Anda di halaman 1dari 14

ILMU KESEHETAN MASYARAKAT

Disusun Oleh :

YULIANA

19.71.021025

KELAS FARMASI C

PROGRAM STUDI D-III FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA

2021/2022
Judul Jurnal 1 Studi Epidemiologi Deskriptif Talasemia
Artikel Dwi Sarwani Sri Rejeki, Nunung Nurhayati,
Supriyanto, Dan Elva Kartikasar. Studi
Epidermilogi Deskriptif Talasemia
Volume dan Halaman Vol. 7, No. 3, Hal 139-144
Tanggal Dan Tahun 3-Oktober 2012

Penulis Dwi Sarwani Sri Rejeki, Nunung Nurhayati,


Supriyanto, Dan Elva Kartikasar.

Reviewer Arda Napoleon 19.71.021027

Tanggal review 26, Desember 2021

Latar Belakang

Talasemia adalah penyakit genetik kelainan darah akibat kekurangan atau penurunan
produksi/pembentukan hemoglobin. Secara molekuler, talasemia dibedakan atas talasemia alfa (α)
dan beta (β), sedangkan secara klinis dibedakan atas talasemia minor dan mayor. Gejala klinis
penderita talasemia-β meliputi anemia, jaundice, retardasi atau keterbelakangan pertumbuhan,
kelainan bentuk tulang terutama di wajah, pembesaran limpa, dan kerentanan terhadap infeksi.
Salah satu pengobatan yang dilakukan oleh penderita talasemia adalah transfusi darah setiap dua
sampai empat minggu.
Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 5% dari seluruh populasi di dunia
adalah karier talasemia. United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF)
memperkirakan sekitar 29,7 juta pembawa talasemia-β berada di India dan sekitar 10.000 bayi
lahir dengan talasemia-β mayor. Jumlah penderita talasemia di Yayasan Talasemia Indonesia
cabang Banyumas terus meningkat, pada tahun 2008 terdapat 44 penderita, pada tahun 2009
meningkat 32,3% menjadi 65 penderita. Pada tahun 2010, penderita talasemia meningkat lagi
53,85% menjadi 100 penderita dan tahun 2011 meningkat menjadi 63%. Peningkatan jumlah
penderita talasemia yang sangat signifikan di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas
tersebut, perlu diteliti secara epidemiologi untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
pembuatan usulan kebijakan terkait penurunan angka prevalensi talasemia dan penyediaan
kantung darah di Kabupaten Banyumas.
Tujuan Penelitian
Perlu diteliti secara epidemiologi untuk dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
pembuatan usulan kebijakan terkait penurunan angka prevalensi talasemia dan penyediaan
kantung darah di Kabupaten Banyumas.
Subjek Penelitian
penderita talasemia di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas

Metode Penelitian
Penelitian dilakukan di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas dengan desain
penelitian cross sectional. Populasi pada penelitian adalah seluruh penderita talasemia yang
terdaftar di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas berjumlah 163 orang. Sampel adalah
penderita talasemia yang terpilih dengan teknik pengambilan sampel proportionate stratified
random sampling sebanyak 64 orang. Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang
dikumpulkan melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner yang sebelumnya telah
dikembangkan. Variabel yang diamati meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
asuransi kesehatan, tempat tinggal, dan tempat transfusi darah. Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari biodata penderita di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas, buku kontrol
penderita, dan rekam medik Palang Merah Indonesia (PMI) Purwokerto. Data tersebut meliputi
jenis talasemia, riwayat splenektomi, usia, golongan darah, diagnosis pertama, usia transfusi
pertama, frekuensi transfusi darah, frekuensi terapi kelasi, dan kadar feritin. Data yang telah
terkumpul kemudian diolah dan dianalisis secara univariat untuk menjelaskan karakteristik setiap
variabel yang diteliti.
Hasil Penelitian
Usia rata-rata penderita talasemia adalah 12,28 tahun, usia termuda adalah 1,3 tahun, dan
usia tertua adalah 49 tahun. Sekitar 64 responden (51,6%) berjenis kelamin perempuan, 40,6%
sedang sekolah dasar (SD), 92,2% bukan angkatan kerja, 90,6% menderita talasemia-β mayor,
84,4% tidak melakukan splenektomi, 73,4% menggunakan jaminan kesehatan masyarakat
(Jamkesmas), 90,4% memiliki kadar feritin ≥ 2000 ng/mL, dan 81,2% menggunakan jenis kelasi
zat besi deferioprone, vitamin C, dan deferioksamin.
Karakteristik yang diteliti dalam variabel tempat meliputi tempat tinggal dan tempat
transfusi darah. Tempat tinggal adalah alamat penderita talasemia yang tertera dalam kartu
identitas. Kategori yang digunakan adalah kecamatan dan kabupaten. Penderita talasemia
bertempat tinggal di lima kabupaten meliputi Kabupaten Banyumas, Brebes, Purbalingga,
Banjarnegara, dan Cilacap. Penderita talasemia paling banyak tinggal di Kabupaten Banyumas
(79,7%), meliputi Kecamatan Cilongok (13,7%), Pekuncen (11,8%), dan Wangon (9,8%).
Sebagian besar penderita talasemia melakukan transfusi darah di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Banyumas (95,3%).
Karakteristik yang diteliti dalam variabel meliputi usia terdiagnosis talasemia, usia mulai
transfusi darah, frekuensi transfusi darah, dan frekuensi terapi kelasi zat besi. Usia rata-rata
penderita terdiagnosis talasemia yaitu pada usia 3,7 tahun, usia termuda yaitu 0,16 tahun (2 bulan),
dan usia tertua adalah 47 tahun. Usia rata-rata penderita talasemia mulai melakukan transfusi darah
yaitu pada usia 3,78 tahun, usia termuda yaitu 0,16 tahun (2 bulan), dan usia tertua adalah 47 tahun.
Terdapat 56 orang (87,5%) melakukan transfusi darah 1 kali dalam 1 bulan. Terdapat 61 orang
(95,3%) mengonsumsi vitamin C sebanyak 30 kali dalam 1 bulan dan 53 orang (82,8%)
menggunakan deferioksamin sebanyak 1 kali dalam 1 bulan.
Pembahasan
Usia rata-rata penderita talasemia adalah 12,28 tahun, usia termuda adalah 1,3 tahun dan
usia tertua adalah 49 tahun. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian
Sivashankara,3 di Dharwad Karnataka yang meneliti penderita talasemia berusia 3 bulan sampai
15 tahun. Rata-rata umur penderita 12,28 tahun ini berkaitan dengan jenis talasemia yang diderita,
yaitu talasemia mayor karena sebagian besar sudah terdeteksi sejak usia balita.
Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 51,6% penderita talasemia berjenis kelamin laki-laki
dan 48,4% berjenis kelamin perempuan. Jumlah penderita laki-laki lebih banyak daripada jumlah
penderita perempuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Anggraini,4 di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung yang melaporkan bahwa penderita talasemia berjenis kelamin laki-laki sebanyak
32 orang dan berjenis kelamin perempuan sebanyak 25 orang. Selisih antara jumlah penderita
talasemia laki-laki dan perempuan di Yayasan Talasemia Indonesia cabang Banyumas tahun 2012
tidak terlalu banyak, yakni 2 orang. Menurut Aryuliana,5 talasemia adalah penyakit genetik yang
disebabkan oleh faktor alel tunggal autosomal resesif, bukan penyakit genetik yang disebabkan
oleh faktor alel terpaut dengan kromosom seks/kelamin.
Tingkat pendidikan penderita talasemia sebagian be sar sedang sekolah (40,6%), belum
sekolah (26,6%), dan tidak sekolah (3,1%). Hal ini sesuai dengan usia rata-rata penderita talasemia
(12,28 tahun) yang merupakan usia anak SD dan usia termuda adalah 1,3 tahun yang merupakan
usia prasekolah. Dalam penelitian ini juga ditemukan penderita yang seharusnya bersekolah tapi
tidak bersekolah karena merasa tidak percaya diri untuk bergaul akibat perubahan fisik yang
dialami seperti pigmentasi kulit dan limpa membesar. Penderita yang mampu bersekolah
diperbolehkan melakukan aktivitas seperti anak biasa atau tidak ada pembatasan aktivitas. Hal ini
sebenarnya perlu diperhatikan karena salah satu perawatan talasemia adalah mendukung anak tetap
toleran terhadap aktivitas dengan pembatasan aktivitas sesuai dengan kondisi fisik dan
memberhentikan aktivitas jika anak merasa pusing dan lelah.
Penderita talasemia sebagian besar adalah bukan angkatan kerja (92,2%) yang terdiri atas
anak sekolah (56,2%), belum bekerja (28,2%), ibu rumah tangga (4,7%), dan mahasiswa (3,1%).
Sebanyak 56,2% anak sekolah dan 28,2% belum bekerja sebab usia rata-rata penderita talasemia
yaitu 12,28 tahun dan usia termuda penderita talasemia adalah 1,3 tahun. Usia tersebut bukan
merupakan usia minimum untuk bekerja sehingga mereka belum diperbolehkan untuk bekerja.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1999, usia minimum untuk
bekerja adalah 15 tahun. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan dan
keselamatan anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 tahun, untuk pekerjaan ringan tidak
boleh kurang dari 16 tahun. Penelitian ini menyebutkan bahwa 17,7% penderita talasemia
merupakan angkatan kerja yang bekerja sebagai asisten arsitek, guru, dan buruh. Hal ini
menunjukkan penderita talasemia mampu bekerja saat usianya mencapai usia produktif. Untuk
tujuan tersebut diperlukan perawatan kesehatan yang baik seperti transfusi darah rutin,
mengonsumsi kelasi besi secara teratur, dan melakukan pemeriksaan secara teratur.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 90,6% pasien merupakan pasien talasemia β-mayor,
7,8% pasien talasemia β-minor, dan 1,6% pasien talasemia β-intermedia. Hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian yang dilakukan Shivashankara,3 di Dharwad Karnataka yang
melaporkan bahwa jumlah penderita talasemia β-mayor berjumlah 15 orang dan penderita
talasemia β-minor berjumlah 20 orang, jumlah penderita talasemia β-minor lebih banyak
ditemukan. Talasemia β-mayor adalah jenis talasemia yang gambaran klinisnya terlihat dengan
jelas pada usia 3 – 6 bulan, yakni anemia berat dengan kadar hemoglobin 2 – 6 g/dL.1 Gambaran
klinis yang jelas menyebabkan penderita talasemia β-mayor harus segera diperiksa ke pelayanan
kesehatan dan lebih cepat didiagnosis. Hal ini menyebabkan jumlah penderita β-mayor lebih
banyak daripada jenis talasemia β-minor dan intermedia. Talasemia β-minor adalah talasemia
dengan gambaran klinis anemia ringan (Hb = 11 _ 15 g/dL), penderita merasa sehat dan tidak
memeriksakan diri sehingga tidak terdeteksi kalau tidak memeriksakan diri.

Kekurangan
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 54 orang (84,4%) tidak melakukan splenektomi dan
10 orang (15,6%) sudah melakukan splenektomi. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Bulan,6 di Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang. Dari 55 sampel terdapat 44 orang tidak memiliki
riwayat splenektomi dan 11 orang mem liki riwayat splenektomi. Penderita talasemia di Banyumas
secara fisik terlihat mengalami pembesaran perut bagian atas yang menandakan terjadinya
pembesaran limpa, tetapi belum melakukan splenektomi disebabkan takut dan merasa aktivitas
maupun gerakannya tidak terganggu dengan kondisi ini.
Menurut Sacher dan McPherson, splenektomi mengakibatkan peningkatan risiko infeksi
bakteri yang parah dan akut karena salah satu fungsi limpa adalah sistem imun. Menurut Atiek,
peningkatan risiko tersebut menyebabkan tindakan splenektomi ditunda sampai usia penderita di
atas 5 tahun saat fungsi limpa dalam sistem imun tubuh sudah dapat diambil alih oleh organ limfoid
lain. Splenektomi dilakukan apabila limpa yang terlalu besar membatasi gerak pasien dan
menimbulkan tekanan intraabdominal. Oleh karena itu, apabila penderita tidak merasa gerakan
tubuhnya terganggu akibat pembesaran limpa maka splenektomi dapat tidak dilakukan.
Kelebihan
Jenis asuransi kesehatan yang paling banyak digunakan oleh penderita talasemia adalah Jamkesmas
(73,4%). Hal ini disebabkan sasaran kepesertaan dari Jamkesmas adalah masyarakat miskin dan Jamkesmas
sudah memiliki kesepakatan dengan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) farmasi untuk menjamin
ketersediaan obat dan alat yang dibutuhkan oleh pemberi pelayanan kesehatan. Sasaran kepesertaan
Jamkesmas sesuai dengan kondisi ekonomi penderita talasemia yang sebagian besar merupakan golongan
menengah ke bawah. Biaya transfusi maupun pengobatan penderita talasemia sebagai pasien Jamkesmas
diberikan secara gratis.
Berdasarkan hasil penelitian terdapat 90,4% penderita talasemia memiliki kadar feritin ≥ 2.000
ng/mL. Kadar feritin ≥ 2.000 ng/mL tidak dapat diperoleh nilai rasionya secara pasti sebab alat yang
digunakan untuk pengukuran tidak mampu menampilkan data yang nilainya ≥ 2.000 ng/mL. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Made dan Ketut,10 di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Sanglah Denpasar bahwa kadar feritin penderita talasemia ≥ 2.000 sebanyak 9 orang dan 6 orang memiliki
kadar feritin < 2.000 ng/mL.
Kesimpulan
Karakteristik penderita talasemia yang terdaftar di Yayasan Talasemia Indonesia cabang
Banyumas dapat dijelaskan sebagai berikut. Rata-rata penderita talasemia berusia 12,28 tahun,
berjenis kelamin perempuan (51,6%), sedang sekolah SD (40,6%), bukan angkatan kerja (92,2%),
talasemia β-mayor (90,6%), tidak splenektomi (84,4%), Jamkesmas (73,4%), kadar feritin ≥ 2.000
ng/mL (90,4%), kelasi deferioprone, vitamin C, dan deferioksamin (81,2%), tinggal di Kabupaten
Banyumas (79,7%), transfusi darah di RSUD Banyumas (95,3%), rata-rata terdiagnosis usia 3,7
tahun, usia ratarata mulai transfusi darah adalah 3,78 tahun. Frekuensi transfusi darah 1 bulan 1
kali (87,5%), dan frekuensi terapi kelasi zat besi dengan mengkonsumsi vitamin C sebanyak 30
kali dalam 1 bulan (95,3%).
Daftar Pustaka
Mehta A, Hoffbrand AV. Alih bahasa: Hartanto H. Hematology at a glance. Jakarta: Erlangga;
2008
Catlin AJ. Thalassemia: the fact and the controversies. Pediatric Nursing. 2003; 29 (6): 447-51.
Shivashankara AR, Jailkhani R, Kini A. Hemoglobinopathies in Dharwad, North Karnataka: a
hospital-based study. Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2008 ; 2 2: 593-9.
Anggraini N, Riyanti E, Chemiawan E. Description of upper intermolar dental arch size in
thalassemia beta mayor aged 9-14 years old based on gender. Padjajaran Journal of
Dentistry. 2009; 21 (1): 61-4.
Aryuliana D, Muslim C, Manaf S, Winarni EW. Biologi. Jakarta: Erlangga; 2004.
Bulan S. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup anak thalassaemia beta mayor
[tesis]. Semarang: Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program
Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak Universitas Dipenogoro; 2009. Tidak
dipublikasikan.
Sacher RA, McPherson RA. Alih bahasa: Pednit BU, Wulandari D. Tinjauan klinis hasil
pemeriksaan laboratorium. Jakarta: EGC; 2004.
Atiek S, Husna A, Purnaan J. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius; 2008.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat (jamkesmas). Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2010.
Made A, Ketut A. Profil pertumbuhan, hemoglobin pre-transfusi, kadar feritin, dan usia tulang
anak pada thalassemia mayor. Seri Pediatri. 2011; 13 (4): 299-304.
Agouzal M, Arfaoui A, Quyou A, Khattab M. Characteristics of chelation therapy among beta
thalassaemia patients in Nort of Morocco. Academic Journals. 2010; 2 (1): 1-7.
Rahim F, Keikhaei B, Zandian K, Soltani A. Diagnosis and treatment of cord compression
secondary to extramedullary hematopoiesis in patients with beta-thalassemia intermedia.
Journal of Clinical and Diagnostic Research. 2008; 2 (2): 643-7.
Hoffbrand AV, Pettit JE. Alih bahasa: Darmawan I. Hematologi (essential hematology).
Jakarta: EGC; 199
Judul Jurnal 2 META-ANALISIS FAKTOR RISIKO
MODIFIABLE
PENYAKIT KARDIOVASKULAR DI ASIA
TENGGARA
Artikel Defriman Djafri dan Sri Ridha Hasanah.
META-ANALISIS FAKTOR RISIKO
MODIFIABLE
PENYAKIT KARDIOVASKULAR DI ASIA
TENGGARA
Volume dan Halaman Vol. 2, No. 1 Hal : 38 – 57
Tanggal Dan Tahun 1 Februari 2016

Penulis Defriman Djafri dan Sri Ridha Hasanah.

Reviewer Arda Napoleon 19.71.021027

Tanggal review 26, Desember 2021

Latar Belakang

Diperkirakan pada tahun 2008, tujuh belas juta jiwa meninggal karena penyakit
kardiovaskular. Dari jumlah ini, sekitar 7,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit jantung
koroner, 6.2 juta disebabkan oleh stroke, dan ada 9,4 juta kematian akibat komplikasi hipertensi.
Wilayah Asia Tenggara dalam Global Atlas on Cardiovascular Disease Prevention and
Control masih berada pada zona kuning dan jingga bahkan negara Laos merupakan zona merah.
Hal tersebut memberikan gambaran bahwa di Asia Tenggara angka kematian akibat penyakit
kardiovaskular cukup tinggi. Data dari World Health Organization (WHO) mendukung fakta di
atas bahwa di wilayah Asia Tenggara diperkirakan ada 3,6 juta atau seperempat dari seluruh
kematian yang terjadi akibat penyakit kardiovaskular tiap tahunnya.
Faktor risiko penyakit kardiovaskular diklasifikasikan menjadi faktor risiko non
modifiable atau faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi seperti umur, jenis kelamin, dan
riwayat keluarga dan faktor risiko modifiable atau faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti
hipertensi, merokok, diabetes mellitus, kurang aktivitas fisik, tinggi kolesterol/dislipidemia, diet
tidak sehat, dan obesitas. Prinsip evidence-based sangat penting dalam menentukan kebijakan
kesehatan.
Banyaknya penelitian tentang faktor risiko modifiable penyakit kardivaskular ini,
menuntut adanya penarikan kesimpulan yang dapat digunakan untuk pencegahan dan
pengontrolan penyakit kardiovaskular khususnya di Asia Tenggara. Satu penelitian tidak cukup
kuat untuk digeneralisasikan ke populasi, sehingga dibutuhkan beberapa penelitian tentang faktor
risiko modifiable penyakit hipertensi, penyakit jantung koroner, dan stroke sehingga kesimpulan
yang ditarik memiliki power yang lebih kuat. Metaanalisis merupakan bentuk metode statistik
yang dapat mengestimasi efek gabungan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan.
Sebuah protokol untuk melakukan penelitian Meta-Analisis dari penelitianpenelitian
observasional yang disebut sebagai Meta-analysis of Observational Studies in Epidemiology
(MOOSE) telah disusun pada April 1997 untuk membantu peneliti yang ingin melakukan
penelitian Meta-Analisis dari penelitian observasional. Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan
penelitian untuk mengetahui faktor risiko modifiable penyakit kardiovaskular di Asia Tenggara.
Tujuan Penelitian

untuk mengetahui faktor risiko modifiable penyakit kardiovaskular di Asia Tenggara


Subjek Penelitian
Meta-analisis, Fixed-effect model, Random-effect model, Obesitas, Penyakit Jantung Koroner
Metode Penelitian
Telah sistematis dan Meta-analisis dilakukan terhadap penelitian Kohort dan Casecontrol
yang dipublikasikan antara tahun 1980 sampai dengan 2013 pada database PubMed, ProQuest,
dan EBSCO. Pooled odds ratio (OR) dihitung dengan fixed- dan random-effect models. Data
diolah dengan menggunakan Review Manager 5.2 (RevMan 5.2)
Hasil Penelitian
Penelitian ini mereview sebanyak 6.202 artikel dan memasukkan 18 artikel (8 kohort dan
10 case-control) ke dalam telaah sistematis. Dilanjutkan dengan MetaAnalisis terhadap data yang
relevan. Hasil Meta-analisis menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
merokok dengan Penyakit Jantung Koroner (OR 1.38 95% CI 0.81-2.35). Sebaliknya, hasil
membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan penyakit jantung
koroner (OR 1.92 95% CI 1.17-3.16).
Pembahasan
Dalam melakukan penelusuran literatur di internet melalui database, terdapat beberapa
keterbatasan. Pembatasan literatur untuk yang berbahasa Inggris saja, dapat mengurangi jumlah
studi yang relevan. Penelusuran yang dilakukan hanya berdasarkan internet juga membatasi
jumlah studi yang relevan untuk penelitian. Hal ini berpotensi menimbulkan publication bias.
Penelitian Meta-analisis ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko modifiable penyakit
kardiovaskular (hipertensi, penyakit jantung koroner, dan stroke). Namun, karena sedikitnya
jumlah penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, banyak variabel yang tidak dapat
dianalisis. Hal ini menyebabkan hanya hubungan merokok dan obesitas dengan penyakit jantung
koroner yang dapat dianalisis.
Berdasarkan hasil Meta-analisis didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara merokok dengan penyakit jantung koroner. Walaupun berdasarkan teori, tembakau yang
dikandung dalam rokok dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen yang dialirkan oleh darah
dan menyebabkan darah cenderung mudah menggumpal sehingga dapat menyebabkan penyakit
jantung koroner dan juga stroke serta kematian mendadak. Hasil penelitian Meta-analisis ini
berbeda dari penelitian Huxley dan Woodward, penelitian tersebut membuktikan bahwa orang
yang merokok memiliki risiko lebih besar untuk menderita penyakit jantung coroner.
Kekurangan
Adanya hubungan yang signifikan antara obesitas dengan penyakit jantung koroner adalah
karena obesitas dapat meningkatkan tekanan darah, kadar trigliserida, kolesterol, resistensi
glukosa, serta penggumpalan darah. Peningkatan tekanan darah membuat pembuluh darah rentan
untuk mengalami penebalan dan penyempitan. Hal tersebut jika terjadi pada arteri koroner akan
menimbulkan penyakit jantung koroner.
Kelebihan
Pada telah sistematis dan Metaanalisis ini, diperoleh 18 penelitian yang masuk ke dalam
telaah sistematis yang terdiri dari 8 penelitian dengan desain studi kohort dan 10 penelitian dengan
desain studi case-control. Dari hasil analisis, disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara merokok dengan penyakit jantung koroner. Disamping itu, juga diketahui bahwa
orang yang obesitas memiliki risiko 1.92 kali lebih besar untuk menderita penyakit jantung koroner
pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol. Sedangkan, perbedaan efek-efek spesifik
dari penelitian tidak dapat dilihat karena jumlah studi yang sangat kecil.
Kesimpulan
Faktor risiko modifiable penyakit jantung koroner pada populasi di Asia Tenggara adalah
obesitas. Masyarakat diharapkan untuk memanajemen obesitas yang mereka miliki atau mencegah
agar tidak menjadi obesitas sehingga dapat menurunkan risiko menderita penyakit jantung
koroner.
Daftar Pustaka
World Health Organization. Noncommunicable diseases country profiles 2011. Geneva: World
Health Organization. 2011;50.
World Health Organization Regional Office for South-East Asia. Cardiovascular Disease
Factsheet. 2011.
Mendis S, Puska P, Norrving B. Global atlas on cardiovascular disease prevention and control:
World Health Organization; 2011.
World Heart Federation. Cardiovascular Disease Risk Factors.
Korneliani K, Meida D. Obesitas Dan Stress Dengan Kejadian Hipertensi. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. 2012;7(2):117-21.
Stroup DF, Berlin JA, Morton SC, Olkin I, Williamson GD, Rennie D, et al. Meta-analysis of
observational studies in epidemiology. JAMA: the journal of the American Medical Association.
2000;283(15):2008-12.
Huxley RR, Woodward M. Cigarette smoking as a risk factor for coronary heart disease in women
compared with men: a systematic review and meta-analysis of prospective cohort studies. The
Lancet. 2011;378(9799):1297-305
Guh DP, Zhang W, Bansback N, Amarsi Z, Birmingham CL, Anis AH. The incidence of co-
morbidities related to obesity and overweight: a systematic review and meta-analysis. BMC public
health. 2009;9(1):88
Bogers RP, Bemelmans WJ, Hoogenveen RT, Boshuizen HC, Woodward M, Knekt P, et al.
Association of overweight with increased risk of coronary heart disease partly independent of
blood pressure and cholesterol levels: a meta-analysis of 21 cohort studies including more than
300 000 persons. Archives of internal medicine. 2007;167(16):1720-8.
Lu Y, Hajifathalian K, Ezzati M, Woodward M, Rimm EB, Danaei G. Metabolic mediators of the
effects of body-mass index, overweight, and obesity on coronary heart disease and stroke: a pooled
analysis of 97 prospective cohorts with 1· 8 million participants. Lancet. 2014;383(9921):970-83.
Odegaard AO, Koh W-P, Gross MD, Yuan J-M, Pereira MA. Combined Lifestyle Factors and
Cardiovascular Disease Mortality in Chinese Men and Women The Singapore Chinese Health
Study. Circulation. 2011;124(25):2847-54.
Judul Jurnal 3 EDUKASI ADAPTASI PERUBAHAN
IKLIM DALAM PERSPEKTIF ISLAM
PADA MAHASSWA PROGRAM STUDI
KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH JAKARTA (PSKM
FKM UMJ)
Artikel Andriyani, Ernyasih, dan Triana Srisantyorin.
EDUKASI ADAPTASI PERUBAHAN
IKLIM DALAM PERSPEKTIF ISLAM
PADA MAHASSWA PROGRAM STUDI
KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN
MASYARAKAT UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH JAKARTA (PSKM
FKM UMJ)
Volume dan Halaman Vol 01, No 01, Hal : 1-77
Tanggal Dan Tahun 31 Juli 2020

Penulis Andriyani, Ernyasih, dan Triana Srisantyorin.

Reviewer Arda Napoleon 19.71.021027

Tanggal review 26, Desember 2021

Latar Belakang

Proses kehidupan mahluk hidup di suatu tempat selain dipengaruhi oleh lingkungan fisik
disekitarnya juga dipengaruhi oleh kondisi iklim di tempat tersebut. Islam merupakan agama yang
memperhatikan lingkungan dan keberlanjutan kehidupan di dunia. Salah satu yang dapat dilakukan untuk
menghadapi perubahan iklim adalah melakukan adaptasi dan mitigasi. Mahasiswa kesehatan masyarakat
sebagai generasi penerus bangsa mempunyai kewajiban menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh edukasi terhadap pengetahuan
mahasiswa PSKM FKM UMJ tentang adaptasi perubahan iklim dalam pespektif Islam
Subjek Penelitian
Menjaga kelestarian lingkungan hidup, Pengetahuan, Perspektif Islam, Mahasiswa
Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan desai kuasi eksperimen dengan one group pretest and post-
test. Populasi penelitian ini adalah seluruh mahasiswa/i PSKM FKM UMJ sebanyak 375
mahasiswa. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis secara bivariat
dengan uji t dependen

Hasil Penelitian
Terdapat perbedaan nilai rata-rata pengetahuan sebelum dan sesudah diberikam edukasi.
(p value= 0,000).
Pembahasan
Ada perbedaan yang signifikan antara pengetahuan mahasiswa dari sebelum diberikan
edukasi dengan sesudah diberikan edukasi mengenai adaptasi perubahan dalam perspektif Islam,
hal ini dapat dibuktikan dengan hasil p value 0.000 untuk setiap variabel pengetahuan. Dengan
pengetahuan mahasiswa yang meningkat juga diharapkan dapat mentransfer ilmu kepada
masyarakat sekitar mengenai bagaimana melakukan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Adaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah salah satu cara penyesuaian yang dilakukan
secara spontan atau terencana untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi
atau yang sudah terjadi. Mitigasi adalah kegiatan jangka panjang yang dilakukan untuk
menghadapi dampak dengan tujuan untuk mengurangi resiko atau kemungkinan terjadi suatu
bencana. Kegiatan lebih lanjut dari mitigasi dampak adalah kesiapan dalam menghadapi bencana,
tanggapan ketika bencana dan pemulihan setelah bencana terjadi. Beradaptasi terhadap perubahan
iklim merupakan prioritas mendesak bagi Indonesia (Murdiyarso, 2003).
Perubahan iklim telah terjadi dan sudah dirasakan dampaknya dan harus dihadapi semua
pihak. Perubahan iklim ditandai dengan cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut dan suhu
udara, pergeseran musim dan intensitas curah hujan yang berpengaruh pada ekosistem hutan,
tanaman, satwa, serta kehidupan manusia. Pengaruh perubahan iklim sangat terasa terutama di
negara-negara berkembang termasuk Indonesia, terutama masyarakat kurang mampu yang
penghidupannya tergantung pada sumber daya alam. Berbagai keterbatasan menjadikan mereka
tidak mempunyai banyak pilihan untuk bertahan hidup kecuali beradaptasi dengan lingkungan
yang sudah berubah. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan proses yang berlangsung dari
waktu kewaktu. Pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim merupakan fenomena
alam menakutkan bagi bumi ini. Jika pemanasan bumi ini tidak dikurangi, tidak mustahil
kerusakan dan kehancuran bumi akan segera menjadi kenyataan.
Kekurangan
Suhu panas mempengaruhi produktivitas pertanian di daerah tropis seperti Asia dan Afrika.
Diperkirakan stok pangan akan mengalami penurunan dan hal ini akan meningkatkan resiko
bencana kelaparan. Dampak lain adalah air laut menjadi naik, dan banjir akan terjadi dimana-
mana. Disamping itu kekuatan badai serta topan akan meningkat dan menghancurkan daerah
pesisir (Kusnanto, 2011)
Kelebihan
Hal ini sesuai dengan penelitian Herminingsih tahun 2014 yang menyatakan Perubahan
perilaku terjadi ketika diberikan penyuluhan untuk mencapai peningkatan produksi, pendapatan
dan perbaikan kesejahteraan keluarga. Proses perubahan perilaku dituntut agar sasaran berubah
tidak semata-mata karena adanya penambahan pengetahuan saja, namun diharapkan juga ada
perubahan pada keterampilan sekaligus perilaku mental yang menjurus kepada tindakan atau kerja
yang lebih baik, produktif, dan menguntungkan.
Kesimpulan
Terdapat perbedaan rata-rata nilai pengetahuan yang signifikan sebelum dan sesudah
kegiatan edukasi (P=0,000). Kegiatan edukasi mampu meningkatkan pengetahuan mahasiswa.
Daftar Pustaka
Achmadi, Umar Fahmi. 2008. Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia, Penerbit Rineka
Cipta.
Febriyana, dkk. 2016. Pengetahuan mahasiswa tentang sensitivitas perubahan iklim. Prosiding
Seminar nasional geografi UMS 2016.
Hesti Herminingsih, Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Perilaku Petani Tembakau di Kabupaten
jember. 2014. Jurnal.
Matematia Sains dan teknologi. Vol 15 No 1, Maret 2014. ISSN 1411-1934.
Intergovermental Panel on Climete Change (IPCC). 2014. Climate Change 2014.

Anda mungkin juga menyukai