Anda di halaman 1dari 4

ETNOGRAFI: ASPEK DAN ORISINALITASNYA

Mauline Della Agnesia


(1306413196)

Etnografi berasal dari kata Ethnos dan Graphia. Ethnos berarti bangsa, dan graphia
adalah tulisan atau pelukisan. Secara terminologi, etnografi adalah “pelukisan tentang
bangsa”1 atau bisa juga diartikan sebagai deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa 2.
Etnografi merupakan suatu metode penelitian ilmiah yang digunakan oleh etnografer dalam
meneliti suatu masyarakat di suatu lingkup daerah diwaktu tertentu.

Aspek dan Unsur Etnografi

Menurut saya, ada tiga aspek penting dalam sebuah penelitian etnografi; masyarakat,
tempat, dan waktu. Yang pertama adalah masyarakat. Jelas kita melakukan sebuah penelitian
etnografi adalah untuk memahami bagaimana masyarakat tersebut, atau berusaha
menjelaskan gejala atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Maka dari itu
masyarakat menjadi aspek penting dalam penelitian etnografi. Jika tidak ada “masyarakat”-
nya, lalu kita hendak meneliti apa? Kita tidak mungkin hanya meneliti hasil dari
kebudayaannya saja, misalnya dalam bentuk artifact atau material culture, tetapi kita juga
harus memahami si “produsen kebudayaan” tersebut.

Yang kedua adalah tempat. Penelitian etnografi berbeda dengan penelitian sosial
lainnya. Hal ini karena penelitian etnografi sangat terfokus pada suatu titik dan sifat
penelitiannya yang mendalam. Karena hal ini, mengakibatkan batasan tersendiri pada
penelitian etnografi. Maksudnya, penelitian etnografi yang mendalam menyebabkan tidak
tercakupnya keseluruhan masyarakat, terutama dalam suatu daerah yang cukup luas dan
berpenduduk banyak. Tulisan etnografi biarpun tidak menyeluruh tetapi sangat mendetail.
Contohnya, Cliford Geertz yang mendeskripsikan masyarakat Jawa, atau lebih spesifiknya
kepercayaan orang Jawa, dalam karangan etnografinya sebenarnya hanya meneliti
masyarakat Jawa Timur, khususnya di Mojokurto. Dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi,
Koentjaraningrat menjelaskan dengan contoh suku bangsa Bgu. Menurutnya, suku bangsa
Bgu adalah suku bangsa kecil baik secara wilayah maupun jumlah penduduk, sehingga
mudah baginya untuk meneliti secara keseluruhan suku bangsa tersebut. Berbeda dengan

1
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, 2002.
2
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi 1, 2009.

1
masa sekarang yang keberadaan suku bangsa semacam itu hampir jarang dan lebih banyak
masyarakat dengan populasi dan wilayah yang cukup besar, sehingga etnografer mau tak mau
harus membatasi deskripsi mereka pada lokasi tertentu. Ini kenapa “tempat” menjadi aspek
yang penting menurut saya dan harus secara jelas dicantumkan dalam sebuah tulisan
etnografi.

Yang ketiga adalah waktu. Berdasarkan konteks spasial, yaitu ruang dan waktu, waktu
menjadi aspek yang penting dalam tulisan etnografi. Akan menjadi hal yang celaka jika
seorang etnografer tidak menyantumkan waktu penelitiannya. Hal ini karena sifat manusia
yang dinamis. Seiring dengan berjalannya waktu, perubahan-perubahan pasti akan terjadi,
tidak ada masyarakat yang statis atau diam di suatu titik peradaban saja. Mengacu pada teori
evolusi budaya, hal ini menjadi relevan dengan sifat masyarakat yang dinamis dan akan
menuju ke tiap-tiap tahapan evolusi kebudayaan tersebut. Contohnya, misalnya seorang
etnografer meneliti sebuah suku di Papua. Pada saat itu, masyarakat suku tersebut masih
menggunakan sistem mata pencaharian berburu dan mengumpulkan makanan (hunting and
gathering). Namun, beberapa tahun kemudian saat seorang etnografer datang kembali, suku
tersebut sudah tidak lagi memakai sistem hunting and gathering. Mereka sudah menjadi
buruh kelapa sawit akibat tuntutan perubahan sosial. Contoh seperti ini pernah saya temui
dalam sebuah film dokumenter masyarakat Papua. Maka dari itu, penyantuman waktu dalam
penulisan etnografi sangat penting. Di satu sisi kita dapat mengaitkan atau memberi
gambaran pada peristiwa besar lain yang terjadi di masa itu juga, misalnya dampak dari
perang dunia, penjajahan, restorasi, dan sebagainya pada masyarakat suku bangsa tertentu.
Atau di sisi lain kita dapat mencari perbandingan-perbandingan dari masyarakat itu sendiri
dengan melihat konteks waktunya.

Selain tiga aspek tadi, ada unsur-unsur lain yang relevan dan penting untuk ditulis
dalam sebuah tulisan etnografi. Menurut Koentjaraningrat dalam Pengantar Ilmu Anropologi,
unsur-unsur yang harus ada dalam kerangka etnografi adalah:

1. Lokasi, lingkungan alam dan demografi


2. Asal mula dan sejarah suku-bangsa
3. Bahasa
4. Sistem teknologi
5. Sistem mata pencaharian
6. Organisasi sosial
7. Sistem pengetahuan

2
8. Kesenian
9. Sistem religi

Menurut saya, kesembilan unsur yang disebutkan Koentjaraningrat hanyalah menjadi


sebuah patokan saja, bukan pakem-pakem yang ‘tok harus dipatuhi. Seorang etnografer tidak
dituntut untuk menghadirkan kesembilan unsur tersebut dalam tulisan etnografinya. Menurut
saya, kesembilan unsur tersebut hanya berupa panduan bagi seorang etnografer untuk
meneliti apa atau yang ditelitinya masuk dalam kategori unsur apa. Perihal sembilan unsur
tersebut dihadirkan secara gamblang atau hanya satu unsur saja yang ditampilkan dengan
sangat spesifik itu menjadi urusan si etnografer itu sendiri. Contohnya dalam kuliah Etnografi
Indonesia pernah membahas tentang “Manifestasi Budaya Jawa dalam Kekuasaan”. Dari
tema tersebut jika kita lihat dari kesembilan unsur yang harus ada dalam tulisan etnografi,
sebenarnya hanya ada satu unsur saja yang relevan, yaitu organisasi sosial. Dalam organisasi
sosial kita bisa berbicara banyak tentang kekuasaan, lebih khusus lagi kekuasaan di Jawa. kita
tidak perlu membahas bahasanya, keseniannya, sistem religinya, dan lain sebagainya jika hal
itu tidak berkaitan dengan tema besar yang hendak kita bawakan tersebut dalam tulisan
etnografi kita.

Orsinalitas Etnografi

Hal yang menjadi perdebatan dalam etnografi, baik dari penelitiannya maupun tulisan
jadinya, adalah mengenai orisinalitas atau “kemurnian”. Dalam karikatur di soal,
menggambarkan bagaimana beberapa orang yang berpakaian “primitif” berusaha
menyembunyikan benda-benda yang mengganggu ke-orisinalitas kebudayaan mereka ketika
antropolog-antropolog datang. Karikatur tersebut sangat menarik menurut saya dan menjadi
pemicu yang sangat baik jika kita berbicara tentang orisinalitas sebuah etnografi. Seorang
etnografer selalu mencari “keaslian” dan “kemurnian” masyarakat yang hendak ditelitinya,
entah itu dengan berbagai cara dan metode yang digunakan. Jika kita lihat sejarah
perkembangan antropologi, antropolog atau etnografer pada masa awal, sangat tertarik
melihat masyarakat yang dianggapnya unik dan “primitif”. Hingga masa sekarang pun,
penyakit seorang etnografer adalah mencari hal-hal yang unik tersebut. Tentu saja dengan
dilakukannya perbandingan-perbandingan, karena antropologi sendiri berbicara tentang
diversity atau keberagaman. Namun, keunikan saja tidak cukup, apalagi jika dibuat-buat agar
terlihat masih “asli” dan “murni”. Orisinalitas suatu masyarakat tidak terpaku pada
pandangan umum yang masih menganggap masyarakat “asli” itu harus berpakaian adat setiap
hari, tidak ada perlatan-perlatan modern yang menunjang kehidupan mereka, tidak ada listrik,

3
kehidupan yang penuh mistis dan ritual, dan lain sebagainya. Seorang etnografer harus
toleransi jika ia sulit menemukan hal-hal tersebut di masa sekarang. Seperti yang telah saya
singgung sebelumnya berkaitan dengan teori evolusi budaya, semua bentuk masyarakat
sifatnya dinamis. Maka dari itu, orisinalitas masyarakat bukanlah yang mengarah kepada
ke-“primitif”-an masyarakat tersebut, tapi kehidupan dari masyarakat tersebut dalam bentuk
yang se-“asli-asli”-nya.

Orisinalitas dapat dikaji dari dua sisi, dari peneliti maupun dari masyarakat yang
diteliti. Etnografer yang meneliti suatu masyarakat, harus menyajikan data se-orisinal
mungkin. Jika tidak, etika dari etnografer tersebut patut dipertanyakan. Tulisan etnografi
yang baik bukan karena hasil tulisannya yang bagus saja, tetapi penelitian dan penulisannya
harus orisinal, jangan sengaja ditambah-tambahkan agar terlihat bagus. Jika dari sisi
masyarakat yang diteliti, orisinalitasnya juga sangat penting. Jangan sampai ada masyarakat
yang seolah-olah memperlihatkan bahwa mereka masih “asli” agar menjadi objek penelitian
yang ujungnya mengarah pada pariwisata atau semacamnya. Jika ada, disinilah kemampuan
seorang etnografer diuji untuk mencari letak orisinalitas masyarakat tersebut. Menurut saya,
etnografi bukan hanya sebuah metode penulisan saja, tapi suatu upaya melihat keberagaman
manusia dari berbagai sisi.

Referensi

Koentjaraningrat

2002 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

2009 Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: UI-Press.

Anda mungkin juga menyukai