ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam
suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Hukum pidana merupakan salah satu hukum publik yang berlaku di Indonesia, ada dua jenis
hukum pidana yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil
adalah hukum yang mengatur sanksi yang harus dijatuhkan kepada seseorang atau kelompok
yang melakukan kesalahan , sumber hukum pidana materiil yaitu menggunakan KUHP atau
peraturan perundang-undangan lainnya yang sanksi dari perbuatan pidana telah tertera didalam
sumber hukum tersebut, sedangkan hukum pidana formil yaitu hukum yang mengatur tentang
tata cara atau proses penjatuhan pidana , sumber hukumnya adalah KUHAP.
Dalam hukum pidana terdapat asas legalitas atau asas nullum delictum, asas ini dirumuskan
dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menjelaskan bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan itu dilakukan”. Maka dengan adanya asas tersebut, memunculkan konsekuensi dari
asas legalitas tersebut, konsekuensi tersebut diantaranya :
1. Bahwa suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam undang-undang. Perumusan tindak pidana
tersebut merupakan perumusan didalam hukum tertulis
Contoh : pencurian yang telah telah diatur didalam pasal 362 KUHP
2. Dilarang menggunakan Analogi
Contoh : Menganalogikan kasus suap dengan kasus pembunuhan
3. Undang-undang harus lebih dulu dari pada perbuatan yang dilakukan oleh manusia, atau
dalam arti lain bahwa Undang-undang tidak boleh berlaku surut.
Contoh : adanya kejahatan elektronik dan teknologi informasi akan tetapi perbuatan pidananya
lebih dulu dari pada undang-undang
Gagasan asas legalitas ini pertama kali dirumuskan dalam Magna Charta pada tahun 1215,
didalamnya menjelaskan bahwa yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari penangkapan,
penahanan, penyitaan, pembuangan, dan dikeluarkannya seseorang dari perlindungan hukum /
undang-undang kecuali ada putusan pengadilan yang sah. Pada Tahun 1679, gagasan asas
legalitas lebih diperluas dengan adanya “habeas corpus act” yang mengharuskan bahwa
seseorang yang ditangkap diperiksa dalam waktu yang singkat. Kemudian pada tahun 1776,
gagasan ini diperluas kembali dan dipertegas dalam “Declaration of independence”, didalam
deklarasi ini disebutkan bahwa tiada seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain dengan
dank arena tindakan-tindakan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Namun konsekuensi pada no.3 diatas, ternyata ada pengecualian yang membolehkan undang-
undang berlaku surut, dengan syarat :
1. Adanya perubahan undang-undang
2.Undang-undang yang baru harus lebih meringankan atau menguntungkan bagi terdakwa.
Seiring dengan perkembangan zaman, bentuk kejahatanpun berkembang dan semakin bervariasi jenis
operandinya. Hal ini menuntut kita semua khususnya bagi para ahli hukum untuk menemukan hukum-
hukum baru yang disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Pembaharuan sangat diperlukan karena
untuk mengganti bentuk-bentuk hukum yang dianggap usang dan tidak sesuai dengan kondisi masyrakat
kita.
Namun yang jelas dan tidak diragukan,manusia dan masyarakat pendukung hukum merasa tidak puas
tentang hukum yang berlaku,karena adanya tuntutan pembaharuan,seperti halnya dengan kitab
undang-undang hukum kita khususnya kitab Undang-undang HukumPidana kita (KUHP).
Dalam KUHP kita perlu diadakan pembaharuan-pembaharuan lebih lanjut, karena pada dasarnya KUHP
kita merupakan peninggalan kolonial, meskipun KUHP peninggalan kolonial ini sudah banyak dirubah
akan tetapi masih saja kurang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak
berpegang teguh pada adat. Dalam KUIHP kita yang berkaitan dengan penjelasan asas legalitas (Pasal 1
KUHP), disitu diterangkan bahwasanya tidak ada perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi sebelum
ada undang-undang yang menyatakan suatu perbuatan tersebut dilarang dan dikenai sanksi.
Dalam pandangan masyarakat dan Para ahli hukum kita banyak yang menginginkan pembaharuan
terhadap hukum pidana kita, yaitu dengan memasukan unsur-unsur hukum adat. Karena banyak
peristiwa yang terjadi, dalam KUHP tidak diatur tetapi menurut pandangan masyarakat sebuah
perbuatan tersebut bisa dikenai sanksi hukum, tidak bisa dilakukan dengan alasan KUHP tidak
mengaturnya. Hal ini tentu akan melukai perasaan hukum yang ada dalam masyarakat kita. Maka dari
itu dengan melalui seminar-seminar tentang pembaharuan hukum pidana kita atau melaui forum-forum
lainnya diharapkan sedikit banyak bisa dijadikan bahan pertimbangan untuk KUHP kita.
Hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh para ahli hukum kita, dengan terbentuknya rancangan KUHP
baru. Mengenai asas legalitas dalam rancangan KUHP baru kita bahwa adanya perluasan konsep
perumusan asas legalitas yaitu dengan mengakui eksistentensi hukum yang hidup (hukum adat atau
hukum tidak tertulis) sebagai dasar patut dipidananya suatu perbuatan sepanjang perbuatan tersebut
tidak ada persamaannya atau tidak diatur dalam undang-undang. Perluasan perumusan ini tentunya
diharapkan bisa mewujudkan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat,
dan antara kepastian hukumdengan keadilan.
Berbeda lagi dengan asas legalitas yang ada dalam syari’ah Islam. Dalam syari’ah Islam asas legalitas
sudah ada sejalan dengan perkembangan Islam itu sendiri yaitu mulai diturunkan ayat-ayat al-Qur’an
yang berkaitan dengan masalah hukum. Dalam Syari’ah Islam juga terdapat kaedah yang mirip dengan
hukum pidana kita, yaitu tiada hukum sebelum ada nash yang mengatur tetapi hal ini tidak terlalu baku
melihat kondisi hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini terbukti dengan berlakunya hukum ta’zir.
Hukum ta’zir diberlakukan demi kemaslahatan umum tetapi tetap berpacu pada nash-nash yang ada
sebelumnya.
Selain itu nash-nash telah nengatur hukuman semua perbuatan-perbuatan yang sudah dilakukan dan
kemungkinan perbuatan-perbuatan tersebut akan diulangi pada masa mendatang dengan operandi
berbeda tentu sudah ada metode-metode hukum Islam yang berlaku sekiranya sebuah perbuatan
tersebut pantas dikenai sanksi pidana. Dengan hal ini keseimbangan dan rasa keadilan dalam
masyarakat akan tetap terjaga. Dasar yang dipakai dalam syari’ah Islam tidak hanya mengandalkan akan
akal belaka tetapi juga kekuasaan dari Tuhan misalnya dengan turunnya al-Qur’an.
Apabila sebuah perbuatan tidak sanksinya tidak begitu dijelaskan dalam al-Qur’an kita bisa melihat pada
al-Hadits, bila dalam al-Haditspun tidak dijelaskan kita bisa melihat Ijma’ para ulama,dan seeterusnya
pada Qiyas. Hal ini merupakan acuan bagi syari’ah Islam dalam memutuskan suatu perkara.
Maka disini kita dapat melihat perbedaan-perbedaan yang terjadi antara syari’ah Islam dengan hukum
pidana kita terutama mengenai keberadaan asas legalitas dan konsep-konsepnya (untuk konsep
dijelaskan lebih lanjut pada bab-bab berikutnya).Kita semua berharap agar rancangan pembaharuan
KUHP bukan hanya merupakan sebuah konsep semata melainkan ada bentuk nyatanya, Sehingga apa
yang menjadi harapan masyarakat selama ini segera terwujud untuk menegakkan keadilan.
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”,
“legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas
legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-
undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran
voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman
Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum
kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih
dulu”.(1) Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang
dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya”.(2) Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan”.(3) Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan
karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh
faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya
larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi,
berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu
refleksi dari prinsip “legality”.(4) Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas
legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya
undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut
juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara
surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan
larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of
criminal laws and criminal sanctions).(5)
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana),
nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau
nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana
tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang
sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801
yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan
Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif
terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam
pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan
perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von
Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa
“Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach.(6) Bambang Poernomo
menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat
mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine;
nullum crimen sine poena legali”.(7)
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan
kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam
formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini
lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik.(8) J.E. Sahetapy
menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa
Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu. (9) Moeljatno
menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum
Romawi Kuno.(10) Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang
berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra
ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam
sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka
peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu,
timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran
Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel
Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum
terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan
asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap
tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu
terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.(11) Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas
nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum
pidana.(12)
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari
Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8
Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada orang
yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”, dan
merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights
Virgina tahun 1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi “ketentuan perundang-undangan
(wettelijk strafbepaling)” dan “undang-undang” maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum
pidana materiil lebih luas dengan terminologi “perundang-undangan” dari kata “undang-undang”
pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam
ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum
pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian,
asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel,
karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundang-
undangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-
undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat
aturan acara pidana.(13)
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan
hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk
menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut
harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626),
seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-
undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang
terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga
pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih
dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,
yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa
dan analogi.(14) Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai,
though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the
four aspects gives a more true meaning to principle of legality.(15) Moeljatno menyebutkan
bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.(16)
JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas,
yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan
pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...).
Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling
mag geen terugwerkende kracht hebben...).(19) Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal
tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan
Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP
Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat
memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam
ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa
pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk
perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah
daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa
(undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex
Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan
upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-
ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi.
Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum
crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di
dalam peraturan perundang-undangan).(20)
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain.
Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla
poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan
yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan
yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa
pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).(21)
Berikutnya Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi
dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif.
Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga,
perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.(22)
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik
asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3)
RUU KUHP Tahun 2008).(23) Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas
di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig)
tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum
pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan
bahwa:
“Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama
dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka
yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara
tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang
melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh
hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum
delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan
suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’ masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan
untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh
terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan
dijalankannya hukum pidana adat.”(24)
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah
diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa:
“Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia
merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh
Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak
mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi
dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan
adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para
hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu
ditinggalkan.”(25)
Barda Nawawi Arief(26) menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP
mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis
Delicti” atau asas “nonretroaktif”. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law
sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis.
Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai
tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam
merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine
lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga
selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan
tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat
prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak
ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
a) “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum
tidak tertulis—unwritten law--);
b) “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy);
c) “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum
pidana secara surut);
d) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana
yang tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008
perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP
Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai, “Tiada seorangpun dapat
dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan”. Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat
(1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa:
“Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undang-
undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam
hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung
ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa
ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum
dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.”
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya
kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas
legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas
legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa
berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal
1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu
terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling
menguntungkan baginya.(27)
Pada dasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”,
“legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas
legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-
undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran
voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintang dan C. Djisman
Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum
kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan lebih
dulu”.(1) Andi Hamzah menterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang
dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang
mendahuluinya”.(2) Moeljatno menyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum
perbuatan dilakukan”.(3) Oemar Seno Adji menentukan prinsip “legality” merupakan
karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law” – konsep, maupun oleh
faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya
larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi,
berlakunya azas “nullum delictum” dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu
refleksi dari prinsip “legality”.(4) Nyoman Serikat Putra Jaya, menyebutkan perumusan asas
legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya
undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut
juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara
surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan
larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of
criminal laws and criminal sanctions).(5)
Dikaji dari substansinya, asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin sebagai nullum delictum
nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya), atau nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
menurut undang-undang), nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana),
nullum crimen sine lege (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang) atau
nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa ketentuan
pidana yang mendahuluinya) atau nullum crimen sine lege stricta (tidak ada perbuatan pidana
tanpa ketentuan yang tegas).
Konsepsi asas ini dikemukakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang
sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801
yang mengemukakan teori mengenai tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Paul Johan
Anslem von Feurbach beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif
terjadinya tindak pidana dan jikalau orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam
pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk melakukan
perbuatan tersebut. Akan tetapi, menurut J.E. Sahetapy dikemukakan bahwa Samuel von
Pufendorflah yang mendahului von Feuerbach, maka Oppenheimer menganggap bahwa
“Talmudic Jurisprudence” lah yang mendahului teori von Feurbach.(6) Bambang Poernomo
menyebutkan bahwa, apa yang dirumuskan oleh von Feurbach mengandung arti yang sangat
mendalam, yaitu dalam bahasa Latin berbunyi: “nulla poena sine lege; nulla poena sine crimine;
nullum crimen sine poena legali”.(7)
Akan tetapi, walaupun asas legalitas diformulasikan dalam bahasa Latin, ada menimbulkan
kesan seolah-olah asal muasal asas ini adalah dari hukum Romawi kuno. Aturan ini, dalam
formulasi bahasa Latin, berasal dari juris Jerman, von Feuerbach – ini berarti bahwa asas ini
lahir pada awal abad 19 dan harus dipandang sebagai produk ajaran klasik.(8) J.E. Sahetapy
menyebutkan bahwa asas legalitas dirumuskan dalam bahasa Latin semata-mata karena bahasa
Latin merupakan bahasa ‘dunia hukum’ yang digunakan pada waktu itu. (9) Moeljatno
menyebutkan bahwa, baik adagium ini maupun asas legalitas tidak dikenal dalam hukum
Romawi Kuno.(10) Pada saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang
berarti “kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang”. Diantara criminal extra
ordinaria ini yang terkenal adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat). Dalam
sejarahnya, criminal extra ordinaria ini diadopsi raja-raja yang berkuasa. Sehingga terbuka
peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya secara sewenang-wenang. Oleh karena itu,
timbul pemikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.
Selain konteks di atas, ada juga yang berasumsi bahwa asas legalitas berasal dari ajaran
Montesquieu dalam bukunya L’Esprit des Lois. Menurut van der Donk dan Hazewinkel
Suringa baik ajaran Montesquieu maupun Rosseau mempersiapkan penerimaan umum
terhadap asas legalitas, akan tetapi dalam ajaran kedua tokoh tersebut tidak terdapat rumusan
asas legalitas. Maksud dari pelajaran kedua tokoh tersebut adalah melindungi individu terhadap
tindakan hakim yang sewenang-wenang, yaitu melindungi kemerdekaan pribadi individu
terhadap tuntutan tindakan yang sewenang-wenang.(11) Hans Kelsen menyebutkan dimensi asas
nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege adalah ekspresi legal positivism dalam hukum
pidana.(12)
Dikaji dari perspektif sejarah terbentuknya asas legalitas dalam KUHP Indonesia berasal dari
Wetboek van Strafrecht Nederland (WvS. Ned), sebagaimana berasal dari ketentuan Pasal 8
Declaration des Droits De L’Homme Et Du Citoyen tahun 1789 yang berbunyi, “tidak ada orang
yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya”, dan
merupakan pandangan Lafayette dari Amerika ke Perancis dan bersumber dari Bill of Rights
Virgina tahun 1776.
Apabila dianalisis lebih intens, detail dan terperinci terminologi “ketentuan perundang-undangan
(wettelijk strafbepaling)” dan “undang-undang” maka ruang lingkup asas legalitas dalam hukum
pidana materiil lebih luas dengan terminologi “perundang-undangan” dari kata “undang-undang”
pada ketentuan hukum acara pidana. Tegasnya, asas legalitas di samping dikenal dalam
ketentuan hukum pidana materiel juga dikenal dalam ketentuan hukum acara pidana (hukum
pidana formal). Andi Hamzah kemudian lebih lanjut menyebutkan bahwa dengan demikian,
asas legalitas dalam hukum acara pidana lebih ketat daripada dalam hukum pidana materiel,
karena istilah dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP (sama dengan Belanda) “ketentuan perundang-
undangan” (wettelijk strafbepaling) sedangkan dalam hukum acara pidana disebut undang-
undang pidana. Jadi, suatu peraturan yang lebih rendah seperti Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Daerah dapat menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tetapi tidak boleh membuat
aturan acara pidana.(13)
Hakikat ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mendeskripsikan tentang pemberlakuan
hukum pidana menurut waktu terjadinya tidak pidana (tempus delicti). Konkritnya, untuk
menentukan dapat atau tidaknya suatu perbuatan agar dipidana maka ketentuan pidana tersebut
harus ada terlebih dahulu diatur sebelum perbuatan dilakukan. Francis Bacon (1561-1626),
seorang filsuf Inggris merumuskan dalam adagium moneat lex, priusquam feriat (undang-
undang harus memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang
terkandung di dalamnya), ini kiranya mencakup lebih dari sekedar itu, yakni mencakup juga
pembenaran atas pidana yang dijatuhkan. Hanya jika ancaman pidana yang muncul terlebih
dahulu telah difungsikan sebagai upaya pencegahan, menghukum dapat dibenarkan.
Dalam perspektif tradisi Civil law, ada empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat,
yaitu terhadap peraturan perundangan-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex certa
dan analogi.(14) Roelof H. Haveman menyebutkan keempat dimensi konteks di atas sebagai,
though it might be said that not every aspect is that strong on its own, the combination of the
four aspects gives a more true meaning to principle of legality.(15) Moeljatno menyebutkan
bahwa asas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu:
1) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3) Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.(16)
JH. J. Enschede, menyebutkan hanya ada dua makna yang terkandung dalam asas legalitas,
yaitu: Pertama, suatu perbuatan dapat dipidana hanya jika diatur dalam perundang-undangan
pidana (...wil een feit strafbaar zijn, dan moet het vallen onder een wettelijke strafbepaling...).
Kedua, kekuatan ketentuan pidana pidana tidak boleh diberlakukan surut (...zo’n strafbepaling
mag geen terugwerkende kracht hebben...).(19) Kemudian Jan Remmelink menyebutkan tiga hal
tentang makna asas legalitas. Pertama, Konsep perundang-undang yang diandaikan ketentuan
Pasal 1. Ketentuan Pasal 1 Sv (KUH Pidana Belanda maupun Indonesia, bdgk. Pasal 3 KUHP
Indonesia 1981) menetapkan bahwa hanya perundang-undangan dalam arti formal yang dapat
memberi pengaturan di bidang pemidanaan. Kata perundang-undangan (wettelijk) dalam
ketentuan Pasal 1 menunjuk pada semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa
pidana akan ditetapkan secara legitimate. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa pelbagai bentuk
perundang-undangan tercakup di dalamnya, termasuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah
daerah (tingkat provinsi maupun kabupaten/kotamadya) dan seterusnya. Kedua, Lex Certa
(undang-undang yang dirumuskan terperinci dan cermat/nilai relatif dari ketentuan ini). Asas Lex
Certa atau bestimmtheitsgebot merupakan perumusan ketentuan pidana yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan
upaya penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-
ketentuan seperti itu tidak akan berguna sebagai pedoman perilaku. Ketiga, dimensi analogi.
Asas legalitas menyimpan larangan untuk menerapkan ketentuan pidana secara analogis (nullum
crimen sine lege stricta: tiada ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara sempit/ketat di
dalam peraturan perundang-undangan).(20)
Lebih lanjut Von Feurbach menyebutkan makna asas legalitas menimbulkan tiga peraturan lain.
Pertama, setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla
poena sine lege). Kedua, penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan, jika terjadi perbuatan
yang diancam dengan pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine). Ketiga, perbuatan
yang diancam dengan pidana yang menurut undang-undang, membawa akibat hukum bahwa
pidana yang diancamkan oleh undang-undang dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali).(21)
Berikutnya Richard G. Singer dan Martin R. Gardner menyebutkan asas legalitas berkorelasi
dengan 3 (tiga) dimensi, yaitu: Pertama, pemidanaan tidak dapat diberlakukan secara retroaktif.
Kedua, pembentuk undang-undang dilarang membuat hukum yang berlaku surut. Ketiga,
perbuatan pidana harus didefinisikan oleh lembaga atau institusi yang berwenang.(22)
Pada dasarnya, perkembangan asas legalitas eksistensinya diakui dalam KUHP Indonesia baik
asas legalitas formal (Pasal 1 ayat (1) KUHP) maupun asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3)
RUU KUHP Tahun 2008).(23) Akan tetapi, Utrecht keberatan dengan dianutnya asas legalitas
di Indonesia. Alasannya ialah banyak sekali perbuatan yang sepatutnya dipidana (strafwaardig)
tidak dipidana karena adanya asas tersebut serta asas legalitas menghalangi berlakunya hukum
pidana adat yang masih hidup dan akan hidup. Lebih terperinci maka Utrecht mengatakan
bahwa:
“Terhadap azas nullum delictum itu dapat dikemukakan beberapa keberatan. Pertama-tama
dapat dikemukakan bahwa azas nullum delictum itu kurang melindungi kepentingan-kepentingan
kolektif (collectieve belangen). Akibat azas nullum delictum itu hanyalah dapat dihukum mereka
yang melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum (=peraturan yang telah ada) disebut secara
tegas sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seorang yang
melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi tidak disebut oleh
hukum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, tinggal tidak terhukum. Azas nullum
delictum itu menjadi suatu halangan bagi hakim pidana menghukum seorang yang melakukan
suatu perbuatan yang biarpun tidak “strafbaar”’ masih juga “strafwaardig”. Ada lagi satu alasan
untuk menghapuskan pasal 1 ayat 1 KUHPidana, yaitu suatu alasan yang dikemukakan oleh
terutama hakim pidana di daerah bahwa pasal 1 ayat 1 KUH Pidana menghindarkan
dijalankannya hukum pidana adat.”(24)
Akan tetapi, walaupun demikian pada umumnya asas legalitas tersebut menurut Andi Hamzah
diterima dalam KUHP Indonesia meskipun merupakan dilema. Lebih jauh dikatakan, bahwa:
“Menurut pendapat Andi Hamzah, adanya asas tersebut di dalam KUHP Indonesia
merupakan dilemma, karena memang dilihat dari segi yang satu seperti digambarkan oleh
Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup, dan menurut pendapat Andi Hamzah tidak
mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat pelbagai suku bangsa, tetapi
dilihat dari sudut yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan
adanya asas itu. Lagipula sebagai negara berkembang yang pengalaman dan pengetahuan para
hakim masih sering dipandang kurang sempurna sehingga sangat berbahaya jika asas itu
ditinggalkan.”(25)
Barda Nawawi Arief(26) menyebutkan bahwa perumusan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP
mengandung di dalamnya asas “legalitas formal”, asas “lex certa”, dan asas “Lex Temporis
Delicti” atau asas “nonretroaktif”. Asas legalitas formal (lex scripta) dalam tradisi civil law
sebagai penghukuman harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang atau hukum tertulis.
Undang-Undang (statutory, law) harus mengatur terhadap tingkah laku yang dianggap sebagai
tindak pidana. Lex Certa atau bestimmtheitsgebot dimaksudkan kebijakan legislasi dalam
merumuskan undang-undang harus lengkap dan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine
lege stricta). Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena warga
selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai
pedoman perilaku. Kemudian asas nonretroaktif menentukan peraturan perundang-undangan
tentang tindak pidana tidak dapat diberlakukan surut (retroaktif) akan tetapi harus bersifat
prospectif. Oleh karena itu maka makna asas legalitas tersebut hakikatnya terdapat paling tidak
ada 4 (empat) larangan (prohibitions) yang dapat dikembangkan asas tersebut, yaitu:
a) “nullum crimen, nulla poena sine lege scripta” (larangan untuk memidana atas dasar hukum
tidak tertulis—unwritten law--);
b) “Nullum crimen, nulla poena sine lege stricta” (larangan untuk melakukan analogy);
c) “Nullum crimen, nulla poena sine lege praevia” (larangan terhadap pemberlakuan hukum
pidana secara surut);
d) “Nullum crimen, nulla poena sine lege certa” (larangan terhadap perumusan hukum pidana
yang tidak jelas –unclear terms-).
Ketentuan asas legalitas ini dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Tahun 2008
perumusannya identik dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU KUHP
Tahun 2008 menyebutkan asas legalitas dengan redaksional sebagai, “Tiada seorangpun dapat
dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai
tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu
dilakukan”. Kemudian ketentuan asas legalitas ini lebih lanjut menurut penjelasan Pasal 1 ayat
(1) RUU KUHP Tahun 2008 disebutkan, bahwa:
“Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa suatu perbuatan hanya
merupakan tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau didasarkan pada Undang-
undang. Dipergunakan asas tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas pokok dalam
hukum pidana. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan pidana atau yang mengandung
ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini berarti bahwa
ketentuan pidana tidak berlaku surut demi mencegah kesewenang-wenangan penegak hukum
dalam menuntut dan mengadili seseorang yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.”
Asas legalitas konteks di atas dalam KUHP Indonesia mengacu kepada ide dasar adanya
kepastian hukum (rechtzekerheids). Akan tetapi, dalam implementasinya maka ketentuan asas
legalitas tersebut tidak bersifat mutlak. A. Zainal Abidin Farid menyebutkan pengecualian asas
legalitas terdapat dalam hukum transistoir (peralihan) yang mengatur tentang lingkungan kuasa
berlakunya undang-undang menurut waktu (sphere of time, tijdgebied) yang terdapat pada pasal
1 ayat (2) KUH Pidana yang berbunyi, “bilamana perundang-undangan diubah setelah waktu
terwujudnya perbuatan pidana, maka terhadap tersangka digunakan ketentuan yang paling
menguntungkan baginya.(27)
Pentingnya Penafsiran undnag-undang Pidana
Dalam hal berlakunya hukum pidana tidak dapat dihindari adanya penafsiran (interpretatie)
karena ha-hal sebagai berikut :
1. Hukum tertulis tidak dapat dengan segera mengikuti arus perkembangan masyarakat.
Dengan berkembangnya masyarakat berarti berubahnya hal-hal yang dianutnya, dan
nilai-nilai ini dapat mengukur segala sesuatu, misalnya tentang rasa keadilan masyarakat.
Hukum tertulis bersifat kaku, tidak dengan mudah mengikuti perkembangan dan
kemajuan masyarkat. Oleh karena itu, hukum selalu ketinggalan. Untuk mengkuti
perkembangan itu acap kali praktik hukum menggunakan suatu penafsiran.
2. Ketika hukum tertulis dibentuk, terdapat ssuatu hal yang tidak diatur karena tidak
menjadi perhatian pembentuk undang-undang. Namun setelah undang-undang dibentuk
dan dijalanka, barulah muncul persoalan mengenai hal-hal yang tidak diatur tadi. Untuk
memenuhi kebutuhan hukum dan mengisi kekosongan norma semacam ini, dalam
keadaan yang mendeak dapat menggunakan suatu penafsiran.
3. Keterangan yang menjelaskan arti beberapa istilah atau kata dalam undnag-undang itu
sendiri (Bab IX Buku I KUHP) tidak mungkin memuat seluruh istilah atau kata-kata
penting dalam pasal-pasal perundang-undangan pidana, mengingat begitu banyaknya
rumusan ketentuan hukum pidana. Pembentuk undang-undnag memberikan penjelasan
hanyalah pada istilah atau unsur yang benar-benar ketika undnag-undang dibentuk
dianggap sangat penting, ssuai dengan maksud dari dibentuknya norma tertentu yang
dirumuskan. Dalam banyak hal, pembentuk undnag-undang menyerahkan pada
perkembangan praktik melalui penafsiran-penafsiran hakim. Oleha karena itu, salahy satu
pekerjaan hakim dalam menerapkan hukum ialah melakukan penafsiran hukum.
4. Acap kali suatu norma dirumuskan secara singkat dan besifat sangat umum sehingga
menjadi kurang jelas maksud dan artinya. Oleh karena itu, dalam menerapkan norma tadi
akan menemukan kesulitan. Untuk mengatasi kesulitan itu dilakuakn jalan menafsirkan.
Dalam hal ini hakim bertugas untuk menemukan pikiran-pikiran apa yang sebenarnya
yang terkandung dalam norma tertulis. Contohnya dalam rumusan Pasal 1 (2) KUHP
perihal unsur ”aturan yang paling menguntungkan terdakwa” mengandung ketidakjelasan
arti dan maksud dari ”aturan yang paling menguntungkan. Hal tersebut dapat
menimbulkan bermacam pendapat hukum dari kalangan ahli hukum. Timbulnya beragam
pendapat seperti ini karena adanya penafsiran.
Bedasarkan hal diatas sangatlah jelas bahwa perkembangan masyarakat dimana kebutuhan
hukum dan rasa keadilan juga berubah sesuai denagan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat,
maka untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang
berkembang dan dianut masyarakat tersbeut, dalam praktik penerapan hukum diperlukan
penafsiran.
Untuk (KUHP) tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana cara hakim untuk melakukan
penafsiran. Cara-cara penafsiran ada dalam doktrin hukum pidana. Untuk melakukan penafsiran,
cara yang akan digunakan diserahkan pada praktik hukum. Hanya saja terhadap suatu cara
penafsiran telah terjadi perbedaan pendapat yaitu terhadap penggunaan penafsiran analogi,
dimana ada sebagian pakar hukum yang keberatan berkaiatan dengan masalah asas legalitas
tentang berlakunya hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
a. Penafsiran Autentik
Penafsiran autentik (resmi) Penafsiran sahih (autentik, resmi) ialah penafsiran yang pasti
terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang diberikan oleh pembentuk UU, atau penafsiran ini
sudah ada dalam penjelasan pasal demi pasal, misalnya Pasal 98 KUHP : arti waktu ”malam”
berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit; Pasal 101 KUHP: “ternak” berarti
hewan yang berkuku satu, hewan memamah biak dan babi (periksa KUHP Buku I Titel IX).
Contoh lainnya dalam penjelasan atas pasal 12 B ayat (1) UU No 20 tahun 2001, menjelaskan
yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasiltas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma dan fasiltas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau sarana tanpa elektronik.
Dikatakan penafsiran otentik karena tertulis secara esmi dalam undnag-undang artinya berasal
dari pembentuk UU itu sendiri, bukan dari sudut pelaksana hukum yakni hakim. Dalam
penafsiran bermakna hakim kebebasannya dibatasi. Hakim tidak boleh memberikan arti diluar
dari pengertian autentik. Sedangkan diluar KUHP penafsiran resmi dapat dilihat dari ketentuan-
ketentuan umum dan penejelasan pasal demi pasal.
b. Penafsiran tata bahasa (gramaticale interpretatie), disebut juga penafisran menurut atau atas
dasar bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Bekerjanya
penafsiran ini ialah dalam hal untuk mencari pengertian yang sebenarnya dari suatu rumusan
norma/unsurnya, dengan cara mencari pengertian yang sebenarnya menurut bahasa sehar-hari
yang digunakan masyarakat yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan hal yang
berikut : Suatu peraturan perundangan melarang orang memparkir kenderaannya pada suatu
tempat tertentu. Peraturan tersebut tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan istilah
“kendaraan” itu.
Orang lalu bertanya-tanya, apakah yang dimaksudkan dengan perkataan “kenderaan” itu,
hanyalah kenderaan bermotorkah ataukah termasuk juga sepeda dan bendi.
Contoh lain kata “dipercayakan” sebagaimana dirumuskan dalam dalam pasal 432 KUHP secara
gramatikal diartikan dengan “diserahkan”, kata “meninggalkan” dalam pasal 305 KUHP
diartikan secara gramatikal dengan “menelantarkan”.
Contoh lain adalah kasus melalui putusan Pengadilan Tinggi Meda tanggal 8-8-1983 No.
144/Pid/PT Mdn telah memberikan arti bonda (bahasa Batak) dari unsur benda (goed) dalam
penipuan adalah juga temasuk ”alat kelamin wanita”. Perhatikanlah petimbangan Pengadilan
Tinggi Medan mengenai hal ini sebagai berikut , ”bahwa walaupun belebihan, khusus dan
teutama dalam perkara ini tentang istilah barang, dalam bahasa daeah tedakwa dan saksi
(Tapanuli) dikenal istilah ”bonda” yang tidak lain daripada barang, yang diatikan kemaluan
sehingga bilsa saksi K.br.S menyeahkan kehormatannya kepada terdakwa samalah dengan
menyeahkan benda/barang.
Tentu pendapat Pengadilan Tinggi Medan ini masihd apat diperdebatkan. Pertimbangan
Pengadilan tinggi Medan seperti disini bukan ditujukan pada tepat atau tidak tepatnya pendapat
itu, melainkan sekadar memberi contoh bahwa disini hakim telah berusaha untuk mencapai
keadilan dengan menggunakan penafsian tata bahasa menurut bahasa yang digunakan oleh
masyarakat yang besangkutan walaupun diakui oleh hakim yang besangkutan sebagai
pertimbangan yang berlebihan.
1) Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum
tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan
perdebatan dalam DPR dan surat menyurat antara Menteri dengan Komisi DPR yang
bersangkutan, misalnya rancangan UU, memori tanggapan pemerintah, notulen rapa/sidang,
pandangan-pandangan umum, dll
2) Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki maksud pembentuk UU pada waktu membuat
UU itu, misalnya denda f 25.-, sekarang ditafsirkan dengan uang Republik Indonesia sebab harga
barang lebih mendekati pada waktu KUHP
Contoh lain, misalnya pengertian perbuatan ”menggugurkan kandungan”, dalam Pasal 347
KUHP, yang artinya kandungan (vucht) atau yang janin dari perut ibu bahwa vrucht yang
dipaksa keluarkan itu harus dilakukan pada janin yang hidup, bukan janin yang sudah mati.
Mengapa demikian ? karena jika melihat pasal 347 itu dengan menghubungkannya pada judul
Bab XIX tentang kejahatan terhadap Nyawa (secaa sistematis), dimana pasal 347 itu adalah
bagian dari Bab IX itu, semua objek kejahatan dalam Bab XIX adalah nyawa. Artinya, janin tadi
haruslah benyawa dan tidak berlaku bagi janin yang sudah tidak bernyawa atau telah mati. Janin
yang hidup dalam peut ibu yang mengandungnya dipandang sebagai satu kehidupan yang bediri
sendiri yang lain dari nyawa atau kehidupan ibu yang mengandungnya.
1. Penafsiran Logis (Logische Interpretatie) adalah suatu macam penafsiran dengan cara
menyelidiki untuk mencari maksud sebenarnya dari dibentuknya suatu rumusan norma
dalam UU dengan menghubungkannya (mencari hubungannya) denagan rumusan norma
yang lain atau dengan undang-undang yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan
rumusan norma tersebut (lihat pasal 55 KUHP).
2. Penafsiran Teleologis (Teleologische Interpretatie)) yaitu penafsiran dengan mengingat
maksud dan tujuan UU itu. Ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan berubah
menurut masa sedangkan bunyi UU tetap sama saja. Contoh pada saat masih ebrlakunya
UU No. 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (dicabut dengan UU
No. 26 tahun 1999), di dalam menafsirkan rumusan yang ada dalam UU itu mengenai
suatu kasus tertentu, selalu didasarkan pada maksud dari pembentuk UU itu, yaitu untuk
memberantas setiap perbuatan atau upaya-upaya yang menggangu dan menggoyang
kelangsungan dan atau kestabilan kekuasaan pemerintahan negara ketika itu.
3. Penafsiran Analogis, memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi
ibarat (kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu
peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi
peraturan tersebut (ada rasio persamannya kejadian konkretnya terhadap noma-noma
tesebut), misalnya pasal 388 ayat (1) yang melarang oang melakukan pebuatan curang
pada waktu menyeahkan keperluan angkatan laut atau angkatan darat yang dapat
membahayakan keselamatan negaa dalam keadaan perang. Jadi tidak ada diatur
keperluan angkatan udara. Tetapi dengan menggunakan penafsirang analogis, maka jika
terjadinya menyerahkan pada angkatan udara maka pasal ini juga dapat dikenakan karena
pada dasar fungsi, peranan dan tugas angkatan laut dan darat juga sama dengan tugas
angkatan udara yaitu dalam usaha perlindungan keselamatan dan keamanan negara.
Walaupun banyak kalangan ahli hukum melarang menggunakan analogis karena bertentangan
dengan asas legalitas namun dalam praktek hukum terjadi juga analogi misalnya (Arrest Hoge
Raad tanggal 23 Mei 1921) yang menganalogikan “menyambung” aliran listrik dianggap sama
dengan “mengambil” aliran listrik sehingga dapat dijeat pasal 362 KUHP.
Penafsiran ini diterangkan oleh Satochid Kartanegara bahwa ”keadaan ini kita jumpai apabila
terdapat beberapa hal yang diatur dengan tegas oleh UU, tetapi disamping itu tedapat pula hal-
hal, yang sandaran maupun sifatnya sama, tidak diatur denagan tegas oleh UU, sedang hal-hal ini
tidak diliputi oleh UU yang mengatur hal-hal tegas ini (lihat Pasal 285 KUHP).
Maksudnya “waktu menunggu” dalam pasal 34 KUHPerdata ialah untuk mencegah adanya
keragu-raguan mengenal kedudukan sang anak, berhubung dengan kemungkinan bahwa seorang
perempuan sedang mengandung setelah perkawinannya diputuskan. Jika dilahirkan anak setelah
perkawinan yang berikutnya, maka menurut UU anak itu adalah anaknya suaminya yang
terdahulu (jika anak itu lahir sebelum liwat 300 hari setelah putusnya perkawinan teahulu).
Ditetapkan waktu 300 hari ialah karena waktu itu dianggap sebagai waktu kandungan yang
paling lama.
Diatas telah dikemukakan beberapa metode penafsiran (interpretasi), yang mana yang harus
dipilih ?
Peraturan umum mengenai pertanyaan metode interpretasi yang mana, dalam peristiwa konkrit
yang mana, yang harus digunakan oleh hakim tidak ada. Pembentuk UU tidak memberi prioritas
kepada salah satu metode dalam menemukan hukum. Hakim hanya akhirnya akan menjatuhkan
pilihannya berdasarkan petimbangan metode manakah yang paling meyakinkan dan yang
hasilnya paling memuaskan. Pemilihan mengenai metode interpretasi merupakan otonomi hakim
dalam penemuan hukum. Motivasi pemilihan metode interpretasi itu tidak pernah kita jumpai
dalam yurisprudensi : mengapa hakim memilih metode interpretasi yang ini dan bukan yang itu
tidak pernah disebut dalam yurisprudensi. Di dalam putusan-putusannnya hakim tidak pernah
menegaskan argumen atau alasan apakah yang menentukan untuk memilih metode tertentu.
Metode interpretasi itu sering digunakan bersama-sama atau campur aduk. Dapatlah dikatakan
bahwa dalam tiap interpretasi atau penjelasan UU terdapat unsur2 gramatikal, historis, sistematis
dan teleologis.