Anda di halaman 1dari 67

SKRIPSI

TINJAUAN PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM DAN


IMPLIKASINYA DALAM PROSES PENGADILAN
NEGERI DI KOTA MAKASSAR

Oleh:

Nama: Baso Faisal

Stb. 040 2016 0614

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi Mahasiswa:

Nama : Baso Faisal

Stambuk : 040 2016 0614

Fakultas : Hukum

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

SK Pembimbing : 0258/H.05/FH-UMI/II/2020

Judul : Tinjauan Penemuan Hukum Oleh Hakim dan Implikasinya

dalam Proses Pengadilan Negeri di Kota Makassar

Telah diperiksa dan disetujui untuk ujian skripsi

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

( Prof. Dr. H. Lauddin Marsuni, S.H., M.H.) (Dr. Nasrullah Arsyad, S.H., M.H.)

Mengetahui:

KETUA BAGIAN

HUKUM PIDANA

(Dr. H. Baharuddin Badaru, S.H., M.H.)

II
PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa skripsi Mahasiswa:

Nama : Baso Faisal

Stambuk : 040 2016 0614

Fakultas : Hukum

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

SK Pembimbing : 0258/H.05/FH-UMI/II/2020

Judul : Tinjauan Penemuan Hukum Oleh Hakim dan Implikasinya

dalam Proses Pengadilan Negeri di Kota Makassar

Telah diperiksa dan disetujui untuk ujian skripsi

Makassar, 8 Juli 2020

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Muslim Indonesia

Prof. Dr. Said Sampara, S.H., M.H.

III
PENGESAHAN PENGUJI

Diterangkan bahwa skripsi Mahasiswa:

Nama : Baso Faisal

Stambuk : 040 2016 0614

Fakultas : Hukum

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Pidana

SK Pembimbing : 0258/H.05/FH-UMI/II/2020

Judul : Tinjauan Penemuan Hukum Oleh Hakim dan Implikasinya

dalam Proses Pengadilan Negeri di Kota Makassar

Telah dipertahankan dihadapan majelis ujian skripsi pada hari Sabtu, 18 Juli 2020

dan dinyatakan lulus oleh tim penguji.

1. Prof. Dr. H. Lauddin Marsuni, S.H., M.H. ( )


Pembimbing I

2. Dr. Nasrullah Arsyad, S.H., M.H. ( )


Pembimbing II

3. Hj. Fauziah Basyuni, S.H., M.H. ( )


Penguji I

4. A. Mutiah Faridah, S.H., M.H. ( )


Penguji II

IV
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam tidak lupa

kita kirimkan kepada baginda Rasulullah Muhammad saw. beserta keluarganya,

karenanya yang telah membawa kita dari alam yang gelap menuju alam yang

terang. Skripsi ini berjudul “Tinjauan Penemuan Hukum oleh Hakim dan

Implikasinya dalam Proses Pengadilan Negeri di Kota Makassar”. Adapun skripsi

ini dibuat sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Muslim Indonesia.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah semaksimal mungkin dalam

penyelesaian skripsi ini tetapi, penulis sangat menyadari dalam membuat skripsi

ini terdapat banyak kekurangan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran

yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, tentu banyak pihak yang turut membantu baik

bantuan moril maupun materiil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan

ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Secara khusus penulis ingin berterima kasih kepada kedua orang tua saya

tercinta yaitu ayahanda Baso Pawellangi yang tidak pernah kenal lelah

mencari pundi-pundi rupiah untuk membiayai kuliah saya sampai selesai dan

ibunda Besse Juheria yang senantiasa menyemangati dan mendoakan yang

terbaik untuk putra-putinya, serta kepada seluruh saudara dan saudariku

tercinta, yang juga senantiasa memberikan semangat kepada sehingga dapat

V
menyelesaikan kuliahku dan mendapat gelar sarjana, kalian adalah anugerah

terindah yang pernah kumiliki.

2. Bapak Prof. Dr. H. Basri Modding, S.E., M. Si. selaku Rektor Universitas

Muslim Indonesia.

3. Bapak Prof. Dr. Said Sampara, S.H., M.H. selaku dekan Fakultas Hukum

Universitas Muslim Indonesia.

4. Bapak Prof. Dr. H. Lauddin Marsuni, S.H., M.H. selaku pembimbing I dalam

penulisan skripsi ini, terima kasih atas segala bimbingan, ilmu, nasehat, dan

kesabarannya dalam membimbing dan mendidik penulis.

5. Bapak Dr. Nasrullah Arsyad, S.H, M.H. selaku pembimbing II dalam

penulisan skripsi ini, yang telah membimbing dan mengarahkan penulis serta

meluangkan waktunya untuk penulis.

6. Ibu Fauziah Basyuni, S.H., M.H. dan almarhumah A. Mutiah Faridah selaku

Penguji I dan Penguji II, yang telah banyak memberikan masukan kepada

penulis.

7. Bapak Dr. Zulkifli, S.H., M.H., Bapak Muhammad Yusuf Karim, S.H.,

M.Hum. dan Bapak Burhanuddin, S.H., M.H. selaku Hakim Pengadilan

Negeri Makassar yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

diwawancarai oleh penulis.

8. Para dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia, terima kasih atas

ilmu dan didikannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas

Hukum Universitas Muslim Indonesia.

VI
9. Seluruh karyawan dan staf di Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia,

terima kasih atas bantuanya selama penulis menempuh pendidikan di

Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia.

10. Sahabat serta teman-teman yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu

namanya, terima kasih atas dukungan semangat yang selalu kalian berikan

kepada penulis.

Semoga segala bantuan dan dorongan dari semua pihak mendapat ridha

Allah swt. Dan diberikan pahala yang setimpal. Penulis selalu berlapang dada

terhadap kritik dan saran yang bersifat membangun terhadap skripsi ini, semoga

skripsi dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wabillahi taufiq wal hidayah Wassalamualaikum Wr.Wb.

Makassar 2020

Penulis

Baso Faisal

VII
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... I

PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. II

PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI ........................................................... III

PENGESAHAN PENGUJI ........................................................................ IV

KATA PENGANTAR ................................................................................. V

DAFTAR ISI ................................................................................................ VIII

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 7

D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 8

A. Penemuan Hukum ............................................................................... 8

B. Metode Penemuan Hukum .................................................................. 15

C. Hakim .................................................................................................... 30

D. Badan Peradilan ................................................................................... 33

E. Pelaksana Badan Peradilan ................................................................ 35

F. Pengadilan ............................................................................................ 36

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 39

A. Tipe Penelitian ...................................................................................... 39

B. Lokasi Penelitian .................................................................................. 39

C. Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 39

VIII
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 40

E. Analisis Data ......................................................................................... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 43

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ................................................................. 43

B. Hasil Penelitian ..................................................................................... 44

C. Pembahasan .......................................................................................... 47

BAB V PENUTUP ...................................................................................... 55

A. Kesimpulan ........................................................................................... 55

B. Saran ..................................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 57

IX
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1

ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Makna dari negara

hukum sendiri dapat diartikan sebagai negara yang berlandaskan hukum dan

menjamin adanya keadilan dan segala sesuatu haruslah berdasarkan oleh

hukum dan diatur oleh hukum.

Salah satu materi muatan dalam negara hukum yaitu adanya peradilan

yang bebas. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara RI Tahun 1945 menyebutkan “Kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan”.

Makna dari Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun

1945 tersebut bahwa hakim sebagai aparatur pengadilan dalam mengadili

suatu perkara tidak dapat dimasuki oleh lembaga manapun dan kekuasaannya

tidak dapat digangu gugat oleh kekuasaan lainnya serta adanya aspek

kemandirian dalam mengadili suatu perkara.

Hakim dalam melaksanakan tugasnya memeriksa, mengadili dan

memutus perkara harus sesuai dengan nilai-nilai keadilan. Hakim harus

mempertimbangkan dengan sebaik mungkin setiap akan memutus suatu

perkara, agar setiap pencari keadilan merasa puas dengan putusan yang hakim

keluarkan.

1
2

Ketentuan tersebut sesuai dengan firman Allah swt. Al-Quran Surah

An-Nisa ayat 58 :

‫اس أَن‬ ِ َ‫وا ْٱْل َ َٰ َم َٰن‬


ِ َّ‫ت إِلَ َٰ ٰٓى أ َ ْه ِل َها َوإِذَا َحكَمْ تُم بَ ْي َن ٱلن‬ ۟ ُّ‫ٱَّلل يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أَن ت ُ َؤد‬
َ َّ ‫إِ َّن‬

ً ‫س ِمي ًۢعًا َب ِص‬


‫يرا‬ َ ‫َان‬ َ َّ ‫ظ ُكم ِب ِ ٰٓۦه ِإ َّن‬
َ ‫ٱَّلل ك‬ ۟ ‫ت َ ْح ُك ُم‬
َ َّ ‫وا ِب ْٱل َع ْد ِل ِإ َّن‬
ُ ‫ٱَّلل ِن ِعمَّا َي ِع‬

Artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada


yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”.(QS. An-Nisa: 58)

Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan oleh

masyarakat dengan alasan bahwa perkara tersebut tidak mempunya dasar

hukum tertulis. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai asas larangan

menolak suatu perkara (Rechtsweigering).

Asas larangan menolak suatu perkara (Rechtsweigering) oleh hakim ini

lahir karena adanya asas hakim dianggap tahu semua hukum (Ius Curia

Novit), sehinggga hakim apabila tidak menemukan dasar hukumnya dalam

hukum tertulis (Undang-Undang) wajib mencari hukumnya di luar hukum

tertulis.

Adapun kewajiban hakim dalam menerima segala perkara di dalam

pengadilan di tegaskan di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang

Kekuasaaan Kehakiman, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan


3

memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai dasar

oleh hakim melakukan penemuan hukum.

Hakim sebagai penegak hukum dalam memerikasa, mengadili dan

memutus perkara di persidangan, yang sering dikemukan oleh berbagai ahli

hukum sebagai perpanjangan tangan dari Tuhan, karena ditangannya

seseorang yang berperkara di pengadilan sebagai pencari keadilan dapat

dianggap bersalah ataupun sebaliknya.

Hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum

seringkali mendapati permasalahan dimana hukum yang tertulis (undang-

undang) tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang di hadapi oleh

masyarakat. Sehingga hakim harus mengambil inisiatif sendiri dengan

menemukan hukum (Rechtsvinding) ataupun menciptakan hukum

(Rechtsschepping).

Hakim harus menggali nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat yaitu

suatu nilai yang lahir, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat yang

sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi sehingga permasalahan

yang diajukan masyarakat ke pengadilan dapat mencapai suatu keadilan dan

kepastian hukum.

Adanya suatu penemuan hukum oleh hakim dapat dianggap sebagai

langkah hukum yang berani dan progresif, karena hukum itu sendiri

diciptakan untuk kepentingan masyarakat dimana keadaan di dalam

masyarakat itu sendiri selalu berubah-ubah seiring dengan perkembangan

zaman sehingga hukum harus selalu mengikuti perkembangan zaman.


4

Hakim dengan kewenangannya harus mampu menetapkan hukum yang

semula hukumnya tidak ada menjadi ada dan mampu memberikan suatu

keadilan hukum (Legal Justice) dan keadilan masyarakat dengan

menggunakan metode penemuan hukum yang jika dikaji secara ilmiah

(keilmuan) dan secara yuridis maupun teoritis yang harus dapat

dipertanggungjawabkan.

Di lain sisi upaya penemuan hukum dianggap sebagai penerapan hukum

pendobrakan hukum (Rule Breaking) yang keluar dari mekanisme aturan

normatif yang hanya menerapkan hukum tertulis (Rule Making) sehingga

hakim tidak lagi hanya dianggap sebagai corong undang-undang (La Bhouce

De La Loi).

Di dalam proses peradilan terdakwa wajib mendapatkan perlindungan

hukum yang bertujuan untuk memberikan keadilan bagi terdakwa dan

menjamin hak asasi manusia terhadap terdakwa agar tidak terjadi kesewena-

wenangan yang tidak wajar sehingga adanya suatu kepastian hukum terhadap

terdakwa.

Hal ini bersesuaian dengan firman Allah swt. Dalam surah Al-Maaidah

ayat 49:

َ‫ٱحذَرْ ُه ْم أَن يَ ْفتِنُوك‬


ْ ‫ٱَّللُ َو ََل تَت َّ ِبعْ أَ ْه َوآٰ َء ُه ْم َو‬ َ َ ‫ٱح ُكم بَ ْينَهُم ِب َما ٰٓ أ‬
َّ ‫نز َل‬ ْ ‫َوأ َ ِن‬

َّ ُ‫ٱَّللُ إِلَيْكَ فَ ِإن ت َ َولَّوْ ۟ا َفٱ ْعلَ ْم أَنَّ َما ي ُِريد‬


‫ٱَّللُ أَن ي ُِصيبَهُم‬ َ َ ‫ْض َما ٰٓ أ‬
َّ ‫نز َل‬ ِ ‫ع ًَۢن بَع‬

‫ون‬ ِ ‫اس لَ َٰ َف‬


َ ُ ‫سق‬ ً ِ‫ْض ذُنُوبِ ِه ْم َوإِ َّن َكث‬
ِ َّ‫يرا ِم َن ٱلن‬ ِ ‫بِبَع‬
Artinya:
5

“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut


apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan
Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maaidah: 49)

Adanya temuan suatu alat bukti awal yang diduga sebagai alat yang

dipakai melakukan suatu tindakan kejahatan tidak menjadikan terdakwa dapat

dikatakan telah bersalah sebelum adanya putusan oleh hakim. Sehingga hak

asasi manusia terdakwa tetap harus dihormati. Ketentuan ini sesuai dengan

asas praduga tak bersalah.

Di Indonesia proses acara pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang ditetapkan pada tanggal 31

Desember 1981. Dalam penetapan tersebut lahir suatu lembaga baru yaitu

lembaga praperadilan.

Praperadilan dibentuk sebagai upaya perlindungan hukum terhadap

tersangka dari tindakan sewenang-wenang oleh aparat penegak keadilan.

Dengan adanya lembaga ini diharapkan menjadi sebagai alat pengontrol bagi

aparat penegak hukum agar bertindak sesuai dengan ketentuan atau undang-

undang.

Dalam hal ini praperadilan merupakan wewenang yang diberikan oleh

undang-undang kepada Pengadilan Negeri yang terdapat pada Pasal 77

KUHAP yang menyatakan bahwa:


6

“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa, dan memutus, atau


ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: Sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau
penghetian penuntutan dan ganti kerugian atau rehabilitasi bagi
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
dan penuntutan.”

Adanya keputusan MK yang menambah norma baru dan memasukkan

penetapan status tersangka sebagai objek praperadilan mangakibatkan

perkembangan di dalam praktek peradilan, dimana Pengadilan Negeri juga

berhak mengadili permohonan praperadilan terhadap sah tidaknya status

penetapan tersangka. Berdasarkan latar belakakang masalah diatas penulis

mencoba mengangkat sebuah judul “Tinjauan Penemuan Hukum Oleh

Hakim dan Implikasinya Dalam Proses Pengadilan Negeri di Kota

Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana cara hakim melakukan penemuan hukum dalam proses

pengadilan negeri di kota Makassar?

2. Kendala apa yang dialami oleh hakim dalam melakukan penemuan

hukum di kota Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis cara hakim melakukan penemuan

hukum dalam proses pengadilan negeri di kota Makassar.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dialami oleh hakim

dalam melakukan penemuan hukum di kota Makassar.


7

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi suatu bahan bacaan untuk

menambah ilmu pengetahuan khususnya dalam hukum pidana yang

berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim dan implikasinya dalam

proses pengadilan negeri di kota Makassar.

2. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi suatu bahan tinjauan pustaka

bagi yang ingin menulis suatu karya ilmiah khususnya dalam hukum

pidana yang berkaitan dengan penemuan hukum oleh hakim dan

implikasinya dalam proses pengadilan negeri di kota Makassar.

3. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu bahan panduan

dalam penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam hukum pidana

yang berkaian dengan penemuan hukum oleh hakim dan implikasinya

dalam proses pengadilan negeri di kota Makassar.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penemuan Hukum

1. Pengertian Penemuan Hukum

Peraturan peraturan perundang-undangan seperti yang telah

dikemukakan di atas tidak lengkap dan tidak jelas. Oleh karena itu, harus

dilengkapi dan dijelaskan dengan jalan penemuan hukum. Sudikno

Mertukusumo1 secara sederhana penemuan hukum dapat dikatakan

menemukan hukumnya karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas.

Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum lazimnya adalah

proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang

ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peritiwa

hukum konkret. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum

adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das

sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret

(das sein) tertentu.2

Menurut Utrecht3, apabilah terjadi suatu peraturan perundang-

undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak

berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang

1
Sudikno Mertukusumo, 2014, Penemuan Hukum, Cetakan V, Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, Yogyakarta, Hlm. 34
2
Sudikno Mertukusumo, Op. Cit. Hlm. 49, dikutip dari Van Eikema Hommes, tanpa tahun:
25,32.
3
Achmad Rifai, 2014, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif,
Cetakan III, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 22, dikutip dari Utrecht, Loc. Cit

8
9

merupakan hukum ,sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat

membantunya. Tindakan ini disebut penemuan hukum.

2. Dasar Hukum Positif

Dalam Pasal 1 (1) Undang-undang nomor 48 tahun 2009 bahwa

kekuasaan kehakiman adalah kekuasan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.

Kebebasan kekuasaan kehakiman atau kebebasan peradilan atau

kebebasan hakim merupakan asas universal yang dianut berbagai bangsa

di dunia termasuk Indonesia. Yang dimaksudkan dengan kebebasan

peradilan atau hakim ialah bebas untuk mengadili dan bebas dari campur

tangan dari pihak ekstra yudisiil.4

Selanjutnya dalam Pasal 4 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 ditentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum dengan

tidak membedakan orang. Hal ini berarti hakim pada dasarnya harus tetap

ada di dalam sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum, sehingga

harus menemukan hukumnya.

Kemudian dalam Pasal 10 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 yang menetukan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan alasan bahwa hukumnya

4
Sudikno Mertukusumo, Op. Cit. Hlm. 60
10

tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya, yang artinya bahwa hakim wajib menemukan hukumnya.

Pada Pasal 5 (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, yang

berbunyi: Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,

mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam

masyarakat. Artinya bahwa hukumnya ada, tetapi harus digali, dicari dan

ditemukan, bukannya tidak ada kemudian diciptakan.

3. Sistem Penemuan Hukum

Kata sistem berarti suatu kesatuan atau kebulatan yang terdiri atas

bagian, dimana bagian yang satu dengan bagian lainnya saling berkaitan

satu sama lain, tidak boleh terjadi konflik, tidak boleh terjadi overlapping

(tumpang tindih). Sebagai suatu kebulatan, maka di dalamnya setiap

masalah selalu ada pemecahannya oleh sistem itu sendiri, sebab seperti

dikatakan tadi, sistem tidak menghendaki adanya konflik dalam

tubuhnya.5

Menurut Sudikno Mertukusumo6 sistem merupakan tatanan atau

kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang

saling berkaitan erat satu sama lain yaituh kaedah atau pernyataan

tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem

normatif. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-

unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu

kesatuan yang terorganisasi dan kerja sama ke arah tujuan kesatuan.

5
Marwan Mas, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hlm. 104
6
Sudikno Mertukusumo, OP. Cit, Hlm.23.
11

Adanya bebagai macam sistem hukum di belahan bumi menjadi

suatu hal yang wajar, mengingat bahwa dalam setiap masyarakat pasti

ada hukum yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Rene Devid dan

John E.C. Brierley menyebutkan terdapat tiga sistem hukum yang

dminan yakni sistem hukum Civil Law, Common Law, dan Socialist

Law.7

Dalam perkembangannya Sistem Socialist Law ini ternyata banyak

dipengaruhi oleh Sistem Civil Law dimana negara-negara sosialis banyak

menganut Sistem Civil Law. Sehubungan dengan hal tersebut maka

sistem hukum yang lebih dominan dipakai oleh negara-negara adalah

Sistem Civil Law dan Common Law.

Sistem hukum Common Law bersumber dari hukum Inggris yang

berkembang dari ketentuan atau hukum yang ditetapkan oleh Hakim

(Judge) dalam keputusan-keputusan yang telah diambilnya (Judge Made

Law). Umumnya di negara dengan Sistem Hukum Common Law terdapat

ketidakpastian hukum.

Untuk menghindari hal tersebut maka sejak abad ke- 19 dipegang

asas hukum yang bernama the rule of precedent yaitu keputusan-

keputusan hakim yang sudah ada harus dijadikan pegangan keputusan

hakim itu harus mengikuti keputusan hakim sebelumnya. The rule of

preceden sering juga disebut sebagai doktrin stare decisis yang berarti to

7
Siti Malikhtun Badriyah, 2016, Sistem Penemuan Hukum Dalam Masyarakat Prismatik, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 6, dikutip dari Imran, HTTP//kisltobing.blog.plasa.com, 21 November
2013.
12

stand by (previous) decisions (berpegang/berpatokan pada putusan

sebelumnya).8

Adapun Sistem Hukum Civil Law adalah Sistem Hukum Eropa

atau disebut juga Sistem Hukum Romawi Jerman. Sumber dari Sistem

Hukum Eropa atau Romawi Jerman adalah Hukum Romawi Kuno yang

dikembangkan di Benua Eropa (Eropa Kontinental) oleh negara-negara

seperti Perancis, Spanyol, Portugis dan lain-lain.

Berkembangnya Sistem Hukum Romawi Jerman adalah berkat

usaha dari Napoleon Bonaparte yang berusaha menyusun Code Civil atau

Code Napoleon dengan sumber berasal dari Hukum Romawi. Sistem

hukum ini pertama kali berkembang dalam hukum perdatanya atau

private law atau civil law yaitu hukum yang mengatur sesama anggota

masyarakat.

Perbedaan antara Civil Law (Eropa Kontinental) dengan Common

Law (Anglo Saxon) antara lain dapat dilihat dari segi perkembangannya

keduanya. Perkembangan sistem Civil Law diilhami oleh para ahli

hukum yang terdapat pada universitas-universitas yang menentukan atau

membuat peraturan hukum secara sistematis dan utuh. Hal tersebut

berbeda dengan dengan perkembangan sistem Common Law terletak

pada putusan-putusan hakim. Pada sistem Common Law hakim bukan

hanya menerapkan hukum tetapi hakim juga menetapkan hukum.

8
Ibid.
13

Satjipto Rahardjo9 mengemukakan bahwa Sistem Hukum Common

Law tidak dikembangkan melalui universitas atau melalui penulis

doktrinal, melainkan oleh praktisi dan prosedural. Keadaan ini

menjelaskan mengapa sistemnya tidak dimulai dari prinsip-prinsip

hukum, melainkan langsungn mengenai kaidah-kaidah untuk kasus-kasus

yang konkret.

Menurut Bagir Manan10 pengelompokan Sistem Hukum Civil Law

Eropa Kontinental dan Common Law (Anglo Saxon) lebih bercorak

historis dan akademik. Dalam kenyataannya akan dijumpai hal-hal

sebagai berikut:

1) Terdapat sistem-sistem hukum (suatu negara) yang sekaligus

mengandung ciri-ciri tradisi hukum kontinental dan tradisi anglo

saxon, atau gabungan tradisi hukum kontinentaldan tradisi hukum

sosialis, ataupun gabungan antara hukum anglo saxon dan tradisi

hukum sosialis.

2) Terdapat sistem-sistem hukum yang tidak dapat digolongkan ke dalam

salah satu dari tiga kelompok di atas. Misalnya negara-negara yang

mengidentifikasi diri dengan tradisi hukum menurut ajaran Islam (The

Moslem Legal Traditional).

Adapun jenis-jenis sistem penemuan hukum adalah sebagai

berikut:

9
Ibid, hlm. 7, dikutip dari Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Cetakan V, Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 245.
10
Zairin Harahap, 2017, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi revisi, Cetakan X,
Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 2, dikutip dari Bagir Manan, Op. Cit, Hlm. 5.
14

1) Penemuan Hukum Heteronom

Penemuan hukum di sini dianggap sebagai kejadian yang teknis

dan kognitif, yang mengutamakan undang-undang. Sedangkan hakim

tidak diberi kesempatan untuk berkreasi atau melakukan penilaian.

Dalam hal ini hakim tidak bersikap mandiri karena harus tunduk pada

undang-undang (Legisme/Typis Logistis).

Menurut Bambang Sutiyoso 11 penemuan hukum heterenom

adalah penemuan hukum yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar

penemuan hukum itu sendiri, khususnya pengaruh undang-undang,

termasuk juga pengaruh dari sistem pemerintahan ekonomi, politik,

dan sebagainya.

Penemuan hukum ini sesuai pandangan klasik, oleh Montesque

dan Emanuel Kant, bahwa hakim dalam menerapkan undang-undang

terhadap peristiwanya sesungguhnya tidak menjalankan peranannya

secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong

unang-undang tidak dapat menambah atau mengurangi undang-

undang.

2) Penemuan Hukum Otonom

Dalam penemuan hukum otonom, hakim tidak lagi dipandang

sebagai corong atau terompetnya undang-undang, tetapi sebagai

pembentuk hukum yang secara mandiri memberi bentuk pada isi

11
Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti
dan Berkeadilan, Cetakan IV, UUI Press Yogyakarta, Yogyakarta, Hlm. 60
15

undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan atau

perkembangan masyarakat.

Penemuan hukum ini bersumber dari hati nurani sendiri, hakim

tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Pandangan

penemuan hukum otonom muncul, karena aliran heterono dari

peradilan tidak dapat lagi dipertahankan. Tokoh-tokohnya antara lain

Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, Franscois Geny, Jerome Frank dan Paul

Scholten.

Dalam perkembangannya, dua sistem penemuan hukum

(otonom dan heteronom) itu saling mempengaruhi dan Sudikno 12

berpendapat bahwa tidak ada batas yang tajam antara penemuan

hukum heteronom dengan otonom. Kenyataannya, di dalam praktik

penemuan hukum mengandung kedua unsur tersebut.

B. Metode Penemuan Hukum

Menemukan hukum adalah suatu tugas dari penegak hukum dalam

menghadapi suatu peristiwa konkret yang sering terjadi di dalam kehidupan

masyarakat. Undang-undang yang mengatur kehidupan di dalam masyarakat

sering kali tidak sesuai dengan peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat,

karena hukum selalu tertinggal oleh perkembangan zaman.

Menurut Achmad Ali,13 bahwa sebenarnya yang menyelesaikan

persengketaan itu bukan aturan hukum yang terdapat pada undang-undang,

12
Achmad Ali, Op. Cit, Hlm. 161
13
Achmad Ali, Op. Cit, Hlm. 148
16

kebiasaan, traktat, yurisprudensi, doktrin ataupun hukum agama, melainkan

aturan hukum yang lahir dan penilaian hakim.

Menurut Sudikno Mertukusumo14 metode penemuan hukum dilihat dari

dua hal, yaitu dalam hal peraturan perundang-undangannya tidak jelas, maka

tersedia metode interpretasi atau penafsiran dan dalam hal peraturannya tidak

ada maka tersedia metode penalaran (redenering, reasoning, argumentasi).

Sebagian pakar menganggap tidak ada perbedaan asasi antara

interpretasi dan kontruksi. Tapi menurut Achmad Ali,15 interpretasi dan

konstruksi memiliki perbedaan sebagai berikut: Pada interpretasi, penafsiran

terhadap teks undang-undang masih tetap berpegang pada bunyi teks itu.

Pada kontruksi, hakim menggunakan penalaran logisnya untuk

mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak

lagi berpegang pada bunyi teks, tetapi dengan syarat hakim tidak

mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

1. Metode Interpretasi (Penafsiran)

Metode Interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhadap

teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-undangan

tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkrit tertentu. Ajaran

interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama dikenal, yang disebut

dengan hermeneutika yuridis.16

14
Siti Malikhatun Badriyah, Op. Cit. Hlm. 14, dikutip dari Sudikno Mertukusumo, 1996,
Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, Hlm. 55-56
15
Achmad Ali, Op. Cit, Hlm. 176
16
Bambang Sutiyoso, Op. Cit. Hlm. 106, dikutip dari Jazim Hamidi
17

Dalam ilmu hukum dan praktek peradilan, dikenal beberapa macam

metode interpretasi, yaitu:

1) Interpretasi Subsumptif

Dalam buku Bambang Sutiyono 17 metode subsumptif adalah

penerapan suatu teks perundang-undangan terhadap kassus in

concreto dengan belum memasuki taraf penggunaan penalaran dan

penafsiran yang lebih rumit tetapi sekedar menerapkan sillogisme 18.

2) Interpretasi Gramatikal

Interpretassi Gramatikal adalah menafsirkan kata-kata atau

istilah dalam perundang-undangan sesuai kaidah bahasa (hukum tata

bahasa) yang berlaku. Bagi A. Pitlo, interpretasi gramatikal berarti,

kita mencoba menangkap arti sesuatu teks/peraturan menurut bunyi

kata-katanya.19

3) Interpretasi Sistematis (Logis)

Interpretasi Sistematis adalah metode yang menafsirkan

peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan

peraturan hukum (undang-undang lain) atau dengan keseluruhan

hukum. Satu peraturan tidak dilihat sebagai peraturan yang berdiri

sendiri, tetapi sebagai bagian dari satu sistem.20

4) Interpretasi Historis

17
Bambang Sutiyono, Op. Cit, Hlm. 109
18
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia silogisme adalah cara berpikir atau menarik simpulan
yg terdiri atas premis umum, premis khusus dan simpulan.
19
Bambang Sutiyono, Op. Cit, Hlm. 109, dikutip dari Jazim Hamidi, Hlm. 53
20
Bambang Sutiyono, Op. Cit, Hlm. 111
18

Interpretasi Historis adalah penafsiran makna undang-undang

menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah

hukumnya maupun sejarah terjadinya Undang-Undang. Dengan

demikian ada dua macam interpretasi historis, yaitu: pertama,

interpretasi menurut sejarah pengaturannya atau sejarah undang-

undangnya (wets historisch). Kedua: interpretasi menurut sejarah

kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya (rechts historisch).21

5) Interpretasi Teleologis atau Sosiologis

Interpretasi ini menaafsirkan undang-undang sesuai dengan

tujuan pembentukan undang-undang. Lebih diperhatikan tujuan dari

undang-undang daripada kata-kata saja. Disini hakim mencari tujuan

peraturan perundang-undangan. Interpretassi teologis terjadi apabila

makna undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan

kemasyarakatan.22

6) Interpretasi Komparatif

Interpretasi Komparatif atau penafsiran dengan jalan

memperbandingkan adalah penjelasan berdasarkan perbandingan

hukum. Dengan memperbandingkan hendak dicari kejelasan

mengenai suatu ketentuan undang-undang. Terutama hukum yang

timbul dari perjanjian internasional itu penting karena dengan

pelaksanaan yang seragam direalisir kesatuan hukum yang melahirkan

21
Bambang Sutiyono, Op. Cit, Hlm. 112
22
Sudikno Mertukusumo, Op. Cit, Hlm. 79
19

perjanjian internasinal sebagai hukum objektif atau kaidah hukum

untuk beberapa negara.23

7) Interpretasi Antisipatif atau Futuristis

Pada penafsiran antisipatif maka dicari pemecahannya dalam

peraturan-peraturan yang belum mempunyai kekuatan berlaku, yaitu

dalam rancangan undang-undang.24 Hakim ketika hendak memutus

perkara harus berpikir futuris dengan mempertimbangkan hal lain di

luar undang-undang yang dipakai saat itu.

8) Interpretasi Restriktif

Interpretasi Restriktif digunakan untuk menjelaskan suatu

ketentuan undang-undang dimana ruang lingkup ketentuan itu dibatasi

dengan bertitik tolak pada artinya menurut bahasa. Dengan demikian

Interpretassi Restriktif adalah metode interpretasi yang sifatnya

membatasi.25

9) Interpretasi Ekstensif

Interpretasi Eksstensif adalah metode penafsiran yang membuat

interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi

interpretasi ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan

undang-undang dengan melampaui batas-batas yang diberikan oleh

interpretasi gramatikal.26

2. Metode Argumentasi (Penalaran)

23
Siti Malikhatun Badriyah, Op. Cit, Hlm. 19
24
Sudikno Mertukusumo, Op. Cit, Hlm. 80
25
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 116
26
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 117
20

Metode arugumentasi disebut juga metode penalaran hukum,

reedenering atau reasoning. Metode ini dipergunakan apabila undang-

undangnya tidak lengkap, maka untuk melengkapinya dipergunakan

metode argumentum. Menurut Kenneth J. Vanvendele27 menyebutkan

lima langkah penalaran hukum, yaitu:

1) Mengidentifikasi sumber hukum yang mungkin,biasanya berupa

peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan (identify the

applicable sources of law);

2) Menganalisis sumber hukum tersebut untuk menetapkan aturan

hukum yang mungkin dan kebijakan dalam aturan tersebut (analyze

the sources of law);

3) Mensintesiskan aturan hukum tersebut ke dalam struktur yang

koheren, yakni struktur yang mengelompokkan aturan-aturan khusus

di bawah aturan umum (synthesize the applicable rules of law into a

coherent structure);

4) Menelaah fakta-fakta yang tersedia (research the available facts);

5) Menerapkan struktur aturan tersebut kepada fakta-fakta untuk

memastikan hak atau kewajiban yang timbul dari fakta-fakta itu,

dengan menggunakan kebijakan yang terletak dalam aturan-aturan

hukum dalam hal memecahkan kasus-kasus sulit (apply the structure

of rules to the facts).

27
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 132
21

Sedangkan menurut Shidarta28 ada enam langkah utama dalam

penalaaran hukum, yaitu:

1) Mengidentifikasi fakta-fakta untuk menghasilkan suatu struktur (peta)

kasus yang sungguh-sungguh diyakini oleh hakim sebagai kasus yang

riil terjadi;

2) Menghubungkan (mensubsumsi) struktur kasus ter-sebut dengan

sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan

perbuatan hukum dalam peristilahan yuridis (legal term);

3) Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk

kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan

hukum itu (the policies underlying those rules), sehingga dihasilkan

suatu struktur (peta) aturan yang koheren;

4) Menghubungkan struktur aturan dengan struktur kasus;

5) Mencari alternatif-alternatif penyelesaian yang mungkin;

6) Menetapkan pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian

diformulasikan sebagai putusan akhir.

Proses penemuan hukum dengan menggunakan metode

argumentasi atau penalaran hukum dapat dilakukan dengan beberapa

cara, yaitu:

1) Argumentum per Analogiam (Analogi)

Adakalanya peraturan perundang-undangan terlalu sempit ruang

lingkupnya, sehingga untuk dapat menerapkan undang-undang pada

28
Bambang Sutiyoso, Loc. Cit. Hlm. 132-133
22

peristiwanya hakim akan memperluasnya dengan metode argumentum

per analogiam atau analogi. Dengan analogi peristiwa yang serupa,

sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam undang-undang

diperlakukan sama.29

Contohnya: pasal 1756 KUHPerd mengatur tentang mata uang

(geldspecie). Apakah uang kertas termasuk di dalamnya? Dengan

jalan analogi maka “mata uang” menurut pasal 1756 KUHPerd ayat 2

ditafsirkan termasuk uang kertas.

2) Argumentum a Contratio (a Contratio)

Metode a Contratio merupakan cara menjelaskan makna

undang-undang dengan didasarkan pada pengertian yang sebaliknya

dari peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur di

dalam unang-undang. Apabila suatu peristiwa yang diatur dalam

undang-undang, tetapi peristiwa lainnya yang mirip tidak, maka

berlaku hal yang sebaliknya.30

Duda yang hendak kawin lagi tidak tersedia peraturan yang

khusus. Peraturan yang tersedia bagi peristiwa yang tidak sama tetapi

mirip, ialah bagi janda yaitu pasal 39 PP no. 9 TAHUN 1975: bagi

janda yang ingin kawin lagi harus menunggu masa idah. Maka pasal

tersebut diberlakukan bagi duda secara a contratio, sehingga duda

kalau hendak kawin lagi tidak perlu menunggu.

3) Rechtsverfijning (Penyempitan Hukum)

29
Sudikno Mertukusumo, Op. Cit, Hlm. 86
30
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 137
23

Penyempitan hukum adalah terjemahan dari kata dalam bahasa

Belanda rechtsverfijning. Fijn berarti halus. Oleh karena itu, ada yang

menerjemahkannya dengan penghalusan hukum.31 Dalam tulisan ini

digunakan terjemahan penyempitan hukum dengan alasan sebagai

berikut.

Penyempitan hukum bukan merupakan argumentasi untuk

membenarkan rumusan peraturan perundang-undangan. Rumusan ini

terdiri dari rumusan pengecualian terhadap peraturan perundang-

undangan karena kalau tidak maka dirumuskan terlalu luas.

Sebagai contoh penyempitan hukum adalah pengertian

“perbuatan melawan hukum” yang tercantu dalam 1365 KUHPerd

cakupan maknanya luas dipersempit menjadi apa yang dijumpai dalam

yurisprudensi putusan HR 31 Januari 1919 dalam kasus Lindebaum vs

Coben yaitu perbuatan melawan hukum dipersempit menjadi

perbuatan melawan undang-undang dan kepatutan.

4) Metode Fiksi Hukum

Fiksi Hukum adalah sesuatu yang khayal yang digunakan di

dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kata, istilah-istilah yang berdiri

sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan

suatu pengertian hukum. Bentuk fiksi hukum ini banyak ditemui

dalam hukum adat yang memakai bentuk pepatah atau peribahasa.32

31
Sudikno Mertukusumo, Op. Cit, Hlm. 91
32
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 139
24

Sebagai contoh menurut ajaran legisme, satu-satunya sumber

hukum adalah undang-undang. Tetapi bagaimana agar hukum

kebiasaan dapat dipergunakan, maka kemudian difiksikan bahwa

berlakunya hukum kebiasaan itu atas dasar perintah dari undang-

undang.

3. Metode Eksposisi (Kontruksi Hukum)

Metode Eksposisi tidak lain adalah metode kontruksi hukum.

Metode eksposisi atau kontruksi hukum adalah metode untuk

menjelaskan kata-kata atau membentuk pengertian, bukan untuk

menjelaskan barang.33

Metode eksposisi dibagi dua, yaitu metode eksposisi verbal dan

yang tidak verbal. Metode eksposisi verbal dibagi lebih lanjut menjadi

verbal prinsipal dan verbal melengkapi. Sedangkan metode eksposisi

yang tidak verbal adalah metode representasi.

1) Metode Eksposisi Verbal Prinsipal

Metode eksposisi prinsipal dibagi menjadi dua, yaitu metode

individuasi dan metode parafrase dan definisi.

Metode individuasi adalah penjelasan nama-nama kesatuan

individual. Metode ini diterapkan pada kata-kata individual. Suatu

nama dijelaskan dengan individuasi, apabila diberi suatu indikasi

dengan membedakan nama yang bersangkutan dari nama lain yang

33
Sudikno Mertukusumo, Op. Cit, Hlm. 94, dikutip dari Bos, 1967, Hlm. 134
25

mungkin mengacaukan. Pada individuasi sering dipakai waktu atau

tempat.34

Sedangkan metode parafrase dan definisi diterapkan pada kata-

kata lain. Suatu kata dijelaskan dengan metode parafrase jika

digunakan dalam satu kalimat itu diganti dengan kalimat lain. Sebagai

contoh untuk menjelaskan kata “kepentingan”, maka dibentuklah

kalimat yang mengandung kata “kepeentingan” sebagai berikut:

“orang mempunyai kepentingan dalam perbuatan atau kejadian”.

Selanjutnya dibentuk kalimat lain yang ttidak mengandung kata

“kepentingan” yang maknanya sama, seperti: “perbuatan atau kejadian

itu menimbulkan untung rugi”. Kemudian kalimat tersebut diganti

dengan kalimat berikut: “mempunyai kepentingan dalam suatu

perbuatan atau kejadian, kalau perbuatan atau kejadian itu

mengakibatkan untung rugu”. 35

2) Metode Eksposisi Verbal Melengkapi

Metode Eksposisi Verbal Melengkapi terdiri dari 11 metode,

yaitu: sinonimasi, antitese, terjemahan, restriksi dan ampliasi, paraleli,

deskripsi, enumerasi, archetipasi, ilustrasi dan eksemplifikasi. 36 Yang

semuanya menerangkan mengenai metode penyampaian kalimat

dalam kaitannya dengan penemuan hukum.

3) Metode Representasi

34
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 145
35
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 146, dikutip dari Ibid
36
Bambang Sutiyoso, Loc. Cit, dikutip dari Ibid
26

Metode representasi hanya dapat diterapkan pada kata-kata yang

indikatif untuk sesuatu yang dapat diamati dengan pancaindera. Yang

dapat dilakukan representasi adalah, nama-nama barang (kursi, meja,

kucing), nama-nama sifat yang empiris (merah, kasar, panas),

penyebutan yang egocentris (aku, kamu, ini, sekarang), nama kejadian

(gempa bumi, banjir, longsor).

4. Metode Penemuan Hukum Islam

Sebelum membahas mengenai metode penemuan hukum Islam

alangkah baiknyaterlebih dahulu membahas mengenai sumber hukum

Islam yang berkaitan erat dengan masalah tersebut.

1) Sumber Hukum Islam

Sumber adalah asal sesuatu. Sumber Hukum Islam adalah asal

(tempat pengambilan) hukum Islam. Dalam kepustakan hukum islam

di Indonesia, sumber hukum islam kadang-kadang disebut dalil

hukum Islam atau asas hukum Islam atau dasar hukum Islam.37

Adapun sumber hukum Islam adalah:

a. Alquran

Alquran adalah kitab suci yang berisi wahyu Ilahi yang

menjadi pedoman hidup kepada manusia yang tidak ada keragu-

raguan di dalamnya. Selain itu, Alquran menjadi petunjuk yang

37
Zainuddin Ali, 2015, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan V,
Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 24
27

dapat menciptakan manusia menjadi bertakwa (predikat tertinggi di

hadapan Allah) kepada Allah swt.38

b. As-Sunnah

As-Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesuah

Alquran. Kedudukan As-Sunnah adalah menafsirkan Alquran dan

menjadi pedoman pelaksanaan yang autentik terhadap Alquran.

Sebagaimana kita ketahui, bahwa Alquran terdapat ayat-ayat yang

masih mujmal (umum), maka ayat-ayat seperti ini diperjelas

Rasulullah melalui sunnahnya.39

c. Ar-Ra’yu (Penalaran)

Ar-Ra’yu adalah penginterpretasian ayat Alquran dan Sunnah

Nabi Muhammad yang bersifat umum. Penginterpretasian asas-asas

hukum yang bersifat umum itulah, sehingga seseorang dan/atau

beberapa orang dapat mengeluarkan (mengistimbatkan) asas-asas

hukum yang terperinci.40

2) Metode-metode dalam Penemuan Hukum Islam

a. Metode Istimbath

Metode Istimbath adalah cara-cara menetapkan

(mengeluarkan) hukum Islam dari dalil nash, baik dari ayat-ayat

Alquran maupun dari As-Sunnah, yang lafadznya (perkataannya)

38
Ibid, Hlm. 25
39
Ibid, Hlm. 33
40
Ibid, Hlm. 37
28

sudah jelas/pasti (qoth/i). Jalan Istimbath ini memberikan kaidah-

kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.41

Sebagai contoh ketentuan Alquran mengenai larangan kawin

antara wanita muslimah dengan pria non muslim, para ulama tidak

berbeda pendapat dengan masalah ini. Karena isinya sudah jelas

dan tidak dapat ditafsirkan lain. Sebagai mana dalam QS. Al

Baqarah ayat 221:

‘dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik


dengan wanita-wanita yang mukmin sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang beriman lebih baik dari pada orang-
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu’.

b. Metode Ijtihad

Metode Ijtihad adalah cara menggali hukum Islam dari nash

(teks), baik dari ayat-ayat Alquran maupun dari As-Sunnah yang

memerlukan perenungan yang mendalam, mengingat lafadh

(perkataannya) bersifat dzonni (belum pasti). Karena sifatnya

belum pasti, sangat mungkin terjaddi pemahaman yang berbeda

diantara para ulama. Termasuk dalam metode Ijtihad adalah

sumber-sumber hukum tabaiyyah, yang antara lain meliputi ijma,

qiyas, istislah atau Al Masholih Al Mursalah, ihtisan, ihtishab, dan

al ‘urfu.42

41
Bambang Sutiyono, Op. Cit, Hlm. 153
42
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 154
29

Sebagai contoh, mengenai ketentuan seorang pria muslim

boleh kawin dengan wanita ahlul kitab. Sebagaimana dinyatakan

dalam QS. Al Maidah ayat 5 yang artinya:

“Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga


kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-
wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi
kitab suci sebelum kamu”

Ijma adalah kebulatan pendapat fuquha mujtahidin diantara

umat Islam pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah masa

Nabi Muhammad saw. 43

Qiyas secara etimologi44 adalah mengukur dan menyamakan.

Qiyas secara terminologi adalah menyamakan masalah baru yang

tidak terdapat ketentuan hukumnya di dalam Alquran atau Sunnah

Nabi Muhammad berdasarkan atas adanya illat45 hukum.

Istislah atau Al Masholih Al Mursalah adalah pertimbangan

kepentingan masyarakat. Menetukan hukum atas dasar Istislah

tertuju kepada hal-hal yang tidak diatur ketentuannya dalam

Alquran dan Sunnah Rasul.46

Istihsan secara etimologi adalah memandang sesuatu yang

baik. Menurut istilah Istihsan berarti memandang lebih baik

meninggalkan ketentuan dalil yang bersifat khusus untuk

43
Zainuddin Ali, Op. Cit, Hlm. 39, dikutip dari Abdul Wahhab Khallaf, 1996, Hlm. 64
44
Zainuddin Ali, Op. Cit, Hlm. 40, dikutip dari Abdul Wahhab Khallaf, 1996, Hlm. 76
45
Menurut Abdul Wahhab Khallaf Illat adalah persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari
oleh adanya unsur-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapanhukumnya dengan yang belum
ada ketetapan hukumnya.
46
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 155
30

mengamalkan ketentuan dalil yang bersifat umum yang dipandang

lebih kuat.47

Istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan

sebelumnya sehingga terdapat suatu dalil yang menunjukkan

perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan

pada masa lampau secara kekal menurut keadaan sehingga terdapat

dalil yang menunjukkan atas perubahannya.48

Al ‘Urfu adalah sesuatu yang dikenal oleh orang banyak dan

dikerjakan, baik berupa perkataan, perbuatan maupun

keengganan.49 Sementara ulama ada yang menyamakan dengan

adat kebiasaan, karena ia merupakan sesuatu hal yang biasa

dikerjakan atau diucapkan oleh mereka.

C. Hakim

1. Pengertian Hakim

Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Istilah "hakim"

sendiri berasal dari kata Arab hakima yang berarti "aturan, peraturan,

kekuasaan, pemerintah". Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang

dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran

akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan

baju berwarna hitam. Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara.50

47
Zainuddin Ali, Op. Cit, Hlm. 42, dikutip dari Abdul Wahhab Khallaf, 1996, Hlm.120
48
Zainuddin Ali, Op. Cit, Hlm. 42, dikutip dari Abdul Wahhab Khallaf, 1996, Hlm. 64
49
Bambang Sutiyoso, Op. Cit, Hlm. 156
50
Wikipedia, 31 Januari 2020, dikutip dari what does a judge do?
31

Hakim merupakan pilar utama dan tempat terakhir bagi pencari

keadilan dalam proses peradilan. Sebagai salah satu elemen kekuasaan

kehakiman yang menerima, memeriksa, dan memutus perkara, hakim

dituntut untuk memberikan keadilan kepada para pencari keadilan.51

Secara normatif menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang dimaksud dengan

hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang

berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Sedangkan menurut Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana Hakim adalah pejabat peradilan

negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili.52

2. Kedudukan, Fungsi dan Tugas Hakim

Kedudukan hakim adalah sebagai pejabat yang melakukan

kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.53 Kekuasaan

kehakiman dalam praktik diselenggarakan oleh badan-badan peradilan

negara. Tugas pokok badan peradilan adalah menerima, memeriksa,

mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara-perkara yang

diajukan oleh masyarakat pencari keadilan.

51
Wildan Suyuthi Mustofa, 2013, Kode Etik Hakim, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta,
Hlm. 55, dikutip dari Mujahid A. Latief, et. Al., Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu
Rekomendasi (jilid II), (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI, 2007), Hlm. 283.
52
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana oleh tim redaksi.
53
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
32

Di Indonesia, ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara

konstitusional diatur dalam Bab IX, pasal 24, 24A, 24B, 24C, dan 25

UUD 1945 hasil amandemen MPR beserta penjelasannya. Hasil

amandemen tersebut telah mengubah struktur kekuasaan kehakiman,

karena disamping Mahkamah Agung juga muncul lembaga kekuasaan

kehakiman yang baru, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Penegakan supremasi hukum yang menjadi salah satu amanat

reformasi hingga saat ini dalam proses sebagaimana yang diharapkan

oleh semua pihak. Hal ini terjadi mengingat dalam kurun waktu tiga

puluh tahun terakhir akibat sistem kekuasaan yang represif telah

mengakibatkan wajah hukum dan praktik peradilan di Indonesia menjadi

tidak sehat.54

Para pencari keadilan (justiciabellen) tentu sangat mendambakan

perkara-perkara yang diajukan ke pengadilan dapat diputus oleh hakim-

hakim yang profesional, dan memiliki integritas moral yang tinggi

sehingga dapat melahirkan putusan-putusan yang tidak saja mengandung

legal justice, tetapi juga berdimensikan moral justice dan social justice.

Mochtar kusumaatmadja55 mengemukakan bahwa hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat,

eksekutif maupun legislatif. Dengan kebebasan yang demikian itu,

54
Wildan Suyuthi Mustofa, Op. Cit, Hlm. 96, dikutip dari Wildan Suyuthi Mustofa, 2004, Kode
Etik, Etika Profesi dan Tanggung Jawab Hakim, Mahkamah Agung RI, Jakarta. Hlm. III,
Wildan Suyuthi Mustofa, 2004, Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Mahkamah
Agung RI, Jakarta, Hlm. III
55
Wildan Suyuti Mustofa, Op. Cit, Hlm. 98, dikutip dari Muchtar Kusumaatmadja,1986, Fungsi
dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Lembaga Penelitiann
Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Hlm. 319-320.
33

diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan hukum yang

berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta

memberikan manfaat bagi masyarakat.

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, hakim harus

memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana telah

diatur dalam perundang-undangan. Hakikatnya tugas pokok hakim

adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. 56Beberapa tugas

dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif

telah diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009.

D. Badan Peradilan

Peradilan adalah fungsi mengadili atau proses yang ditempuh dalam

mencari dan menemukan keadilan, sedangkan istilah pengadilan konotasinya

adalah instansi resmi yang merupakan salah satu pelaksana fungsi mengadili

tadi, yang dilengkapi oleh aparat resmi yang berprofesi hakim.57

Peradilan di Indonesia meliputi:

1. Peradilan Umum;

2. Peradilan Agama;

3. Peradilan Militer; dan

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Adapun khusus untuk peradilan umum dikenal adanya dua jenis hukum

acara yang berlaku, yaitu:

56
Wildan Suyuthi Mustofa, Op. Cit, Hlm. 105
57
Achmad Ali, 2017, Menguak Tabir Hukum, Cetakan II, Kencana, Jakarta,, Hlm. 332
34

1. Hukum Acara Perdata; dan

2. Hukum Acara Pidana.

Diantara keduanya, terdapat prinsip-prinsip tertentu yang berbeda.

Fungsi mengadili atau peradilan di Indonesia dewasa ini dilaksanakan bukan

hanya oleh pengadilan semata dengan perantaraan para hakim, melainkan

oleh badan-badan peradilan lain yang non-pengadilan.

Kemudian, badan-badan peradilan non-pengadilan, antara lain P4D

(Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) dan P4P (Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat), dimana keduannya khusus

menangani sengketa pemutusan hubungan kerja di tingkat pertama, (P4D)

dan tingkat banding (P4D).

Badan-badan peradilan non-pengadilan itu lazim disebut sui generis,

yakni badan peradilan yang hakimnya bukan hakim dari Departemen

Kehakiman, tetapi pejabat lain yang ditunjuk khusus. Puncak peradilan di

Indonesia adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai lembaga

kasasi bagi semua proses peradilan yang ada di Indonesia.

Di Indonesia kekuasaan lembaga peradilan dilaksanakan secara

independen. Kekuasaan lembaga peradilan yang independen dimaksudkan

untuk tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga di luar peradilan,

terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif, terhadap pelaksanaan fungsi

peradilan. Namun demikian, koridor hukum berupa pengaturan undang-


35

undang bagi pelaksanaan fungsi peradilan perlu dilakukan agar dapat dicegah

pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang tidak terbatas.58

Peradilan yang tidak independen sangat berbahaya, karena proses

peradilan secara mudah akan dimanipulasi untuk mencegah lembaga

peradilan mempertanyakan legalitas tindakan-tindakan illegal atau tidak

semena-mena oleh para pelaksana kekuasaan negara.59Apabila ada kekuasaan

lembaga peradilan yang independen, maka diyakini lembaga peradilan akan

menjadi suatu mekanisme yang sangat kuat untuk mempertahankan konstitusi

dan keadilan.60

E. Pelaksana Badan Peradilan

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.61

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian di

dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak

kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau

rekmendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal

yang diizinkan oleh undang-undang.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial tidaklah mutlak

sifatnya. Karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan

58
Satjipto Rahardjo, 2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, Hlm.52
59
Ibid, Hlm. 53, dikutip dari Ibid
60
Ibid, Hlm. 53, dikutip dari Ibid
61
C.S.T. Kansil, 2000, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cetakan III, Rineka Cipta,
Jakarta, Hlm. 191
36

berdasarkan Panccasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-

dasar asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang

dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan keadilan

bangsa dan rakyat Indonesia.

Pelaksana kekuasan kehakiman tercantum dalam UU no. 48 tahun 2009

pasal 18 kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar

Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal yang tersebut dalam

Undang-Undang Dasar.

F. Pengadilan

1. Pengertian Pengadilan

Pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh negara

untuk mengurus dan mengadili perselisihan-perselisihan hukum.62

Pengadilan di Indonesia dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu:

1) Pengadilan Umum, mencakup pengadilan-pengadilan negeri dam

pengadilan-pengadilan tinggi; dan

62
Malahayati dalam blognya -mycreature.blogspot.com, 2010, Pengadilan dan Peradilan,
Makassar, dikutip dari Ensiklopedia Indonesia, Jilid V
37

2) Pengadilan Khusus, antara lain Pengadilan Militer, Pengadilan Tata

Usaha Negara/Pengadilan Administrasi Negara, dan Pengadilan

Agama.

2. Kekuasaan Pengadilan

Pengadilan memiliki cakupan dan batasan pemberian kekuasaan

untuk mengadili, yang ditentukan oleh bidang yurisdiksi yang

dilimpahkan undang-undang kepadanya.

1) Kompetensi Relatif

Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu

peradilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat

banding. Artinya cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan

ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

2) Kompetensi Absolut

Kekuasaan mutlak pengadilan berkenaan dengan jenis perkara

dan sengketa kekuasaan pengadilan.

3. Tugas dan wewenang

Tugas pokok pengadilan adalah menerima, memeriksa dan

mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di Indonesia dinamai judex

factie karena umumnya mempunyai kewenangan untuk memeriksa.

Sedangkan, Mahkamah Agung bukan jude factie karena hanya

berwenang memeriksa segi penerapan hukum dari perkara yang


38

diperiksa. Inilah sebabnya pengadilan negeri disebut peradilan tingkat

pertama, pengadilan tinggi disebut peradilan tingkat kedua, tetapi

Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan peradilan tingkat

kasasi.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif-empiris, yaitu penelitian hukum yang

mempergunakan sumber data primer yaitu data yang langsung didapat dari

lapangan atau fakta-fakta yang ada di dalam masyarakat, badan hukum atau

badan pemerintah dan dari data sekunder baik data sekunder dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Pengadilan Negeri Makassar.

Pertimbangan penulis memilih lokasi penelitian tersebut berhubungan dengan

proses pengumpulan data penelitian sebagai salah satu unsur penting dalam

suatu penelitian. Di samping itu, pada lokasi penelitian tersebut tersedia

cukup data yang relevan dengan masalah yang diteliti dalam penulisan skripsi

ini.

C. Jenis dan Sumber Data

Adapun penulis mengambil sumber data dari penelitian ini adalah dari

data primer dan sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung

dari hasil penelitian di lapangan, yaitu dilakukan dengan cara mewawancarai

langsung hakim untuk memperoleh informasi guna melengkapi data

sedangkan data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan

39
40

hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Mengenai data sekunder dapat

berbentuk data sekunder umum berupa:

1. Data sekunder yang bersifat pribadi;

2. Data sekunder yang bersifat umum.

Data sekunder di bidang hukum yang terdiri dari:

1. Bahan-bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat;

2. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer dan dapat menganalisis dan memahami

bahan hukum primer;

3. Bahan-bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam usaha mengumpulkan data penulis menggunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut :

1. Studi Pustaka

Pada Data Sekunder, penulis berusaha mendapatkan dan membaca

dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk mencari

konsep-konsep, teori-teori, pendapat ataupun penemuan-penemuan yang

berhubungan dengan pokok permasalahan.

1) Data sekunder yang bersifat pribadi:

a. Dokumen-dokumen pribadi;

b. Data pribadi yang tersimpan di lembaga-lembaga di tempat yang

bersangkutan (pernah) bekerja.


41

2) Data sekunder yang bersifat publik:

a. Data arsip;

b. Data resmi pada instansi pemerintah;

c. Data yang dipublikasikan (misalnya: yurisprudensi Mahkamah

Agung)

3) Bahan hukum primer:

a. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Peraturan perndang-undangan;

c. Hukum adat;

d. Yurisprudensi;

e. Traktat

4) Bahan hukum sekunder:

a. Rancangan peraturan perrundang-undangan;

b. Karya ilmiah;

c. Hasil penelitian

5) Bahan hukum tersier:

a. Kamus (hukum)

b. Ensiklopedia

2. Studi Lapangan.

Studi lapangan adalah cara untuk mendapatkan data yang bersifat

primer. Dalam hal ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data

dengan cara wawancara, yakni mendatangi langsung sumber yang terkait


42

dan mewawancarainya, dalam hal ini Hakim yang ada di Pengadilan

Negeri Makassar.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian dianalisis secara

kualitatif kemudian disajikan secara deskripktif, yaitu dengan menguraikan,

menjelaskan dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat

kaitannya dengan penelitian ini.

Penggunaan teknik analisis kualitatif mencakup semua data penelitian

yang telah diperoleh dari wawancara, sehingga membentuk deskripsi yang

mendukung kualifikasi kajian ini.

Teknik analisis data yang digunakan melalui pendekatan kualitatif,

menajawab dan memecahkan serta pendalaman secara menyeluruh dan utuh

dari objek yang diteliti guna menghasilkan kesimpulan yang bersifat

deskriptif sesuai dengan kondisi tertentu.


BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar kelas IA

Khusus. Beralamat di Jl. R.A. Kartini No. 18/23, Makassar, Provinsi

Sulawesi Selatan, Kode Pos 90111. Gedung yang dimiliki Pengadilan Negeri

Makassar terdiri dari gedung lama dan gedung baru yang mempunyai empat

lantai. Di Pengadilan Negeri Makassar terdiri dari satu ketua/hakim dan wakil

ketua/hakim serta 16 hakim.

Visi misi dari Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA Khusus adalah

sebagai berikut:

1. Visi

“Terwujudnya Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA Khusus yang

Agung”

2. Misi

1) Menjaga kemandirian Pengadilan Negeri Makassar Kelas IA Khusus

2) Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari

keadilan

3) Meningkatkan kualitas kepemimpinan di Pengadilan Negeri

Makassar Kelas IA Khusus

4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Pengadilan Negeri

Makassar Kelas IA Khusus

43
44

B. Hasil Penelitian

Wawancara dilakukan terhadap narasumber yaitu hakim Pengadilan

Negeri Makassar Kelas IA Khusus. Narasumber yang berhasil diwawancarai

adalah Bapak Dr. Zulkifli, S.H., M.H., Bapak Muhammad Yusuf Karim,

S.H., M.Hum. dan Bapak Burhanuddin, S.H., M.H.

Wawancara dengan narasumber Bapak Dr. Zulkifli, S.H., M.H.

dilaksanakan pada tanggal 05 Juni 2020; wawancara dengan narasumber

Bapak Muhammad Yusuf Karim, S.H., M.Hum. dilaksanakan pada tanggal

30 Juni 2020; dan wawancara dengan narasumber Bapak Burhanuddin, S.H.,

M.H. dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2020.

Semua data hasil penelitian diuraikan berdasarkan fokus pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Cara Hakim Melakukan Penemuan Hukum di dalam Proses Pengadilan

Negeri di Kota Makassar

Peneliti menggunakan teknik wawancara untuk memperoleh data

apakah hakim pernah menangani kasus dimana hakim melakukan

penemuan hukum dalam kasus tersebut. Narasumber Bapak Muhammad

Yusuf Karim, S.H., M.Hum. mengatakan bahwa:

“saya mengawali karir sebagai hakim pada tahun 2002 dan belum
pernah menangani kasus dimana saya harus melakukan penemuan
hukum karena selama ini kasus yang saya tangani aturan hukumnya
selalu jelas”
45

Sejalan dengan pengakuan Bapak Muhammad Yusuf Karim, S.H.,

M.Hum. narasumber Bapak Burhanuddin, S.H., M.H. juga mengatakan

bahwa beliau belum pernah melakukan penemuan hukum:

“sampai detik ini saya belum pernah melakukan penemuan hukum


karena selama ini semua yang didakwakan oleh jaksa penuntut
umum memang sudah ada ketentuannya di dalam Undang-Undang
dan memang jaksa penuntut umum dalam melakukan penerapan
pasal dari berita acara pemeriksaan yang diserahkan oleh penyidik
itu sudah ada Undang-Undangnya”
Berbeda dengan kedua narasumber diatas Bapak Dr. Zulkifli, S.H.,

M.H. mengungkapakan hal yang berbeda dimana beliau pernah

melakukan penemuan hukum, beliau mengatakan:

“saya pernah menangani kasus perzinahan, perzinahan dalam Pasal


284 KUHP menyatakan bahwa salah satunya harus terikat
perkawinan, dalam kasus yang saya tangani keduanya belum terikat
perkawinan tetapi saya putuskan sebagai zina dengan alasan
perbuatannya tidak sesuai dengan kesadaran hukum dalam
masyarakat”
Kemudian lebih lanjut mengenai metode penemuan hukum yang

diterapkan oleh Bapak Dr. Zulkifli, S.H., M.H., beliau mengatakan:

“ini merupakan suatu penemuan hukum dimana saya melakukan


analogi dimana saya menyimpulkan bahwa Pasal 284 dapat
diterapkan terhadap peristiwa tersebut karena adanya kemiripan
yaitu perbuatan yang melanggar kesusilaan”
Bapak Dr. Zulkifli, S.H., M.H. mengatakan bahwa hakim tidak

boleh menolak perkara yang diajukan dengan alasan hukumnya tidak

ada:

“ketika hakim dihadapkan pada suatu permasalahan atau konflik


dimana hukumnya tidak ada atau tidak jelas diatur di dalam UU
maka hakim harus melakukan penemuan hukum, berdasarkan UU
46

No. 48 Tahun 2009 Pasal 10 ayat 1 dimana Pengadilan dilarang


menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Dan
berdasarkan asas ius curia novit (Hakim dianggap mengetahui
semua hukum). Dimana ini bertujuan untuk keadilan dan
kemanfaatan, karena jika menemukan hukum tetapi tidak
bermanfaat untuk apa dilakukan.”

Berdasarkan hasil wawancara di atas bahwa hakim di Pengadilan

Negeri Makassar selama menjadi hakim ada yang pernah melakukan

penemuan hukum dan ada yang belum pernah melakukan penemuan

hukum. Kemudian adapun metode penemuan hukum yang dilakukan oleh

Bapak Dr. Zulkifli, S.H., M.H. adalah metode kontruksi hukum yaitu

Metode Argumentum Per Anaolgiam (Analogi)

2. Kendala-Kendala Yang Dialami Oleh Hakim di dalam Proses Pengadilan

Negeri di Kota Makassar

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 5 juni 2020 dengan

Hakim Dr. Zulkifli, S.H., M.H. Hakim pada Pengadilan Negeri Makassar

mengatakan bahwa:

“yang menjadi kedala hakim dalam melakukan penemuan hukum


adalah ada pada masyarakat, karena terkadang ketika hakim
memberikan putusan melalui cara interpretasi atau kontruksi,
masyarakat tidak dapat menerima hasil putusan karena merasa
tidak adil atau tidak sesuai dengan keinginannya, sehingga ketika
kita melakukan penemuan hukum harus melakukan kajian yang
benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat dan tidak ada gunanya kita menemukan hukum jika
masyarakat tidak dapat menerima”

Berdasarkan hasil wawancara hakim tersebut penulis berpendapat

bahwa kendala-kendala yang dialami hakim dalam melakukan penemuan


47

hukum tidak hanya berasal dari faktor internal hakim atau penegak

hukum melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu

masyarakat, karena putusan hakim akan langsung diterapkan kepada

masyarakat.

C. Pembahasan

1. Cara Hakim Melakukan Penemuan Hukum di dalam Proses Pengadilan

Negeri di Kota Makassar

Berdasarkan hasil penelitian di atas dengan cara wawancara

diperoleh gambaran umum bahwa cara hakim melakukan penemuan

hukum di dalam proses pengadilan negeri di kota makassar atau metode

penemuan hukum yang diterapkan dalam hal ini kasus perzinahan yang

di putus oleh Hakim Dr. Zulkifli, S.H., M.H. adalah metode kontruksi

hukum yaitu metode Argumentum Per Analogiam (Analogi).

Metode Analogi berarti memperluas peraturan perundang-

undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya, kemudian diterapkan

terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur

dalam Undang-Undang. Dengan metode analogi, maka peristiwa serupa,

sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam Undang-Undang

diperlakukan sama.

Jadi analogi merupakan metode penemuan hukum dimana hakim

mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum atau

perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh Undang-Undang maupun

yang belum ada peraturan perundang-undangnya.


48

Di Indonesia penerapan analogi dalam kasus pidana nampaknya

belum diterima, walaupun Hakim Bismar Siregar pernah melakukan

terobosan penggunaanya dalam kasus perkosaan bahwa kemaluan wanita

dianalogikan sebagai “barang”. Tetapi dalam putusan Kasasi Mahkamah

Agung, putusan Bismar Siregar dibatalkan.

Metode analogi tidak dibenarkan dalam hukum pidana, karena

dianggap bertentengan dengan asas legalitas (principle of legality) dalam

KUHP. Asas legalitas menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang

dilarang dan ciancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih

daahulu dalam perundang-undangan.

Perdebatan antar ahli pidana mencuat sehubungan dengan larangan

menggunakan analogi sebagaimana disebut dalam Pasal 1 ayat (2) RUU

KUHP: “Dalam meneteapkan adanya tindak pidana, dilarang

menggunakan analogi”. Namun larangan tersebut dapat dipatahkan

dengan masuknya Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP:

“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi


berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menetukan
bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan”.

Anggota Tim Perancang KUHP Tahun 2004, Chairul Huda

berpendapat Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP bukan merupakan

penyimpangan dari asas legalitas yang dianut ayat (1), melainkan

bersumber dari pikiran-pikiran atau ajaran tentang living law. Menurut


49

Huda, diangkatnya tindak pidana adat dalam RUU KUHP merupakan

hasil pemikiran panjang para perancang pendahulu.

Jika diteliti lebih dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh Dr.

Zulkifli juga dapat dikategorikan sebagai metode interpretasi yaitu

metode interpretasi historis. Interpretasi historis merupakan penafsiran

makna Undang-Undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti

sejarah, baik sejarah hukumnya maupun sejarah Undang-Undangnya.

Penafsiran dapat diperluas dengan meneliti latar belakang sejarah

hukumnya, yaitu asal-usul dan sistem hukumnya. Sistem hukum yang

berlaku sekarang di Indonesia adalah menurut sistem hukum barat,

diantar pasal-pasalnya banyak yang tidak sesuai dengan kepribadian

Indonesia yang berpandangan hidup Pancasila.

Kasus yang ditangani Dr. Zulkifli merupakan kejahatan terhadap

kesusilaan, yaitu zina yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Di dalam

pasal tersebut yang dikatakan zina adalah perbuatan yang dilakukan oleh

orang yang sudah kawin dengan orang yang sudah kawin atau dengan

orang yang belum kawin.

Jadi perbuatan zina yang dilakukan oleh bujang dan gadis yang

belum kawin bukan perbuatan zina menurut KUHP. Jadi ketentuan

tersebut tidak sesuai dengan kesadaran hukum di Indonesia, sehingga

putusan hakim Dr. Zulkifli juga merupakan suatu penemuan hukum

interpretasi yaitu interpretasi historis dengan alasan perbuatan tersebut

tidak sesuai dengan kepribadian hukum di Indonesia


50

2. Kendala-Kendala Yang Dialami Oleh Hakim di dalam Proses Pengadilan

Negeri di Kota Makassar

Berdasarkan hasil wawancara hakim di atas penulis berpendapat

bahwa kendala-kendala yang dialami hakim dalam melakukan penemuan

hukum tidak hanya berasal dari faktor internal hakim atau penegak

hukum melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu

masyarakat, karena putusan hakim akan langsung diterapkan kepada

masyarakat.

Sehingga dikaitkan dengan faktor pendidikan dan faktor keilmuan

bukan hanya hakim atau penegak hukum saja yang harus dibekali dengan

ilmu yang tinggi, tetapi masyarakat harus juga diberikan pendidikan atau

pembelajaran mengenai hukum itu sendiri dengan cara memberikan

penyuluhan hukum kepada masyarakat.

Hal penting dalam melakukan penemuan hukum adalah bagaimana

mengkualifikasi hukumnya terhadap peristiwa konkrit tertentu. Tidak

selalu mudah menemukan hukumnya, karena dalam praktek dapat saja

dijumpai aturan hukum tertulisnya ada, tetapi tidak jelas, tidak lengkap

atau bahkan aturan hukum tertulisnya tidak ada sama sekali. Pada

hakekatnya tidak ada perundang-undangan yang sempurna, pasti di

dalamnyamada kekurangan dan keterbatasannya.

Aturan perundang-undangan bersifat statis dan rigid (kaku),

sedangkan perkembangan kegiatan manusia selalu meningkat dari waktu

ke waktu, baik jenis maupun jumlahnya. Sehingga muncul suatu


51

ungkapan “Het recht hink achter de feiten ann” yaitu bahwa hukum

tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.

Suatu peraturan perundang-undangan yang tidak jelas harus

dijelaskan terlebih dahulu, sedangkan peraturan perundang-undangan

yang tidak lengkap harus harus dilengkapi terlebih dahulu agar nantinya

dapat diterapkan dalam peristiwanya. Apabila aturan perundang-

undangannya tidak jelas digunakan metode interpretasi, apabila

perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode

argumentasi dan apabila peraturan perundang-unangannya tidak ada

digunakan metode kontruksi hukum (eksposisi).

Dalam upaya penegakan hukum dengan cara penemuan hukum ini

sering kali ada kendala yang dialami hakim atau penegak hukum lainnya,

kendala-kendala tersebut dapat dipengaruhi beberapa faktor yaitu:

1. Faktor Pendidikan

Mengingat beratnya tanggung jawab, hakim haruslah terseleksi

dari pendidikan yang berkualitas, berbudi pekerti luhur, mempunyai

dedikasi yang tinggi. Sebagai penegak hukum dan keadilan, hakim

harus dapat berdiri tegak dan mandiri dalam memberikan keadilan.

Keadilan yang diberikan adalah demi keadilan berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa, yang hanya dapat dilakukan oleh

mereka yang terpilih dan terpanggil, yakni mereka yang benar-benar

mempunyai panggilan jiwa dan hati nurani.


52

Pendidikan dan pelatihan (diklat) merupakan bagian integral

dari sistem pembinaan karir bagi hakim. Pendidikan dan pelatihan

hakim yang diselenggarakan dalam bentuk klassikal mampu

menghasilkan lulusan hakim yang memiliki kualitas tinggi. Tingkat

pendidikan tinggi memanglah bukan jaminan putusan hakim yang

berkeadilan dan berkualitas, tetapi paling tidak dengan pendidikan

yang tinggi, maka menjadi bekal pengetahuan dalam melakukan

penemuan hukum.

2. Penguasaan Terhadap Ilmu Hukum

Idealnya seorang hakim harus menguasai perkembangan ilmu

hukum. Penguasaan terhadap ilmu hukum merupakan hal yang tidak

dapat diabaikan oleh hakim dalam menjalankan tugasnya

memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan suatu permasalahan

hukum, lebih khususnya dalam melakukan penemuan hukum.

Ada perbedaan mendasar antara istilah pengetahuan hukum

dan ilmu hukum. Untuk memperoleh pengetahuan hukum, seseorang

tidak perlu mengikuti kuliah di fakultas hukum. Seseorang dapat

mengetahui suatu peraturan dengan membaca beberapa buku yang

ada, jadi hanya memenuhi kebutuhan tertentu saja dari bidang

hukum.

Untuk memperoleh ilmu hukum perlu menempuh kuliah di

fakultas hukum. Tujuan dari ilmu tidak sekedar untuk tahu saja,

tetapi pada dasarnya adalah pemecahan masalah (problem solving)


53

yang sangat berkaitan dengan masalah penemuan hukum. Untuk

melakukan pemecahan masalah hukum perlu mempelajari hukum

secara komprehensif, tidak hanya satu bidang hukum tertentu saja.

Ilmu hukum merupakan suatu sistem, yang unsur-unsurnya berkaitan

satu sama lain.

Disamping itu, dalam memecahkan masalah hukum juga

diperlukan kemampuan untuk dapat berpikir secara yuridis (het

juridisch denken), yaitu mempunyai kemampuan untuk memecahkan

masalah-masalah hukum (the power of soling legal problem). Dalam

hal ini ada tiga keterampilan yang harus dikuasai, yaitu:

1) Legal Problem Identification, yaitu kemampuan untuk

merumuskan atau mengidentifikasi masalah-masalah hukum.

2) Legal Problem Solving, yaitu kemampuan untuk memecahkan

masalah-masalah hukum.

3) Decision Making, yaitu kemampuan untuk mengambil

keputusan.

Keterampilan-keterampilan tersebut sangat diperlukan dalam

menghadapi dan mengantisipasi berbagai problematika hukum

dalam masyarakat untuk selanjutnya berupaya untuk memberikan

solusinya. Demikian pula bagi pelaku atau subyek penemuan hukum

juga perlu menguasai keterampilan tersebut agar dalam menerapkan

aturan hukumnya dapat dilakukan secara tepat terhadap peristiwa

konkrit yang dihadapinya.


54

3. Moral Hakim

Hakim harus mempunyai kemampuan profesional serta moral

dan integritas yang tinggi agar mampu mencerminkan rasa keadialn,

memberikan manfaat dan kepastian hukum. Selain itu hakim harus

mempunyai kemampuan untuk berkomunikasi serta menjalankan

peranan dan statusnya yang dapat diterima oleh masyarakat.

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, harus

mempunyai sikap ilmiah, yaitu antara lain jujur, berani menari dan

mempertahankan kebenaran serta berani mengakui kesalahan dan

memperbaikinya, terbuka untuk pendapat atau kritik orang lain dan

tidak merasa dirinyalah yang selalu benar, obyektif tidak memihak,

tidak bersikap emosional dan a priori terhadap pendapat orang lain,

kritis dan kreatif.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan hasil penelitian di atas dengan cara wawancara diperoleh

sebuah kesimpulan bahwa cara hakim melakukan penemuan hukum di

dalam proses pengadilan negeri di kota makassar atau metode penemuan

hukum yang diterapkan dalam hal ini kasus perzinahan yang ditangani

oleh Hakim Dr. Zulkifli, S.H., M.H. adalah metode kontruksi hukum

yaitu metode Argumentum Per Analogiam (Analogi). Kemudian pemuan

hukum tersebut dapat juga dikategorikan sebagai interpretasi historis

karena jika ditelusuri sejarah hukumnya ketentuan Pasal 284 KUHP tidak

sesuai dengan kepribadian hukum di Indonesia.

2. Berdasarkan hasil penelitian di atas penulis berkesimpulan bahwa

kendala-kendala yang dialami hakim dalam melakukan penemuan hukum

tidak hanya berasal dari faktor internal hakim atau penegak hukum

melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu masyarakat,

karena putusan hakim akan langsung diterapkan kepada masyarakat.

Sehingga dikaitkan dengan faktor pendidikan dan faktor keilmuan bukan

hanya hakim atau penegak hukum saja yang harus dibekali dengan ilmu

yang tinggi, tetapi masyarakat harus juga diberikan pendidikan atau

pembelajaran mengenai hukum itu sendiri dengan cara memberikan

penyuluhan hukum kepada masyarakat.

55
56

B. Saran

1. Hakim dalam menjalankan tugasnya memeriksa, mengadili, dan

memutus perkara harus selalu mengedepankan independensi dan

kemandirian yang tidak memihak serta harus menyertakan cita hukum

dalam setiap putusannya yaitu kepastian hukum, keadilan hukum, dan

kemanfaatan hukum, dimana yang diutamakan dari tiga unsur tersebut

adalah keadilan dan kemanfaatan, karena esensi dari hukum itu sendiri

adalah keadilan.

2. Penegak hukum terutama hakim harus memperdalam pendidikan dan

menguasai ilmu hukum dengan baik, karena penguasaan terhadap ilmu

hukum merupakan bekal terpenting dalam menjalan tugasnya memeriksa,

mengadili dan memutus perkara, dimana hakim harus mempunyai

keterampilan atau kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum,

memecahkan masalah hukum, dan memutus masalah hukum berdasarkan

keadilan.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Al Quran, 2009, Jakarta, Departemen Agama RI

Achmad Ali, 2017, Menguak Tabir Hukum, Jakarta, Kencana.

Achmad Rifai, 2014, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif, Jakarta, Sinar Grafika.

Ahmad Mujahidin, 2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung, Refika


Aditama.

Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan


Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta, UUI Press
Yogyakarta.

Kansil C.S.T, 2000, Hukum Tata Negara Republi Indonesia, Jakarta, Rineka
Cipta.

Marwan Mas, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Satjipto Rahardjo, 2007, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung, Refika


Aditama.

Said Sampara dan Laode Husein dkk, 2017, Metode Penelitian Hukum,
Makassar, Kretakupa Print.

Siti Malikhatun Badriyah, 2016, Sistem Penemuan Hukum dalam Masyarakat


Prismatik, Jakarta, Sinar Grafika.

Sudikno Mertukusumo, 2014, Penemuan Hukum, Yogyakarta, Universitas Atma


Jaya Yogyakarta.

Tim Redaksi, 2018, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Kitab
Undang-Undang Pidana, Efata Publishing.

57
58

Wildan Suyuthi Mustofa, 2013, Kode Etik Hakim, Jakarta, Kencana


Prenadamedia Group.

Zainuddin Ali, 2015, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia,
Jakarta, Sinar Grafika.

Zairin Harahap, 2017, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta,
Rajawali Pers.

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum

INTERNET

Malahayati dalam blognya -mycreature.blogspot.com, 2010. 17. September,


Pengadilan dan peradilan, diakses pada tanggal 03 Maret 2020, dari
http://malahayati-mycreature.blogspot.com/2010/09pengadilan-dan-
peradilan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai