Anda di halaman 1dari 11

Nama : Mitsiebenson Sitepu

Nim : 180510054
Semester : V (Lima)
Kelas : III B
Mata Kuliah : Antropologi Teologis I
Dosen : Raidin Sinaga, Lic. S. Th

PERBANDINGAN KISAH PENCIPTAAN DALAM TRADISI GEREJA KATOLIK


DENGAN BUDAYA KARO

PENGANTAR
Setiap kebudayaan memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri. Salah satu keunikan
dari kebudayaan tertentu terungkap dalam sistem kepercayaannya. Sistem kepercayaan
berbicara tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan atau kekuatan lain yang
dianggap sebagai “Yang Kudus”. Pada umumnya hubungan tersebut diungkapkan dalam
bentuk mitos atau cerita suci. Dalam masyarakat Karo dikenal sebuah mitos mengenai kisah
penciptaan atau asal usul dunia dan manusia, yakni mitos Tuan Begunda Raja. Masyarakat
Karo percaya bahwa dunia dan manusia diciptakan oleh Tuan Begunda Raja melalui ketiga
anaknya yakni Tuan Banua Koling, Tuan Paduka Aji dan Dibata Kaci-Kaci. Ketiga sosok ini
kemudian dikenal dengan istilah dibata la idah (allah yang tidak kelihatan).
Dalam Gereja Katolik, umat juga mengenal ajaran tentang kisah Penciptaan. Ajaran
Gereja tersebut didasarkan pada Kitab Suci, secara khusus pada Kitab Kejadian, yang memuat
kisah penciptaan secara teratur. Kisah penciptaan tersebut juga diyakini sebagai salah satu
bentuk mitos alkitabiah. Kisah tersebut merupakan bagian dari tradisi religius Israel, yang
menjadi suatu bentuk kesaksian atas wahyu Allah melalui bangsa Israel. Tujuan utama dari
kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian bukanlah untuk memberikan suatu data mengenai
urutan historis terjadinya dunia dan manusia, melainkan untuk menjawab pertanyaan
mendasar mengenai asal-usul manusia dalam perspektif iman. Dalam Kitab Kejadian, kisah
penciptaan dikisahkan dalam dua sudut pandang sumber yang berbeda, yakni tradisi P
(Priestercodex) dan tradisi Y (Yahwis). Kedua sumber tersebut memiliki keunikan dan
tujuannya masing-masing.
Kedua kisah penciptaan, yakni dalam budaya Karo dan ajaran Gereja, memiliki latar
belakang yang berbeda. Namun, keduanya memiliki kesamaan tujuan, yakni menjawab
pertanyaan manusia mengenai asal-usulnya. Oleh karena itu, penulis akan membahas kisah
penciptaan dari dua perspektif yakni dari perspektif budaya Kari dan dari perspektif ajaran
Gereja. Penulis akan membahas perbandingan antara kedua kisah penciptaan tersebut.

1
ISI

1. Penciptaan dalam Perspektif Suku Karo


Dalam tradisi Suku Karo, penciptaan dunia dikisahkan dalam mitos tentang Tuan
Begunda Raja.1 Mitos ini mengisahkan bagaimana kehidupan para dewa di khayangan. Suku
Karo tradisional mempercayai bahwa dunia ini terbagi menjadi tiga bagian, yakni dunia datas
(dunia atas), dunia tengah (dunia tengah) dan dunia teruh (dunia bawah).

Tuan begunda raja memiliki tiga anak, yakni dua orang putera dan seorang puteri.
Anak sulung bernama Tuan Banua Koling, yang kemudian akan menjadi dibata tengah atau
penguasa bumi. Putera kedua bernama Tuan Paduka Aji, yang akan menjadi dibata teruh atau
penguasa dunia bawah dan juga makhluk-makhluk halus. Selain itu, dia juga yang memegang
buku kematian. Puteri bungsu bernama Dibata Kaci-Kaci yang menjadi dibata datas. Dia
menjadi penguasa angkasa dan bertugas menjaga tata-tertib alam semesta dan menjadi sumber
kebaikan. Masyarakat suku Karo berharap kepadanya. Ketiga sosok ini kemudian dikenal
dengan istilah dibata la idah (allah yang tidak kelihatan).

Setelah beranjak dewasa, Tuan Banua Koling dipersiapkan untuk mengikuti


perkawinan sesuai dengan pesan dari Tuan Begunda Raja. Permaisuri Tuan Begunda Raja
membuat boneka menyerupai manusia yang akan menjadi istri Tuan Banua Koling dan
memasukkannya ke dalam bakul. Kemudian ia memberikannya kepada Tuan Banua Koling.
Permaisuri berpesan bahwa bakul itu baru dapat dibuka sesudah lewat empat hari. Namun
Tuan Banua Koling membuka kotak itu sebelum waktunya, sehingga boneka itu berubah
menjadi setan. Untuk kedua kalinya permaisuri membuat lagi boneka yang baru dengan tetap
memberikan syarat yang sama. Namun, karena ketidaksabarannya Tuan Banua Koling
kembali mengulangi perbuatannya sehingga boneka itu berubah menjadi hantu air yang
bernama Sidangbela, yang merupakan sumber dari kejahatan manusia. Akhirnya untuk kali
ketiga, permaisuri kembali membuat boneka yang baru dan Tuan Banua Koling membuka
kotak tepat pada waktunya. Boneka tersebut kemudian menjelma menjadi seorang gadis
cantik yang bersedia menjadi isteri Tuan Banua Koling.

Sesudah mereka menikah, Istri Tuan Banua Koling mengandung dan kemudian
melahirkan empat belas orang anak, tujuh laki-laki dan tujuh perempuan. Namun mereka
tidak mau bekerja, sehingga Tuan Banua Koling membunuh semua anaknya. Sesudah itu,
terjadi sebuah keajaiban. Anak-anak yang telah dibunuh Tuan Banua Koling menjelma
1
Z. Pangaduan Lubis, Cerita Rakyat dari Karo (Jakarta: Grasindo, 1997), hlm. 1-7.

2
menjadi tujuh matahari dan tujuh bulan. Akibatnya, cuaca pada siang hari menjadi sangat
panas dan sebaliknya cuaca pada malam hari menjadi sangat dingin. Keadaan ekstrem
tersebut akhirnya mendorong Tuan Banua Koling membunuh enam matahari dan enam bulan
sehingga saat ini hanya tersisa tinggal satu matahari dan satu bulan.

Setelah itu istri Tuan Banua Koling kembali hamil dan melahirkan delapan orang
anak. Mereka membesarkan kedelapan anak itu dengan penuh kasih sayang. Setelah mereka
bertumbuh dewasa, setiap anak ini menempati masing-masing satu tempat berdasarkan
kedelapan penjuru mata angin. Mereka memelihara keteraturan bumi dan berbagai mahkluk di
dalamnya. Kedelapan anak tersebut pada akhirnya menjadi cikal bakal dari umat manusia.

Dalam budaya Karo, sosok allah yang transenden diwujudkan dalam sosok konkret
yakni rakut sitelu2 (rakut artinya “rangkulan” dan sitelu artinya “yang tiga”). Rakut sitelu
terdiri dari kalimbubu3, sukut4 dan anak beru5. Konsep ini dipengaruhi oleh perjumpaan antara
agama Hindu dengan politeisme dan monoteisme asli Karo. Kepercayaan ini merupakan hasil
dari perkawinan darah dan perjumpaan antara suku Karo yang berasal dari campuran Proto
Melayu dan Deutero Melayu serta orang India. Bukti ini diperkuat dengan adanya marga
Sembiring yang memiliki kemiripan makna dengan orang India (brahmana).6

Masyarakat Karo percaya bahwa keserasian yang terjadi di dunia ini adalah karena
adanya relasi yang baik antara ketiga dibata. Menurut mitos, yang mengatur keharmonisan
relasi ini ialah dibata kaci-kaci yang juga sering disebut sebagai batara guru. Kemungkinan
besar, inilah yang menjadi alasan mengapa kalimbubu itu berasal dari pihak perempuan.7

2. Penciptaan dalam Pandangan Gereja

2
Rakut sitelu merupakan penjelmaan dari seluruh kehadiran fungsi-fungsi sosial masyarakat Karo dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam rakut sitelu (anak beru, kalimbubu dan senina), seluruh unsur sosial telah termuat
bersama dengan peran, status dan kedudukannya masing-masing. [Lihat Perdana Ginting, Masyarakat Karo
Dewasa Ini: Hasil Rumusan Serasehan Budaya Karo (Medan: [tanpa penerbit], 1989), hlm. 33.]
3
Kalimbubu adalah pihak keluarga perempuan yang dikawini. Bila pihak lelaki kasin dengan pihak perempuan,
maka keluarga pihak perempuan menjadi kalimbubu. Dalam adat Karo, kalimbubu sangat dihormati. Masyarakat
Karo meyakini bahwa kehidupan berasal dari perempuan sehingga keluarga pihak perempuan haruslah
dihormati. Kalimbubu juga disebut dengan istilah “Dibata si ni Idah” artinya “Tuhan yang kelihatan”.
Masyarakat Karo meyakini bahwa kehidupan berasal dari perempuan sehingga keluarga pihak perempuan
haruslah dihormati. [Lihat Sempa Sitepu, Pilar Budaya Karo (Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1996), hlm.
41.]
4
Sukut adalah golongan sembuyak dan senina. Sembuyak adalah saudara kandung; satu perut dalam satu ayah dan
ibu. Senina berarti saudara, karena satu nenek dari pihak ayah. [Lihat Sempa Sitepu, Pilar Budaya…, hlm. 42.]
5
Anak beru adalah pihak keluarga laki-laki yang mengambil anak perempuan dari suatu keluarga. Pihak inilah
yang biasanya menjadi pelayan dalam pesta adat orang Karo. [Lihat Sempa Sitepu, Pilar Budaya…, hlm. 43.]
6
E. P. Ginting, Religi Karo (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm. 5.
7
E. P. Ginting, Religi Karo…, hlm. 9.

3
Pada bagian pengantar penulis telah menjelaskan bahwa ajaran mengenai kisah penciptaan
dalam Gereja Katolik di dasarkan pada Kitab Kejadian. Gereja mengimani bahwa Allah
adalah Pencipta atas segala sesuatu dan Ia menciptakan segalanya dari ketiadaan (creatio ex
nihilo). Selain itu, penciptaan juga dibahas dalam Perjanjian Baru. Dari dasar-dasar biblis
yang ada, kemudian para Bapa Gereja dan teolog merefleksikan kisah penciptaan tersebut dan
merumuskan pandangan-pandangan teologis. Pandangan teologis tersebut kemudian diajarkan
kepada seluruh umat sebagai sebuah kebenaran iman, bahwa Allah adalah satu-satunya
Pencipta alam semesta dan segala isinya, termasuk manusia.
2. 1 Pandangan Biblis
Kisah penciptaan dalam Perjanjian Lama terbagi dalam dua tradisi yakni tradisi P
(Priestercodex) dan tradisi Y (Yahwis). Tradisi Y menulis kisah penciptaan dalam gaya cerita
rakyat, tanpa pengulangan dan susunan rapi yang menjadi ciri khas tradisi P. 8 Tradisi Y,
sebagai tradisi yang lebih tua, memulai kisahnya dengan penciptaan manusia. 9 Dalam tradisi
Y (Yahwista), dikisahkan bahwa Allah menciptakan manusia dari debu tanah (dalam bahasa
Ibrani adamah, Kej 2:7). Istilah “manusia” tidak merujuk pada pribadi atau sesorang yang
bernama Adam, melainkan merujuk pada semua umat manusia (kemanusiaan). Setelah
membentuk manusia dari debu tanah, Allah kemudian meniupkan kehidupan ke dalam
“manusia”, sehingga ia menjadi “mahkluk hidup”.10 Oleh karena itu, nafas dan kehidupan
manusia tergantung sepenuhnya pada Allah. Apabila Allah menarik nafas-Nya dari manusia,
maka manusia akan kehilangan kehidupan dan mati. Sesudah menciptakan manusia, Allah
kemudian menciptakan tempat tinggal bagi manusia, yakni sebuah taman dengan berbagai
pepohonan.
Inti dari kisah penciptaan dalam tradisi Y ialah mengungkapkan sebuah permenungan
pada sejarah manusia yang berupa rangkaian kedosaan dan kerahiman Allah.11 Manusia,
dengan egoisme dan kesombongannya, berbuat dosa sehingga Allah menghukum dan
menceraiberaikan mereka. Namun, Allah kembali berjanji untuk menyelamatkan manusia
dengan panggilan Abraham. Berbagai rangkaian kisah yang ada ditujukan untuk menekankan
bahwa Allah tetap setia pada janji-Nya, walaupun manusia tidak setia kepada-Nya.12 Tradisi Y
beranjak dari situasi bangsa Israel pada saat masa raja Daud dan Salomo, yang
mengembangkan hidup berbangsa, beriman dan berbudaya. 13 Pada masa itu, bangsa Israel
8
Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Alkita Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 2015), hlm. 36.
9
Surip Stanislaus, Kitab Taurat Musa (Medan: Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas, 2017), hlm. 7. (Diktat).
10
Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Alkitab…, hlm. 37.
11
Surip Stanislaus, Kitab Taurat…, hlm. 7.
12
Surip Stanislaus, Kitab Taurat…, hlm. 7.
13
Surip Stanislaus, Kitab Taurat…, hlm. 7.

4
berhadapan dengan bangsa-bangsa lain yang memiliki kepercayaan dengan kekhasannya
masing-masing. Sehingga penting bagi Bangsa Israel untuk merenungkan dan selalu
mengingat YHWH yang telah memilih mereka dari antara bangsa lain, sebagai bangsa pilihan.
Permenungan iman akan YHWH melalui konfrontasi dengan bangsa lain itulah yang
membuat bangsa Israel menemukan kekhasan iman mereka.
Kekhasan iman dan berkat Allah itulah yang menjadi pusat perhatian dari tradisi P. 14
Tradisi P mengisahkan bahwa penciptaan yang pada dasarnya baik adanya berpuncak pada
berkat yang dianugerahkan Allah pada Adam dan Hawa (Kej. 1:28) dan berkat tersebut terus-
menerus diperbaharui kembali pada Nuh, diperluas kepada Abraham, dst. Dalam tradisi P,
dikisahkan bahwa Allah menciptakan manusia dan segala mahkluk dengan berfirman. Kisah
penciptaan manusia memiliki sedikit keistimewaan dibandingkan dengan kisah penciptaan
mahkluk hidup lainnya. Penciptaan dunia dan mahkluk hidup, selain manusia, ditujukan pada
penciptaan manusia.15 Penulis tradisi P meletakkan kisah penciptaan manusia pada bagian
akhir dan menyusunnya secara detail untuk menunjukkan bahwa manusia merupakan puncak
dari seluruh ciptaan. Karya penciptaan manusia diawali dengan keputusan ilahi: “Baiklah Kita
menjadikan manusia…”. Kata ganti orang pertama jamak “Kita” mengungkapkan adanya
partisipasi ilahi dalam penciptaan manusia. St. Agustinus menafsirkan kata “Kita” sebagai
ketiga Pribadi Allah Trinitas, yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus.16
Dalam rangka penciptaan manusia digunakan istilah bara, yang berarti menciptakan
dari ketiadaan.17 Kata ini hanya dapat diidentikkan dengan Allah, yakni satu-satunya subjek
yang mampu menciptakan dari ketiadaan. Selain itu, keistimewaan manusia juga ditunjukkan
dengan pernyataan Allah yang menciptakan manusia menurut “gambar dan rupa Allah” (Kej
1:26). Istilah “rupa” sepertinya hendak memperlemah arti istilah “gambar” untuk menghindari
pengertian kesamaan.18 Keserupaan manusia dengan Allah menjadi pembeda manusia dengan
mahkluk lainnya, khususnya binatang. Selain itu, keserupaan itu juga merujuk pada
keserupaan menyeluruh dalam kodrat, yakni akal, kehendak dan kekuasaan. Keserupaan
kodrati tersebut membentuk manusia menjadi “pribadi” dan mempersiapkan wahyu perihal
pengikutsertaan manusia dalam kodrat Allah yang dianugerahkan padanya.
2. 2 Pandangan Teologis

14
Surip Stanislaus, Kitab Taurat…, hlm. 7.
15
Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Alkitab…, hlm. 35.
16
Surip Stanislaus, Kitab Taurat…, hlm. 17.
17
Surip Stanislaus, Kitab Taurat…, hlm. 17.
18
Lembaga Biblika Indonesia, Kitab Suci Perjanjian Lama I (Ende: Arnoldus, 1982), hlm. 28.

5
Penciptaan merupakan awal sejarah keselamatan yang berpuncak pada Kristus. 19
Hanya Allah satu-satunya Pencipta dan semua ciptaan bergantung kepada-Nya. Kitab Suci
dan Tradisi mengajarkan bahwa dunia diciptakan demi kemuliaan Allah. St. Bonaventura juga
menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu bukan untuk menambah kemuliaan-
Nya, melainkan untuk mewartakan dan menyampaikan kemuliaan-Nya. 20 Tujuan akhir dari
ciptaan ialah bahwa Allah Pencipta, akhirnya menjadi semua di dalam semua, dengan
mengerjakan kemuliaan-Nya dan sekaligus kebahagiaan kita.21 Allah sendiri mencipta dalam
kebijaksanaan dan cinta. Hal itu menjadi dasar bagi kita untuk memahami bahwa keberadaan
dunia dan segala mahkluk di dalamnya, termasuk manusia, bukan merupakan sebuah
kebetulan. Allah menciptakan segala sesuatu agar ciptaan dapat ambil bagian dalam
kebijaksanaan-Nya.
Allah juga menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dan bukan
dari sesuatu yang telah ada sebelumnya. Hal itulah yang menjadi keistimewaan-Nya, sehingga
Ia tidak membutuhkan sesuatu atau bantuan apa pun. Dari ketiadaan Ia menciptakan segala
sesuatu yang baik adanya dalam keteraturan. Dalam hal ini, manusia memiliki panggilan
khusus dari Allah untuk membangun hubungan yang akrab dengan-Nya. Dalam keakraban
dengan sikap rendah hati dan khidmat, manusia ambil bagian dalam cahaya budi Ilahi
sehingga mereka dapat menangkap pesan yang disampaikan Allah melalui ciptaan.
Sesudah mencipta, Allah tidak membiarkan atau melupakan ciptaan-Nya begitu saja.
Ia tidak hanya memberikan eksistensi, melainkan juga memelihara semua ciptaan dalam
setiap saat dalam keberadaannya.22 Dengan Penyelenggaraan Ilahi-Nya, Allah senantiasa
membimbing ciptaan menuju kesempurnaan terakhir yang dipikirkan Allah baginya. Namun,
Allah tetap memberikan kebebasan kepada ciptaan, khususnya manusia, untuk mengakui
ketergantungannya kepada sang Pencipta, yang akan menghasilkan kebijaksanaan, kebebasan,
kegembiraan dan kepercayaan, yang akan menghantar mereka pada tujuan akhir, yakni Allah
sendiri. Oleh karena itu, selalu dibutuhkan kerja sama dari ciptaan untuk ambil bagian dalam
penyelenggaraan Allah, untuk melengkapi karya penciptaan dan untuk menyempurnakan
keteraturannya demi kesejahteraan diri sendiri dan juga kesejahteraan bersama.23

19
Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, Katekismus Gereja Katolik (Ende: Nusa Indah, 1995), no. 280.
Penulisan selanjutnya Katekismus Gereja Katolik disingkat KGK dan diikuti no.
20
KGK no. 293.
21
Konsili vatikan II, “Dekrit Tentang Kegiatan Misioner Gereja” Ad Gentes (AG), dalam Konsili Vatikan II,
diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 2009), no. 2.
Selanjutnya disingkat dengan AG dan diikuti no.
22
KGK no. 301.
23
KGK no. 307.

6
3. Perbandingan Isi dan Muatan Kisah Penciptaan dalam Budaya Karo dan Ajaran
Gereja
Setelah membahas kisah penciptaan dalam budaya Karo dan dalam Ajaran Gereja,
penulis menemukan beberapa kesamaan dan juga perbedaan unsur-unsur yang temuat di
dalamnya. Berikut beberapa hal yang dapat diperbandingkan antara kisah penciptaan dalam
budaya Karo dengan kisah penciptaan dalam ajaran Gereja.
3. 1 Pencipta dan Peranannya dalam Penciptaan
Dalam budaya Karo, yang dipercaya sebagai Pencipta alam semesta dan
manusia ialah Tuan Begunda Raja bersama dengan ketiga anaknya, yakni Tuan Banua
Koling, Tuan Paduka Aji dan Dibata Kaci-Kaci. Subjek yang berperan penting dalam
kisah penciptaan ini ialah permaisuri Tuan Begunda Raja, Tuan Banua Koling dan
isterinya. Awal penciptaan dimulai saat permaisuri Tuan Begunda Raja membuat
sebuah boneka yang akan menjadi isteri dari Tuan Banua Koling. Kemudian, karena
ketidaksabarannya, Tuan Banua Koling dua kali melanggar aturan yang dibuat oleh
permaisuri, sehingga terciptalah setan dan Sindangbela, yang menjadi sumber
kejahatan manusia. Sesudah itu, proses penciptaan dilanjutkan oleh Tuan Banua
Koling dan isterinya, yang melahirkan empat belas orang anak dan kemudian dibunuh
sehingga tersisa satu matahari dan satu bulan. Sesudah itu, mereka kembali
mempunyai delapan orang anak, yang dipercaya menjadi cikal-bakal dari manusia.
Sedangkan dalam ajaran Gereja, Allah adalah Pencipta satu-satunya. Ia
mencipta segala sesuatu dari ketiadaan tanpa bantuan mahkluk apapun. Allah dengan
sengaja menciptakan alam semesta dan manusia bukan untuk menambahkan
kemuliaan-Nya, melainkan untuk mewartakan kemuliaan-Nya kepada seluruh ciptaan.
Ia juga menciptakan segala sesuatu secara teratur, sesuai dengan kehendak-Nya.
3. 2 Tujuan Penciptaan
Dalam kisah Penciptaan dari budaya Karo, tidak dikisahkan atau dijelaskan
tujuan dari tindakan penciptaan. Bahkan penciptaan dilihat sebagai suatu hasil
kebetulan atau ketidaksengajaan dari tindakan Tuan Banua Koling. Sedangkan dalam
ajaran Gereja, telah dijelaskan bahwa tujuan Allah mencipta ialah untuk mewartakan
kemuliaan-Nya. Selain itu, Gereja juga mengajarkan bahwa tujuan akhir dari
penciptaan ialah agar Allah Pencipta menjadi semua di dalam semua, sehingga
manusia dan mahkluk ciptaan yang lain dapat ambil bagian dalam kebijaksanaan-Nya.
3. 3 Urutan Penciptaan dan Tujuan Kisah Penciptaan

7
Dalam kisah penciptaan dari budaya Karo, tidak disajikan sebuah urutan yang
teratur mengenai penciptaan. Selain itu, pusat perhatian dari kisah ialah mengenai
penciptaan manusia. Terciptanya matahari dan bulan hanya merupakan suatu
kebetulan atau ketidaksengajaan dari tindakan Tuan Banua Koling yang membunuh
keempat belas anaknya. Dalam kisah yang singkat tersebut tidak dijelaskan mengenai
penciptaan mahkluk hidup lain, seperti misalnya tumbuhan, hewan, dsb.
Dalam ajaran Gereja yang berdasarkan pada teks kitab Kejadian, ada dua jenis
kisah yang berdasar pada dua tradisi. Dalam tradisi P urutan kisah penciptaan dimulai
dengan penciptaan langit dan bumi, terang dan gelap, cakrawala, tumbuh-tumbuhan,
benda penerang, binatang-binatang dan manusia. Urutan ini ingin menunjukkan
kedudukan manusia sebagai “puncak” dari semua ciptaan. Sedangkan dalam tradisi Y,
penciptaan difokuskan pada kisah Allah yang menciptakan manusia dari debu tanah
dan kemudian membuat taman eden dengan segala tumbuhan di dalamnya. Kisah ini
ingin menunjukkan kedudukan manusia sebagai “pusat” dari segala ciptaan.
3. 4 Dosa dan Penciptaan
Dalam kisah Penciptaan dari budaya Karo, digambarkan mengenai kesalahan
atau dosa dari Tuan Banua Koling yang tidak mematuhi perintah dari permaisuri Tuan
Begunda Raja. Ketidaksabaran dan ketidaktaatan Tuan Banua Koling pada permaisuri
akhirnya menghasilkan masalah yakni terciptanya setan dan Sidangbela yang menjadi
sumber kejahatan manusia selanjutnya. Dalam kisah penciptaan berdasarkan ajaran
Gereja, khususnya dalam tradisi Y, juga dikisahkan perihal keberdosaan manusia
pertama, yakni Adam dan Hawa. Adam dan Hawa tidak mentaati perintah Allah dan
terbujuk godaan setan dalam rupa ular untuk memakan buah pohon yang dilarang.
Akibatnya mereka diusir dari Taman Eden dan harus bersusah payah mengusahakan
tanah demi kehidupan mereka. Selain itu, dosa Adam dan Hawa tersebut juga dikenal
dalam ajaran Gereja mengenai dosa asal. Karena kesatuan seluruh manusia dalam
kemanusiaan Adam, maka setiap manusia membawa dosa asal dalam kelahiran. Dosa
asal ini adalah “suatu keadaan” dan bukan “perbuatan”.

3. 5 Penyelengaraan Ilahi terhadap Ciptaan


Mitos Tuan Begunda Raja berakhir dengan lahirnya ke delapan anak Tuan
Banua Koling yang dipercaya sebagai cikal bakal manusia. Sesudah itu, tidak lagi

8
dijelaskan bagaimana nasib manusia-manusia dan dunia yang telah tercipta tersebut.
Namun pada bagian awal mitos, sudah dikisahkan bahwa ketiga dunia (dalam
kepercayaan budaya Karo) dikuasai dan diatur oleh ketiga anak Tuan Begunda Raja.
Tuan Banua Koling yang menguasai dan mengatur bumi (dibata tengah), Tuan
Paduka Aji yang mengatur dunia bawah (dibata teruh) dan Dibata Kaci-Kaci yang
menguasai dan mengatur tata tertib alam semesta serta menjadi sumber kebaikan.
Proses atau cara keterlibatan ketiganya tidak dikisahkan dengan jelas, namun diyakini
bahwa ketiga dibata tersebut terwujud secara nyata dalam rakut sitelu, yakni
kalimbubu, sukut dan anak beru.
Sedangkan dalam ajaran Gereja dijelaskan bahwa sesudah menciptakan alam
semesta, segala mahkluk dan manusia, Allah tidak meninggalkan dan membiarkan
ciptaan begitu saja. Allah membimbing dan mengarahkan seluruh ciptaan pada tujuan
akhir yang telah dipikirkan Allah bagi setiap ciptaan. Namun di sisi alin, Allah juga
memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengakui ketergantungannya pada
Allah, Sang Pencipta. Dengan kata lain, penyelenggaraan ilahi dari pihak Allah tetap
membutuhkan kerja sama yang aktif dari setiap ciptaan. Dengan bekerja sama dengan
penyelenggaraan Allah, manusia dan setiap ciptaan ambil bagian dalam
kebijaksanaan-Nya dan menyempurnakan keteraturannya, baik demi kesejahteraan diri
sendiri, maupun demi kesejahteraan bersama seluruh ciptaan.

PENUTUP

Dalam dirinya, manusia selalu berusaha mencari tahu asal-usul dari keberadaannya di
dunia. Kebudayaan, melalui mitos yang ada, mencoba membantu manusia untuk sampai pada
pemahaman mengenai asal-usulnya dan memuaskan mereka dengan jawaban yang ada. Kita
sudah melihat bahwa budaya Karo mencoba menjawab rasa ingin tahu manusia akan asal-
usulnya dengan mitos Tuan Begunda Raja. Begitu pula Gereja mengajarkan kisah penciptaan
dengan berdasar pada mitos penciptaan dalam Kitab Kejadian. Walaupun kedua kisah
penciptaan tersebut adalah mitos, namun kedua kisah tersebut tidak sama nilai atau
kedudukannya.

Mitos Tuan Begunda Raja memang berhasil menjawab bagaimana asal-usul manusia
sesungguhnya. Namun, mitos tersebut hanya berhenti sampai lahirnya ke delapan anak Tuan
Banua Koling yang menjadi cikal-bakal manusia selanjutnya. Mitos tersebut belum
menyajikan secara teratur bagaimana sebenarnya proses penciptaan dengan menonjolkan

9
aspek “kebetulan” atau “ketidaksengajaan” dalam kisah penciptaan. Sedangkan mitos
Penciptaan dalam Kitab Kejadian tidaklah demikian.

Walaupun kisah penciptaan ini merupakan mitos hasil refleksi bangsa Israel, namun
Gereja mengimani bahwa Allah, melaui Roh Kudus-Nya, turut berperan serta dalam
mengilhami bangsa Israel, khususnya penulis dari Kitab Kejadian. Hal itu dapat dipahami
melalui keteraturan dan konsistensi dari kisah tersebut. Jika dibandingkan dengan mitos Tuan
Begunda Raja, terlihat bahwa kisah penciptaan dalam kitab Kejadian lebih teratur, terstruktur
dan tersusun sesuai dengan tujuan dari teks tersebut. Kisah itu mampu menghantar manusia
sampai pada refleksi bahwa manusia hanyalah ciptaan terbatas yang bergantung sepenuhnya
pada Allah, Pencipta satu-satunya. Selain itu melalui kisah tersebut, kita sebagai manusia
diingatkan bahwa proses penciptaan belum selesai. Allah masih senantiasa menyelenggarakan
dunia dalam proses penciptaan yang berkelanjutan.

Kita diingatkan bahwa penyelenggaraan ilahi dari Allah tidak bekerja secara otomatis
dan seolah-olah ciptaan hanya robot saja. Penyelenggaraan ilahi Allah membutuhkan kerja
sama dari semua ciptaan, khususnya manusia yang telah diciptakan Allah menurut gambar
dan rupa-Nya. Allah telah menganugerahkan berkat-Nya pada manusia untuk menjadi alat
bagi Allah untuk mengelola dan merawat ciptaan yang lain. Allah juga bekerja dalam diri
setiap manusia untuk membantu semua ciptaan sampai pada tujuan akhirnya masing-masing
dan terutama agar Allah menjadi semua dalam semua ciptaan.

DAFTAR PUSTAKA

Bergant, Dianne dan Karris, Robert J. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius,
2015.

10
Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hadawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI-Obor, 2012.

Ginting, E. P. Religi Karo. Kabanjahe: Abdi Karya, 1999.

Ginting, Perdana. Masyarakat Karo Dewasa Ini: Hasil Rumusan Serasehan Budaya Karo.
Medan: [tanpa penerbit], 1989.Konferensi

Konferensi Waligereja Indonesia. Kompendium Katekismus Gereja Katolik. Yogyakarta: KWI


dan Kanisius, 2009.

Lembaga Biblika Indonesia, Kitab Suci Perjanjian Lama I (Ende: Arnoldus, 1982), hlm. 28.

Lubis, Z. Pangaduan. Cerita Rakyat dari Karo. Jakarta: Grasindo, 1997.

Sitepu, Sempa. Pilar Budaya Karo. Medan: Bali Scan dan Percetakan, 1996.

Stanislaus, Surip. Kitab Taurat Musa. (Medan: Fakultas Filsafat UNIKA St. Thomas, 2017
(Diktat).

11

Anda mungkin juga menyukai