Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN

MENARIK DIRI DAN PERILAKU KEKERASAN

Oleh:

Kadek Andal Martadi Prianugraha (18089014003)


Kadek Ariesta Mahayasa (18089014005)
Gusti Kadek Dedi Praja Kusuma (18089014012)
Putu Deva Yani (18089014016)
Kadek Haris Prayudi (18089014027)

Semester V A

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG


S1 ILMU KEPERAWATAN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA
sehingga makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Menarik Diri Dan Perilaku Kekerasan” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak
lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Singaraja, 4 November 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 3
2.1 Menarik Diri ............................................................................................. 3
2.2 Asuhan Keperawatan Menarik Diri .......................................................... 8
2.3 Perilaku Kekerasan ................................................................................. 12
2.4 Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan.............................................. 18
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 23
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 23
3.2 Saran ....................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku
seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang
penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan
gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi
juga dengan masyarakat.
Penyebab gangguan jiwa biasanya bukan karena faktor tunggal tetapi
bisa dari badan (somatogenik), lingkungan sosial (sosiogenik), dari psike
(psikogenik), maupun kultural. Gejala gangguan jiwa meliputi gangguan
penampilan dan perilaku, gangguan bicara dan bahasa, gangguan proses
berpikir, sensorium dan fungsi kognitif, gangguan emosi/perasaan, gangguan
persepsi, gangguan psikomotor, gangguan kemauan, gangguan kepribadian,
dan gangguan pola hidup.
Masalah keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa di
Indonesia berdasarkan penelitian tahun 2000 dan 2005 beberapa diantaranya
adalah isolasi social: menarik diri dan perilaku kekerasan. Menarik diri
merupakan salah satu respon maladaptive yang terjadi pada individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan budaya, sedangkan perilaku kekerasan adalah kondisi dimana hilangnya
control perilaku yang bisa diarahkan kepada diri sendiri maupun orang lain
yang beresiko melukai dirinya maupun orang lain dimana perilaku kekerasan
ini juga merupakan respon maladaptive ketika marah.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan menarik diri?
2. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan menarik diri?
3. Apakah yang dimaksud dengan perilaku kekerasan?
4. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan yang diperoleh dalam dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk Mengetahui penjelasan mengenai menarik diri.
2. Untuk Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan menarik diri.
3. Untuk Mengetahui penjelasan mengnai perilaku kekerasan.
4. Untuk Mengetahui keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan.

1.4 Manfaat Penulisan


Pembuatan makalah ini diharapkan memiliki manfaat kepada para
pembaca dalam pembelajaran mata kuliah Keperawatan Kesehatan Jiwa,
khususnya dalam materi Asuhan Keperawatan Menarik Diri dan Perilaku
Kekerasan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Menarik Diri


2.1.1 Definisi Menarik Diri
Menurut Rawlins (1993) dalam (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan
hubungan dengan orang lain. Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu
mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti
dengan orang lain
Menurut Townsend, M.C, 1998 dalam (Oktaviani.J, 2018a) Menarik
diri merupakan suatu keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Isolasi sosial
merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain
dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam dirinya.
Menurut DEPKES RI (2000) dalam (Maha, 2005) Perilaku isolasi
sosial menarik diri merupakan suatu gangguan hubungan interpersonal yang
terjadi akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel yang menimbulkan
perilaku maladaptive dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan
sosial.

2.1.2 Rentang Respons Sosial


ADAPTIF MALADAPTIF

• Menyendiri (solitude) • Merasa sendiri • Manipulasi


• Otonomi (loneliness) • Impulsif
• Bekerja sama • Menarik diri • Narsisme
(mutualisme) (withdrawal)
• Saling bergantung • Tergantung (dependent)
(interdependence)

3
Keterangan dari rentang respon sosial:
1) Menyendiri (solitude)
Solitut atau menyendiri merupakan respon yang dibutuhkan seorang
untuk merenung apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan
suatu cara untuk menentukan langkahnya
2) Otonomi
Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, perasaan dalam hubungan social.
3) Bekerja sama (mutualisme)
Perilaku saling ketergantungan dalam membina hubungan interpersonal
4) Saling bergantung (interdependence)
Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal dimana hubungan tersebut
mampu untuk saling memberi dan menerima.
5) Merasa sendiri (loneliness)
Kondisi dimana seseorang merasa sendiri, sepi, tidak danya perhatian
dengan orang lain atau lingkungannya.
6) Menarik diri (withdrawal)
Kondisi dimana seseorang tidak dapat mempertahankan hubungan
dengan orang lain atau lingkungannya.
7) Ketergantungan (Dependent)
Suatu keadaan individu yang tidak menyendiri, tergantung pada orang
lain.
8) Manipulasi
Individu berinteraksi dengan pada diri sendiri atau pada tujuan bukan
berorientasi pada orang lain. Tidak dapat dekat dengan orang lain.
9) Impulsif
Keadaan dimana individu tidak mampu merencanakan sesuatu.
Mempunyai penilaian yang buruk dan tidak dapat diandalkan.
10) Narsisme
Secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian.
Individu akan marah jika orang lain tidak mendukungnya.

4
2.1.3 Etiologi / Penyebab
Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah yaitu perasaan
negative terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal
mencapai keinginan yang ditandai dengan adanya perasaan malu terhadap
diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri, gangguan hubungan sosial,
merendahkan martabat, percaya diri kurang dan juga dapat mencederai diri,
(Carpenito,L.J, 1998). Adapun faktor predisposisi dan presipitasi menarik
diri yaitu:
1) Faktor Predisposisi
Ada berbagai factor risiko yang menjadi pendukung terjadinya
perilaku menarik diri
a. Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari
masa bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus
seseoarang sehingga mempunyai masalah respon sosial
menarik diri. Sistem keluarga yang terganggu juga dapat
mempengaruhi terjadinya menarik diri. Organisasi anggota
keluarga bekerja sama dengan tenaga profesional untuk
mengembangkan gambaran yang lebih tepat tentang hubungan
antara kelainan jiwa dan stress keluarga. Pendekatan
kolaboratif sewajarnya dapat mengurangi masalah respon
sosial menarik diri.
b. Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptive. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung
gangguan jiwa. Kelainan struktur otak, seperti atropi,
pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta
perubahan limbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia
c. Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan
berhubungan. Ini merupakan akibat dari norma yang tidak

5
mendukung pendekatan terhadap orang lain, atau tidak
menghargai anggota masyarakat yang tidak produktif, seperti
lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik. Isolasi dapat terjadi
karena mengadopsi norma, perilaku, dan system nilai yang
berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang
tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor lain yang
berkaitan dengan gangguan ini (Stuart and Sundeen, 1998)
dalam (Oktaviani.J, 2018a).
2) Faktor Presipitasi
Ada beberapa faktor persipitasi yang dapat menyebabkan
seseorang menarik diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari
berbagai stressor antara lain :
a. Stressor Sosiokultural
Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain,
misalnya menurunnya stabilitas unit keluarga, berpisah dari
orang yang berarti dalam kehidupannya, misalnya karena
dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologik
Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk
berpisah dengan orang terdekat atau kegagalan orang lain
untuk memenuhi kebutuhannya hal ini dapat menimbulkan
ansietas tinggi bahkan dapat menimbulkan seseorang
mengalami gangguan hubungan (menarik diri) (Stuart &
Sundeen, 1998)
c. Stressor intelektual
• Kurangnya pemahaman diri dalam ketidak mampuan
untuk berbagai pikiran dan perasaan yang mengganggu
pengembangan hubungan dengan orang lain.

6
• Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan
kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit
berkomunikasi dengan orang lain.
• Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan
dengan orang lain akan persepsi yang menyimpang dan
akan berakibat pada gangguan berhubungan dengan orang
lain
d. Stressor fisik
• Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan
seseorang menarik diri dari orang lain
• Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder
atau malu sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang
lain (Rawlins, Heacock,1993 dalam (Oktaviani.J, 2018a))

2.1.4 Tanda dan Gejala


Menurut Towsend M.C (1998:192-193) dan Carpenito,L.J. (1998:381)
Isolasi sosial : menarik diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala
sebagai berikut :
• kurang spontan
• apatis
• ekspresi wajah tidak berseri
• tidak memperhatikan kebersihan diri
• komunikasi verbal kurang
• menyendiri
• tidak peduli lingkungan
• asupan makanan terganggu
• retensi urine dan feses
• aktivitas menurun
• posisi baring seperti fetus/janin
• menolak berhubungan dengan orang lain.

7
2.1.5 Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Kecemasan koping yang sering digunakan adalah regresi, represi dan
isolasi. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat digunakan misalnya
keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman,
hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan kreativitas untuk
mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan
(Stuart and Sundeen, 1998:349) dalam (Oktaviani.J, 2018a)

2.2 Asuhan Keperawatan Menarik Diri


2.2.1 Pengkajian
Secara lebih terstruktur pengkajian kesehatan jiwa meliputi hal berikut:
a) Identitas pasien
b) Keluhan utama/alasan masuk
c) Faktor predisposisi
d) Aspek fisik/biologis
e) Aspek psikososial
f) Status mental
g) Kebutuhan persiapan pulang
h) Mekanisme koping
i) Masalah psikososial dan lingkungan
j) Pengetahuan
k) Aspek medis
Stuart dan Sundeen (2002) dalam (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
menyebutkan bahwa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian
terhadap stresor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki
pasien adalah aspek yang harus digali selama proses pengkajian

8
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
Pohon Masalah

Efek Risiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

Core Isolasi social: menarik diri

Penyebab Gangguan konsep diri: harga diri rendah

Berdasarkan pohon masalah di atas maka rumusan diagnosis sebagai


berikut:
1) Isolasi sosial: menarik diri
2) Risiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

2.2.3 Intervensi keperawatan


A. TUM (Tujuan Umum): Pasien dapat berinteraksi dengan orang lain
B. Tujuan khusus:
1) Tuk 1: Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan:
• Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik,
memperkenalkan diri, jelaskan tuiuan interaksi, ciptakan
lingkungan yang tenang, buat kesepakatan / janji dengan jelas
tentang topik, tempat, waktu.
• Beri perhatian dan penghargaan: temani kilen walau tidak
menjawab
• Dengarkan dengan empati : beri kesempatan bicara, jangan
terburu-buru, tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan
klien.
2) Tuk 2: Klien dapat menyebut penyebab menarik diri
Tindakan:
• Bicarakan penyebab tidak mau bergaul dengan orang lain.
• Diskusikan akibat yang dirasakan dari menarik diri.

9
3) Tuk 3: Klien dapat menyebutkan keuntungan hubungan dengan orang
lain
Tindakan:
• Diskusikan keuntungan bergaul dengan orang lain.
• Bantu mengidentifikasikan kernampuan yang dimiliki untuk
bergaul.
4) Tuk 4: Klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap:
klien-perawat, klien-perawat-klien lain, perawat-klien-kelompok,
klien-keluarga.
Tindakan:
• Lakukan interaksi sering dan singkat dengan klien jika mungkin
perawat yang sama.
• Motivasi temani klien untuk berkenalan dengan orang lain
• Tingkatkan interaksi secara bertahap
• Libatkan dalam terapi aktivitas kelompok sosialisasi
• Bantu melaksanakan aktivitas setiap hari dengan interaksi
• Fasilitasi hubungan kilen dengan keluarga secara terapeutik
5) Tuk 5: Klien dapat mengungkapkan perasaan setelah berhubungan
dengan orang lain.
Tindakan:
• Diskusi dengan klien setiap selesai interaksi / kegiatan
• Beri pujian atas keberhasilan klien
6) Tuk 6: Klien mendapat dukungan keluarga
Tindakan:
• Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui
pertemuan keluarga
• Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

10
2.2.4 Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan yang
telah dibuat. Sebelum melaksanakan tindakan, perlu memvalidasi dengan
singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien
saat ini. Perawat juga perlu mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai
kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal sesuai dengan tindakan
yang akan dilaksanakan. Setelah tidak ada hambatan lagi, maka tindakan
keperawatan bisa diimplementasikan.

2.2.5 Evaluasi
Evaluasi ada dua macam, yaitu (1) evaluasi proses atau evaluasi
formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2)
evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
• S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
• O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
• A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data
yang kontradiksi terhadap masalah yang ada.
• P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
a) Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
b) Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan semua
tindakan tetapi hasil belum memuaskan).
c) Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak
belakang dengan masalah yang ada).
Rencana selesai jika tujuan sudah tercapai dan perlu mempertahankan
keadaan baru.

11
2.3 Perilaku Kekerasan
2.4.1 Definisi Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk
bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku
kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai
atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat
berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua
yang ada di lingkungan. Pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian
besar akibat melakukan kekerasan di rumah. Perawat harus jeli dalam
melakukan pengkajian untuk menggali penyebab perilaku kekerasan yang
dilakukan selama di rumah (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015).
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah
yang paling maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel
yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak
terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman. (Stuart dan Sundeen, 1991).
Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai
dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya
kontrol, yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau
lingkungan (Keliat, 1991) dalam (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015).

2.4.2 Rentang Repons Marah


Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
Keterangan:
1) Respon Adaptif.
a) Asertif adalah mengemukakan pendapat atau mengekspresikan rasa
tidak senang atau tidak setuju tanpa menyakiti lawan bicara.
Merupakan ungkapan tanpa menyakit orang akan memberi
kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah.

12
b) Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
karena tujuan yang tidak realistis atau hambatan dalam proses
pencapaian tujuan. Suatu proses yang menyebabkan terhambatnya
seseorang dalam mencapai keinginannya. Individu tersebut tidak
dapat menerima atau menunda sementara sambil menunggu
kesempatan yang memungkinkan. Selanjutnya individu merasa
tidak mampu dalam mengungkapkan perannya dan terlihat pasif.
2) Respon Transisi
Pasif adalah diam dan merasa tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami, suatu perilaku dimana seseorang merasa tidak
mampu untuk mengungkapkan perasaannya sebagai usaha
mempertahankan hak-haknya. Klien tampak pemalu, pendiam, sulit
diajak bicara karena merasa kurang mampu, rendah diri atau kurang
menghargai dirinya.
3) Respon Maladaptif
a) Agresif adalah suatu perilaku yang menyertai rasa marah,
merupakan dorongan mental untuk bertindak (dapat secara
konstruksi/destruksi) dan masih terkontrol. Perilaku agresif dapat
dibedakan dalam 2 kelompok, yaitu pasif agresif dan aktif agresif.
Pasif agresif adalah perilaku yang tampak dapat berupa
pendendam, bermuka asam, keras kepala, suka menghambat dan
bermalas-malasan. Aktif agresif adalah sikap menentang, suka
membantah, bicara keras, cenderung menuntut secara terus
menerus, bertingkah laku kasar disertai kekerasan.
b) Amuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat dan disertai
kehilangan kontrol diri. Individu dapat merusak diri sendiri, orang
lain atau lingkungan (Stuart,2013) dalam (Oktaviani.J, 2018b).

2.4.3 Etiologi / Penyebab


Pada klien gangguan jiwa, perilaku kekerasan bisa disebabkan adanya
gangguan harga diri: harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu

13
tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai
dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai
perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal
mencapai keinginan. Adapun factor predisposisi dan presipitasi dari perilaku
kekerasan adalah sebagai berikut:
1) Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor yang mendasari atau mempermudah
terjadinya perilaku yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, nilai-nilai
kepercayaan maupun keyakinan berbagai pengalaman yang dialami setiap
orang merupakan faktor predisposisi artinya mungkin terjadi mungkin tidak
terjadi perilaku kekerasan (Direja, 2011 dalam (Anggraeni, 2014)).
a) Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil
dari dorongan insting (instinctual drives).
b) Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas / amuk timbul sebagai
hasil dari peningkatan frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat
menyebabkan frustasi berkepanjangan.
c) Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya agresivitas
sebagai berikut.
• Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi
emosi serta perilaku seperti makan, agresif, dan respons seksual.
Selain itu, mengatur sistem informasi dan memori.
• Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan
melakukan interpretasi pendengaran.
• Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta
pengelolaan emosi dan alasan berpikir.

14
• Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas
adalah serotonin (5-HT), Dopamin, Norepineprin,
Acetylcholine, dan GABA
d) Perilaku (behavioral)
• Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar
mengakibatkan kegagalan kemampuan dalam berespons positif
terhadap frustasi.
• Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak
atau godaan (seduction) orang tua memengaruhi kepercayaan
(trust) dan percaya diri (self esteem) individu.
• Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada
anak (child abuse) atau mengobservasi kekerasan dalam
keluarga memengaruhi penggunaan kekerasan sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah
hasil belajar dari proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni
sebagai berikut.
• Internal: penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
• Eksternal: observasi panutan (role model), seperti orang tua,
kelompok, saudara, figur olahragawan atau artis, serta media
elektronik (berita kekerasan, perang, olahraga keras).
e) Sosial kultural
• Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini
mendefinisikan ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau
tidak diterima akan menimbulkan sanksi. Kadang kontrol sosial
yang sangat ketat (strict) dapat menghambat ekspresi marah
yang sehat dan menyebabkan individu memilih cara yang
maladaptif lainnya.
• Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk
berespons terhadap marah yang sehat.

15
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau
perilaku kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
• Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
• Status dalam perkawinan.
• Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
• Pengangguran.
• Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan
struktur keluarga dalam sosial cultural
2) Faktor Presipitasi
Bersumber dari klien (kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak
berdayaan, percaya diri kurang), lingkungan (ribut, padat, kritikan mengarah
penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan) dan
interaksi dengan orang lain ( provokatif dan konflik).materi X kelompok 2

2.4.4 Tanda dan Gejala Marah


Menurut Direja Ade (2011) dalam (NADEK, 2019) tanda dan gejala
sebagai berikut :
a) Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang
mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
b) Verbal : mengancam, mengucap, kata-kata kotor,berbicara dengan
nada keras, kasar dan ketus.
c) Perilaku : menyerang orang lain melukai diri sendiri, orang lain,
lingkungan, amuk/agresif.
d) Emosi : tidak adekuat tidak aman dan nyaman, merasa terganggu,
dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan dan menuntut.
e) Intelektual : cerewat, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata kasar.
f) Spritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan,
tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.

16
g) Sosial : menarik diri pengasinga, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
sindriran.
Menurut keliet (1999), gejala klinis perilaku kekerasan berawal dari
adanya :
1) Persaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
2) Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri
sendiri)
3) Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
4) Kurang percayab diri (sukar mengambil keputusan)
5) Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan
yang suram, mungkin klien akan mengakhiri kehidupannya).

2.4.5 Mekanisme Koping


Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme
koping klien sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan
mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya.
Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan
ego seperti displancement, sublimasi, proyeksi, depresi, dan reaksi formasi
(NADEK, 2019).
a) Displacement Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada
objek yang begitu seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi.
b) Proyeksi Menyalahkan orang lain mengenai keinginannya yang tidak
baik.
c) Depresi Menekan perasaan yang menyakitkan atau konflik ingatan
dari kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.
d) Reaksi formasi Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang
berlawanan dengan apa yang benar-benar di lakukan orang lain.

17
2.4 Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan
2.4.6 Pengkajian
Secara lebih terstruktur pengkajian kesehatan jiwa meliputi hal berikut:
l) Identitas pasien
m) Keluhan utama/alasan masuk
n) Faktor predisposisi
o) Aspek fisik/biologis
p) Aspek psikososial
q) Status mental
r) Kebutuhan persiapan pulang
s) Mekanisme koping
t) Masalah psikososial dan lingkungan
u) Pengetahuan
v) Aspek medis
Stuart dan Sundeen (2002) dalam (Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
menyebutkan bahwa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian
terhadap stresor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki
pasien adalah aspek yang harus digali selama proses pengkajian

2.4.7 Diagnosa Keperawatan


Pohon Masalah

Efek Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Core Perilaku kekerasan

Penyebab Gangguan konsep diri: harga diri rendah

Berdasarkan pohon masalah di atas maka rumusan diagnosis sebagai


berikut:
1) Perilaku kekerasan
2) Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

18
2.4.8 Intervensi Keperawatan
A. TUM (Tujuan Umum): klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan sehingga perilaku kekerasan tidak terjadi
B. Tujuan Khusus:
1) Tuk 1: Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
• Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut
nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
• Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
• Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
2) Tuk 2: Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
• Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
• Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal.
• Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien
dengan sikap tenang.
3) Tuk 3: Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Tindakan :
• Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
• Observasi tanda perilaku kekerasan.
• Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang
dialami klien.
4) Tuk 4: Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Tindakan:
• Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
• Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.

19
• Tanyakan "Apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai ?"
5) Tuk 5: Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
• Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
• Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
• Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6) Tuk 6: Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon
terhadap kemarahan.
Tindakan :
• Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
• Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam
jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal/kasur.
• Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau
kesal/tersinggung.
• Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan
untuk diberi kesabaran.
7) Tuk 7: Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku
kekerasan.
Tindakan:
• Bantu memilih cara yang paling tepat.
• Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
• Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
• Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam
simulasi.
• Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat
jengkel/marah.
8) Tuk 8: Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :

20
• Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melaluit
pertemuan keluarga.
• Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9) Tuk 9: Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
• Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi,
efek dan efek samping).
• Bantu klien mengpnakan obat dengan prinsip 5 benar (nama
klien, obat, dosis, cara dan waktu).
• Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang
dirasakan

2.4.9 Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan yang
telah dibuat. Sebelum melaksanakan tindakan, perlu memvalidasi dengan
singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien
saat ini. Perawat juga perlu mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai
kemampuan interpersonal, intelektual, dan teknikal sesuai dengan tindakan
yang akan dilaksanakan. Setelah tidak ada hambatan lagi, maka tindakan
keperawatan bisa diimplementasikan.

2.4.10 Evaluasi
Evaluasi ada dua macam, yaitu (1) evaluasi proses atau evaluasi
formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2)
evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons
pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
• S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
• O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.

21
• A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan
apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data
yang kontradiksi terhadap masalah yang ada.
• P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
d) Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
e) Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan semua
tindakan tetapi hasil belum memuaskan).
f) Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak
belakang dengan masalah yang ada).
Rencana selesai jika tujuan sudah tercapai dan perlu mempertahankan
keadaan baru.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam Bab II, dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan
hubungan dengan orang lain. Isolasi sosial adalah keadaan seorang
individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Pasien mungkin merasa
ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan
yang berarti dengan orang lain. Klien / pasien perlu diberikan asuhan
keperawatan menarik diri agar dapat berinteraksi dengan orang lain
kembali.
2. Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang
paling maladaptif, yaitu amuk. Amuk merupakan respons kemarahan yang
paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain, atau lingkungan. Klien / pasien perlu diberikan asuhan
keperawatan perilaku kekerasan agar klien tidak mencederai diri sendiri,
orang lain dan lingkungan sehingga perilaku kekerasan tidak terjadi

3.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak
kekurangan pengetahuanserta kekurangan dalam penulisan.Hal tersebut
terjadi karena penulis masih dalam tahap pembelajaran sehingga diharapkan
untuk kritik dan saran dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah
ini.

23
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, D. (2014). Asuhan Keperawatan Pada..., Fakultas Ilmu Kesehatan


UMP. Kesehatan, 18, 8–23.
Maha, N. (2005). Perencanaan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Jiwa Latar
Belakang Tujuan Hasil dan Pembahasan.
NADEK, V. F. (2019). KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN Tn.
M.B. DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG RAWAT INAP
RUMAH SAKIT JIWA NAIMATA KUPANG.
http://repository.poltekeskupang.ac.id/1851/1/KTI_%28VERDIANA_NADE
K%29.pdf
Oktaviani.J. (2018a). Isolasi Sosial. Sereal Untuk, 51(1), 51.
Oktaviani.J. (2018b). Perilaku Kekerasan. Sereal Untuk, 51(1), 51.
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&ca
d=rja&uact=8&ved=2ahUKEwihwcSsie3sAhWPcn0KHXMHBuwQFjASeg
QIAhAC&url=http%3A%2F%2Fperpus.fikumj.ac.id%2Findex.php%3Fp%3
Dfstream-
pdf%26fid%3D8796%26bid%3D4308&usg=AOvVaw3ved5f3WTz9J5F_U
OfVG4W
Yusuf, A.H, F., & ,R & Nihayati, H. . (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa, 1–366. https://doi.org/ISBN
978-xxx-xxx-xx-x

Anda mungkin juga menyukai