Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

SEKTE JABARIYAH DAN QODARIYAH :


SEJARAH DAN PEMIKIRANNYA
Disusun untuk memenuhi salasatu tugas mata kuliah : Ilmu Kalam

Oleh :
Kelompok 4

1. ADE KOMARUDIN ( 200911071 )


2. DODO MUSLIM ARIFIN ( 200911064 )
3. RAHMAT HIDAYAT ( 200911074 )

FAKULTAS AGAMA ISLAM


FRODI TASAWUF PSIKOTERAPY
UNIVERSITAS MUHAMADIAH CIREBON

2021
BAB I
PENDAHULUAN
Permulaan dari perpecahan umat Islam, boleh dikatakan sejak wafatnya Nabi. Tetapi perpecahan
itu menjadi reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi khalifah.
Demikianlah berjalan masa-masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dalam kubu persatuan yang erat dan
persaudaraan yang mesrah. Dalam masa ketiga khalifah itulah dipergunakan kesempatan yang sebaik-
baiknya dan mengembangkan Islam keseluruh alam. Tetapi setelah Islam meluas kemana-mana, tiba-tiba
diakhir khalifah Utsman, terjadi suatu cedera yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang kurang
disetujui oleh pendapat umum.
Inilah asalnya fitnah yang membuka kesempatan untuk orang-orang yang lapar kedudukan,
menggulingkan pemerintahan Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya perpecahan umat Islam sehingga
menjadi beberapa golongan.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan sejarah dan pemikiran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah
ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah.
Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Timbulnya Pemikiran Jabariyah dan Qadariyah


Firqoh Jabariyah timbul bersamaan dengan timbulnya firqoh Qadariyah, dan tampak nya
merupakan reaksi daripadanya. Daerah tempat timbulnya juga tidak berjauhan. Firqoh qadariyah
timbul di Irak, sedangkan firqoh Jabaryiah timbul di Khurasan Persia.
Pemimpinnya yang pertama adalah Jaham bin Sofwan. Karena itu firqoh ini kadang-
kadang disebut Al-Jahamiyah. Ajaran-ajarannya banyak persamaannya dengan aliran Qurro’
agama Yahudi dan Aliran Ya’cubiah Agama Kristen. Mula-mula Jaham Bin Sofwan adalah Juru
tulis dari seorang pemimpin bernama Suraih bin Harits, Ali Nashar bin Sayyar dan memberontak
di daerah Khurasan terhadap kekuasaan Bani Umayah. Dia terkenal orang yang tekun dan rajin
menyiarkan agama. Fatwanya yang menarik adalah bahwa manusia tidak mempunyai daya upaya,
tidak ada ikhtiar dan tidak ada kasab. Semua perbuatan manusia itu terpaksa (Majbur) diluar
kemaaunya, sebagaimana keadaan bulu ayam terbang kemana arah angin bertiup atau sepotong
kayu di tengah lautan mengikuti arah hempasan ombak dan badai. Ringkasannya bahawa orang-
orang jabariyah berpendapat bahawa manusia itu tidak mempunyai daya ikhtiar, merupakan
kebalikan dari paham Qadariah, yang mana semua gerak manusia dipaksa adanya kehendak Allah
SWT.
Jabariyah berpendapat bahwa hanya Allah SWT sajalah yang menentukan dan
memutuskan segala amal perbuatan manusia. Semua perbuatan itu sejak semula telah diketahui
Allah SWT dan semua amal perbuatan itu adalah berlaku dengan qodrat dan iradat-Nya. Manusia
tidak mencapuri sama sekali. Usaha manusia sama sekali bukan ditentukan oleh manusia sendiri.
Qodrat dan iradat Allah SWT membekukan dan mencabut kekuasaan manusia sama sekali. Pada
hakikatnya segala pekerjaan dan gareak-gerik manusia sehari-harinya adalah merupakan paksaan
(majbur) semata-mata. Kebaikan dan kejahatan itu pun semata-mata paksaan pula, sekalipun
nantinya manusia memperoleh balasan surga dan neraka.
Pembalasan surga dan neraka itu bukan sebagai ganjaran atas kebaikan yang diperbuat
manusia sewaktu hidupnya, dan balasan kejahatan yang dilarangnya, tetapi surga dan nerak itu
semata-mata sebagai bukti kebesaran Allah SWT dalam qodrat dan Iradat-Nya.
Adapun Pemikiran Paham Qadariyah mula-mula timbul sekitar tahun 70 H/689 M, di
pimpin oleh Ma’bad al-Juhni al-Basri dan Ja’ad bin Dirham, Pada masa Pemerintahan Khalifah
Abdul Malik bin Marwan. Latar belakang timbulnya qadariyah ini sebagai isyarat menentang
kebijakan politik bani umayah yang dianggap kejam. Apabila firqoh jabariyah berpendapat bahwa
khalifah bani umayah membunuh orang, hal itu karena sudah di takdirkan Allah Swt. Maka firqoh
Qadariah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakan bahwa kalau Allah Swt itu adil,
maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang
berbuat baik. Manusia harus bebas menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang
baik atau buruk. Jika Allah Swt telah menentukan terlebih dahulu nasib manusia, Maka Allah Swt
itu zalim, Manusia Harus Bebas Berkehendak.
Ajaran-ajaran firqoh qadariah segera mendapat pengikut yang cukup, sehingga khalifah
segera mengambil tindakan dengan alasan demi ketertiban umum. Ma’bad al-Juhni dan beberapa
pengikutnya ditangkap dan dia sendiri di hukum bunuh di Damaskus (80 H/690M). Setelah
peristiwa ini, maka pengaruh paham qadariyah. Semakin surut, akan tetapi muncul nya firqoh
mutazilah, sebetulnya dapat diartikan sebagai penjelmaan kembali paham-paham qadariyah

B. Pengertian Jabariyah dan Qadariyah


1. Pengertian Jabariyah
Dari segi bahasa, Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa atau
terpaksa atau dipaksa. Rosihon Anwar memberikan penjelasan yang dikutipnya dari Al-
Munjid, bahwa kata Jabariyah berasal dari kata Jabara yang mengandung arti memaksa atau
mengharuskan. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah suatu paham yang menolak adanya
perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah, dengan kata lain
manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris paham
Jabariyah disebut dengan fatalism atau predestination, yang berarti perbuatan-perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.

2. Pengertian Qodariyah
Sedangkan pengertian Qadariyah dari segi bahasa berasal dari bahasa Arab
Qadara yang artinya kemampuan atau kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi,
Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Artinya bahwa setiap manusia adalah pencipta bagi segala
perbuatannya tanpa ada campur tangan dari Tuhan, ia dapat berbuat atau meninggalkan
sesuatu atas kehendaknya sendiri.
Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
3. Doktrin-doktrin atau Pemikiran Jabariyah
Al-Syahrastānī membagi Jabariyah ke dalam dua kelompok, yaitu:
a. Jabariyah Ekstrim yang sama yang sama sekali tidak memperkenankan perbuatan apa
pun kepada manusia, tak terkecuali kekuasaan untuk berbuat;
b. Jabariyah moderat yang mengakui bahwa manusia memiliki kekuasaan, tetapi
mempertahankan bahwa ini merupakan sebuah kekuasaan yang sama sekali tidak
efektif.

Di antara pemuka Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:


1) Jahm bin Shafwān
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jahm bin Shafwān, ia berasal dari
Khurasan,bertempat tinggal di Khufah. Ia seorang da’i yang fasih dan lincah (orator), ia
menjabat sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang
pemerintahan Bani Umayyah di Khurasan. Ia di tawan kemudian dibunuh secara politis
tanpa ada kaitannya dengan agama. Banyak usaha yang dilakukannya untuk
menyebarkan paham Jabariyah, di antaranya bepergian keberbagai tempat untuk
menyebarkan paham ini, seperti ke Tirmidz dan Balk.
Paham Jabariyah yang dibawa oleh Jahm bin Shofwan disebut dengan nama
Jahmiyyah. Berikut ini adalah beberapa pendapat Jahm yang berkaitan dengan teologi,
yaitu:
a) Adalah haram hukumnya menerapkan suatu sifat kepada Allah yang juga dapat
diterapkan kepada makhluk-makhluk-Nya. Hal ini berarti terdapat keserupaan
antara Allah dan makhluk-Nya. Dengan demikian, Jahm menolak bahwa Allah
bersifat hidup dan mengetahui, tetapi Jahm mengakui bahwa Allah bersifat kuasa,
Allah adalah pencipta dan pelaku perbuatan. Sebab, kekuasaan, perbuatan, dan
penciptaan tak akan bisa dipertalikan dengan makhluk mananpun.
b) Ia mengakui Ilmu Allah bukan sifat zat-Nya. Katanya: sesuatu yang belum
diciptakan Allah tidak diketahui Allah. Kalau Allah lebih dahulu mengetahuinya
dan baru diciptakan apakah Ilmu Allah terhadap sesuatu yang belum diciptakan
sama dengan Ilmu Allah sesudah diciptakan? Dan kalau Ilmu Allah sebelum dan
sesudah diciptakan sama maka dapat dikatakan Allah itu jahil. Karena itu Ilmu
Allah terhadap sesuatu yang belum diciptakan tidak sama dengan Ilmu Allah
terhadap sesuatu yang sudah diciptakan. Dan juga kalau Ilmu Allah sebelum dan
sesudah diciptakan tidak sama berarti Ilmu Allah berubah, sedangkan yang dapat
menerima perubahan itu adalah makhluk yang tidak abadi.
c) Mengenai kekuasaan atau kekuatan yang diciptakan, Jahm mengatakan bahwa
manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan atas apapun, tidak pula bisa
dikatakan manusia memiliki daya untuk berbuat. Manusia dalam segala
perbuatannya ditentukan oleh Allah secara mutlak.
d) Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
e) Jika seorang manusia memiliki pengetahuan (mengenai Tuhan), tetapi menolak-
Nya secara lahiriah, penolakan ini tidak membuatnya menjadi kafir karena hal ini
tidak menghilangkan pengetahuannya. Maka, dia masih tetap menjadi mukmin.
Jahm lebih jauh mengatakan bahwa iman tidak tersusun dari bagian-bagian, yakni
bahwa iman tidak bisa dibagi kepada kepercayaan, kata-kata, dan perbuatan.
Selanjutnya, orang yang memiliki iman tidak saling melebihi dalam tingkatan
keimanan, oleh karena itu iman para nabi dan iman orang-orang biasa berada pada
tingkatan yang sama.
2) Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulan Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan
di dalam lingkungan orang Kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia
dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayyah, tetapi setelah
tampak pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayyah menolaknya. Kemudian
Al-Ja’d lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer pikirannya
kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Sebagaimana
penjelasan Al-Ghuraby yang dikutip Rosihon Anwar dan Abdul Rozak menjelaskan
sebagai berikut:
a) Al-Qur’an itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu
tidak dapat disifatkan kepada Allah.
b) Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara,
melihat, dan mendengar.
c) Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Tidak seperti kaum Jabariyah ekstrim, kaum Jabariyah moderat mempunyai pendapat
berbeda tentang ketuhanan. Berikut ini akan dijelaskan pendapat kaum Jabariyah dari
para pemukanya.
1) An-Najjār
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjār (wafat 230). Para
pengikutnya disebut An-Najjāriyyah atau Al-Husainiyyah. Di antara pendapat-
pendapatnya adalah:
a) Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau
peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasb
dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-
Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang,
sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b) Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan
bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata
sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
2) Ad-Dhirār
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjār, yakni
bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia
mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa
dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirār mengatakan bahwa satu
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan
manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yah Tuhan di akhirat, Dhirār mengatakan bahwa Tuhan dapat
dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang
dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber
dalam menetapkan hukum.

4. Doktrin-doktrin atau Pemikiran Qadariyah


Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan yang dikutipnya dari pendapat Ghurabi
tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia
sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan
dayanya sendiri. Salah seorang pemuka Qadariyah lain, An-Nazzam, mengemukakan bahwa
manusia hidup mempunyai daya. Selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas
segala perbuatannya.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa doktrin Qadariyah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia
mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik
berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang
umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak
menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah,
takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh
isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an sunnatullah.

5. Ayat-ayat yang Dijadikan Dalil oleh kelompok Jabariyah dan Qadariyah


Paham-paham yang diajukan oleh kelompok Jabariyah dan Qadariyah ini bukan
hanya berdasarkan rasionalitas pemikiran saja akan tetapi ada nash-nash Al-Qur’an yang
dijadikan sebagai penopang akan pendapatnya, berikut ini akan dijelaskan ayat-ayat yang
mereka jadikan sebagai dalil. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat membawa timbulnya paham
Jabariyah adalah sebagai berikut:

Terjemahnya:
“Niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki.” [20]
(Q.S. Al-An’ām [6]: 111)

Terjemahnya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.”[21]
(Q.S. Ash-Shaffāt [37]: 96)

Terjemahnya:
“Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.”[22]
(Q.S. Al-Anfāl [8]: 17)
Terjemahnya:
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.”[23]
(Q.S. Al-Insān [76]: 30)
Ayat-ayat tersebut terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah alasan
yang menyebabkan pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun
anjurannya telah tiada.
Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan kelompok Qadariyah sebagai pijakan adalah sebagai
berikut:

Terjemahnya:
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir.”[24]
(Q.S. Al-Kahfi [18]: 29)
Terlihat jelas dalam ayat ini menurut mereka bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada sekalian
manusia untuk menentukan apakah ia mau beriman atau malah sebaliknya, hal ini menunjukkan bahwa
manusialah yang menentukan arah hidupnya sendiri bukan Tuhan.

Terjemahnya:
“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), Padahal kamu telah menimpakan
kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana
datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.”[25]
(Q.S. Ali Imran [3]: 165)
Terkait ayat ini pun mereka berargumen, bahwa kekalahan kaum muslimin pada waktu peperangan Uhud
itu semua diakibatkan oleh kelalaian dan kedurhakaan pasukan panah terhadap perintah Rasulullah saw.,
dimana mereka diperintahkan agar tidak meninggalkan tempat mereka walau apa pun yang terjadi, tapi
karena tergiur akan harta rampasan perang mereka meninggalkan tempat mereka, hingga akhirnya
pasukan musuh memporak-porandakan pasukan muslim pada waktu itu. hal ini pun menunjuk-kan bahwa
kesalahan pada waktu itu sepenuhnya berada ditangan kaum muslimin (pasukan panah) tidak ada
sangkut-pautnya dengan Tuhan.

Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri.”[26]
(Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11)
Lihatlah dan perhatikan ayat ini! dimana menurut mereka. “Tuhan tidak kuasa dan bisa merubah nasib
manusia kecuali kalau mereka sendiri yang merubahnya, kekuasaan Tuhan dalam soal ini tidak ada lagi,
karena kekuasaan itu sudah diberikan secara penuh kepada manusia.

Terjemahnya:
“Dan barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk
(kemudharatan) dirinya sendiri.”[27]
(Q.S. An-Nisa [4]: 111)
Dalam ayat ini, kata mereka, bahwa manusia sendirilah yang membuat dosanya, bukan Tuhan, kalau
Tuhan yang membuat dosa hamba-Nya tentulah Ia menganiaya hamba-Nya, dan ini mustahil karena
sampai kapan pun Tuhan tidak mungkin bersifat aniaya.
Demikianlah sebagian ayat yang dipakai kelompok Qadariyah sebagai dalil.
6. Perbedaan Paham Jabariyah dan Paham Qadariyah
Sebagaimana penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa memandang manusia berada dalam posisi yang
sangat lemah. Perbuatan-perbuatan manusia adalah hal-hal yang harus dilakukan dan dilalui oleh manusia
tanpa diperlukan mereka memainkan peran. Diakui secara tegas bahwa perbuatan manusia merupakan
ciptaan Tuhan dan ia hanya tempat berlakunya perbuatan dan ciptaan-Nya.
Sedangkan dalam paham Qadariyah ini, keyakinaan penganutnya adalah bahwa perbuatan manusia
merupakan ciptaan dan pilihannya sepenuhnya, bukan ciptaan atau pilihan Allah. Hal ini didasarkan pada
kemampuan manusia membedakan antara orang yang berbuat baik atau berbuat jelek dengan dengan
orang yang baik atu jelek wajahnya. Kita memuji orang yang berbuat baik karena kebaikannya dan
mencela yang berbuat jelek karena kejahatannya. Yang demikian tidak berlaku terhadap orang yang baik
atau jelek wajahnya sebagaimana pula pada orang yang tinggi atau yang pendek. Terhadap orang yang
tinggi atau pendek tidak dapat dikatakan kepadanya “mengapa anda tinggi” atau “mengapa anda pendek”.
Terhadap orang yang berbuat Zalim atau berdusta dapat dikatakan “mengapa anda berbuat zalim” atau
“mengapa anda berdusta”. Kalau sekiranya yang terakhir itu (zalim dan dusta) tidak bergantung pada kita,
maka bukanlah kemestian membedakannya dengan yang lain (tinggi atau pendek). Yang bergantung pada
manusia adalah perbuatannya dan diadakan olehnya.[28]
Dan dapat disimpulkan bahwa perbedaan keduanya itu, Jabariyah memandang manusia tidak merdeka
dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, sedangkan qadariyah itu memandang manusia
pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan kehendaknya

C. KESIMPULAN
Jabariyah adalah paham yang mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia baik itu jahat atau pun
baik, semuanya berasal dari Allah. Sedangkan Qadariyah sebaliknya, paham ini mengatakan bahwa
manusia manusia berkuasa atas semua tindakannya, Tuhan tidak ada sangkut-pautnya.
Jabariyah dan Qadariyah tidak hanya memprkuat paham mereka dengan berdasar pada akal, tapi mereka
juga menggunakan nash-nash Al-Qur’an, sehingga mereka tidak bisa langsung dianggap sebagai aliran
yang menyimpang dari Islam.
Inti dari perbedaan antara Jabariyah dan Qadariyah terletak pada kekuasaan manusia melakukan sesuatu.
Jabariyah memandang manusia tidak merdeka dan mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa,
sedangkan Qadariyah itu memandang manusia pada posisi merdeka dalam menentukan tingkah laku dan
kehendaknya.
Tidak ada yang bisa disalahkan antara kelompok Jabariyah dan Qadariyah, keduanya memiliki dalil yang
kuat. Pada hakekatnya manusia diberi akal dan pikiran untuk berbuat dan berusaha, sedangkan nantinya
Allah lah yang menentukan hasilnya.
Aliran Jabariyah dan Qadariyah ini mempunyai dampak positif dan negatifnya masing-masing. Disatu
sisi, Jabariyah membuat manusia menjadi pasif, namun juga akan membuat manusia memiliki sifat
tawakkal yang tinggi. Di sisi lain, Qadariyah akan membuat manusia menjadi aktif, namun juga akan
menjerumuskan manusia ke dalam kesombongan

Anda mungkin juga menyukai