Anda di halaman 1dari 14

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

M2P-02

PENERAPAN METODE MAGNETOTELLURIK DALAM


PENYELIDIKAN SISTEM PANAS BUMI
I Gusti Agung Hevy Julia Umbara1*, Pri Utami1, Imam Baru Raharjo2
1
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55281,
*Email: hevy.julia.u@mail.ugm.ac.id
2
Pertamina Geothermal Energy, Menara Cakrawala lt. 15, Jl. MH Thamrin 9, Jakarta 10340
Diterima 20 Oktober 2014

Abstrak
Resistivitas merupakan salah satu parameter geofisika yang berguna dalam upaya penyelidikan
sistem panas bumi. Mineral alterasi, salinitas fluida, dan temperatur yang tinggi adalah beberapa
faktor geologi yang mengontrol anomali resistivitas pada sistem panas bumi. Anomali ini dapat
dideteksi melalui pengukuran magnetotellurik (MT). Model resistivitas yang dihasilkan dari survei
MT dapat dikombinasikan dengan data geologi untuk pembuatan model konseptual sistem panas
bumi. Model konseptual yang dihasilkan bermanfaat dalam penyusunan strategi pengembangan
lapangan panas bumi. MT merupakan metode geofisika pasif yang memanfaatkan penetrasi
gelombang elektromagnetik (EM) ke bawah permukaan bumi untuk mengetahui nilai impedansi
suatu materi. MT sangat baik dalam mendeteksi nilai resistivitas pada kedalaman yang besar,
sementara TDEM mampu melengkapi kelemahan MT di dekat permukaan. Data MT membutuhkan
beberapa tahap pemrosesan untuk mengurangi noise yang terekam, serta mengubah domain data
dari bentuk waktu menjadi frekuensi. Pergeseran statik kurva MT yang terjadi didekat permukaan
dikoreksi dengan menggunakan data TDEM, kurva hasil koreksi statik ini selanjutnya digunakan
untuk membuat model resistivitas bawah permukaan. Pemodelan MT 1D menghasilkan model
resistivitas pada suatu titik pengukuran. Model dari beberapa titik ini kemudian dikombinasikan
untuk membuat penampang resistivitas. Model dalam bentuk penampang resistivitas dapat
menggambarkan sebaran zona konduktif dan zona resistif di bawah permukaan yang
mencerminkan struktur komponen sistem panas bumi. Pemodelan resistivitas MT memerlukan data
pendukung untuk menghasilkan model konseptual sistem panas bumi. Data pendukung ini dapat
berupa informasi geologi seperti stratigrafi, alterasi hidrotermal, struktur geologi dan manifestasi
panas bumi. Pada penelitian ini penulis menyajikan hasil pemodelan MT dalam bentuk peta
resistivitas, visualisasi 2D dan visualisasi 3D yang dikombinasikan dengan data geologi
permukaan.

Kata kunci: Geofisika, Magnetotellurik, Panas Bumi, Resistivitas.

Pendahuluan
Resistivitas merupakan salah satu parameter geofisika yang paling berguna dalam usaha
untuk memprediksi keberadaan sistem panas bumi. Kondisi geologi sistem panas bumi
yang khas merupakan penyebab keberadaan anomali resistivitas di bawah permukaan.
Salinitas fluida, mineral alterasi dan temperatur yang tinggi adalah faktor pengontrol nilai
resistivitas suatu sistem panas bumi (Ussher et al, 2000). Anomali resistivitas tersebut
menjadikan daerah prospek panas bumi dapat dibedakan dengan daerah non-prospek di
sekitarnya.
Magnetotellurik merupakan salah satu metode geofisika pasif yang dapat
menggambarkan struktur resistivitas di bawah permukaan. Metode ini dapat membantu
dalam penentuan zona konduktif atau mineral lempung yang menjadi penudung bagi
reservoar sistem panas bumi. Selain itu MT juga dapat mendukung hasil penelitian dari
406
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

studi geologi dan geokimia dalam penyusunan strategi pengembangan lapangan panas
bumi. MT merupakan metode yang sering dipakai dalam penyelidikan panas bumi karena
biaya yang relatif murah dan teknologi pengolahan data yang semakin berkembang
(Anderson et al, 2000).

Struktur Resistivitas Sistem Panas Bumi


Perbedaan nilai resistivitas tiap bagian komponen sistem panas bumi dapat digambarkan
sebagai suatu struktur resistivitas bawah permukaan yang membantu pembuatan model
konseptual sistem panas bumi. Komponen sistem panas bumi umumnya memiliki tatanan
geologi yang khas, aktivitas hidrotermal yang terjadi sangat mempengaruhi nilai
resistivitas batuan di daerah panas bumi. Menurut Flovenz et al (2005) struktur resistivitas
sistem panas bumi akan bergantung pada parameter fisik seperti temperatur, porositas
batuan, salinitas fluida hidrotermal, saturasi fluida dalam pori batuan dan nilai
konduktivitas antarmuka batuan (interface conductivity).
Struktur resistivitas sistem panas bumi umumnya terdiri dari beberapa bagian yang
memiliki karakter nilai resistivitas tersendiri. Gambar 1 menunjukan ilustrasi struktur
resistivitas umum sistem panas bumi di daerah volkanik, sementara Gambar 2 menunjukan
hasil penelitian Flovenz et al (2005) yang menggambarkan perubahan nilai resistivitas
secara gradual dari bagian atas sistem panas bumi hingga bagian reservoar yang
berkorelasi dengan perubahan vertikal jenis-jenis mineral lempung dan temperatur. Bagian
paling atas terdiri dari batuan yang tidak mengalami alterasi, batuan ini umumnya memiliki
nilai resistivitas yang tinggi dari batuan penudung. Ussher et al (2000) menyatakan bahwa
batuan nonalterasi dengan nilai resistivitas tinggi di atas batuan penudung memiliki
saturasi fluida yang sangat minim untuk bertindak sebagai jalur konduktif. Sementara
menurut Flovenz et al (2005), tingginya nilai resistivitas ini disebabkan oleh
ketidakhadiran mineral lempung yang mampu menyediakan jalur konduktivitas antarmuka
batuan.
Di bawah zona resistif terdapat batuan penudung dengan ciri nilai resistivitas rendah
(1-10 Ohm-m), hal ini menurut Flovenz et al (2005) dan Ussher et al (2000) dikarenakan
oleh kehadiran mineral lempung yang memiliki nilai Cation Exchange Capacity (CEC)
yang tinggi. CEC merupakan kapasitas batuan untuk menyediakan jalur konduktif melalui
bidang batas antarmuka batuan (interface conductivity).
Bagian reservoar memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi dibanding batuan
penudung, hal ini dikontrol oleh penurunan jumlah smektit dan digantikan oleh mixed clay,
ilit, klorit dan epidot. Mineral-mineral tersebut memiliki nilai CEC yang jauh lebih rendah
dibandingkan smektit (Ussher et al, 2000; Flovenz et al, 2005) sehingga memiliki
konduktivitas elektrik yang lebih rendah (lebih resistif).

Metode Magnetotellurik
Magnetotellurik (MT) merupakan metode geofisika pasif yang memanfaatkan penetrasi
gelombang Elektromagnetik (EM) ke bawah permukaan bumi untuk mengetahui nilai
impedansi suatu materi. Nilai impedansi didapatkan dengan mengukur variasi medan
magnet dan medan elektrik dari gelombang EM di bawah permukaan secara simultan
(Tikhonov, 1950; Cagniard, 1953 dalam Simpson and Bahr, 2005). Berdasarkan
frekuensinya sumber gelombang EM ini dibagi menjadi dua, antara lain: (a) Gelombang
dengan frekuensi <1 Hz yang berasal dari interaksi antara solar wind dengan magnetosfer
bumi. (b) Gelombang dengan frekuensi >1 Hz yang berasal dari aktifitas elektrik alamiah
di ionosfer seperti petir/kilat (Ward and Wannamaker, 1983).

407
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Variasi medan magnet (Hy) dan medan elektrik (Ex) yang diukur secara simultan dapat
diaplikasikan pada persamaan impedansi (Zxy) untuk memperoleh nilai resistivitas. Nilai
impedansi menurut Ward and Wannamaker (1983) diperoleh dari persamaan:
‫ܧ‬௫ ‫ܧ‬௬
ܼ‫= ݕݔ‬ =−
‫ܪ‬௬ ‫ܪ‬௫
Sementara nilai resistivitas diperoleh dari persamaan:
‫ܧ‬௫
ߩ௫௬ = (0.2ܶ)(ܼ‫)ݕݔ‬ଶ = (0.2ܶ)( )ଶ
‫ܪ‬௬
Ex dalam Vm , Hy dalam A m , T merupakan frekuensi [s] dan ߩ adalah nilai resistivitas
-1 -1

[ohm-m].

Akusisi Data
Prinsip akusisi data MT di lapangan adalah dengan merekam nilai Ex, Ey, Hx, Hy dan Hz
dengan menggunakan satu set alat ukur MT (Unsworth, 2008). Alat ukur ini terdiri dari 1
buah MT Unit, 2 set elektrode, Ex, Ey dan 3 buah koil magnetometer, Hx, Hy dan Hz
(Gambar 3). Hasil perekaman ini selanjutnya dapat diolah untuk mendapatkan nilai
resistivitas seperti pada persamaan di atas.
Penentuan lokasi titik ukur MT dalam penyelidikan panas bumi membutuhkan
pertimbangan tersendiri untuk mengurangi resiko kegagalan pengukuran. Kondisi geologi
berupa geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan manifestasi panas bumi menjadi
parameter dalam penentuan lokasi pengukuran.
Daerah penelitian berada pada zona sesar Sumatera yang memanjang barat laut –
tenggara, zona sesar ini tercermin sebagai suatu kelurusan morfologi lembah yang diapit
oleh tiga kerucut gunung api. Manifestasi panas bumi berupa fumarol dan mata air panas
juga muncul di sepanjang lembah. Berdasarkan kondisi geologi tersebut, daerah zona sesar
yang disertai dengan kemunculan manifestasi panas bumi menjadi prioritas lokasi
pengukuran MT.

Pemrosesan Data
Nilai Ex, Ey, Hx, Hy dan Hz yang direkam di lapangan merupakan data MT dalam bentuk
time series. Untuk dapat diubah menjadi kurva resistivitas MT, data tersebut harus melalui
beberapa tahap pemrosesan yang meliputi fast fourier transform, robust processing dan
seleksi cross power.
Fast fourier transform merupakan metode untuk merubah data MT dari bentuk time
series menjadi frequency domain. Robust processing merupakan pemrosesan statistik
terhadap data MT untuk mereduksi data-data yang menyimpang dari pola data utama.
Sementara seleksi cross power adalah tahap untuk memodifikasi kurva MT agar menjadi
lebih smooth. Dalam suatu pengukuran MT sering terjadi pergeseran statik, kurva yang
mengalami pergeseran statik harus dikoreksi dengan menggunakan data pendukung seperti
TDEM.

Koreksi Statik
Pergeseran statik merupakan suatu fenomena kurva resistivitas yang melenceng dari nilai
sebenarnya, pergeseran ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti keberadaan material
konduktif (jaringan kabel listrik bawah permukaan) di dekat lokasi pengukuran dan
topografi yang bergelombang. Menurut Cumming and Mackie (2010) distorsi terhadap
data MT oleh material konduktif di dekat permukaan dapat terjadi karena pengukuran MT
pada dasarnya menggunakan 2 set alat ukur medan elektrik, Ex, Ey dan 3 buah koil

408
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

magnetometer, Hx, Hy dan Hz. Elektrode dan koil ini berpotensi menghasilkan perbedaan
hasil perekaman ketika salah satu dari alat tersebut berada di dekat material konduktif (
Gambar 3). Elektrode Ey mendapat distorsi dari material konduktif berwarna merah yang
tidak terdeteksi oleh elektrode Ex. Nilai pengukuran yang dihasilkan dari kedua elektrode
ini seharusnya sama dan mewakili nilai resistivitas batuan yang diukur, akan tetapi distorsi
di permukaan menyebabkan kurva Ey menyimpang secara konstan hingga kedalaman yang
signifikan.
TDEM merupakan metode yang merekam nilai resistivitas batuan di dekat permukaan
tanpa menggunakan elektrode (Gambar 4), metode ini tidak terpengaruh oleh distorsi statik
seperti pada metode MT. Data TDEM lapangan yang direkam pada titik pengukuran yang
sama dengan data MT digunakan sebagai kurva acuan untuk menggeser kurva MT yang
tadinya melenceng. Koreksi statik ini menghasilkan kurva MT yang menunjukan nilai
sebenarnya dan menurunkan potensi terjadinya kesalahan interpretasi nilai resistivitas
batuan (Gambar 5).

Forward Modeling
Kurva MT yang telah dikoreksi statik digunakan untuk 1-D forward modeling. Tahap ini
merupakan pembuatan model 1-D dari data masing-masing stasiun pengukuran. Analisis
MT-1D menggunakan kurva ߩxy untuk mengetahui distribusi nilai resistivitas di bawah
permukaan (Unsworth, 2008). Kurva ߩxy mewakili nilai resistivitas yang dihasilkan dari
medan elektrik Ex yang sejajar dengan jurus struktur utama dan medan magnetik Hy yang
tegak lurus terhadap jurus struktur utama di daerah penelitian (Xiao, 2004).
Hasil analisis berupa model MT 1D di suatu titik selanjutnya dikombinasikan dengan
model dari titik lain untuk menghasilkan visualisasi 2D dalam bentuk penampang
resistivitas pada lintasan A1 dan B2 (Gambar 10 dan Gambar 11). Selain dalam bentuk
penampang, distribusi nilai resistivitas juga disajikan dalam bentuk peta resistivitas
(substratum) pada elevasi tertentu untuk mengetahui distribusi anomali resistivitas secara
lateral. Penampang dan peta resistivitas dapat menggambarkan distribusi zona konduktif
dan zona resistif di bawah permukaan. Determinasi terhadap sebaran zona konduktif dan
zona resistif sangat penting untuk memperkirakan tatanan komponen sistem panas bumi di
bawah permukaan.

Presentasi Hasil
Studi MT yang menghasilkan gambaran resistivitas dapat diintegrasikan dengan data
pendukung lain seperti data geologi untuk mendukung pembuatan model konseptual sistem
panas bumi. Parameter geologi seperti morfologi, stratigrafi, alterasi hidrotermal, struktur
geologi dan manifestasi panas bumi merupakan beberapa faktor pengontrol alami yang
dapat digunakan untuk menjelaskan anomali resitivitas pada sistem panas bumi.
Struktur resistivitas yang dihasilkan dari tahap pemodelan disajikan dalam bentuk peta
resistivitas, penampang resistivitas dan visualisasi 3D untuk memberikan gambaran bawah
permukaan yang lebih komprehensif.

Peta Resistivitas
Peta resistivitas menggambarkan sebaran nilai resistivitas secara lateral pada elevasi
tertentu. Dalam penelitian ini penulis membuat beberapa peta resistivitas dari permukaan
hingga kedalaman 5000 m untuk melihat perubahan pola resistivitas. Penulis mengambil
representasi peta resisitivitas pada beberapa elevasi yaitu elevasi 600 m d.p.l., -100 m

409
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

d.p.l., -1100 m d.p.l. dan -2100 m d.p.l., masing-masing elevasi tersebut mampu
menunjukan perubahan pola resistivitas yang ada.
Pada elevasi 600 m d.p.l. (Gambar 6) terlihat sebaran zona konduktif dengan warna
merah berada di bagian tengah daerah penelitian dan memanjang pada arah barat laut -
tenggara, zona ini diperkirakan sebagai batuan penudung reservoar panas bumi, fumarol
dan mata air panas yang muncul dalam zona ini menjadi indikasi adanya peristiwa
hidrotermal di bagian bawah batuan penudung. Daerah resistif yang ditandai dengan warna
kuning hingga biru teramati di bagian utara dan selatan daerah penelitian, zona ini
diperkirakan sebagai material tutupan yang belum mengalami alterasi hidrotermal.
Pada elevasi -100 m d.p.l. (Gambar 7) pola resistivitas menunjukan zona konduktif
mengelilingi daerah resistif di bagian tengah yang memanjang pada arah barat laut –
tenggara, zona resistif ini terlihat dibatasi oleh batas konduktif kecil. Zona resistif yang
terlihat di bagian tengah elevasi ini diduga sebagai bagian atas reservoar yang mulai
terpetakan, zona resistif ini berasosiasi dengan manifestasi panas bumi yang muncul di
permukaan. Daerah konduktif yang tersebar disekeliling zona resistif diperkirakan sebagai
bagian sayap dari batuan penudung yang membentuk kubah, batuan penudung ini menebal
pada bagian sayap sehingga pada daerah yang lebih dalam yang teramati tidak lagi bagian
puncak dari batuan penudung melainkan bagian sayap yang mengelilingi reservoar di
bagian tengah.
Pada elevasi -1100 m d.p.l. (Gambar 8) bentukan reservoar yang ditandai oleh zona
resistif semakin jelas terlihat, batas konduktif yang memisahkan dua klosur pada elevasi -
100 m d.p.l. tidak lagi muncul. Zona reservoar berorientasi barat laut – tenggara dengan
sebaran lebih luas di bagian tenggara. Terdapat zona berwarna biru hingga ungu pada
bagian timur reservoar yang diperkirakan merupakan tubuh batuan di bawah zona
reservoar yang memiliki resistivitas lebih tinggi dari zona reservoar. Daerah konduktif
yang muncul pada elevasi ini teramati pada bagian utara dan selatan zona resistif.
Pola resistivitas pada elevasi -2100 m d.p.l. (Gambar 9) terlihat mengalami perubahan,
zona reservoar yang ditandai oleh zona resistif dengan warna kuning hingga hijau
menunjukan sebaran yang semakin luas. Perubahan terjadi pada zona yang lebih resistif
dengan warna biru yang memanjang ke arah barat laut pada elevasi ini. Daerah konduktif
yang diperkirakan sebagai batuan penudung sebarannya semakin sedikit, zona konduktif
ini hanya muncul di bagian timur laut daerah penelitian.

Visualisasi 2D (Gambar 10)


Penampang A1 (Gambar 10) berarah barat timur dan melintasi manifestasi fumarol,
penampang ini dihasilkan dari integrasi 7 stasiun MT pada arah yang sejajar dengan arah
penampang. Zona resistif di dekat permukaan yang teramati pada peta resistivitas elevasi
600 m d.p.l. tergambarkan dengan baik pada sayatan melintang ini, zona resistif tersebut
berada di bawah stasiun MT008 hingga MT007. Batuan penudung sistem panas bumi
ditandai oleh zona konduktif yang terdapat di bagian bawah fumarol, zona ini memiliki
ketebalan sekitar 1000 m.
Transisi dari batuan penudung menjadi reservoar ditandai dengan nilai resistivitas yang
semakin tinggi, hal ini diakibatkan oleh tergantikannya mineral-mineral konduktif seperti
smektit yang menyusun batuan penudung menjadi mineral yang lebih resistif berupa ilit
dan klorit di zona reservoar. Peningkatan nilai resistivitas di bawah kemunculan fumarol
ini juga diperkirakan sebagai ekspresi dari peningkatan temperatur fluida dan penurunan
salinitas fluida di bawah permukaan.
Penampang B2 (Gambar 11) berarah utara-selatan dan mewakili integrasi data dari 5
staiun pengukuran MT, penampang ini melintasi dua manifestasi panas bumi yakni
fumarol di bagian utara dan mata air panas di bagian selatan. Pola kubah batuan penudung
410
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

yang dijelaskan pada bagian peta resistivitas dapat tergambarkan dengan baik pada
penampang melintang ini. Terlihat batuan penudung yang ditandai oleh zona konduktif
(berwarna merah) menyelimuti zona resistif (warna kuning hingga biru) di bagian bawah
yang diperkirakan sebagai zona reservoar. Zona konduktif ini tipis dibagian puncak kubah
dan semakin menebal ke arah sayap.
Bentukan kubah reservoar panas bumi yang teramati pada penampang ini diduga
berkaitan erat dengan pergerakan ke atas (upflow) fluida panas bumi yang diekspresikan
oleh munculnya fumarol dan mata air panas di bagian puncak dari struktur kubah. Di
bagian bawah zona reservoar juga teramati daerah yang jauh lebih resistif dengan bentukan
serupa, pola ini diduga merupakan ekspresi dari temperatur fluida hidrotermal yang
semakin tinggi pada titik yang mendekati sumber panas sistem panas bumi.

Visualisasi 3D
Visualisasi 3D dibangun dari integrasi seluruh model resistivitas stasiun MT. Integrasi ini
menghasilkan bangun 3D struktur resistivitas di daerah penelitian (Gambar 12), bangun 3D
ini selanjutnya disayat pada beberapa bagian agar dapat menunjukan konfigurasi sistem
panas bumi yang terletak pada bagian tengah bangun 3D. Interpretasi terpadu selanjutnya
dilakukan dengan memasukan data geologi berupa struktur geologi dan manifestasi panas
bumi pada model resistivitas (Gambar 13). Model konseptual menunjukan reservoar
ditutupi oleh zona konduktif dengan nilai resistivitas <10 Ohm-m sebagai batuan
penudung. Batuan penudung tersebar dari barat laut hingga bagian tenggara lapangan
panas bumi. Sebaran batuan penudung di bagian selatan hanya mencapai manifestasi air
panas dengan temperatur 50o C dan pH 6. Kemunculan manifestasi dengan fluida
mendekati netral ini kemungkinan menjadi pertanda batas luar sistem panas bumi.
Bentukan kubah reservoar terlihat pada sayatan bagian utara dan menipis pada sayatan
bagian timur. Bentukan ini dihasilkan dari deliniasi terhadap struktur resistivitas reservoar
panas bumi dengan memperhitungkan juga jenis manifestasi panas bumi yang muncul di
permukaan. Pergerakan fluida hidrotermal diduga sangat mempengaruhi bentuk reservoar
ini. Batas struktur reservoar yang teramati tidak semata-mata merefleksikan batas litologi
bawah permukaan, hal ini justru lebih mencerminkan pola alterasi hidrotermal yang
dilakukan oleh fluida panas bumi terhadap batuan di sekitarnya. Intensitas alterasi
hidrotermal dikontrol oleh distribusi rekahan yang ada pada batuan, hal ini menyebabkan
produk alterasi berupa mineral sekunder hanya akan terbentuk disekitar rekahan batuan.
Bagian batuan yang jauh dari rekahan akan mendapat pengaruh yang sangat kecil dari
peristiwa alterasi hidrotermal, implikasi dari hal ini adalah nilai resistivitas yang berbeda
dari bagian batuan yang mengalami rekahan dan tidak mengalami rekahan.
Fluida hidrotermal sistem panas bumi diduga berasal dari downflow air meteorik
melalui struktur-struktur membuka di daerah penelitian. Fluida hidrotermal bertemperatur
tinggi bergerak naik (upflow) menuju klosur-klosur yang ditunjukan oleh puncak kubah.
Ekspresi dari struktur upflow ini adalah berupa kemunculan manifestasi fumarol dengan
temperatur 90o C dan mata air panas dengan temperatur 82-96o C serta pH 2-6. Fluida
hidrotermal ini diduga juga bergerak keluar secara lateral (lateral outflow) menuju ke arah
tenggara, hal ini ditandai dengan kemunculan manifestasi panas bumi berupa mata air
panas dengan temperatur 50o C dan pH 6 di bagian tenggara lapangan panas bumi.

Kesimpulan
Metode MT sangat penting dilakukan dalam proses penyelidikan sistem panas bumi.
Anomali resistivitas yang dideteksi menggunakan metode MT dapat melengkapi data
geologi dan geokimia untuk menentukan strategi pengembangan lapangan panas bumi.

411
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Zona dengan nilai resistivitas rendah <10 Ohm-m (zona konduktif) merupakan ciri dari
batuan penudung yang mengandung mineral-mineral lempung dengan nilai konduktivitas
elektrik (Cation Exchange Capacity) yang tinggi. Batuan penudung umumnya ditutupi oleh
zona resistif yang merupakan batuan permukaan tak teralterasi yang tidak mengandung
mineral lempung dan memiliki saturasi fluida rendah di dalam pori batuan. Zona dengan
nilai resistivitas tinggi (10-60 Ohm-m) di bawah batuan penudung merupakan karakteristik
dari reservoar panas bumi, tingginya nilai resistivitas pada zona ini dikontrol antara lain
oleh; penggantian mineral smektit oleh mineral ilit, klorit dan epidot, penurunan salinitas
fluida hidrotermal serta peningkatan temperatur. Struktur resistivitas yang dihasilkan dari
pemodelan MT menunjukan bentukan kubah. Puncak kubah berasosiasi dengan
manifestasi panas bumi fumarol dan mata air panas yang mengindikasikan pergerakan ke
atas (upflow) fluida hidrotermal. Penipisan zona resistif 10-60 Ohm-m dan kemunculan
mata air panas di bagian tenggara menjadi pertanda bahwa fluida hidrotermal juga
bergerak keluar secara lateral (lateral outflow).

Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak PT Pertamina Geothermal Energy atas
kesempatan untuk mempelajari metode MT selama masa kerja praktek, serta izin yang
telah diberikan untuk mempublikasikan makalah ini.

Daftar Pustaka
Anderson, E., Crosby, D., Ussher, G., 2000, “Bulls-Eye! – Simple Resistivity Imaging to
Reliably Locate the Geothermal Reservoir”, Proceedings: World Geothermal
Congress, Kyushu, [http://www.geothermal-energy.org, diakses 1 Juni 2014]
Cumming, W., Mackie, R., 2010, “Resistivity Imaging of Geothermal Resources Using
1D, 2D and 3D MT Inversion and TDEM Static Shift Correction Illustrated by Glass
Mountain Case History”, Proceedings: World Geothermal Congress, Bali,
[http://www.geothermal-energy.org, diakses 28 Mei 2014]
Flóvenz, Ó.G., Spangenberg, E., Kulenkampff, J., Árnason, K., Karlsdóttir, R., Huenges,
E., 2005, “The Role of Electrical Interface Conduction in Geothermal Exploration”,
Proceedings: World Geothermal Congress, Antalya, [http://www.geothermal-
energy.org, diakses 29 September 2014]
Geosystem srl, 1996, Magnetotellurics Survey Report of ‘Padaliang’, unpublished.
LKFT UGM, 2010, Laporan Pengambilan Sampel dan Data Geologi Lapangan Survey
Geologi Daerah Prospek Panasbumi ‘Padaliang’, unpublished.
Simpson, F., Bahr, K., 2005, Practical Magnetotellurics, Cambridge University Press,
Cambridge.
Unsworth, M., 2008, Electromagnetic Exploration Methods, University of Alberta,
Canada.
Ussher, G., Harvey, C., Johnstone, R., Anderson, E., 2000, “Understanding the
Resistivities Observed in Geothermal Systems”, Proceedings: World Geothermal
Congress, Kyushu, [http://www.geothermal-energy.org, diakses 3 Juni 2014]
Ward, S., H., Wannamaker, P., E., 1983, The MT/AMT Electromagnetic Method in
Geothermal Exploration, UNU Geothermal Training Programme Report 1983-5,
Iceland.
Xiao, W., 2004, Magnetotelluric Exploration in the Rocky Mountain Foothills, Alberta,
Departement of Physics, University of Alberta, Canada.

412
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 1. Struktur resistivitas sistem panas bumi di daerah volkanik. Batuan permukaan
yang tidak mengalami alterasi hidrotermal memiliki nilai resistivitas yang lebih tinggi dari
batuan penudung. Batuan penudung memiliki nilai resistivitas <10 Ohm-m dan zona
reservoar memiliki nilai resistivitas 10-60 Ohm-m. (dimodifikasi dari: Cumming and
Mackie, 2010; Johnston et al, 1992; Anderson et al, 2000)

Gambar 2. Perubahan gradual nilai resistivitas pada tiap komponen si`stem panas bumi
(dimodifikasi dari Flovenz et al, 2005)

413
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 3. Skema pengukuran MT dan pergeseran statik yang terjadi pada kurva
resistivitas. (dimodifikasi dari Cumming and Mackie, 2010)

Gambar 4. Konfigurasi pengukuran TEM/TDEM dan kurva yang dihasilkan (dimodifikasi


dari Cumming and Mackie, 2010)

Gambar 5. Proses koreksi statik kurva MT Ex (merah dalam kotak hijau) dan Ey (biru
dalam kotak hijau) dengan kurva TDEM (hitam), kurva bagian bawah menunjukan fase
gelombang EM. Gambar A menunjukan kurva MT sebelum dikoreksi statik, Gambar B
menunjukan Kurva MT Ey setelah digeser menuju kurva TDEM, Gambar C menunjukan
kedua kurva MT Ex dan Ey yang sudah dikoreksi statik dan menunjukan nilai resistivitas
yang sama dengan kurva TDEM (dimodifikasi dari Cumming and Mackie, 2010)

414
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 6. Peta resistivitas pada elevasi 600 m d.p.l. Manifestasi panas bumi diplot untuk
menunjukan orientasi sebaran batuan penudung terhadap lokasi manifestasi.

Gambar 7. Peta resistivitas pada elevasi -100 m d.p.l. Manifestasi panas bumi diplot
untuk menunjukan orientasi reservoar panas bumi terhadap manifestasi.

415
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 8. Peta resistivitas pada elevasi -1100 m d.p.l. Manifestasi panas bumi diplot
untuk menunjukan orientasi reservoar panas bumi terhadap manifestasi.

Gambar 9. Peta resistivitas pada elevasi -2100 m d.p.l. Manifestasi panas bumi diplot
untuk menunjukan orientasi reservoar panas bumi terhadap manifestasi.

416
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 10. Penampang resistivitas A1 (lokasi penampang/lintasan dapat dilihat pada peta
resistivitas)

Gambar 11. Penampang resistivitas B2 (lokasi penampang/lintasan dapat dilihat pada peta
resistivitas)

417
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 12. Visualisasi 3D model resistivitas lapangan panas bumi

418
PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7
Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, 30 – 31 Oktober 2014

Gambar 13. Model konseptual sistem panas bumi

419

Anda mungkin juga menyukai