Anda di halaman 1dari 57

PELABUHAN

( Perencanaan Pelabuhan)

Nama : Gerry Natasian


Nim : 2016 7011 119

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KOTA SORONG


FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengertian Pelabuhan


Pelabuhan adalah daerah perairan yang terlindung terhadap gelombang/arus, sehingga
kapal dapat berputar (turning basin), bersandar/membuang sauh, demikian rupa hingga bongkar
muat atas barang dan perpindahan penumpang dapat dilaksanakan; guna mendukung fungsi-
fungsi tersebut dibangun dermaga, jalan, gudang, fasilitas penerangan, telekomunikasi,dan
sebagainya, sehingga fungsi pemindahan muatan dari/ke kapal yang bersandar di pelabuhan
menuju tujuan selanjutnya dapat dilakukan.
Pelabuhan merupakan suatu pintu gerbang dan memperlancar hubungan antar daerah,
pulau, atau bahkan antar benua dan bangsa yang dapat memajukan daerah belakangnya
(hinterland). Daerah belakang ini adalah daerah yang memiliki kepentingan hubungan ekonomi,
sosial, dan lain-lain dengan pelabuhan tersebut.

1.2 Arti Pentingnya Pelabuhan


Sebagaimana kita ketahui bahwa bumi ini dua per tiganya terdiri atas perairan. Daerah
yang begitu luasnya membutuhkan suatu sarana dan prasarana yang akan menghubungkan antara
daerah yang satu dengan daerah yang lain. Peranan pelayaran adalah sangat penting bagi
kehidupan sosial, ekonomi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan serta hal-hal yang lainnya.
Kapal sebagai sarana pelayaran yang menghubungkan antar daerah mempunyai peran
yang sangat penting dalam sistem angkutan laut. Untuk mendukung kegiatan dari kapal dalam
melakukan kegiatan pelayaran dibutuhkan prasarana berupa pelabuhan. Pelabuhan merupakan
tempat pemberhentian (terminal) kapal setelah melakukan pelayaran. Di pelabuhan ini kapal
melakukan berbagai kegiatan seperti menaik-turunkan penumpang, bongkar muat barang,
pengisian bahan bakar dan air tawar, melakukan reparasi, mengadakan perbekalan dan
sebagainya.
Pelabuhan merupakan pintu gerbang yang menghubungkan dan memperlancar
komunikasi antar daerah yang satu dengan yang lainnya. Selain untuk kepentingan sosial dan
ekonomi, ada pula pelabuhan yang dibangun untuk kepentigan pertahanan dan keamanan suatu
daerah atau negara. Dalam hal ini pelabuhan tersebut dinamakan pangkalan angkatan laut atau
pelabuhan militer.
Kebutuhan akan pelabuhan pada dasarnya timbul untuk memenuhi beberapa hal berikut
ini yaitu:
 Pembangunan pelabuhan yang didasarkan pada pertimbangan politik. Sebagai contoh
pelabuhan militer yang diperlukan untuk mendukung pertahanan dan keamanan suatu
daerah atau negara.
 Pembangunan suatu pelabuhan diperlukan untuk melayani atau meningkatkan kegiatan
ekonomi di daerah belakangnya (hinterland) dan untuk menunjang kelancaran
perdagangan antar pulau atau negara (eksport dan import) serta mendukung
perkembangan daerah sekitarnya.
 Mendukung kelancaran produksi suatu perusahaan atau pabrik. Pelabuhan diperlukan
untuk memperlancar pemasaran hasil-hasil produksinya, atau mendatangkan bahan baku
untuk keperluan produksinya. Bahkan ada pelabuhan khusus yang digunakan untuk
melayani perusahaan dalam berproduksi.

1.3 Syarat Dalam Pembangunan Pelabuhan

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan suatu pelabuhan antara lain
adalah kebutuhan akan pelabuhan dan pertimbangan ekonomi volume perdagangan melalui laut
dan adanya hubungan dengan daerah pedalaman baik melalui darat maupun dari laut. Oleh
karena itu pelabuhan harus memenuhi beberapa persyaratan berikut :

 Harus ada hubungan yang mudah antara transportasi darat dan pelabuhan seperti jalan
raya, truk, kereta, dan lain-lain, sehingga barang-barang dapat dengan mudah diangkut
dari dan ke pelabuhan dengan mudah dan cepat.

 Pelabuhan berada dalam suatu lokasi yang mempunyai daerah belakang (hinterland)
yang subur dengan populasi penduduk yang cukup padat.

 Pelabuhan harus mempunyai kedalaman air dan lebar alur yang cukup.

 Kapal-kapal yang mencapai pelabuhan harus bisa membuang sauh selama menunggu
untuk merapat ke dermaga guna bongkar muat dan pengisian bahan bakar.
 Pelabuhan harus mempunyai fasilitas bongkar muat barang (crane, dll) serta gudang-
gudang penyimpanan barang.
 Pelabuhan harus mempunyai fasilitas untuk mereparasi kapal-kapal.

1.4 Pemilihan Lokasi Pelabuhan

Pemilihan lokasi untuk membangun pelabuhan meliputi daerah pantai dan daratan.
Pemilihan lokasi tergantung dari beberapa faktor seperti kondisi tanah dan geologi, kedalaman
dan luas perairan, perlindungan pelabuhan terhadap gelombang, arus dan sedimentasi, daerah
daratan yang cukup luas untuk menampung barang yang akan dibongkar muat, jalan-jalan untuk
transportasi, dan daerah industi di belakangnya. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
penentuan lokasi pelabuhan adalah sebagai berikut :

 Biaya pembangunan dan perawatan bangunan-bangunan pelabuhan, termasuk


pengerukan pertama yang harus dilakukan.

 Biaya operasi dan pemeliharaan, terutama pengerukan endapan di alur dan kolam
pelabuhan.

1. Tinjauan topografi dan geologi

Keadaan topografi daratan dan bawah laut harus memungkinkan untuk membangun suatu
pelabuhan dan kemungkinan untuk pengembangan di masa mendatang. Daerah daratan harus
cukup luas untuk membangun suatu fasilitas pelabuhan seperti dermaga, jalan, gudang, dan juga
daerah industri. Kondisi geologi juga perlu diteliti mengenai sulit tidaknya melakukan
pengerukan daerah perairan dan kemungkinan menggunakan hasil pengerukan tersebut untuk
menimbun tempat lain.

2. Tinjauan sedimentasi

Pelabuhan harus dibuat sedemikian rupa sehingga sedimentasi yang terjadi harus
sesedikit mungkin. Proses erosi dan sedimentasi tergantung pada sedimen dasar dan pengaruh
hidrodinamika gelombang dan arus. Proses sedimentasi ini sulit ditanggulangi, oleh karena itu
masalah ini harus diteliti dengan baik untuk dapat memprediksi resiko pengendapan.
3. Tinjauan gelombang dan arus

Gelombang menimbulkan gaya-gaya yang bekerja pada kapal dan bangunan pelabuhan.
Untuk menghindari gangguan gelombang tersebut maka perlu dibuat bangunan pelindung pantai.
Tinggi gelombang dan kecepatan arus yang masuk di perairan pelabuhan nilainya harus sekecil
mungkin agar tidak mengganggu bongkar muat kapal di pelabuhan.

4. Tinjauan pelayaran

Pelabuhan yang dibangun harus mudah dilalui kapal-kapal yang akan menggunakannya.
Diharapkan bahwa kapal-kapal yang sedang memasuki pelabuhan tidak mengalami dorongan
arus pada arah tegak lurus sisi kapal. Demikian juga, sedapat mungkin kapal-kapal harus
memasuki pelabuhan pada arah sejajar dengan arah angin dominan. Gelombang yang
mempunyai amplitudo besar akan menyebabkan diperlukannya kedalaman saluran pengantar
yang lebih besar, karena pada keadaan tersebut kapal-kapal bergoyang naik turun sesuai dengan
fluktuasi muka air.

1.5 Fasilitas Pelabuhan

Oleh karena kegiatan di pelabuhan harus dilakukan secepat mungkin, maka pelabuhan
harus bisa memenuhi sejumlah fasilitas yang dapat menunjang seluruh pekerjaan di pelabuhan.

Fasilitas yang terdapat pada pelabuhan yang direncanakan dapat dikelompokkan dalam
dua bagian, yaitu:

1.5.1. Fasilitas Utama


Adalah segala sesuatu yang mutlak harus dimiliki oleh sebuah pelabuhan untuk
penyelenggaraan operasional di pelabuhan.
1. Dermaga
Adalah bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapatnya kapal untuk melakukan
proses bongkar muat barang, yang dilengkapi dengan tambatan dan peralatan bongkar muat
untuk mengangkut barang dari dan ke kapal. Dermaga dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu
wharf (sejajar garis pantai) dan Pier (menjorok ke laut). Apron adalah halaman dermaga
yang dapat digunakan untuk menempatkan barang-barang selama menunggu pengapalan atau
angkutan ke darat.
a. Gaya-gaya yang bekerja pada dermaga
Gaya-gaya yang bekerja pada dermaga dapat dibedakan atas gaya lateral dan gaya
vertikal. Gaya lateral meliputi gaya benturan kapal, gaya tarikan kapal, dan gaya gempa;
sedangkan gaya vertikal adalah berat sendiri bangunan dan beban hidup.
b. Sistem Fender dan Alat Penambat
Pada waktu kapal merapat ke dermaga akan terjadi benturan antara kapal dengan
dermaga. Walaupun kecepatan kapal kecil, namun karena massanya besar maka energi
yang terjadi karena benturan sangat besar. Untuk menghindari kerusakan pada kapal dan
dermaga karena benturan tersebut, maka di depan dermaga diberikan bantalan yang
berfungsi sebagai penyerap energi benturan, yang disebut dengan fender. Adapun
beberapa jenis fender yaitu fender kayu, fender karet dan fender gravitasi.

Kapal yang berlabuh pada dermaga ditambatkan dengan tali-tali penambat ke


bagian haluan, buritan dan badan kapal. Tali penambat tersebut diikatkan pada alat
penambat yang dikenal dengan nama BITT yang dipasang sepanjang dermaga. Bitt
dengan ukuran yang lebih besar disebut dengan BOLLARD, yang dipasang pada kedua
ujung dermaga. Bitt biasanya digunakan untuk mengikat kapal pada kondisi cuaca
normal. Sedang bollard selain digunakan untuk mengikat kapal pada kondisi normal dan
pada kondisi badai, juga dapat digunakan untuk mengarahkan kapal merapat ke dermaga,
atau untuk memutarkan kapal. Alat penambat biasanya terbuat dari besi cor berbentuk
silinder yang pada ujung diatasnya dibuat tertutup dan lebih besar. Tinggi tambatan
dibuat tidak lebih dari 50 cm di atas lantai dermaga. Jarak dan jumlah minimum bitt
untuk beberapa ukuran kapal diberikan dalam tabel 3 berikut.

2. Alur Pelayaran
Alur pelayaran adalah suatu daerah/jalur yang dilalui oleh kapal untuk masuk ke dalam
wilayah palabuhan. Alur pelayaran dibuat untuk memudahkan kapal memasuki wilayah
pelabuhan dengan aman, juga untuk menghilangkan kesulitan yang akan timbul karena
gerakan kapal ke atas (minimum ship manuver activity) dan gangguan alam. Perencanaan alur
pelayaran juga memperhatikan dimensi kapal yang akan dilayani, jumlah jalur, dan bentuk
lengkung alur
3. Kolam Pelabuhan
Kolam pelabuhan yang direncanakan harus mempunyai luas dan kedalaman yang cukup,
sehingga memungkinkan kapal berlabuh dengan aman dan memudahkan bongkar muat,
selain itu suasana kolam pelabuhan juga harus tenang untuk menunjang proses bongkar muat
barang.
Untuk luas kolam dengan tambatan pelampung,luas kolam putar yang digunakan untuk
mengubah arah kapal minimum adalah luasan lingkaran dengan jari-jari 1,5 kali panjang
kapal total (Loa). Apabila perputaran kapal dilakukan dengan bantuan jangkar atau kapal
tunda, luas kolam minimum adalah luas lingkaran dengan jari-jari sama dengan panjang total
kapal (Loa).

Dengan memperhitungkan gerak osilasi kapal karena pengaruh alam seperti gelombang,
angin, arus, dan pasang surut, kedalaman kolam pelabuhan adalah 1,1 kali draft kapal di
bawah elevasi muka air rencana.

4. Penahan/Pemecah Gelombang
Pemecah gelombang adalah sebuah bangunan pada pelabuhan yang berfungsi untuk
menahan atau meredam energi gelombang sehingga dapat melindungi kolam pelabuhan dari
gangguan gelombang yang besar. Biasanya pemecah gelombang dibangun dengan batuan
alam maupun batuan buatan seperti tetrapod, quadrypods, hexapod maupun dari bahan
caisson.

1.5.2 Fasilitas Penunjang

Pelabuhan juga membutuhkan beberapa fasilitas pendukung lainnya seperti menara


pengawasan yang digunakan untuk mengawasi semua tempat dan mengatur serta mengarahkan
semua kegiatan di pelabuhan, suplay bahan bakar dan air tawar, penerangan untuk pengerjaan
malam hari dan keamanan, peralatan untuk membersihkan alat-alat bongkar muat, fasilitas
pandu, tunda, dan lain sebagainya.
1. Gudang
Gudang yang terletak di belakang dermaga untuk menyimpan barang-barang yang berasal
dari kapal atau yang akan dimuat ke kapal. Gudang dalam pelabuhan dapat
diklasifikasikan berdasarkan fungsi dan kegunaannya.
Jenis-jenis gudang adalah sebagai berikut:
- Gudang Lini I : disebut sebagai daerah pabean (customs area) dan dapat disebut
juga sebagai transit shed.
- Gudang Lini II : gudang ini letaknya pada daerah belakang lini I. Barang dalam
gudang ini biasanya menunggu untuk dikeluarkan dari pelabuhan atau barang
yang ditimbun lebih lama.
2. Lapangan Penumpukan
Lapangan penumpukan adalah suatu tempat yang berada di daerah terbuka dan terletak
dekat dermaga yang digunakan untuk menyimpan barang yang akan dimuat ke kapal atau
yang telah dibongkar dari kapal.
Fungsi lapangan penumpukan adalah untuk menyimpan barang-barang yang berat dan
besar serta tahan terhadap panas dan hujan, seperti kendaraan berat, barang yang terbuat
dari baja seperti tiang listrik, pelat baja, baja beton dan sebagainya.

3. Peralatan bongkar muat


Ada beberapa macam alat yang digunakan untuk melakukan bongkar muat barang
potongan, seperti :
 Derek kapal
Alat ini digunakan untuk mengangkat muatan yang tidak terlalu berat dan
pengangkatan berlaku untuk radius kecil, yaitu sekitar 6 meter dari lambung
kapal.
 Kran darat
Kran darat merupakan pesawat bongkar muat dengan lengan cukup panjang yang
ditempatkan di atas dermaga pelabuhan, dipinggir permukaan perairan pelabuhan.
Kran mempunyai roda dan dapat berpindah sepanjang rel kerta api. Jarak
jangkauan lengan sampai radius 20 meter dari lambung kapal.
 Kran terapung
Kran terapung adalah pesawat bongkar muat yang mempunyai mesin sendiri
untuk bergerak dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Lengannya dipasang mati
dan tidak dapat diatur panjang jangkauannya. Kapasitasnya sebesar 10 ton, 25 ton,
50 ton, 200 ton, atau lebih.
 Alat pengangkat di atas dermaga
Ada beberapa macam alat untuk mengangkat dan mengangkut barang di atas
dermaga di antaranya adalah fork lift, kran mobil, gerobag yang ditarik
tractor,dsb.

4. Bengkel pemeliharaan
Adalah fasilitas yang disediakan untuk memelihara dan merawat peralatan bongkar muat
dan peralatan lainnya yang berkaitan dengan operasional pelabuhan.

5. Fasilitas penunjang lain


Fasilitas penunjang lainnya yang harus dimiliki oleh pelabuhan adalah :terminal,
perkantoran dan kantor KP3, jalan, penerangan, serta tangki-tangki untuk bahan bakar
dan air.

BAB II
KONDISI HIDRO OSEANOGRAFI

2.1. Angin
Pengetahuan tentang angin sangat penting karena angin menimbulkan arus dan
gelombang, dan angin dapat menimbulkan tekanan pada kapal dan bangunan pelabuhan.
Kecepatan angin dihitung dengan anemometer dan apabila tidak tersedia nemometer, maka
kecepatan angin dapat diperkirakan berdasarkan lingkungan dengan menggunakan skala
Beaufort. Apabila kecepatan angin bertambah besar, maka riak gelombang pun akan semakin
membesar, dan seterusnya sehingga terbentuk gelombang.
Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan, dipengaruhi oleh angin dengan
variabel kecepatan angin U, lama hembus angin D, arah angin dan fetch F (daerah dimana
kecepatan dan arah angin konstan). Distribusi kecepatan angin diatas permukaan laut terbagi
dalam tiga daerah sesuai dengan elevasi di atas permukaannya, yaitu :
 Geostropik Region, berada pada lebih dari 1000 meter di atas permukaan air dengan
kecepatan angin konstan.
 Ekman Region, berada antara elevasi 100 – 1000 meter
 Relative Isobaric Region, berada antara elevasi 10 – 100 meter, dengan tekanan relatif
konstan.
Data angin diperoleh dari dosen mata kuliah Perencanaan Pelabuhan. Data angin tersebut
merupakan angin permukaan. Tipe data adalah data harian selama 5 tahun. Data terdiri dari data
kecepatan angin maksimum dan rata-rata dari berbagai arah datang angin (lihat lampiran).

2.2. Pasang Surut


Dalam perencanaan pelabuhan, pengetahuan tentang pasang surut sangat penting di
dalam menentukan dimensi bangunan seperti pemecah gelombang, dermaga, pelampung
penambat, kedalaman alur pelayaran dan perairan pelabuhan, dan sebagainya. Elevasi puncak
bangunan didasarkan pada elevasi muka air pasang, sedang kedalaman alur dan perairan berdasar
muka air surut. Oleh karena itu, perlu diketahui pengertian dari pasang surut itu sendiri. Pasang
surut adalah fluktuasi muka air laut sebagai fungsi dari waktu, karena adanya gaya tarik antara
benda-benda di langit, utamanya matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.
Beberapa jenis elevasi permukaan air yang ditetapkan berdasarkan data pasut dan dipakai
dalam perencanaan pelabuhan adalah :
a) Muka Air Laut Tertinggi (High Water Level, HWL), yaitu muka air tertinggi yang
dicapai pada saat pasang dalam satu siklus pasang surut.
b) Muka Air Laut Terendah (Low Water Level, LWL), adalah kedudukan air terendah
yang dicapai pada saat surut dalam satu siklus pasut.
c) Muka Air Tinggi Rerata (Mean High Water Level, MHWL), yakni rerata muka air
tinggi selama periode tertentu.
d) Muka Air Rendah Rerata (Mean Low Water Level), adalah rerata muka air rendah
selama periode tertentu.
e) Muka Air Laut Rerata (Mean Sea Level, MSL), yaitu muka air rerata antara MHWL
dan MLWL.
f) Higher High Water Level (HHWL), adalah muka air tertinggi dari dua air tinggi
dalam satu hari, seperti pada pasut campuran.
g) Lower Low Water Level (LLWL), adalah muka air terendah dari dua air rendah
dalam satu hari, seperti pada pasut campuran.
h) Low Astronomi Tide (LAT), yaitu muka air terendah pada saat surut.
Ada beberapa metode yang biasa digunakan untuk meramalkan pasang surut diantaranya
metode Least Square, Admiralty dan lain-lain. Hasil yang diperoleh adalah konstanta pasang
surut. Dari konstanta pasang surut ini dapat diketahu besarnya pasang surut dan juga tipe pasang
surutnya. Berikut diberikan formula untuk menghitung elevasi muka air tertinggi Z, muka
surutan (chart datum), dan tipe pasang surut (direpresentasikan oleh nilai formzahl F)
berdasarkan konstanta pasang surut (Ongkosongo, 1989).
Z = Zo+ M 2+S 2+ K 1+O 1 ......................................... (2.1)

Zo = Zo−1,1 ( M 2+S 2 ) .................................................. . (2.2)


K 1+O 1
F = M 2+S 2 .............................................................. (2.3)
HWS = Zo + ( M2 + S2 + K1 + O1 )....................................... (2.4)
Berdasarkan nilai F, pasang surut di suatu wilayah diklasifiaksikan seperti berikut :
F ¿ ¼ : Pasang surut harian ganda
¼ ¿ F ¿ 3/2 : Pasang surut campuran condong ke harian ganda
3/2 ¿ F ¿ 3 : Pasang surut campuran condong keharian tunggal
F>3 : Pasang surut harian tunggal
Dengan menggunakan metode Admiralty pasang surut dipisahkan dari komponen-
komponen penyusunnya dan diperoleh konstanta pasang surut seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Konstanta pasang surut daerah Sungai Kota Waringin


Konstanta M2 S2 N2 K2 K1 O1 P1 M4 MS4 Z0
Amplitudo
(cm) 22 6 5 5 36 16 13 - - 100
Phase
(360° -g°) 182 244 205 243 34 131 35 - - -

Berikut adalah grafik pasang surut yang terjadi pada lokasi studi
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20 Grafik Pasut Sungai Kota Waringin
0.00
14 16 18 20 22 24 26 28 30 32

Gambar 2.1. Grafik pasang surut pada daerah Sungai Kota Waringin

Berdasarkan tabel di atas dapat diperoleh elevasi muka air tertinggi HWS dengan menggunakan
persamaan 2.4.
HWS = Zo + ( M2 + S2 + K1 + O1 )
HWS = 100 + ( 22 + 6 + 36 + 16 )
HWS = 180 cm = 1,8 m

2.3. Gelombang
2.3.1 Karakteristik dan Parameter Gelombang

Pada perairan terbuka, bentuk gelombang mendekati bentuk lengkung sinus (sinusoidal),
dimana arah perambatannya dinyatakan dengan sudut kemiringan terhadap arah angin. Gambar
berikut menggambarkan suatu gelombang yang berada pada sistem koordinat x-y, dengan
penjalaran gelombang arah x.
y λ

η (x,t)
H

y=-d

Gambar 2.2. Ilustrasi Gelombang Sinusoidal

Beberapa notasi yang digunakan dalam perhitungan gelombang adalah sebagai berikut :
d : jarak antara muka air rerata dengan dasar laut.
η(x,t) : fluktuasi muka air terhadap muka air rerata.
a : amplitudo gelombang
H : tinggi gelombang (2a)
λ : panjang gelombang
T : periode gelombang, interval waktu yang diperlukan oleh partikel
air untuk kembali pada kedudukan yang sama dengan
kedudukan sebelumnya.
C : cepat rambat gelombang (λ/T)
k : bilangan gelombang (2/λ)
ω : frekuensi gelombang (2λ/T)

2.3.2 Refraksi Gelombang

Kecepatan gelombang tergantung pada kedalaman air di mana gelombang tersebut


merambat. Hal ini dapat dilihat pada persamaan cepat rambat gelombang. Gelombang di tempat
yang dalam bergerak lebih cepat dari pada di tempat yang dangkal karena panjang gelombang
akan berkurang sebanding dengan berkurangnya kecepatan gelombang akibat pengaruh
kedalaman. Puncak gelombang bergerak menuju daerah yang dangkal dimana akan terjadi
penikungan arah terjang gelombang Proses perubahan arah terjang gelombang inilah yang
disebut dengan refraksi.
Karena kecepatan gelombang tregantung pada periode gelombang, maka dengan periode
yang berbeda akan diperoleh pola refraksi yang berbeda pula. Gelombang dengan periode yang
penjang akan lebih dulu terrefraksi pada air dalam, sehingga terbentuk gelombang yang lebih
tinggi pada saat gelombang mencapai tepian pantai. Untuk keperluan perencanaan, maka
diagram refraksi harus dibuat dalam beberapa periode yang paling berpengaruh pada suatu
lokasi.
Beberapa cara untuk membuat diagram refraksi diantaranya :
a. Wave Crest Method
Cara ini dikemukakan oleh Johnson dkk. pada tahun 1948. dasar dari metode ini adalah
menentukan panjang gelombang pada setiap lokasi. Mula-mula perlu diketahui posisi puncak
gelombang di dalam air, kemudian dibuat puncak gelombang–puncak gelombang yang lain
berdasarkan panjang gelombang setempat.

b. Orthogonal Method
Cara ini berdasarkan pada hukum Snellius, dan diperkenalkan oleh Arthur dkk. pada tahun
1952.
Sinα 1 C1 λ1
Sinα 2 = C 2 = λ2 (2.5)
dimana :
aa dan a2 : sudut antara garis kedalaman dengan puncak gelombang.
C1 dan C2 : kecepatan rambat gelombang di tempat yang ditinjau.
λ 1 dan λ 2 : panjang gelombang.
Gelombang yang memasuki perairan yang lebih dangkal ( dari d 1 menjadi d2) akan
berkurang kecepatan dan panjang gelombangnya dari C1dan λ1 menjadi C2 dan λ2. pada jarak
orthogonal sejauh x dan selang waktu T diperoeh sin a 1 = C1T/x dan sin a2 = C2T/x. Dengan
pembagian diperoleh persamaan 2.6, yaitu hukum Snellius. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
gambar berikut ini :
Puncak Gelombang

Orthogonal
d1 > d2
C1 > C 2
λ1 λ1 > λ2

d1
1
2
d2

λ2

Gambar 2.3. Sketsa Hukum Snellius pada Gelombang

Dengan mengaplikasikan persamaan 2.6 di atas pada daerah pantai dengan kemiringan
yang landai, dimana a1 dan a2 menjadi sudut antara puncak gelombang dengan kontur kedalaman
pada titik yang berturutan, dan C1 dan C2 adalah kecepatan gelombang dimana a1 dan a2 diukur.
Jika gelombang mendekati pantai dengan kontur sejajar seperti terlihat pada gambar di atas,
maka :
Sin α 0 Sin α 1
= =x
L0 L1 (2.6)
dan jika kita pilih harga B0 dan B1 sedemikian sehingga panjang orthogonalnya l0 dan l1, maka
dapat diperoleh koefisien refraksi (KR)

K R=
√ √
B0
B1
=
Cos α 0
Cos α 1 (2.7)

K S=
√ n0 λ0
nλ (2.8)
Hi=K R .K S . H design (2.9)
λ0
β0
0 d/λ = 0,5
x λ1
man β1
1

PANTAI

Gambar 2.4. Refraksi gelombang pada kontur dasar laut lurus dan sejajar.

2.3.3 Difraksi Gelombang

Ketika dalam perjalanan serangkaian gelombang dijumpai penghalang impermeable seperti


breakwaters, pulau atau tanjung, maka puncak gelombang akan berputar terhadap ujung
penghalang dan bergerak ke daerah yang terlindungi oleh penghalang tersebut. Fenomena
gelombang seperti ini disebut Difraksi Gelombang. Difraksi terjadi ketika terjadi perbedaan
energi gelombang yang tajam sepanjang puncak gelombang. Pada awalnya kondisi daerah yang
terlindung penghalang cukup tenang (tidak ada gelombang) saat gelombang melintasi
penghalang. Perairan yang jauh dari penghalang akan memiliki energi yang lebih banyak (energi
gelombang awal) dibandingkan dengan perairan di belakang penghalang yang semula tenang
(tidak adanya energi karena tidak ada gelombang), sehingga terjadilah proses pemindahan energi
di sepanjang puncak gelombang tersebut ke arah daerah yang terlindung penghalang. Hal ini
dapat dilihat pada gambar 2.5.
Puncak Gelombang
Arah Datang
Gelombang

KD

r
θ β
λ

Rintangan

Gambar 2.5. Difraksi Gelombang

Pada proses difraksi ini kedalaman air dianggap sama. Namun pada umumnya di daerah
yang terlindung oleh penghalang, tinggi gelombang semakin berkurang.
Apabila gelombang bergerak melalui celah penghalang (barrier gap), maka proses difraksi
juga akan terjadi. Johnson (1952) menunjukkan suatu diagram yang dapat digunakan untuk
memperkirakan nilai K’ pada gelombang yang melalui celah. Jika lebar celah lebih dari lima kali
panjang gelombang yang datang, maka perhitungan koefisien difraksi dapat dilakukan secara
terpisah seperti cara terdahulu, yaitu dengan menganggap kedua penghalang sebagai penghalang
individual. Jika gelombang yang datang mendekati celah ini membentuk sudut terhadap
penghalang, maka perhitungan dilakukan dengan menggunakan lebar celah maya (imaginary gap
width) seperti pada gambar 2.6.
Celah

Rintangan Rintangan

Lebar Celah
Imajiner

Arah Datang Puncak


Gelombang Gelombang

Gambar 2.6. Gelombang datang dengan sudut tertentu terhadap celah


penghalang

2.4. Arus di Dekat Pantai


Gelombang yang menjalar menuju pantai membawa massa air dan momentum dalam
arah penjalaran gelombang. Transpor massa dan momentum tersebut menimbulkan arus di dekat
pantai.
Arus sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah dengan membentuk sudut
terhadap garis pantai. Arus ini terjadi di daerah antara gelombang pecah dan garis pantai.
Parameter terpenting di dalam menentukan kecepatan arus sepanjang pantai adalah tinggi dan
sudut datang gelombang pecah. Longuet-Higgins (dalam Komar, 1985) menurunkan rumus
untuk menghitung arus sepanjang pantai, yaitu :

V = 1 ,17 ( g H b )√ 2 sin α b cos α b


dengan :
V : kecepatan arus sejajar pantai
g : percepatan gravitasi
Hb : tinggi gelombang pecah
αb : sudut datang gelombang pecah

BAB III
ANALISA DATA LINGKUNGAN

3.1. Kondisi Topografi dan Bathymetri

Agar dapat melakukan perecanaan bangunan yaitu dalam penentuan letak gelombang
pecah dan perhitungan volume pekerjaann serta penentuan tinggi bangunan, maka kontur
bathymetri dan topografi harus diketahui. Guna mendapatkan data topografi dan bathymetri,
maka pada lokasi studi dilakukan pengukuran bathymetri dan topografi.

3.2. Analisis Data Angin

Data angin tersebut merupakan angin permukaan. Tipe data adalah data harian selama 5
tahun yang terdiri dari data kecepatan angin maksimum dan rata-rata dari berbagai arah
( lihat lampiran . ).
Data angin dalam satuan knot di konversi ke satuan m/s (1 knot = 0,5144m/s),
selanjutnya dilakukan perhitungan tegangan gesek angin UA. Adapun langkah-langkah
menghitung tegangan gesek angin UA adalah sebagai berikut :
1. Apabilah data angin dalam satuan knot, maka dikonversi terlebih dahulu ke m/s (1 knot =
1,852 Km/jam = 0,5144 m/s).
2. Konversi data kecepatan angin menjadi data angin pada ketinggian 10 m dengan
menggunakan persamaan berikut :

( )
1/7
10
U (10)L=U ( y)
y .......................................................(3.1)
dimana :
U(10)L = kecepatan angin pada ketinggian 10 meter di atas tanah
(land)
U(y) = keceptan angin pada ketinggian y meter
y = ketinggian pengukuran
3. Koreksi perbedaan temperatur antara laut dan darat, dengan menggunakan grafik pada
Gambar 3.1. Apabila tidak ada data temperatur, maka faktor koreksi RT dapat ambil 1,1.
Dengan demikan, kecepatan angin terkoreksi UL menjadi :
U L=RT .U (10)L ......................................................... (3.2)

4. Transformasi kecepatan angin di darat UL menjadi data pengukuran angin di laut Uw,
dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.1. dengan Demikian kecepatan angin untuk
peramalan gelombang adalah :
U w =RT . R L .U (10) ............................................................... (3.3)
Dengan RL adalah koreksi pencatatan angin yang dilakukan di darat. Apabila anemometer
diletakkan di pantai, maka data angin tidak perlu dikoreksi lagi sehingga RT = 1, namun
koreksi akibat adanya perbedaan temperatur tetap digunakan. Untuk lebih mempermudah
analisis, maka grafik pada gambar 3.1. diukur absis dan ordinatnya kemudian dibuatkan
persamaan garis regresi untuk memperoleh RL dan diperoleh :
R L=2 , 66107. U
L−0 .36649 .............................................(3.4)
R2 = 0,9986
Dengan demikian
U w =2 ,93 .U
L−3 ,6649 .................................................(3.5)
5. Konversi kecepatan angin pada point 4 menjadi tegangan angin UA seperti berikut :
U A =0 ,71 U
W 1 , 23 ......................................................................(3.6)
Gambar 3.1. Faktor koreksi angin terhadap stabilitas suhu

Gambar 3.2. Faktor koreksi angin terhadap efek lokasi

3.2.1. Angin maksimum


Guna memprediksi gelombang untuk perencanan bangunan pada lokasi, maka digunakan
data angin maksimum yang terjadi selama 5 tahun. Berdasarkan data angin maksimum yang
diperoleh, dapat dilihat pada lampiran 2.
Dari kedelapan arah datang angin, yang paling potensial menimbulkan gelombang di
lokasi studi adalah dari arah Barat Daya, Selatan, dan Tenggara. Hal ini diakibatkan oleh karena
pada arah selain di atas berbatasan dengan daratan.
Dari data angin maksimum pada lampiran 2 dan dengan menggunakan Persamaan 3.1
sampai 3.6 diperoleh tegangan gesek angin UA selama 5 tahun sebagai fungsi dari arah datang
angin untuk memprediksi gelombang laut dalam. Hitungan tegangan gesek angin UA, dapat
dilihat pada lampiran . Selanjutnya dari data kecepatan angin maksimum dan arahnya dibuatkan
mawar angin seperti Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Mawar angin maksimum

3.3. Perhitungan Fetch Efektif


Untuk dapat meramalkan gelombang terlebih dahulu harus diketahui fetch efektif lokasi.
Fetch adalah jarak seret gelombang dari daerah pembangkitan sampai ke pantai yang ditinjau,
namun dalam aplikasi secara umum diambil fetch sama dengan jarak antara suatu daratan ke
daratan yang di sebelahnya yang terpisahkan oleh perairan. Di daerah pembentukan, gelombang
tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin. Oleh sebab itu digunakan
istilah fetch efektif. Dalam memprediksi gelombang, penentuan fetch efektif dilakukan dengan
cara menghitung fetch efektif dari 3 arah angin yaitu Barat Daya, Selatan dan Tenggara. Hal ini
disebab oleh karena hanya pada arah ini tegangan gesek angin akan potensial membangkitkan
gelombang yang sampai ke lokasi studi. Hasil pengukuran dan perhitungan fetch dapat dilihat
pada Tabel 3.1.

sTabel 3.1. Fetch efektif dari berbagai arah datang angin


Arah Panjang Fetch Efektif (km)
Barat Daya 375.1201
Selatan 141.5
Tenggara 380.084

3.6. Muka Air Laut Rencana


Muka air laut rencana (design water level - DWL) adalah muka air laut pada kondisi
tinggi, dimana elevasi ini dipergunakan sebagai referensi untuk menentukan elevasi mercu
bangunan pantai, apakah akan direncanakan sebagai bangunan non-overtopping, overtopping,
atau submerged. Disamping itu muka air laut rencana ini juga dipergunakan untuk menentukan
tinggi gelombang pecah, terutama dilokasi bangunan. Muka air laut rencana diperhitungkan
terhadap pasang surut - high water spring (HWS), wind set up, storm surge dan sea level rise
(SLR) akibat efek rumah kaca (green house effect). Muka air laut rencana dapat ditentukan
dengan formula (Yuwono, 1992):
DWL = HWS + SS +WS + SLR........................................(3.7)
Keterangan :
DWL = Design water level (m)
HWS = High Water Spring (m)
= Zo + (AM2+AS2) +(AK1+AO1)
SS = Storm Surge (m)
WS = Wave Set-up (m)
SLR = Sea Level Rise (m)
Berdasarkan IPCC (1990), kenaikan muka air laut akibat efek rumah kaca (SLR)
diperkirakan sebesar 60 cm tiap seratus tahunnya (lihat Gambar 4.9). Sedangkan besar Storm
Surge dan Wave Set Up dapat dihitung dengan formula:
SS = F.C.V2/(2.g.d) .........................................................(3.8)
WS = 0,19[1-2,82Hb/gT2 .............................................................(3.9)
Keterangan:
SS = tinggi storm surge (m)
WS = tinggi wave set up (m)
C = konstanta 3,5.10-6
F = panjang fetch (m)
U = kecepatan angin (m/det)
g = percepatan gravitasi bumi (9,81m/det2)
h = kedalaman air laut (m)

Gambar 4.1. Prediksi kenaikan muka air laut akibat efek rumah kaca (IPCC,1990)

HWS Wind Set-Up Wave Set-Up SLR DWL (m)


1.8 0.079092075 0.398109374 0.072 2.349201

3.5. Peramalan Tinggi dan Periode Gelombang Laut Dalam


Gelombang di laut dalam, diramalkan berdasarkan tegangan angin dan panjang fetch
efektif yang telah diperoleh. Dalam meramalkan gelombang (tinggi dan periode) diasumsikan
bahwa pembentukan gelombang dibatasi oleh fetch dan tegangan gesek angin serta durasi.
Berdasarkan Automated Coastal Engineering Sytem di peroleh formula untuk meramalkan
tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan oleh angin dan dibatasi oleh fetch dan
kecepatan angin.
( )( )
2
U A g.F 1/ 2
H =0 , 0015
g 2
A
U .................................................(3.10)

( )( )
UA 0, 28
g. F
T =0 , 3704
g 2
A
U ...............................................(3.11)
Dari sumber yang sama, untuk pembangkitan gelombang yang dibatasi oleh durasi dan
kecepatan angin diberikan seperti berikut :

( )( )
2
U A g.t 0 ,69
H t =0 , 000103
g 2
A
U .....................................(3.12)

( )( )
U g .t 0 ,39
T t =0 , 082 A
g UA
....................................................(3.13)

Dimana t adalah durasi dan dapat diambil 16 jam. Berdasarkan Persamaan 3.4, 3.5, 3.6, dan 3.10
diperoleh :
H = min(H,Ht) ..............................................................(3.14)
T = min(T,Tt) ...............................................................(3.15)
Dimana :
H = tinggi gelombang signifikan ramalan
T = periode gelombang signifikan ramalan
g = percepatan grafitasi bumi
UA = tegangan gesek angin
F = panjang fetch efektif

3.6. Gelombang Laut Dalam Representatif Dengan Kala Ulang Tertentu


Untuk keperluan perencanaan pelabuhan, maka data gelombang yang diperoleh dari
peramalan melalui data angin harus dipilih suatu tinggi yang dapat mewakili dan disebut tinggi
gelombang representatif. Oleh karena itu data gelombang yang ada dipilih salah satu tinggi
gelombang yang paling besar nilai setiap tahunya, kemudian dihitung tinggi gelombang yang
dapat. Ada dua metode yang biasa digunakan untuk menentukan suatu tinggi gelombang yang
representatif dengan kala ulang tertentu. Metode yang dimaksud adalah distribusi Fisher-Tippet
tipe I dan distribusi Weibull. Dalam studi ini digunakan distribusi Fisher-Tippet tipe I dan secara
matematis ditulis :
1. distribusi Fisher-Tippet tipe I :

P ( H s ≤H s ) =exp (−exp −
¿
(( H s −B
¿

A )) .........................(3.16)
Dengan :
P ( H s ≤H s )
¿
= probabiolitas bahwa Hs* tidak terlampaui
H = tinggi gelombang representsi
H* = tinggi gelombang dengan kriteria tertentu
A = parameter skulli
B = parameter lokasi

Langkah-langkah perhitungan tinggi gelombang dengan periode ulang tertentu adalah sebagai
berikut :
1. Data dibuat dalam data tahunan dengan cara mengambil satu data maksimum setiap
tahunnya (untuk studi ini terdapat 12 tahun data),
2. Data tahunan diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil, selanjutnya probabilitas
ditetapkan untuk setiap tinggi gelombang sebagai berkut :
m−0 , 44
P ( H s ≤H sm ) =1−
NT +0 , 12 ………………………....(3.17)
Dimana :
P ( H s ≤H sm )
= probabilitas dari tinggi gelombang ke m yang tidak terlampaui

m = nomor urut tinggi gelombang signifikan = 1,2...,N


NT = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan (bisa lebih besar
dari gelombang representatif)
3. Menghitung nilai A dan B pada Persamaan (3.16) dan (3.17), dengan metode kuadrat
terkecil untuk setiap tipe distribusi yang digunakan. Hitungan didasarkan pada analisis
regresi linier dari hubungan berikut :
H m= A∗y m +B∗¿ ¿ ..................................................... (3.18)
Dimana nilai ym diberikan untuk :
y m=−ln {−ln F ( H s ≤H sm ) }
........................................... (3.19)
Dengan A* dan B* adalah perkiraan dari parameter skala dan lokal yang diperoleh dari
analisis regresi linier.
4. Tinggi gelombang signifikan untuk berbagai periode ulang dihitung dari fungsi distribusi
probabilitas dengan rumus berikut ini :
H sr = A∗y r +B∗¿ ¿ ………................................................. (3.20)
Dimana yr diberikan oleh rumus berikut :

{ ( )}
y r =−ln −ln 1−
1
LT r
............................................. (3.21)
dengan : Hsr = tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
Tr = periode ulang (tahun)
K = panjang data (tahun)
L = rerata jumlah kejadian per tahun (K = NT/K)
Penentuan kala ulang gelombang rencana biasanya didasarkan pada jenis konstruksi yang akan
dibangun dan nilai daerah yang akan dilindungi. Makin tinggi nilai daerah yang akan diamankan,
makin besar pula nilai kala ulang gelombang rencana yang dipergunakan. Sebagai pedoman
penentuan nilai kala ulang gelombang rencana dapat menggunakan Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Pedoman pemilihan jenis dan kala ulang gelombang


No Jenis Struktur Bangunan Kala Ulang (tahun)
Seperti
1 Struktur Fleksibel
telah
a. Resiko rendah 5 – 10
b. Resiko sedang 10 – 100
c. Resiko tinggi 100 – 1000
2 Struktur Semi Kaku
a. Resiko rendah 5 – 10
b. Resiko sedang 10 – 100
c. Resiko tinggi 100 – 1000
3 Struktur Kaku
a. Resiko rendah 5 – 10
b. Resiko sedang 10 – 100
c. Resiko tinggi 100 – 1000
dijelaskan sebelumnya bahwa untuk perancangan bangunan digunakan parameter gelombang
yang dibangkitkan oleh angin maksimum. Parameter gelombang representatif yang dibangkitkan
oleh angin maksimum dapat berupa tinggi dan periode gelombang maksimum (H max dan Tmax),
tinggi dan periode gelombang 10% (H0,1 dan T0,1), tinggi dan periode gelombang rata-rata (H 0,5
dan T0,5), tinggi dan periode gelombang signifikan atau 33% (Hs dan Ts) dan lain-lain,
tergantung keperluan. Dengan mengelompokkan hasil ramalan gelombang (tinggi dan periode
signifikan) berdasarkan arahnya, maka diperoleh hasilnya seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.7. Tinggi dan periode gelombang signifikan maksimum tahunan untuk berbagai arah
datangnya.

Tahun Ke H T

SW S SE SW S SE
1.55
1 8 1.585 1.294 5.314 5.157 4.874
1.93
2 9 1.491 1.558 5.883 5.021 5.314
2.77
3 4 1.675 1.428 6.951 5.283 5.102
0.00
4 0 1.428 1.762 0.000 5.102 5.403
0.00
5 0 1.814 1.762 0.000 5.703 5.403
0.00
6 0 0.000 2.010 0.000 0.000 5.726
0.00
7 0 2.010 2.423 0.000 5.726 6.527
1.81
8 4 1.675 0.000 5.703 5.283 0.000
0.87
9 5 2.166 2.541 4.063 5.917 6.673
1.29
10 4 1.847 1.428 4.874 5.516 5.102
0.00
11 0 1.675 1.428 0.000 5.283 5.102
1.81
12 4 1.930 2.062 5.703 5.703 6.054

Selanjutnya tinggi dan periode gelombang signifikan pada Tabel 3.7 diurutkan dari yang
terbesar ke yang terkecil dan dengan menggunakan Persamaan 3.16 sampai 3.21, maka diperoleh
tinggi dan periode gelombang di laut dalam dengan kala ulang 25 tahun serta merupakan tinggi
dan periode gelombang representastif dan selanjutnya digunakan untuk analisis selanjutnya.
Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut ini. Perhitungan yang lengkap tentang
tinggi dan periode gelombang laut dalam dengan kala ulang 25 tahun dari setiap arah dapat
dilihat pada lampiran .
Tabel 3.8. Tinggi dan periode gelombang laut dalam dengan kala ulang 25 tahunan
No Arah Ho (m) To ( dtk)
7.8982993
1 Barat Daya (SW) 2.9189946 1
2.2976813
2 Selatan (S) 6 5.2099034
2.8168298 5.6721727
3 Tenggara (SE) 1 5

Dari Tabel 3.8 diperoleh bahwa tinggi dan periode gelombang yang paling besar adalah dari arah
Barat Daya (2.91 m dan 7,89 detik) disusul arah Tenggara (2,81 m dan 5.67 detik), arah Selatan
(2,29 m dan 5.2 detik ).

3.7. Gelombang Pada Surf Zone


Berdasarkan gelombang di laut dalam, selanjutnya dilakukan perhitungan tinggi
gelombang di lokasi studi atau biasa disebut gelombang rencana. Dalam perhitungan tinggi
gelombang rencana diperhitungkan adanya proses refraksi dan shoaling, dalam perambatan
gelombang dari laut dalam ke pantai. Gelombang rencana pada masing-masing lokasi berbeda-
beda sebab sangat dipengaruhi oleh letak bangunan dari garis pantai atau kedalaman air di depan
kaki bangunan. Dalam penentuan gelombang rencana dilakukan perhitungan gelombang pecah
berdasarkan kedalaman air d dan tinggi gelombang datang. Tinggi gelombang pecah didekati
dengan Hb = 0,78 d. Dari hasil perhitungan tinggi gelombang pecah selanjutnya dibuatkan grafik
Hb dengan d. Di samping itu juga tinggi gelombang yang dipengaruhi dengan refraksi dan
shoaling H(Kr,Ks) dihitung dengan H(ks,Kr) = Ks.Kr Ho dan dibuatkan grafik hubungan antara
tinggi gelombang tersebut dengan kedalaman pada grafik yang sama dengan grafik hubungan
antara kedalaman dengan tinggi gelombang pecah. Untuk menghitung koefisien shoaling
digunakan formula berikut (SPM, 1984) :


1 1
K s=
tanh ( 2 πd /L )
[ 1+
4 πd / L
]
sinh ( 4 πd / L ) .................................... (3.22)
Dalam perhitungan koefisien refraksi kontur pantai dianggap sejajar, sehingga berlaku
persamaan berikut ini :
K r=
√ cos α 0
cos α 1 ......................................................................... (3.23)

Sinα1 = (C1/Co)Sin α0
C1 = (gd)2
Co = 1,56To2
C1 = Kecepatan gelombang pada kedalaman titik 1 (dipantai)
Co = kecepatan gelombang pada laut dalam
α0 = sudut antara puncak gelombang datang dengan garis pantai
α1 = sudut antara puncak gelombang yang meninggalkan titik 1 terhadap garis
pantai
T = Periode gelombang

Dalam perhitungan koefisien shoaling dilakukan pada beberapa perubahan kedalaman


laut. Sedangkan untuk perhitungan koefisien refraksi disamping dilakukan pada beberapa
kedalaman juga dilakukan pada beberapa arah gelombang datang (Barat Daya, Selatan,
Tenggara). Panjang gelombang dihitung dengan rumus berikut.

( )
2
gT 2 πd
L= tanh
2π L .....................................................................(3.24)
Persamaan 3.24 di atas pada ruas sebelah kanan dan kiri ada variabel L, maka untuk
mendapatkan nilai L dilakukan cara iterasi ( lihat lampiran .). Sedangkan perhitungan koefisien
shoaling Ks dan koefisien refraksi Kr untuk gelombang yang dibangkitkan oleh angin maksium
dapat dilihat pada lampiran.
Dengan menggunakan nilai koefisien shoaling dan koefisien refraksi, serta tinggi dan periode
gelombang laut dalam seperti pada Tabel 3.8, dapat diperoleh grafik hubungan antara tinggi
gelombang H =0,78.d dengan kedalaman d serta hubungan antara tinggi gelombang datang
H(Ks, Kr) dengan kedalaman untuk berbagai arah gelombang datang (Gambar 3.6).

20.000

18.000

16.000

14.000
13.104
12.000
H (0.78d)
8.000

6.000 6.084

4.000 3.744
3.469
2.909
2.674 2.639 2.674 2.642
2.000 2.184
1.404
0.000
0 1.9 3.8 5.7 7.6 9.5 11.4 13.3 15.2 17.1 19

Gambar 3.6.a Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang
datang dari arah Barat Daya

Gambar 3.6.b Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang
datang dari arah Selatan
Gambar 3.6.c Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang
datang dari arah Tenggara

Berdasarkan Grafik pada Gambar 3.6.a sampai c, diperoleh nilai tinggi dan kedalaman
gelombang pecah pada saat gelombang merambat dari berbagai arah seperti Tabel 3.9

Tabel 3.9. Tinggi dan kedalaman gelombang pecah berdarakan arah gelombang datang
Arah Hb (m) db (m)
Barat Daya 3.46 4.8
Selatan 2.18 4.8
Tenggara 2.18 2.8
BAB IV
UKURAN UTAMA KAPAL
2.1 Jenis Kapal
Pada perencanaan ini jenis kapal yang dilayani adalah kapal general cargo,kapal
penumpang. Kapal general cargo digunakan untuk mengangkut muatan umum yang terdiri dari
bermacam-macam barang yang dibungkus dalam peti, dan karung. Kapal jenis ini antara lain :
1. Kapal yang membawa peti kemas yang sudah distandarisasi. Berat masing-masing
peti kemas antara 5 ton sampai 40 ton.
2. Kapal dengan bongkar muat secara horizontal untuk transport truk, mobil dsb.

2.2 Ukuran Utama dan berat Kapal


Ukuran utama dan berat kapal yang akan dijadikan sebagai acuan untuk merencanakan
pelabuhan barang ini diperoleh dengan mengambil data kapal maximum. Untuk kapal dengan
DWT 11500 ton, ukuran kapal yang dijadikan sebagai acuan untuk perencanaan adalah sebagai
berikut :
Tabel.4.1
Nama Kapal GT NT DWT LOA LBP B H T V
Dasa Delapan 7236 4377 11406 125,3 116,16 20 10,7 8,93 13,6
Otong Kasasih 7451 2344 11196 114,5 109,4 18 10 6,03 12
Sumber : Register Biro Klasifikasi Imdonesia 2002
o Untuk kapal dengan DWT 11500 ton,. Ukuran (dimensi) kapal yang direncanakan setelah
mengambil data kapal maximum adalah sebagai berikut:
Jenis Kapal : Cargo Ship
Nama Kapal : Dasa Delapan
DWTR(Dead Weight Tonage) : 11500 ton
LbpR (Length between perpendicular) : 116.16 m
LoaR (Length overall) : 125.30 m
BR (lebar kapal) : 20.00 m
HR (tinggi kapal) : 10.70 m
dR (sarat kapal) : 8.93 m
VsR (kecepatan kapal) : 13.60 m/s

Untuk kapal dengan DWT 3800 ton, ukuran kapal yang dijadikan sebagai acuan untuk
perencanaan adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2
Nama Kapal GT NT DWT LOA LBP B H T V
Caraka Niaga III 3257 1337 3650 94,74 90,04 13,93 7,65 5,39 12
Kencana 2437 1337 3566 91,91 84 11,65 5,94 5,85 10,80
Sumber : Register Biro Klasifikasi Imdonesia 2002
o Untuk kapal dengan DWT 3800 ton, ukuran (dimensi) kapal yang direncanakan setelah
mengambil data kapal maximum adalah sebagai berikut:
Jenis Kapal : Cargo Ship
Nama Kapal : KM. TAKARI IV
DWTR(Dead Weight Tonage) : 3800 ton
LbpR (Length between perpendicular) : 90.04 m
LoaR (Length overall) : 94.74 m
BR (lebar kapal) : 13.93 m
HR (tinggi kapal) : 7.65 m
dR (sarat kapal) : 5.85 m
VsR (kecepatan kapal) : 12 m/s

Loa

H
d

AP FP
Lbp

LWL
Gambar 4.1 Kapal Tampak Samping

H
d

seabed

Gambar 4.2 Mid Ship


BAB V
ALUR PELAYARAN

A. Pendahuluan

Alur Pelayaran digunakan untuk mengarahkan kapal yang akan masuk ke kolam
pelabuhan. Alur pelayaran dan kolam pelabuhan harus cukup tenang terhadap pengaruh
gelombang dan arus. Dalam perjalanan masuk ke pelabuhan melalui alur pelayaran, kapal
mengurangi kecepatannya sampai kemudian berhenti di dermaga. Secara umum ada beberapa
daerah yang dilewati kapal menuju pelabuhan, yaitu daerah tempat kapal melempar sauh di luar
pelabuhan, daerah pendekatan di luar alur masuk, alur masuk di luar pelabuhan dan kemudian di
dalam daerah terlindung, dan kolam putar.

B. Kedalaman Alur

Untuk mendapatkan kondisi operasi yang ideal kedalaman air di alur masuk harus cukup
besar untuk memungkinkan pelayaran pada muka air terendah dengan kapal bermuatan penuh.
Dalam buku “Pelabuhan” oleh Bambang Triatmodjo hal. 112 diberikan persamaan untuk
menghitung kedalaman alur sebagai berikut :

H=T+G+R+P+S+K

Dimana :
H: Kedalaman air total.
T: Draft kapal (8.93 m) dengan angka koreksi minimum sebesar 0,3, sehingga :
d = 0,3 + 8.93 = 9.23 m.
G: Gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat
R: Ruang kebebasan bersih
P: Ketelitian pengukuran
S: Pengendapan antara dua pengerukan
K: Toleransi pengerukan

Gambar 3.1 Kedalaman Alur Pelayaran

 Squat
Permanent International Association of Navigation Congresses (PIANC, 1997)
mendaftar 3 persamaan untuk memprediksi squat kapal yang dapat digunakan untuk
pembuatan alur pelayaran, yaitu Huuska (1976), Barrass (1979, 1981), dan Romisch
(1989). Squat kapal merupakan fungsi kedalaman angka Froude FR, dinyatakan sebagai,

V
R = √
gh
F

dimana V merupakan kecepatan relatif kapal (m/s), g adalah kecepatan gravitasi (m/s 2),
dan h adalah kedalaman air (m). Persamaan untuk memprediksi squat kapal oleh
Huuska (1976) sebagai berikut

F
s Δ r2
S b =2,4 Ks
Dimana
Lpp2 √ 1−F r2
Δ = volume displasmen kapal (m3) = Cb*Lwl*B*T
T = sarat kapal (m)
B = lebar kapal (m)
Cb = koefisien blok kapal
Lwl = panjang kapal pada garis air (m)
(Charleston Harbor Ship Motion Data Collection and Squat Analysis, Hal.7-8)

 Ketelitian pengukuran tergantung pada alat ukur yang digunakan, faktor lingkungan yang
mempengaruhi pengukuran seperti arus, gelombang, dan pasang surut. Dalam
perencanaan ini nilai ketelitian pengukuran sebesar 15 cm
 Besarnya endapan antara dua pengerukan tergantung pada transpor sedimen yang terjadi
dalam area pelabuhan. Misalnya pengerukan akan dilakukan setiap 10 tahun dimana
dalam satu tahun tinggi endapan yang terjadi sebesar 10 cm, maka untuk 10 tahun ke
depan tinggi endapan sebesar 1 m.
 Toleransi pengerukan tergantung dari alat keruk yang digunakan. Dalam buku Criteria
for the Depths of dredged Navigational Channels (1983) besarnya toleransi pengerukan
umumnya sebesar 2 feet atau 0,6 m.
Dalam buku “Pelabuhan” oleh Bambang Triatmojdo hal. 113 pada gambar 3.1
diasumsikan bahwa :
 Ruang kebebasan bruto = G + R
Dimana :
G = gerak vertikal kapal
R = ruang kebebasan bersih
Menurut Brunn (1981), bahwa nilai kebebasan bruto sebagai berikut :
 Di laut yang mengalami gelombang besar, kecepatan kapal besar ruang kebebasan
bruto sebesar 20% dari draft kapal, sehingga :
20% x 9,23 = 1,846 meter
Kedalaman alur = 9.23 + 1,846 + 0,15 + 1 + 0,6
= 12.826 meter
 Di tempat kapal melempar sauh di mana gelombang besar ruang kebebasan bruto
sebesar 15% dari draft kapal, sehingga :
15% x 9.23 m = 1,38 meter

Kedalaman alur = 9.23 + 1,38 + 0,15 + 1 + 0,6


= 12.36 meter
 Alur di luar kolam pelabuhan, gelombang besar ruang kebebasan bruto sebesar
15% dari draft kapal, sehingga :
15% x 9.23 m = 1.38 meter
Kedalaman alur = 9.23 + 1,38+ 0,15 + 1 + 0,6
= 12.36 meter

 Alur yang tidak terbuka terhadap gelombang, ruang kebebasan bruto adalah 10%
dari draft kapal, sehingga :
10% x 9.23 m = 0.923 meter
Kedalaman alur = 9.23+ 0.923 + 0,15 + 1 + 0,6
= 11.87 meter
C. Lebar Alur
Lebar alur biasanya diukur pada kaki sisi-sisi miring saluran atau pada kedalaman
yang direncanakan. Lebar alur tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a. Lebar, kecepatan, dan gerakan kapal
b. Trafik kapal, apakah alur yang direncanakan untuk satu atau dua jalur
c. Kedalaman alur
d. Apakah alur sempit atau lebar
e. Stabilitas tebing alur
f. Angin, gelombang, arus, dan arus melintang dalam alur

Dalam perencanaan ini digunakan lebar alur untuk dua jalur . Dimensi alur yang
direncanakan sebagai berikut :
Lebar alur = 1,5 B + 1,8 B + B + 1,8 B +1,5 B
= 7,6 B
= 7,6 (20 m) = 152 m
Dengan rincian perencanaan sebagai berikut :
 Lebar keamanan (kanan) = 1,5B
 Jalur gerak = 1,8B
 Lebar Keamanan antar kapal = 1,0

D. Alur pada Belokan


Dalam alur pelayaran juga terdapat belokan. Belokan tersebut harus berupa kurva
lengkung. Jari-jari busur pada belokan tergantung pada sudut belokan terhadap sumbu alur.
Apabila arus melintang tidak ada dan kecepatan berkisar 7 dan 9 knot, jari-jari minimum
untuk kapal yang membelok tanpa bantuan kapal tunda adalah sebagai berikut :
1. R > 3Loa untuk α < 25°
2. R > 5Loa untuk 25° < α < 35°
3. R > 10Loa untuk α > 35°
dengan : R : jari-jari belokan
Loa : panjang kapal
α : sudut belokan
Untuk belokan alur yang direncanakan dipilih :
R > 3Loa untuk α < 25°
Loa = 125.30 meter
R > 3 Loa
R = 375.9 meter
Untuk sudut belokan dipilih α = 27°

3.5 Kolam Pelabuhan

Kolam pelabuhan yang direncanakan harus mempunyai luas dan kedalaman yang cukup,
sehingga memungkinkan kapal berlabuh dengan aman dan memudahkan bongkar muat, selain itu
suasana kolam pelabuhan juga harus tenang untuk menunjang proses bongkar muat barang.
 Kolam putar

Luas kolam putar yang digunakan untuk mengubah arah kapal dengan menggunakan
bantuan kapal tunda atau jangkar minimum adalah luasan lingkaran dengan jari-jari (r) 1
kali panjang kapal total (Loa) dari kapal terbesar yang menggunakannya.
Maka diperoleh :
r = 1,5 x Loa
= (1,5 x 125,3) m
= 187,95 m

Luas kolam putar (L)


L =  r2
= 3,14 x (187.95)2
= 110921,13 m2
Diameter Kolam Putar (D) :
D = 2r
= 2 x 110921,13 m
= 221842.26 m.
(Bambang Triatmojdo, Pelabuhan, Hal. 121
)
 Kedalaman Kolam Pelabuhan
Kedalaman kolam pelabuhan adalah 1,1 kali draft kapal pada muatan penuh dibawah
elevasi muka air rencana, dengan memperhitungkan gerak osilasi kapal karena pengaruh
alam seperti gelombang, angin, arus dan pasang surut.
Kedalaman kolam = 1,1 x T
= (1,1 x 8.93) m
= 9.8 m
 Lebar Mulut Pelabuhan

Lebar mulut pelabuhan tergantung pada ukuran pelabuhan dan kapal-kapal yang
menggunakan pelabuhan dengan rincian sebagai berikut :

 Lebar mulut pelabuhan kecil :100 meter


 Lebar mulut pelabuhan sedang :100 - 160 meter
 Lebar mulut pelabuhan besar :160 - 260 meter
Dalam perencanaan ini, pelabuhan direncanakan berukuran sedang, sehingga dapat
ditentukan lebar mulut pelabuhan rancangan yaitu 130 meter.
(Bambang Triatmodjo, PELABUHAN, hal.41)
BAB V
PERENCANAAN DERMAGA

5.1 Pemilihan Tipe Dermaga

Dermaga adalah prasarana pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan


menambatkan kapal yang melakukan aktifitas pelabuhan seperti menaik-turunkan penumpang,
melakukan bongkar muat barang dan sebagainya. Terdapat dua jenis dermaga, yaitu Wharf dan
Pier. Wharf adalah dermaga yng dibuat sejajar dengan garis pantai, sekaligus berfungsi sebagai
penahan tanah yang ada dibelakangnya. Pier/Jetty adalah dermaga yang dibangun menjorok ke
laut dan dilengkapi dengan trestle/jembatan penghubung dari dermaga ke daratan.
Apron adalah derah/halaman dermaga yang dapat digunakan untuk menempatkan barang-
barang selama menunggu pengapalan atau angkutan kedarat.Gudang adalah area yang terletak
dibelakang dermaga untuk menyimpan barang-barang yang harus menunggu pengapalan atau
menunggu pendistribusian barang ke darat, sedang lapangan penumpukan adalah untuk
meletakkan barang yang tidak disimpan di gudang.
Gudang terdiri dari :
1. Gudang Lini I
Yaitu gudang yang digunakan sebagai penempatan barang sementara (baik
bongkar/muat). Gudang ini terletak dekat apron untuk memudahkan proses bongkar muat
2. Gudang Lini II
Yaitu gudang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan barang dalam jangka waktu
lama, untuk kepentingan tertentu misalnya stabilisasi harga, kondisi pasar dan
sebagainya.
5.2 Ukuran Dermaga
5.2.1 SPanjang Dermaga
Rumus umum panjang dermaga :
Lp = n Loa + (n-1) 15,00 + 50,00
Dengan Lp = panjang dermaga
N = jumlah kapal yang ditambat
Loa = panjang keseluruhan kapal yang ditambat
o Panjang dermaga I melayani 1 kapal
Lp2 = 1 (125,3) + (1-1) 15 + 50
= 175.3 m
o Panjang germaga II melayani 3 kapal

Lp1 = 3 (94,74) + (3-1) 15 + 50

= 364.22 m

5.2.2 Lebar apron


Ukuran-ukuran minimum untuk apron dan area lainnya pada dermaga adalah sebagai
berikut :
- apron depan : min. 3,0 m

- lebar gudang : min. 60,0 m

- apron belakang : min. 3,0 m

- tempat bongkar muat (truk) : min 12,0 m

- lebar jalan : min. 8,0 m


Tabel 5.1
a (m) e (m)
6,0 15,0
7,8 12,6
9,0 10,5
10,8 9,0
12,9 7,5
Lebar apron direncanakan untuk dua jalur kendaraan dan satu kran tambatan yaitu a = 9 m.
Menurut Bambang Triatmodjo dalam buku Pelabuhan hal. 236,
Ukuran gudang laut untuk kapal dengan DWT = 3800 ton adalah :
Jumlah muatan yang harus dilayani = 3DWT = 3 x 3800 = 11.400 ton
Jumlah muatan yang akan disimpan dalam gudang
= 80%.muatan yg dilayani
= 80%. 11.400 = 9.120 ton
misalkan tiap m3 beban memiliki berat 1,5 ton maka;
9.120
=
Volume penyimpanan gudang = 1,5 6080 m3
Jika barang ditumpuk setunggi 4 meter maka;
6080
=
Luas gudang bersih(netto) = 4 1520 m2
Ruang yang hilang akibat penumpukan barang = 25% x 1520 = 380 m2
Luas gudang yang diperlukan = 1520+ 380 = 1900 m2
Ruang untuk keperluan lalu lintas alat angkut = 50%.1900 m2 = 950 m2
Sehingga;
Luas bangunan gudang untuk tiap kapal
A1 = Luas gudang yang diperlukan + Ruang untuk keperluan lalu lintas alat angkut
= 1900 + 950 = 2850 m2

5.2.3 Panjang gudang (line 1)


d = (Lp-(n+1)e)/n
Dengan; d = Panjang gudang (m)
Lp = Panjang dermaga (m)
e = Lebar jalan/Jarak antar kapal
n = Banyaknya kapal yang bertambat
Dengan Lp1 = 364.22 m; e = 10,5 m.
( 364 . 22−4 . 10 ,5 )
d1 = 3 = 107.40 m
5.2.4 Lebar Gudang (line 1)
Lebar gudang ditentukan dengan mengambil nilai lebar minimum gudang yang
disyaratkan. Dengan demikian dapat dihitung luas gudang
A = d x b(m2)
Lebar gudang minimum yang disyaratkan yaitu = 60 m. Direncanakan lebar gudang
adalah b = 70 m. Sehingga dengan demikian dapat dihitung luas gudang sebesar :
A=dxb
b=A/d
b1 = 2850 / 107.40 = 26.53 m

25 Loa 15 Loa 15 Loa 15 Loa 25

e e

e. Gudang Line 2
Pada pelabuhan rancangan ini, direncanakan gudang line 2 sebanyak 3 buah dengan luas A 1 =
2850 m2 (d1 = 166.36 m; b1 = 17.1 m)
f. Lapangan Penumpukan (Terbuka)
Luas Lapangan Terbuka = 20% x luas total gudang line 1
Luas total gudang line 1 = 3.A1 = 3.2850= 8550 m2
Jadi luas lapangan terbuka = 20% x 8550= 1710 m2
C. Gaya - gaya yang Bekerja Pada Dermaga
Gaya – gaya yang bekerja pada dermaga dapat dibedakan menjadi gaya lateral dan
vertical. Gaya lateral meliputi gaya benturan kapal pada dermaga, gaya tarikan kapal dan
gaya gempa; sedangkan gaya vertical adalah berat sendiri bangunan dan beban hidup.
1. Gaya Lateral
a. Gaya benturan Kapal Pada Dermaga
Gaya benturan pada kapal mengakibatkan energi benturan yang harus diterima sistem
fender di dermaga. Besarnya gaya benturan ini adalah :

WV 2 CmCeCsCc
E=
2g
Dimana :
1
W πd Ce=
Cb= Cm=1+ l
LWLγ 0 BD ; 1+( )2
2 CbB ; r

Dengan :
E : energi benturan (ton meter)
V : komponen tegak lurus sisi dermaga dari kecepatan kapal pada saat
membentur dermaga (m/d)
W : displacement (berat) kapal
g : percepatan gravitasi
Cm : koefisien massa
Ce : koefisien eksentrisitas
Cs : koefiien kekerasan (diambil 1)
Cc : koefisien bentuk dari tambatan (diambil1)
Cb : koefisien blok kapal
d : draft kapal (m)
B : lebar kapal (m)
Lwl : panjang garis air
Lwl = 1.025 x Lbp
= 1.025 x 116,16
= 119,064 m
0 : berat jenis air laut (1,025 ton/m3)
l : untuk dermaga ¼ Loa

Tabel kecepatan merapat kapal pada dermaga


Ukuran Kapal Kecepatan merapat di Kecepatan merapat di laut
(DWT) Pelabuhan (m/s) terbuka (m/s)
Sampai 500 0,25 0,3
500 – 10.000 0,15 0,2
10.000 – 30.000 0,15 0,15
Di atas 30.000 0,12 0,15

Berdasarkan tabel diatas untuk DWT 2700 & 11500 ton diperoleh kecepatan merapat
dipelabuhan 0,15 m/s
16631.56
Cb = 119,064 x1,025x 20 x10,7 = 0,64
3,14 x 10,7
1+
Cm = 2 x0 ,76 x20 = 1,84
1
2
Ce = 1+ ( 0 ,23 ) = 0,924
2
16631.56 x ( 0,15 )
1,84 x 0,924 x1x 1
Jadi besarnya E = 2x 9,81 = 32.33 ton meter

b. Gaya akibat angin


Angin yang berhembus ke badan kapal yang ditambatkan akan menyebabkan gerakan
kapal yang bisa menimbulkan gaya pda dermaga. Apabila arah angin menuju dermaga, maka
gaya tersebut berupa gaya benturan pada dermaga. Jika arahnya meninggalkan dermaga, maka
gayanya beruipa gaya tarik pada alat penambat. Besarnya gaya angin tergantung arah hembusan
angin dan dapat dihitung melalui :
a. Gaya Longitudinal apabila angin datang dari arah haluan (=00)
Rw = 0,42 QaAw
b. Gaya Longitudinal apabila arah angin datang dari arah buritan (=1800)
Rw= 0,5 Qa Aw
c. Gaya Lateral apabila angin datang dari arah lebar (= 900)
Rw = 1,1 Qa Aw
Qa = 0,063 V2

Dengan : Rw= Gaya akibat angin (kg)


Qa = Tekanan angin (kg/m)
V = Kecepatan angin (m/s)
Aw= Proyeksi bidang yang tertiup angin (m2)
QA = 0,063V2
= 0,063 ( 7,71)2 = 3,744 kg/m2
 Bidang tangkap angin lambung kapal yang tidak terendam air diasumsikan
bujur sangkar sehingga : Aw1 = Lbp x 1,18 = 116,16 x 1,18 = 137,06 m2
 Bidang tangkap angin dari bangunan atas diasumsikan 50%Aw1 = 68,53 m2

Sehingga :
Aw = Aw1 + Aw2
= 137,06 + 68,53 = 205,59 m2
Maka : Rw = 1,1Qa x Aw
= 1,1 x 3,744 x 205,59 = 846,701 kg = 0,846 ton

c. Gaya akibat arus kapal

Besarnya gaya arus yang bekerja pada bagian kapal yang terendam air adalah:
1. Gaya Tekanan karena arus yang bekerja dalam arah haluan
Rf = 0,14 S V2
Dimana :
Rf = gaya akibat arus (ton)
ρ = rapat massa air laut = γ/g = 1,025/9,81 = 0,1045 t/m3
V = kecepatan arus (diasumsikan = 0,5 m/d)
B’ = Luas sisi kapal di bawah muka air laut (m2 )
C = Koefisien tekanan arus = 1,2
2. Gaya tekanan karena arus bekerja pada arah sisi kapal
Rf = ½ CV2B
3. gaya kapal pada dermaga
Untuk menghitung gaya tarikan kapal pada dermaga akibat arus dan angin, digunakan
metode tabel dari OCDI yaitu :
1. Gaya tarikan kapal pada bollard diberikan pada tabel 4.2
2. Gaya tarikan pada bitt pada tabel 4.2

Tabel 5.2
Gaya Tarik pada bollard
Bobot kapal (GRT) Gaya Tarik pada bitt (ton)
(ton)
200-500 15 15
501-1000 25 25
1001-2000 35 25
2001-3000 35 35
3001-5000 50 35
5001-10.000 70 50 (25)
10.001-15.000 100 70(25)
15.001-20.000 100 70 (35)
20.001-50.00 150 100 (35)
50.001-100.00 200 100 (50)
Cat : Nilai dalam kurung adalah untuk gaya pada tambatan yang dipasang disekitar kapal yang
mempunyai tidak lebih dari 2 tali pengikat
 Gaya tekanan karena arus yang bekerja dalam arah sisi kapal
Rf = ½ x 0,1045 x 1,2 x (0,5)2 x (116,16 x 8,93)
= 16,25 ton
= 1625 kg
 Gaya tekanan karena arus yang bekerja dalam arah haluan
Rf = 0,14SV2
= 0.14 ( Lbp x T ) 0,5 = 0,14 (116,16 x 8,93) x 0,5
= 72 kgf
d. Gaya tarikan kapal pada dermaga
Untuk GRT 11.500 ton sesuai tabel 4.2 maka ;
 Gaya tarikan kapal pada bollard
Gaya horizontal sebesar : 100 ton
Gaya vertikal sebesar : 0,5 x 100 = 50 ton
 Gaya tarikan kapal pada bitt
Gaya yang bekerja dalam semua arah sebesar 70 ton.
Maka gaya lateral yang bekerja pada dermaga sebesar :
 Gaya lateral = 6 ( 0,846 + 100 ) = 605,076 ton
 Gaya vertikal = 6 ( 50+ 11500 ) = 69300 ton
BAB VI
PEMBUATAN GAMBAR

2 1
PELABUHAN ASDP
KAB. SORONG

3 KETERANGAN :
1. POS PENJAGAAN
2. KAMAR MANDI
3. KANTOR PERHUBUNGAN
4 4. TEMPAT SANDAR KAPAL
KECIL
5. POS PENJAGAAN
6. JEMBATAN
7. ROOM DOOR
A 8. TEMPAT PENGIKAT TALI
KAPAL
8 9. KAPAL
5

7 6
9

A
B
POTONGAN A-A

KETERANGAN :
1. KAPAL SANDAR
2. TIANG
DERMAGA/TIANG
PENGAIT KAPAL
3. ROOMDOOR
4. JEMBATAN
5. POS PENJAGAAN

5
1 3

2 2 2 2 2

POTONGAN B-B
KETERANGAN :
1. TIANG
DERMAGA/TEMPAT
PENGIKAT TALI KAPAL
2. KAPAL

1 1
DAFTAR PUSTAKA

Briggs, Michael J. dkk., 2004 , Charleston Harbor Ship Motion Data Collection and Squat
Analysis, US Army Corps of Engineers

Gaythwaite, John W., 1990, Design of Marine Facilities for Berthing, Mooring, and Repair of
Vessel, Van Nostrand Reinhold, New York.

Kramadibrata S., 1985, Perencanaan Pelabuhan, Ganeca Exact Bandung.

Poels H., Ship Design and Ship Teori,

Sutioso I.G.M. ,dkk, Teori Bangunan Kapal I

Triatmodjo B., 1996,Pelabuhan, Beta Offset, Yogyakarta.

Triatmodjo B., 1996,Teknik Pantai, Beta Offset, Yogyakarta.


DAFTAR NOTASI

DWT = Dead Weight Tonnage (ton)


Loa = Length over all (meter)
Lbp = Length between perpendicular (meter)
B = Lebar kapal (Breadth) (meter)
T = Sarat kapal (meter)
H = Tinggi kapal (meter)
v = Kecepatan kapal (knots)
Lp = Panjang dermaga (meter)
n = Jumlah kapal yang tambat
b apron = Lebar apron dermaga (meter)
d = Panjang gudang (meter)
e = Lebar jalan (meter)
A = Luas gudang (m2)
Ha = Kedalaman alur (meter)
G = Gerak vertikal kapal karena squat dan gelombang
R = Ruang kebebasan bersih
P = Ketelitian pengukuran
S = Pengendapan sedimen antara dua pengerukan
K = Toleransi pengerukan
r = Jari-jari kolam putar
L = Luas kolam pelabuhan
D = Diameter kolam putar

Anda mungkin juga menyukai