Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dunia kesejarahan hadir begitu luas dengan berbagai macam dinamika konflik
di dalamnya. Konflik tersebut hadir tidak hanya saat masa prasejarah, masa Hindu-
Buddha, masa Islam, dan masa kolonialisme saja. Bahkan, setelah dibacakannya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, konflik dalam
negeri masih terus terjadi. Dari berbagai macam konflik tentu terdapat berbagai
macam penyebab di balik terjadinya konflik tersebut. Salah satu penyebab konflik
yang terjadi di tanah air adalah surat. Hanya karena sebuah surat semuanya
mengalami perubahan yang signifikan. Surat tersebut adalah Surat Perintah Sebelas
Maret, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah SUPERSEMAR.
Surat perintah ini agaknya begitu sakti. Surat tersebut dikeluarkan pasca
pemberontakan yang sering disebut sebagai G30S-PKI, sebuah peristiwa legendaris
dan mendunia karena menewaskan para petinggi Angkatan Darat. Dalam buku
Misteri Supersemar, dikatakan bahwa peristiwa ini berawal dari anti-Soekarno (Elga,
2013: 21). Kemudian terjadilah peristiwa pembantaian besar-besaran yang
menewaskan Lettu Piere Tendean, Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen
S. Parman, Mayjen Haryono M.T., dan Brigjen D.I Panjaitan. Tidak hanya ketujuh
jenderal itu saja, tetapi peristiwa mengerikan itu juga turut menerbangkan nyawa
anak bangsa yang begitu banyak.
Setelah terjadi pembantaian besar sepanjang sejarah Indonesia, datanglah
Soeharto sebagai 'pahlawan' membawa solusi atas terjadinya masalah itu.
Sebenarnya Soekarno pun memiliki solusi atas peristiwa berdarah tersebut, namun
antara Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto memiliki perbedaan pendapat
mengenai cara bertindak untuk usaha krisis dan gerakan rakyat (Poesponegoro,
2010:550). Berbagai macam pendapat bermunculan. Bahkan ada pendapat yang
mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi dini hari tersebut adalah rencana Soeharto,
sehingga dia bisa dengan sigap menemukan jalan keluar. Kehebatan selembar kertas
itu juga ternyata mampu membuat Soekarno turun dari kursi kepresidenan. Lalu
kemudian puncak kepemimpinan beralih ke tangan Soeharto.
Peristiwa Supersemar ini agaknya masih menjadi kontroversi karena masih belum
diketahui di mana surat ini berada dan benarkah ini alat Soeharto menggulingkan
Soekarno? Makalah dengan judul “Supersemar Sebagai Tonggak Awal Berdirinya
Rezim Orde Baru Tahun 1966- 1968” akan membahas mengenai bagaimana kisahnya
sehingga SUPERSEMAR ini muncul hingga penyerahan kekuasaan oleh Soekarno
kepada Soeharto.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Latar Belakang Terjadinya Supersemar?
1.2.2 Bagaimana Kronologi dibuatnya Supersemar?
1.2.3 Bagaimana proses berlangsungnya pidato Nawaksara sampai Penyerahan
kekuasaan?
1.3 Tujuan
1.3.1 Menjelaskan bagaimana latar belakang terjadinya Supersemar
1.3.2 Menjelaskan bagaimana kronologi dibuatnya Supersemar
1.3.3 Menjelaskan bagaimana terjadinya pidato nawaksara sampai penyerahan
kekuasaan
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Terjadinya Supersemar


Sejarah Bangsa indonesia tidak terlepas dari kancah perpolitikan yang ada.
Serangkaian kejadian-kejadian politik yang tabu dan masih samar sangat menarik
untuk di telusuri. Salah satu kejadian tersebut adalah Surat Perintah Sebelas Maret
atau yang biasa disebut dengan ‘’SUPERSEMAR”. Sesuai dengan namanya, surat
perintah ini dikeluarkan pada tanggal 11 Maret 1966 oleh presiden Soekarno kepada
Letjen Soeharto sebagai tugas untuk mengamankan kondisi Indonesia pada waktu itu
yang kacau balau akibat serangkaian pemberontakan yang dilakukan oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Latar belakang adanya Supersemar ini tidak lepas dari ideologi yang diterapkan
oleh Soekarno yang pada waktu itu menjabat sebagai presiden Indonesia. Soekarno
menerapkan ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis). Penerapan
ideologi ini dimaksudkan Soekarno untuk menggalang persatuan diantara pejuang
kemerdekaan. Ia berharap bahwa golongan Nasionalis, Agamais, dan Komunis ini
bisa bahu-membahu untuk melawan kapitalisme dengan segala pinsipnya (Wardaya,
2006: 230). Melalui konsep ideologi ini Soekarno juga mengangkat orang-orang yang
terlibat dalam peristiwa G30S-PKI menjadi menteri dalam kabinet Dwikora. Dengan
adanya NASAKOM tersebut, PKI merasa mendapat perlindungan dibawah presiden
Soekarno. Terbukti dengan aksinya yang semena-mena dimulai dari pemberontakan
di Madiun sampai penculikan dan pembunuhan terhadap jenderal-jenderal tinggi
Angkatan Darat. Pada Oktober 1965 beberapa perwira ABRI atau yang sekarang
lebih dikenal dengan “Pahlawan Revolusi” telah diculik dan dibunuh dengan kejam di
Lubang Buaya. Jenderal-jenderal tersebut berjumlah 9 orang, yaitu Jenderal Ahmad
Yani, Letjen Suprapto, Letjen Harjono M.T, Letjen S. Parman, Mayjen D.I Panjaitan,
Mayjen Sutojo Siswomihardjo, Kapten Pieree Tandean, Arip II Karel Satsuit Tubun.
Ketika rakyat mengetahui bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh PKI, mereka
mulai marah dan kemudian pada Oktober 1965 juga mereka mendirikan Kesatuan
Aksi Pengganyangan Gestapu/PKI yang kemudian menjadi Front Pancasila. Front
Pancasila ini didukung oleh semua partai dan rakyat yang kemudian menuntut agar
para dalang pemberontakan PKI ditangkap dan diadili secara hukum. Akan tetapi
keinginan rakyat tersebut tidak terlalu ditanggapi oleh Soekarno. Presiden hanya
menjanjikan penyelesaian politik mengenai Gerakan 30 September dan penyelesaian
tersebut belum juga terwujud. Soekarno seakan-akan menyetujui atas tindakan PKI.
Hal ini terlihat ketika presiden Soekarno menyetujui pengangkatan caretaker
(penjaga) MenPangad Pranoto Reksosamodra yang pro-komunis. Selain itu yang
paling mencolok adalah presiden tetap melindungi tokoh-tokoh PKI dan membiarkan
mereka mengadakan perjalanan-perjalanan ke Sumatera Utara, Jawa Tengah dan
lainnya dalam rangka mengkonsolidasi kekuatan PKI yang telah hancur karena
ABRI.
Bersamaan dengan itu juga terjadi kekacauan di bidang ekonomi dan keuangan
yang membuat rakyat semakin sengsara. Laju inflasi meningkat sampai 650 % yang
memberi efek meningkatnya harga-harga kebutuhan pokok. Pada saat itu gaji
pegawai negeri hanya cukup untuk membeli 5-10 kg beras. Pihak luar mulai tidak
begitu mempercayai Indonesia dan beberapa kapal Indonesia disita di pelabuhan-
pelabuhan luar negeri sebagai jaminan hutang. Kemudian juga dikeluarkan rupiah
baru dengan perbandingan Rp. 1,- (uang baru) dengan Rp. 1.000,- (uang lama)
(Poesponegoro, 200delapan: 543).
Mengetahui kacaunya kondisi Indonesia pada waktu itu, para mahasiswa
kemudian membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang bermarkas
di Universitas Indonesia. Universitas Indonesia pada saat itu dijadikan sebagai pusat
kekuatan gerakan mahasiswa. Para mahasiswa ini tidak tahan melihat politik,
ekonomi,dan moral yang semakin bobrok. Mereka juga tidak bisa menerima begitu
saja penilaian Soekarno mengenai pengorbanan 9 Pahlawan Revolusi akibat ulah PKI
yang hanya dianggap sebagai suatu peristiwa kecil dan biasa; ibarat riak kecil saja di
tengah samudra nan luas (een rimpeltje in de ocean). Lain halnya dengan Soeharto
yang berpikir bahwa gerakan PKI dapat merongrong persatuan negara. Soeharto
melihat bahwa kekuatan PKI merupakan bahaya yang besar bagi kelangsungan
bangsa Indonesia sebagai negara Pancasila (Nuryanti, Reni. 2012: 4).
Hal-hal tersebut akhirnya memancing spontanitas Front Pembela Pancasila
dari kalangan mahasiswa yakni KAMI, KAPI dan lain-lain. Puncak kemarahan rakyat
terjadi saat rakyat mengeluarkan tiga tuntutan kepada presiden Soekarno atau yang
biasa disebut dengan TRITURA (Majalah Darma Kostrad, 1977: 45). Adapun isi
Tritura tersebut adalah:

1. Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya


2. Perombakan kabinet Dwikora
3. Turunkan harga sembako

Pada saat itu untuk pertama kalinya mahasiswa Indonesia melakukan aksi.
Mereka kemudian turun ke jalan-jalan, menempelkan plakat-plakat dan juga
menyebar pamphlet-pamflet. Aksi mahasiswa Indonesia ini mendapat simpati dan
dukungan secara luas dari masyarakat Indonesia, terutama para mahasiswa di kota-
kota besar Indonesia. Mahasiswa Bandung kemudian mengajukan petisi Ampera
(Amanat Penderitaan Rakyat) yang ditujukan langsung kepada Presiden Soekarno.
Begitu juga dengan para mahasiswa Yogyakarta dan lainnya yang kemudian serentak
mengadakan aksi-aksi revolusioner. Soekarno menganggap bahwa aksi-aksi yang
dilakukan mahasiswa tersebut disponsori oleh Amerika dan CIA (Central Intelligence
Agency) – badan agen rahasia milik Amerika Serikat- yang ingin menyingkirkan
Soekarno yang pada waktu itu sudah semakin condong ke arah ideologi komunis
(Nuryanti, Reni. 2012: 22).
Setelah aksi mahasiswa semakin brutal, Soekarno tidak tinggal diam. Pasukan
pengawal presiden Tjakrawibawa dikirim untuk menangkap pimpinan KAMI. Selain
pasukan Tjakrawibawa, juga kelompok pemuda pro-komunis GMNI-ASU (Ai
Surachman), Baja, dan pemuda Marhaen mencoba memprovokasi mahasiswa KAMI,
setelah mengalami beberapa tawuran (Wanandi, Jusuf. 2014: 63-65).
Mengahadapi tekanan-tekanan tersebut, para mahasiswa tetap melakukan aksi-
aksinya. Pada 3 Februari 1966, para mahasiswa ini mengadakan ikrar perjuangan
Ampera dan bersumpah melanjutkan perjuangan para Pahlawan Revolusi.Secara tiba-
tiba beredar berita tentang dibentuknya Kabinet Dwikora yang Disempurnakan.
Ternyata Presiden Soekarno tidak merombak Kabinet Dwikora (yang dianggap
berbau komunis) seperti yang dituntut oleh mahasiswa dalam Tritura. Akan tetapi
Presiden Soekarno melengkapi kabinet barunya dengan menteri-menteri baru yang
pro-komunis. Jumlah menteri ini sangat banyak sehingga kabinet baru ini sering
disebut sebagai Kabinet 100 Menteri atau Kabinet Gestapu. Menteri-menteri lama
seperti A.H Nasution yang justru gigih menentang G30S/PKI disingkirkan dari
kabinet. Kabinet ini akan dilantik pada 24 Februari 1966. Para mahasiswa kemudian
melakukan demonstrasi pada tanggal tersebut untuk memboikot menteri-menteri
kabinet baru. Aksi ini berdampak pada bentrokan yang tidak dapat dihindarkan di
depan Istana. Dalam bentrokan ini gugur seorang demonstran Arief Rachman Hakim,
mahasiswa UI karena tertembak oleh Pasukan Tjakrabirawa (Aman, 2015: 88).
Aksi-aksi demonstran ini menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada
26 Februari 1966, Komando Ganyang Malaysia (KOGAM) yang dipimpin oleh
Soekarno membubarkan KAMI dengan alasan bahwa KAMI dengan aksi-aksi
Trituranya telah merugikan aksi Ganyang Malaysia. Tindakan ini kemudian
dilanjutkan dengan ditutupnya Universitas Indonesia yang merupakan pusat kegiatan-
kegiatan para mahasiswa pada 3 Maret 1966 oleh Waperdam Dr. Leimena. Pada
tanggal 4 Maret 1966, para mahasiswa membentuk Resimen Arif Rahman Hakim
untuk melanjutkan cita-cita KAMI yang memperjuangkan Tritura. Setelah
Universitas Indonesia ditutup, para pelajar yang tergabung dalam KAPI dan KAPPI
terjun ke jalanan untuk melanjutkan perjuangan kakak-kakaknya. Mereka membentuk
rayon-rayon yang diberi nama pahlawan revolusi, seperti Yon Haryono MT, Yon
Panjahitan, Yon S. Parman, dll (Majalah Darma Putra-Kostrad, 1977:10).
Menanggapi peningkatan perjuangan para pelajar dan mahasiswa, Wakil
Perdana Menteri Dr. Subandrio kemudian mengerahkan para pemuda dan mahasiswa
dari Front Marhenis/PNI Ali Surachman. Dalam peristiwa ini terjadi bentrokan fisik.
Bentrokan-bentrokan ini tidak hanya terjadi di Jakarta, akan tetapi juga di kota
Bandung dan Yogyakarta. Di kota Yogya telah jatuh dua korban 2 orang anggota
kesatuan pelajar, yaitu Aris Munandar dan Margono. Pada 7 Maret 1966 diadakan
rapat KOGAM yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Dalam rapat itu Soekarno
menyatakan ketidakpuasannya kepada pelaksana pembubaran KAMI. Menurut para
mahasiswa, KOGAM (Komando Ganyang Malaysia) pimpinan Bung Karno ini
diartikan sebagai Komando Ganyang Mahasiswa. Sejak saat itu banyak poster-poster
terlihat di sudut kota yang isinya tidak hanya tuntutan untuk mengadili PKI, akan
tetapi juga agar Bung Karno mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Salah satu
sasaran penting bagi para mahasiswa adalah Dr. Subandrio yang dianggap sebagai
otak dari pemerintahan Orde Lama.
Kemarahan para pemuda, pelajar, dan mahasiswa ini dinyatakan dengan
penyerbuan gedung Departemen Luar Negeri yang merupakan tempat Dr. Subandrio
berkantor sehari-hari. Bersamaan Kantor berita RRT Hsin Hua juga dibakar
(Poesponegoro, 2010: 547). Gedung pemuda dan juga Kantor CC PKI. Dalam
keadaan yang kacau tersebut, Menteri Penerangan Achmadi telah memerintahkan
RRI Pusat untuk mem-black out berita-berita mengenai aksi-aksi mahasiswa dan
pelajar. Para mahasiswa ini tidak putus asa dan kemudian mereka secara serentak
mendirikan radio-radio perjuangan. Pada saat itu, gedung DPR juga dipenuhi oleh
para mahasiswa, pelajar, dan pekerja yang datang untuk menyampaikan tuntutannya.

2.2 Peristiwa Supersemar 11 Maret 1966

Krisis politik semakin memuncak pada tanggal 10 Maret 1966 dimana


Presiden Soekarno memanggil wakil-wakil partai NU, Muhammadiyah, Partindo,
PSII, Partai Katholik, Parkindo, PNI dan IPKI. Sedangkan Presiden Soekarno pada
waktu itu didampingi oleh Dr. Subandrio, Chaerul Saleh, Dr. J. Leimana, Dr.
Sumarno, Mayjen Achmadi dan Duta Besar RI untuk Kuba A.M. Hanafi. Dalam rapat
tersebut Presiden Sukarno beserta para pembantunya dan anggota PNI menekankan
agar partai politik dan organisasi massa mengutuk para demonstran Tritura, karena
hal tersebut sebagai aksi yang kontra revolusi. Penekanan ini tidak disetujui oleh
Front Pancasila karena mereka merasa bahwa aksi demonstran Tritura ini demi
kebaikan bangsa Indonesia sendiri yakni menjauhkan bangsa Indonesia dari
rongrongan ideologi komunis dengan memaksa untuk membubarkan PKI. Hasil
pertemuan ini pada akhirnya tidak memuaskan kedua pihak, terutama Front
Pancasila. Karena permintaan pembubaran PKI tidak berhasil (Poesponegoro, 2010:
548).
Akhirnya pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden mengadakan sidang
paripurna. Sidang ini diadakan dengan tujuan untuk mengentaskan berbagai kemelut
yang terjadi di Indonesia. Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai
panglima pasukan pengawal presiden (Tjakrabirawa) melaporkan kepada Soekarno
bahwa banyak "pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui
adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas
menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G30S. Jenderal
Kemal Idris ini termasuk kelompok yang menghendaki segera digunakannya
kekuatan militer untuk mengambil alih pemerintahan (Jenkins, David, 2010: 46).
Mengetahui adanya pasukan liar yang berada di luar, suasana Istana Negara
semakin memanas. Akhirnya sidang kabinet berhenti di tengah jalan. Presiden
Soekarno dan Wakil Perdana Menteri I, Subandrio dan Wail Perdana Menteri III,
Chaerul Saleh berangkat ke Bogor dengan helikoter yang sudah disiapkan. Sementara
sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr. J. Leimana yang
kemudian juga menyususl ke Istana Bogor (Nuryanti, Reni, 2012: 32).
Situasi yang tidak stabil ini akhirnya dilaporkan kepada Mayor Jenderal
Soeharto, kemudian Suharto mengambil tindakan dengan mengirimkan 3 orang
perwira tinggi Angkatan Darat (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di
Istana Bogor (Adam, 2009: 117). Ketiga Perwira Tinggi itu adalah Menteri Veteran
Mayjen Basuki Rahmat, Menteri Perindustrian Mayjen M. Yusuf, dan Pangdam
V/Jaya Brigjen Amir Mahmud. Pada saat sidang kabinet berlangsung Soeharto tidak
menghadirinya karena sakit.
Ketiga perwira tinggi tersebut diterima Soekarno di Istana Bogor. Setelah
menyampaikan pesan dari Soeharto. Soekarno didampingi Dr. Subandrio, Chaerul
Saleh, dan Brigjen Sabur melakukan diskusi dan akhirnya Soekarno setuju
menandatangani surat yang ditujukan kepada Menteri/Panglima AD Letnan Jenderal
Soeharto.Surat itu dikenal dengan nama Surat Perintah Sebelas Maret
(SUPERSEMAR) karena dibuat dan ditandangai secara resmi oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 11 Maret. Isi dari SUPERSEMAR yang beredar di masyarakat yaitu
perintah dari Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang
dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan
jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan
Predisen/Panglima Tertinggi/Pimpinan Besar Revolusi/Mandataris MPRS demi untuk
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala
ajaran Pemimpin Besar Revolusi; mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah
dengan Panglima-Panglima Angkatan-Angkatan lain dengan sebaik-baiknya; serta
melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya
seperti tersebut di atas. Keluarnya Supersemar ini telah mengakibatkan adanya
dualisme kepemimpinan dan menandai mulai tampilnya Orde Soeharto atau Orde
Baru. (Aman, 2015: 89)

2.3 Pidato Nawaksara sampai Penyerahan Kekuasaan

Cerita panjang dari kejadian Supersemar belum berakhir dimana kejatuhan


Soekarno sebagai Presiden Indonesia ditentukan di podium Nawaksara. Nawaksara
ini merupakan pidato presiden yang artinya Sembilan Pokok Masalah. Pidato ini
dibacakan oleh Soekarno pada tanggal 22 Juni 1966. Nawaksara merupakan pidato
yang diminta oleh MPR dalam sidang Umum MPRS tahun 1996 sebagai bentuk
pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS mengenai kebijakan yang
telah dilakukan, khususnya mengenai masalah pemberontakan G30S, tetapi dalam
pidato tersebut MPRS menilai bahwa presiden beserta jajarannya tidak dapat
memberi pertanggungjawaban secara politis terhadap kehidupan bangsa Indonesia
pada saat itu. Pidato tersebut dinilai hanya sebagai progress report, bukan
pertanggungjawaban presiden mengenai kondisi pasca G30S (Nuryanti, Reni 2012:
43). Padahal masalah G30S merupakan masalah nasional yang menyangkut kebijakan
presiden tidak disinggung dalam Nawaksara, pemimpin MPRS meminta
kelengkapan laporan pertanggungjawabannya agar presiden segera melengkapi isi
pidato tersebut mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa G30S beserta epilognya
dan kemunduran ekonomi serta akhlak.
Setelah dibacakannya Nawaksara, banyak yang menuntut agar Soekarno segera
melengkapi Nawaksara yang dianggap tidak mewakili aspirasi masyarakat Indonesia.
Dikarenakan kondisi yang semakin tidak terkendali, akhirnya pada tanggal 22
Oktober 1996 pemimpin MPR mengirim nota kepada Presiden Soekarno dan pada
tanggal 10 Januari 1967 permintaan MPR tersebut dipenuhi oleh presiden dan
kemudian presiden menyampaikan naskah sebagai bentuk untuk melengkapi pidato
pertanggungjawabannya (Nawaksara), naskah itu disebut pelengkap Nawaksara yang
kemudian disingkat Pel.Nawaksara. Meski presiden telah melengkapi kekurangan
Nawaksara yang diminta oleh MPRS, tetapi MPRS tetap menolaknya. isi pada pokok
Pel. Nawaksara tidak meredakan keadaan, tetapi situasi konflik justru semakin
menajam. Pel Nawaksara mendapat tanggapan dari seluruh rakyat. Pel Nawaksara
juga dianggap memperkeruh keadaan di Indonesia. Dewan Pimpinan Daerah PNI
Sulawesi Selatan menyatakan bahwa Pel Nawaksara sebagai pertanggung jawaban
presiden atau mandaratis tidak dapat memberikan penyelesaian terhadap situasi
konflik yang berlangsung. selain itu DPRD juga menyatakan penolakannya pada Pel
Nawaksara karena dianggap tidak memenuhi Tritura.
Banyak pihak yang menganggap Pel Nawaksara bahkan cenderung menjadi
kekacauan nasional, pihak GMNI Bandung menganggap bahwa Pel Nawaksara tidak
memenuhi kehendak yang tertuang dalam ketetapan MPRS No. V/MPRS/1966.
Koordinat Pemuda Sekretariat bersama Golongan Karya juga ikut melakukan
penolakan terhadap Pel Nawaksara dan bersepakat mengusulkan agar MPRS
mengadakan sidang istimewa. selian itu dari pihak para alim ulama Jawa Barat
menyatakan tidak lagi mengakui Presiden Soekarno sebagai presiden karena telah
melakukan pelanggaran terhadap Syariat Islam dan Undang-undang Dasar 1945 serta
ketetapan MPRS ( Poesponegoro, 2010: 559).
Apabila ditinjau dalam aspek politik sebab penolakan yang dilakukan oleh MPR
sebenarnya mengarah pada peristiwa G30S, dimana presiden tidak menyinggung
peristiwa besar tersebut dalam pidatonya, karena Soekarno menganggap pidatonya
sebagai Progress Report, yaitu penyampaian laporan perkembangan atau kemajuan
pemerintahan, serta dalam pidato panjangnya Soekarno tidak terlalu banyak
membahas menyinggung peristiwa G30S/PKI. Dikarena Pel Nawaksara menambah
gawat dalam situasi konflik dan memperkeruh permasalahan negara, maka pada
tanggal 9 Februari 1967 DPR GR mengajukan resolusi dan nota kepada MPRS agar
dapat diadakan sidang istimewa. Usaha penyelesian dalam permasalah ini terus
dilakukan karena banyaknya reaksi-reaksi rakyat. Pihak pimpinan ABRI melakukan
pendekatan terhadap dengan presiden secara pribadi, keikutsertaan ABRI dalam
penyelesaian konflik ini ialah agar sebelum dilakukannya sidang Umum MPRS
presiden dapat menyerahkan kekuasaannya kepada pengemban TAP IX/MPRS/1966
yakni Jenderal Soeharto. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya
perpecahan dikalangan rakyat, menyelamatkan lembaga kepresidenan maupun nama
pribadi dari Presiden Soekarno agar tidak dibahas secara berlarut-larut.
Dengan adanya penolakan Nawaksara berarti bahwa gagalnya Soekarno dalam
mempertahankan diri sebagai Presiden RI sekaligus Pemimpin Besar Revolusi,
sehingga pada tanggal 7 Februari 1967 Soekarno mengirim surat kepada Jenderal
Soeharto dengan perantaraan Hardi, S.H. Pada surat tersebut dilampiri sebuah konsep
(draf) surat penegasan mengenai pimpinan pemerintah sehari-hari kepada pemegang
Surat Perintah 11 Maret 1966. Kemudian Jenderal Soeharto ditemani oleh keempat
panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) membahas lagi mengenai
konsep tersebut pada tanggal 8 Februari 1967, hal ini dilakukan karena konsep surat
tersebut dianggap masih tidak dapat diterima karena penugasan yang demikian tidak
akan membantu dalam menyelesaikan konflik yang tengah terjadi. Kemudian
berlanjut pada tanggal 10 Februari 1967 terjadi pertemuan Jenderal Soeharto dengan
Soekarno, Jenderal Soeharto mendatangi Soekarno dengan maksud untuk
membicarakan mengenai surat penugasan khusus yang telah diterimanya, selain itu
juga membicarakan mengenai pendirian panglima angkatan dan presiden
menanyakan mengenai penyelesaian masalah yang sedang terjadi.
Pada tanggal 11 Februari terjadi pertemuan antara presiden dengan Panglima
Angkatan yang berlangsung di Bogor dalam pertemuan tersebut Jenderal Soeharto
mengajukan konsep yang mungkin digunakan untuk mempermudah penyelesaian
permasalahan yang sedang terjadi. Soekarno pun tak serta merta menyetujui konsep
tersebut melainkan meminta waktu pada Soeharto untuk mempelajarinya terlebih
dahulu. Pada tanggal 12 Februari 1967 diadakan pertemuan kembali oleh Jenderal
Soeharto didampingi para Panglima Angkatan dengan presiden Soekarno dalam
pertemuan tersebut presiden menolak konsep yang telah diajukan oleh Soeharto.
konsep yang diajukan oleh Soeharto berisi tentang: Pernyataan Presiden berhalangan
atau Presiden menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pemegang Surat
Perintah 11 Maret 1966 berdasarkan ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966.
(Poesponegoro, 2010: 559).
Presiden mengusulkan agar diadakan berubahan bentuk selain itu presiden juga
tidak menyetujui pernyataan yang isinya “berhalangan”. Presiden juga meminta
diadakannya pertemuan kembali pada esok hari. Tanggal 13 Februari 1967 dilakukan
pembicaraan mengenai konsep yang telah disusun sebelum diajukan kepada presiden
yang dilakukan oleh para panglima, dengan mengutus Jenderal Panggabean dan
Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo untuk bertemu dengan Presiden Soekarno
tetapi dalam pertemuan tersebut masih belum menemukan kesepakatan karena
presiden masih menuntut perubahan-perubahan yang tidak mungkin dapat dipenuhi.
pada tanggal 19 Februari 1967 presiden memerintahkan Jenderal Soeharto bersama
para Angkatan berkumpul di Bogor, karena sebelumnya presiden sudah menyetujui
konsep yang telah diajukan oleh Soeharto tetapi dengan syarat meminta jaminan dari
Jenderal Soeharto. Pada pertemuan tanggal 19 Februari 1967 tersebut pada mulanya
presiden masih enggan untuk menandatangani konsep yang diajukan jenderal
Soeharto tetapi akhirnya presiden menyetujui setelah Panglima Mulyadi datang
membawa konsep dengan perubahan-perubahan kecil yakni pada pasal 3 ditambah
dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi. Pada tanggal 20 Februari
konsep itu ditandatangani oleh Presiden Soekarno disaksikan oleh Pangkal Mulyadi
dan Pangak Soetjipto kemudian pada tanggal 23 Februari dilakukannya penyerahan
kekuasaan tepatnya pada hari Kamis di Istana Negara dengan disaksikan oleh ketua
Presidium Kabinet Ampera dan para menteri, secara resmi presiden menyerahkan
kekuasaan pemerintah kepada Soeharto selaku pengemban Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Latar belakang adanya SUPERSEMAR ini tidak lepas dari ideologi yang
diterapkan oleh Soekarno yang pada waktu itu menjabat sebagai presiden Indonesia.
Sukarno menerapkan ideologi NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis).
Melalui konsep ideologi ini Soekarno juga mengangkat orang-orang yang terlibat
dalam peristiwa G30S/PKI menjadi menteri dalam kabinet Dwikora. Pengangkatan
para petinggi yang terlibat dengan kejadian G30S/PKI ini membuat kontroversi.
Kontroversi inilah yang akhirnya membawa Soekarno terhadap polemik pada situasi
yang terjadi. Kekalutan politik di Indonesia pada waktu itu dimanfaatkan Soeharto
selaku panglima Angkatan Darat untuk meminta surat tugas kepada Soekarno untuk
mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Namun
adanya surat ini juga membuat Soeharto mempunyai alasan untuk mengambil alih
kekuasaan untuk menggantikan Soekarno menjadi presiden.

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini sekiranya masih banyak kekurangan.
Diharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk membangun pembuatan makalah
yang lebih baik selanjutnya.
DAFTAR RUJUKAN

Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: kontroversi Pelaku


dan peristiwa. PT Kompas Media Nusantara: Jakarta
Aman. 2015. Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan 1945-1998. Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Elga, Yusrianto. 2013. MISTERI SUPERSEMAR. PALAPA: Yogyakarta
Jenkins, David. 2010. Suharto dan Barisan Jenderal Orba. Komunitas Bambu:
Jakarta
Majalah Darma Putra Kostrad. 1977. SUPERSEMAR. Alda: Kostrad
Nuryanti, Reni. 2012. Tragedi Sukarno Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Ombak:
Yogyakarta
Wanandi, Jusuf. 2014. Menyibak Tabir orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-
1998. PT Kompas Media Nusantara: Jakarta
Wardaya, Baskara T. 2006. Bung KARNO MENGGUGAT! Dari Marhaen, CIA,
Pembantaian Masal ’65 sampai G 30 S. Galangpress : Yogyakarta
Poesonegoro, 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Balai Pustaka: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai