Anda di halaman 1dari 9

PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

PENGOLAHAN SAMPAH ORGANIK SKALA RUMAH


TANGGA MENGGUNAKAN LARVA BSF
(BLACK SOLDIER FLY)

Oleh:
Nia Dwi Puspitasari

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAWA TIMUR
2021
Pengolahan Sampah Organik Skala Rumah Tangga
Menggunakan larva BSF (Black Soldier Fly)
Nia Dwi Puspitasari, S.T., M.T.
UPN “Veteran” Jawa Timur
nia.dwi.ts@upnjatim.ac.id

Abstrak

Pengomposan (composting) merupakan salah satu upaya dalam pengelolaan sampah


organik dan dapat mengurangi volume sampah hingga 50%. Salah satu teknologi alternatif
baru yang dapat digunakan dalam menghasilkan kompos yaitu dari hasil pencernaan larva
lalat Black Soldier Fly. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk memberikan informasi dan
wawasan tentang penggunaan larva lalat Black Soldier Fly dalam kaitannya dengan
pengolahan sampah organik skala rumah tangga. BSF berkembang dengan baik di daerah
beriklim tropis dan hangat. BSF dapat mendegradasi bahan organik seperti buah-buahan dan
sayur busuk yang dijadikan sebagai bahan makanannya. Pengelolaan sampah menggunakan
larva BSF dinilai lebih praktis, karena tidak perlunya memisahkan antara sampah hewani
maupun sampah nabati. Hasil akhir dari metode biodegradasi ini adalah salah satunya dapat
merubah sampah organik menjadi kompos dengan kandungan penyubur yang tinggi. Selain itu
larva dewasa mengandung protein yang cukup tinggi yang dapat digunakan sebagai pakan
ternak atau ikan atau dapat dikeringkan terlebih dahulu untuk dan dijual kepada peternak atau
pengelola kolam ikan. Diharapkan artikel ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dapat
memperbaiki kondisi lingkungan.

Kata kunci: Black Soldier Fly, kompos, sampah organik.

1. Pendahuluan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa sampah adalah sisa


kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang ber-bentuk padat; adapun
pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan
yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Saat ini hampir semua negara
berkembang memiliki permasalahan dalam pengelolaan sampah (Dortman, 2015) termasuk
di Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa
jumlah timbulan sam-pah di Indonesia telah mencapai 175.000 ton/hari atau setara 64 juta
ton/tahun dengan pengelolaan diangkut dan ditimbun di TPA sebanyak 69%, dikubur
10%, dikompos dan didaur ulang 7%, dibakar 5%, dan sisanya tidak terkelola 7%. Mengacu
pada data tersebut terlihat saat ini pengelolaan sampah masih terkonsen-trasi di Tempat
Pemrosesan Akhir (TPA) sampah tanpa melalui proses 3R (reduce, recycle, reuse) di
sumber dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Kondisi ini menjadi faktor utama
beban TPA menjadi berat dan umur penggunaannya semakin pendek (Sutanto et al.,
2015).

Pengomposan (composting) merupakan salah satu upaya dalam pengelolaan sampah


organik dan dapat mengurangi volume sampah hingga 50% dan mengonsumsi 50% materi
organik pada sampah dalam berat kering serta melepaskan gas CO2 dan air. Dalam proses
pengomposan terjadi proses mikrobiologi dan selama pengomposan secara aerobic populasi
mikroorganisme terus berubah (2). Salah satu teknologi alternatif baru yang dapat digunakan
dalam menghasilkan kompos dari yaitu dari hasil pencernaan larva lalat BSF.

Produk akhir dari budidaya larva BSF adalah pupuk kompos bernilai hara tinggi, bebas
pathogen dan gulma, dan biomassa larva yang dihasilkan kaya protein serta lemak yang bernilai
ekonomi cukup tinggi. Larva serangga tidak hanya merombak biomassa limbah organik,
namun juga memberikan kondisi yang aerobik, membantu mengurangi volume dan kadar air
bahan terombak, dan juga mengurangi bau yang biasa ditimbulkan dalam degradasi bahan
organik. Larva serangga, biasa disebut maggot, juga akan memodifi kasi mikrofl ora kompos,
menghilangkan mikroba patogenik, dan mengurangi senyawa-senyawa yang berpotensi
menyebabkan pencemaran pada lingkungan. Preferensi dan kemampuan dekomposisi bahan
organik oleh BSF telah dilaporkan lebih baik dibandingkan cacing tanah, yang saat ini sudah
banyak dikembangkan sebagai agensia pengomposan. Oleh sebab itu, teknologi pengomposan
sekaligus produksi bahan pakan menggunakan BSF sangat potensial untuk dikembangkan.
Apalagi untuk dilakukan di perkotaan perkotaan yang memiliki tingkat produksi bahan organik
sangat banyak dan cepat, memiliki keterbatasan luas lahan, tenaga serta waktu dalam
mengelola limbah organik diperkotaan. Konversi bahan organik demikian akan memberikan
keuntungan yang berlipat bagi masyarakat. Keuntungan tersebut tidak hanya dalam pemenuhan
kebutuhan pupuk organik namun juga pakan, sehingga mendorong tumbuh-kembangnya bisnis
pertanian di kota dan sekitarnya.
2. Dasar Teori

BSF merupakan serangga yang tidak berbahaya yang memiliki potensi menjanjikan untuk
masalah pakan ternak dan juga dapat dimanfaatkan sebagai solusi atas limbah organik. Secara
singkat keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan larva BSF (Popa dan Green, 2012)
adalah:
- Mendegradasi sampah organik lebih dari 50% dan dijadikan sumber nutrisi untuk
pertumbuhannya
- Mengkonversi sampah organik menjadi kompos dengan kandungan penyubur yang
tinggi
- Mengontrol bau dan hama, serta dapat mengurangi emisi gas rumah kaca pada saat
proses dekomposisi sampah
- Tubuhnya mengandung zat kitin dan protein yang cukup tinggi yang dapat digunakan
sebagai pakan ternak atau ikan.
- Kandungan lemak yang tinggi pada tubuh larva BSF dapat dimanfaatkan sebagai bahan
biofuel.

Larva BSF memiliki beberapa karakter diantaranya (Fahmi et al., 2007):


- Bersifat dewatering (menyerap air), dan berpotensi mengelola sampah organik
- Dapat membuat liang untuk aerasi sampah
- Toleran terhadap pH dan suhu
- Melakukan migrasi mendekati fase pupa
- Higenis sebagai control lalat rumah
- Kandungan protein mencapai 45%

Siklus Hidup BSF Siklus hidup BSF sama dengan serangga Diptera lainnya, yaitu mulai dari
telur menetas menjadi larva yang mengalami proses metamorposa menjadi pupa dan serangga
dewasa (Fahmi et al., 2007). Siklus metamorfosis BSF berlangsung dalam rentang kurang lebih
40 hari, tergantung pada suhu dan kelembaban tempat hidup BSF, dan asupan nutrisi yang
dimakan (Alvarez, 2012). Berikut adalah gambar siklus hidup larva BSF secara umum:
Gambar 2.1 Siklus hidup larva BSF.

3. Metode Pelaksanaan

3.1 Alat dan Bahan


Sebelum memanfaatkan larva BSF untuk mendegradasi sampah, yang harus dilakukan
terlebih dahulu adalah menetaskan bibit / telur larva BSF. Proses menetaskan telur larva BSF
tidak sulit dan hanya membutuhkan alat-alat yang mudah didapat seperti berikut ini:
- Baskom plastik besar
- Kawat nyamuk
- Kertas/tisyu
Sedangkan bahan-bahan yang perlu disiapkan antara lain:
- Bibit larva BSF
- Dedak / ampas tahu
- Air

3.2 Metode Pelaksanaan


Kegiatan diawali dengan menetaskan telur / bibit larva BSF. Telur / bibit larva BSF didapatkan
dengan mengoleksi telur dari kandang serangga atau saat ini sudah banyak dijual di pasaran baik itu
took online atau toko-toko lainnya. Cara menetaskan yaitu sebagai berikut:
a. Siapkan dedak yang dicampur dengan air sampai dalam kondisi yang basah dan lembab.
b. Letakkan dedak yang telah dibasahi ini ditengah baskom besar.
c. Kemudian diatasnya dipasang kawat nyamuk yang dibentuk sedemikian rupa seperti meja kecil,
dan diataskan diletakkan kertas yang berisi telur larva BSF. Tujuannya agar telur larva BSF
tidak terkena cairan dari dedak yang basah, tetapi masih mendapatkan kelembaban yang cukup
untuk mendukung menetasnya telur-telur larva BSF.

Gambar 3.1 Proses menetaskan telur / bibit larva BSF

d. Selanjutnya ditunggu sampai 1-2 hari, maka telur-telur akan menetas dan siap dicampur dengan
dedak yang basah. Di sekeliling baskom ditaburkan dengan dedak yang kering. Hal ini
bertujuan agar larva yang telah menetas tidak merambat keluar dari baskom.

Gambar 3.2 Telur larva BSF yang telah menetas dicampur dengan dedak basah.
e. Setelah 3 hari maka larva telah memasuki tahap aktif makan. Larva yang telah menetas
memiliki warna tubuh putih. Larva muda dipelihara selama 16 hari setelah penetasan
untuk digunakan sebagai biomassa pengolahan sampah organik.
f. Setelah memasuki usia lebih dari 18-21 hari, maka kemampuan larva untuk memakan sampah
organik semakin berkurang. Pada fase ini, larva telah berubah menjadi prepupa dan telah
berwarna hitam / coklat. Prepupa dapat digunakan sebagai makanan hewan ternak khsusnya
unggas atau ikan. Atau dapat juga dikeringkan terlebih dahulu untuk kemudian dijual kepada
peternak atau pengelola kolam ikan.
g. Jika prepupa tidak dimanfaatkan atau dibiarkan, maka selanjutnya akan berubah menjadi Pupa
yang kemudian berubah menjadi lalat BSF setelah 1-4 minggu kemudian. Lalat BSF tidak
dikenali sebagai hama karena lalat BSF tidak tertarik pada habitat manusia atau makanan
(Furman et al., 1959). Lalat BSF tidak memerlukan makanan, lalat bertahan hidup pada
cadangan lemak tubuh yang diserap pada tahap larva.
h. Sedangkan untuk kompos yang telah didapat dari sisa pencernaan larva BSF, dapat digunakan
sebagai pupuk untuk tanaman.

4. Hasil dan Pembahasan

Larva BSF dapat mengkonsumsi material organik dalam jumlah yang banyak dan
tergolong sangat cepat dan efisien jika dibandingkan spesies lalat jenis lainnya. Kemampuan
mengkonsumsi material organic tersebut didukung mulut yang kuat dan enzim pencernaan
yang dimiliki larva BSF (Sheppard et al., 2002). Dalam sistem pengomposan, larva BSF justru
dapat menekan keberadaan lalat rumah yang biasanya berkembang di dalam biomassa sampah
organik. Demikian juga halnya dengan bakteri pathogen khususnya Escherichia coli dan
Salmonella sp. dan beberapa mikroba patogen tanaman. Larva BSF dapat melepaskan beberapa
senyawa anti bakteri di dalam biomassa kompos. Hal tersebut menyebabkan kompos hasil
dekomposisi menjadi bersih dan terbebas dari mikroba berbahaya yang dapat mengganggu
kesehatan manusia, ternak, dan tanaman.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Newton et al. (2005), dengan menggunakan


kotoran sebanyak 56 kg, BSF dapat mereduksi kontoran tersebut sebesar 56% selama 14 hari.
Penelitian yang dilakukan Diener et al. (2011), diperoleh persentase reduksi sampah organik
pasar mencapai 68%, dengan feeding rate 167 mg/larva.hari. Larva BSF dapat memakan segala
jenis materi organik, larva BSF tidak memiliki jam istirahat namun tidak juga makan sepanjang
waktu. Dengan kemampuan biodegradasi oleh larva BSF yang tinggi ini, diharapkan dapat
mengatasi permasalahan lingkungan terkait sampah organik seperti bau tidak sedap atau
munculnya lalat biasa yang kurang baik bagi kesehatan masyarakat sekitar. Apabila terus
dikembangkan dalam skala besar, maka budidaya larva BSF juga dapat menambah penghasilan
masyarakat dari hasil penjualan pupuk kompos atau prepupa yang telah dikeringkan. Selain
kompos dan prepupa untuk pakan ternak, larva lalat BSF juga menghasilkan berbagai turunan
produk. Turunan produk tersebut meliputi biopestisida, minyak hewani, tepung kaya protein,
dan bahkan juga bio diesel.

5. Kesimpulan dan Saran

Dengan kegiatan ini diharapkan dapat menyelesaikan beberapa permasalahan


lingkungan terkait pengolahan sampah organik dalam skala rumah tangga. Berdasarkan
beberapa referensi yang telah dijelaskan dalam artikel ini, larva BSF sangat dianjurkan untuk
digunakan untuk biodegradasi sampah organik. Hal ini dikarenakan kemampuan larva BSF
dalam mereduksi volume sampah organik sangat tinggi. Yaitu dengan feeding rate 167
mg/larva/hari, akan dapat mereduksi volume sampah hingga mencapai 68%. Hasil reduksi ini,
yang merupakah residu dari proses pencernaan larva BSF, dapat digunakan sebagai pupuk
kompos yang bernilai jual tinggi. Atau dapat digunakan sendiri untuk menyuburkan tanah.
Sedangkan berdasarkan siklus hidup larva BSF, pada usia 18-21 hari setelah telur menetas akan
memasuki fase prepupa. Pada fase ini feeding rate larva BSF sudah menurun sehingga dapat
langsung digunakan sebagai makanan ternak atau ikan. Dapat juga dikeringkan untuk dijual
kepada peternak atau pemilik kolam ikan. Maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan larva
BSF memiliki banyak keuntungan bagi masyarakat dan berdampak positif bagi lingkungan.
Daftar Pustaka

Alvarez, L. 2012. A Disertation: The Role of Black Soldier Fly, Hermetia illucens (L.)
(Diptera: Stratiomyidae) in Sustainable Management in Northern Climates.
University of Windsor. Ontario, Kanada
Diener, S., Solano, N.M.S., Gutiérrez, F.R., Zurbrügg,C.,Tockner, K. 2011. Biological
Treatment of Municipal Organic Waste using Black Soldier Fly Larvae. Waste
Biomass Valor, 2 : 357-363.
Diener, S., Zurbrügg,C., Gutiérrez, F.R., Nguyen, D.H., Morel, A., Koottatep, T., Tockner, K.
2011. Black Soldier Fly Larvae for Organic Waste Treatment-Prospects and
Constraints. Rangkuman ‘WasteSafe 2011-2nd International Conference on Solid
Waste Management in the Developing Countries’. KhulnaBangladesh, 13-15 Februari
2011. M. Alangir, Q.H. Bari, I.M. Rafizul, S.M.T. Islam, G. Sarkar, M.K. Howlader
(eds).
Dortmans, B. 2015. Valorisation of organic waste-Effect of the feeding regime on process
parameters in a continuous black soldier fly larvae composting system. Theses.
Swedish University of Agricultural Sciences, Swedish.
Fahmi, M.R., Hem, S., Subamia, I.W. 2007. Potensi Mangot Sebagai Salah Satu Sumber
Protein Pakan Ikan. Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia XXVII.
Nirmala W, Purwanigrum P, Indrawati D. Pengaruh Komposisi Sampah Pasar Terhadap
Kualitas Kompos Organik dengan Metode Larva Black Soldier Fly (BSF). 2020;1–5.
Popa, R. dan Green, T. 2012. DipTerra LCC e-Book ‘Biology and Ecology of the Black Soldier
Fly’. DipTerra LCC.
Popa, R. dan Green, T. 2012. DipTerra LCC e-Book ‘Black Soldier Fly Applications’.
DipTerra LCC.
Sheppard DC, Thomberlin JK, Joyce JA, Kiser BC, Sumner SM. 2002. Rearing methods for
the black soldier fly (Diptera: Stratiomyidae). J Med Entomol 39: 695-698.
Sheppard. C.D., Newton, G.L., Thompson, S.A., Savage, S. 1994. A Value Added Manure
Management System Using the Black Soldier Fly. Bioresource Technology. 50: 275-
279.
Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik: Pemasyarakatan dan Pengembangannya.
Kanisius. Jakarta.
https://www.youtube.com/watch?v=u6xnsgKNVk8
https://www.youtube.com/watch?v=A0fX9Y9SKpg

Anda mungkin juga menyukai