Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
( Perencanaan Pelabuhan)
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan suatu pelabuhan antara lain
adalah kebutuhan akan pelabuhan dan pertimbangan ekonomi volume perdagangan melalui laut
dan adanya hubungan dengan daerah pedalaman baik melalui darat maupun dari laut. Oleh
karena itu pelabuhan harus memenuhi beberapa persyaratan berikut :
Harus ada hubungan yang mudah antara transportasi darat dan pelabuhan seperti jalan
raya, truk, kereta, dan lain-lain, sehingga barang-barang dapat dengan mudah diangkut
dari dan ke pelabuhan dengan mudah dan cepat.
Pelabuhan berada dalam suatu lokasi yang mempunyai daerah belakang (hinterland)
yang subur dengan populasi penduduk yang cukup padat.
Pelabuhan harus mempunyai kedalaman air dan lebar alur yang cukup.
Kapal-kapal yang mencapai pelabuhan harus bisa membuang sauh selama menunggu
untuk merapat ke dermaga guna bongkar muat dan pengisian bahan bakar.
Pelabuhan harus mempunyai fasilitas bongkar muat barang (crane, dll) serta gudang-
gudang penyimpanan barang.
Pelabuhan harus mempunyai fasilitas untuk mereparasi kapal-kapal.
Pemilihan lokasi untuk membangun pelabuhan meliputi daerah pantai dan daratan.
Pemilihan lokasi tergantung dari beberapa faktor seperti kondisi tanah dan geologi, kedalaman
dan luas perairan, perlindungan pelabuhan terhadap gelombang, arus dan sedimentasi, daerah
daratan yang cukup luas untuk menampung barang yang akan dibongkar muat, jalan-jalan untuk
transportasi, dan daerah industi di belakangnya. Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap
penentuan lokasi pelabuhan adalah sebagai berikut :
Biaya operasi dan pemeliharaan, terutama pengerukan endapan di alur dan kolam
pelabuhan.
Keadaan topografi daratan dan bawah laut harus memungkinkan untuk membangun suatu
pelabuhan dan kemungkinan untuk pengembangan di masa mendatang. Daerah daratan harus
cukup luas untuk membangun suatu fasilitas pelabuhan seperti dermaga, jalan, gudang, dan juga
daerah industri. Kondisi geologi juga perlu diteliti mengenai sulit tidaknya melakukan
pengerukan daerah perairan dan kemungkinan menggunakan hasil pengerukan tersebut untuk
menimbun tempat lain.
2. Tinjauan sedimentasi
Pelabuhan harus dibuat sedemikian rupa sehingga sedimentasi yang terjadi harus
sesedikit mungkin. Proses erosi dan sedimentasi tergantung pada sedimen dasar dan pengaruh
hidrodinamika gelombang dan arus. Proses sedimentasi ini sulit ditanggulangi, oleh karena itu
masalah ini harus diteliti dengan baik untuk dapat memprediksi resiko pengendapan.
3. Tinjauan gelombang dan arus
Gelombang menimbulkan gaya-gaya yang bekerja pada kapal dan bangunan pelabuhan.
Untuk menghindari gangguan gelombang tersebut maka perlu dibuat bangunan pelindung pantai.
Tinggi gelombang dan kecepatan arus yang masuk di perairan pelabuhan nilainya harus sekecil
mungkin agar tidak mengganggu bongkar muat kapal di pelabuhan.
4. Tinjauan pelayaran
Pelabuhan yang dibangun harus mudah dilalui kapal-kapal yang akan menggunakannya.
Diharapkan bahwa kapal-kapal yang sedang memasuki pelabuhan tidak mengalami dorongan
arus pada arah tegak lurus sisi kapal. Demikian juga, sedapat mungkin kapal-kapal harus
memasuki pelabuhan pada arah sejajar dengan arah angin dominan. Gelombang yang
mempunyai amplitudo besar akan menyebabkan diperlukannya kedalaman saluran pengantar
yang lebih besar, karena pada keadaan tersebut kapal-kapal bergoyang naik turun sesuai dengan
fluktuasi muka air.
Oleh karena kegiatan di pelabuhan harus dilakukan secepat mungkin, maka pelabuhan
harus bisa memenuhi sejumlah fasilitas yang dapat menunjang seluruh pekerjaan di pelabuhan.
Fasilitas yang terdapat pada pelabuhan yang direncanakan dapat dikelompokkan dalam
dua bagian, yaitu:
2. Alur Pelayaran
Alur pelayaran adalah suatu daerah/jalur yang dilalui oleh kapal untuk masuk ke dalam
wilayah palabuhan. Alur pelayaran dibuat untuk memudahkan kapal memasuki wilayah
pelabuhan dengan aman, juga untuk menghilangkan kesulitan yang akan timbul karena
gerakan kapal ke atas (minimum ship manuver activity) dan gangguan alam. Perencanaan alur
pelayaran juga memperhatikan dimensi kapal yang akan dilayani, jumlah jalur, dan bentuk
lengkung alur
3. Kolam Pelabuhan
Kolam pelabuhan yang direncanakan harus mempunyai luas dan kedalaman yang cukup,
sehingga memungkinkan kapal berlabuh dengan aman dan memudahkan bongkar muat,
selain itu suasana kolam pelabuhan juga harus tenang untuk menunjang proses bongkar muat
barang.
Untuk luas kolam dengan tambatan pelampung,luas kolam putar yang digunakan untuk
mengubah arah kapal minimum adalah luasan lingkaran dengan jari-jari 1,5 kali panjang
kapal total (Loa). Apabila perputaran kapal dilakukan dengan bantuan jangkar atau kapal
tunda, luas kolam minimum adalah luas lingkaran dengan jari-jari sama dengan panjang total
kapal (Loa).
Dengan memperhitungkan gerak osilasi kapal karena pengaruh alam seperti gelombang,
angin, arus, dan pasang surut, kedalaman kolam pelabuhan adalah 1,1 kali draft kapal di
bawah elevasi muka air rencana.
4. Penahan/Pemecah Gelombang
Pemecah gelombang adalah sebuah bangunan pada pelabuhan yang berfungsi untuk
menahan atau meredam energi gelombang sehingga dapat melindungi kolam pelabuhan dari
gangguan gelombang yang besar. Biasanya pemecah gelombang dibangun dengan batuan
alam maupun batuan buatan seperti tetrapod, quadrypods, hexapod maupun dari bahan
caisson.
4. Bengkel pemeliharaan
Adalah fasilitas yang disediakan untuk memelihara dan merawat peralatan bongkar muat
dan peralatan lainnya yang berkaitan dengan operasional pelabuhan.
BAB II
KONDISI HIDRO OSEANOGRAFI
2.1. Angin
Pengetahuan tentang angin sangat penting karena angin menimbulkan arus dan
gelombang, dan angin dapat menimbulkan tekanan pada kapal dan bangunan pelabuhan.
Kecepatan angin dihitung dengan anemometer dan apabila tidak tersedia nemometer, maka
kecepatan angin dapat diperkirakan berdasarkan lingkungan dengan menggunakan skala
Beaufort. Apabila kecepatan angin bertambah besar, maka riak gelombang pun akan semakin
membesar, dan seterusnya sehingga terbentuk gelombang.
Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan, dipengaruhi oleh angin dengan
variabel kecepatan angin U, lama hembus angin D, arah angin dan fetch F (daerah dimana
kecepatan dan arah angin konstan). Distribusi kecepatan angin diatas permukaan laut terbagi
dalam tiga daerah sesuai dengan elevasi di atas permukaannya, yaitu :
Geostropik Region, berada pada lebih dari 1000 meter di atas permukaan air dengan
kecepatan angin konstan.
Ekman Region, berada antara elevasi 100 – 1000 meter
Relative Isobaric Region, berada antara elevasi 10 – 100 meter, dengan tekanan relatif
konstan.
Data angin diperoleh dari dosen mata kuliah Perencanaan Pelabuhan. Data angin tersebut
merupakan angin permukaan. Tipe data adalah data harian selama 5 tahun. Data terdiri dari data
kecepatan angin maksimum dan rata-rata dari berbagai arah datang angin (lihat lampiran).
Berikut adalah grafik pasang surut yang terjadi pada lokasi studi
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20 Grafik Pasut Sungai Kota Waringin
0.00
14 16 18 20 22 24 26 28 30 32
Gambar 2.1. Grafik pasang surut pada daerah Sungai Kota Waringin
Berdasarkan tabel di atas dapat diperoleh elevasi muka air tertinggi HWS dengan menggunakan
persamaan 2.4.
HWS = Zo + ( M2 + S2 + K1 + O1 )
HWS = 100 + ( 22 + 6 + 36 + 16 )
HWS = 180 cm = 1,8 m
2.3. Gelombang
2.3.1 Karakteristik dan Parameter Gelombang
Pada perairan terbuka, bentuk gelombang mendekati bentuk lengkung sinus (sinusoidal),
dimana arah perambatannya dinyatakan dengan sudut kemiringan terhadap arah angin. Gambar
berikut menggambarkan suatu gelombang yang berada pada sistem koordinat x-y, dengan
penjalaran gelombang arah x.
y λ
η (x,t)
H
y=-d
Beberapa notasi yang digunakan dalam perhitungan gelombang adalah sebagai berikut :
d : jarak antara muka air rerata dengan dasar laut.
η(x,t) : fluktuasi muka air terhadap muka air rerata.
a : amplitudo gelombang
H : tinggi gelombang (2a)
λ : panjang gelombang
T : periode gelombang, interval waktu yang diperlukan oleh partikel
air untuk kembali pada kedudukan yang sama dengan
kedudukan sebelumnya.
C : cepat rambat gelombang (λ/T)
k : bilangan gelombang (2/λ)
ω : frekuensi gelombang (2λ/T)
b. Orthogonal Method
Cara ini berdasarkan pada hukum Snellius, dan diperkenalkan oleh Arthur dkk. pada tahun
1952.
Sinα 1 C1 λ1
Sinα 2 = C 2 = λ2 (2.5)
dimana :
aa dan a2 : sudut antara garis kedalaman dengan puncak gelombang.
C1 dan C2 : kecepatan rambat gelombang di tempat yang ditinjau.
λ 1 dan λ 2 : panjang gelombang.
Gelombang yang memasuki perairan yang lebih dangkal ( dari d 1 menjadi d2) akan
berkurang kecepatan dan panjang gelombangnya dari C1dan λ1 menjadi C2 dan λ2. pada jarak
orthogonal sejauh x dan selang waktu T diperoeh sin a 1 = C1T/x dan sin a2 = C2T/x. Dengan
pembagian diperoleh persamaan 2.6, yaitu hukum Snellius. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat
gambar berikut ini :
Puncak Gelombang
Orthogonal
d1 > d2
C1 > C 2
λ1 λ1 > λ2
d1
1
2
d2
λ2
Dengan mengaplikasikan persamaan 2.6 di atas pada daerah pantai dengan kemiringan
yang landai, dimana a1 dan a2 menjadi sudut antara puncak gelombang dengan kontur kedalaman
pada titik yang berturutan, dan C1 dan C2 adalah kecepatan gelombang dimana a1 dan a2 diukur.
Jika gelombang mendekati pantai dengan kontur sejajar seperti terlihat pada gambar di atas,
maka :
Sin α 0 Sin α 1
= =x
L0 L1 (2.6)
dan jika kita pilih harga B0 dan B1 sedemikian sehingga panjang orthogonalnya l0 dan l1, maka
dapat diperoleh koefisien refraksi (KR)
K R=
√ √
B0
B1
=
Cos α 0
Cos α 1 (2.7)
K S=
√ n0 λ0
nλ (2.8)
Hi=K R .K S . H design (2.9)
λ0
β0
0 d/λ = 0,5
x λ1
man β1
1
PANTAI
Gambar 2.4. Refraksi gelombang pada kontur dasar laut lurus dan sejajar.
KD
r
θ β
λ
Rintangan
Pada proses difraksi ini kedalaman air dianggap sama. Namun pada umumnya di daerah
yang terlindung oleh penghalang, tinggi gelombang semakin berkurang.
Apabila gelombang bergerak melalui celah penghalang (barrier gap), maka proses difraksi
juga akan terjadi. Johnson (1952) menunjukkan suatu diagram yang dapat digunakan untuk
memperkirakan nilai K’ pada gelombang yang melalui celah. Jika lebar celah lebih dari lima kali
panjang gelombang yang datang, maka perhitungan koefisien difraksi dapat dilakukan secara
terpisah seperti cara terdahulu, yaitu dengan menganggap kedua penghalang sebagai penghalang
individual. Jika gelombang yang datang mendekati celah ini membentuk sudut terhadap
penghalang, maka perhitungan dilakukan dengan menggunakan lebar celah maya (imaginary gap
width) seperti pada gambar 2.6.
Celah
Rintangan Rintangan
Lebar Celah
Imajiner
BAB III
ANALISA DATA LINGKUNGAN
Agar dapat melakukan perecanaan bangunan yaitu dalam penentuan letak gelombang
pecah dan perhitungan volume pekerjaann serta penentuan tinggi bangunan, maka kontur
bathymetri dan topografi harus diketahui. Guna mendapatkan data topografi dan bathymetri,
maka pada lokasi studi dilakukan pengukuran bathymetri dan topografi.
Data angin tersebut merupakan angin permukaan. Tipe data adalah data harian selama 5
tahun yang terdiri dari data kecepatan angin maksimum dan rata-rata dari berbagai arah
( lihat lampiran . ).
Data angin dalam satuan knot di konversi ke satuan m/s (1 knot = 0,5144m/s),
selanjutnya dilakukan perhitungan tegangan gesek angin UA. Adapun langkah-langkah
menghitung tegangan gesek angin UA adalah sebagai berikut :
1. Apabilah data angin dalam satuan knot, maka dikonversi terlebih dahulu ke m/s (1 knot =
1,852 Km/jam = 0,5144 m/s).
2. Konversi data kecepatan angin menjadi data angin pada ketinggian 10 m dengan
menggunakan persamaan berikut :
( )
1/7
10
U (10)L=U ( y)
y .......................................................(3.1)
dimana :
U(10)L = kecepatan angin pada ketinggian 10 meter di atas tanah
(land)
U(y) = keceptan angin pada ketinggian y meter
y = ketinggian pengukuran
3. Koreksi perbedaan temperatur antara laut dan darat, dengan menggunakan grafik pada
Gambar 3.1. Apabila tidak ada data temperatur, maka faktor koreksi RT dapat ambil 1,1.
Dengan demikan, kecepatan angin terkoreksi UL menjadi :
U L=RT .U (10)L ......................................................... (3.2)
4. Transformasi kecepatan angin di darat UL menjadi data pengukuran angin di laut Uw,
dengan menggunakan grafik pada Gambar 3.1. dengan Demikian kecepatan angin untuk
peramalan gelombang adalah :
U w =RT . R L .U (10) ............................................................... (3.3)
Dengan RL adalah koreksi pencatatan angin yang dilakukan di darat. Apabila anemometer
diletakkan di pantai, maka data angin tidak perlu dikoreksi lagi sehingga RT = 1, namun
koreksi akibat adanya perbedaan temperatur tetap digunakan. Untuk lebih mempermudah
analisis, maka grafik pada gambar 3.1. diukur absis dan ordinatnya kemudian dibuatkan
persamaan garis regresi untuk memperoleh RL dan diperoleh :
R L=2 , 66107. U
L−0 .36649 .............................................(3.4)
R2 = 0,9986
Dengan demikian
U w =2 ,93 .U
L−3 ,6649 .................................................(3.5)
5. Konversi kecepatan angin pada point 4 menjadi tegangan angin UA seperti berikut :
U A =0 ,71 U
W 1 , 23 ......................................................................(3.6)
Gambar 3.1. Faktor koreksi angin terhadap stabilitas suhu
Gambar 4.1. Prediksi kenaikan muka air laut akibat efek rumah kaca (IPCC,1990)
( )( )
UA 0, 28
g. F
T =0 , 3704
g 2
A
U ...............................................(3.11)
Dari sumber yang sama, untuk pembangkitan gelombang yang dibatasi oleh durasi dan
kecepatan angin diberikan seperti berikut :
( )( )
2
U A g.t 0 ,69
H t =0 , 000103
g 2
A
U .....................................(3.12)
( )( )
U g .t 0 ,39
T t =0 , 082 A
g UA
....................................................(3.13)
Dimana t adalah durasi dan dapat diambil 16 jam. Berdasarkan Persamaan 3.4, 3.5, 3.6, dan 3.10
diperoleh :
H = min(H,Ht) ..............................................................(3.14)
T = min(T,Tt) ...............................................................(3.15)
Dimana :
H = tinggi gelombang signifikan ramalan
T = periode gelombang signifikan ramalan
g = percepatan grafitasi bumi
UA = tegangan gesek angin
F = panjang fetch efektif
P ( H s ≤H s ) =exp (−exp −
¿
(( H s −B
¿
A )) .........................(3.16)
Dengan :
P ( H s ≤H s )
¿
= probabiolitas bahwa Hs* tidak terlampaui
H = tinggi gelombang representsi
H* = tinggi gelombang dengan kriteria tertentu
A = parameter skulli
B = parameter lokasi
Langkah-langkah perhitungan tinggi gelombang dengan periode ulang tertentu adalah sebagai
berikut :
1. Data dibuat dalam data tahunan dengan cara mengambil satu data maksimum setiap
tahunnya (untuk studi ini terdapat 12 tahun data),
2. Data tahunan diurutkan dari yang terbesar ke yang terkecil, selanjutnya probabilitas
ditetapkan untuk setiap tinggi gelombang sebagai berkut :
m−0 , 44
P ( H s ≤H sm ) =1−
NT +0 , 12 ………………………....(3.17)
Dimana :
P ( H s ≤H sm )
= probabilitas dari tinggi gelombang ke m yang tidak terlampaui
{ ( )}
y r =−ln −ln 1−
1
LT r
............................................. (3.21)
dengan : Hsr = tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
Tr = periode ulang (tahun)
K = panjang data (tahun)
L = rerata jumlah kejadian per tahun (K = NT/K)
Penentuan kala ulang gelombang rencana biasanya didasarkan pada jenis konstruksi yang akan
dibangun dan nilai daerah yang akan dilindungi. Makin tinggi nilai daerah yang akan diamankan,
makin besar pula nilai kala ulang gelombang rencana yang dipergunakan. Sebagai pedoman
penentuan nilai kala ulang gelombang rencana dapat menggunakan Tabel 3.2.
Tahun Ke H T
SW S SE SW S SE
1.55
1 8 1.585 1.294 5.314 5.157 4.874
1.93
2 9 1.491 1.558 5.883 5.021 5.314
2.77
3 4 1.675 1.428 6.951 5.283 5.102
0.00
4 0 1.428 1.762 0.000 5.102 5.403
0.00
5 0 1.814 1.762 0.000 5.703 5.403
0.00
6 0 0.000 2.010 0.000 0.000 5.726
0.00
7 0 2.010 2.423 0.000 5.726 6.527
1.81
8 4 1.675 0.000 5.703 5.283 0.000
0.87
9 5 2.166 2.541 4.063 5.917 6.673
1.29
10 4 1.847 1.428 4.874 5.516 5.102
0.00
11 0 1.675 1.428 0.000 5.283 5.102
1.81
12 4 1.930 2.062 5.703 5.703 6.054
Selanjutnya tinggi dan periode gelombang signifikan pada Tabel 3.7 diurutkan dari yang
terbesar ke yang terkecil dan dengan menggunakan Persamaan 3.16 sampai 3.21, maka diperoleh
tinggi dan periode gelombang di laut dalam dengan kala ulang 25 tahun serta merupakan tinggi
dan periode gelombang representastif dan selanjutnya digunakan untuk analisis selanjutnya.
Hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3.8 berikut ini. Perhitungan yang lengkap tentang
tinggi dan periode gelombang laut dalam dengan kala ulang 25 tahun dari setiap arah dapat
dilihat pada lampiran .
Tabel 3.8. Tinggi dan periode gelombang laut dalam dengan kala ulang 25 tahunan
No Arah Ho (m) To ( dtk)
7.8982993
1 Barat Daya (SW) 2.9189946 1
2.2976813
2 Selatan (S) 6 5.2099034
2.8168298 5.6721727
3 Tenggara (SE) 1 5
Dari Tabel 3.8 diperoleh bahwa tinggi dan periode gelombang yang paling besar adalah dari arah
Barat Daya (2.91 m dan 7,89 detik) disusul arah Tenggara (2,81 m dan 5.67 detik), arah Selatan
(2,29 m dan 5.2 detik ).
√
1 1
K s=
tanh ( 2 πd /L )
[ 1+
4 πd / L
]
sinh ( 4 πd / L ) .................................... (3.22)
Dalam perhitungan koefisien refraksi kontur pantai dianggap sejajar, sehingga berlaku
persamaan berikut ini :
K r=
√ cos α 0
cos α 1 ......................................................................... (3.23)
Sinα1 = (C1/Co)Sin α0
C1 = (gd)2
Co = 1,56To2
C1 = Kecepatan gelombang pada kedalaman titik 1 (dipantai)
Co = kecepatan gelombang pada laut dalam
α0 = sudut antara puncak gelombang datang dengan garis pantai
α1 = sudut antara puncak gelombang yang meninggalkan titik 1 terhadap garis
pantai
T = Periode gelombang
( )
2
gT 2 πd
L= tanh
2π L .....................................................................(3.24)
Persamaan 3.24 di atas pada ruas sebelah kanan dan kiri ada variabel L, maka untuk
mendapatkan nilai L dilakukan cara iterasi ( lihat lampiran .). Sedangkan perhitungan koefisien
shoaling Ks dan koefisien refraksi Kr untuk gelombang yang dibangkitkan oleh angin maksium
dapat dilihat pada lampiran.
Dengan menggunakan nilai koefisien shoaling dan koefisien refraksi, serta tinggi dan periode
gelombang laut dalam seperti pada Tabel 3.8, dapat diperoleh grafik hubungan antara tinggi
gelombang H =0,78.d dengan kedalaman d serta hubungan antara tinggi gelombang datang
H(Ks, Kr) dengan kedalaman untuk berbagai arah gelombang datang (Gambar 3.6).
20.000
18.000
16.000
14.000
13.104
12.000
H (0.78d)
8.000
6.000 6.084
4.000 3.744
3.469
2.909
2.674 2.639 2.674 2.642
2.000 2.184
1.404
0.000
0 1.9 3.8 5.7 7.6 9.5 11.4 13.3 15.2 17.1 19
Gambar 3.6.a Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang
datang dari arah Barat Daya
Gambar 3.6.b Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang
datang dari arah Selatan
Gambar 3.6.c Grafik hubungan antara kedalaman dengan H serta H(Ks,Kr) dan Hb untuk gelombang
datang dari arah Tenggara
Berdasarkan Grafik pada Gambar 3.6.a sampai c, diperoleh nilai tinggi dan kedalaman
gelombang pecah pada saat gelombang merambat dari berbagai arah seperti Tabel 3.9
Tabel 3.9. Tinggi dan kedalaman gelombang pecah berdarakan arah gelombang datang
Arah Hb (m) db (m)
Barat Daya 3.46 4.8
Selatan 2.18 4.8
Tenggara 2.18 2.8
BAB IV
UKURAN UTAMA KAPAL
2.1 Jenis Kapal
Pada perencanaan ini jenis kapal yang dilayani adalah kapal general cargo,kapal
penumpang. Kapal general cargo digunakan untuk mengangkut muatan umum yang terdiri dari
bermacam-macam barang yang dibungkus dalam peti, dan karung. Kapal jenis ini antara lain :
1. Kapal yang membawa peti kemas yang sudah distandarisasi. Berat masing-masing
peti kemas antara 5 ton sampai 40 ton.
2. Kapal dengan bongkar muat secara horizontal untuk transport truk, mobil dsb.
Untuk kapal dengan DWT 3800 ton, ukuran kapal yang dijadikan sebagai acuan untuk
perencanaan adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2
Nama Kapal GT NT DWT LOA LBP B H T V
Caraka Niaga III 3257 1337 3650 94,74 90,04 13,93 7,65 5,39 12
Kencana 2437 1337 3566 91,91 84 11,65 5,94 5,85 10,80
Sumber : Register Biro Klasifikasi Imdonesia 2002
o Untuk kapal dengan DWT 3800 ton, ukuran (dimensi) kapal yang direncanakan setelah
mengambil data kapal maximum adalah sebagai berikut:
Jenis Kapal : Cargo Ship
Nama Kapal : KM. TAKARI IV
DWTR(Dead Weight Tonage) : 3800 ton
LbpR (Length between perpendicular) : 90.04 m
LoaR (Length overall) : 94.74 m
BR (lebar kapal) : 13.93 m
HR (tinggi kapal) : 7.65 m
dR (sarat kapal) : 5.85 m
VsR (kecepatan kapal) : 12 m/s
Loa
H
d
AP FP
Lbp
LWL
Gambar 4.1 Kapal Tampak Samping
H
d
seabed
A. Pendahuluan
Alur Pelayaran digunakan untuk mengarahkan kapal yang akan masuk ke kolam
pelabuhan. Alur pelayaran dan kolam pelabuhan harus cukup tenang terhadap pengaruh
gelombang dan arus. Dalam perjalanan masuk ke pelabuhan melalui alur pelayaran, kapal
mengurangi kecepatannya sampai kemudian berhenti di dermaga. Secara umum ada beberapa
daerah yang dilewati kapal menuju pelabuhan, yaitu daerah tempat kapal melempar sauh di luar
pelabuhan, daerah pendekatan di luar alur masuk, alur masuk di luar pelabuhan dan kemudian di
dalam daerah terlindung, dan kolam putar.
B. Kedalaman Alur
Untuk mendapatkan kondisi operasi yang ideal kedalaman air di alur masuk harus cukup
besar untuk memungkinkan pelayaran pada muka air terendah dengan kapal bermuatan penuh.
Dalam buku “Pelabuhan” oleh Bambang Triatmodjo hal. 112 diberikan persamaan untuk
menghitung kedalaman alur sebagai berikut :
H=T+G+R+P+S+K
Dimana :
H: Kedalaman air total.
T: Draft kapal (8.93 m) dengan angka koreksi minimum sebesar 0,3, sehingga :
d = 0,3 + 8.93 = 9.23 m.
G: Gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat
R: Ruang kebebasan bersih
P: Ketelitian pengukuran
S: Pengendapan antara dua pengerukan
K: Toleransi pengerukan
Squat
Permanent International Association of Navigation Congresses (PIANC, 1997)
mendaftar 3 persamaan untuk memprediksi squat kapal yang dapat digunakan untuk
pembuatan alur pelayaran, yaitu Huuska (1976), Barrass (1979, 1981), dan Romisch
(1989). Squat kapal merupakan fungsi kedalaman angka Froude FR, dinyatakan sebagai,
V
R = √
gh
F
dimana V merupakan kecepatan relatif kapal (m/s), g adalah kecepatan gravitasi (m/s 2),
dan h adalah kedalaman air (m). Persamaan untuk memprediksi squat kapal oleh
Huuska (1976) sebagai berikut
F
s Δ r2
S b =2,4 Ks
Dimana
Lpp2 √ 1−F r2
Δ = volume displasmen kapal (m3) = Cb*Lwl*B*T
T = sarat kapal (m)
B = lebar kapal (m)
Cb = koefisien blok kapal
Lwl = panjang kapal pada garis air (m)
(Charleston Harbor Ship Motion Data Collection and Squat Analysis, Hal.7-8)
Ketelitian pengukuran tergantung pada alat ukur yang digunakan, faktor lingkungan yang
mempengaruhi pengukuran seperti arus, gelombang, dan pasang surut. Dalam
perencanaan ini nilai ketelitian pengukuran sebesar 15 cm
Besarnya endapan antara dua pengerukan tergantung pada transpor sedimen yang terjadi
dalam area pelabuhan. Misalnya pengerukan akan dilakukan setiap 10 tahun dimana
dalam satu tahun tinggi endapan yang terjadi sebesar 10 cm, maka untuk 10 tahun ke
depan tinggi endapan sebesar 1 m.
Toleransi pengerukan tergantung dari alat keruk yang digunakan. Dalam buku Criteria
for the Depths of dredged Navigational Channels (1983) besarnya toleransi pengerukan
umumnya sebesar 2 feet atau 0,6 m.
Dalam buku “Pelabuhan” oleh Bambang Triatmojdo hal. 113 pada gambar 3.1
diasumsikan bahwa :
Ruang kebebasan bruto = G + R
Dimana :
G = gerak vertikal kapal
R = ruang kebebasan bersih
Menurut Brunn (1981), bahwa nilai kebebasan bruto sebagai berikut :
Di laut yang mengalami gelombang besar, kecepatan kapal besar ruang kebebasan
bruto sebesar 20% dari draft kapal, sehingga :
20% x 9,23 = 1,846 meter
Kedalaman alur = 9.23 + 1,846 + 0,15 + 1 + 0,6
= 12.826 meter
Di tempat kapal melempar sauh di mana gelombang besar ruang kebebasan bruto
sebesar 15% dari draft kapal, sehingga :
15% x 9.23 m = 1,38 meter
Alur yang tidak terbuka terhadap gelombang, ruang kebebasan bruto adalah 10%
dari draft kapal, sehingga :
10% x 9.23 m = 0.923 meter
Kedalaman alur = 9.23+ 0.923 + 0,15 + 1 + 0,6
= 11.87 meter
C. Lebar Alur
Lebar alur biasanya diukur pada kaki sisi-sisi miring saluran atau pada kedalaman
yang direncanakan. Lebar alur tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a. Lebar, kecepatan, dan gerakan kapal
b. Trafik kapal, apakah alur yang direncanakan untuk satu atau dua jalur
c. Kedalaman alur
d. Apakah alur sempit atau lebar
e. Stabilitas tebing alur
f. Angin, gelombang, arus, dan arus melintang dalam alur
Dalam perencanaan ini digunakan lebar alur untuk dua jalur . Dimensi alur yang
direncanakan sebagai berikut :
Lebar alur = 1,5 B + 1,8 B + B + 1,8 B +1,5 B
= 7,6 B
= 7,6 (20 m) = 152 m
Dengan rincian perencanaan sebagai berikut :
Lebar keamanan (kanan) = 1,5B
Jalur gerak = 1,8B
Lebar Keamanan antar kapal = 1,0
Kolam pelabuhan yang direncanakan harus mempunyai luas dan kedalaman yang cukup,
sehingga memungkinkan kapal berlabuh dengan aman dan memudahkan bongkar muat, selain itu
suasana kolam pelabuhan juga harus tenang untuk menunjang proses bongkar muat barang.
Kolam putar
Luas kolam putar yang digunakan untuk mengubah arah kapal dengan menggunakan
bantuan kapal tunda atau jangkar minimum adalah luasan lingkaran dengan jari-jari (r) 1
kali panjang kapal total (Loa) dari kapal terbesar yang menggunakannya.
Maka diperoleh :
r = 1,5 x Loa
= (1,5 x 125,3) m
= 187,95 m
Lebar mulut pelabuhan tergantung pada ukuran pelabuhan dan kapal-kapal yang
menggunakan pelabuhan dengan rincian sebagai berikut :
= 364.22 m
e e
e. Gudang Line 2
Pada pelabuhan rancangan ini, direncanakan gudang line 2 sebanyak 3 buah dengan luas A 1 =
2850 m2 (d1 = 166.36 m; b1 = 17.1 m)
f. Lapangan Penumpukan (Terbuka)
Luas Lapangan Terbuka = 20% x luas total gudang line 1
Luas total gudang line 1 = 3.A1 = 3.2850= 8550 m2
Jadi luas lapangan terbuka = 20% x 8550= 1710 m2
C. Gaya - gaya yang Bekerja Pada Dermaga
Gaya – gaya yang bekerja pada dermaga dapat dibedakan menjadi gaya lateral dan
vertical. Gaya lateral meliputi gaya benturan kapal pada dermaga, gaya tarikan kapal dan
gaya gempa; sedangkan gaya vertical adalah berat sendiri bangunan dan beban hidup.
1. Gaya Lateral
a. Gaya benturan Kapal Pada Dermaga
Gaya benturan pada kapal mengakibatkan energi benturan yang harus diterima sistem
fender di dermaga. Besarnya gaya benturan ini adalah :
WV 2 CmCeCsCc
E=
2g
Dimana :
1
W πd Ce=
Cb= Cm=1+ l
LWLγ 0 BD ; 1+( )2
2 CbB ; r
Dengan :
E : energi benturan (ton meter)
V : komponen tegak lurus sisi dermaga dari kecepatan kapal pada saat
membentur dermaga (m/d)
W : displacement (berat) kapal
g : percepatan gravitasi
Cm : koefisien massa
Ce : koefisien eksentrisitas
Cs : koefiien kekerasan (diambil 1)
Cc : koefisien bentuk dari tambatan (diambil1)
Cb : koefisien blok kapal
d : draft kapal (m)
B : lebar kapal (m)
Lwl : panjang garis air
Lwl = 1.025 x Lbp
= 1.025 x 116,16
= 119,064 m
0 : berat jenis air laut (1,025 ton/m3)
l : untuk dermaga ¼ Loa
Berdasarkan tabel diatas untuk DWT 2700 & 11500 ton diperoleh kecepatan merapat
dipelabuhan 0,15 m/s
16631.56
Cb = 119,064 x1,025x 20 x10,7 = 0,64
3,14 x 10,7
1+
Cm = 2 x0 ,76 x20 = 1,84
1
2
Ce = 1+ ( 0 ,23 ) = 0,924
2
16631.56 x ( 0,15 )
1,84 x 0,924 x1x 1
Jadi besarnya E = 2x 9,81 = 32.33 ton meter
Sehingga :
Aw = Aw1 + Aw2
= 137,06 + 68,53 = 205,59 m2
Maka : Rw = 1,1Qa x Aw
= 1,1 x 3,744 x 205,59 = 846,701 kg = 0,846 ton
Besarnya gaya arus yang bekerja pada bagian kapal yang terendam air adalah:
1. Gaya Tekanan karena arus yang bekerja dalam arah haluan
Rf = 0,14 S V2
Dimana :
Rf = gaya akibat arus (ton)
ρ = rapat massa air laut = γ/g = 1,025/9,81 = 0,1045 t/m3
V = kecepatan arus (diasumsikan = 0,5 m/d)
B’ = Luas sisi kapal di bawah muka air laut (m2 )
C = Koefisien tekanan arus = 1,2
2. Gaya tekanan karena arus bekerja pada arah sisi kapal
Rf = ½ CV2B
3. gaya kapal pada dermaga
Untuk menghitung gaya tarikan kapal pada dermaga akibat arus dan angin, digunakan
metode tabel dari OCDI yaitu :
1. Gaya tarikan kapal pada bollard diberikan pada tabel 4.2
2. Gaya tarikan pada bitt pada tabel 4.2
Tabel 5.2
Gaya Tarik pada bollard
Bobot kapal (GRT) Gaya Tarik pada bitt (ton)
(ton)
200-500 15 15
501-1000 25 25
1001-2000 35 25
2001-3000 35 35
3001-5000 50 35
5001-10.000 70 50 (25)
10.001-15.000 100 70(25)
15.001-20.000 100 70 (35)
20.001-50.00 150 100 (35)
50.001-100.00 200 100 (50)
Cat : Nilai dalam kurung adalah untuk gaya pada tambatan yang dipasang disekitar kapal yang
mempunyai tidak lebih dari 2 tali pengikat
Gaya tekanan karena arus yang bekerja dalam arah sisi kapal
Rf = ½ x 0,1045 x 1,2 x (0,5)2 x (116,16 x 8,93)
= 16,25 ton
= 1625 kg
Gaya tekanan karena arus yang bekerja dalam arah haluan
Rf = 0,14SV2
= 0.14 ( Lbp x T ) 0,5 = 0,14 (116,16 x 8,93) x 0,5
= 72 kgf
d. Gaya tarikan kapal pada dermaga
Untuk GRT 11.500 ton sesuai tabel 4.2 maka ;
Gaya tarikan kapal pada bollard
Gaya horizontal sebesar : 100 ton
Gaya vertikal sebesar : 0,5 x 100 = 50 ton
Gaya tarikan kapal pada bitt
Gaya yang bekerja dalam semua arah sebesar 70 ton.
Maka gaya lateral yang bekerja pada dermaga sebesar :
Gaya lateral = 6 ( 0,846 + 100 ) = 605,076 ton
Gaya vertikal = 6 ( 50+ 11500 ) = 69300 ton
BAB VI
PEMBUATAN GAMBAR
2 1
PELABUHAN ASDP
KAB. SORONG
3 KETERANGAN :
1. POS PENJAGAAN
2. KAMAR MANDI
3. KANTOR PERHUBUNGAN
4 4. TEMPAT SANDAR KAPAL
KECIL
5. POS PENJAGAAN
6. JEMBATAN
7. ROOM DOOR
A 8. TEMPAT PENGIKAT TALI
KAPAL
8 9. KAPAL
5
7 6
9
A
B
POTONGAN A-A
KETERANGAN :
1. KAPAL SANDAR
2. TIANG
DERMAGA/TIANG
PENGAIT KAPAL
3. ROOMDOOR
4. JEMBATAN
5. POS PENJAGAAN
5
1 3
2 2 2 2 2
POTONGAN B-B
KETERANGAN :
1. TIANG
DERMAGA/TEMPAT
PENGIKAT TALI KAPAL
2. KAPAL
1 1
DAFTAR PUSTAKA
Briggs, Michael J. dkk., 2004 , Charleston Harbor Ship Motion Data Collection and Squat
Analysis, US Army Corps of Engineers
Gaythwaite, John W., 1990, Design of Marine Facilities for Berthing, Mooring, and Repair of
Vessel, Van Nostrand Reinhold, New York.