Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia merupakan negara hukum yang mana di dalam negara


hukum selalu ada pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Semua manusia akan mendapat perlakuan yang sama kedudukannya dalam
hukum, sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Termasuk juga hak seorang anak
ini semua telah di atur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28B ayat 2 yang berbunyi “Setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekersan dan diskriminasi”. Dapat terlihat jelas bahwa di
negara Republik Indonesia dijamin adanya perlindungan hak asasi manusia
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum dan bukan kemauan seseorang
atau golongan yang menjadi dasar kekuasaan. 1
Pengaturan hukum tentang hak asasi manusia di Indonesia sendiri
sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan filsafat Indonesia yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) yang tertuang di dalam Mukadimah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) yaitu
terdapat kalimat yang menyatakan “Kemerdekaan adalah hak segala
bangsa”. Dalam pernyataan ini terkandung jelas pengakuan secara yuridis
hak asasi manusia tentang kemerdekaan sebagaimana yang terkandung
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration Of
Human Rights) PBB, Pasal 1 berbunyi: “Semua orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan
hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.”
Peraturan untuk penghormatan terhadap HAM tersebut dalam UUD
1945 diantaranya hak atas kewarganegaraan (Pasal 26), persamaan
kedudukan semua warga negara Indonesia atas pekerjaan (Pasal 27 ayat
(2)), hak berserikat dan berkumpul bagi semua warga negara (Pasal 28), hak
1
Didi Nazmi, Konsepsi Negara Hukum, (Padang: Angkasa Raya, 1992), hal. 50.

1
setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing (Pasal 19 ayat (2)), dan hak setiap warga
negara Indonesia atas pendidikan (Pasal 31).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan
keberdaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dijunjung oleh
negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi, Hak Asasi Manusia (HAM)
adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia yang dibawanya sejak lahir yang
berkaitan dengan martabat dan harkatnya sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha
Esa yang tidak boleh dilanggar, dilenyapkan oleh siapa pun juga. 2 Berhubung
hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak
lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa
hak asasi manusia tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum,
tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan sebagai pencipta alam semesta
beserta isinya, sehingga hak asasi manusia itu tidak bisa dikurangi (non
derogable rights).3
Penyusunan muatan HAM yang lebih demokratis dalam Konstitusi
Republik Indonesia mulai dilakukan dan dimuat ketika pembentukan
amandemen kedua Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Penyusunan muatan
HAM tersebut tidak terlepas dari situasi sosial dan politik yang ada, seiring
dengan nuansa demokratisasi, keterbukaan, dan perlindungan HAM serta
upaya mewujudkan negara yang berdasarkan hukum. Penindakan atas
kejahatan serius terhadap hak asasi manusia dengan menggunakan
instrumen hukum pidana tidaklah mudah karena lebih bernuansa politik.
Pelanggaran HAM yang berat di Indonesia semakin marak
diperbincangkan banyak kalangan dalam berbagai kesempatan, baik di dalam
maupun di luar negeri,4 meskipun Indonesia telah merdeka pada 17 Agustus
1945. Pelanggaran HAM yang berat merupakan tindakan menakutkan yang

2
Ibid.
3
Rozali Abdullah, Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001), hal. 10.
4
Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat,
(Bandung: PT. Reflika Aditama, 2005), hal. 122.

2
akan membawa dampak bagi keamanan serta kesejahteraan bangsa dan
negara. Pelanggaran HAM yang berat merupakan salah satu kejahatan luar
biasa (extra ordinary crimes) dan universal,5 dimana dalam menyelesaikan
perkara ini membutuhkan suatu penanganan khusus dan cara-cara yang luar
biasa untuk mengatasinya, seperti contohnya terhadap penanganan kasus
timor tomur dan kasus-kasus lain yang berkaitan dengan HAM.
Penegakan dan perlindungan dalam menyelesaikannya di Indonesia
dimulai dengan disahkannya Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan kemudian diundangkan pada 23 November 2000. Undang-
Undang ini secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang
mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang berwenang untuk
mengadili para pelaku pelanggaran HAM yang berat, serta mengatur tentang
adanya pengadilan HAM ad hoc yang berwenang untuk mengadili
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu, 6 sesuai Pasal 104
ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
bahwa “Untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang berat dibentuk
Pengadilan Hak Asasi Manusia di lingkungan Peradilan Umum”. Oleh karena
itu, diperlukan metode penegakan hukum dalam suatu badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat.
Langkah penegakan hukum ini dilakukan dengan jalan membentuk
suatu badan peradilan yang independen dalam menangani masalah
khususnya seperti pelanggaran HAM yang berat, agar badan peradilan
tersebut dapat bertindak sesuai koridor hukum sehingga rekayasa penguasa
dapat dihilangkan. Semakin demokratis sistem politik dan ketatanegaraan
suatu negara, semakin tinggi penghormatan dan perlindungan atas HAM.
Berdasarkan ideologi Pancasila, keadilan tidak boleh dibedakan atas dasar
latar belakang sosial, ekonomi, politik, ideologi, etnisitas, ras, agama, warna
kulit, maupun gender.7

5
Harifin A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), hal. 8.
6
Harifin A.Tumpa, Op. cit, hal. 2.
7
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (CV. Yrama Widya: Bandung, 2004), hal. 101.

3
Melihat telah terpenuhinya sistem hukum yang mengakomodir
seperangkat peraturan perundang-undangan yang menangani permasalahan
HAM tersebut, maka terbentuk pula politik hukum pemerintah terhadap hal-
hal lain yang berkaitan mengenai HAM, salah satunya adalah tentang
Peradilan HAM.

B. Pertanyaan penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah
yaitu:
1) Bagaimana awal mula yang melatarbelakangi munculnya UU Peradilan
HAM di Indonesia?
2) Bagaimana perkembangan setelah terbentuknya UU Peradilan HAM di
Indonesia?

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian HAM
Secara definitif “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi
sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta
menjamin adanya peluang bagi manusia dalam menjaga harkat dan
martabatnya. Hak sendiri mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 8
a. Pemilik hak;
b. Ruang lingkup penerapan hak;
c. Pihak yang bersedia dalam penerapan hak.

Ketiga unsur tersebut menyatu dalam pengertian dasar tentang hak.


Dengan demikian hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri
setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak
persamaan dan hak kebebasan yang terkait dengan interaksinya antara
individu atau dengan instansi.9
Pengertian HAM dimuat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 1 berbunyi :

“Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak


yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang
kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat
mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar (fundamental) bagi hidup

8
Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Prenada Media,
2003), hal. 199.
9
Ibid.

5
dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak bisa terlepas
dari dan dalam kehidupan manusia.10
Berkaitan dengan pengertian hak asasi manusia, Bahder Johan
Nasution menyatakan pengertian hak asasi manusia sering dipahami sebagai
hak kodrati yang dibawa oleh manusia sejak manusia lahir ke dunia.
Pemahaman terhadap hak asasi yang demikian itu merupakan pemahaman
yang sangat umum dengan tanpa membedakan secara akademik hak-hak
yang dimaksud serta tanpa mempersoalkan asal usul atau sumber
diperolehnya hak tersebut. Pengertian hak asasi manusia seperti pemahaman
di atas memang tidak salah, namun dengan pemahaman seperti itu
merupakan pemahaman yang sempit tentang hak asasi manusia, maka
penerapan terhadap hak tersebut sering salah kaprah atau disalahgunakan.
Untuk itu guna memperoleh pemahaman yang lebih sempurna tentang hak
asasi manusia, perlu dipahami istilah-istilah yang memberi pengertian secara
tepat mengenai hak asasi manusia.11
Berdasarkan beberapa rumusan pengertian HAM tersebut, diperoleh
suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri
manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah
Tuhan yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu,
masyarakat atau negara. Dengan demikian hakikat penghormatan dan
perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia
secara utuh melalui aksi keseimbangan yaitu keseimbangan antara hak dan
kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan
kepentingan umum.12

B. Bentuk pelanggaran HAM

Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human


rights” atau “greaves breaches of human rights”, sebagaimana disebut secara

10
Masyhur Effendi, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,
(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994), hal. 3.
11
Philipus M. Hadjon, Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu studi tentang Prinsip-prinsipnya,
penanganannya oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan
administrasi), sebagaimana dikutip Fauzan Khairazi, Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di
Indonesia, Jurnal Inovatif VIII No. I Januari 2015, hal. 81.
12
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Op. cit, hal. 201.

6
eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya, tidak dikenal dalam
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Di dalam Statuta Roma
1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the
most serious crimes of concern to the international community as a whole”.
Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi
yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Undang-undang
Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur Pelanggaran HAM
berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 13
Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis berdasarkan Pasal 7
UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, yaitu :
1. Pembunuhan masal (genosida).
Defenisi Kejahatan Genosida sendiri masih tetap menjadi perdebatan
karena walaupun sejarah manusia telah menyaksikan banyak tindakan
genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan baru
dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang
Dunia II. Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar
hukum, Raphaël Lemkin, seorang pendukung utama dari konvensi
internasional tentang masalah ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini
berpusat pada adanya rencana terkoordinasi untuk menghancurkan
“fondasi-fondasi penting” dari kehidupan suatu kelompok, dengan
tujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut. 14
Kejahatan genosida didefinisikan sebagai perbuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh
atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis kelompok
agama. Perbuatan material yang dilakukan dalam rangka tindak pidana
genosida meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut: pembunuhan,
mengakibatkan penderitaan, menciptakan kondisi pemusnahan,
mencegah kelahiran, memindahkan secara paksa. (Pasal 8 UU No 26
Tahun 2000).

13
Menteri Kehakiman RI. “ Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan Ad Hoc”, diunduh www.legalitas.org/incl-
php/buka.php?d=art+2&f=hamberat.htm. pada tanggal 1 April 2017
14
Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams, Melampaui Warisan Nuremberg: Pertanggungjawaban untuk
Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional, (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat, 2008), hal. 40.

7
2. Kejahatan Kemanusiaan
kejahatan terhadap kemanusiaan diartikan sebagai bagian dari
serangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil,
yang meliputi: pembunuhan, permusnahan, pengusiaran, perampasan
kemerdekaan, apartid, pemerkosaan, penganiayaan, penghilangan
paksa, dan perbudakan (Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000)

Terhadap penggolongan pelanggaran HAM, hal lain yang perlu


diperhatikan ketika pelanggaran atau kejahatan hak asasi manusia amat luas,
pengabaian memang seharusnya bukan merupakan pilihan, sekalipun upaya
menyelesaikan masa lalu tidaklah sederhana. Dalam sebuah dunia yang
sejak perang dunia ke-II disibukkan dengan penyebaran isu demokratisasi
dan penghormatan terhadap martabat manusia, dimana antara proses
penegakan keadilan dan kepentingan politik antara masa transisi, melahirkan
apa yang oleh Tina Rosenberg disebut sebagai dimana besar moral, politik
dan filosofis abad ini.15

BAB III
15
Karlina Leksono dan Supelli, Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, (Jakarta:
ID H-THC, 2001) Vol 1 No. 3, hal. 9.

8
PEMBAHASAN

A. Awal mula terbentuknya peradilan HAM

Jika melihat KUHP Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran


HAM yang berat juga mengatur tentang jenis kejahatan yang berupa
pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan/penganiayaan, dan
perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis
kejahatan yang sifatnya biasa (ordinary crimes) yang jika dibandingkan
dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau
karakteristik tertentu yang sesuai dengan Statura Roma 1999 untuk bisa
diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat. Pelanggaran HAM
berat itu sendiri merupakan extraordinary crimes yang mempunyai
perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan
atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak
mungkin menyamakan perlakukan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya
KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran
HAM yang berat. Sesuai dengan prinsip hukum internasional, khususnya
prinsip universal dimana tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM
berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi universal tentang crimes
against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan
HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang
bersifat khusus.16
Orde baru yang berkuasa selama 33 tahun (1965-1998) telah banyak
dicatat melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM. Orde baru yang
memerintah secara otoriter selama lebih dari 30 tahun telah melakukan
berbagai tindakan pelanggaran HAM karena perilaku negara dan aparatnya. 17
Sivfian dan Sumartono yang menggolongkan ada sepuluh pelanggaran HAM
berat dalam periode 1945-1998 yang meliputi: 18

16
Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, Jurnal Demokrasi dan HAM,
Jakarta, 2000, hal. 54.
17
Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, hal. 31.
18
Sivfian Hendra Legowo, IG.Krisnadi, Hendro Sumartono, “ Dinamika Politik Rezim Orde Baru di Indonesia
Studi Tentang Kegagalan Konsolidasi Politik Rezim Orde Baru Tahun 1990-1996”. Jurnal Publika Budaya
Volume 1 November 2013 Universitas Jember. hal. 16-24.

9
1) Ekses Demokrasi Terpimpin (antara lain penahanan tokoh Masyumi/PSI
tanpa diadili);
2) Pembantaian 1965/1966;
3) Penahanan politik di kamp Pulau Buru (1969-1979);
4) Kasus Timor-Timur (serangan 7 Desember 1975);
5) Kasus Aceh;
6) Kasus Irian Jaya;
7) Penembak Misterius (Petrus);
8) Kasus Tanjung Priok 1984;
9) 27 Juli 1996;
10)Seputar kerusuhan Mei 1998.

kondisi ini menjadi sorotan dunia internasional terhadap Indonesia


sehubungan dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat
terlebih sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi
khususnya di Timor-timur selama pra dan pasca jajak pendapat belum ada
yang terselesaikan. Awal mulanya, Deklarasi Balibo yang lalu disahkan oleh
DPR tanggal 15 Juli 1976 dan ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 17
Juli 1976, sebagai UU No. 7 Tahun 1976 yang isinya menerima Timor Timur
sebagai bagian dari kedaulatan Indonesia, dan menjadikannya sebagai
provinsi ke-27. dan MPR mengukuhkan dengan Tap MPR No. VI/MPR/1978
tantang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timor Ke Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, tanggal 22 maret 1978. Sayangnya, Majelis
Umum (MU) PBB tidak mengakui pengukuhan integrasi itu. Dengan kata lain,
PBB tetap menanggap Timor-timur sebagai non-self governing territory. Dan
harus diakui, sejak tahun 1975 hingga 24 tahun kemudian, pembahasan
masalah Timor Timur oleh Indonesia terus masuk dalam Sidang Umum
PBB.19 Pada tanggal 4 September 1999, Pemerintahan Habibie mengambil
terobosan kebijakan untuk menyelenggarakan jajak pendapat yang akan
menentukan masa depan Timor Timur. hasilnya referendum pemisahan diri
Timor Timur diizinkan presiden B. J. Habibie.20

19
Jerry Indrawan, Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik di Timor Timur sebelum Kemerdekaannya
dari Indonesia, Jurnal hubungan internasional, VoL 11, No 2 (2015), hal. 170.
20
Idi Subandi Ibrahim (ed), Selamat Jalan Timor Timur, Pergulatan Menguak Kebenaran, Ide Indonesia,
(Jakarta, 2002), hal. 185.

10
Dengan berbagai desakan yang muncul maka pada tanggal 23
September 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang di dalam pasal 104 mengamanatkan
pembentukan Pengadilan HAM untuk menyelesaikan kasus-kasus
pelanggaran HAM berat. Pada tanggal 8 Oktober 1999, serta semakin
kuatnya desakan agar pelanggaran HAM yang dilakukan aparat TNI dan sipil
dapat diadili, maka pemerintahan BJ Habibie menggunakan hak
konstitusionalnya berdasarkan Pasal 22 Undang-undang Dasar 1945
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan terhitung mulai
tanggal 8 Oktober 1999 dinyatakan berlaku. Secara tegas, Perpu ini telah
menetapkan jenis-jenis pelanggaran HAM yang berat dan bagi para
pelakunya harus dihukum penjara kalau terbukti secara sah dan meyakinkan
oleh pengadilan HAM. Pelanggaran HAM yang dapat dihukum menurut Perpu
tersebut meliputi pemusnahan ras, pembunuhan sewenang-wenang atau di
luar putusan pengadilan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan,
diskriminasi yang dilakukan secara sistematis dan penganiayaan yang
dilakukan oleh pejabat yang berwenang. Dengan demikian walaupun
Indonesia belum menjadi pihak pada beberapa Konvensi utama HAM namun
prinsip-prinsip yang terkandung dalam ketentuan konvensi HAM itu telah
diakui dan dapat menjadi hukum positif di Indonesia. 21
kondisi ini sorotan dunia internasional terhadap Indonesia sehubungan
dengan maraknya pelanggaran HAM yang terjadi kian menguat terlebih
sorotan atas pertanggungjawaban pelanggaran HAM yang terjadi di Timor-
timur selama proses jajak pendapat. Masyarakat nasional maupun
internasional sangat prihatin dengan situasi yang terjadi di Timor Timur
bahkan Komisi Hak Asasi Manusia PBB mengeluarkan resolusi untuk
mengungkapkan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM berat di Timor-
Timur, yaitu Resolusi 1999/S-4/1 yang menuntut kepada Pemerintah
Indonesia agar antara lain: dalam kerjasama dengan Komnas HAM menjamin
bahwa orang-orang yang bertanggung jawab atas tindak kekerasan dan
pelanggaran sistematis terhadap hak asasi manusia akan diadili. Resolusi

21
Satrio Saptohadi, Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Penegakan Hukum di Timor Timur Pasca
Jajak Pendapat, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13 No. 2 Mei 2013, hal. 346.

11
tersebut juga meminta kepada Sekjen PBB untuk membentuk komisi
penyelidik internasional dengan komposisi anggota yang terdiri dari ahli-ahli
dari Asia, dan bekerjasama dengan Komnas HAM Indonesia, serta
mengirimkan pelapor khusus ke Timor Timur. Selain itu resolusi juga
merekomendasikan untuk membentuk International tribunal atas kasus
tersebut.22
Sebagai reaksi terhadap resolusi tersebut, Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan sejumlah peraturan terkait penyelesaian kasus
Timor Timur pasca jajak pendapat, yaitu:23
1) Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 770/TUA/IX/99 juncto
Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 797/TUA/X/99 Tahun
1999 tentang Pembentukan Komisi Penyelidikan HAM di Timor Timur
(KPP HAM Tim-Tim);
2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1999 yang kemudian dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia;
3) Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2001
tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc untuk
Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di Timor Timur; dan keempat,
Surat Keputusan Presiden Nomor 6/ M/2002 Tahun 2002 tentang
Pengangkatan Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM.
Karena berbagai alasan, Perpu No. 1 tahun 1999 kemudian ditolak
oleh DPR untuk menjadi undang-undang. Alasan mengenai ditolaknya Perpu
adalah sebagai berikut :24
1. secara konstitusional pembentukan Perpu tentang pengadilan HAM
dengan mendasarkan pada pasal 22 ayat 1 Undang Undang Dasar 1945
yang berbunyi “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa”, yang
dijadikan dasar untuk mengkualifikasikan adanya kegentingan yang
memaksa dianggap tidak tepat.

22
Eddy O. S. Hiariej, Pengadilan atas beberapa Kejahatan serius terhadap HAM, (Jakarta: Erlangga, 2010), hal.
84.
23
Satrio Saptohadi, Op. cit, hal. 350.
24
Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indonesia: Prosedur dan Praktek, diunduh
pusham.uii.ac.id/upl/article/id_Pengadilan%20HAM%20Indonesia.pdf, pada 1 April 2017

12
2. subtansi yang diatur dalam perpu tentang pengadilan HAM masih terdapat
kekurangan atau kelemahan antara lain, sebagai berikut :
a. kurang mencerminkan rasa keadilan karena ketentuan dalam perpu
tersebut tidak berlaku surut (retroaktif), sehingga pelanggaran HAM
yang berat yang dilakukan sebelum perpu ini disahkan menjadi
undang-undang tidak tercakup pengaturannya.
b. Masih terdapat ketentuan yang dinilai menyimpang dari ketentuan
yang diatur dalam konvensi tentang pencegahan dan penghukuman
kejahatan genocida tahun 1948 dan tidak sesuai dengan asas-asas
hukum yang berlaku.
c. Masih menggunakan standar konvensional, yakni dengan
mendasarkan pada KUHP yang hanya membatasi tuntutan pada
personal sehingga tidak mampu menjangkau tuntutan secara lembaga.
d. Masih terdapat subtansi yang kontradiktif dan berpotensi untuk
berbenturan atau overlapping dengan hukum positif.

Setelah adanya penolakan Perpu tersebut diatas oleh DPR maka


pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang pengadilan HAM.
Dalam penjelasannya pengajuan RUU tentang Pengadilan HAM adalah
pertama, merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa indonesia sebagai
salah satu anggota PBB. Dengan demikian merupakan salah satu misi yang
mengembangkan tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi
dan melaksanakan deklarasi HAM yang ditetapkan oleh perserikatan bangsa-
bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang
mengatur mengenai HAM yang telah dan atau diterima oleh negara
Indonesia. Kedua, dalam rangka melaksanakan Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari pasal 104 ayat 1
Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Ketiga, untuk mengatasi keadaan yang
tidak menentu dibidang keamanan dan ketertiban umum, termasuk
perekonomian nasional. Keberadaan pengadilan HAM ini sekaligus
diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat dan dunia
internasional terhadap penegakan hukum dan jaminan kepastian hukum
mengenai penegakan HAM di Indonesia. 25

25
Ibid.

13
Dalam sistem hukum nasional (Indonesia), istilah pelanggaran HAM
berat melalui Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, yang dirumuskan: ”Untuk mengadili pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia di
lingkungan peradilan umum.” Setahun kemudian, lahir Undang-Undang No.
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sebagai tindak lanjut atas pasal
tersebut. Setelah itu, lahir gagasan melalui TAP MPR No.V/MPR/2000, 18
Agustus 2001, tentang ”Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional”,
disebutkan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagai
lembaga extra yudisial yang bertugas dalam menegakkan kebenaran dan
mengungkapkan penyalahgunaan kekerasan serta pelanggaran HAM pasca
masa lampau dan melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan
bersama sebagai bangsa. Satu prinsip penting ialah bahwa KKR merupakan
lembaga yang bersifat publik untuk mencari dan mengungkapkan kebenaran
atas pelanggaran HAM berat dengan berasaskan pada kemandirian, bebas
tak memihak, keadilan, kejujuran, keterbukaan, dan perdamaian. 26

B. Perkembangan peradilan HAM di Indonesia


Secara umum sejak era reformasi bergulir, penyelesaian pelanggaran
HAM berat bisa dilakukan melalui: (i) mekanisme pengadilan HAM dan; (ii)
mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Mekanisme Pengadilan HAM
berdiri atas dasar Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, dan akhirnya melalui
Keputusan Presiden No. 96 Tahun 2001 Perubahan atas Keppres No.53
Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada PN Jakarta
Pusat ini terbit karena ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 53
Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat perlu disempurnakan dengan lebih
memperjelas tempat dan waktu tindak pidana (locus dan tempus delicti)
pelanggaran hak asasi manusia yang memandatkan dibentuknya pengadilan
HAM ad hoc untuk menangani kasus Tanjung Priok dan Timor Timur pasca
jajak pendapat. Berdirinya mekanisme peradilan ini sesungguhnya atas
desakan publik pasca terjadinya kekerasan dan kejahatan hak asasi manusia

26
R. Herlambang, Akses keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat pasca putusan Mahkamah Konstitusi
No. 006/PUU-IV/2006, Jurnal Rechtsvinding Vol. 2 No. 2 Agustus 2013, hal. 183.

14
di Timor Leste pasca jajak pendapat atau referendum. Mekanisme domestik
yang segera dibentuk tersebut ditujukan untuk mengadili pelanggaran HAM
berat di Indonesia, merupakan mekanisme hukum yang ditempuh pemerintah
Indonesia sesungguhnya untuk menghindarkan bekerjanya mekanisme
internasional.27
Melalui proses yang cukup panjang, akhirnya terbentuklah Pengadilan
HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc bertempat di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat (sesuai Keppres Nomor 96 Tahun 2001). Hakim Pengadilan
HAM tingkat pertama dilantik pada tanggal 31 Januari 2002. Kemudian, Jaksa
Agung Republik Indonesia melalui keputusan Jaksa Agung Nomor Kep 092/A/
JA/02/2002 tanggal 7 Februari 2002 telah mengangkat 24 (dua puluh empat)
Jaksa Ad Hoc, dan pada hari Kamis tanggal 21 Februari 2002 penyerahan
perkara untuk pertama kalinya oleh Jaksa diserahkan pada Peradilan HAM
Ad Hoc.28
Diundangkannya UU HAM, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia, secara substantif memang banyak kesamaan dengan
Statuta Roma 1998, namun ada sejumlah pasal-pasal yang berbeda
rumusan hukum dan ancaman hukumannya. Dalam soal ancaman hukuman,
yang berbeda dengan Statuta Roma 1998 (Rome Statute of The
International Criminal Court) adalah menyangkut ancaman pidana dalam UU
Pengadilan HAM merumuskan ancaman paling tinggi pidana mati.
Sedangkan menyangkut rumusan hukumnya yang berbeda, sesungguhnya
memiliki konsekuensi yang justru menunjukkan kelemahan dari Undang
Undang No. 26 Tahun 2000 Kelemahan substantif dari undang-undang
tersebut setidaknya ada tiga hal, yakni:29
1) Rumusan yang tidak menjelaskan kerangka lebih tegas dalam Pasal 9
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang elemen meluas, sistematik
dan diketahui. Ketidakjelasan tersebut akan melahirkan kesulitan
interpretasi bagi para hakim untuk menentukan dan membuktikan unsur-
unsur kejahatannya.

27
Ibid.
28
Soerdjono Dirdjosisworo, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal.
3.
29
R. Herlambang, Op. cit, hal. 184.

15
2) Penerjemahan yang keliru dari Pasal 7 Statuta Roma dalam Pasal 9
Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, yakni perkataan ”directed” yang
seharusnya diterjemahkan ”ditujukan”, namun oleh undang-undang
pengadilan HAM diterjemahkan ”ditujukan secara langsung”. Kata
”langsung” yang demikian memiliki pengaruh atas siapa yang harus
bertanggung jawab atas kejahatan HAM, apakah hanya para pelaku
langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal tersebut,
sementara pelaku di atasnya (komandan atau atasannya) yang membuat
keputusan tidak bisa terjerat pada pasal tersebut.
3) Hukum acara dalam Pengadilan HAM (Bab IV) yang masih menggunakan
dasar pihakan pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). KUHAP dalam pasal 184-190 sesungguhnya tidak dirancang
khusus dalam kasus-kasus pelanggaran HAM berat, sehingga dalam
pembuktiannya menjadi agak susah, utamanya dalam membuktikan unsur
sistematik, meluas, dan diketahui.

Namun pembentukan Pengadilan HAM dengan UU No. 26 Tahun 2000


menimbulkan pro dan kontra ditengah masyarakat. Terhadap asas berlaku
surut yang dikenal dalam Pasal 43 ayat (1) UU Pengadilan HAM itu pernah
diajukan permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) oleh
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timor Timur pada waktu itu
(tahun 2004). Asas retroaktif ini dianggap bertentangan dengan asas legalitas
yang diatur dalam Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)
dan juga bertentangan dengan ketentuan konstitusi Pasal 28I ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Meski demikian, MK kemudian menolak
permohonan judicial review Abilio Osario Soares terhadap Pasal 43 ayat (1)
UU Pengadilan HAM melalui putusan MK No. 065/PUU-II/2004 yang
dibacakan oleh Ketua MK pada waktu itu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H,
menyatakan pengadilan HAM ad hoc dinyatakan tidak bertentangan dengan
UUD 1945.30
Dapat disimpulkan terhadap pemberlakuan asas retroaktif dalam UU
Peradilan HAM harus dibatasi secara rigid dan limitative, yakni khusus pada

30
Puteri Hikmawati, Artikel Ilmiah “Kompetensi Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Pembentukan Pengadilan
Hak Asasi Manusia Ad Hoc”, Pusat Pengkajian Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR Rl, hal. 5.

16
extra ordinary crime. Extra ordinary crime berarti kejahatan yang memiliki
unsur meluas dan sistematik. Meluas berarti memiliki daya jangkau yang luas
dan menimbulkan banyak korban. Kata “meluas” juga termasuk kata
“Massive” yang artinya kejahatan yang telah diulang-ulang. Sedangkan
sistematik merupakan suatu model yang terorganisir untuk melakukan
kejahatan. Ketiga sifat extra ordinary crime tersebut harus diartikan secara
bersamaan agar didapat pengertian yang utuh. Sehingga telah terbentuk
sistem yang rapi ketika kejahatan dilakukan. Dengan adanya kelemahan-
kelemahan pada Asas legalitas dalam menangani kejahatan luar biasa, maka
dibutuhkan Asas Retroaktif untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sehingga
tujuan hukum yang berupa keadilan dapat dicapai. 31

BAB IV

31
Anisatul Istiqomah Fadhilah, Jurnal Ilmiah “Pemberlakuan Asas Retroaktif Dalam Pelanggaran Berat
Terhadap Hak Asasi Manusia Di Indonesia”, hal. 17.

17
PENUTUP

Kesimpulan

Peraturan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mencakup kebijakan


negara tentang bagaimana hukum tentang HAM itu telah dibuat dan bagaimana pula
seharusnya hukum tentang HAM itu dibuat untuk membangun masa depan yang
lebih baik, yakni kehidupan Negara yang bersih dari pelanggaran-pelanggaran HAM,
sebagaimana dikemukakan dari kasus-kasus pelanggaran HAM membentuk suatu
peraturan perundang-undangan yang mengakomodir mengenai institusi peradilan
khusus yang bersifat permanen dalam menangani masalah pelanggaran HAM
(Pengadilan HAM) yaitu Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM
merupakan pengganti dari Perppu No.1 Tahun 1999, serta peraturan yang berkaitan
dengan pengadilan HAM ad hoc, menganut asas retroaktif dalam UU Peradilan HAM
yang sifatnya dibatasi secara rigid dan limitative, yakni khusus pada extra ordinary
crime. Extra ordinary crime berarti kejahatan yang memiliki unsur meluas dan
sistematik.

DAFTAR PUSTAKA

18
Buku
Abdullah, Rozali. Perkembangan HAM dan keberadaan Peradilan HAM di
Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2001.

Dirdjosisworo, Soerdjono. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Bandung: Citra


Aditya Bakti. 2002.

Effendi, Masyhur. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1994.

Hiariej, Eddy O. S. Pengadilan atas beberapa Kejahatan serius terhadap HAM.


Jakarta: Erlangga, 2010.

Ibrahim, Idi Subandi (ed). Selamat Jalan Timor Timur, Pergulatan Menguak
Kebenaran, Ide Indonesia, Jakarta. 2002.

Nazmi, Didi. Konsepsi Negara Hukum. Padang: Angkasa Raya. 1992.

Muladi. Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif
Hukum dan Masyarakat. Bandung: PT. Reflika Aditama. 2005.

Parthiana, I Wayan. Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. Bandung: CV.


Yrama Widya. 2004.

Ratner, Steven R. dan Jason S. Abrams. Melampaui Warisan Nuremberg:


Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam
Hukum Internasional. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
2008.

Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Prenada Media. 2003.

Tumpa, Harifin A. Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia.


Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2010

Artikel dan Jurnal


Anisatul Istiqomah Fadhilah. Jurnal Ilmiah “Pemberlakuan Asas Retroaktif Dalam
Pelanggaran Berat Terhadap Hak Asasi Manusia Di Indonesia”.

Fauzan Khairazi. 20015. Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di


Indonesia. Jurnal Inovatif VIII No. I

19
Karlina Leksono dan Supelli. 2001. Tak ada Jalan Pendek Menuju Rekonsiliasi,
Jurnal Demokrasi dan HAM. Jakarta: ID H-THC. Vol 1 No. 3

Muladi. 2000. Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi,
Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta.

Jerry Indrawan. 2015. Analisis Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik di Timor


Timur sebelum Kemerdekaannya dari Indonesia, Jurnal hubungan
internasional. Vol. 11. No. 2.

Ignatius Haryanto. 1999. Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi


Masyarakat.

Puteri Hikmawati. Artikel Ilmiah “Kompetensi Pengadilan Hak Asasi Manusia dan
Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc”. Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi Setjen DPR Rl.

R. Herlambang. 2013. Akses keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat pasca
putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006. Jurnal Rechtsvinding
Vol. 2 No. 2.

Satrio Saptohadi. 2013. Eksistensi Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam


Penegakan Hukum di Timor Timur Pasca Jajak Pendapat. Jurnal Dinamika
Hukum. Vol. 13 No. 2.

Sivfian Hendra Legowo, IG.Krisnadi, Hendro Sumartono. 2013.“ Dinamika Politik


Rezim Orde Baru di Indonesia Studi Tentang Kegagalan Konsolidasi Politik
Rezim Orde Baru Tahun 1990-1996”. Jurnal Publika Budaya Voluime 1.

Internet
Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM di Indonesia: Prosedur dan Praktek,
diunduh pusham.uii.ac.id/upl/article/id_Pengadilan%20HAM%20Indonesia.

Menteri Kehakiman RI. “ Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan Ad Hoc”, diunduh
www.legalitas.org/incl-php/buka.php?d=art+2&f=hamberat.htm.

20

Anda mungkin juga menyukai