Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Search
RANGER OF ENVIRO
For Fun n for Link.....
Home
Organisasi
Downloads
Parent Category
Featured
Health
Edit
Categories
film (1)
gadget (2)
hiburan (6)
HIMATEKLINK (11)
IMTLI (9)
LabLink (1)
liburan? (8)
MIKROBIOLOGI (4)
news (54)
OPINION (29)
PEMETAAN (1)
penghasil uang (5)
Penyakit (1)
PKL (2)
PLI (2)
PTAT (1)
sinopsis (13)
teman (18)
termodinamika (1)
TUGAS (12)
tutorial (9)
Blog Archive
► 2011 (12)
► 2010 (19)
▼ 2009 (39)
o ► September (2)
o ► Agustus (2)
o ► Juli (4)
o ► Juni (12)
o ► Mei (7)
o ► April (6)
o ▼ Maret (5)
Streptococcus lactis
Pemanfaatan Fly Ash (Abu Terbang) Dari Pembakaran ...
IMTLI Ajarkan Cara Daur Ulang Kertas
BAKTERI COLIFORM
PENGGUNAN GEOGRAPHICAL INFORMATION SYSTEM (GIS)
PA...
o ► Februari (1)
► 2008 (8)
Senin, 23 Maret 2009
Pemanfaatan Fly Ash (Abu Terbang) Dari Pembakaran Batubara Pada PLTU
Suralaya Sebagai Bahan Baku Pembuatan Refraktori Cor
1. Judul
Pemanfaatan Fly Ash (Abu Terbang) Dari Pembakaran Batubara Pada PLTU
Suralaya Sebagai Bahan Baku Pembuatan Refraktori Cor
Salah satu pencemaran yang paling berbahaya dan memberikan dampak yang cukup
besar adalah pencemaran udara. Pencemaran udara sendiri mengandung pengertian masuk atau
dimasukkannya masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, atau komponen lain ke dalam
udara dari kegiatan manusia atau proses alam sehingga menurunkan kualitas udara tersebut ke
titik tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang/tidak berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukkannya.
Pada dasarnya semua pencemaran itu berbahaya bagi kehidupan, tetapi pencemaran udara
menjadi salah satu pencemaran yang dikategorikan sebagai pencemaran yang sangat berbahaya.
Hal ini dikarenakan partikel polutan dari pencemaran ini berukuran sangat kecil sehingga tidak
disadari oleh masyarakat. Sumber pencemar dalam pencemaran udara tidak hanya berasal dari
aktivitas manusia (karena tangan manusia), tetapi juga oleh sumber-sumber pencemar yang
datangnya akibat peristiwa alamiah seperti gunung meletus, bencana alam, dan lain-lain.
Berdasarkan wujud fisiknya, pencemar-pencemar yang terdapat di udara tidak hanya berupa gas
atau uap, melainkan kontaminan itu dapat juga sebagai benda-benda padat sebagai partikel, yaitu
berupa debu, asap, kabut, dan lain-lain, bahkan panas dan bau juga.
Partikulat termasuk dalam salah satu polutan pencemaran udara. Secara umum partikel
yang mencemari udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan dan manusia. Partikel-
partikel tersebut sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar
oleh partikel dapat menimbulkan berbagai macam penyakit saluran pernapasan atau
pneumoconiosis.
Fly Ash merupakan salah satu jenis partikulat yang dapat diklasifikasikan dalam debu. Hal
ini karena biasanya Fly Ash dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Abu terbang (fly ash) sebagai
limbah PLTU berbahan bakar batu bara dikategorikan oleh Bapedal sebagai limbah berbahaya
(B3). Sehubungan dengan meningkatnya jumlah pembangunan PLTU berbahan bakar batubara
di Indonesia, maka jumlah limbah abu terbang juga akan meningkat yaitu jumlah limbah PLTU
pada tahun 2000 sebanyak 1,66 juta ton, sedangkan pada tahun 2006 diperkirakan akan mencapai
sekitar 2 juta ton. Khusus untuk limbah abu dari PLTU Suralaya, sejak tahun 2000 hingga tahun
2006, diperkirakan ada akumulasi jumlah abu sebanyak 219.000 ton/tahun. Jika limbah abu ini
tidak dimanfaatkan akan menjadi masalah pencemaran lingkungan, yang mana dampak dari
pencemaran akibat abu terbang (fly ash) sangat berbahaya baik bagi lingkungan maupun
kesehatan. Oleh karena itu, penelitian tentang studi kasus pencemaran udara yang disebabkan
oleh partikulat khususnya abu terbang (Fly Ash) perlu dilaksanakan untuk mengetahui sejauh
mana dampak serta pemanfaatannya terhadap lingkungan.
3. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini kami membahas tentang sumber, dampak, penanggulangan dan
kendala yang disebabakan oleh partikulat di udara terhadap lingkungan.
4. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui serta menginformasikan tentang
sumber, dampak, penanggulangan dan kendala yang disebabakan oleh partikulat di udara
terhadap lingkungan.
5. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini antara lain masyarakat menjadi tahu bahwa abu terbang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan refraktori cor sehingga di samping menjaga
lingkungan dapat digunakan sebagai mata pencaharian.
6. Tinjauan Pustaka
Abu terbang merupakan limbah padat hasil dari proses pembakaran di dalam furnace
pada PLTU yang kemudian terbawa keluar oleh sisa-sisa pembakaran serta di tangkap dengan
mengunakan elektrostatic precipitator. Fly ash merupakan residu mineral dalam butir halus
yang dihasilkan dari pembakaran batu bara yang dihaluskan pada suatu pusat pembangkit
listrik. Fly ash terdiri dari bahan inorganik yang terdapat di dalam batu bara yang telah
mengalami fusi selama pembakarannya. Bahan ini memadat selama berada di dalam gas-gas
buangan dan dikumpulkan menggunakan presipitator elektrostatik. Karena partikel-partikel
ini memadat selama tersuspensi di dalam gasgas buangan, partikel-partikel fly ash umumnya
berbentuk bulat. Partikel-partikel fly ash yang terkumpul pada presipitator elektrostatik
biasanya berukuran silt (0.074 – 0.005 mm). Bahan ini terutama terdiri dari silikon dioksida
(SiO2), aluminium oksida (Al2O3) dan besi oksida (Fe2O3).
Menurut laporan teknik PT PLN (Persero) (1997), di Indonesia produksi limbah abu
terbang dan abu dasar dari PLTU diperkirakan akan mencapai 2 juta ton pada tahun 2006, dan
meningkat menjadi hampir 3,3 juta ton pada tahun 2009. Khusus untuk PLTU Suralaya, sejak
tahun 2000 hingga 2006 diperkirakan ada akumulasi jumlah abu sebanyak 219.000 ton per
tahun. Produksi abu terbang batubara (fly ash) didunia pada tahun 2000 diperkirakan
berjumlah 349 milyar ton. Produksi abu terbang dari pembangkit listrik di Indonesia ini terus
meningkat, pada tahun 2000 yang jumlahnya mencapai 1,66 milyar ton dan diperkirakan
mencapai 2 milyar ton pada tahun 2006. Jika limbah abu ini tidak ditangani akan
menimbulkan masalah pencemaran lingkungan. Salah satu kemungkinan penanganannya
adalah dengan memanfaatkan abu terbang ini untuk bahan baku pembuatan refraktori..
Penyumbang terbesar produksi abu terbang batubara adalah sektor pembangkit listrik.
Tabel 1. Jumlah dan perkiraan produksi abu terbang dan abu dasar oleh PLTU di Indonesia
meta equiv="Content-Type"
content="text/html; charset=utf-8">
Tabel 2. Jumlah dan perkiraan produksi abu terbang dan abu dasar oleh PLTU Suralaya
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi dalam kandungan mineral fly ash (abu
terbang) dari batu bara adalah:
Bahan tambahan yang digunakan termasuk bahan tambahan minyak untuk stabilisasi
nyala api dan bahan tambahan untuk pengendalian korosi.
1. Syngenetic atau disebut dengan mineral matter : pada dasarnya mineral-mineral ini
terendapkan di tempat tersebut bersamaan dengan saat prosespembentukan paet.
2. Epigenetica juga disebut dengan extraneous mineral matter: pada prinsipnya mineral-
mineral pengotor ini terakumulasi pada cekungan setelah proses pembentukan lapisan
peat tersebut selesai.
Dari sejumlah abu yang dihasilkan dalam proses pembakaran batubara, maka
sebanyak 55% - 85 % berupa abu terbang (fly Ash) dan sisanya berupa abu dasar (Bottom
Ash). Sedangkan dari PLTU Suralaya dari sejumlah abu yang dihasilkan hampir 90 % berupa
abu terbang (Fly Ash). Kedua janis abu ini memiliki perbedaan karakteristik serta
pemanfaatannya. Biasanya untuk fly ash (abu terbang) banyak dimanfaatkan dalam
perrusahaan industri karena abu terbang ini mempunyai sifat pozolanik, sedangkan unutk abu
dasar sangat sedikit pemanfaatannya dan biasanya digunakan sebagai material pengisi (Aziz1,
2006).
1.Sifat Fisik
Abu terbang merupakan material yang di hasilkan dari proses pembakaran batubara
pada alat pembangkit listrik, sehingga semua sifat-sifatnya juga ditentukan oleh komposisi
dan sifat-sifat mineral-mineral pengotor dalam batubara serta proses pembakarannya.
Dalamproses pembakaran batubara ini titik leleh abu batu bara lebih tinggi dari temperatur
pembakarannya. Dan kondisi ini menghasilkan abu yang memiliki tekstur butiran yang sangat
halus. Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentuk bola padat
atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil
dari 0,075mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m 3 dan luas area
spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000
m2/kg. Adapun sifat-sifat fisiknya antara lain :
2. Sifat Kimia
Komponen utama dari abu terbang batubara yag berasal dari pembangkit listrik
adalah silikat (SiO2), alumina(Al2O3), dan besi oksida(Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium,
magnesium, dan belerang.
Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yan dibakar
dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan
sub/bituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih
banyak daripada bituminus. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon yang
lebih sedikit daripada bituminous. Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang
umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran
batubara bituminous lebih kecil dari 0,075 mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100-
3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya antara 170-1000 m2/kg.
Refraktori merupakan bahan tahan api sebagai penahan (isolator) panas pada tanur-
tanur suhu tinggi yang banyak digunakan oleh berbagai industri, seperti industri peleburan
logam, kaca, keramik, semen. Refraktori cor merupakan bahan tahan api berupa bubuk yang
jika dicampur dengan air dan dibiarkan beberapa saat akan mengeras (setting).
Penggunaannya sebagai isolator panas dilakukan dengan cara pengecoran adonan campuran
bahan tersebut dengan air pada dinding tanur yang akan diisolasi.
Menurut data produk perdagangan dari Sharada Ceramic Ltd, India (2000), refraktori
cor yang bersifat asam mengandung Al2O3 65 - 95%, dan SiO2 5 - 32%, tahan terhadap suhu
1750 - 1860°C, bulk density 2,1 - 2,8 g/ml. Bahan refraktori yang baik harus memiliki kadar
Al2O3 lebih tinggi daripada SiO2 dengan perbandingan Al2O3 : SiO2 = 65% : 35% atau nilai
Al2O3/SiO2=1,85 (Aziz2, 2006)
Penelitian dan aplikasi pemanfaatan abu terbang sebagai bahan refraktori sudah
dilakukan dibeberapa negara seperti India dan Cina. Abu terbang PLTU-Suralaya diduga
mempunyai potensi sebagai salah satu bahan baku refraktori. Dalam rangka pemanfaatan abu
terbang PLTUSuralaya untuk bahan baku pembuatan refraktori, khususnya refraktori cor
(castable refractory), perlu terlebih dahulu dilakukan penelitian bahan baku (raw materials)
abu terbang tersebut untuk mengetahui karakteristiknya melalui serangkaian penelitian dan
pengujian.
1. Dampak positif.
2. Dampak negatif.
Apabila fly ash didiamkan dan tidak diolah maka akan berdampak pada
lingkungan dan manusia, karna fly ash merupakan salah satu limbah B3.
a. Penyakit Silikosis
Penyakit Silikosis disebabkan oleh pencemaran debu silika bebas, berupa SiO2,
yang terhisap masuk ke dalam paru-paru dan kemudian mengendap. Debu silika bebas ini
banyak terdapat di pabrik besi dan baja, keramik, pengecoran beton, bengkel yang
mengerjakan besi (mengikir, menggerinda, dll). Selain dari itu, debu silika juka banyak
terdapat di tempat di tempat penampang bijih besi, timah putih dan tambang batubara.
Pemakaian batubara sebagai bahan bakar juga banyak menghasilkan debu silika bebas
SiO2. Pada saat dibakar, debu silika akan keluar dan terdispersi ke udara bersama – sama
dengan partikel lainnya, seperti debu alumina, oksida besi dan karbon dalam bentuk abu.
Debu silika yang masuk ke dalam paru-paru akan mengalami masa inkubasi
sekitar 2 sampai 4 tahun. Masa inkubasi ini akan lebih pendek, atau gejala penyakit
silicosis akan segera tampak, apabila konsentrasi silika di udara cukup tinggi dan terhisap
ke paru-paru dalam jumlah banyak. Penyakit silicosis ditandai dengan sesak nafas yang
disertai batuk-batuk. Batuk ii seringkali tidak disertai dengan dahak. Pada silicosis
tingkah sedang, gejala sesak nafas yang disertai terlihat dan pada pemeriksaan fototoraks
kelainan paru-parunya mudah sekali diamati. Bila penyakit silicosis sudah berat maka
sesak nafas akan semakin parah dan kemudian diikuti dengan hipertropi jantung sebelah
kanan yang akan mengakibatkan kegagalan kerja jantung.
Tempat kerja yang potensial untuk tercemari oleh debu silika perlu mendapatkan
pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja dan lingkungan yang ketat sebab penyakit
silicosis ini belum ada obatnya yang tepat. Tindakan preventif lebih penting dan berarti
dibandingkan dengan tindakan pengobatannya. Penyakit silicosis akan lebih buruk kalau
penderita sebelumnya juga sudah menderita penyakit TBC paru-paru, bronchitis, astma
broonchiale dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Pengawasan dan pemeriksaan
kesehatan secara berkala bagi pekerja akan sangat membantu pencegahan dan
penanggulangan penyakit-penyakit akibat kerja. Data kesehatan pekerja sebelum masuk
kerja, selama bekerja dan sesudah bekerja perlu dicatat untuk pemantulan riwayat
penyakit pekerja kalau sewaktu – waktu diperlukan.
b. Penyakit Antrakosis
Masa inkubasi penyakit ini antara 2 – 4 tahun. Seperti halnya penyakit silicosis
dan juga penyakit-penyakit pneumokonisosi lainnya, penyakit antrakosis juga ditandai
dengan adanya rasa sesak napas. Karena pada debu batubara terkadang juga terdapat debu
silikat maka penyakit antrakosis juga sering disertai dengan penyakit silicosis. Bila hal ini
terjadi maka penyakitnya disebut silikoantrakosis. Penyakit antrakosis ada tiga macam,
yaitu penyakit antrakosis murni, penyakit silikoantraksosis dan penyakit
tuberkolosilikoantrakosis.
1. Metodologi
Dalam usaha untuk memanfaatkan abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran
batubara di PLTU unit II Suralaya menjadi sebagai bahan baku dalam pembuatan refraktori
cor, maka terlebih dahulu dilakukan analisis terhadap abu terbang yang dilanjutkan dengan
persiapannya.
Dimana prinsip kerja dari XRD adalah merekam dan memvisualisasikan pantulan
sinar X dari kisikisi kristal dalam bentuk grafik. Grafik tersebut kemudian dianalisis,
terdiri atas mineral liat apa saja dan relatif komposisinya.
Uji distribusi ukuran dengan Fritsch Particle Sizer, dan ayakan mesh Tyler
Pada prinsipnya pembuatan refraktori cor sama dengan pembuatan refraktori bata,
hanya saja produk refraktori cor dibuat berbentuk bubuk, sedangkan produk refraktori bata
dibuat/dicetak berbentuk bata. Bahan baku refraktori cor pada umumnya dibuat dari mineral
yang ada di alam, terdiri dari campuran aggregate dan binder dengan perbandingan tertentu.
Ada berbagai jenis aggregate yang berfungsi sebagai grog antara lain kalsium silikat, tabular
alumina. Grog adalah material granular yang dibuat dari bahan tahan api hancur (crushed
brick) sebagai pengisi bodi berukuran kasar yang dapat berfungsi mengurangi shrinkage dan
thermal expansion, serta meningkatkan stabilitas saat mengalami suhu tinggi. Ada berbagai
jenis binder antara lain clay atau chamotte, kalsium aluminat. Aggregate dan binder dicampur
menggunakan mesin homogenizer. Campuran aggregate + binder + abu terbang kemudian
dibakar/disinter pada suhu tinggi (>1300 °C) agar membentuk klinker. Klinker digerus untuk
mendapatkan ukuran tertentu sesuai persyaratan perdagangan. Klinker halus ini adalah produk
akhir yang disebut sebagai refraktori cor. Berdasarkan sifatnya abu terbang dapat berfungsi
ganda, yaitu sebagai aggregate sekaligus binder. Penelitian pembuatan refraktori cor dengan
menggunakan abu terbang ini diharapkan dapat mengurangi pemakaian aggregate dan binder
yang harganya mahal dalam pembuatan refraktori cor. Refraktori cor dibuat dari campuran
agregat dan binder. Agregat terdiri atas abu terbang, grog (crushed brick), dan aluminium
oksida. Sebagai binder adalah calcium aluminate. Abu terbang memiliki fungsi ganda selain
sebagai agregat juga sebagai binder. Campuran agregat dan binder dibuat dalam beberapa
komposisi dengan nilai Al2O3 / SiO2 sebesar 1,5 sampai 2,4. Setiap campuran diaduk dengan
alat homogenizer untuk mendapatkan campuran yang homogen. Terhadap masing-masing
campuran pengujian distribusi ukuran butir, komposisi mineral, komposisi kimia, dan bulk
density. Campuran ditambah 15% air dan diaduk sampai merata membentuk adonan. Adonan
dicorkan ke dalam cetakan yang telah disiapkan dan dibiarkan sampai mengering. Hasil
adonan ini disebut komposit mentah. Kemudian hasil adonan tersebut di uji dengan uji
porositas,densitas, tekstur. Dan juga melakukan pengujian kerefraktoriannya dengan teknik
uji PCE dan uji pembakaran firing. Sebagai pembanding (kontrol) adalah hasil uji salah satu
refraktori cor komersial. Porositas diuji berdasarkan SNI 13-3604-1994, dan uji densitasnya
berdasarkan SNI 13-3602-1994, tekstur diuji menggunakan SEM. Uji pembakaran untuk
menentukan nilai PCE didasarkan pada SNI 15-4936-1998. Dapur untuk pembakaran
digunakan muffle furnace. Pengambilan contoh menggunakan teknik basung prapat, uji
distribusi ukuran menggunakan Fritsch Particle Sizer dan ayakan mesh Tyler. Uji mineralogi
dengan X-RD, dan analisis kimia dengan AAS.
1. Hasil Dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti maka dapat di
ketahui dan di informasikan bahwa :
Dari hasil analisis distribusi ukuran menggunakan Fritch particle sizer, menunjukkan
bahwa ukuran partikel-partikel abu terbang di PLTU Suralaya berkisar antara 0.31 - 300.74
µm, dengan distribusi 80% berukuran 0.31 - 40.99 µm, atau d50 = 6,22 µm. Ukuran partikel
yang sangat halus ini Sangat cocok sebagai bahan pengisi (fine grog) dalam sistem refraktori
cor. Bentuk partikelnya menunjukkan bentuk-bentuk membulat (spheres), berukuran kira-kira
<15>
Partikel-partikel yang membulat tersebut satu sama lain terlepas (tidak berikatan).
Bentuk partikel fly ash yang membulat ini kemungkinan disebabkan karena pada saat
aluminosilikat mengalami pembakaran suhu tinggi dalam boiler PLTU, alkali di permukaan
partikel meleleh. Terlihat pada Gambar 1. bahwa permukaan partikel membulat tersebut tidak
merata yang menunjukkan kemungkinan proses pelelehannya belum sempurna. Partikel-
partikel yang permukaannya meleleh belum sempurna dan berukuran halus ini cenderung
bergerak/berputar di dalam boiler akibat tekanan udara panas dan terbang melalui cerobong
sehingga disebut abu terbang.
Partikel halus yang membulat cocok untuk digunakan sebagai bahan tahan api cor,
karena memiliki sifat lambat pengendapan dan self flowing yang lebih baik. Jika di lihat dari
keunggulan pada sifat pengendapan yang lambat, cenderung membentuk distribusi merata,
sehingga produk refraktori cor yang di produksi akan mempunyai struktur fisik yang uniform
dengan daya tahan abrasif yang lebih baik. Mullite(3Al2O3.2SiO2) yang terdeteksi melalui
XRD mungkin jumlahnya sangat kecil, karena tidak Unsur-unsur yang terkandung dalam abu
terbang itu sendiri seperti C-K, Al-K Si-K dan Fe-K dengan komponen C = 32,5%, Al 2O3 =
3,98%, SiO2 = 4,5% dan FeO = 59%. Kenampakan bentuknya dilihat dengan adanya tekstur
menjarum/memanjang (tekstur khas mulite) seperti pada tekstur refraktori cor komersial.
Selain itu juga belum nampak adanya tekstur yang berikatan satu sama lain yaitu tekstur
akibat perlakuan suhu tinggi/pelelehan. Oleh karena itu, abu terbang-PLTU Suralaya belum
bersifat refraktori.
1) Tekstur:
Hasil uji spot EDS menggunakan SEM terhadap butiran kasar (+30 mesh) dan
butiran halus (-200 mesh) menunjukkan, butiran kasar bertekstur seperti butiran gula pasir
(sugary) yang berukuran <>μm, dan partikel halus (fine) menunjukkan sugary dan tekstur
jarum (needle) yang panjangnya sekitar 3 μm.
2) Komposisi mineral :
Hasil uji terhadap contoh abu terbang PLTU-Suralaya menunjukkan bahwa mineral
dominannya adalah kuarsa dan sedikit mullite. Keberadaan mullite menunjukkan bahwa
aluminosilikat pada abu terbang telah mengalami kontak dengan suhu tinggi di dalam tungku
pembakaran batubara PLTU. Mullite (3Al2O3.2SiO2) adalah mineral alumina silikat yang
tahan terhadap suhu tinggi hingga sekitar 1875°C, tetapi karena masih ada mineral kuarsa
kemungkinan ketahanan terhadap suhu akan berkurang.
3) Komposisi kimia :
Komposisi kimia disajikan pada Tabel 2. menunjukkan bahwa nilai Al 2O3/SiO2 =
0,16 yang berarti kadar alumina sangat kecil dibandingkan dengan silikanya. Jika
dibandingkan dengan data dalam Tabel 6. (PT PLN, 1997), terlihat kadar alumina lebih tinggi
dengan nilai Al2O3/SiO2 = 0,6. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan karena komposisi batu
bara yang digunakan dulu dengan saat ini oleh PLTU-Suralaya sudah berubah. Saat ini batu
bara yang digunakan berasal dari PT. Adaro. Selain itu juga terlihat ada senyawa pengotor
seperti Fe2O3, TiO2, CaO, K2O dan Na2O yang relatif tinggi, sehingga mungkin akan
menurunkan kualitas refraktori. Dengan kandungan CaO sekitar 3,2% maka abu terbang ini
termasuk klasifikasi ASTM kelas “C” yang lebih cocok berfungsi sebagai bahan cementing
castables refractory yang tahan suhu relatif rendah. Berdasarkan kandungan mineral dan
komposisi kimianya seperti terlihat pada Tabel 8. maka abu terbang ini selain berfungsi
sebagai bahan pengisi berbutir halus (fine grog) juga dapat berfungsi sebagai binder dalam
sistem refraktori.
Data yang ditunjukkan pada Tabel 7. adalah komposisi kimia abu PLTU-Suralaya
hasil pengujian menurut laporan teknik PT PLN, 1977. Data tersebut memperlihatkan
kandungan Al2O3 yang relatif lebih tinggi yaitu 30,8% untuk abu terbang dan 24% untuk abu
dasar. Juga kandungan SiO2 yang lebih rendah yaitu 54% untuk abu terbang dan 63,4% untuk
abu dasar. Untuk abu terbang, nilai perbandingan Al2O3/SiO2 adalah 0,57. Kandungan CaO
relatif tinggi yaitu sekitar 4%. Menurut klasifikasi ASTM, abu terbang dengan nilai
kandungan CaO tersebut termasuk kelas “C”, yang lebih cocok berfungsi sebagai bahan
cementing castables refractory yang tahan suhu relatif rendah. Untuk mencapai kualitas
refraktori yang tahan suhu tinggi, kandungan CaO maksimum 1%. Kualitas ini termasuk
low/ultra-low cement castable refractory, yaitu klasifikasi ASTM kelas “F” (Hwang,1991).
Oleh karena itu, untuk mencapai komposisi kimia refraktori diperlukan penambahan
aluminium oksida atau bahan yang mengandung Al2O3 tinggi ke dalam abu terbang guna
mengurangi kadar SiO2, CaO, K2O, Na2O, Fe2O3 sehingga dapat mendekati komposisi kimia
refraktori cor komersial, dan memiliki nilai Al2O3/SiO2 sekitar 1,6 – 1,85.
Komponen/senyawa kimia yang terdeteksi dari analisis SEM untuk butiran kasar
terdiri atas Al2O3=72,7%, SiO2=16,6%, CaO=1,18%, ZrO2=9,4% dan FeO dan MoO3 dalam
kadar rendah. Adapun partikel halus terdiri atas senyawa Al2O3=72,2%, SiO2=8,9%,
ZrO2=5,71%, Ta2O5=13,2% dan CaO, MgO, C kadar rendah. Keberadaan senyawa Zirkonia
dan Tantalum menambah ketahanan refraktori terhadap suhu tinggi. Adanya komponen C
(karbon) kemungkinan berasal dari bahan abu terbang atau waktu proses sinterisasi
menggunakan bahan bakar batu bara.
Campuran bahan baku (abu terbang, grog, alumunium oksida, calcium aluminate)
berdasarkan volumenya dengan perbandingan Al2O3/SiO2 tertentu yang telah tercampur
secara homogen membentuk suatu komposit mentah refraktori cor.
Selanjutnya dilakukan rekayasa komposisi yang dibuat dengan perbandingan
komponen komposit mentah seperti ditunjukkan pada Tabel 10, menghasilkan tipikal
komposisi kimia seperti yang ditunjukkan pada Tabel 11. Nilai Al2O3/SiO2 tertinggi
dicapai pada komposit mentah kode “A” yaitu 1,69. Nilai ini dapat memenuhi refraktori
cor komersial tipe CAJ- 16. Komposit mentah kode “B” dan “D” dapat memenuhi
refraktori cor komersial tipe CAJ-14.
Tabel 11. Hasil Perhitungan Komposisi Kimia Komposit Mentah Refraktori Cor
Benda uji dibuat melalui cetakan berbentuk silinder berdiameter 4 cm dan tinggi
4,5 cm, dengan cara menuangkan adonan komposit mentah ke dalamnya. Sebelum
penuangan, adonan dibuat terlebih dahulu dengan menambahkan 15-20% air pada
komposit mentah dan diaduk sampai rata, kemudian dituangkan ke dalam cetakan dan
dibiarkan sampai mengeras (setting). Pengamatan secara visual menunjukkan, benda-benda
uji mentah tersebut umumnya mempunyai setting time <>
Tabel 12. Sifat fisik benda uji mentah refraktori cor dan nilai kerefraktoriannya
No Kode benda Setting time Bulk density Porositas (%) PCE Titik leleh
uji (jam) (g/ml)
(SK.No) (oC)
1 CAJ-16 <24 2,58 23,04 SK.34 1750
Meskipun demikian dari data yang ada di dalam Tabel 11 terlihat adanya
perlakuan lain yang cukup signifikan yaitu dengan penambahan abu terbang yang relatif
banyak masih dapat mempunyai nilai PCE relatif tinggi yaitu SK-16 seperti pada kode
contoh “A” dan “B” jika penambahan volume semen aluminat atau volume crushed brick
juga relatif tinggi yaitu abu terbang : semen aluminate : crushed brick : alumina oksida = 3
: 2 : 3 : 2.
Dengan demikian, komposisi campuran bahan baku yang terbaik dalam percobaan
ini adalah abu terbang, calcium aluminate, grog, aluminium oksida dengan perbandingan
volume masing-masing 3 : 2 : 3 : 2 (A) atau 3 : 3 : 3 : 1 (B) dengan nilai PCE = SK-16
yang setara dengan ketahanan suhu 1460°C. Perbandingan komposisi Al 2O3/SiO2 = 1,69
mendekati / sama dengan komposisi refraktori cor komersial yaitu Al 2O3/SiO2 = 1,62 (lihat
Tabel 10 dan 12, kode benda uji “CAJ-16” dan “A”).
Bahan-bahan baku yang telah dicampur menjadi komposit mentah dan telah
dicetak membentuk benda uji mentah dengan cara menambahkan air (15 –20%) bereaksi
membentuk komposit baru yang mempunyai karakteristik berbeda dari bahan asalnya serta
mempunyai sifat kerefraktorian yang lebih baik (tekmira mei).
(a)
(b)
Benda uji bakar (firing ) selama 1 jam pada suhu 1000°C. Terlihat bahwa hasil uji
bakar menunjukkan kekerasan benda uji menjadi lebih tinggi.
1. Kesimpulan
Dari hasil analisis distribusi ukuran menggunakan Fritch particle sizer, menunjukkan
bahwa ukuran partikel-partikel abu terbang di PLTU Suralaya berkisar antara 0.31 -
300.74 µm, dengan distribusi 80% berukuran 0.31 - 40.99 µm, atau d50 = 6,22 µm.
Ukuran partikel yang sangat halus ini Sangat cocok sebagai bahan pengisi (fine grog)
dalam sistem refraktori cor.
Partikel halus yang membulat cocok untuk digunakan sebagai bahan tahan api cor, karena
memiliki sifat lambat pengendapan dan self flowing yang lebih baik.
Hasil uji spot EDS menggunakan SEM terhadap butiran kasar (+30 mesh) dan butiran
halus (-200 mesh) menunjukkan, butiran kasar bertekstur seperti butiran gula pasir
(sugary) yang berukuran <>μm, dan partikel halus (fine) menunjukkan sugary dan tekstur
jarum (needle) yang panjangnya sekitar 3 μm.
Hasil uji terhadap contoh abu terbang PLTU-Suralaya menunjukkan bahwa mineral
dominannya adalah kuarsa dan sedikit mullite.
Komposisi kimia abu PLTU-Suralaya hasil pengujian menurut laporan teknik PT PLN,
1977. Data tersebut memperlihatkan kandungan Al2O3 yang relatif lebih tinggi yaitu
30,8% untuk abu terbang dan 24% untuk abu dasar. Juga kandungan SiO 2 yang lebih
rendah yaitu 54% untuk abu terbang dan 63,4% untuk abu dasar. Untuk abu terbang, nilai
perbandingan Al2O3/SiO2 adalah 0,57. Kandungan CaO relatif tinggi yaitu sekitar 4%.
Pada rekayasa komposisi yang dibuat dengan perbandingan komponen komposit mentah
seperti ditunjukkan pada Tabel 10, menghasilkan tipikal komposisi kimia seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 11. Nilai Al2O3/SiO2 tertinggi dicapai pada komposit mentah
kode “A” yaitu 1,69. Nilai ini dapat memenuhi refraktori cor komersial tipe CAJ- 16.
Komposit mentah kode “B” dan “D” dapat memenuhi refraktori cor komersial tipe CAJ-
14.
Dari data uji cetak refraktori cor menunjukkan bahwa semua benda uji memiliki setting
time kurang dari 24 jam, benda uji yang dibuat dari contoh refraktori komersial yaitu
CAJ-16 memiliki densitas paling tinggi (2,6 g/ml), tetapi memiliki porositas paling
rendah (23%). Hasil uji PCE terhadap CAJ-16 memberikan nilai paling tinggi yaitu SK-
34 yang setara dengan ketahanan suhu maksimum 1750°C.
Pda uji pembakaran refraktori cor, Benda uji bakar (firing ) selama 1 jam pada suhu
1000°C. Terlihat bahwa hasil uji bakar menunjukkan kekerasan benda uji menjadi lebih
tinggi.
2. Daftar Pustaka
Aziz1, Muchtar, Ngurah Ardha Dan Lili Tahli. 2006. Karakterisasi Abu Terbang PLTU Suralaya
Dan Evaluasinya Untuk Refraktori Cor. www.tekmira.esdm.go.id. Di akses pada tanggal
27 Februari 2009.
Aziz2, Muchtar, Ngurah Ardha. 2006. Percobaan Pendahuluan Pembuatan Refraktori Cor dari
Abu Terbang Suralaya. www.tekmira.esdm.go.id. Di akses pada tanggal 27 Februari
2009.
kami cuma melakukan studi literatur jd tidak secara langsung menguji kandungan dr fly
ash itu sendiri..
mungkin bisa memnghubungi penelitinya langsung yg ada di daftar Daftar Pustaka untuk
lebih jelasnya mengenai pengujian mineral fly ashnya
Poskan Komentar
RSS Subscription!
Follow me!
Powered by Dailymotion
My Facebook
Dafi 'Kalonk' Acosta
Chit Chat
RANGER OF ENVIRO © 2010 Design by Free New WP Themes | Bloggerized by Lasantha -
Premium Blogger Themes
Powered by Blogger