L021181007
SAMPUL
DEPARTEMEN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara dengan keanekaragaman
hayati tertinggi di dunia sehingga disebut sebagai negara megabiodiversity. Sebagai
negara megabiodiversity, Indonesia juga memiliki tingkat endemik keanekaragaman
hayati yang tinggi. Dari 38.000 spesies tumbuhan, 55%-nya merupakan spesies
endemik, sedangkan dari 512 spesies binatang menyusui, 39%-nya merupakan spesies
endemik.
Di sisi lain, dengan kekayaan keanekaragaman hayati yang dimiliki, Indonesia
juga dinilai sebagai salah satu tempat termudah untuk menemukan kejahatan atas
kehidupan liar (wildlife crime). Kekayaan keanekaragaman hayati sebagaimana
disebutkan dalam data tersebut kontraproduktif dengan kondisi keanekaragaman hayati
Indonesia saat ini -khususnya terhadap satwa liar5 - yang beberapa populasinya telah
mengalami kepunahan. Kondisi ini juga diperkuat dengan Daftar Merah (red list) yang
dikeluarkan oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) yang
menunjukan beberapa jenis satwa liar yaitu: 185 jenis mamalia, 121 jenis burung, 32
jenis reptil, 32 jenis ampibi, dan 145 jenis ikan terancam punah.
Kekayaan Indonesia akan keanekaragaman hayati dengan
komponenkomponennya2 merupakan masa depan umat manusia sebagai sumber
ketahanan pangan, kesehatan, bahkan energi, dengan nilai guna aktual maupun
potensial bagi kemanusiaan. Nilai-nilai guna ini harus tetap berkelanjutan baik bagi
generasi manusia saat ini maupun generasi masa depan. Keberlanjutan menjadi kata
kunci agar umat manusia dapat melangsungkan hidupnya dalam jangka waktu yang
tidak terbatas dengan memanfaatkan sumber daya alam (“SDA”) yang terbatas. Di
sinilah pentingnya konservasi, karena dengan konservasi manusia dituntut untuk
menjadi bijaksana dalam menggunakan SDA yang jumlahnya terbatas. Efektivitas
pelaksanaan konservasi hanya dapat dicapai apabila disertai dengan kelengkapan
hukum yang memadai. Oleh sebab itu, hukum merupakan sebuah keniscayaan untuk
membuat SDA hayati beserta keanekaragamannya bermanfaat secara berkelanjutan.
atau penurunan keanekaragaman hayati dari wildlife crime tersebut akan berdampak
pada ketersediaan pangan (food security), resiko kerusakan seluruh ekosistem, dan
kesehatan manusia.
Convention of International Trade on Endangered Species (CITES)
mendefinisikan wildlife sebagai seluruh satwa dan tumbuhan, sedangkan kejahatan
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum nasional dan
ketentuan mengenai perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam. CITES adalah
sebuah perjanjian internasional yang bersifat multinasional, yang disusun untuk
memberikan perlindungan spesies satwa. Selain itu, CITES juga mengatur perdagangan
satwa internasional dan tumbuhan liar yang terancam punah. CITES merupakan inisiatif
IUCN melalui pertemuan yang ke-7 di Polandia pada tahun 1960. Pada waktu itu,
negara-negara anggota IUCN menganjurkan pembatasan perdagangan satwa langka
dan penetapan kuota negara untuk memperdagangkan satwa langka.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Konservasi Jenis
A. Kesimpulan
Indonesia telah mematuhi (compliance) pelaksanaan rezim CITES. Hal ini dibuktikan
dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota CITES menandakan bahwa Indonesia
patuh terhadap rezim internasional, dimana kemudian CITES digunakan sebagai pedoman
bagi Indonesia untuk menangani, mengendalikan, dan mencegah perdagangan hewan yang
hamper punah Indonesia. Selain itu ditunjukkan juga dengan komitmen Indonesia dalam
meratifikasi CITES, terbentuknya institusi khusus untuk pelaksanaan CITES, serta adanya
kerjasama bilateral dengan negara tujuan ekspor hewan kukang. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa sebenarnya Indonesia telah berusaha patuh terhadap rezim internasional
tersebut. Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak keterbatasanketerbatasan yang
dialami, seperti belum maksimal kerjasama antar lembaga baik dalam dan luar negeri, ada
kerjasama bilateral dengan Jepang (salah satu negara tujuan perdagangan kukang), tetapi
belum memiliki mekanisme dan kesepakatan yang jelas terkait pedagangan kukang, serta
belum maksimal kerjasama dengan Interpol. Selain itu, dari faktor internal, implementasi
rezim CITES di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor struktur birokrasi,
komunikasi, sumber daya, dan disposisi. Ditinjau pada setiap faktor tersebut, semua sudah
dapat terlaksana. Hanya saja terdapat beberapa permasalahan yang akhirnya menghambat
implementasi kebijakan CITES. Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan untuk dapat
meningkatkan efektivitas implementasi CITES di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Andri Santosa (ed), Konservasi Indonesia: Sebuah Potret Pengelolaan & Kebijakan, (Bogor:
Pokja Kebijakan Konservasi - Environmental Services Program (ESP), 2009), hlm. 21.
USAID, Changes for Justice Project Wildlife Crime in Indonesia: A Rapid Assessment of the
Current Knowledge, Trends and Priority Actions, 2015, hlm. 14
IUCN Redlist. (2015). Overview of the IUCN Red List. Diakses dari
http://www.iucnredlist.org/about/overview. Diakses pada 20 September 2015.
Musing, Louisa, Kirie Suzuki, dan K.A.I Nekaris. (2015). Crossing International Borders: the
Trade of Slow Lorises Nycticebus spp. as pets in Japan. Asian Primate Journal 5 (1): 12-
23.
Nijman, V. (2009). An Overview of International Wildlife Trade from Southeast Asia. Biodiversity
Conservation, 19 : 1101 – 1114.
Wihardandi, Aji. (2012). ProFauna Indonesia: Palembang Pusat Perdagangan Ilegal Primata.
Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2012/07/05/profauna-indonesia-
palembangpusat-perdagangan-ilegal-primata/. Diakses pada 10 Agustus 2015.
Abdul Wahab, Solichin. (2008). Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebjakan
Negara Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara