Anda di halaman 1dari 4

MODEL PENGATURAN PEMBATASAN ISU SUKU, RAS, AGAMA, DAN

ANTARGOLONGAN (SARA) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU


DEMOKRATIS, TOLERANSI, DAN BERINTEGRITAS DEMI
TERCAPAINYA PERSATUAN BANGSA

I Putu Alit Arsana1

Indonesia adalah sebuah negara yang menganut sistem pemerintahan


demokrasi. Ukuran demokratis atau tidaknya suatu negara dapat diukur dengan
pemilihan umum (Pemilu). Demokrasi bukanlah sebuah hiasan bibir dan bahan
retorika belaka, bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan tentang kehidupan
bernegara yang ideal melainkan persoalan budaya saling menghargai perbedaan antar
sesama menuju sebuah tujuan bersama. Namun, persatuan dan kesatuan masyarakat
yang telah tertanam menjadi goyah saat mendekati pemilu.

Berdasarkan data dari Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) terhadap Indeks


Kerawanan Pemilu (IKP) 2019, penggunaan politisasi SARA dengan mendasarkan
pada subdimensi relasi kuasa di tingkat lokal, kampanye dan partisipasi pemilih
terdapat 90 (17.5%) Kabupaten/Kota yang Rawan Tinggi dan 424 (82.5%) yang
Rawan Sedang. Data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengenai
potensi yang bisa menghambat penyelenggaraan pemilu yang tertinggi adalah
politisasi SARA dengan persentase sebesar 23.6%. Hal ini menunjukkan bahwa isu
SARA menjadi tantangan terbesar penyelenggaraan Pemilu yang demokratis.
Penggunaan isu SARA harus dibatasi karena dapat menghalangi proses pemilu
demokratis, toleransi, dan berintegritas sehingga mengancam persatuan dan keutuhan
negara.

Lunaknya pengaturan pembatasan isu SARA pada pasal 94 UU No. 7 Tahun


2018 tentang Pemilu menjadi alasan mencuatnya isu SARA. Upaya preventif yang
ditugaskan kepada Bawaslu kurang berdampak signifikan dikarenakan aturan yang
kurang tegas dan belum efektif dalam implementasi, dikarenakan penindakanya

1
I Putu Alit Arsana, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Mataram
menggunakan delik aduan yang berarti hanya bisa diproses apabila ada laporan
terlebih dahulu.

Berangkat dari permasalahan diatas, maka perlu adanya sebuah konsep


pengaturan terhadap penggunaan isu SARA dalam Pemilu. Konsep yang penulis
maksud yakni konsep pengaturan yang bersifat preventif dan represif. Penjelasan
lebih lanjut sebagai berikut:

1. Konsep pengaturan preventif terhadap penggunaan isu SARA dalam


penyelenggaraan pemilu.
Dalam rangka mengatasi isu SARA dalam pemilihan umum,
diperlukan konsep pengaturan yang menekankan pada upaya pencegahan baik
bersifat umum maupun khusus. Komisi pemilihan umum (KPU) selaku
penyelenggara, harus menerapkan upaya preventif dalam membatasi
penggunaan isu SARA. yaitu, perlu dorongan terhadap legislatif dan eksekutif
untuk membuat peraturan perundang-undangan yang menempatkan KPU
sebagai penyelenggara pemilihan umum untuk melakukan upaya-upaya
pencegahan.
Dalam membatasi gejolak isu sara dalam pemilu maka perlu
penambahan tugas dan wewenang KPU didalam undang undang no 7 tahun
2017 tentang pemilihan umum berupa penugasan terhadapan KPU untuk
melakukan pembinaan dan pelatihan kepada tim sukses parpol pengusung,
caleg, dan tim kampanye, yang diharapkan menciptakan kesadaran dalam
mewujudkan pemilu berintegritas. dalam pelatihan tersebut akan ada berbagai
agenda yang akan diikuti oleh para peserta pemilu beserta jajarannya. seperti
pemahaman kebinekaan, permasalahan disintegrasi, dan pentingnya politik
tanpa isu SARA. Kemudian dilakukan perundingan terkait masalah tersebut
yang mana para peserta dituntut kooperatif dan saling mengedepankan
kepentingan bersama tanpa mempermasalahkan perbedaan demi terciptanya
rasa saling toleransi ditengah perbedaan yang ada. lalu ditutup dengan
deklarasi penyelenggaraan pemilu yang demokratis, toleransi, dan
berintegritas

2. Konsep pengaturan represif terhadap penggunaan isu SARA dalam


penyelenggaraan pemilu.
Terkait dengan konsep pengaturan penggunaan isu SARA,
sesungguhnya telah diatur dalam UU Pemilu, KUHP, UU Diskriminiasi dan
UU ITE. Tetapi semuanya memiliki masalah yang sama yaitu penindakan
hukum yang represif dan berdasarkan delik aduan sehingga implementasi nya
kurang efektif, maka perlu dimuat delik biasa didalam UU Pemilu agar
penindakan terhadap pengguna isu sara dalam pemilu dapat berjalan lebih
optimal. Kelemahan lain terkait penggunaan isu SARA dalam pemilu adalah
aturan kode etik pemilu yaitu pada pasal 456 UU pemilu yang menyatakan
bahwa kode etik hanya berlaku bagi penyelenggara pemilu. Padahal, proses
pemilu dilaksanakan oleh banyak komponen seperti peserta, tim kampanye,
dan tim sukses. sehingga dibutuhkan suatu perubahan yang memberikan
perlakuan yang merata bagi seluruh komponen yang terlibat dalam pemilu
terkait kode etik pemilu.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat penulis simpulkan bahwa penggunaan


isu SARA dalam pemilu masih sering dilakukan. Karena hal ini sangat mengancam
persatuan dan kesatuan, mengingat masyarakat Indonesia yang amat beragam (plural)
yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Disisi yang lain, Undang-Undang yang
ada untuk menangani permasalahn tersebut justru masih memiliki banyak kekurangan
dan lemah dalam implementasi yang berujung pada tidak efektifnya pembatasan isu
SARA dalam pemilu. Sehingga dibutuhkan sebuah perubahan pada UU No. 07 Tahun
2017 Tentang Pemilu dengan memuat konsep pengaturan preventif dan represif
dalam pencegahan penggunaan isu SARA dalam penyelenggaraan Pemilu. Dengan
demikian terwujudnya Pemilu yang demokratis, toleransi, dan berintegrasi di
Indonesia adalah hal yang mudah untuk diraih.

Anda mungkin juga menyukai