Anda di halaman 1dari 26

A.

Upaya mempertahankan indonesia


Upaya Mempertahankan Kemerdekaan melalui Jalur Diplomasi | Perjuangan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan dengan
mengangkat senjata atau perang, namun juga melalui jalur diplomasi.
Penyelesaian sengketa kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda melalui
jalur diplomasi melibatkan banyak negara. Perjuangan melalui diplomasi
dilakukan bangsa Indonesia dengan mencari dukungan internasional dan
berunding secara langsung dengan pihak Belanda. Jalur diplomasi dipilih oleh
pemerintah Indonesia pada waktu itu adalah dengan pertimbangan untuk
mengurangi korban jiwa dari kedua belah pihak juga untuk memperoleh
pengakuan internasional sebagai negara yang merdeka. Diplomasi yang
ditempuh oleh pemerintah Indonesia antara lain melalui pertemuan. Berikut
beberapa jalur diplomasi yang telah dilakukan oleh bangsa Indonesia untuk
menyelesaikan sengketa dengan Belanda.
1. Pertemuan Pendahuluan
Letnan Jenderal Christison selaku panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands
East Indies) yaitu pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia setelah selesainya
Perang Dunia II untuk melucuti persenjataan tentara Jepang, membebaskan
tawanan perang Jepang, dan memulangkan tentara Jepang kembali ke
negaranya. Ia mulai memprakasai perundingan antara Republik Indonesia
dengan Belanda untuk menyelesaikan pertikaian antara dua negara. Maka ia
pun melakukan serakaian pertemuan pendahuluan. Archibald Clark Kerr dan
Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai penengah. Perundingan dimulai
pada tanggal 10 Februari 1946. Pada awal perundingan, H.J. van Mook
menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda. Kemudian pada
tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyampaikan
pernyataan balasan.
2. Perundingan Hoge Veluwe
Perundingan Hoge Veluwe ditempuh oleh pemerintah Republik Indonesia dan
Belanda di Hoge Veluwe, Belanda pada tanggal 14–25 April 1946. Pertemuan
ini diprakarsai oleh seorang diplomat Inggris bernama Sir Archibald Clark Keer.
Pada perundingan ini, delegasi Indonesia diwakili oleh Mr. Suwandi, Dr.
Sudarsono, dan Mr. A.K. Pringgodigdo sedangkan Belanda diwakili oleh Dr. H.J.
van Mook. Perundingan ini mengalami kegagalan karena Belanda menolak
untuk mengakui kemerdekaan Republik Indonesia yang terdiri dari Jawa,
Madura, dan Sumatra secara de jure. Belanda malah menawarkan kepada
Indonesia sebagai wilayah federasi kerajaan Belanda. Tentu saja bangsa
Indonesia menolak tawaran Belanda tersebut. Karena belum ada kesepakatan
antara kedua belah pihak, maka kedua negara merencanakan perundingan
selanjutnya.
3. Perundingan Gencatan Senjata
Terjadinya pertempuran antara tentara Indonesia dengan Belanda pasca
proklamasi kemerdekaan dan tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak
mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Banyaknya insiden pertempuran
antara pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu dan Belanda mendorong
diadakannya perundingan gencatan senjata. Perundingan diikuti wakil dari
Indonesia,Sekutu, dan Belanda. Perundingan dilaksanakan dari tanggal 20 – 30
September 1946. Namun perundingan ini tidak mencapai hasil yang diinginkan.
4. Perundingan Indonesia-Belanda 7 Oktober 1946
Karena perundingan gencatan senjata yang telah dilaksanakan sebelumnya
mengalami kegagalan, maka Lord Killearn merencakan perundingan lanjutan.
Perundingan ini dilaksanakan di rumah Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada
tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Sutan
Syahrir. Delegasi Belanda diketuai oleh Prof. Schermerhorn. Dalam
perundingan tersebut, masalah gencatan senjata yang gagal perundingan
tanggal 30 September 1946 disetujui untuk dibicarakan lagi dalam tingkat
panitia yang diketuai Lord Killearn. Perundingan tingkat panitia menghasilkan
persetujuan gencatan senjata sebagai berikut.

Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan
atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah
teknis pelaksanaan gencatan senjata.

Di bidang politik, delegasi Pemerintah Indonesia dan komisi umum Belanda


sepakat untuk menyelenggarakan perundingan politik “secepat mungkin”.
4. Perjanjian Linggarjati
Perundingan Linggarjati dilaksanakan di Linggarjati, Cirebon, Jawa barat.
Perundingan ini juga diprakarsai oleh seorang diplomat Inggris bernama Lord
Killearn, pertemuan tersebut diawali dengan pertemuan antara wakil
Indonesia dan Belanda di Istana Negara dan Pegangsaan Timur 56.
Perundingan Linggarjati merupakan tindak lanjut dari perundingan
sebelumnya. Perundingan di Linggarjati dihadiri oleh beberapa tokoh juru
runding, antara lain sebagai berikut:

Inggris, sebagai pihak penengah diwakili olehLord Killearn.


Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir (Ketua), Mohammad Roem (anggota),
Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H. (anggota), Dr. A.K Gani (anggota).
Belanda, diwakili Prof. Schermerhorn (Ketua), De Boer (anggota), dan Van
Pool (anggota)

Perundingan di Linggarjati tersebut menghasilkan keputusan yang disebut


perjanjian Linggarjati. Berikut ini adalah isi Perjanjian Linggarjati:

Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah


kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah
harusmeninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
negara Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI,
Kalimantan dan Timur Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal
1 Januari 1949.
RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu
Belanda sebagai ketua. Perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh Belanda dan
Indonesia pada tanggal 25 Maret 1947 dalam suatu upacara kenegaraan di
Istana Negara Jakarta.

Perjanjian Linggarjati memiliki dampak positif dan negatif bagi bangsa


Indonesia. Berikut dampak positif dan negatif perjanjian Linggarjati:
Segi positifnya ialah adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa,
Madura, dan Sumatera.
Segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, yang
seluas Hindia Belanda dulu tidak tercapai.

5. Melibatkan Komisi Tiga Negara


Perjanjian Linggarjati tampaknya sulit dilaksanakan. Belanda bahkan
melancarkan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Sehingga pada tanggal
18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa
Baik. Komisi ini kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara.
Anggota KTN terdiri dari Richard Kirby (wakil Australia), Paul van Zeeland (wakil
Belgia), dan Frank Graham (wakil Amerika Serikat). Dalam pertemuannya pada
tanggal 20 Oktober 1947, KTN memutuskan bahwa tugas KTN di Indonesia
adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RI dan Belanda
dengan cara damai. Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk
memulai pekerjaannya.
6. Perjanjian Renville
Jalur Diplomasi dalam Upaya Mempertahankan Kemerdekaan dilaksanakan
melalui Perjanjian Renville yang merupakan tindak lanjut dari usaha yang
dilaksanakan Komisi Tiga Negara (KTN). KTN berusaha mendekatkan RI dan
Belanda untuk berunding. Atas usul KTN, perundingan dilakukan di tempat
yang netral, yaitu di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika
Serikat “USS Renville”. Oleh karena itu, perundingan tersebut dinamakan
Perjanjian Renville. Perjanjian ini dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 1947
– 17 Januari 1948. Adapun yang berperan dalam Perjanjian Renville
diantaranya adalah:

Frank Graham (ketua), Paul van Zeeland (anggota), dan Richard Kirby
(anggota) sebagai mediator dari PBB.
Delegasi Indonesia Republik Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin (ketua),
Ali Sastroamidjojo (anggota), Haji Agus Salim (anggota), Dr. J. Leimena
(anggota), Dr. Coa Tik Ien (anggota), dan Nasrun (anggota).
Delegasi Belanda Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua),
Mr. H.A.L. van Vredenburgh (anggota), Dr. P. J. Koets (anggota), dan Mr. Dr.
Chr. Soumokil (anggota).

Hasil dari perundingan Renville ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948


yang berisi sebagai berikut:

Penghentian tembak-menembak.
Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan
RI.
Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang
didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
Membentuk Uni Indonesia-Belanda. Negara Indonesia Serikat yang ada di
dalamnya sederajat dengan Kerajaan Belanda. Persetujuan Renville
ditandatangani oleh Amir Syarifuddin (Indonesia) dan Abdulkadir
Wijoyoatmojo (Belanda).

Perjanjian Renville pada kenyataannya semakin memojokkan kedudukan


Indonesia. Keadaan semakin parah karena Belanda melakukan blokade
ekonomi terhadap Indonesia. Itulah sebabnya hasil Perjanjian Renville
mengundang reaksi keras, baik dari kalangan partai politik maupun TNI.

Bagi kalangan partai politik, hasil perundingan itu memperlihatkan kekalahan


perjuangan diplomasi pemerintah Indonesia.
Bagi TNI, hasil perundingan itu mengakibatkan harus meninggalkan sejumlah
wilayah pertahanan yang telah susah payah dibangun.

7. Resolusi DK PBB
Belanda ternyata tidak menunjukkan itikad baik kepada Indonesia. Hal ini
dikarenakan belanda melancarkan Agresi Militer Belanda II yaitu pada tanggal
28 Januari 1949. Peristiwa ini mendorong Dewan Keamanan PBB sebuah
revolusi. Adapun isi Revolusi Dewan Keamanan PBB adalah sebagai berikut:

Belanda harus menghentikan semua operasi militer dan pihak Republik


Indonesia diminta untuk menghentikan aktivitas gerilya. Kedua pihak harus
bekerja sama untuk mengadakan perdamaian kembali.
Pembebasan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik
dalam daerah RI oleh Belanda sejak 19 Desember 1948.
Belanda harus memberikan kesempatan kepada pemimpin RI untuk kembali
ke Yogyakarta dengan segera. Kekuasaan RI di daerah-daerah RI menurut
batas-batas Persetujuan Renville dikembalikan kepada RI.
Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-
cepatnya dengan dasar Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, dan
berdasarkan pembentukan suatu Pemerintah Interim Federal paling lambat
tanggal 15 Maret 1949. Pemilihan Dewan Pembuat Undang Undang Dasar
Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1949.
Komisi Jasa-jasa Baik (KTN) berganti nama menjadi Komisi Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nation for Indonesia atau UNCI). UNCI
bertugas untuk: membantu melancarkan perundinganperundingan untuk
mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah RI, mengamati pemilihan,
mengajukan usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya
penyelesaian.

8. Perjanjian Roem-Royen
Sejalan dengan upaya melalui jalur senjata, usaha-usaha melalui jalui diplokasi
untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia terus dilakukan.
UNCI mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin RI di Bangka.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949
memerintahkan UNCI untuk membantu pelaksanaan resolusi DK PBB pada
tanggal 28 Januari 1949. UNCI berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke
meja perundingan. Pada tanggal 17 April 1949 dimulailah perundingan
pendahuluan di Jakarta. Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Mohammad Roem.
Delegasi Belanda dipimpin Dr. van Royen. Pertemuan dipimpin Merle Cohran
dari UNCI yang berasal dari Amerika Serikat. Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949
tercapai persetujuan. Persetujuan itu dikenal dengan nama “Roem-Royen
Statement”. Dalam perundingan ini, setiap delegasi mengeluarkan pernyataan
sendiri-sendiri. Pernyataan delegasi Indonesia antara lain sebagai berikut:

Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta.


Kesediaan mengadakan penghentian tembakmenembak.
Kesediaan mengikuti Konferensi Meja Bundar setelah pengembalian
Pemerintah RI ke Yogyakarta.
Bersedia bekerja sama dalam memulihkan perdamaian dan tertib hukum.

Sedangkan pernyataan dari pihak Belanda adalah sebagai berikut:

Menghentikan gerakan militer dan membebaskan tahanan politik.


Menyetujui kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
Berusaha menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar.

Pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta.


Pengembalian Yogyakarta ke tangan Republik Indonesia diikuti dengan
penarikan mundur tentara Belanda dari Yogyakarta. Tentara Belanda berhasil
menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19 Desember 1948 – 6 Juli 1949.
9. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada tanggal 23
Agustus 1949 – 2 November 1949. Konferensi ini dipimpin oleh Perdana
Menteri Belanda, W. Drees dan dihadiri oleh:

Delegasi Republik Indonesia dipimpin Mohammad Hatta,


Delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid,
Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin J. H. van Maarseveen, dan
UNCI diketuai oleh Chritchley.

Dalam konferensi dibentuk tiga komisi, yaitu: Komisi Ketatanegaraan, Komisi


Keuangan, dan Komisi Militer. Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam
perundingan adalah:

dari Komisi Ketatanegaraan menyangkut pembahasan mengenai Irian Jaya,


dari Komisi Keuangan menyangkut pembicaraan mengenai masalah utang.

Berikut ini adalah beberapa hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag:

Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya dan tanpa


syarat kepada RIS.
Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri atas Republik Indonesia dan 15
negara federal. Corak pemerintahan RIS diatus menurut konstitusi yang dibuat
oleh delegasi RI dan BFO selama Konferensi Meja Bundar berlangsung.
Melaksanakan penyerahan kedaulatan selambat- lambatnya tanggal 30
Desember 1949.
Masalah Irian Jaya akan diselesaikan dalam waktu setahun sesudah
pengakuan kedaulatan.
Kerajaan Belanda dan RIS akan membentuk Uni Indonesia-Belanda. Uni ini
merupakan badan konstitusi bersama untuk menyelesaikan kepentingan
umum.
Menarik mundur pasukan Belanda dari Indonesia dan membubarkan KNIL.
Anggota KNIL boleh masuk ke dalam APRIS.
RIS harus membayar segala utang Belanda yang diperbuatnya semenjak
tahun 1942.

10. Pengakuan Kedaulatan


Upaya perjuangan mempertahankan kemerdekaan mencapai puncaknya yaitu
dilaksanakannya penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan Indonesia
yang dilaksanakan pada waktu yang bersamaan yaitu di Indonesia dan Belanda
pada tanggal 27 Desember 1949. Di negeri Belanda, penandatanganan naskah
pengakuan kedaulatan dilaksanakan di ruang takhta Istana Kerajaan Belanda.
Ratu Juliana, P.M. Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A.
Sassen, dan Mohammad Hatta membubuhkan tanda tangan pada naskah
pengakuan kedaulatan. Sementara itu, di Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX
dan A.H.J. Lovink (Wakil Tinggi Mahkota) membubuhkan tanda tangan pada
naskah pengakuan kedaulatan. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta
dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik
Indonesia Serikat. Dengan demikian akhirnya perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia, baik melalui jalur diplomasi maupun jalur perang
menghadapi Belanda berakhir.

B.PERJUANGAN FISIK MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN


REPUBLIK INDONESIA
Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno dan Drs.
Moh. Hatta (Bapak Proklamator) pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai
pernyataan resmi Bangsa Indonesia yang telah melepaskan diri dari penjajahan
Belanda dan Jepang. Tetapi kaum penjajah (Belanda) tidak mengakui
kemerdekaan Indonesia, bahkan Belanda berusaha dengan berbagai cara
untuk kembali menjajah Indonesia.
Sementara Bangsa Indonesia tetap dengan gigih berusaha mempertahankan
kemerdekaan, sehingga terjadilah beberapa pertempuran sebagai wujud
perlawanan rakyat untuk mengusir penjajah dari tanah air tercinta ini. Baiklah
kami coba mengurai beberapa peristiwa perlawanan rakyat secara fisik
terhadap Belanda yang berusaha ingin menjajah Indonesia :

1. Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya


Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya berawal dari mendaratnya tentara
Inggris yang dipimpin oleh Sir Philip Christison pada tanggal 29 September
1945 di Jakarta dan diboncengi tentara NICA (Netherlands Indies Civil
administration) dipimpin oleh Dr. H.J. Van Mook.
Tanggal 25 Oktober 1945 Brigjen A.W.S. Mallaby memimpin pendaratan Inggris
di Surabaya untuk melucuti tentara Jepang dan interniran (tawanan perang).
Mallaby telah sepakat dengan wakil pemerintah RI untuk saling menjaga
keamanan. Inggris melanggar beberapa kesepakatan yaitu :
a. Pada tanggal 26 Oktober 1945 Inggris mengingkari janjinya dengan
menyerbu Penjara Kalisosok Surabaya dibawah pimpinan Kapten Shaw.
b. Pada tanggal 27 Oktober 1945 Inggris menduduki Pangkalan Udara Tanjung
Perak, Kantor Pos Besar dan Gedung Bank Internatio.
c. Pada siang harinya tanggal 27 Oktober 1945 pesawat terbang Inggris
menyebarkan pamplet yang isinya memerintahkan agar rakyat Surabaya dan
Jawa Timur menyerahkan senjata yang di rampas dari tentara Jepang.
Akibat Inggris yang melakukan pelanggaran tersebut maka membangkitkan
perlawanan rakyat Surabaya. Maka pertempuranpun tak bisa dihindarai dan
berlangsung selama 2 hari (27 - 29 Oktober 1945). Tanggal 30 Oktober
disepakati untuk menghentikan pertempuran setelah terjadi pertemuan
Presiden Soekarno dan Mallaby. Tetapi pada sore harinya (30 Oktober 1945)
terjadi pertempuran di Bank Internatio dan menewaskan Brigjen A.W.S.
Mallaby.
Pada tanggal 9 Nopember 1945 Inggris mengeluarkan ultimatum (ancaman)
yang isinya memerintahkan kepada seluruh para pemimpin dan pemuda
Indonesia agar menyerahkan senjata di tempat-tempat yang telah di tentukan
sambil mengangkat tangan, selambat-lambatnya pukul 06.00 tanggal 10
Nopember 1945 dan jika hal itu tidak dilakukan maka Inggris akan menyerang
Surabaya dari darat, laut dan udara.
Gubernur Jawa Timur R.M. Suryo dan para tokoh TKR (Tentara Keamanan
Rakyat) menolak ancaman Inggris, bahkan melakukan perlawanan. Maka pada
tanggal 10 Nopember 1945 meletuslah perlawanan sengit menghadapi tentara
gabungan (Inggris, Gurkha dan Belanda).
Dalam pertempuran tersebut Bung Tomo berpidato dengan semangat yang
beapi-api dan menyatakan lebih baik mati daripada di jajah.
Untuk mengenang peristiwa tersebut maka setiap tanggal 10 Nopember
diperingati sebagai Hari Pahlawan.

2. Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa berlangsung dari tanggal 20 Nopember - 15
Desamber 1945 di Ambarawa antara Pasukan TKR dengan tentara Sekutu.
Pasukan TKR dipimpin oleh Mayor Soemarto.
Tanggal 26 Nopember 1945 pimpinan TKR dari Purwokerto, Letkol Isdiman
gugur dan digantikan oleh Kolonel Soedirman yang kemudian mengambil alih
pimpinan pasukan. Dibawah pimpinan Letkol Soedirman TKR berhasil memukul
mundur pasukan sekutu dengan melakukan perang gerilya. Sejak saat itulah
nama besar Soedirman menjadi terkenal.
Untuk mengenang pertempuran Ambarawa setiap tanggal 15 Desember
diperingati sebagai Hari Infantri dan di Ambarawa didirikan monumen yaitu
Palagan Ambarawa.

3. Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di
kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam
waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar rumah
mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung.
Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda
untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer
dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal
12 Oktober 1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah
tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan
penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang
Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-
tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata
antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November
1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap
kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homanndan
Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian,
MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat agar
Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan
bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu)
meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi
"bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota
Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk
membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis
Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan
perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946. Kolonel
Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRImengumumkan hasil
musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu
juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan
kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar
Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di
mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua
listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit
terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah
selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu.
Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI
(Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang
amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut
dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi
tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan
tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul
21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak
saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk
dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung pun
menjadi lautan api
4. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 24 Agustus 1945, antara pemerintah Kerajaan Inggris dan
Kerajaan Belanda tercapai suatu persetujuan yang terkenal dengan nama civil
Affairs Agreement. Dalam persetujuan ini disebutkan bahwa panglima tentara
pendudukan Inggris di Indonesia akan memegang kekuasaan atas nama
pemerintah Belanda.

Dalam melaksanakan hal-hal yang berkenaan dengan pemerintah sipil,


pelaksanaannya diselenggarakan oleh NICA dibawah tanggungjawab komando
Inggris. Kekuasaan itu kelak di kemudian hari akan dikembalikan kepada
Belanda. Inggris dan Belanda membangun rencana untuk memasuki berbagai
kota strategis di Indonesia yang baru saja merdeka. Salah satu kota yang akan
didatangi Inggris dengan “menyelundupkan” NICA Belanda adalah
Medan.Sementara di tempat lain pada tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan
baru mendengar berita proklamasi yang dibawa oleh Mr. Teuku Moh Hassan
sebagai Gubernur Sumatera. Mengggapi berita proklamasi para pemuda
dibawah pimpinan Achmad lahir membentuk barisan Pemuda Indonesia.Pada
tanggal 9 Oktober 1945 rencana dalam Civil Affairs Agreement benar-benar
dilaksanakan. Tentara Inggris yang diboncengi oleh NICA mendarat di Medan.
Mereka dipimpin oleh Brigjen T.E.D Kelly. Awalnya mereka diterima secara baik
oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk
membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Sebuah insiden terjadi di
hotel Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Saat itu seorang
penghuni hotel (pasukan NICA) merampas dan menginjak-injak lencana Merah
Putih yang dipakai pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan para
pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang
banyak dihuni pasukan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu
memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di
berbagai sudut kota Medan. Sejak saat itulah Medan Area menjadi terkenal.
Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik
yang berada di kota Medan.Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan
TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Pada
tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara
komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan
tersebut memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area.Pada tanggal 10 desember 1945, Sekutu
dan NICA melancarkan serangan besar-besaran terhadap kota Medan.
Serangan ini menimbulkan banyak koraban di kedua belah pihak. Pada bulan
April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat
Medan kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.Untuk melanjutkan
perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan initerus mengadakan serangan
terhadap Sekutu diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi
perlawanan rakayat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu
terjadi, antara lian di Pandang, Bukit tinggi dan Aceh.

C.Perjuangan Diplomasi

Perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan juga


dilakukan di meja perundingan atau perjuangan diplomasi. Perjuangan
diplomasi dilakukan, misalnya dengan mencari dukungan dunia internasional
dan berunding langsung dengan Belanda.

A. Mencari dukungan internasional

Perjuangan mencari dukungan internasional lewat PBB dilakukan baik secara


langsung maupun tidak langsung. Tindakan langsung dilakukan dengan
mengemukakan masalah Indonesia di hadapan sidang Dewan Keamanan PBB.
Tindakan tidak langsung dilakukan melalui pendekatan dan hubungan baik
dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia dalam sidang-sidang
PBB. Negara-negara yang mendukung Indonesia antara lain sebagai berikut.

􀂐 Australia
Australia bersedia menjadi anggota Komisi Tiga Negara. Australia juga
mendesak Belanda agar menghentikan operasi militernya di Indonesia.
Australia berperan dalam membentuk opini dunia internasional untuk
mendukung Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB.

􀂐 India

India merupakan salah satu negara yang mengakui kedaulatan Indonesia dalam
forum internasional. India juga mempelopori Konferensi Inter-Asia untuk
mengumpulkan dukungan bagi Indonesia. Konferensi Inter-Asia dilaksanakan
pada tahun 1949.

􀂐 Negara-negara Liga Arab

Negara Mesir, Lebanon, Suriah, dan Saudi Arabia mengakui kedaulatan


Indonesia. Pengakuan ini mempengaruhi pandangan internasional terhadap
Indonesia.

􀂐 Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB

Para tokoh politik Indonesia mengadakan pendekatan dengan negara-negara


anggota Dewan Keamanan PBB. Pendekatan yang dilakukan Sutan Syahrir dan
Haji Agus Salim dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan Agustus 1947
berhasil mempengaruhi negaranegara anggota Dewan Keamanan PBB untuk
mendukung Indonesia.

B. Berunding dengan Belanda

Indonesia juga mengadakan perundingan langsung dengan Belanda. Berbagai


perundingan yang pernah dilakukan untuk menyelesaikan konflik Indonesia-
Belanda misalnya: Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville, Persetujuan
Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar.

a. Permulaan perundingan-perundingan dengan Belanda (10 Februari 1946)

Panglima AFNEI (Letnan Jenderal Christison) memprakarsai pertemuan


Pemerintah RI dengan Belanda untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dan
RI. Serangkaian perundingan pendahuluan di lakukan. Archibald Clark Kerr dan
Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai penengah. Perundingan dimulai
pada tanggal 10 Februari 1946. Pada awal perundingan, H.J. van Mook
menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda. Kemudian pada
tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyampaikan
pernyataan balasan.

b. Perundingan di Hooge Veluwe (14–25 April 1946)

Setelah beberapa kali diadakan pertemuan pendahuluan, diselenggarakanlah


perundingan resmi antara pemerintah Belanda dengan Pemerintah RI untuk
menyelesaikan konflik. Perundingan dilakukan di Hooge Veluwe negeri Belanda
pada tanggal 14 – 25 April 1946. Perundingan mengalami kegagalan.

c. Perundingan gencatan senjata (20–30 September 1946)

Banyaknya insiden pertempuran antara pejuang Indonesia dengan pasukan


Sekutu dan Belanda mendorong diadakannya perundingan gencatan senjata.
Perundingan diikuti wakil dari Indonesia,Sekutu, dan Belanda. Perundingan
dilaksanakan dari tanggal 20 – 30 September 1946. Perundingan tidak
mencapai hasil yang diinginkan.

d. Perundingan RI dan Belanda (7 Oktober 1946)


Lord Killearn berhasil membawa wakil-wakil Pemerintah Indonesia dan
Belanda ke meja perundingan. Perundingan berlangsung di rumah Konsul
Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia
diketuai Perdana Menteri Sutan Syahrir. Delegasi Belanda diketuai oleh Prof.
Schermerhorn. Dalam perundingan tersebut, masalah gencatan senjata yang
gagal perundingan tanggal 30 September 1946 disetujui untuk dibicarakan lagi
dalam tingkat panitia yang diketuai Lord Killearn.

Perundingan tingkat panitia menghasilkan persetujuan gencatan senjata


sebagai berikut.

Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan
atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah
teknis pelaksanaan gencatan senjata.

Di bidang politik, delegasi Pemerintah Indonesia dan komisi umum Belanda


sepakat untuk

menyelenggarakan perundingan politik “secepat mungkin”.

e. Perundingan Linggarjati (10 November 1946)

Sebagai kelanjutan perundingan-perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10


November 1946 di Linggarjati di Cirebon, dilangsungkan perundingan antara
Pemerintah RI dan komisi umum Belanda. Perundingan di Linggarjati dihadiri
oleh beberapa tokoh juru runding, antara lain sebagai berikut:

Inggris, sebagai pihak penengah diwakili olehLord Killearn.


Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir (Ketua), Mohammad Roem (anggota),
Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H. (anggota), Dr. A.K Gani (anggota).
Belanda, diwakili Prof. Schermerhorn (Ketua), De Boer (anggota), dan Van
Pool (anggota).

Perundingan di Linggarjati tersebut menghasilkan keputusan yang disebut


perjanjian Linggarjati. Berikut ini adalah isi Perjanjian Linggarjati.

Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah


kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah
harusmeninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk
negara Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI,
Kalimantan dan Timur Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal
1 Januari 1949.
RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia- Belanda dengan Ratu
Belanda sebagai ketua. Perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh Belanda dan
Indonesia pada tanggal 25 Maret 1947 dalam suatu upacara kenegaraan di
Istana Negara Jakarta.

Perjanjian Linggarjati bagi Indonesia ada segi positif dan negatifnya.

Segi positifnya ialah adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa,
Madura, dan Sumatera.
Segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, yang
seluas Hindia Belanda dulu tidak tercapai.

f. Melibatkan Komisi Tiga Negara


Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah
Komisi Jasa Baik. Komisi ini kemudian terkenal dengan sebutan Komisi Tiga
Negara. Anggota KTN terdiri dari Richard Kirby (wakil Australia), Paul van
Zeeland (wakil Belgia), dan Frank Graham (wakil Amerika Serikat). Dalam
pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, KTN memutuskan bahwa tugas
KTN di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RI
dan Belanda dengan cara damai. Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di
Jakarta untuk memulai pekerjaannya.

g. Perjanjian Renville (8 Desember 1947 – 17 Januari 1948)

KTN berusaha mendekatkan RI dan Belanda untuk berunding. Atas usul KTN,
perundingan dilakukandi tempat yang netral, yaitu di atas kapal pengangkut
pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Oleh karena itu,
perundingan tersebut dinamakan Perjanjian Renville.

Perjanjian Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Hasil perundingan


Renville disepakati dan ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948. Yang
hadir pada perundingan di atas kapal Renville ialah sebagai berikut.

Frank Graham (ketua), Paul van Zeeland (anggota), dan Richard Kirby
(anggota) sebagai mediator dari PBB.
Delegasi Indonesia Republik Indonesia diwakili oleh Amir Syarifuddin (ketua),
Ali Sastroamidjojo (anggota), Haji Agus Salim (anggota), Dr. J. Leimena
(anggota), Dr. Coa Tik Ien (anggota), dan Nasrun (anggota).
Delegasi Belanda Belanda diwakili oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua),
Mr. H.A.L. van Vredenburgh (anggota), Dr. P. J. Koets (anggota), dan Mr. Dr.
Chr. Soumokil (anggota).

Perjanjian Renville menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut.


Penghentian tembak-menembak.
Daerah-daerah di belakang garis van Mook harus dikosongkan dari pasukan
RI.
Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang
didudukinya dengan melalui plebisit terlebih dahulu.
Membentuk Uni Indonesia-Belanda. Negara Indonesia Serikat yang ada di
dalamnya sederajat dengan Kerajaan Belanda. Persetujuan Renville
ditandatangani oleh Amir Syarifuddin (Indonesia) dan Abdulkadir
Wijoyoatmojo (Belanda).

Perjanjian ini semakin mempersulit posisi Indonesia karena wilayah RI semakin


sempit. Kesulitan itu bertambah setelah Belanda melakukan blockade ekonomi
terhadap Indonesia.

Itulah sebabnya hasil Perjanjian Renville mengundang reaksi keras, baik dari
kalangan partai

politik maupun TNI.

Bagi kalangan partai politik, hasil perundingan itu memperlihatkan kekalahan


perjuangan diplomasi.
Bagi TNI, hasil perundingan itu mengakibatkan harus ditinggalkannya
sejumlah wilayah pertahanan yang telah susah payah dibangun.

h. Resolusi DK PBB (28 Januari 1949)

Berkaitan dengan agresi militer Belanda II, pada tanggal 28 Januari 1949,
Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi. Isi dari resolusi itu ialah
sebagai berikut.
Belanda harus menghentikan semua operasi militer dan pihak Republik
Indonesia diminta untuk menghentikan aktivitas gerilya. Kedua pihak harus
bekerja sama untuk mengadakan perdamaian kembali.
Pembebasan dengan segera dan tidak bersyarat semua tahanan politik
dalam daerah RI oleh Belanda sejak 19 Desember 1948.
Belanda harus memberikan kesempatan kepada pemimpin RI untuk kembali
ke Yogyakarta dengan segera. Kekuasaan RI di daerah-daerah RI menurut
batas-batas Persetujuan Renville dikembalikan kepada RI.
Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-
cepatnya dengan dasar Persetujuan Linggarjati, Persetujuan Renville, dan
berdasarkan pembentukan suatu Pemerintah Interim Federal paling lambat
tanggal 15 Maret 1949. Pemilihan Dewan Pembuat Undang Undang Dasar
Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli 1949.
Komisi Jasa-jasa Baik (KTN) berganti nama menjadi Komisi Perserikatan
Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nation for Indonesia atau UNCI). UNCI
bertugas untuk: membantu melancarkan perundinganperundingan untuk
mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah RI, mengamati pemilihan,
mengajukan usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu tercapainya
penyelesaian.

i. Perjanjian Roem-Royen (17 April – 7 Mei 1949)

Sejalan dengan perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra yang semakin meluas,
usaha-usaha di bidang diplomasi berjalan terus. UNCI mengadakan
perundingan dengan pemimpin-pemimpin RI di Bangka. Sementara itu, Dewan
Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949 memerintahkan UNCI untuk
membantu pelaksanaan resolusi DK PBB pada tanggal 28 Januari 1949. UNCI
berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Pada tanggal
17 April 1949 dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta. Delegasi
Indonesia dipimpin Mr. Mohammad Roem. Delegasi Belanda dipimpin Dr. van
Royen. Pertemuan dipimpin Merle Cohran dari UNCI yang berasal dari Amerika
Serikat. Akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan. Persetujuan
itu dikenal dengan nama “Roem-Royen Statement”. Dalam perundingan ini,
setiap delegasi mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri. Pernyataan delegasi
Indonesia antara lain sebagai berikut.

Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta.


Kesediaan mengadakan penghentian tembakmenembak.
Kesediaan mengikuti Konferensi Meja Bundar setelah pengembalian
Pemerintah RI ke Yogyakarta.
Bersedia bekerja sama dalam memulihkan perdamaian dan tertib hukum.

Sedangkan pernyataan dari pihak Belanda adalah sebagai berikut.

Menghentikan gerakan militer dan membebaskan tahanan politik.


Menyetujui kembalinya Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Menyetujui Republik Indonesia sebagai bagian dari negara Indonesia Serikat.
Berusaha menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar.

Pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta.


Pengembalian Yogyakarta ke tangan Republik Indonesia diikuti dengan
penarikan mundur tentara Belanda dari Yogyakarta. Tentara Belanda berhasil
menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19 Desember 1948 – 6 Juli 1949.

j. Konferensi Inter-Indonesia (19 -22 Juli 1949 dan 31 Juli – 2 Agustus 1949)

Sebelum Konferensi Meja Bundar berlangsung, dilakukan pendekatan dan


koordinasi dengan negara- negara bagian (BFO) terutama berkaitan dengan
pembentukan Republik Indonesia Serikat. Konferensi Inter-Indonesia ini
penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi Belanda dalam
KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta.
Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli
1949. Konferensi Inter-Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi
Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949.
Konferensi Inter-Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO).
Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan
pada masalah pembentukan RIS, antara lain:

masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS,


kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni.

Hasil positif Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal


berikut ini.

Negara Indonesia Serikat yang nantinya akan dibentuk di Indonesia bernama


Republik Indonesia Serikat (RIS).
Bendera kebangsaan adalah Merah Putih.
Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
Hari 17 Agustus adalah Hari Nasional.

Dalam bidang militer, Konferensi Inter-Indonesia memutuskan hal-hal berikut.

Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang


Nasional.
TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima orang-orang Indonesia yang ada
dalam KNIL dan kesatuan-kesatuan tentara Belanda lain dengan syarat-syarat
yang akan ditentukan lebih lanjut.
Pertahanan negara adalah semata-mata hak Pemerintah RIS, negara-negara
bagian tidak mempunyai angkatan perang sendiri.

Kesepakatan tersebut mempunyai arti penting sebab perpecahan yang telah


dilakukan oleh Belanda sebelumnya, melalui bentuk-bentuk negara bagian
telah dihapuskan. Kesepakatan ini juga merupakan bekal yang sangat berharga
dalam menghadapi Belanda dalam perundingan-perundingan yang akan
diadakan kemudian. Pada tanggal 1 Agustus 1949, pihak Republik Indonesia
dan Belanda mencapai persetujuan penghentian tembak-menembak yang akan
mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di Sumatera pada tanggal
15 Agustus. Tercapainya kesepakatan tersebut memungkinkan
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.

k. Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 – 2 November 1949)

Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di Ridderzaal, Den Haag, Belanda.


Konferensi dibuka pada tanggal 23 Agustus 1949 dan dihadiri oleh:

Delegasi Republik Indonesia dipimpin Mohammad Hatta,


Delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid,
Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin J. H. van Maarseveen, dan
UNCI diketuai oleh Chritchley.

Konferensi Meja Bundar dipimpin oleh Perdana Menteri Belanda, W. Drees.


Konferensi berlangsung dari tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November
1949. Dalam konferensi dibentuk tiga komisi, yaitu: Komisi Ketatanegaraan,
Komisi Keuangan, dan Komisi Militer. Kesulitan-kesulitan yang muncul dalam
perundingan adalah:

dari Komisi Ketatanegaraan menyangkut pembahasan mengenai Irian Jaya,


dari Komisi Keuangan menyangkut pembicaraan mengenai masalah utang.

Belanda menuntut agar Indonesia mengakui utang terhadap Belanda yang


dilakukan sampai tahun 1949. Dalam bidang militer, tanpa ada kesulitan siding
menyepakati inti angkatan perang dalam bentuk Indonesia Serikat adalah
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah penyerahan kedaulatan kepada
Republik Indonesia Serikat, KNIL (tentara Belanda di Indonesia) akan dilebur ke
dalam TNI. KMB dapat menghasilkan beberapa persetujuan. Berikut ini adalah
beberapa hasil dari KMB di Den Haag:

Belanda menyerahkan kedaulatan atas Indonesia sepenuhnya dan tanpa


syarat kepada RIS.
Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri atas Republik Indonesia dan 15
negara federal. Corak pemerintahan RIS diatus menurut konstitusi yang dibuat
oleh delegasi RI dan BFO selama Konferensi Meja Bundar berlangsung.
Melaksanakan penyerahan kedaulatan selambat- lambatnya tanggal 30
Desember 1949.
Masalah Irian Jaya akan diselesaikan dalam waktu setahun sesudah
pengakuan kedaulatan.
Kerajaan Belanda dan RIS akan membentuk Uni Indonesia-Belanda. Uni ini
merupakan badan konstitusi bersama untuk menyelesaikan kepentingan
umum.
Menarik mundur pasukan Belanda dari Indonesia dan membubarkan KNIL.
Anggota KNIL boleh masuk ke dalam APRIS.
RIS harus membayar segala utang Belanda yang diperbuatnya semenjak
tahun 1942.

C. Pengakuan Kedaulatan

Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilakukan pada


waktu yang bersamaan di Indonesia dan di negeri Belanda, yaitu pada tanggal
27 Desember 1949. Di negeri Belanda, penandatanganan naskah pengakuan
kedaulatan dilaksanakan di ruang takhta Istana Kerajaan Belanda. Ratu Juliana,
P.M. Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen, dan
Mohammad Hatta membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan
kedaulatan. Sementara itu, di Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX dan A.H.J.
Lovink (Wakil Tinggi Mahkota) membubuhkan tanda tangan pada naskah
pengakuan kedaulatan. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan
penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia
Serikat.

Anda mungkin juga menyukai