita ya? Kamu dengarkan. Ya, ya? Tapi kalau kamu bosan, kamu boleh pergi.
Mereka biasanya bosan, kemudian beranjak dari ruangan ini…Kamu juga boleh
begitu. Dan aku janji tidak akan marah. Tidak akan ngamuk. Nanti si baju putih
datang dan minta anak buahnya suntik aku. Suntik aku pakai jarum besar. Aku takut.
Aku benci disuntik. Mereka bilang biar aku cepat sembuh, tapi itu bohong.
Sebenarnya itu tidak benar. Mereka suntik aku biar lemas, biar mereka bisa buat aku
percaya kalau aku lemah, kalau aku cuma punya mereka. Biar mereka bisa buat aku
boneka. Biar aku ikutan gila. Tapi tidak..salah besar kalau mereka pikir mudah
membuatku menyerah. Tapi aku pura-pura menyerah, biar mereka tidak sering
menyerangku dengan suntik. Ih, lihat, nih, aku sampai merinding…

Kita lanjut ya ceritanya?

Kamu tahu kupu-kupu? Kupu-kupu cantik, kupu-kupu manis, tapi suatu hari aku jadi
benci sama kupu-kupu. Soalnya sejak ‘hari itu’ aku jadi bisa dengar macam-macam.
Tidak cuma kupu-kupu, tapi aku bisa dengar benda-benda bicara sama aku, tapi
biasanya mereka marah kalau aku panggil benda, soalnya mereka sebenarnya seperti
kita, bisa bicara, bisa tertawa. Masa mau dipanggil benda? Hehehe…

Aku benci sama kupu-kupu soalnya waktu itu dia tanya aku. Waktu itu dia tanya
namaku. Jadi aku jawab, soalnya kupu-kupu beda sama tante-tante tetangga, kan?
Harusnya begitu, kan? Tapi sama seperti mereka, kupu-kupu juga jahat sama aku. Dia
juga bilang aku kotor, dia bilang kasihan aku. Kasihan. Aku paling benci dikasihani.
Kasihan katanya, tahu apa mereka? Lalu kupu-kupu yang hinggap itu kutangkap,
pelan-pelan..pelan-pelan..dia tidak tahu nasib yang menunggunya..hahaha..lalu
kurobek, kurobek sayapnya, sayapnya yang hitam, dia menggelepar, debu-debunya
berhamburan. Dia menggelepar di tanganku, dia tidak berdaya, dia sama tidak
berdayanya seperti aku di ‘hari itu’. Aku senang..aku senang sekali. Kasihan dia.
Hahaha…kasihan dia!
---Kasihan….---
Tapi robeknya sayap kupu-kupu itu sama dengan robeknya bajuku. Geleparnya sama
dengan jerit tangisku. Hari itu. Hari itu tak ada yang menolongku. Tangan dia begitu
kuat. Tangan dia begitu kuat, tangan laki-laki dewasa.. Umurku baru menginjak
remaja. Apa dayaku melawan kekuatannya? Apa dayaku berontak minta dilepaskan?
Jadi aku teriak. Aku teriak dan dia mendorongku ke lantai. Aku teriak dan dia tarik
lepas kancing bajuku. Aku teriak dan dia bentak aku dengan nafasnya yang bau bir
murahan. Aku teriak dan terus berteriak. Tapi tak ada yang datang. Aku terus
berteriak, tapi kenapa, kenapa tak ada yang datang? Kenapa tak ada yang datang
untukku? Untuk sesaat aku berharap itu hanya mimpi, ayah akan datang bangunkan
aku. Atau mungkin ibu akan bangkit dari kuburnya untuk menolongku?
---
Darah, darah di mana-mana…darah di antara kakiku, darah. Amis. Sampai sekarang
pun aku bisa mencium baunya. Darahku dan cairan menjijikkan itu. Lalu sebuah suara
tanpa wujud berdentam-dentam dalam kepalaku sementara aku menatap dia yang
terbaring telanjang. Kelelahan dan berpeluh keringat. Suara itu mirip suara ibu. Suara
itu bergema dan meluas ke seluruh ruangan. Ibu, panggilku, apa itu Ibu? Suara itu
tidak mengiyakan, tidak juga menjawab pertanyaanku. Saat itu mataku trepaku pada
sebuah benda. Sebuah benda berkilau yang sedari dulu tidak pernah ayah ijinkan
untuk kupegang. Benda yang cantik, benda yang luar biasa cantik. Lalu sebuah
pemikiran dibisikkan suara itu. Bagaimana bila kupakai untuk mengiris tanganku?
Akankah tanganku berdarah, berdarah itu sakit, aku tidak mau sakit lagi. Tapi suara
itu terdengar menjanjikan. Ayo ambil, ambil dan iris. Tidak akan sakit. Seperti saat
ibu mengiris tubuh ikan dari pasar, sama seperti membelah dada ayam yang diajarkan
ibu. Jadi aku mengiris nadiku. Jadi aku mengirisnya, Lamat-lamat. Lalu darah yang
keluar hangat. Saat itu aku merasa ibu tersenyum, puas. Tersenyum bangga padaku.
Menjemputku. Dan pisau lipat milik ayah kugenggam erat-erat dengan bangga.
---
Tapi aku belum mati. Tidak, tidak, aku belum mati. Makanya aku cerita padamu kan,
hari ini? Di sini? Hahaha…
Tidak, tidak, aku belum mati, tapi ibu tetap bersamaku. Ibu memang kesal waktu itu.
Aku tidak mengiris dengan benar. Aku mengiris kurang dalam. Aku dibawa ke rumah
sakit. Bukan, bukan tempat ini. Tempat ini bukan rumah sakit, mereka memang
menyebutnya rumah sakit, tapi sebenarnya bukan. Kamu mau tahu? Kamu mau tahu
yang sebenarnya? Sabar, sabarlah..dengarkan dulu ceritaku sampai habis. Atau kamu
sudah mulai bosan?

---Kan sudah kubilang, kalau bosan, keluarlah!—

Tidak? Baiklah, baiklah..Setelah hari itu, ayah jadi dingin padaku. Ayah jadi dingin
padaku karena dia. Ayah tahu apa yang dia lakukan. Ayah tahu, tapi ayah diam saja.
Ayah tidak mengusir dia tidak juga menghibur aku. Ayah hanya bungkam, makin
sering pulang malam. Tapi aku tidak kesepian. Sudah kubilang padamu, sejak hari itu
aku punya banyak teman. Tidak hanya ibu, banyak teman yang lain, teman-teman
yang selalu membelaku, menghiburku, tidak, aku tidak kesepian. Juga pada saat
tetangga mulai mencibir, juga saat tetangga mulai bergosip. ‘Lihat, lihat, anak itu…
ya, benar dia yang baru-baru ini diperkosa. Ya ampun, kasihan sekali. Kasihan.
Padahal masih muda umurnya. Oleh siapa? Tidak tahu? Ya ampun, kasihan dia,
sungguh kasihan. Apa ayahnya tidak mencari tahu? Tidak? Kasihan dia, bagaimana
masa depannya?’

---Tapi aku diam---

Aku tidak lagi bersekolah. Tidak, aku tidak perlu lagi berada bersama teman-temanku.
Di tengah bisik-bisik curiga mereka. Aku berjaga di rumah. Menikmati kesendirianku,
ah, lebih tepat kusebut kebersamaanku. Dengan ibu. Dengan suara-suara itu. Lalu, di
hari yang mirip hari itu, sama seperti hari itu, bedanya dia tidak mabuk. Bahkan tidak
memandang aku. Sebab sejak hari itu dia tidak berani. Tidak berani menatap aku.
Lalu aku mendengar ibu dan suara-suara itu membentuk sebuah paduan suara yang
penuh harmoni. Membimbing langkahku menuju dapur, melewati dia yang sedang
terpekur kaku di ruang tamu. Ambil. Ambil. Ambil. Seperti hari itu, gemanya kini tak
tertahankan. Aku melangkah pasti. Ambil apa? Ambil apa, ibu? Ambil apa? Tapi
sebuah kata dibisikkan dalam telingaku. Pisau. Pisau dapur, anakku, pisau yang baru
diasah ayahmu minggu lalu, yang baru dipakai sekali untuk membuat makan
malammu. Aku menoleh mencari sosok dia, tapi dia rupanya sudah berpindah ke
kamarnya, sibuk belajar buat kuliah. Tidak peduli aku ada atau tidak. Tapi di mana
pisau itu, ibu? Ayah tidak lagi ijinkan aku pegang benda tajam, tidak sejak hari itu. Di
mana harus kucari ibu? Lalu suara-suara itu memaksaku mengingat. Benar, pasti ayah
menyimpannya di situ. Ayah selalu menyimpan segala sesuatunya di situ. Tidak
berubah sejak dulu. Jadi aku mengambil kursi perlahan. Perlahan. Sangat perlahan…
sstt…Kemudian aku memanjat naik mengambil pisau dapur itu. Pisau dapur yang
dulu dipakai ibu, pisau dapur yang baru diasah ayah. Tapi untuk apa?
---
Saat itu seperti pengulangan hari yang lalu, bedanya nafas dia tak berbau bir murahan.
Dia terlelap dengan wajah tanpa dosa. Wajahnya di ulangtahunku yang ketujuh.
Wajah yang kusayang sebelum hari itu menjadikan wajahnya mimpi burukku.
Dengkurnya halus, tanda dia tidur nyenyak. Aku berjalan, ke arahnya. Sesaat timbul
ragu. Ibu, aku takut. Tapi ibu mendorongku terus maju, teman-teman juga…
Berjalanlah, nak, dirimu bisa. Ibu, aku sangat takut. Jangan ragu. Jangan ragu, nak,
semua akan baik-baik saja. Benarkah ibu, berjanjikah ibu? Ibu bersamamu, jangan
ragu. Jangan ragu, jangan ragu. Pukul 11.45 malam. Jam juga ikut menyemangatiku.
Kupu-kupu menggelepar menjauh. Meja dan kursi serta kertas skripsi ikut
senandungkan semangat buatku. Ayo, ayo! Kutancapkan pisau dapur itu kuat-kuat di
dada telanjangnya. Tempat tidur berderit ikut mendukungku. Lemari memandangku
sarat makna. Ayo, ayo! Kutikam dia keras-keras sekuat tenaga. Pisau yang kupegang
kini ikut melantunkan melodi yang sama. Ayo, ayo! Ia terbelalak terbangun sejenak
dan tangannya berusaha menepis pisau yang kubawa. Tapi dia tak kuasa. Dia tak lagi
punya kuasa. Tidak terhadapku atau terhadap waktu. Darah muncrat. Darah merah
seindah pita berenda di ulangtahunku yang ketujuh. Hahaha…Cantik, ibu, cantik.
Benar kata ibu, semua akan baik-baik saja. Tetesan darah mengalir dari jariku-jariku,
dari pisau dapurku, dari dada dia. Dada kakak laki-lakiku tersayang. Selamat tidur
kakak. Selamat tidur. Aku menyayangi kamu. Sangat menyayangi kamu. Aku
sungguh berharap andaikan waktu berhenti berputar di hari itu. Dan segala sesuatu
mengkristal, seperti juga hatiku di masa itu. Di hari ulangtahunku yang ketujuh.
Sejenak aku aku berharap mendengar dia memanggil namaku sekali lagi, ‘ Ratih’.

---
Aku ingin namaku dilupakan.
---
Kamu percaya padaku kan? Kamu tidak akan memanggil aku pembohong, kan?
Tidak? Benarkah? Jangan dengar mereka yang berada di tempat ini, baju putih dan
anak-anak buahnya sebenarnya adalah utusan, utusan dari dia, utusan yang dikirim
ayahku dan dia. Agar aku beritahu mereka tempat ibu berada. Agar mereka dapat
paksa aku bilang perkataan-perkataan ibu. Bilang semua yang ibu dan teman-temanku
bilang padaku. Tapi mereka tidak akan bisa, tidak, mereka tidak akan dapatkan yang
mereka inginkan. Ibu hanya untukku. Dan selalu akan bersamaku. Tapi kamu, aku
percaya kamu, kamu tidak seperti mereka, kamu tidak seperti ibu-ibu tetangga itu,
kamu tidak seperti kupu-kupu yang mengasihani aku.

---
Jadi, mari kita tidur, cerita malam ini sudah selesai. Masih ada besok, masih ada
waktu-waktu yang akan datang. Masih banyak waktu. Masih cukup banyak waktu
menuju 11.45 yang berikutnya.

---

*terinspirasi oleh buku ‘Pintu Terlarang’ karya Sekar Ayu Asmara


Sebuah monolog oleh
Lauretta Ariella Sugondo
23 Maret 2008

Anda mungkin juga menyukai