Anda di halaman 1dari 27

ABSES PERITONSIL

Disusun oleh:

Rofaqo Hakki, S.Ked 04084882023003

Pembimbing:
dr. Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L

BAGIAN ILMU KESEHATAN THTKL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

ABSES PERITONSIL

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 25
Februari – 13 Maret 2021

Palembang, Maret 2021

dr. Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L

ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. atas berkat, rahmat, dan karunia-
Nya lah kami dapat menyusun referat yang berjudul “Abses Peritonsil” untuk
memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L. yang telah membimbing dan meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan referat ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sejawat di bagian THT-KL yang
telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis.
Akhir kata, kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat.

Palembang, Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR TABEL vi
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1. Anatomi 2
1. Tonsil 2
2. Cincin Waldeyer 5
3. Fosa Tonsil 6
2.2. Fisiologi Tonsil 6
2.3. Abses Peritonsil 6
2.3.1. Definisi 6
2.3.2. Epidemiologi 7
2.3.3. Etiologi 7
2.3.4. Patofisiologi 8
2.3.5. Manifestasi klinis 9
2.3.6. Diagnosis 10
2.3.7. Diagnosis Banding 13
2.3.8. Tatalaksana 13
2.3.9. Komplikasi 17
2.3.10. Prognosis 18

BAB III KESIMPULAN 19


DAFTAR PUSTAKA 20

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gambaran Superior Faring 2


Gambar 2. Gambaran Anterior Tonsil 3
Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil 4
Gambar 4. Persarafan Tonsil 4
Gambar 5. Cincin Waldeyer 5
Gambar 6. Abses Peritonsil 10
Gambar 7. Teknik Insisi 14
Gambar 8. Aspirasi jarum pada abses peritonsilar 16

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Mikroorganisme Etiologi Abses Peritonsil 7


Tabel 2. Teknik Aspirasi Jarum Pada Abses Peritonsil 15
Tabel 3. Daftar Regimen Antimikroba Abses Peritonsil 18

vi
BAB I
PENDAHULUAN

Abses peritonsil pertama kali dideskripsikan pada awal abad ke-14.


Namun, sejak munculnya antibiotik di abad ke-20 kondisi tersebut dijelaskan
lebih luas. Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil
yang terbentuk sebagai hasil dari tonsilitis supuratif. Penjelasan alternatif adalah
bahwa abses peritonsil adalah abses yang terbentuk dalam kelompok kelenjar
ludah di fossa supratonsillar, yang dikenal sebagai kelenjar Weber.1
Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.
Edema inflamasi dapat menyebabkan kesulitan menelan. Dehidrasi sering
terjadi karena pasien menghindari konsumsi makanan dan cairan karena rasa
sakit saat menelan. Perluasan abses dapat menyebabkan perluasan peradangan
ke kompartemen fasia yang berdekatan dari kepala dan leher, berpotensi
mengakibatkan obstruksi jalan napas.1
Abses peritonsil memiliki insiden yang cukup tinggi, angka kejadian pada
penyakit abses peritonsil berdasarkan usia banyak menyerang pada usia 15
tahun sampai dengan 35 tahun, berdasarkan jenis kelamin belum ada literature
yang menggambarkan adanya perbedaan jumlah kejadian abses peritonsil pada
laki-laki dan perempuan. Di Amerika Serikat ditemukan 30 kasus abses
peritonsil dari 100.000 penduduk pertahun mewakili sekitar 45.000 kasus baru
tiap tahunnya. Di Indonesia belum ada data tentang jumlah abses peritonsil
secara pasti.2
Abses peritonsil juga dikenal sebagai quinsy adalah infeksi leher dalam
yang berkembang di antara tonsil dan kapsulnya. Hal ini merupakan titik akhir
dari infeksi yang dimulai sebagai tonsilitis akut, abses peritonsil juga dapat
berasal dari infeksi di area gigi atau kelenjar ludah minor yang berkembang
menjadi selulitis peritonsil, dan berkembang menjadi abses peritonsil pada
tahapan selanjutnya. Abses peritonsil merupakan infeksi leher dalam yang
paling sering terjadi pada orang dewasa dan berpotensi mengancam jiwa jika
tidak ditangani dengan tepat.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
1. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil
yaitu faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas
tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong
faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Epitel yang meliputi tonsil adalah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit dan epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.4

Gambar 1. Gambaran Superior Faring5

2
Gambar 2. Gambaran Anterior Tonsil6

Tonsil mendapat darah dari a. palatina minor, a. palatina asendens,


cabang tonsil a. maskila eksterna, a. faring asendens dan a. lingualis dorsal.
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang tebentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus
tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada masa tiroid
lingual atau kista duktu triglosus.4

3
Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil7

Tonsil menerima pasokan aferen dari pleksus tonsil, dengan


kontribusi dari saraf trigeminal (Nervus kranialis V) melalui saraf palatina
yang lebih rendah, serta saraf glossopharyngeal (Nervus kranialis IX).
Nervus IX berlanjut secara distal ke amandel yang memasok sensasi
sensorik dan rasa umum ke sepertiga bagian belakang lidah.8

Gambar 4. Persarafan Tonsil5

4
2. Cincin Waldeyer
Istilah cincin Waldeyer mengacu pada cincin jaringan limfoid yang
ada di nasofaring dan orofaring. Orofaring dipisahkan dari nasofaring oleh
isthmus orofaring, yang dibentuk oleh pilar otot gabungan palatoglos dan
otot palatofaringeal. Di dinding lateral, pada titik terlebar faring, terletak
fossa tonsilar triangular, yang berisi tonsil palatina. Cincin waldeyer terdiri
dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil tubal dan tonsil lingual
di daerah retrolingual. Agregasi limfoid yang dekat dengan epiglotis juga
dihitung sebagai bagian dari cincin Waldeyer.9

Gambar 5. Cincin Waldeyer

5
3. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralya adalah m. Konstriktor faring superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapat ruang kecil yang dinamakan fosa
supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan
tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh
fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang
sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.4

2.2. Fisiologi Tonsil


Tonsil merupakan salah satu dari jaringan limfoid yang secara kolektif
adalah jaringan yang memproduksi, menyimpan atau memproses limfosit.
Jaringan limfoid berada di tempat-tempat strategis untuk menghambat
masuknya mikroorganisme sebelum mikroorganisme tersebut memiliki
kesempatan untuk menyebar jauh.10 Tonsil terlibat dalam pembentukan
imunitas lokal dan pertahanan imunitas tubuh. Limfosit B berproliferasi di
“germinal center”. Imunoglobulin, komponen komplemen, interferon,
lisosim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsillar. Tonsil merupakan
organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi
limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik. Sel T helper folikel lokal pada tonsil berkontribusi terhadap
pematangan sel B dan mengendalikan pembentukan antibodi.11

3. Abses Peritonsil
3.1. Definisi
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang
terbentuk sebagai hasil dari tonsilitis supuratif.1 Abses peritonsil juga
dikenal sebagai quinsy adalah infeksi leher dalam yang berkembang di
antara tonsil dan kapsulnya. Hal ini merupakan titik akhir dari infeksi yang
dimulai sebagai tonsilitis akut, abses peritonsil juga dapat berasal dari

6
infeksi di area gigi atau kelenjar ludah minor yang berkembang menjadi
selulitis peritonsil, dan berkembang menjadi abses peritonsil pada tahapan
selanjutnya.3

2. Epidemiologi
Abses peritonsil adalah infeksi yang umum terjadi pada daerah
kepala dan leher. Dengan insidensi sekitar 1 banding 10.000, hal ini
merupakan infeksi kepala dan leher dalam yang paling sering muncul di
unit gawat darurat. Lebih banyak terjadi pada populasi remaja meskipun
dapat terjadi pada kelompok usia mana pun. Tidak ada kecenderungan
seksual atau ras. Di Amerika Serikat, insidensi adalah 30 per 100.000 di
antara pasien yang berusia 5 hingga 59 tahun. Abses peritonsil jarang di
bawah usia lima tahun.12

3. Etiologi
Etiologi yang paling banyak ditemukan dari hasil kultur pus abses
pada kasus abses peritonsil adalah Streptococcus beta hemolitikus grup A.
Abses peritonsil dapat disebabkan oleh kombinasi infeksi patogen aerob
maupun anaerob (polimikrobial). Mikroorganisme anaerob yang paling
banyak ditemukan adalah Fusobacterium necrophorum. Etiologi lain yang
juga dapat ditemukan pada kasus abses peritonsil adalah Staphylococcus
sp, Pneumococcus sp, Neisseria sp, dan Haemophilus influenza,
Lactobacillus, Actinomyces, dan Micrococcus (Tabel 1).12,13
Tabel 1. Mikroorganisme Etiologi Abses Peritonsil
Bakteri Aerob Bakteri Anaerob

Streptococcus beta hemolitikus grup A Fusobacterium

Staphylococcus aureus Bacteroides

Corynebacterium Prevotella

Streptococcus milleri Peptostreptococcus

Neisseria sp. Haemophilus influenza

Merokok (tembakau) atau paparan terhadap asap rokok, jenis


kelamin laki-laki, usia dewasa muda seperti 15-24 tahun, tonsilitis rekuren,

7
dan penyakit periodontal merupakan beberapa faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian abses peritonsil.14

4. Patofisologi
Patofisiologi dari abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Area
peritonsil terbentuk dari jaringan ikat longgar sehingga mudah terbentuk
abses bila terjadi infeksi. Jaringan ikat longgar antara kapsul fibrosa
dibatasi oleh tonsil palatina di bagian medial dan otot konstriktor faring
superior di bagian lateral. Bagian anteroposterior dibatasi oleh pilar tonsil.
Sisi superior area peritonsil ini dibatasi oleh torus tubarius sementara di
sisi inferior terdapat sinus piriformis.13
Terdapat 2 hipotesis yang menjelaskan mengenai patofisiologi abses
peritonsil yaitu hipotesis tonsilitis akut dan hipotesis kelenjar Weber.
Hipotesis tonsilitis akut menyatakan bahwa abses peritonsil merupakan
komplikasi dari tonsilitis akut sementara hipotesis kelenjar Weber
menyatakan bahwa abses peritonsil terjadi karena infeksi pada kelenjar
Weber.13
1) Hipotesis Tonsilitis Akut
Menurut hipotesis tonsilitis akut, abses peritonsil didahului oleh
tonsilitis, kemudian terjadi selulitis, lalu membentuk abses. Hipotesis
tersebut mengatakan bahwa infeksi terbentuk pada kripta magna,
kemudian menyebar menembus kapsul tonsil ke area peritonsil
menyebabkan peritonsilitis. Peradangan difus peritonsil inilah yang
kemudian berkembang menjadi abses peritonsil.13
2) Hipotesis Kelenjar Weber
Kelenjar Weber memiliki peran penting pada patofisiologi abses
peritonsil. Kelenjar ludah minor ini terletak di bagian superior tonsil.
Duktus kelenjar Weber menembus kapsul tonsil menuju kripta tonsil.
Kelenjar Weber berfungsi membersihkan debris dari area tonsil . Jika
terjadi peradangan pada kelenjar ini, akan terbentuk selulitis lokal. Saat
peradangan bertambah berat akan terbentuk pus dan jaringan nekrosis
yang kemudian menumpuk karena terganggunya fungsi kelenjar
Weber.13 Tonsilitis rekuren dan proses inflamasi lain pada tonsil dapat

8
juga menyebabkan sumbatan sekunder pada duktus kelenjar Weber dan
menyebabkan peradangan lebih lanjut.12

5. Manifestasi Klinis
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa
pembengkakan awal yang hampir selalu berlokasi pada daerah palatum
mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah
medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5
hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.15
Manifestasi klinis yang biasanya ditemukan berupa odinofagia yang
hebat, disfagia, otalgia pada sisi yang sama, muntah, mulut berbau (foetor
exore), hipersalivasi, trismus, suara gumam (hot potato voice) yang terjadi
karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut,
terkadang ada pembengkakan kelenjar submandibula yang nyeri tekan, dan
juga demam. Trismus akan muncul apabila infeksi meluas mengenai otot-
otot pterygoid.15

Gambar 6. Abses Peritonsil17


Pada pemeriksaan fisik, tanda klinis yang tampak adalah
pembengkakan unilateral di area peritonsil, karena jarang kedua tonsil
terinfeksi pada waktu bersamaan. Apabila keduanya terinfeksi maka yang
kedua akan membengkak setelah tonsil yang satu membaik. Apabila terjadi
pembengkakan secara bersamaan, gejala sleep apnea dan obstruksi jalan
nafas akan lebih berat, tonsil terdorong ke arah medial dan inferior, dapat

9
ditemukan eksudat di sekitar tonsil, deviasi uvula ke arah kontralateral,
pembengkakan pada palatum mole, serta limfadenopati jugulodigastrik.13,16

6. Diagnosis
Diagnosis abses peritonsil ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.18
1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada
tenggorokan secara terus-menerus adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsil. Pasien juga mengeluhkan odinofagia,
hipersalivasi sehingga ludah seringkali menetes keluar. Keluhan
lainnya berupa mulut berbau (foetor exore), muntah (regurgitasi)
sampai nyeri alih ke telinga (otalgi), hot potato’s voice karena
penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut.
Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang
nyaman pada pharingeal unilateral juga dapat dikeluhkan oleh pasien.16
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri
faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit
karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan
pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan
kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi,
mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan
bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses
peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil
yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler
tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang
diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang
luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari
palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. Asimetri
palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta
pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.16

10
3. Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk
penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standard
pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle
aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan
menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum
berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc.
Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material
dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi untuk kepentingan terapi antibiotika. Pada
penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:16
● Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar
elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood
cultures).
● Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien
dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika
hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian
hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
● Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan
untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah
timbulnya resistensi antibiotik.
● Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral
(Lateral soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat
membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses
retropharyngeal.
● Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan
cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan
adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat
dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk rencana operasi.

11
● Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral
ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2
% dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai
sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. Merupakan teknik yang
simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan
antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga dapat
menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi
dan drainase secara pasti.

6. Diagnosis Banding
Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-
penyakit abses leher dalam lainnya yaitu abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula. Hal ini karena pada semua penyakit
abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan
membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk
membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya,
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.16,19
Abses peritonsil juga di diagnosis banding dengan selulitis
peritonsil, pasien sering mengeluhkan gejala yang mirip dengan abses
peritonsil, sehingga sulit untuk membedakan kedua kondisi tersebut. Pada
selulitis peritonsil, area antara tonsil dan kapsulnya adalah eritematosa
dan edematosa, tanpa area fluktuasi yang jelas atau pembentukan nanah.
Kedua kondisi ini dibedakan dengan tidak adanya nanah pada aspirasi
jarum, yang menunjukkan selulitis. Pemeriksaan radiologi dapat
dilakukan jika abses tetap tidak pasti setelah aspirasi jarum. CT dengan
media kontras dapat digunakan untuk menilai luasnya abses. Beberapa
penelitian kecil telah menunjukkan bahwa ultrasonografi intraoral, jika
tersedia, dapat secara akurat mengidentifikasi dan membedakan abses
dari selulitis.19
7. Tatalaksana

12
Inisisi dan drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk
menjaga hidrasi serta pengendalian nyeri adalah landasan pengobatan
abses peritonsillar.19
a. Insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi
duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada
cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan
inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain
melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.

Gambar 7. Teknik Insisi

Pada penderita yang memerlukan anestesi umum, posisi penderita


saat tindakan adalah kepala lebih rendah (trendelenberg) menggunakan
ETT (Endotrakeal tube). Anestesi topikal dapat berupa xylocaine spray
atau menggunakan lidokain 4-5% atau tetrakain 2% untuk mencegah
keterlibatan jaringan tonsil yang lain. Menggunakan pisau skalpel no.11.20
Insisi diperdalam dengan klem dan pus yang keluar langsung
dihisap dengan menggunakan alat penghisap. Tindakan ini (menghisap
pus) penting dilakukan untuk mencegah aspirasi yang dapat
mengakibatkan timbulnya pneumonitis. Biasanya bila insisi yang dibuat
tidak cukup dalam, harus lebih dibuka lagi dan diperbesar. Setelah cukup
banyak pus yang keluar dan lubang insisi yang cukup besar, penderita
kemudian disuruh berkumur dengan antiseptik dan diberi terapi
antibiotika. Umumnya setelah drainase terjadi, rasa nyeri akan segera

13
berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya diperiksakan untuk teskultur
dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi (diagnosis). 20
b. Drainase
Beberapa jenis prosedur drainase cocok untuk kebanyakan pasien
yang datang dengan abses peritonsillar. Kecuali abses kecil (kurang dari
1cm) tanpa suara teredam, drooling, atau trismus. Prosedur utama meliputi
aspirasi jarum, insisi dan drainase atau dapat dilakukan immediate
tonsillectomy. Namun managemen bedah akut sudah mengalami
perubahan dari immediate tonsillectomy menjadi insisi dan drainase atau
needle aspiration. Walaupun tonsilektomi tidak rutin dilakukan sekarang,
tonsilektomi harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki indikasi
kuat untuk tonsilektomi, khususnya pada pasien dengan riwayat tonsilitis
yang rekuren. Tonsilektomi juga dapat dipertimbangkan pada pasien anak
anak yang sering kali mengalami episode rekuren tonsilitis dan intoleran
dari prosedur drainase dibawah anastesi local.19
Tabel 2. Teknik aspirasi jarum pada abses peritonsil

Gambar 8. Asirasi jarum pada abses peritonsilar


c. Tonsilektomi

14
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang
kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi
pada abses peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa
kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak
sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk
memastikan tidak terjadinya kekambuhan. Sementara insisi dan drainase
abses merupakan tindakan yang paling banyak diterima sebagai terapi
utama untuk abses peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi kadang-
kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses
peritonsil, bervariasi:

1. Tonsilektomi a chaud: dilakukan segera / bersamaan dengan drainase


abses

2. Tonsilektomi a tiede: dilakukan 3-4 hari setelah insisi dan drainase.

3. Tonsilektomi a froid: dilakukan 4-6 minggu setelah drainase.

Tonsilektomi merupakan penanganan yang terbaik untuk mencegah


rekurensi abses peritonsil. Pada masa lalu, orang berpendapat operasi
harus dilakukan 2-3 minggu setelah infeksi akut berkurang. Tetapi setelah
2-3 minggu, menimbulkan bekas luka yang terdapat pada kapsul tonsil,
sehingga tindakan operasi sulit dan menimbulkan perdarahan serta sisa
tonsil. Saat ini tampaknya dibenarkan bahwa tonsilektomi pada abses
peritonsil, dilakukan dalam anestesi umum, melalui tonsilektomi secara
diseksi dan dalam perlindungan terapi antibiotika adalah suatu operasi
yang memberikan resiko yang sama dengan tonsilektomi abses pada fase
tenang (cold tonsillectomy). 20
Indikasi tonsilektomi segera, yaitu:
1. Abses peritonsil yang tidak dapat diinsisi dan drainase karena trismus
atau abses yang berlokasi di kutub bawah.
2. Abses peritonsil yang meluas dari hipofaring ke daerah parafaring,
dengan resiko meluas ke daerah leherdalam.

15
3. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi
terhadap terapi berbagai antibiotika.
4. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena
abses akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam. Pada umumnya
insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu kemudian
adalah prosedur terapi abses peritonsil.
Pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika
ukuran luka pada abses yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm. Namun,
bila ukuran luka pada abses yang pecah spontan lebih dari 2,5 cm maka
tindakan operasi harus dilakukan segera dengan tetap memperhatikan
kondisi umum dan komplikasi sistemik pada pasien.20

d. Terapi antibiotik
Abses peritonsilar biasanya berasaldari campuran polimikroba dari
bakteri aerobik dan anaerobik. Group A streptococcus and Streptococcus
milleri 18 group adalah bakteri aerob yang seringkali didapat pada kultur,
dan Fusobacterium nechophorum adalah bakteri anaerob yang dominan.
Terapi empiris antibiotik awalnya adalah antimikroba yang efektif
melawan streptococcus dan anaerob oral. Terdapat sensitivitas yang
hampir universal dari spesies streptococcus terhadap penisilin, dan
beberapa penelitian menunjukkan efektivitas klinis dari penisilin intravena
saja setelah drainase abses yang memadai. Namun, ada kekhawatiran yang
berkembang tentang sifat polimikroba abses peritonsillar. Laporan kultur
menunjukkan tingkat resistensi penisilin lebih dari 50% di antara patogen
selain streptokokus yang ditemukan pada abses peritonsillar, yang
menyebabkan penggunaan rutin antibiotik spektrum luas sebagai terapi lini
pertama. Makrolida harus dihindari akibat resistensi Fusobacterium.19
Tabel 3. Daftar regimen antimikroba abses peritonsil

16
e. Terapi Kortikosteroid
Gejala akut abses peritonsillar terjadi akibat inflamasi dan edema
soft palate. Meskipun kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati
edema dan peradangan pada penyakit otolaringologi lainnya,
penggunaannya sebagai bagian dari rejimen pengobatan untuk abses
peritonsillar belum dipelajari secara ekstensif. Dua penelitian kecil
menyelidiki apakah penambahan dosis kortikosteroid tunggal yang
diberikan secara intramuskular atau intravena (metilprednisolon, 2 hingga
3 mg/kg hingga 250mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat
pemulihan. Namun, penelitian tambahan diperlukan sebelum penggunaan
rutin kortikosteroid dimasukkan dalam protokol pengobatan.19

8. Komplikasi
a. Obstruksi jalan nafas
b. Pneumonitis aspirasi atau abses paru sekunder akibat ruptur abses
peritonsil
c. Perpanjangan infeksi ke dalam jaringan leher atau mediastinum
superior

17
d. Perdarahan yang mengancam jiwa akibat erosi atau nekrosis septik
e. Gejala sisa poststreptokokus, seperti glomerulonefritis dan demam
rematik, ketika infeksi disebabkan oleh Streptococcus grup A

9. Prognosis
Mayoritas pasien abses peritonsil yang menjalani drainase segera
dan diobati dengan antibiotik sembuh dalam waktu 4-7 hari. Sekitar 1-5%
pasien dapat mengalami abses berulang dan memerlukan tonsilektomi
formal. Risiko kekambuhan paling tinggi pada orang muda yang pernah
mengalami lima atau lebih episode tonsilitis. Jika ada gangguan jalan
napas dan keterlambatan dalam perawatan, kematian dapat terjadi.

18
BAB III
KESIMPULAN

Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil


yang terbentuk sebagai hasil dari tonsilitis supuratif. Etiologi yang paling
banyak ditemukan dari hasil kultur pus abses pada kasus abses peritonsil
adalah Streptococcus beta hemolitikus grup A. Mikroorganisme anaerob
yang paling banyak ditemukan adalah Fusobacterium necrophorum.
Etiologi lain yang juga dapat ditemukan pada kasus abses peritonsil adalah
Staphylococcus sp, Pneumococcus sp, Neisseria sp, dan Haemophilus
influenza, Lactobacillus, Actinomyces, dan Micrococcus. Tatalaksana
abses peritonsil berupa Inisisi dan drainase, terapi antibiotik, dan terapi
suportif. Pasien abses peritonsil memiliki prognosis yang baik jika
menjalani drainase segera dan diobati dengan antibiotik sembuh dalam
waktu 4-7 hari. Namun, jika ada gangguan jalan napas dan keterlambatan
dalam perawatan, kematian dapat terjadi.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Gosselin BJ, Daley BJ, Talavera F, Friedman AL, Zamboni P, Geibel J.


Peritonsillar Abscess. Updated: 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/194863-overview
2. Segal N, Sabri SE. Peritonsil abscess in children in The Southern Distict of
Israel. Int Journal of Ped Otol. 2017. 73 (11): 48- 50.
3. Alamri, A., Alsheikh, M., Alenzi, S., Alahmadi, A.A., Alsayid, H., Alharthi,
R.A., & Marzouki, H.Z. Peritonsillar Abscess (PTA) Management: a
Literature Review Comparing Different Approaches of PTA Drainage.
International Journal of Medicine and Surgery 2018; 5:n.pag.
doi:10.15342/ijms.v5iR.243
4. Rusmarjono dan Hermani B. Nyeri Tenggorok. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Ed. 7. Badan
Penerbit FKUI: Jakarta. 2016.
5. Drake R, Wayne V and Adam WM. Gray’s Basic Anatomy: Anatomy of the
Human Body. 9 ed. Elsevier; 2017.
6. Paulsen F and Jens W,. editor. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 3, Edisi
23, Jakarta: EGC, 2010. p.68
7. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 7th ed. Philadelphia: Elsevier; 2011.
p.57
8. Masters, K.G. and Lasrado, S., 2019. Anatomy, Head and Neck, Tonsils.
9. Regauer S. Nasopharynx and Waldeyer’s ring. In Pathology of the Head and
Neck 2006 (pp. 171-196). Springer, Berlin, Heidelberg
10. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. Cengage learning;
2015
11. Chaker, A. Anatomy and microanatomy of tonsils. 2016: 420-426.
12. Gupta G, McDowell RH. Peritonsillar Abscess. [Updated 2019 Dec 16]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519520

20
13. Klug TE, Rusan M, Fuursted K, Ovesen T. Peritonsillar abscess.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2016;155(2):199-207.
doi:10.1177/0194599816639551
14. Klug TE. Peritonsillar Abscess: Clinical Aspects of Microbiology, Risk
Factors, and The Association with Parapharyngeal Abscess. Dan Med J
2017;64(3):B5333.
1. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methods for Peritonsillar Abscess.
Journal of Chinese Clinical Medicine. 2015. 2:108-11.
2. Fachruddin, Darnila. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. hal. 226–7.
3. A.Florin Todd, Stephen Ludwig,. Netters Pediatric, 7th Edition. Elsevier.
2011. p. 132-140.
4. Gupta1 Gunjan, McDowell RH. 2020. Peritonsillar Abscess. (diakses 04
September 2020) Diunduh dari URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519520/#_NBK519520_pub det_
5. Galioto NJ. Peritonsillar Abscess. American Family Physician. 2017 Apr
15;95(8):501-6.
20. Marbun EM, Pengajar S, Tht B, Kedokteran F, Kristen U, Wacana K, et al.
Abses Peritonsil Diagnosis , Management and Complication of Peritonsil
Abscess. J Kedokt Meditek. 2016;22(6).

21

Anda mungkin juga menyukai