Anda di halaman 1dari 11

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep DM Gangren

2.1.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan penyakit gangguan metabolik akibat pankreas
tidak mampu lagi memproduksi insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin
yang diproduksi secara efektif. Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan
kadar gula darah di dalam tubuh. Akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi glukosa
di dalam darah yang disebut hiperglikemia. Data Sample Registration Survey tahun
2014 menunjukkan bahwa diabetes melitus merupakan penyebab kematian terbesar
nomor 3 di Indonesia dengan persentase sebesar (6,7%), sedangkan penyakit jantung
koroner (12,9%) dan (21,1%) penyakit stroke. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 melakukan wawancara untuk mendapatkan proporsi diabetes melitus pada
usia 15 tahun ke atas, yaitu proporsi dan perkiraan jumlah absolut pada penderita
diabetes melitus di Indonesia dengan penduduk yang berusia ≥15 tahun yang
terdiagnosis penyakit diabetes melitus sekitar 12 juta. Pada provinsi Sumatera Utara
jumlah penduduk yang berusia ≥15 tahun yang menderita diabetes melitus berkisar
57.188 orang. Berdasarkan Riskesdas Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,
angka kejadian ulkus kaki diabetes pada penderita diabetes melitus di Indonesia
berkisar 8,7% (Kemenkes, 2014).

Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolisme yang dikarakterisasi


oleh hiperglikemia akibat dari efek sekresi insulin, atau karena kerja dari insulin
maupun keduanya. Diabetes melitus juga disebutkan sebagai sindrom klinis yang
dikarakterisasi dengan hiperglikemia baik karena defisiensi insulin absolut atau
relatif, atau kombinasi dari resistensi insulin dan ketidakcukupan sekresi insulin
untuk kompensasi (ADA, 2012). Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu juta
amputasi pada penyandang diabetes setiap tahun. Sekitar 68% penderita gangren
diabetik adalah perempuan. Sebagian besar perawatan di RS Cipto Mangunkusumo
6

menyangkut gangren diabetes, angka kematian dan angka amputasi masing-masing


sebesar 16% dan 25%. Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca
amputasi dan 37% akan meninggal tiga tahun pasca-operasi (Kartika, 2017).

Diabetes Mellitus (DM) adalah gangguan metabolisme dengan manifestasi


berupa hilangnya toleransi karbohidrat, yang ditandai dengan tingginya kadar gula
darah dalam darah. Manifestasi klinik DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
setelah makan karbohidrat. Hiperglikemi yang berat dan melebihi ambang ginjal,
akan menimbulkan glikosuria. Glikosuria ini mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang, dikarenakan
glukosa yang ikut dieskresikan bersama urin. Banyaknya kalori yang hilang inilah
yang dapat meningkatkan rasa lapar (polifagia), keadaan ini disertai dengan keluhan
pasien yang mudah lelah dan mengantuk (Schteingart, 2009).

2.1.2 Klasifikasi DM Gangren


Klasifikasi diabetes Melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile
diabetes”, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun
disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak
dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia
20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya. Pada
tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan
terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah "Insulin-
Dependent Diabetes Melitus" (IDDM)dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Melitus"
(NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-publikasi WHO selanjutnya istilah
DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul (ADA,2016).
7

2.1.3 Etiologi DM Gangren


Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”.1,8 Resistensi
insulinbanyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta
penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa
hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara
autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita
diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.4,5 Pada awal
perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi
insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara
progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang
umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi
insulin (ADA,2016).

2.1.4 Patofisiologi dm Gangren


Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu
:

1. Resistensi insulin

2. Disfungsi sel B pancreas. badan lahir bayi >4000 gram atau riwayat pernah
menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan beratbadan rendah ( 23 dapat
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah menjadi 200mg%. 1,2 2. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah pada hipertensi berhubungan erat dengan tidak tepatnya
8

penyimpanan garam dan air, atau meningkatnya tekanan dari dalam tubuh pada
sirkulasi pembuluh darah perifer.

3. Riwayat Keluarga Diabetes Mellitus Seorang yang menderita Diabetes Mellitus


diduga mempunyai gen diabetes. Diduga bahwa bakat diabetes merupakan gen
resesif. Hanya orang yang bersifat homozigot dengan gen resesif tersebut yang
menderita Diabetes Mellitus.

4. Dislipedimia Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah
(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma insulin
dengan rendahnya HDL (< 35 mg/dl) sering didapat pada pasien Diabetes.

5. Umur Berdasarkan penelitian, usia yang terbanyak terkena Diabetes Mellitus


adalah > 45 tahun.

6. Riwayat persalinan Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau berat
badan bayi > 4000gram

7. Faktor Genetik DM tipe 2 berasal dari interaksi genetis dan berbagai faktor mental
Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi familial. Risiko
emperis dalam hal terjadinya DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat
jika orang tua atau saudara kandung mengalami penyakitini.

8. Alkohol dan Rokok Perubahan-perubahan dalam gaya hidup berhubungan dengan


peningkatan frekuensi DM tipe 2. Walaupun kebanyakan peningkatan ini
dihubungkan dengan peningkatan obesitas dan pengurangan ketidak aktifan fisik,
faktor-faktor lain yang berhubungan dengan perubahan dari lingkungan tradisional
kelingkungan kebarat- baratan yang meliputi perubahan-perubahan dalam konsumsi
alkohol dan rokok, juga berperan dalam peningkatan DM tipe 2.

Alkohol akan menganggu metabolisme gula darah terutama pada penderita


DM, sehingga akan mempersulit regulasi gula darah dan meningkatkan tekanan
darah. Seseorang akan meningkat tekanan darah apabila mengkonsumsi etil alkohol
lebih dari 60ml/hari yang setara dengan 100 ml proof wiski, 240ml wine atau 720 ml.
Faktor resiko penyakit tidak menular, termasuk DM Tipe 2, dibedakan menjadi dua.
9

Yang pertama adalah faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya umur, faktor
genetik, pola makan yang tidak seimbang jenis kelamin, status perkawinan, tingkat
pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, Indeks
Masa Tubuh (MAJORITY,2015).

2.1.5 Manifestasi Klinis Dm Gangren


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Gejala akut
diabetes melitus yaitu : Poliphagia (banyak makan) polidipsia (banyak minum),
Poliuria (banyak kencing/sering kencing di malam hari), nafsu makan bertambah
namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah
lelah. Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual
menurun bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi
keguguran atau kematian janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih
dari 4kg (MAJORITY,2015).

2.1.6 Komplikasi Dm Gangren


Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik akan menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Menurut PERKENI komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu :

a. Komplikasi akut
Hipoglikemia, adalah kadar glukosa darah seseorang di bawahnilai normal (<
50 mg/dl). Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita DM tipe 1 yang
dapat dialami 1-2 kali per minggu, Kadar gula darah yang terlalu rendah
menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat pasokan energi sehingga tidak
berfungsi bahkan dapat mengalami kerusakan. - Hiperglikemia, hiperglikemia
adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang
menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis
diabetik, Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis.
b. Komplikasi Kronis
10

Komplikasi makrovaskuler, komplikasi makrovaskuler yangumum


berkembang pada penderita DM adalah trombosit otak (pembekuan darah
pada sebagian otak), mengalami penyakit jantung koroner (PJK), gagal
jantung kongetif, dan stroke. - Komplikasi mikrovaskuler, komplikasi
mikrovaskuler terutama terjadi pada penderita DM tipe 1 seperti nefropati,
diabetik retinopati (kebutaan), neuropati, dan amputasi (MAJORITY,2015).

2.1.7 Penatalaksanaan DM
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai dengan
Konsensus Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien DM. Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :2 Jangka pendek :
hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya
target pengendalian glukosa darah. Jangka panjang: tercegah dan terhambatnya
progresivitas penyulitmikroangiopati, makroangiopati dan neuropati. Tujuan akhir
pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk mencapai tujuan
tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan
profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku.

1. Diet Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang
diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan,
jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat
penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang dianjurkan adalah makanan
dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%
danprotein 10-15%. Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body
Mass Indeks).

2. Exercise (latihan fisik/olahraga). Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali


seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang sifatnya sesuai dengan Continous,
Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance (CRIPE). Training sesuai dengan
11

kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan kaki biasa
selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.

3. Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan.


Pendidikan kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok
masyarakat resiko tinggi. Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada
kelompok pasien DM. Sedangkan pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier
diberikan kepada pasien yang sudah mengidap DM dengan penyulit menahun.

4. Obat : oral hipoglikemik, insulin Jika pasien telah melakukan pengaturan makan
dan latihan fisik tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka
dipertimbangkan pemakaian obat hipoglikemik

2.2 Psikososial Pasien DM Gangren

2.2.1 Definisi Psikososial


Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu. Psikososial
individu terlihat dari sikap yang muncul dari gejala psikis dan sosial, yang saling
memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial.
Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan
perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang-
orang di sekitarnya. Hal ini ditegaskan oleh Chaplin (2011) bahwa istilah psikososial
berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup faktor-faktor psikologis.

2.2.2 Psikososial Pasien Gangren


Menurut Dyahsari (2009) pandangan terhadap psikososial yang positif
diantaranya Suatu persepsi yang benar tentang bentuk individu, individu melihat
tubuhnya sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Individu menghargai badan/
tubuhnya yang alami dan individu memahami bahwa penampilan fisik seseorang
hanya berperan kecil dalam menunjukan karakter mereka dan nilai dari
seseorang. Individu merasa bangga dan menerimanya bentuk badan yang unik
dan tidak membuang waktu untuk mengkhawatirkannya. Individu merasa yakin
12

dan nyaman dengan kondisi badannya. Oleh karena itu pendidikan kesehatan
sangatlah penting dalam merubah sikap atau prilaku pasien gangrene sehinga
mereka mampu menjaga psikologisnya dalam menghadapi masalah yang
diakibatkan dari sakit (gangrene) yang dideritanya.

2.3 Masalah Psikosial yang Muncul Akibat Gangren


Citra tubuh merupakan sikap seseorang terhadap tubuhnya baik disadari atau
tidak, menyangkut persepsi sekarang dan masa lalu. Persepsi seseorang terhadap
bagaimana seharusnya ia bersikap yang dilandaskan pada target yang hendak dicapai,
keinginan keberhasilan, dan penilaian (Carpenito, 2009). Citra tubuh adalah persepsi
seseorang tentang tubuh, baik internal maupun eksternal. Persepsi ini mencakup
perasaan dan sikap yang ditujukan pada tubuh (Perry dan Potter, 2005). Citra tubuh
adalah bahwa citra tubuh merupakan evaluasi dan pengalaman afektif seseorang
terhadap karakteristik dirinya, bisa dikatakan bahwa investasi dalam penampilan
merupakan bagian utama dari evaluasi diri seseorang (Cash, 2000 dalam Nur 2010).

Citra tubuh merupakan penampilan fisik individu merasakan bangga dan


menerima bentuk badannya yang unik dan tidak membuang waktu untuk
mengkhawatirkan makanan, berat badan, dan kalori (Dewi, 2009).

Citra tubuh terdiri dari citra tubuh positif dan citra tubuh negatif, Citra Tubuh
yang positif merupakan suatu persepsi yang benar tentang bentuk individu, individu
melihat tubuhnya sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Individu menghargai badan
atau tubuhnya yang alami dan individu memahami bahwa penampilan fisik seseorang
hanya berperan kecil dalam menunjukkan karakter mereka dan nilai dari seseorang.
Individu merasakan bangga dan menerimanya bentuk badannya yang unik dan tidak
membuang banyak waktu untuk mengkhawatirkan makanan, berat badan, dan kalori.
13

Individu merasakan yakin dan nyaman dengan kondisi badannya. Sedangkan, Citra
tubuh yang negatif merupakan suatu persepsi yang salah mengenai bentuk individu,
perasan yang bertentangan dengan kondisi tubuh individu sebenarnya. Individu
merasa bahwa hanya orang lain yang menarik dan bentuk tubuh dan ukuran tubuh
individu adalah sebuah tanda kegagalan pribadi. Individu merasakan malu,
selfconscious, dan khawatir akan badannya.Individu merasakan canggung dan gelisah
terhadap badannya (Dewi, 2009).

Dari hasil penelitian di SMA Katolik Santo Augustinus Kediri didapatkan 24


responden (72,7%) memiliki citra tubuh negatif dan 9 responden (27,3%) memiliki
citra tubuh positif, dalam tahap ini individu masih dipengaruhi lingkungan dalam
bersikap, bahkan bersikap tentang dirinya sendiri, dan secara umum citra tubuh
dibentuk dari perbandingan yang dilakukan seseorang atas fisiknya sendiri dengan
standar kecantikan yang dikenal oleh lingkungan sosial dan budayanya atau trend
yang sedang berlangsung, citra tubuh seseorang merupakan pandangan terhadap
tubuh yang dikaitkan dengan faktor perkembangan fisik hal ini di karenakan
perempuan cenderung memiliki perhatian yang lebih besar terhadap penampilan
tubuhnya dan membuat wanita lebih sensitif menyikapi gambaran dirinya. Pada
kuesioner responden dengan citra tubuh negatif banyak yang menjawab merasa malu
dengan bentuk tubuh yang gemuk merasa bahwa orang lain memiliki tubuh menarik,
bentuk tubuh tidak seperti yang di harapkan hal ini sesuai teori Dewi, 2009 yang
menyatakan citra tubuh yang negatif merupakan suatu persepsi yang salah mengenai
bentuk individu, perasaan yang bertentangan dengan kondisi tubuh individu
sebenarnya. Individu merasa bahwa hanya orang lain yang menarik dan bentuk tubuh
dan ukuran tubuh individu adalah sebuah tanda kegagalan pribadi.

Keputusasaan juga dianggap sebagai model diatesis stress depresi. Peristiwa


kehidupan yang negatif berfungsi sebagai “occasion setters” dimana peristiwa negatif
tersebut dapat menimbulkan depresi bagi individu yang memiliki sifat inferensial
negatif (Liu et al., 2016). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar
14

pasien diabetes melitus yang depresi, merasakan ketidaknyamanan menjalani


kehidupannya saat ini, merasa sudah lelah melakukan perawatan namun merasa siasia
untuk merubah kehidupan. Keputusasaan menjadi sebuah alasan dalam hambatan
pengobatan. Dengan adanya rasa putus asa, perasaan pesimis dan merasa tidak bisa
sehat akan menimbulkan stres dan dapat mengakibatkan gejala depresi (Liu et al.,
2016). Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kegagalan pada pengalaman
sebelumnya membuat pasien merasa tidak ada harapan untuk memperbaiki status
kesehatannya saat ini. Pikiran negatif ini merupakan suatu bentuk keputusasaan yang
di alami pasien. Selanjutnya dengan pikiran negatif ini menimbulkan ketidakpatuhan
pada pasien dalam perawatan misalnya dengan melanggar diet dan pola istirahat fisik
saja namun juga aspek psikososial kedua aspek ini saling berkaitan dan saling
mempengaruhi keberhasilan kepatuhan pasien terhadap perawatan penyakitnya.
Memberikan edukasi mengenai diabetes dan perawatan diabetes serta memberikan
terapi kognitif-perilaku sangat disarankan dalam penelitian ini dengan tujuan untuk
mencegah keputusasaan yang diakibatkan kurangnya pengetahuan dan pikiran serta
persepsi negatif terhadap penyakit. Selanjutnya, perlu penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan terapi yang tepat untuk mencegah keputusasaan pada pasien
diabetes melitus yang mengalami depresi.

ketidakberdayaan merupakan aspek psikosial klien yang dapat memengaruhi


prognosis penyakit. Klien gagal jantung yang tidak memiliki pasangan mempunyai
angkakematian yang lebih tinggi dibandingkan kliengagal jantung yang sudah
menikah (Shen,2017).Dukungan sosial dapat menjadi sumberkoping kliendalam
merasakan penurunanfungsi tubuh akibat penyakit. Dukungan sosial pun dapat
membantu klienuntuk melakukanaktivitas sehari-hari yang memerlukanbantuan,
sehingga klienmerasa dapat mengontrol suatu hal meskipun dengan bantuan orang
terdekat.

Ansietas merupakan salah satu permasalahan dibidang kesehatan jiwa.


Definisi ansietas adalah kekhawatiran yang tidak jelas, menyebar, berkaitan dengan
perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang
15

spesifik. Ansietas memiliki dua aspek, yakni aspek sehat dan membahayakan. Hal ini
bergantung pada tingkat, lama ansietas dialami dan seberapa baik individu melakukan
koping terhadap ansietas. Gejala kecemasan dapat meliputi kesulitan untuk dapat
beristirahat atau merasa teragitasi, kesulitan untuk berkonsentrasi, irritability,
perasaan tegang yang berlebihan,gangguan tidur. Hal tersebut dapat diakibatkan
karena kecemasan yang berlebihan (Kemendiknas, 2010:31).
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk
menghadapi perubahan yang diterima terhadap situasi yang mengancam dirinya baik
fisik maupun psikologi. Menurut stuart dan laraia mekanisme koping dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor eksternal mekanisme koping adalah
dukungan sosial, pendidikan, pekerjaan, dan sumber material sedangkan untuk faktor
internal yaitu kesehatan dan usia. Pada penelitian ini usia terbanyak yaitu dewasa
akhir dengan rentang usia 36-45 tahun. Menurut kubler-ross pada usia muda
kemampuan menggunkan koping lebih baik dibandingkan dengan orang yang sudah
lanjut karna pada usia itu mereka mampu mengisi fikiran positif sehingga mempunyai
harapan yang lebih baik. Menurut peneliti pada usia ini individu mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan cara menggunakan koping yang baik
sehingga individu mampu menyelesaikan fase-fase berkabung. Menurut Suseno
pendidikan dan pekerjaan mempengaruhi mekanisme koping. Hal ini juga diperkuat
dengan teori Notoatmodjo (2010), yang menyatakan bahwa semakin tinggi
pendidikan, maka ia akan mudah menerima hal yang baru dan akan mudah
menyesuaikan hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai