Anda di halaman 1dari 5

Nama : Mitsiebenson Sitepu

Nim : 180510054
Semester : V (Lima)
Kelas : III B
Mata Kuliah : Antropologi Teologis I
Dosen : Raidin Sinaga, Lic. S. Th

KRITIK ATAS PANDANGAN PELAGIUS MENGENAI DOSA ASAL


BERDASARKAN TRADISI GEREJA KATOLIK

I. PENGANTAR
Dosa menjadi salah satu topik pembicaraan yang tidak pernah dapat dilepaskan dari
manusia. Sebagai individu yang mengakui keberadaan Allah sebagai Pencipta, manusia selalu
menilai tindakannya sebagai tindakan baik atau jahat, berdosa atau tidak berdosa. Dosa
tersebut menghalangi manusia untuk sampai pada tujuan akhirnya, yakni bersatu dengan
Allah. Berkaitan dengan hal tersebut, banyak orang yang mulai mempertanyakan asal dari
adanya dosa dalam diri manusia. Gereja menjawab pertanyaan tersebut melalui ajaran
mengenai dosa asal. Gereja mengajarkan bahwa kejatuhan manusia pertama, yakni Adam,
telah mengakibatkan ia kehilangan kesucian dan kebenaran asali dan mewariskannya kepada
seluruh keturunan manusia. Namun, ajaran mengenai dosa asal tidak berhenti pada
pernyataan tersebut. Gereja juga mengajarkan bahwa dosa asal dapat dihapus melalui
penebusan Kristus, yang nyata dalam penerimaan Sakramen Babtis. Hanya penebusan Kristus
yang mampu menghapus dosa asal dan menyelamatkan manusia.
Pada abad ke-5, muncul Pelagius yang memiliki pandangan berbeda dengan tradisi
Gereja. Ia berpendapat bahwa manusia dapat mengusahakan keselamatannya dengan
kekuatan atau kemampuannya sendiri. Dengan begitu, ia menolak pandangan bahwa hanya
rahmat Allah, melalui penebusan Kristus, yang mampu menyelamatkan manusia dari akibat
dosa. Pelagius juga menolak pandangan mengenai dosa asal. Ia beranggapan bahwa dosa
Adam tidak merusak kesucian dari seluruh keturunan manusia dan dosa tersebut hanyalah
salah satu contoh tindakan yang buruk dari Adam. Pandangan Pelagius, atau yang disebut
dengan pelagianisme, pada akhirnya dinyatakan Gereja sebagai ajaran sesat. Namun,
pandangan ini masih berkembang pada masa kini. Pelagianisme modern tampil sebagai
pandangan yang beranggapan bahwa dengan kemampuannya sendiri dan ketaatan pada
hukum yang telah diajarkan Gereja, manusia dapat sampai pada keselamatan sejati.
Pelagianisme modern ini hadir sebagai salah satu musuh dari usaha manusia untuk mencapai
kekudusan, seperti yang ditegaskan Paus Fransiskus dalam seruan apostolik Gaudete et
Exultatate.1 Oleh karena itu, penulis akan membahas kritik atas pandangan Pelagius
mengenai dosa asal dengan berdasarkan pada ajaran dan tradisi Gereja.

1
Paus Fransikus, Seruan Apostolik Gaudete et Exultate (Bersukacitalah dan Bergembiralah) (Seri Dokumentasi
Gerejawi no. 106), diterjemahkan oleh T. Krispurwana Cahyadi (Jakarta: Dokumetasi dan Penerangan KWI,
2019), no. 49.

1
II. ISI

1. Pelagius
1. 1 Latar Belakang Pemikiran
Ajaran Pelagius mengenai dosa dan rahmat kurang memperhatikan dimensi sosial dan
historis yang terdapat baik pada dosa maupun pada rahmat, sehingga Pelagius menjurus
kepada individualisme moral.2 Pandangan Pelagius didasari pada niatnya untuk berusaha
menjadi pengikut Yesus yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, ia menjalankan askese,
matiraga dan ulah tapa demi mencapai tujuannya tersebut. Pada zamannya ada orang-orang
yang tidak terdorong untuk hidup beraskese dengan alasan bahwa Tuhan memberikan mereka
rahmat bukan untuk ‘membanting tulang’.3 Hal tersebut dipandang Pelagius sebagai alasan
bagi orang-orang yang tidak ingin berusaha, pemalas dan tidak bertanggung jawab. Oleh
karena itu, Pelagius menanggapi argumentasi tersebut dengan melebih-lebihkan kemampuan
kehendak manusia dan kebebasan keputusannya.4 Pandangannya menjadi ekstrem dengan
menjelaskan bahwa dengan kekuatannya sendiri manusia dapat, bukan hanya berbuat dosa
apapun, melainkan juga menghindari setiap dosa dan melaksanakan setiap kebajikan secara
sempurna, sekurang-kurangnya sebagai kemungkinan teoretis.5

1. 2 Inti Pemikiran: Dosa dan Rahmat


Pelagius menjelaskan dosa sebagai suatu tindakan jahat. 6 Ia hanya memandang dosa
sebagai suatu tindakan jahat yang dilakukan secara bebas. Penjelasan tersebut
menggambarkan bahwa ia mengabaikan aspek dosa sebagai sebuah keadaan atau suatu kuasa
yang mengusai manusia sedalam-dalamnya.7 Pandangan ini kemudian berpengaruh terhadap
pandangannya mengenai rahmat. Pelagius menjelaskan bahwa rahmat hanya merupakan
sebuah bantuan yang diberikan Allah kepada manusia berdosa saat diperlukan saja. Bantuan
tersebut terdiri dari8:
a) Kodrat manusia yang memampukan kita untuk berbuat baik.
b) Hukum Musa yang mendidik kita dengan memberikan petunjuk untuk hidup sesuai
dengan panggilan kodrat, teladan dan ajaran Yesus Kristus sendiri.
c) Pengampunan dosa karena pahala Kristus.
Dari dua penjelasan tersebut, tampak bahwa Pelagius menganggap penyelamatan,
yakni pembebasan manusia dari dosa asal, manusia yang sejak Adam ditarik oleh pengaruh
yang jahat, dapat diubah asalkan manusia diberikan petunjuk yang tepat dan contoh yang
baik.9

1. 3Pelagianisme
Pelagianisme adalah aliran teologis yang berdasar pada pemikiran Pelagius bahwa
manusia dengan kekuatannya sendiri dapat menghindari dosa dan hidup sempurna, asalkan

2
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 Ekonomi Keselamatan (Yogyakarta: Kanisius, 2019), hlm. 157.
3
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 158.
4
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 158.
5
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 158.
6
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 158.
7
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 158.
8
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 158.
9
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 158.

2
diberi ajaran dan contoh yang baik.10 Aliran ini menjelaskan bahwa keberdosaan Adam tidak
merusak secara mendasar, kemampuan dari seluruh keturunannya untuk hidup baik
sebagaimana mestinya. Hanya saja, Adam telah memberikan contoh atau teladan yang buruk
bagi keturunannya. Hal ini kemudian disejajarkan dengan tindakan penebusan Yesus Kristus.
Penebusan Yesus hanya terbatas pada wejangan dan teladan yang telah diberikan oleh-Nya
semasa hidup-Nya di dunia.11
Aliran pelagianisme dengan pandangannya tersebut telah memperlemah dan
meremehkan ajaran Gereja mengenai dosa asal, sebagai sebuah ketidakmampuan asasi dari
pihak manusia untuk berhubungan dengan Tuhan, dan tentang mutlak perlunya penebusan
Kristus bagi semua orang.12 Pelagianisme hanya memandang penebusan sebagai
pengangkatan kehidupan sampai ke taraf yang lebih tinggi dan menganggap sakramen Baptis
tidak mutlak perlu, walau berguna karena mengangkat orang menjadi anggota Gereja yang
terpanggil menjadi warga kerajaan surga. Pada dasarnya, dalam Pelagius tidak ada tempat
lagi untuk kerahiman Allah, dan hanya ada untuk keadilan-Nya.

1. 4 Semipelagianisme
Sesudah aliran pelagianisme ditolak secara resmi oleh Gereja dan dinyatakan sebagai
ajaran sesat, banyak orang yang memikirkan dan mendiskusikan hubungan antara kausalitas
rahmat Allah dengan peranan kehendak bebas manusia dalam menerima dan mengerjakan
keselamatannya. Dengan berdasar pada himbauan Santo Paulus, “Tetaplah kerjakan
keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Flp. 2:12), banyak teolog yang berpendapat bahwa
Agustinus terlalu menonjolkan secara berlebihan mahakausalitas rahmat Allah. 13 Oleh karena
itu, mereka mulai mencari jalan tengah antara pandangan Agustinus dengan pandangan
Pelagius. Hal inilah yang kemudian melahirkan pandangan baru yakni pandangan
pelagianisme moderat atau semipelagianisme.
Semipelagianisme memandang keadaan manusia yang telah jatuh dalam dosa bukan
sebagai kematian dan bukan juga tetap segar-bugar, melainkan sebagai keadaan sakit. 14 Oleh
karena itu, manusia membutuhkan rahmat Allah untuk sembuh dari penyakit tersebut. Namun
sesudah manusia sembuh, manusia dapat menjalankan dan mengusahakan kehidupan
Kristiani yang baik dan benar dengan kekuatannya sendiri dan tanpa bantuan dari rahmat
Allah. Dengan begitu, semipelagianisme memandang bahwa keputusan awal dan akhir ada
pada manusia, dan bukan pada Allah.15

2. Pandangan Gereja mengenai Dosa Asal


2. 1 Konsili Trente

10
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 162.
11
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 162.
12
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 162.
13
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 162.
14
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 163.
15
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 163.

3
Pandangan Gereja mengenai dosa asal didasarkan pada pembahasan dalam Konsili
Trente. Sifatnya sebagai konsili Ekumenis berarti bahwa keputusan dan rumusannya
mengikat seluruh Gereja sebagai Dogma.16 Mengenai dosa asal, Konsili Trente mewartakan
dan menegaskan ajaran tradisional Gereja, dengan mempergunakan sebagian besar ajaran
Agustinus serta keputusan dalam konsili Kartago dan Orange. Tradisi Gereja mengenai dosa
asal telah disaring dan dimurnikan terus-menerus, sampai akhirnya menemukan rumusannya
dalam dogma Trente.
a. Fakta Dosa Asal
Konsili Trente menetapkan fakta dosa asal, baik sebagai dosa Adam sendiri, maupun
sebagai dosa yang diteruskan kepada seluruh umat manusia. Kanon 1 (dalam Dekret Tentang
Dosa Asal) mengartikan dosa Adam, manusia pertama, sebagai kehilangan kesucian dan
kebenaran yang di dalamnya ia diadakan.17 Dengan kata lain, pada awalnya manusia
diciptakan dalam keadaan suci dan benar. Namun, karena kejatuhannya dalam dosa manusia
kehilangan kebenaran asali, yakni hubungan baik dengan Tuhan. Maka konsekuensinya ialah
manusia pertama mengalami maut, dengan kata lain kematian badaniah bagi Adam dan
perbudakan di bawah kuasa iblis yang menguasai maut.18 Dalam kanon 2 dikatakan bahwa
fakta dosa asal tersebut merugikan seluruh keturunan Adam. Maka dapat dimengerti bahwa
kesucian dan kebenaran hilang tidak hanya bagi Adam, tetapi bagi seluruh manusia.19
b. Hakikat Dosa Asal
Konsili Trente menjelaskan bahwa pada hakikatnya dosa Adam adalah satu menurut
asal-usulnya (origine unum), dan dosa itu terdapat dalam masing-masing orang sebagai
dosanya sendiri (unicuique proprium).20 Namun, dosa tersebut bukanlah suatu dosa pribadi,
dalam arti bukan dosa yang dilakukan oleh orang itu sendiri. Konsili Trente juga menjelaskan
bahwa dosa Adam diteruskan “karena pembiakan, bukan karena tiruan” (propagation, non
imitatione).21 Dengan kata lain Konsili Trente menandaskan, bahwa dosa asal itu bukan suatu
sikap Allah terhadap manusia, melainkan suatu keadaan manusia yang sudah rusak karena
kesalahan dalam kehiudupan manusia.22 Namun, Gereja tidak pernah merumuskan secara
eksplisit bagaimana proses terjadinya pewarisan dosa “warisan” tersebut dari generasi ke
generasi. Alasannya ialah karena yang relevan secara teologis dalam keseluruhan Tradisi
ialah bahwa Pembabtisan, juga kalau diterimakan kepada anak di bawah umur, diterimakan
“demi pengampunan dosa”. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang membutuhkan
penebusan Kristus, dan diluar Dia, tidak ada penebusan. Pahala Kristus-lah yang menghapus
dosa asal, dan hal itu diterapkan dalam Sakramen Babtis. 23 Konsili menegaskan bahwa
sesudah pembabtisan tidak ada dosa lagi dalam arti apapun juga, hanya saja konkupisensi
tetap tinggal dalam diri manusia.24 Concupiscientia adalah akibat dosa asal yang tinggal tetap

16
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 167.
17
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 168.
18
Georg Kirchoberger, Allah Menggugat (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. 322; bdk. William Chang, Pengantar
Teologi Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 176
19
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 169.
20
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 169.
21
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 169.
22
Georg Kirchberger, Allah ..., hlm. 322-323; bdk. William Chang, Pengantar ..., hlm. 177
23
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 169.
24
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 170.

4
secara permanen, berupa kecenderungan jahat ka arah dosa. Namun kecenderungan ini tidak
boleh disebut “dosa” dalam arti yang sesungguhnya.25
2. 2 Katekismus Gereja Katolik
Ajaran mengenai dosa asal dapat dikatakan sebagai “sisi gelap” dari Warta Gembira
bahwa Yesus adalah Penebus segala manusia, bahwa semua orang membutuhkan keselamatan
dan bahwa berkat Kristus keselamatan diwartakan kepada semua orang. 26 Dosa asal dikaitkan
dengan dosa pertama manusia yang karena digoda oleh setan, membiarkan kepercayaan akan
Penciptanya mati dalam hatinya, kemudian menyalahgunakan kebebasannya dan tidak
mematuhi perintah Allah.27 Sesudah itu, dosa merupakan ketidaktaatan kepada Allah dan
kekurangan kepercayaan akan kebaikan-Nya. Dalam dosa manusia mendahulukan dirinya
sendiri daripada Allah dan dengan demikian mengabaikan Allah.28
Penerusan dosa asal merupakan suatu rahasia yang tidak dapat dimengerti dengan
baik sepenuhnya.29 Dalam terang wahyu kita mengetahui bahwa Adam menerima kekudusan
dan keadilan asli untuk seluruh kodrat manusia. Maka, dengan menyerah kepada penggoda,
Adam dan Hawa melakukan dosa pribadi yang menimpa kodrat manusia, yang kemudian
diwariskan dalam keadaan dosa. Dosa itu diteruskan kepada semua manusia melalui
pembiakan, sebagai proses penerusan kodrat manusia yang kehilangan kekudusan dan
keadilan asli. Dengan demikian, dosa asal adalah “dosa” dalam arti analog: ia adalah dosa,
yang orang “menerimanya”, tetapi bukan melakukannya, suatu keadaan dan bukan
perbuatan.30
Kitab Suci menujukkan akibat dari ketidaktaatan pertama membawa malapetaka,
yakni bahwa Adam dan Hawa langsung kehilangan rahmat kekudusan asli. 31 Hal tersebut
nyata dalam hilangnya kekuasaan jiwa atas badan manusia, rusaknya kesatuan antara pria dan
wanita karena keinginan untuk berkuasa serta rusaknya keselarasan dengan alam ciptaan
sehingga manusia memandang ciptaan sebagai sesuatu yang asing. Sejak saat itu maut
memasuki sejarah umat manusia dan dosa benar-benar membanjiri dunia. 32Sejak saat itu
semua manusia terlibat dalam dosa Adam dan Gereja mengajarkan bahwa segala penderitaan
yang dialami manusia, kecondongannya kepada yang jahat dan kematian tidak dapat
dimengerti tanpa melihat hubungannya dengan dosa Adam tersebut. 33 Dosa tersebut sudah
diterima pada saat kelahiran sebagai “kematian jiwa” dan karenanya Gereja memberikan
Pembabtisan untuk pengampunan dosa, juga kepada anak-anak yang belum melakukan dosa
pribadi. Semua manusia terlibat dalam dosa Adam karena kesatuannya, seperti tubuh yang
satu dari manusia individual, sebagaimana semua terlibat dalam keadilan Kristus.
Dosa asal tidak merusa1 KGK no. 401-403.

25
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika…, hlm. 170.
26
Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik (Ende: Nusa Indah, 1995), no. 389.
Penulisan selanjutnya Katekismus Gereja Katolik disingkat KGK dan diikuti no.
27
KGK no. 397.
28
KGK no. 398.
29
KGK no. 404.
30
KGK no. 404.
31
KGK no. 399.
32
KGK no. 400-401.
33
KGK no. 401-403.

Anda mungkin juga menyukai