Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L
Judul Referat
ABSES PERITONSIL
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad
Hoesin, Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang Periode 25
Februari – 13 Maret 2021
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. atas berkat, rahmat, dan karunia-
Nya lah kami dapat menyusun referat yang berjudul “Abses Peritonsil” untuk
memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran
kepaniteraan klinik, khususnya di Bagian Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Mohammad
Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Ermalinda Kurnia, Sp.T.H.T.K.L. yang telah membimbing dan meluangkan
waktunya untuk membimbing penulis dalam penyusunan referat ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman sejawat di bagian THT-KL yang
telah membantu dan memberi dukungan kepada penulis.
Akhir kata, kami mengakui dalam penulisan laporan ini terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami. Semoga laporan ini dapat
bermanfaat.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR TABEL vi
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2
2.1. Anatomi 2
1. Tonsil 2
2. Cincin Waldeyer 5
3. Fosa Tonsil 6
2.2. Fisiologi Tonsil 6
2.3. Abses Peritonsil 6
2.3.1. Definisi 6
2.3.2. Epidemiologi 7
2.3.3. Etiologi 7
2.3.4. Patofisiologi 8
2.3.5. Manifestasi klinis 9
2.3.6. Diagnosis 10
2.3.7. Diagnosis Banding 13
2.3.8. Tatalaksana 13
2.3.9. Komplikasi 17
2.3.10. Prognosis 18
iv
DAFTAR GAMBAR
v
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
1. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang
oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil
yaitu faringeal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketiganya
membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas
tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong
faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah
yang disebut kriptus. Epitel yang meliputi tonsil adalah epitel skuamosa
yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit dan epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi.4
2
Gambar 2. Gambaran Anterior Tonsil6
3
Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil7
4
2. Cincin Waldeyer
Istilah cincin Waldeyer mengacu pada cincin jaringan limfoid yang
ada di nasofaring dan orofaring. Orofaring dipisahkan dari nasofaring oleh
isthmus orofaring, yang dibentuk oleh pilar otot gabungan palatoglos dan
otot palatofaringeal. Di dinding lateral, pada titik terlebar faring, terletak
fossa tonsilar triangular, yang berisi tonsil palatina. Cincin waldeyer terdiri
dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil tubal dan tonsil lingual
di daerah retrolingual. Agregasi limfoid yang dekat dengan epiglotis juga
dihitung sebagai bagian dari cincin Waldeyer.9
5
3. Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralya adalah m. Konstriktor faring superior. Pada batas atas yang
disebut kutub atas (upper pole) terdapat ruang kecil yang dinamakan fosa
supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan
tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh
fasia yang merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang
sebenarnya bukan merupakan kapsul yang sebenarnya.4
3. Abses Peritonsil
3.1. Definisi
Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang
terbentuk sebagai hasil dari tonsilitis supuratif.1 Abses peritonsil juga
dikenal sebagai quinsy adalah infeksi leher dalam yang berkembang di
antara tonsil dan kapsulnya. Hal ini merupakan titik akhir dari infeksi yang
dimulai sebagai tonsilitis akut, abses peritonsil juga dapat berasal dari
6
infeksi di area gigi atau kelenjar ludah minor yang berkembang menjadi
selulitis peritonsil, dan berkembang menjadi abses peritonsil pada tahapan
selanjutnya.3
2. Epidemiologi
Abses peritonsil adalah infeksi yang umum terjadi pada daerah
kepala dan leher. Dengan insidensi sekitar 1 banding 10.000, hal ini
merupakan infeksi kepala dan leher dalam yang paling sering muncul di
unit gawat darurat. Lebih banyak terjadi pada populasi remaja meskipun
dapat terjadi pada kelompok usia mana pun. Tidak ada kecenderungan
seksual atau ras. Di Amerika Serikat, insidensi adalah 30 per 100.000 di
antara pasien yang berusia 5 hingga 59 tahun. Abses peritonsil jarang di
bawah usia lima tahun.12
3. Etiologi
Etiologi yang paling banyak ditemukan dari hasil kultur pus abses
pada kasus abses peritonsil adalah Streptococcus beta hemolitikus grup A.
Abses peritonsil dapat disebabkan oleh kombinasi infeksi patogen aerob
maupun anaerob (polimikrobial). Mikroorganisme anaerob yang paling
banyak ditemukan adalah Fusobacterium necrophorum. Etiologi lain yang
juga dapat ditemukan pada kasus abses peritonsil adalah Staphylococcus
sp, Pneumococcus sp, Neisseria sp, dan Haemophilus influenza,
Lactobacillus, Actinomyces, dan Micrococcus (Tabel 1).12,13
Tabel 1. Mikroorganisme Etiologi Abses Peritonsil
Bakteri Aerob Bakteri Anaerob
Corynebacterium Prevotella
7
dan penyakit periodontal merupakan beberapa faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian abses peritonsil.14
4. Patofisologi
Patofisiologi dari abses peritonsil belum diketahui secara pasti. Area
peritonsil terbentuk dari jaringan ikat longgar sehingga mudah terbentuk
abses bila terjadi infeksi. Jaringan ikat longgar antara kapsul fibrosa
dibatasi oleh tonsil palatina di bagian medial dan otot konstriktor faring
superior di bagian lateral. Bagian anteroposterior dibatasi oleh pilar tonsil.
Sisi superior area peritonsil ini dibatasi oleh torus tubarius sementara di
sisi inferior terdapat sinus piriformis.13
Terdapat 2 hipotesis yang menjelaskan mengenai patofisiologi abses
peritonsil yaitu hipotesis tonsilitis akut dan hipotesis kelenjar Weber.
Hipotesis tonsilitis akut menyatakan bahwa abses peritonsil merupakan
komplikasi dari tonsilitis akut sementara hipotesis kelenjar Weber
menyatakan bahwa abses peritonsil terjadi karena infeksi pada kelenjar
Weber.13
1) Hipotesis Tonsilitis Akut
Menurut hipotesis tonsilitis akut, abses peritonsil didahului oleh
tonsilitis, kemudian terjadi selulitis, lalu membentuk abses. Hipotesis
tersebut mengatakan bahwa infeksi terbentuk pada kripta magna,
kemudian menyebar menembus kapsul tonsil ke area peritonsil
menyebabkan peritonsilitis. Peradangan difus peritonsil inilah yang
kemudian berkembang menjadi abses peritonsil.13
2) Hipotesis Kelenjar Weber
Kelenjar Weber memiliki peran penting pada patofisiologi abses
peritonsil. Kelenjar ludah minor ini terletak di bagian superior tonsil.
Duktus kelenjar Weber menembus kapsul tonsil menuju kripta tonsil.
Kelenjar Weber berfungsi membersihkan debris dari area tonsil . Jika
terjadi peradangan pada kelenjar ini, akan terbentuk selulitis lokal. Saat
peradangan bertambah berat akan terbentuk pus dan jaringan nekrosis
yang kemudian menumpuk karena terganggunya fungsi kelenjar
Weber.13 Tonsilitis rekuren dan proses inflamasi lain pada tonsil dapat
8
juga menyebabkan sumbatan sekunder pada duktus kelenjar Weber dan
menyebabkan peradangan lebih lanjut.12
5. Manifestasi Klinis
Beberapa gejala klinis abses peritonsil antara lain berupa
pembengkakan awal yang hampir selalu berlokasi pada daerah palatum
mole di sebelah atas tonsil yang menyebabkan tonsil membesar ke arah
medial. Onset gejala abses peritonsil biasanya dimulai sekitar 3 sampai 5
hari sebelum pemeriksaan dan diagnosis.15
Manifestasi klinis yang biasanya ditemukan berupa odinofagia yang
hebat, disfagia, otalgia pada sisi yang sama, muntah, mulut berbau (foetor
exore), hipersalivasi, trismus, suara gumam (hot potato voice) yang terjadi
karena penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut,
terkadang ada pembengkakan kelenjar submandibula yang nyeri tekan, dan
juga demam. Trismus akan muncul apabila infeksi meluas mengenai otot-
otot pterygoid.15
9
ditemukan eksudat di sekitar tonsil, deviasi uvula ke arah kontralateral,
pembengkakan pada palatum mole, serta limfadenopati jugulodigastrik.13,16
6. Diagnosis
Diagnosis abses peritonsil ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.18
1. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis
abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri pada
tenggorokan secara terus-menerus adalah salah satu yang mendukung
terjadinya abses peritonsil. Pasien juga mengeluhkan odinofagia,
hipersalivasi sehingga ludah seringkali menetes keluar. Keluhan
lainnya berupa mulut berbau (foetor exore), muntah (regurgitasi)
sampai nyeri alih ke telinga (otalgi), hot potato’s voice karena
penderita berusaha mengurangi rasa nyeri saat membuka mulut.
Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan rasa kurang
nyaman pada pharingeal unilateral juga dapat dikeluhkan oleh pasien.16
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri
faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit
karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan
pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan
kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi,
mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan
bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses
peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil
yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler
tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang
diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang
luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari
palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. Asimetri
palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta
pada palpasi palatum mole teraba fluktuasi.16
10
3. Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk
penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standard
pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle
aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan
menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum
berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc.
Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material
dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi untuk kepentingan terapi antibiotika. Pada
penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:16
● Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar
elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood
cultures).
● Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien
dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika
hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian
hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada
penderita dengan hepatomegaly.
● Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan
untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah
timbulnya resistensi antibiotik.
● Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral
(Lateral soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat
membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses
retropharyngeal.
● Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan
cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan
adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat
dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini
dapat membantu untuk rencana operasi.
11
● Peripheral Rim Enhancement Ultrasound, contohnya: intraoral
ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2
% dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai
sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. Merupakan teknik yang
simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan
antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga dapat
menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi
dan drainase secara pasti.
6. Diagnosis Banding
Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-
penyakit abses leher dalam lainnya yaitu abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula. Hal ini karena pada semua penyakit
abses leher dalam, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan
membuka mulut merupakan keluhan yang paling umum. Untuk
membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya,
diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat.16,19
Abses peritonsil juga di diagnosis banding dengan selulitis
peritonsil, pasien sering mengeluhkan gejala yang mirip dengan abses
peritonsil, sehingga sulit untuk membedakan kedua kondisi tersebut. Pada
selulitis peritonsil, area antara tonsil dan kapsulnya adalah eritematosa
dan edematosa, tanpa area fluktuasi yang jelas atau pembentukan nanah.
Kedua kondisi ini dibedakan dengan tidak adanya nanah pada aspirasi
jarum, yang menunjukkan selulitis. Pemeriksaan radiologi dapat
dilakukan jika abses tetap tidak pasti setelah aspirasi jarum. CT dengan
media kontras dapat digunakan untuk menilai luasnya abses. Beberapa
penelitian kecil telah menunjukkan bahwa ultrasonografi intraoral, jika
tersedia, dapat secara akurat mengidentifikasi dan membedakan abses
dari selulitis.19
7. Tatalaksana
12
Inisisi dan drainase, terapi antibiotik, dan terapi suportif untuk
menjaga hidrasi serta pengendalian nyeri adalah landasan pengobatan
abses peritonsillar.19
a. Insisi
Pada penderita yang sadar, tindakan dapat dilakukan dengan posisi
duduk menggunakan anestesi lokal. Anestesi lokal dapat dilakukan pada
cabang tonsilar dari nervus glossofaringeus (N.IX) yang memberikan
inervasi sensoris mayoritas pada daerah ini, dengan menyuntikkan lidokain
melalui mukosa ke dalam fosa tonsil.
13
berkurang. Pus yang keluar juga sebaiknya diperiksakan untuk teskultur
dan sensitifitas, biasanya diambil saat aspirasi (diagnosis). 20
b. Drainase
Beberapa jenis prosedur drainase cocok untuk kebanyakan pasien
yang datang dengan abses peritonsillar. Kecuali abses kecil (kurang dari
1cm) tanpa suara teredam, drooling, atau trismus. Prosedur utama meliputi
aspirasi jarum, insisi dan drainase atau dapat dilakukan immediate
tonsillectomy. Namun managemen bedah akut sudah mengalami
perubahan dari immediate tonsillectomy menjadi insisi dan drainase atau
needle aspiration. Walaupun tonsilektomi tidak rutin dilakukan sekarang,
tonsilektomi harus dipertimbangkan pada pasien yang memiliki indikasi
kuat untuk tonsilektomi, khususnya pada pasien dengan riwayat tonsilitis
yang rekuren. Tonsilektomi juga dapat dipertimbangkan pada pasien anak
anak yang sering kali mengalami episode rekuren tonsilitis dan intoleran
dari prosedur drainase dibawah anastesi local.19
Tabel 2. Teknik aspirasi jarum pada abses peritonsil
14
Tindakan pembedahan pada abses peritonsil merupakan topik yang
kontroversial sejak beberapa abad. Filosofi dari tindakan tonsilektomi
pada abses peritonsil adalah karena berdasarkan pemikiran bahwa
kekambuhan pada penderita abses peritonsil terjadi cukup banyak
sehingga tindakan pengangkatan kedua tonsil ini dilakukan untuk
memastikan tidak terjadinya kekambuhan. Sementara insisi dan drainase
abses merupakan tindakan yang paling banyak diterima sebagai terapi
utama untuk abses peritonsil, beberapa bentuk tonsilektomi kadang-
kadang dilakukan. Waktu pelaksanaan tonsilektomi sebagai terapi abses
peritonsil, bervariasi:
15
3. Penderita dengan DM (Diabetes Melitus) yang memerlukan toleransi
terhadap terapi berbagai antibiotika.
4. Penderita diatas 50 tahun dengan tonsil-tonsil yang melekat, karena
abses akan sangat mudah meluas ke daerah leher dalam. Pada umumnya
insisi dan drainase diikuti dengan tonsilektomi 6-12 minggu kemudian
adalah prosedur terapi abses peritonsil.
Pasien harus dilakukan operasi 2-3 hari setelah infeksi terkontrol jika
ukuran luka pada abses yang pecah spontan kurang dari 2,5 cm. Namun,
bila ukuran luka pada abses yang pecah spontan lebih dari 2,5 cm maka
tindakan operasi harus dilakukan segera dengan tetap memperhatikan
kondisi umum dan komplikasi sistemik pada pasien.20
d. Terapi antibiotik
Abses peritonsilar biasanya berasaldari campuran polimikroba dari
bakteri aerobik dan anaerobik. Group A streptococcus and Streptococcus
milleri 18 group adalah bakteri aerob yang seringkali didapat pada kultur,
dan Fusobacterium nechophorum adalah bakteri anaerob yang dominan.
Terapi empiris antibiotik awalnya adalah antimikroba yang efektif
melawan streptococcus dan anaerob oral. Terdapat sensitivitas yang
hampir universal dari spesies streptococcus terhadap penisilin, dan
beberapa penelitian menunjukkan efektivitas klinis dari penisilin intravena
saja setelah drainase abses yang memadai. Namun, ada kekhawatiran yang
berkembang tentang sifat polimikroba abses peritonsillar. Laporan kultur
menunjukkan tingkat resistensi penisilin lebih dari 50% di antara patogen
selain streptokokus yang ditemukan pada abses peritonsillar, yang
menyebabkan penggunaan rutin antibiotik spektrum luas sebagai terapi lini
pertama. Makrolida harus dihindari akibat resistensi Fusobacterium.19
Tabel 3. Daftar regimen antimikroba abses peritonsil
16
e. Terapi Kortikosteroid
Gejala akut abses peritonsillar terjadi akibat inflamasi dan edema
soft palate. Meskipun kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati
edema dan peradangan pada penyakit otolaringologi lainnya,
penggunaannya sebagai bagian dari rejimen pengobatan untuk abses
peritonsillar belum dipelajari secara ekstensif. Dua penelitian kecil
menyelidiki apakah penambahan dosis kortikosteroid tunggal yang
diberikan secara intramuskular atau intravena (metilprednisolon, 2 hingga
3 mg/kg hingga 250mg, atau deksametason, 10 mg) akan mempercepat
pemulihan. Namun, penelitian tambahan diperlukan sebelum penggunaan
rutin kortikosteroid dimasukkan dalam protokol pengobatan.19
8. Komplikasi
a. Obstruksi jalan nafas
b. Pneumonitis aspirasi atau abses paru sekunder akibat ruptur abses
peritonsil
c. Perpanjangan infeksi ke dalam jaringan leher atau mediastinum
superior
17
d. Perdarahan yang mengancam jiwa akibat erosi atau nekrosis septik
e. Gejala sisa poststreptokokus, seperti glomerulonefritis dan demam
rematik, ketika infeksi disebabkan oleh Streptococcus grup A
9. Prognosis
Mayoritas pasien abses peritonsil yang menjalani drainase segera
dan diobati dengan antibiotik sembuh dalam waktu 4-7 hari. Sekitar 1-5%
pasien dapat mengalami abses berulang dan memerlukan tonsilektomi
formal. Risiko kekambuhan paling tinggi pada orang muda yang pernah
mengalami lima atau lebih episode tonsilitis. Jika ada gangguan jalan
napas dan keterlambatan dalam perawatan, kematian dapat terjadi.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
13. Klug TE, Rusan M, Fuursted K, Ovesen T. Peritonsillar abscess.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2016;155(2):199-207.
doi:10.1177/0194599816639551
14. Klug TE. Peritonsillar Abscess: Clinical Aspects of Microbiology, Risk
Factors, and The Association with Parapharyngeal Abscess. Dan Med J
2017;64(3):B5333.
1. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methods for Peritonsillar Abscess.
Journal of Chinese Clinical Medicine. 2015. 2:108-11.
2. Fachruddin, Darnila. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti
RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
& Leher Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. hal. 226–7.
3. A.Florin Todd, Stephen Ludwig,. Netters Pediatric, 7th Edition. Elsevier.
2011. p. 132-140.
4. Gupta1 Gunjan, McDowell RH. 2020. Peritonsillar Abscess. (diakses 04
September 2020) Diunduh dari URL:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519520/#_NBK519520_pub det_
5. Galioto NJ. Peritonsillar Abscess. American Family Physician. 2017 Apr
15;95(8):501-6.
20. Marbun EM, Pengajar S, Tht B, Kedokteran F, Kristen U, Wacana K, et al.
Abses Peritonsil Diagnosis , Management and Complication of Peritonsil
Abscess. J Kedokt Meditek. 2016;22(6).
21