Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
GANGGUAN IMMOBILISASI
Ditujukan untuk memenuhi nilai praktek mata kuliah keperawatan gerontik
Disusun Oleh :
B. ETIOLOGI
1. Penyebab
Penyebab utama immobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot,
ketidakseimbangan, dan masalah psiokologis.
Penyebab secara umum :
a. Kelainan postur
b. Gangguan perkembangan otot
c. Kerusakan system saraf pusat
d. Trauma langsung pada system musculoskeletal dan neuromuscular
e. Kekakuan otot
C. PATOFISIOLOGI
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal,
sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan tulang
karena adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem
pengungkit. Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik,
peningkatan tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik
menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau
gerakan aktif dari otot, misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep.
Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun
kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek, namun pemakaian energi
meningkat. Perawat harus mengenal adanya peningkatan energi (peningkatan kecepatan
pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan darah) karena latihan isometrik. Hal ini
menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark miokard atau penyakit obstruksi
paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan kepribadian dan suasana hati
seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan perkembangan otot skeletal.
Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari tonus otot dan aktifitas
dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot adalah
suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Ketegangan dapat dipertahankan dengan
adanya kontraksi dan relaksasi yang bergantian melalui kerja otot. Tonus otot
mempertahankan posisi fungsional tubuh dan mendukung kembalinya aliran darah ke
jantung.
Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal adalah
rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan
ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ
vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel
darah merah.
D. PATHWAYS
Mobilisasi
Tidak mampu
beraktivitas
Kehilangan
daya otot
Penurunan
otot
Perubahan sistem
muskuloskeletal
Gangguan
mobilitas fisik
E. KLASIFIKASI
1. Jenis Mobilitas
a. Mobilitas penuh.
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari- hari.
Mobilitas penuh ini merupakan saraf motorik volunter dan sensorik untuk dapat
mengontrol seluruh area tubuh seseorang.
b. Mobilitas sebagian.
Merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak
mampu bergerak secara bebas karena di pengaruhi oleh gangguan saraf motorik
dan saraf sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpaipada kasus cedera
atau patah tulang dengan pemasangan traksi. Pasien paraplegi dapat mengalami
mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilngan kontrol mekanik dan
sensorik.
Mobilitas sebagian di bagi menjadi 2 jenis, yaitu :
a) Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya sementara. Hal tersebut dapat disebabakan oleh
trauma reversibel pada sistem muskuloskeletal, contohnya adalah adanya
dislokasi sendi dan tulang.
b) Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu untuk
bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan oleh
rusaknya sistem saraf yang refersibel. Contohnya terjadinya hemiplegi karena
stroke, paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomelitis karena
terganggunya sistem saraf motorik dan sensoris.
2. Rentang Gerak dalam mobilisasi
Dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
a. Rentang gerak pasif
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan
persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. Rentang gerak aktif
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara
menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya berbaring pasien menggerakkan
kakinya.
c. Rentang gerak fungsional
Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi dengan melakukan aktifitas yang
diperlukan (Carpenito, 2000).
3. Jenis Immobilitas :
Menurut Mubarak (2008) secara umum ada beberapa macam keadaan imobilitas
antara lain :
a. Imobilitas fisik : kondisi ketika seseorang mengalami keterbatasan fisik yang
disebabkan oleh faktor lingkungan maupun kondisi orang tersebut.
b. Imobilitas intelektual : kondisi ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya, misalnya pada kasus kerusakan otak.
c. Imobilitas emosional : kondisi ini bisa terjadi akibat proses pembedahan atau
kehilangan seseorang yang dicintai.
d. Imobilitas sosial : kondisi ini bisa menyebabkan perubahan interaksi sosial yang
sering terjadi akibat penyakit
F. KOMPLIKASI
Terjadinya imobilisasi dalam tubuh dapat berpengaruh pada sistem tubuh, seperti :
1. Perubahan metabolik
Sistem endokrin, merupakan produksi hormon-sekresi kelenjar, membantu
mempertahankan dan mengatur fungsi vital seperti :
1. Respons terhadap stress dan cedera
2. pertumbuhan dan perkembangan
3. Reproduksi
4. Homeostasis ion
5. Metabolisme energi.
Sistem endokrin berpengaruh dalam mempertahankan homeostasis ion. Di
mana sistem endokrin berperan dalam pengaturan lingkungan eksternal dengan
memperpertahankan keseimbangan natrium, kalium, air, dan keseimbangan asam-
basa. Sehingga sistem endokrin bekerja sebagai pengatur metabolisme energi.
Hormone tiroid meningkatkan laju metabolic basal (basal metabolic rate, BMR),
dan energy dibuat sehingga dapat dipakai sel-sel melalui intergasi kerja antara
hormone gastrointestinal dan pancreas (Price dan Wilson, 1992).
Immobilisasi menganggu fungsi metabolik normal, antara lain laju
metabolik; metabolisme karbohidrat, lemak dan protein; ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit; ketidakseimbangan kalsium; dan gangguan pencernaan.
Keberadaan proses infeksius pada klien imobilisasi mengalami peningkatan BMR
diakibatkan karena demam atau penyembuhan luka. Demam dan penyembuhan
luka meningkatkan kebutuhan oksigen selular (McCance dan Huether,1994)
Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses
anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Proses imobilitas dapat juga
menyebabkan penurunan eksresi urine dan peningkatan nitrogen. Pada umumnya
keadaan ini dapat dijumpai pada pasien yang mengalami imobilitas pada hari
kelima dan keenam. Beberapa dampak perubahan metabolisme, diantaranya
adalah pengurangan jumlah metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, demineralisasi tulang, gangguan dalam
mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.
2. Perubahan sistem respirasi
Klien yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi pada terjadinya komplikasi
paru-paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan
pneumonia hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya
sekresi dan kolpas alveolus sistal karena udara yang diabsorbsi, sehingga
menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat
terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia
hipostatik adalah peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan
pneumonia hipostatik, keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama
penyembuhan, dan menambah ketidaknyamanan klien.
Klien pasca operasi dan imobilisasi berisiko tinggi mengalami komplikasi paru-
paru. Komplikasi paru-paru yang paling umum adalah atelektasis dan pneumonia
hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh adanya sekresi dan
kolpas alveolus sistal karena udara yang diabsorbsi, sehingga menghasilkan
hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkiolus kecil dapat terkena. Luasnya
atelektasis ditentukan oleh bagian yang tertutup. Pneumonia hipostatik adalah
peradangan paru-paru akibat statisnya sekresi. Atelektasis dan pneumonia hipostatik,
keduanya sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlama penyembuhan, dan
menambah ketidaknyamanan klien (Perry&Potter, 2010).
3. Perubahan sistem kardiovaskuler
Ada tiga perubahan utama yang dapat terjadi pada klien imobilisasi terkait sistem
kardiovaskuler, yaitu :
1) Hipotensi ortostatik, adalah penurunan tekanan darah sistolik 25 mmHg dan
diastolik 10 mmHg ketika klien bangun dari posisi berbaring atau duduk ke posisi
berdiri. Pada klien imobilisasi, terjadi penurunan sirkulasi volume cairan,
pengumpulan darah pada ekstremitas bawah, dan penurunan respons otonom.
Faktor- faktor tersebut mengakibatkan penurunan aliran balik vena, diikuti oleh
penurunan curah jantung yang terlihat pada penurunan tekanan darah (McCance
and Huether, 1994).
2) peningkatan beban kerja jantung,
3) pembentukan trombus.
4. Perubahan sistem muskuloskeletal
Pengaruh imobilisasi pada sistem muskuloskeletal meliputi gangguan imobilisasi
permanen. Keterbatasan mobilisasi mempengaruhi otot klien melalui kehilangan daya
tahan, penurunan massa otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Pengaruh lain dari
keterbatasan mobilisasi yang mempengaruhi sitem muskuloskeletal adalah gangguan
metabolisme kalsium dan gangguan mobilitas sendi.
Pengaruh Otot. Akibat pemecahan protein, klien mengalami massa tubuh, yang
membentuk sebagian otot. Oleh karena itu, penurunan massa otot tidak mampu
mempertahankan aktivitas tanpa peningkatan kelelahan. Massa otot menurun akibat
metabolisme dan tidak digunakan. Jika imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih,
maka akan terjadi penurunan massa yang berkelanjutan.
Penurunan mobilisasi dan gerakan mengakibatkan kerusakan muskuloskeletal
yang besar, yang perubahan patofisiologi utamanya adalah atrofi.
Penurunan stabilitas terjadi akibat kehilangan daya tahan, penurunan massa otot,
atrofi dan kehilangan sendi yang aktual. Sehingga klien tersebut tidak mampu
bergerak terus-menerus dan sangat berisiko untuk jatuh.
Pengaruh Skelet. Imobilisasi menyebabkan dua perubahan terhadap skelet, yaitu
: gangguan metabolisme kalsium dan kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat
pada resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat, dan terjadi
osteoporosis (Holm, 1989).
Apabila ossteoporosis terjadi maka klien berisiko terjadi fraktur patologis.
Imobilisasi dan aktivitas yang tidak menyangga tubuh meningkatkan kecepatan
resorpsi tulang. Resorpsi Tulang juga menyebabkan kalisium terlepas ke dalam darah,
sehingga menyebabkan terjadi hiperkalsemia.
Imobilisasi dapat mengakibatkan kontraktur sendi, kontraktur sendi
adalahkondisi abnormal dan biasa permanen yang ditandai oleh sendi fleksidan
terfikasi. Hal ini disebabkan tidak digunakannya, atrofi, dan peendekan secara otot.
Jika terjadi kontraktur maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak dengan
penuh. Sayangnya kontraktur sering menjadikan sendi pada posisiyang tidak
berfungsi (lehmkuhl et al, 1990)
Satu macam kontraktur umum dan lemah yang terjadiadalah foot drop. Jika foot
drop terjadi maka kaki terfiksasi pada posisi plantarfleks secara permanen. Ambulasi
sulit pada kaki dengan posisi ini.
5. Perubahan sistem integumen
Perubahan sistem integumen yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit
karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilisasi dan terjadinya inskemia, serta
anoksia jaringan. Jaringan yang tertekan, darah membelok, dan konstriksi kuat pada
pembuluh darah akibat tekanan persisten pada kulit dan struktur di bawah kulit,
sehingga respirasi selular terganggu, dan sel menjadi mati (ebersole dan hess, 1994).
6. Perubahan eliminasi urine
Pada keadaan imobilisasi, klien dalam posisi rekumben atau datar, ginjal atau
ureter membentuk garis datar seperti perawat ginjal yang membentuk urine harus
masuk ke dalam kandung kemih melawan gravitasi. Akibat kontraksi peristaltik
ureter yang tidak cukup kuat melawan gaya gravitasi, pelvis ginjal menjadi terisi
sebelum urine masuk ke dalam ureter. Kondisi ini disebut stasis urine dan
meningkatkan risiko infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal (Perry & Potter,
2005).
Batu ginjal dapat diakibatkan karena adanya gangguan metabolisme kalsium dan
akibat hiperkalsemia. Sejalan dengan masa imobilisasi yang berlanjut, asupan cairan
yang terbatas, dan penyabab lain, seperti demam akan meningkatkan risiko dehidrasi.
Akibatnya haluaran urine menurun sekitar pada hari kelima atau keenam (Perry &
Potter, 2010).
Urine yang pekat ini meningkatkan risiko terjadi batu dan infeksi. Perawatan
perineal yang buruk setelah defekasi, terutama pada wanita, meningkatkan risiko
kontaminasi. Penyebab lain infeksi saluran perkemihan pada klien imobilisasi adalah
pemakaian urine menetap (Perry & Potter, 2010).
Selain mengakibatkan perubahan pada sistem tubuh, imobilisasi juga dapat
menyebabkan terjadinya perubahan perkembangan khususnya pada lansia. Pada
umumnya lansia akan mengalami kehilangan total masaa tulang progresif. Beberapa
kemungkinan yang dapat menyebabkan kondisi tersebut, meliputi aktivitas fisik,
perubahan hormonal, dan resorpsi tulang aktual. Dampak dari kehilangga massa
tulang adalah tulang menjadi lebih lemah, tulang belakang lebih lunak, dan tertekan,
tulang panjang kurang resisten ketika membungkuk. Lansia berjalan lebih lambat dan
tampak kurang terkoordinasi. Lansia juga membuat langkah yang lebih pendek,
menjaga kaki mereka lebih dekat bersamaan, yang mengurangi dasar dukungan.
Sehingga keseimbangan tubuh tidak stabil, dan mereka sangat berisiko jatuh dan
cedera.
G. PENATALAKSANAAN
1. Membantu pasien duduk di tempat tidur
Tindakan ini merupakan salah satu cara mempertahankan kemampuan mobilitas
pasien. Tujuan :
a. Mempertahankan kenyamanan
b. Mempertahankan toleransi terhadap aktifitas
c. Mempertahankan kenyamanan
2. Mengatur posisi pasien di tempat tidur
a. Posisi fowler adalah posisi pasien setengah duduk/ duduk. Tujuan :
1) Mempertahankan kenyamanan
2) Menfasilitasi fungsi pernafasan
b. Posisi sim adalah pasien terbaring miring baik ke kanan atau ke kiri Tujuan :
1) Melancarkan peredaran darah ke otak
2) Memberikan kenyamanan
3) Melakukan huknah
4) Memberikan obat peranus (inposutoria)
5) Melakukan pemeriksaan daerah anus
c. Posisi trelendang adalah menempatkan pasien di tempat tidur dengan bagian
kepala lebih rendah dari bagian kaki. Tujuan : untuk melancarkan peredaran darah
d. Posisi genu pectorat adalah posisi nungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada
menempel pada bagian atas tempat tidur.
3. Memindahkan pasien ke tempat tdiur/ ke kursi roda Tujuan :
a. Melakukan otot skeletal untuk mencegah kontraktur
b. Mempertahankan kenyamanan pasien.
c. Mempertahankan kontrol diri pasien
d. Memindahkan pasien untuk pemeriksaan
4. Membantu pasien berjalan Tujuan :
a. Toleransi aktifitas
b. Mencegah terjadinya kontraktur sendi
H. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
Anamnesa identitas pasien meliputi nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan,
agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini meliputi alasan pasien yang menyebabkan terjadi
keluhan atau gangguan dalam imobilitas, seperti adanya nyeri, kelemahan otot,
kelelahan, tingkat imobilitas, daerah terganggunya karena imobilitas, dan lama
terjadinya gangguan mobilitas.
3. Riwayat penyakit yang pernah diderita
Pengkajian riwayat penyakit yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan
mobilitas, misalnya adanya riwayat penyakit sistem neurologis (kecelakaan
cerebrovaskular, trauma kepala, peningkatan tekanan intrakranial, miastenia gravis,
guillain barre, cedera medula spinalis, dan lain-lain), riwayat penyakit sistem
kardiovaskular (infark miokard, gagal jantung kongestif), riwayat penyakit sistem
muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur, artritis), riwayat penyakit sistem pernapasan
(penyakit paru obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-lain), riwayat pemakaian obat
seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf pusat, laksansia, dan lain-lain.
4. Pemeriksaan fisik
a. Sistem metabolik
Ketika mengkaji fungsi metabolik, perawat menggunakan pengukuran
antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pencatatan asupan
dan haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, elektrolit
maupun kadar serum protein, mengkaji penyembuhan luka untuk mengevaluasi
perubahan transport nutrien, mengkaji asupan makanan dan pola eliminasi klien
untuk menentukan perubahan fungsi gastrointestinal. Pengukuran asupan dan
haluaran membantu perawat untuk menentukan apakah terjadi ketidakseimbnagan
cairan. Dehidrasi dan edema dapat meningkatkan laju kerusakan kulit pada klien
imobilisasi.
Pengukuran laboratorium terhadap kadar elektrolit darah juga mengindikasikan
ketidakseimbangan elektrolit. Apabila klien imobilisasi mempunyai luka, maka
cepatan penyembuhan menunjukkan indikasi nutrien yang di bawa ke jaringan.
Kemajuan penyembuhan yang normal mengindikasikan kebutuhan metabolik
jaringan luka terpenuhi.
Pada umumnya anoreksi terjadi pada klien imobilisasi. Asupan makanan klien
harus dikaji terlebih dahulu sebelum nampan diberikan, untuk menentukan jumlah
yang dimakan. Ketidakseimbangan nutrisi dapat dihidari apabila perawat
mengkaji pola makan klien dan makanan yang disukai sebelum keadaan
imobilisasi.
b. Sistem respiratori.
Pengkajian sistem respiratori harus dilakukan minimal setiap 2 jam pada klien
yang mengalami keterbatasan aktivitas. Pengkajian pada sistem respiratori
meliputi :
1) Inspeksi : pergerakan dinding dada selama sikus inspirasi-ekspirasi penuh.
Jika klien mempunyai area atelektasis, gerakan dadanya menjadi asimetris.
2) Auskultasi : seluruh area paru-paru untuk mengidentifikasi gangguan suara
napas, crackles, atau mengi. Auskultasi harus berfokus pada area paru-paru
yang tergantung karena sekresi paru cenderung menumpuk di area bagian
bawah.
c. Sistem kardiovaskuler.
Pengkajian sistem kardiovaskular yang harus dilakukan pada pasien imobilisasi,
meliputi :
1) memantau tekanan darah, tekanan darah klien harus diukur, terutama jika
berubah dari berbaring (rekumben) ke duduk atau berdiri akibat risiko
terjadinya hipotensi ortostatik.
2) mengevaluasi nadi apeks maupun nadi perifer, berbaring dalam posisi
rekumben meningkatkan beban kerja jantung dan mengakibatkan nadi
meningkat. Pada beberapa klien, terutama lansia, jantung tidak dapat
mentoleransi peningkatan beban kerja, dan berkembang menjadi gagal
jantung. Suara jantung ketiga yang terdengar di bagian apeks merupakan
indikasi awal gagal jantung kongestif. Memantau nadi perifer memungkinkan
perawat mengevaluasi kemampuan jantung memompa darah.
3) observasi tanda-tanda adanya stasis vena (mis. edema dan penyembuhan luka
yang buruk), edema mengindikasikan ketidakmampuan jantung menangani
peningkatan beban kerja. Karena edema bergerak di area tubuh yang
menggantung, pengkajian klien imobilisasi harus meliputi sakrum, tungkai
dan kaki. Jika jantung tidak mampu mentoleransi peningkatan beban kerja,
maka area tubuh perifer seperti tangan, kaki, hidung, dan daun telinga akan
lebih dingin dari area pusat tubuh. Terakhir, perawat mengkaji sistem vena
karena trombosis vena profunda merupakan bahaya dari keterbatasan
mobilisasi. Embolus adalah trombus yang terlepas, berjalan mengikuti sistem
sirkulasi ke paruparu atau otak dan menggangu sirkulasi. Emboli yang ke
paru-paru ataupun otak mengancam otak.
Biceps
Triceps
Knee
Achiles
Keterangan :
• Orientasi Kalkulasi
• Perhatian Bahasa
o Tahun
o Musim
o Tanggal
o Hari
o Bulan
o Negara Indonesia
o Kota..........
o PSTW..........
o Wisma...........
o Obyek..........
o Obyek..........
o Obyek..........
o 93
o 86
o 79
o 72
o 65
o (misal pensil)
o Pernyataan benar 2
buah: tak ad, tetapi.
o Lipat dua
o Taruh di lantai
o Menyalin gambar
TOTAL NILAI
Interpretasi hasil :
I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan rontegen
2. CT scan
3. Arteriogram, dilakukan jika ada kerusakan vaskuler
4. Hitung darah rutin, kretinin jika ada trauma otot
J. ANALISA DATA
DATA ETIOLOGI MASALAH
Mobilisasi Gangguan mobilitas fisik
Mayor
DS :
Tidak mampu beraktivitas
1. Mengeluh sulit
menggerakan
Kehilangan daya otot
ekstremitas
DO :
Penurunan otot
1. Kekuatan otot
menurun
Perubahan sistem
2. Rentang gerak (ROM)
musculoskeletal
menurun
Minor
Gangguan mobilitas fisik
DS :
1. Nyeri saat bergerak
2. Enggan melakukan
pergerakan
3. Merasa cemas saat
bergerak
DO :
1. Sendi kaku
2. Gerakan tidak
terkoordinasi
3. Gerakan terbatas
4. Fisik lemah
K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang, gangguan
musculoskeletal d.d mengeluh sulit menggerakan ekstremitas, gerakan terbatas.
Observasi : Observasi :
1. Identifikasi 1. Untuk
faktor risiko mengetahui
jatuh faktor risiko
jatuh
2. Identifikasi 2. Untuk
faktor mengetahui
lingkungan lingkungan
yang yang aman
meningkatkan
risiko jatuh
Terapeutik : Terapeutik :
1. Gunakan alat 1. Untuk
bantu berjalan menghindari
terjadinya jatuh
pada pasien
Edukasi :
Edukasi :
1. Anjurkan
1. Agar pasien
menggunakan
tidak terjatuh
alas kaki yang
tidak licin
2. Anjurkan
2. Untuk menjaga
berkonsentrasi
keseimbangan
untuk
pasien
menjaga
keseimbangan
tubuh
DAFTAR PUSTAKA