Anda di halaman 1dari 22

ISKEMIA SEREBRAL DAN REKONSTRUKSI VASKULER

Kelainan cerebro-vaskuler adalah penyebab kematian dan kesakitan yang utama di dunia
barat dan berbagai rekonstruksi dilakukan untuk memperbaiki akibat dari arteriosklerosis
pada arteria karotid dan vertebral seperti juga yang harus dilakukan intrakranial.

Walau otak manusia hanya 2 % dari berat badan total, ia memerlukan 20 % oksigen yang
diinspirasi saat istirahat, 15 % curah jantung (sekitar 750 mL/menit), dan seluruh keluaran
glukosa hati saat puasa. Karena tidak mempunyai cadangan glikogen, ia tergantung pada
fosforilasi oksidatif untuk memproduksi fosfat energi tinggi. ADS istirahat sekitar 50 mL/100g
jaringan otak permenit. Walau ADS total relatif stabil dalam berbagai aktifitas badan, curah
jantung, dan tekanan darah, ADS fokal sangat berkaitan dengan metabolisme dan meningkat
tajam pada aktifasi daerah korteks.Pada praktek bedah saraf, etiologi iskemia serebral akuta
dapat dibagi kedalam tiga kategori umum.

Pertama, penyebab tersering iskemia serebral adalah strok embolik atau trombotik,
biasanya karena aterosklerosis atau penyakit kardiak. Kategori kedua adalah gangguan
vaskuler perioperatif selama tindakan bedah saraf seperti diseksi arterial atau trombosis, atau
oklusi temporer vaskuler yang lama. Kategori utama ketiga dari iskemia serebral akuta adalah
defisit iskemik tunda yang diinduksi perdarahan subarakhnoid, sekunder akibat vasospasme.
Pada semua kategori utama tadi, pengelolaan intensif terdiri dari intervensi untuk
meninggikan ADS atau memberikan perlindungan neuronal langsung.

Indikasi utama operasi adalah serangan iskemik transien (TIA) dimana sebagian besar pasien
akan menuju strok lengkap (CS). Kelainan sirkulasi karotid lebih sering dibanding vertebro-
basiler dan kemungkinan stroknyapun juga lebih besar. TIA adalah episode defisit
neurologis fokal disebabkan iskemia serebral dan berakhir dalam kurang dari 24 jam. Ini
merupakan satu sisi dari spektrum iskemia serebral, sedang sisi lainnya adalah infarksi
serebral dan strok sempurna (CS). Sedangkan defisit neurologis iskemia yang reversibel
(RIND) adalah gejala atau tanda neurologis fokal yang berakhir 24-48 jam. TIA mungkin
bermanifes dengan berbagai gejala neurologis. Bila iskemia mengenai daerah distribusi
arteria karotid (yaitu sirkulasi serebral anterior; termasuk arteria oftalmik, dan arteria serebral
media), gejala mungkin berupa kebutaan monokuler transien (amaurosis fugax), kelemahan
atau kelainan sensori pada ekstremitas atau pada satu sisi tubuh atau muka, gangguan
berbahasa atau kognisi, dll. Gejala seperti vertigo, mual, ataksia, disartria, diplopia serta
disfagia bila transien mungkin menunjukkan iskemia teritori sirkulasi vertebro-basiler (yaitu
sirkulasi posterior). Gejala perasaan kepala yang 'ringan' atau pusing tanpa vertigo, walau
mungkin berarti adanya iskemia serebral umum, tidak cukup terlokalisir untuk mengarahkan
pada dugaan suatu TIA.

Etiologi TIA belum sepenuhnya jelas. Pernah diduga bahwa stenosis arteria karotid
mengakibatkan aliran darah serebral yang tidak cukup atau berubah-ubah menyebabkan
gejala, dimana hal ini mungkin terjadi pada beberapa kasus. Teori mutakhir menduga adanya
emboli arteri ke arteri menjadi penyebab pada kebanyakan TIA. Emboli ini mungkin berasal
dari semua sumber antara jantung dan otak dan mungkin termasuk emboli dari suatu
miksoma atrial atau vegetasi katup mitral pada endokarditis bakterial subakuta atau jarang-
jarang emboli vena periferal pada pasien dengan defek septal atrial atau ventrikuler. Lebih
sering sumber emboli adalah plak ateromatosa yang terjadi pada atau dekat bifurkasi arteria
karotid komunis. Agregasi platelet-fibrin dan/atau fragmen kolesterol mungkin jadi emboli
keotak terutama berasal dari plak yang pada angiogram memperlihatkan ulserasi. Emboli ini
tersangkut pada arteriola kecil pada otak atau retina, menyumbat aliran darah dan karenanya
akan menyebabkan gejala yang terlokalisir. Gejalanya transien karena emboli mungkin
hancur dan tersebar atau kanal vaskuler kolateral kecil mungkin terbuka akibat iskemia vokal
dan memberikan aliran darah yang cukup untuk menghilangkan gejala. Pada keadaan
kebutaan monokuler transien, emboli kolesterol mungkin tampak pada sirkulasi retinal. Bruit
servikal terjadi pada 4% populasi berusia 40 tahun atau lebih tua. Prevalensi meningkat dengan
usia dan adanya hipertensi. Walau bruit servikal ini menandakan adanya stenosis karotid,
stenosis ini tidak selalu jelas. Pasien dengan bruit servikal dan tanpa gejala TIA atau strok,
tingkat strok yang akan terjadi adalah 2%. Pada pasien ini lokasi strok berikutnya hampir
tidak ada hubungannya dengan sisi bruit. Kelompok dengan bruit servikal serta adanya
stenosis berat arteria karotid risikonya bertambah terhadap strok. Pasien dengan bruit karotid
asimtomatik mempunyai tingkat iskemik miokardial 7% pertahun dan mortalitas tahunannya
4%, kebanyakan karena kelainan jantung. Adanya bruit arteria karotid pada pasien tanpa
gejala neurologis harus diingat sebagai pertanda adanya kelainan vaskuler aterosklerotik
menyeluruh dan tidak dipertimbangkan untuk operasi karotid. Pasien dengan bruit karotid
harus dilakukan penilaian ultrasonik atau angiografik untuk menentukan derajat stenosis. TIA
dan bruit servikal adalah prediktor kelainan aterosklerotik yang menyeluruh. Pada pasien
dengan TIA, kelainan iskemik kardiak menyebabkan kematian lebih dari dua kali
dibandingkan karena strok. Pasien dengan bruit asimtomatis, tingkat strok tahunannya 2%,
tingkat iskemik miokardialnya 7%, dan mortalitas tahunannya 4%. Korelasi antara sisi bruit
dengan sisi strok berikutnya adalah buruk. Pada pasien dengan TIA, tingkat strok tahunannya
5-10% dan mortalitas tahunannya 6%.

TIA berhubungan dengan:

1. Kelainan karotid ekstrakranial:

a. Oklusi lengkap arteria karotid komunis atau internal.

b. Stenosis karotid internal pada bifurkasi.

c. Plak ateroma yang mengalami ulserasi pada bifurkasi

melepaskan emboli kolesterol dan platelet.

2. Penyebab kardiak:

a. Emboli dari jantung akibat dari kelainan valvuler

kongenital atau didapat.

b. Episode disritmia menyebabkan hipotensi transien.

3. Kelainan arteria karotid intrakranial dan serebral

media.

Pasien dengan TIA berulang yang bukan karena penyebab kardiak atau kelainan sistemik
seperti hipertensi, polisitemia atau anemia yang berhasil diobati mengatasi serangannya, harus
dilakukan aortografi arkus. Hasil yang didapat pada operasi stenosis karotid paling tinggi
pada yang memiliki bruit karotid.

Yang pertama-tama harus dilakukan pada pasien TIA adalah CT scan kepala dengan dan tanpa
kontras intra vena untuk menyingkirkan adanya lesi massa. Lesi massa seperti tumor primer
atau metastatik, abses, anomali vaskuler, atau bahkan perdarahan intrakranial mungkin mula-
mula tampil dengan gejala fokal transien. Dalam menilai pasien dengan iskemia serebral
transien, perhatian harus langsung diarahkan pada sistema kardiak dan serebrovaskuler.
Ekhokardiografi dilakukan untuk melacak kemungkinan sumber emboli kardiak.
Ultrasonografi doppler adalah cara noninvasif untuk menilai patensi arteria karotid, namun
angiografi tetap sebagai teknik imaging definitif untuk menilai arteria karotid.

PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK ISKEMIK

Penting untuk mengetahui perbedaan yang jelas antara iskemia serebral fokal dan global.
Keadaan klinis khas pada iskemia fokal adalah bahwa ia terjadi karena oklusi embolik
arteria serebral media (MCA). Iskemia global terjadi pada pasien henti kardiak. Pada iskemia
global tidak ada ADS selama keadaan iskemik, sebaliknya pada iskemia fokal yang potensial
akan adanya aliran darah residual yang berkekuatan rendah dari sirkulasi kolateral. Perfusi
residual pada iskemia fokal memungkinkan pengangkutan substrat yang memadai untuk
mempertahankan aktifitas metabolik berkadar rendah yang mempertahankan integritas
membran dan karenanya menghambat evolusi cedera neuronal yang irreversibel. Namun
aliran darah residual yang berkemampunan rendah ini menimbulkan keadaan biokimia yang
kompleks yaitu metabolisme glukosa dalam keadaan anaerobik yang mungkin
memperburuk asidosis otak. Tinjauan berikut hanya dititikberatkan pada patofisiologi
iskemia serebral fokal karena merupakan keadaan klinis yang lebih sering ditindak bidang
bedah saraf.

Ambang Rangsang Iskemia


1948, Kety dan Smith mendemonstrasikan bahwa ADS manusia sekitar 50 mL/100g
jaringan otak/menit. Juga diperlihatkan pada pasien pasca endarterektomi karotid pengurangan
ADS hingga 18 mL/100g jaringan otak/menit menyebabkan pengurangan atau penekanan
pada EEG. Penurunan hingga 15 mL/100g jaringan otak/menit akan menekan potensial evok
somatosensori. Karenanya ambang rangsang gagal elektrik senilai antara ADS kritis 18-15
mL/100g jaringan otak/menit. Penelitian lebih baru memperlihatkan bahwa ambang rangsang
gagal elektrik dapat diulang namun akan bervariasi tergantung jenis dan derajat anestesia.
1977 Astrup memperlihatkan pengurangan hingga 12-10 berakibat penurunan nyata pada
konsentrasi ionik ekstraseluler dari kation seperti K+ dan Ca++. Tingkat pengurangan kedua
dari aliran darah adalah ambang rangsang gagal ionik. Karena jaringan neuronal secara kritis
tergantung penyediaan sinambung dari glukosa dan oksigen untuk metabolisme aerobik,
penurunan ADS hingga 12-10 berakibat penghabisan yang cepat dari ATP. Dengan
pemusnahan ATP, terjadi gagal pompa Na+/K+ase, yang penting untuk mempertahankan
gradien ionik. Karena perbedaan konsentrasi ekstra-seluler dan intraseluler dari kedua kation
ini, terjadi efluks K+ bersama influks Na+ kedalam neuron yang akan menyebabkan
depolarisasi membran. Sebagai tambahan terhadap fluks ionik inisial ini, terjadi peninggian
yang cepat dari konsentrasi asam laktat intraseluler akibat metabolisme anaerobik. Selama
pengurangan yang berat dari ADS, konsentrasi asam laktat meningkat empat kali dalam 30
menit. Bila iskemia berlangsung lama, konsentrasi asam laktat terus meninggi hingga sekitar
14 umol/g jaringan otak. Walaupun toleransi jaringan neuronal terhadap pengurangan aliran
pada sekitar 10 mL/g jaringan otak/menit tidak diketahui, penelitian menunjukkan bahwa
setelah 3-4 jam, cedera irreversibel mungkin terjadi. Nyatanya daerah otak yang spesifik
terancam luar biasa oleh tingkat aliran yang rendah. Misalnya neuron CA 4, CA 3, dan CA 1
hipokampal memperlihatkan cedera neuronal iskemik setelah 3-5 menit pengurangan aliran
yang berat.

Antara kedua ambang rangsang, gagal elektrik dan gagal ionik, terdapat jangkauan berbatas
tegas dari ADS yang walaupun dengan kehilangan fungsional, homeostasis membran dan
integritas struktural dapat dipertahankan. Daerah ADS terbatas ini disebut 'penumbra
iskemik'. Konsep ini bisa menjelaskan mengapa pasien dengan strok akut mempunyai potensi
membaik bila terdapat aliran kolateral yang memadai untuk menjamin keperluaan energi basal
untuk mempertahankan integritas membran. Contoh klinis terbaik dari penumbra iskemik
adalah penderita defisit neurologis iskemik reversibel (RIND). Mungkin selama RIND, ADS
berkurang dibawah ambang rangsang gagal elektrik dan pasien memiliki defisit neurologis.
Namun karena pasien membaik, beralasan mempostulasikan bahwa terdapat ADS kolateral
memadai untuk menghambat infarksi serebral. Istilah penumbra iskemik adalah untuk
menjelaskan suatu zona parenkhima yang secara elektrik sunyi, namun secara struktur intak
disekitar daerah infarksi selama keadaan iskemik serebral fokal akuta. Namun pertanyaan
tentang kestabilan penumbra iskemik tetap tak terpecahkan. Lebih mutakhir, penumbra iskemik
dikhususkan kedalam dua keadaan. Jenis 1 dimanifestasikan oleh supresi EEG, pengurangan
ADS, dan tetap utuhnya struktur neuronal. Jenis 2 ditentukan oleh penekanan EEG,
pengurangan ADS kritis, dan adanya peninggian sementara yang berulang dari K+e. Penumbra
jenis 2 berhubungan dengan berbagai derajat kehilangan neuronal. Saat memikirkan kestabilan
penumbra iskemik, elemen waktu harus turut dipertimbangkan. Misalnya pengurangan aliran
hingga 18 pada oklusi MCA permanen Ambang Rangsang Iskemia

Pada Makaka menyebabkan infarksi yang menggambarkan baik penurunan ADS maupun
toleransi yang buruk jaringan neuronal terhadap pengurangan aliran darah yang lama. Karenanya
beralasan untuk menduga bahwa penumbra iskemik nyatanya adalah keadaan dinamik yang
berpotensi memburuk setiap saat. Perburukan ini menggambarkan perburukan progresif
aliran darah kolateral residual akibat kelemahan (fatigue) kolateral, vasokonstriksi iskemik,
atau edema progresif. Karenanya hasil akhir klinis setelah oklusi vaskuler menunjukkan berat
dan lamanya pengurangan ADS. Beberapa penelitian dilakukan untuk menentukan waktu
maksimum oklusi MCA yang dapat ditolerasi tanpa terjadinya infarksi. Penelitian baru-baru ini
menunjukkan bahwa oklusi MCA dapat ditolerasi untuk 1 jam oleh tupai atau 6 jam oleh
kucing tanpa infarksi berat. Percobaan Makaka memperlihatkan bahwa oklusi MCA 15-18
menit ditolerasi tanpa infarksi. Bila oklusi MCA diteruskan hingga 30 menit, secara jarang
akan berakibat infark substansi kelabu subkortikal. Bila dilanjutkan hingga 60 menit, akan
terjadi cedera neuronal dengan pola heterogen dari tanpa infarksi hingga lesi makroskopis
luas. Setelah oklusi MCA 4 jam, terjadi infarksi nonkonfluen berganda mengenai baik ganglia
basal maupun substansi kelabu subkortikal. Bila lebih dari 4 jam, terjadi infarksi yang
berkonfluen tunggal yang besar mengenai baik struktur otak dalam maupun permukaan.
Melihat penelitian iskemia fokal pada primata menunjukkan oklusi MCA selama 30 menit
dapat ditolerasi dengan baik, sedangkan bila 60 menit sering berakibat infark kecil berganda
dengan lokalisasi perivaskuler. Bila oklusi dilanjutkan hingga 4 jam, infark mikro akan
bergabung menjadi infark besar dan mengenai baik struktur dalam maupun permukaan dari
distribusi MCA. Penelitian binatang juga memperlihatkan bahwa reperfusi dan restorasi aliran
darah dalam 4-8 jam dapat memperbaiki perluasan infarksi. Penting dicatat bahwa reperfusi
mungkin mengeksaserbasi derajat cedera otak. Misalnya oklusi MCA primata, reperfusi
setelah 3-6 jam iskemik cenderung meningkatkan derajat edema vasogenik. Dihipotesakan
bahwa cedera reperfusi mungkin akibat reoksigenasi dengan dibentuknya radikal bebas.

Perubahan Metabolik

Keadaan metabolik yang merugikan yang terjadi selama pengurangan aliran darah berat
adalah multifaktor dan kompleks. Gangguan metabolik utama inisial adalah asidosis otak,
perubahan permeabilitas membran terhadap Ca++ dan Na+, dan pelepasan Ca++i yang
tersekuester. Pada nyatanya semua berhubungan dengan gagal energi. Misalnya pelepasan
asam amino eksitatori, pembukaan kanal kalsium membran bergantung tegangan, dan asidosis
intraseluer, semua dapat berkaitan dalam menggagalkan metabolisme aerobik akibat dari
pemusnahan ATP sekunder terhadap penurunan penyediaan oksigen dan glukosa.

Sekarang sudah dipastikan bahwa Ca++ berperan kritis pada peristiwa seluler normal yaitu
pembawa sekunder, regulator metabolik, dan penyebab pelepasan neurotransmiter. Juga
diketahui bahwa akumulasi Ca++ abnormal dapat menghantar kematian anoksik. Tahun 1977
telah diperlihatkan bahwa konsentrasi Ca++ ekstra-seluler menurun pada korteks serebeler
yang hipoksik. Diperlihatkan bahwa Ca++ juga berkurang pada anoksia hipokampal, status
epileptikus, dan hipoglikemia. Hal ini berakibat timbulnya hipotesis integratif mengenai
kerusakan sel yang berhubungan dengan kalsium, sebagai perjalanan umum cedera neuronal.
Dihipotesakan bahwa Ca++ memasuki neuron melalui kanal kalsium bergantung tegangan
yang terbuka setelah depolarisasi membran. Dalam keadaan anaerobik, pemusnahan yang cepat
dari ATP menyebabkan gagal pompa Na+/K+ase. Ini pada akhirnya menyebabkan depolarisasi
membran dengan adanya influks kalsium. Karena Ca++i tersekuester dalam jumlah besar
diretikulum endoplasmik oleh Ca++ATPase, maka juga dipostulasikan bahwa gagal energi
akan melepaskan kalsium intraseluler yang akan mempengaruhi cedera neuronal yang tidak
bergantung pada fluks kalsium transmembran. Perbedaan kerusakan terhadap cedera
iskemik antara populasi neuronal berbeda dipostulasikan sebagai akibat perbedaan kepadatan
kanal kalsium membran.

Hipotesis kalsium yang pertama dikemukakan untuk cedera neuronal ini telah melalui beberapa
penellitian. Penelitian in vitro, pertama, memperlihatkan bahwa neuron akan mati akibat
kerusakan hipoksik pada medium kultur bebas Ca++. Kedua, terdapat korelasi yang buruk
antara lokasi tertentu kanal kalsium bergantung tegangan dan kerusakan iskemik. Ketiga,
peran neuro-transmiter seperti glutamat dan aspartat pada cedera hipoksik telah diperlihatkan.

Skema

Hubungan antara gagal energi dan jalur metabolic degradatif utama penyebab kerusakan
neuronal iskemik.

Rothman dan Olney pertama menghipotesakan bahwa asam amino tertentu seperti glutamat
atau aspartat adalah sitotoksik dan bila dibiarkan melakukan eksitasi berlebihan dari reseptor
postsinaptik, akan berakibat kerusakan dendrosomatik. Hipotesis eksitotoksik ini selanjutnya
digunakan pada cedera anoksik dan hipo-glikemik yang sesuai dengan konsep bahwa
eksitasi berlebihan dapat berakibat peningkatan pelepasan atau penurunan pengambilan
kembali dari neurotransmiter sitotoksik. Mekanisme cedera eksitotoksik kemudian bisa
diterangkan oleh penelitian lain dimana ditemukan bentuk dini dan tunda dari cedera
ireversibel. Cedera dini disebabkan oleh influks Na+ dan cedera tunda oleh entri Ca++. Paling
tidak ada tiga reseptor untuk asam amino eksitotoksik ini yang dijelaskan secara farmakologi
dengan ikatan analog: Reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), asam kainik/quisquolat, dan
AMPA. Pada hipo-tesis eksitotoksik dari cedera neuronal iskemik, kerusakan sel dini
dipengaruhi oleh influks Na+ diikuti entri Cl- dan H2O dengan akibat edema seluler dan osmo-
lisis. Influks Na+ ini dihipotesakan terjadi secara primer melalui gerbang kanal oleh reseptor
asam kainik/ quisquolat atau AMPA. Juga mungkin bahwa Na+ dapat memasuki sel karena
gradien konsentrasi melalui kanal tegangan membran yang tidak tergantung kanal yang
dioperasikan reseptor. Selama iskemia dengan penurunan produksi ATP, terjadi kegagalan
pompa Na+/K+ATPase. Cedera neuronal tunda dikira sekunder atas influks Ca++ terutama
melalui reseptor NMDA yang menggerbangi kanal kalsium yang dioperasikan reseptor.
Serupa dengan influk Na+, beralasan untuk menduga bahwa dengan gagal energi dan
depolarisasi membran, Ca++ dapat juga masuk sel melalui kanal kalsium tergantung tegangan,
bebas dari kanal yang dioperasikan reseptor. Karenanya konsep kematian sel yang berhubungan
dengan kalsium yang lebih mutakhir, merupakan hipotesis eksitotoksik yang nyaris serupa
dengan hipotesis kalsium yang pertama.

Bukti pendukung pentingnya mekanisme eksitotoksik pada cedera iskemik, pertama, kadar
ekstraseluler glutamat serta aspasrtat meningkat agak banyak selama hipoksia eksperimental.
Kedua, deaferentasi neuron CA 1 dengan Schafferotomi (eliminasi input glutamatergik) dan
injeksi lokal antagonis glutamat mencegah penurunan kalsium ekstraseluler selama iskemia.
Ketiga, antagonis reseptor glutamat yang kompetitif dan yang tidak kompetitif tampaknya
memperbaiki pada cedera iskemik baik in vivo maupun in vitro. Keempat, antagonis
reseptor NMDA dan lebih mutakhir, reseptor AMPA, menurun pada cedera neuronal
iskemik baik in vivo maupun in vitro. Kelima, teori eksitotoksik mungkin menunjukkan
fenomena pengrusakan yang selektif. Iskemia otak depan pada masa singkat pada tikus Wistar
dan gerbil berakibat cedera yang terbatas pada subikulum dan hipokampus daerah CA 1 dan
CA 4. Iskemik yang lebih lama berakibat cedera hipokampal CA 3, neuron piramidal kortikal,
nukleus kaudat, dan putamen. Penelitian ikatan agonis secara radiografis menunjukkan
bahwa reseptor NMDA terkonsentrasi di terminasi kolateral Shaeffer dari CA 1 dan CA 4,
sedangkan reseptor asam kainik/quisquolat terlokalisir pada daerah terminasi serabut yang
'mossy' dari CA 3, neuron piramidal, kaudat dan putamen. Karenanya distribusi daerah
reseptor untuk asam amino eksitatori ini sangat berhubungan dengan daerah otak
dengan toleransi terhadap iskemik yang rendah. Karena peningkatan Ca++ intraseluler saat ini
dikira merupakan katalis utama untuk cedera neuronal iskemik, perlu dipikirkan regulasi
kalsium neuronal dan mekanisme dengan mana kalsium dapat menyebabkan cedera neuronal.
Kenyataan bahwa konsentrasi Ca++ ekstra-seluler sekitar 10-3, sedangkan konsentrasi
intra-seluler 10-7, perubahan kecil metabolisme kalsium dapat berakibat nyata pada kegiatan
intraseluler yang bermediasi Ca++, yaitu kontraksi, eksitasi dan sekresi. Proses ini diketahui
pada konsentrasi mikromoler dari kalsium yang terionisasi. Fluks kedalam kalsium diatur oleh
gradien konsentrasi kalsium antara ekstraseluler dan intraseluler baik melalui kanal kalsium
tergantung tegangan maupun yang dioperasikan reseptor. Saat ini diketahui terdapat tiga
kanal kalsium membran yang bergantung tegangan: kanal T,N, dan L. Kanal kalsium yang
dioperasikan reseptor adalah kanal seperti yang diregulasikan oleh reseptor NMDA untuk
asam amino eksitatori. Sebagai tambahan atas kanal membran ini, regulator Ca++ lain adalah
pompa antiport Na+/K+ yang elektrogenik dengan rasio sekitar 3 : 1 dimana arah pertukaran
kalsium bisa kedalam atau keluar tergantung

gradien Na+, pompa Ca++ATPase yang terletak dimembrana retikulum sitoplasmik atau
endoplasmik, mitokhondria dimana secara elektroforetik terjadi akumulasi Ca++ saat kalsium
bebas intraseluler meninggi, serta protein terikat kalsium seperti kalmodulin.

Skema

Teori eksitotoksis cedera neuronal iskemik. Cedera iskemik dini dikarenakan influks Na+
terutama melalui kanal yang dioperasikan kainat/quisquolat. Dengan influks Na+, terjadi
influks pasif Cl- dan H2O yang berakibat edema dendritik diikuti osmolisis. Cedera iskemik
tunda diakibatkan influks Ca++melalui kanal kalsium tergantung tegangan jenis N yang
berakibat pelepasan neurotransmiter tambahan. Sebagai tambahan atas kanal yang
dioperasikan reseptor NMDA, kalsium dapat masuk neuron melalui kanal kalsium tergantung
tegangan jenis L. Kanal L ini cenderung terletak dekat badan se-l. (Fredric B. Meyer, 1993)

Mekanisme utama dimana peninggian Ca++i mungkin berperan pada cedera neuronal iskemik
adalah:

1. Aktifasi enzim degradatif seperti protease, endonuklease, dan lipase yang mengkatabolis
membrana seluler dan neurofilamen. Hilangnya fosfolipid membran menambah permeabilitas
membran mitokhondrial memberikan pengaruh pada fosforilasi oksidatif residual, disaat cedera
terhadap struktura neurofilamen menghambat mekanisme transport neuronal. Sebagai
tambahan, asam lemak bebas yang terakumulasi akibat degradasi fosfo-lipid membran dikira
teroksidasi melalui jalur lipo-oksigenasi atau siklooksigenasi selama reperfusi. Hasil jalur ini
secara keseluruhan adalah terbentuk dan dilepaskannya prostaglandin, leukotrin, dan
mungkin radikal bebas. Prostaglandin tromboksan A2 adalah vasokonstriktor poten, leukotrin
merubah permeabilitas membran dan menyebabkan vasokonstriksi, dan radikal bebas bila
ada, merusak membran seluler.

2. Untuk menyangga peninggian Ca++, mitokhondria secara elektroforetik tampak


mengakumulasi kalsium. Fosforilasi oksidatif residual yang berdiri sendiri ini pada saat dimana
produksi energi sudah dibatasi oleh metabolisme anaerobik.

3. Peninggian Ca++i menyebabkan pelepasan neuro-transmiter yaitu neurotransmiter punitif


seperti glutamat atau aspartat yang melaksanakan siklus degradatif ini.

Penting untuk memikirkan akibat asidosis otak disaat memikirkan cedera neuronik iskemik.
pH otak intraseluler sekitar 7.01-7.03. Dalam 10 menit sejak pengurangan ADS berat, pHi
otak memburuk hingga 6.60. Ini menunjukkan peninggian yang cepat dari konsentrasi asam
laktat intraseluler. Adanya asidosis otak ini dibuktikan mempunyai efek merugikan berikut,
yaitu: (1) denaturasi protein dengan hilangnya fungsi enzimatik, (2) penambahan edema
glial yang berpotensi mengganggu aliran kolateral melalui kompresi kolateral ekstravaskuler
dan karenanya mengurangi ADS residual, (3) berperan meninggikan Ca++i dengan
menyaingi H+ untuk tempat ikatan Ca++ intraseluler, (4) akan mengakibatkan mileu
internal yang baik untuk produksi radikal bebas, dan (5) menekan tingkat metabolik serebral
untuk glukosa dan regenerasi NADH. Percobaan memperlihatkan bahwa hiperglikemia
memperburuk asidosis intraseluler pada daerah pusat iskemik dan berpengaruh buruk terhadap
kehidupan. Hiperglikemia juga mungkin memperburuk perfusi serebral pasca iskemik
selama pemulihan ATP dan fosfokreatin, yang mengakibatkan akumulasi asam laktat
jaringan. Walau hiperglikemia mamperlihatkan efek merugikan pada pusat iskemik
tersebut, ada juga data berlawanan yang menunjukkan bahwa hiperglikemi mungkin
merupakan neuroprotektif pada penumbra iskemik.

Perubahan Sirkulasimikro

Sebagai tambahan atas perubahan metabolik yang terjadi selama iskemia, juga terjadi
perubahan aliran darah yang dihantarkan kesirkulasimikro yang dapat berperan pada cedera
neuronal iskemik. Pertama, setelah oklusi pembuluh terjadi pengentalan darah yang disebut
sebagai particulate flow. Dipostulasikan bahwa particulate flow ini akibat dari pengurangan
tenaga 'shear' yang cenderung mempertahankan dispersi komponen darah seluler. Karena
pengentalan ini, viskositas darah meningkat dengan peninggian tahanan terhadap aliran.
Kedua, tampak bahwa pembuluh penghantar permukaan kortikal selama iskemia fokal
menunjukkan progresi berikut. Pertama, terjadi pertambahan ringan segera dari diameter
pembuluh akibat asidosis ekstraseluler lokal. Selama vasodilatasi ini, paralisis vasomotor
terjadi dan aliran darah yang melalui pembuluh yang berdilatasi ini berhubungan langsung
dengan tekanan perfusi serebral. Nyatanya terdapat hilangnya auto-regulasi tekanan darah
dimana jatuhnya tekanan darah dapat berakibat penurunan yang bermakna dari ADS. Dalam
periode waktu mengikuti vasodilatasi lokal ini, terjadi vasokonstriksi pembuluh penghantar
permukaan yang sama. Vasokonstriksi ini disebut 'vasokonstriksi iskemik' atau 'vasospasme
sekunder' untuk membedakannya dari vasospasme yang diinduksi PSA. Vasokonstriksi yang
diinduksi iskemia ini sebagian dihambat oleh pemakaian antagonis kalsium tertentu yang
memblok kanal L yang tergantung tegangan, menunjukkan untuk sebagian, akibat dari influks
Ca++ kedalam sel otot polos. Diduga, penurunan ATP berakibat depolarisasi sel otot polos
dengan influks Ca++ diikuti kait-silang aktin dan miosin. Pilihan teori lain adalah peninggian
K+ ekstra-seluler atau pelepasan vasokonstriktor endogen seperti norefinefrin atau serotonin.
Karena norefinefrin berperan kritis pada vasokonstriksi iskemik, penting diingat bahwa
deaktifasi norefinefrin adalah bergantung energi karena ia harus mengalami pengambilan
kembali pada terminal presinaptik. Tidak peduli apapun etiologi vasokonstriksi iskemik, hasil
akhir adalah pengurangan aliran darah sirkulasimikro.

Perubahan sirkulasimikro ketiga selama iskemia fokal adalah hipoperfusi pasca iskemik.
Hipoperfusi pasca iskemik atau hipoperfusi tunda setelah gangguan otak iskemik semula
dijelaskan sebagai no reflow phenomenon. Nyatanya pemakaian istilah no reflow adalah
pemberian nama yang salah dimana derajat hipoperfusi pasca iskemik tergantung pada
beratnya cedera iskemik. Bila gangguan iskemiknya ringan, secara khas tidak ada hipoperfusi
pasca iskemik. Setelah iskemik berat, hipo-perfusi pasca iskemik mengikuti perbaikan aliran
dapat dijumpai. Selama hipoperfusi pasca iskemik terjadi peninggian metabolisme dan
ekstraksi oksigen yang menunjukkan ketidak-serasian antara kebutuhan metabolik dan
penyediaan substrat yang akan menyebabkan cedera pada neurun yang hidup setelah
gangguan iskemik.
Patofisiologi hipoperfusi pasca iskemik disebabkan: (1) faktor reologis intravaskuler yaitu
peninggian aggregasi platelet atau viskositas darah, atau cedera leukosit polimorfonuklir
terhadap endotelium; (2) perubahan dinding vaskuler termasuk kontraksi otot polos,
pembentukan mikrovilli, atau edema endotelial; dan (3) edema ekstraseluler termasuk jaringan
glial menyebabkan kompresi mekanik terhadap bed kapiler.

TINDAKAN TERHADAP ISKEMIA SEREBRAL FOKAL AKUTA

Sebelum membicarakan modalitas tindakan spesifik untuk iskemia otak akuta, penting untuk
menyadari bahwa untuk mekanisme yang berbeda diperlukan pendekatan serta tindakan yang
berbeda. Misalnya pasien dengan embolus MCA akibat trombosis mural kardiak mungkin
ditindak dengan terapi trombolitik intravaskuler. Terapi trombo-litik intravaskuler sebagai
tindakan bedah terhadap pasien iskemia akibat oklusi vaskuler intrabedah yang lama mungkin
merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahannya serta tidak adanya klot intraluminal. Hal
serupa, terapi trombolitik intravaskuler sangat tidak dianjurkan pada pasien perdarahan
subarakhnoid dengan defisit iskemik akibat vasospasme. Karenanya sebelum melakukan
suatu tindakan, sangat penting menetapkan, berdasar pada riwayat, pemeriksaan fisik, serta
pemeriksaan diagnostik memadai, perkiraan etiologi dari kerusakan iskemik.

Sekali etiologi kerusakan iskemik diketahui, rencana tindakan yang rasional dapat dibuat
berdasar patofisiologi dari cedera otak iskemik. Yang penting, ada dua prinsip umum dalam
menindak strok akut, meninggikan ADS kolateral dan memberikan proteksi neuronal
langsung.

1. STROK TROMBOEMBOLIK

Etiologi strok tromboembolik heterogen dan kompleks. Jenis iskemia serebral akuta ini
adalah penyebab tersering dari strok dan memiliki patofisiologis yang luas seperti embolus
dari trombus mural kardiak, embolus dari stenosis karotid, atau trombosis pembuluh
intrakranial atau ekstrakranial. Karena mekanisme yang mungkin sangat luas, tindakan terhadap
strok trombo-embolik harus bergantung pada masing-masing pasien. Misalnya oklusi arteria
lentikulostriata berakibat infark lakuner. Karena lentikulostriata adalah end artery tanpa
aliran kolateral apapun, mungkin tindakan untuk meningkatkan aliran darah kolateral akan
tidak efektif. Hal serupa, obat neuroprotektif akan tidak efektif akibat ketidakmampuan
penghantaran kejaringan otak yang iskemik.

Tahap pertama dalam menegakkan diagnosis adalah mengambil riwayat dan pemeriksaan
fisik yang baik. Riwayat diabetes atau hipertensi bisa mendukung diagnosis suatu infark
lakuner, sedang riwayat serangan iskemik transien (TIA) sebelumnya, termasuk amaurosis
fugaks, akan mengarahkan pada kelainan kardiak atau karotid. Bagian terpenting
pemeriksaan neurologis termasuk auskultasi atas bruit servikal dan murmur kardiak, palpasi
denyut arteria temporal superfisial, dan pemeriksaan oftalmoskopik atas retina akan adanya
emboli atau retinopati venostasis. Setelah pemeriksaan, CT scan gawat darurat harus segera
dilakukan untuk menyingkirkan penyebab noniskemik dari defisit neuro-logis seperti
perdarahan intraserebral atau neoplasma. CT scan bisa juga memperlihatkan tanda sekunder
dari infarksi seperti embolus pada MCA atau edema serebral pada ditribusi vaskulernya.
Akhirnya, CT scan mungkin memperlihatkan kerusakan iskemik lama seperti infarksi lakuner
atau 'watershed' sebelumnya. Pemeriksaan diagnostik selanjutnya terutama tergantung
kemungkinan klinis. Misalnya bila tidak direncanakan tindakan intervensi, beralasan untuk
tidak melakukan pemeriksaan pencitraan berikutnya. Tes diagnostik yang dilakukan bila
diperkirakan akan memberi informasi penting adalah ultrasonografi karotid, Doppler
transkranial, okulopletismografi, angiogram serebral transfemoral, angiografi MR, dan
ekhokardiografi transesofageal atau transtorasik. Dalam keadaan yang memadai pada pasien
tanpa dengan tanda-tanda kelainan pembuluh kecil, alasan dibuat langsung dari hasil CT
scan diruang gawat darurat untuk angiografi untuk menentukan patologi anatomik bila
tindakan yang agresif seperti bedah atau terapi trombolitik dipertimbangkan.

TINDAKAN

Tindakan atas strok tromboembolik sangat tergantung pada etiologinya. Saat ini tidak ada
tindakan efektif terhadap infark lakuner akut. Untungnya banyak pasien ini yang mengalami
perbaikan neurologis yang bermakna. Walaupun saat ini tidak ada agen farmakologis yang
jelas untuk menindak strok tromboembolik, berbagai agen neuroprotektif potensial seperti
antagonis Ca++, dan pembersih radikal bebas, dalam penelitian klinis. Karenanya saat ini
langkah tindakan berikut dianjurkan:

1. Pertahankan pasien euvolemik. Harus diketahui bahwa beberapa peneliti menggunakan


tehnik hemodilusi termasuk flebotomi untuk menurunkan viskositas darah yang secara teori
akan meningkatkan aliran mikro-sirkulasi. Keengganan kita untuk melakukan hemodilusi
adalah berdasarkan adanya bukti kemungkinan hal ini akan meningkatkan edema serebral dan
bukti lain akan hasil negatif dari peneliti lain.

2. Dilakukan hidrasi pasien dengan NaCl 0.45 atau 0.9, bebas dari glukosa. Ini berdasarkan
bahwa hiper-glikemia memperberat asidosis otak.

3. Pertimbangkan terapi trombolitik. Kontroversi-nya terletak pada apakah terapi


trombolitiknya bedah atau medikal. Saat ini, terapi trombolitik medikal adalah dengan
pemakaian heparin atau faktor pengaktif plasminogen jaringan (tPA). Sasaran heparin IV
adalah profilaktik, untuk mencegah embolisme berulang seperti yang berasal dari trombus
mural kardiak atau untuk mencegah penyebaran trombus kearteria sirkel Willis. Walau
semula dihipotesakan heparin mungkin meningkatkan aliran mikrosirkulasi, sedikit bukti yang
mendukung postulat ini. Pilihan lain, kebanyakan menyetujui penggunaan heparin pada
pasien dengan embolus kardiak akibat fibrilasi atrial atau dari embolus paradoksikal. Pemakaian
heparin sebagai pencegah perluasan trombosis jarang digunakan pada strok spontan. Lebih
khusus, heparin mungkin digunakan pada pasien yang mendapatkan oklusi arteri untuk
mengobati aneurisma intrakranial. Sebelum memulai heparin, CT scan harus dibuat untuk
menyingkirkan strok hemoragik. Penggunaan tPA untuk memacu lisis bekuan sedang diteliti
dalam berbagai percobaan klinis prospektif. Jelas bahwa tehnik paling efektif untuk
meningkatkan aliran darah haruslah yang memperbaiki aliran melalui pembuluh yang
teroklusi. Risiko berpotensi terbesar dari terapi trombolitik intravaskuler adalah risiko
infarksi hemoragik. Yang mendukung hal ini adalah bukti penggunaan streptokinase dalam
menindak trombosis vena perifer dalam yang berkaitan dengan insidens perdarahan intraserebral
sebesar 3 %. Terapi trombolitik bedah adalah ekstirpasi bedah dari embolus atau trombosis
melalui embolektomi MCA dan endarterektomi karotid secara gawat darurat. Walau telah
dibuktikan manfaat besar dari tindakan agresif ini, pelaksanaannya belumlah seragam.
Mengherankan bahwa risiko perdarahan intraserebral setelah re-vaskularisasi bedah
sangatlah rendah. Walau ada alasan bahwa agaknya terapi trombolitik medikal bisa dipilih
dibanding revaskularisasi bedah, tak ada kesimpulan yang tegas yang dapat ditarik hingga
hasil penelitian tPA selesai dianalisis. Dalam menunggu data tersebut dipublikasikan, tetap
harus diingat bahwa embolektomi MCA dan endarterektomi karotid secara gawat darurat
dapat sangat menguntungkan dalam memperbaiki fungsi neurologis pada pasien terpilih.
Apakah terapi trombolitik secara bedah maupun medikal, masa iskemia dan masa perbaikan
aliran tetap merupakan masalah utama. Penelitian telah membuktikan bahwa setelah 4 jam
sejak iskemia fokal, akan terjadi infarksi serebral berat. Penelitian juga membuktikan bahwa
perbaikan aliran bahkan setelah 4-5 jam setelah iskemia akan bermanfaat mengurangi ukuran
infarksi. Penelaahan waktu iskemia dan perbaikan aliran setelah embolektomi MCA serta
endarterektomi karotid tidak memperlihatkan penggal waktu tertentu dimana perbaikan aliran
setelah selang waktu tersebut menjadi tidak efektif. Jelas bahwa makin dini tindakan gawat-
darurat dimulai, akan makin baik kesempatan perbaikan klinis. Umumnya diterima masa 4-6
jam untuk mengusahakan perbaikan aliran dengan medikal atau intervensi bedah agresif.

4. Agen protektif serebral. Hingga saat ini belum ada agen neuroprotektif yang sangat
dianjurkan terhadap strok akut. Antagonis kalsium dihidropiridin nimodipin sudah dibuktikan
sebagai agen neuroprotektif pada beberapa penelitian terhadap strok akut di Eropa, namun
hasil ini tidak dapat diulangi oleh peneliti Amerika Serikat. Perbedaan mungkin akibat saat
masuk pasien, yang mencapai 48 jam setelah onset strok akut. Agen neuroprotektif potensial
lain yang sedang diteliti adalah pemusnah radikal bebas dan antagonis asam amino eksitatori.
Beralasan untuk mempostulasikan, pendekatan campuran mungkin akan dilaksanakan dimana
digunakan tPA dikombinasikan dengan agen neuroprotektif, masing-masing sebagai
antagonis terhadap mekanisme spesifik dari cedera iskemik.

OPERASI UNTUK TIA

1. Endarterektomi dan rekonstruksi arteria karotid ekstrakranial mempunyai morbiditas dan


mortalitas rendah dan sangat besar kesempatannya mencegah TIA selanjutnya maupun CS.
2. Anastomosis ekstrakranial-intrakranial. Untuk suatu kelainan yang terletak pada sirkulasi
intrakranial, dilakukan anastomosis arteria temporal superfisial kecabang permukaan arteria
serebral media. Dengan teknik mikrovaskuler, operasi dilakukan untuk banyak kelainan
accident vaskuler baik akut, kronis, lengkap maupun tak lengkap.

Disamping operasi, TIA juga dapat ditindak secara medikal dengan zat-zat antikoagulasi dan
antiplatelet. Antikoagulasi efektif dalam menindak emboli berasal kardiak dan mungkin
mengurangi frekuensi TIA vertebral-basiler. Obat yang mempengaruhi sifat adesif platelet
penggunaannya saat ini meningkat dalam menindak TIA dan mencegah stroke. Inhibisi platelet
juga efektif dalam mencegah TIA dan stroke, mendukung teori TIA sebagai tromboembolik
platelet-fibrin. Aspirin juga sudah dibuktikan bermanfaat mengobati TIA dan mencegah strok.
Aspirin akan mempengaruhi agregasi platelet dengan menginhibisi sintesa prostaglandin.
Anti agregasi platelet lain seperti dipiridamol dan sulfinpirazon tidak memperlihatkan
manfaatnya terhadap TIA dan pencegahan strok. Pada mulanya aspirin diduga hanya
bermanfaat pada pria, namun ternyata menfaat pada wanita terbukti sama baiknya.
Pengurangan kejadian strok oleh aspirin sekitar 30-50%. Secara teoritis, dosis pencegahan
TIA dan stroke adalah dosis kecil. Dosis kecil aspirin mungkin tetap menjaga inhibisi
prostasiklin antiagregasi, disaat itu ia juga tetap menginhibisi tromboksan A2 proagregasi.
Tindakan bedah untuk TIA sirkulasi anterior terutama adalah endarterektomi karotid.
Prosedur serebrovaskularisasi lainnya seperti pintas ekstra-intrakranial dicadangkan untuk
keadaan khusus. Saat endarterektomi karotid, plak ateromatosa diangkat langsung via
arteriotomi karotid. Saat ini morbiditas dan mortalitas tindakan ini kurang dari 3%.

2. ISKEMIA PERIOPERATIF

Beruntung bahwa iskemia serebral perioperatif jarang terjadi karena membaiknya tehnik
bedah mikro. Kadang-kadang ahli bedah saraf perlu menindak pasien dengan iskemia
perioperatif akibat tindakan oklusi pembuluh intrabedah yang lama atau cedera pembuluh
selama intrabedah berupa diseksi atau trombosis. Keadaan ini harus selalu diingat. CT scan
gawat darurat dilakukan untuk mengurangi kemungkinan perdarahan pasca bedah yang
menyerupai kerusakan vaskuler. Harus berhati-hati terhadap bangkitan pasca bedah karena
pelepasan serupa epileptik terlateralisasi yang periodik (PLED) yang dapat menyerupai
kerusakan iskemik akuta. Bila diduga cedera pembuluh darah, angiogram gawat darurat harus
didapatkan untuk memastikan patologi anatomik. Lebih disukai melakukan angiografi dini
dari pada melakukan Doppler transkranial yang tidak invasif secara terbatas. Bila tampak
diseksi atau trombosis pasca bedah, tindakan agresif segera harus dimulai. Pada
kebanyakan, iskemia perioperatif adalah akibat tindakan oklusi pembuluh yang lama saat
menindak lesi yang sulit seperti aneurisma raksasa.

TINDAKAN

Sangat tergantung etiologi:

1. Pertahankan pada euvolemik dengan NaCl 0.45 atau 0.9 % dan bebas glukosa. Tidak
disukai melakukan hemodilusi karena menambah edema serebral pasca bedah. Sebagai
tambahan terhadap hidrasi IV, diberikan koloid seperti albumin 5 % 250 mL secara IV 2-4 kali
sehari. Pola terapi adalah memaksimalkan ekspansi volume, dengan sendirinya akan
meningkatkan aliran kolateral tanpa menambah edema serebral atau tekanan intra-kranial.

2. Berikan obat neuroprotektif antagonis kalsium seperti nimodipin 60 mg lewat mulut setiap 4-
6 jam. Ini berdasar penelitian bahwa nimodipin dapat meningkatkan ADS dan pengalaman pada
PSA yang memperlihatkan bahwa nimodipin menurunkan beratnya defisit iskemik setelah
PSA.

3. Bila defisit neurologis berat, bisa diberikan tiopental 3-5 mg/kg secara sinambung dengan
drip IV atau fenobarbital dengan dosis pembebanan 15 mg/kg IM atau IV diikuti kadar serum
terapeutik. Manfaat tio-pental adalah bahwa waktu paruhnya lebih pendek dari fenobarbital.
Alasan pemberian barbiturat adalah adanya bukti efek protektif neuronal langsung, pada suatu
iskemia progresif. Sebagai tambahan, barbiturat mungkin bermanfaat mengurangi edema
serebral, yang menurunkan TIK, dan tentunya akan meningkatkan tekanan perfusi serebral.
Kerugiannya, barbiturat akan mengaburkan pemeriksaan neurologis, serta perlunya intubasi
dan ventilasi terkontrol.

4. Dalam hal tertentu dianjurkan tindakan bedah. Misalnya bila angiogram pasca bedah
menunjukkan trombosis atau diseksi, embolektomi atau pintas gawat darurat harus dipikirkan.
Risiko perdarahan peri-operatif menyebabkan terapi trombolitik intravaskuler seperti tPA
menjadi kontraindikasi. Jarang lobektomi temporal gawat darurat memberikan manfaat, baik
untuk menhilangkan herniasi transtentorial maupun untuk meningkatkan tekanan perfusi
serebral dengan mengurangi TIK.

3. DEFISIT ISKEMIK YANG DIINDUKSI PSA

Diagnosis vasospasme secara klinis harus ditegakkan segera pada kasus dengan
persangkaan yang tinggi. Doppler transkranial atau angiografi adalah pencitra yang akan
menunjang diagnosis bila tidak dijumpai hidrosefalus pada CT scan.

TINDAKAN

1. Lakukan tindakan hipertensif-hipervolemia sebagai tindakan awal atas vasospasme


segera setelah aneurisma diperbaiki. Ahli bedah saraf lain ada juga yang melakukan tehnik
hemodilusi. Terapi hipertensif hipervolemia dimulai dengan hidrasi IV dengan larutan salin
sekitar 125-150 mL/jam. Ditambahkan albumin 250 mL tiap 6 jam. Bila tidak ada riwayat
kardiak yang jelas, curah kardiak ditingkatkan dengan infus iso-proterenol atau dopamin
untuk menaikkan tekanan darah hingga sekitar 160 mmHg. Dengan infus isoproterenol,
terkadang diperlukan lidokain 1-2 mg IV untuk menekan iritabilitas kardiak.

2. Karena nimodipin terbukti mengurangi insidens dan beratnya defisit iskemik, berikan
nimodipin sejak pasien masuk rumah sakit. Namun nimodipin bukanlah obat ajaib; bila pasien
tampil dengan defisit iskemik, angiografi segera dilakukan untuk menentukan apakah
angioplasti bermanfaat. Angioplasti akan memberikan beberapa hasil yang baik.

3. Pikirkan pemasangan kateter ventrikuler untuk mengalirkan CSS. Pada keadaan vasospasme
dengan hidro-sefalus ringan, membuang CSS mungkin secara nyata memperbaiki ADS.

PILIHAN FARMAKOLOGIS MENDATANG


Analisis kritis terhadap regimen untuk strok akut dan iskemia perioperatif segera
menunjukkan keterbatasan intervensi farmakologis yang terdedia saat ini. Dengan
perkembangan cepat atas pengertian patofisiologi cedera otak iskemik, obat lain bisa
dikembangkan yang akan memberikan neuroproteksi dengan menghambat mekanisme
spesifik yaitu kerusakan sel iskemik atau dengan meningkatkan aliran darah kolateral.

Obat-obat Neuroprotektif yang Potensial

Antagonis Asam Amino Eksitatori. Kemajuan dan pengertian akan asam amino
eksitatori menimbulkan perhatian yang besar akan pengembangan antagonis yang kompetitif
dan tidak kompetitif terhadap reseptor NMDA (N-metil D-aspartat) dan yang lebih mutakhir,
reseptor AMPA. Antagonis NMDA nonkompetitif yaitu ketamin, dizosilpin (MK-801), dan
fenilsiklidin (PCP). Agen ini menghambat kanal ion gerbang-NMDA. Ia segera menembus
SDO karena ia larut lemak. Kemampuan menghambat kanal ion bergantung tegangan listrik
(voltage-dependent) dan ini memperkuat perkiraan ia kurang efektif saat depolarisasi masif
atau iskemia berat. Antagonis reseptor NMDA kompetitif adalah fosfonat seperti 2-amino-
5-fosfonovalerat (APV), 2-amino-7-fosfonohepta-noat (APH), dan senyawa lebih baru yang
memperbaiki penetrasi SDO (CPP, CGS 19755). Lebih baru lagi, anta-gonis reseptor AMPA
(CNQX, NBQX). Antagonis NMDA terbukti bermanfaat pada iskemia fokal yang diinduksi
oleh oklusi MCA. Pengurangan ukuran infarksi dengan antagonis nonkompetitif atau yang
kompetitif telah diperlihatkan pada percobaan. Beberapa agen ini seperti MK-801 terbukti
bermanfaat bila diberikan 1-2 jam sejak onset iskemia fokal. Percobaan memperlihatkan
bahwa antagonis NMDA mengurangi cedera pada jaringan penumbra. Walau beralasan
untuk menduga bahwa agen ini mengurangi influks Ca++ melalui kanal kalsium yang
beroperasi pada reseptor NMDA, ada beberapa bukti bahwa ia mungkin bermanfaat pada ADS.
Saat ini, antagonis reseptor AMPA MBQX terbukti mengurangi ukuran infarksi bila diberikan
hingga 90 menit setelah oklusi MCA.

Antagonis Kalsium. Antagonis kalsium bermanfaat baik karena mengurangi influks kalsium
melalui kanal kalsium bergantung-tegangan atau dengan meninggikan ADS. Sedikit sekali
bukti bahwa antagonis kalsium mencegah masuknya kalsium keneuron yang iskemik.
Peninggian kalsium bebas intraseluler selama iskemia terjadi melalui berbagai jalan yaitu
kanal kalsium bergantung-tegangan, kanal kalsium dioperasikan-reseptor, dan pelepasan dari
retikulum endoplasmik. Dalam subgrup kanal kalsium bergantung-tegangan, ada tiga kanal,
dengan hanya sebuah (kanal L) yang dipengaruhi antagonis kalsium seperti nimodipin.
Antagonis kalsium lain seperti flunarizin dan nikardipin mungkin juga mempengaruhi kanal T
bergantung-tegangan. Dalam setiap keadaan, pengaruh antagonis kalsium pada iskemia fokal
adalah seimbang. Walau ada persetujuan bahwa antagonis kalsium, terutama kelas
dihidropiridin seperti nimo-dipin, nikardipin, atau PN-200-110 meninggikan ADS pada
keadaan iskemik dan non iskemik, pengaruh terhadap luas infarksi tidak konsisten. Mekanisme
perbaikan ADS oleh antagonis kalsium yang telah dipostulasikan adalah menghilangkan
vasokonstriksoi iskemik, dilatasi pembuluh darah kolateral pial, atau pengurangan
aggregasi platelet dengan mengurangi viskositas darah.

Terakhir ini, antagonis kalsium dengan efek serotonin yang disebut S-emopamil
memperlihatkan efek perbaikan pada kerusakan setelah oklusi MCA. Walau data penelitian
tidak konsisten, nimodipin telah memperlihatkan pengurangan insidens dan beratnya defisit
iskemik setelah PSA. Sebagai tambahan, beberapa penelitian di Eropa memperlihatkan bahwa
pemberian nimodipin pada pasien dengan strok akut jelas mengurangi kematian pada
terutama pria dan memperbaiki hasil akhir fungsional dalam jangka panjang. Mungkin
beberapa antgagonis kalsium bergantung-tegangan seperti nimodipin dan nikardipin akan
berperan dalam mengobati strok akut sebagai bagian dari gabungan terapi.

Pemusnah Radikal Bebas. Terbukti bahwa peroksidasi lipid bermedia radikal bebas oksigen
merugikan pada iskemia fokal. Dibuktikan bahwa antioksidan endogen seperti a-tokoferol,
askorbat, dan glutation berkurang selama iskemia fokal. Pemusnah radikal bebas seperti
dismutase dan katalase superoksid yang berkonjugasi polietilenglikol terbukti mengurangi
ukuran infark pada percobaan iskemia fokal. Terakhir, kelompok 21-amino-steroid (lazaroid)
telah dikembangkan. Aminosteroid ini tidak memiliki aktifitas glukokortikoid namun beraksi
sebagai pemusnah radikal bebas dan khelator besi. Senyawa ini memperlihatkan manfaat
pada percobaan cedera kepala, PSA, iskemia fokal, dan iskemia global. Bila hasil ini telah
jelas, 21-aminosteroid mungkin bermanfaat dalam mengobati strok akut. Seperti dengan
semua pemusnah radikal bebas, pemberian harus dilakukan sebelum masa reperfusi selama
produksi radikal bebas puncak. Mannitol juga dilaporkan sebagai pemusnah radikal bebas
dan bermanfaat pada iskemia fokal, menyebabkan beberapa ahli bedah saraf secara rutin
menggunakannya intraoperatif sebelum oklusi pembuluh saat operasi aneurisma.

Anda mungkin juga menyukai