Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TENTANG
PEMBAGIAN HADITS
(Pembagian hadits dari segi kuantitas,kualitas dan cara pengamalan hadits)

Disusun Oleh:
Nur Akila 70200121033
Nur Fadhilah Rahman 70200121044

Program Studi Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
Tahun Ajaran 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan kekuatan
lahir batin makalah ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan-Nya kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Makalah ini membahas “Pembagian hadits dari Segi Kuantitas,Kualitas dan pengamalan
hadits” yang menjadi tugas bagi mahasiswa Universitas islam negeri alauddin makassar dalam
mata kuliah Ilmu Hadits

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kepada
semua pembaca dimohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah
ini.

kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan kritik demi sempurnanya makalah
ini, ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Amin yan Rabbal ‘Alamin

Makassar,14 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................................
KATA PENGANTAR ........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah .........................................................................................
2. Rumusan Masalah ...................................................................................................
3. Tujuan Pembahasan ................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
1. Pengertian Hadist ....................................................................................................
2. Pembagian Hadist dari Segi Kuantitas ....................................................................
3. Pembagian Hadist dari Segi Kualitas ......................................................................
4. Pembagian Hadist dari Segi Pengamalan ...............................................................
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan .............................................................................................................
2. Saran .......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................................
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang sudah canggih membuat ilmu pengetahuan banyak


bermunculan terutama tentang kajian keilmuan Islam, salah satunya yaitu dalam ilmu
hadits karena banyaknya pembahasan dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat
penting untuk dibahas dan dipelajari.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan
beragam.Tetapi,kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian
hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan. Misalnya
hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad
dan matan dan hadits ditinjau dari segi pengamalan hadits.
Hadits memiliki beberapa cabang dan masing-masing mamiliki pembahasan
tersendiri.Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada pembahasan ini
kami akan membahas pembagian hadits dari segi kuantitas,segi kualitas dan segi
pengamalan.
2. Rumusan Masalah
• Pembagian hadits dari segi kuantitas perawi dan sanad
• Pembagian hadits dari segi kualitas
• Pembagian hadits dari segi pengamalan
3. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembagian hadist diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan
hadits.untuk sisi kuantitas hadits kita dapat mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkat
sehingga muncul klasifikasi hadits mutawattir dan hadits ahad, sedangkan dari sisi kualitas
kita dapat mengetahui keontetikan hadits dilihat dari shahih, dhaif, hasan dan sebagainya.
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadist
Hadits merupakan sumber hukum umat islam setelah Al-Qur’an,apabila suatu
permasalahn tidak ditemukan dalam Al-Qur’an maka hadits bisa dijadikan sebuah
rujukan.
Secara bahasa hadits ini diartikan sebagai sesuatu yang baru terjadi, arahan ataupun
ketetapan yang disampaikan oleh rasulullah secara lisan. Suatu hukum atau penetapan
pada hal-hal tertentu yang dibahas oleh rasulullah dan disampaikan kepada para
sahabat.Dalam keadaan tersebut bisa disebut hadist.
Sedangkan secara istilah merupakan segala sesuatu yang berasal dari Rasulullah
SAW berupa (qauliyah) contohnya: rasulullah berkata kepada sahabat untuk senantiasa
menjaga kebersihan, contoh lain rasulullah menganjurkan untuk mengeluarkan zakat.
Maka ucapan beliau disebut hadist Qouliyah.
perbuatan (fi’liyah) contohnya: Istri Rasulullah yaitu Sitti Aisyah seringkali
melihat rasulullah mendahulukan sisi kanan dalam setiap keadaan seperti memasang
sandal dan menyisir rambut. Maka perkataan Sitti Aisyah tersebut sudah termasuk
hadist fi’liyah.
ketetapan (taqririyah), sifat/karakter, atau sejarah baik sebelum diangkat menjadi
Rasul seperti kebiasaan bertahannus di Gua Hiro atau setelahnya (menjadi
Rasulullah).Misalnya, ketika kita mengatakan “Rasulullah SAW pernah berkata” atau
“Rasulullah SAW pernah melakukan..”, secara tidak langsung pernyataan tersebut sudah
bisa dikatakan hadits.
Jika disimpulkan hadist menurut para ulama’ adalah sesuatu yang datang dari
rasulullah meliputi, ucapan, pengakuan dan kebiasaan-kebiasaan rasulullah.
1

1
Abdullah hafidz,.”pengertian hadist menurut bahasa dan istilah” https://www.majalahtaujih.com/pengertian-hadist-
menurut-bahasa-dan-istilah/ aprl 1, 2021
2

Defenisi Hadits

Hadits merupakan sesuatu yang sumbernya dari sabda, perbuatan, dan sesuatu yang
sudah ditetapkan,dan juga persetujuan yang berasal dari Nabi Muhammad sebagai
landasan atau rujukan berhubungan dengan syariat dalam agama islam.

Defenisi Sanad

Sanad secara bahasa dapat diartikan yaitu sesuatu yang dipedomani atau yang bisa
dijadikan pegangan,atau bisa diartikan juga sebagai sesuatu yang terangkat (tinggi) dari
tanah. Sanad diartikan juga sebagai sandaran.
namun secara istilah sanad dapat diartikan sebagai jalannya matan, yaitu silsilah
para perawi yang meriwayatkan matan dari sumber pertama, dalam arti yang lain sanad
adalah suatu rangkaian para periwayat yang menghubungkan matan (isi hadits) sampai
pada redaksi hadits. Sanad juga dapat didefinisikan sebagai para periwayat hadits yang
menukilkan atau menyampaikan isi redaksi hadits kepada kita.
Al-Tahanawi juga mengemukakan tentang pegertian sanad yaitu, suatu jalan yang
menghubungkan kepada matan hadits, yaitu nama-nama perawinya secara urut.
Jadi, sanad merupakan suatu jalan penghubung antara perawi-perawi yang telah
meriwayatkan redaksi sebuah hadits dari mulai sumber yang pertama. Sanad bisa juga
dikatan orang-orang yang telah meriwayatkan redaksi hadits dari tingkatan para
sahabat hingga sebuah hadits tersebut sampai pada kita. Intinya, sanad merupakan
silsilah perawi yang telah meriwayatkan isi dari sebuah hadist.

Definisi Matan

Matan secara bahasa dapat diartikan yaitu sesuatu yang keras dan tinggi, yang
terangkat dari bumi(tanah), dalam istilah merupakan sesuatu yang terletak setelah
sanad yaitu yang berup perkataan.

22
Sy ganteng,.”pengertian hadits,sanad,matan” https://www.onoini.com/pengertian-hadits/ 12 september,2021
Defenisi matan menurut Nawir Yuslem mengemukakan bahwa matan adalah lafal
hadits yang dalamnya mengandung sebuah makna(pengrtian).Jika rantai sanad telah
berurutan maka setelah itu mengandung sebuah redaksi dari hadist (makna hadits).
Yang artinya bahwa sanad berisi tentang redaksi, inti, atau isi dari sebuah hadits.

2. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang mengelompokkan
menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga yang menbaginya
menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk
ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-
Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama
ushul (ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.
Hadits Mutawatir
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Periwayatan
seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang
terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

ِ ‫ﻋﻠـَﻰ اْﻟﻜـَـ ِﺬ‬


‫ب‬ ُ ‫ﻋﺔً ﺑَﻠـَﻐُ ْﻮا ﻓِﻰ اْﻟﻜـَﺜْ َﺮةِ َﻣ ْﺒﻠَﻐـًﺎ ﺗُﺤِ ْﯿ ُﻞ اْﻟ َﻌﺎدَةَ ﺗ ََﻮا‬
َ ‫ط ُﺆھُ ْﻢ‬ َ ‫ﺴ ْﻮ ٍس أ َ ْﺧﺒَ َﺮ ِﺑ ِﮫ َﺟﻤــَﺎ‬
ُ ْ‫ﻋ ْﻦ َﻣﺤ‬
َ َ‫ﻣـَﺎ َﻛﺎن‬

Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat
berbohong.
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat
hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak termasuk
dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang shahih tidaknya
suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir
masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka
wajib diyakini dan diamalkan.
B. Syarat Hadits Mutawatir 3
- Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini
bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat
tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah
perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi
yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal
10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya
sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
- Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
- Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus
benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila
berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain,
atau hasil istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.

C. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :

ِ ‫ﻲ ﻓـ َ ْﻠ َﯿﺘَ َﺒ ﱠﻮأْ َﻣ ْﻘ َﻌﺪَهُ ﻣِ ﻦَ اﻟﻨﱠ‬


‫ﺎر‬ ‫ﻋﻠَ ﱠ‬ َ َ‫ﺳﻠﱠ َﻢ َﻣ ْﻦ َﻛﺬ‬
َ ‫ب‬ َ ‫ﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َو‬
َ ‫ﺳ ْﻮ ُل ﷲ‬
ُ ‫ﻗـَﺎ َل َر‬

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.Menurut Al-Bazzar,
hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits
yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai
makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.

‫ﻗﺎل اﺑﻮ ﻣﺴﻰ م رﻓﻊ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾﺪﯾﮫ ﺣﺘﻰ رؤي ﺑﯿﺎض اﺑﻄﮫ ﻓﻰ ﺷﺊ ﻣﻦ دﻋﺎﺋﮫ إﻻ ﻓﻰ اﻹﺳﺘﺴﻘﺎء‬
(‫)رواه اﻟﺒﺨﺎرى وﻣﺴﻠﻢ‬

Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat
3
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat
melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh
Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits
nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya.
Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai
hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin ada.
Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir (termasuk
yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas.
Menurut Ibn Hajar Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk
mengetahuinya harus dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat
perawi, sehingga dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta
terhadap hadits yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad
‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin
Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)

B. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits ahad
berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi
belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad
adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur. Hadits
ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
1. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :

‫ﻋﺪَدٌ ﻻ ﯾَ ْﺒﻠُ ُﻎ َﺣﺪﱠ ﺗ ََـﻮاﺗِﺮ ﺑَ ْﻌﺪَ اﻟ ﱠ‬


‫ﺼ َﺤﺎﺑَ ِﮫ َوﻣِ ْﻦ ﺑَ ْﻌ ِﺪ ِھ ْﻢ‬ َ ‫ﺼ َﺤﺎﺑَ ِﮫ‬
‫ﺎر َواهُ ﻣِ ﻦَ اﻟ ﱠ‬
َ َ ‫ﻣـ‬
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.” 4
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus
shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya. Seperti
hadits ibnu Umar.

‫اِذَا َﺟﺎ َء ُﻛ ُﻢ اْﻟ ُﺠ ْﻤ َﻌﮫُ ﻓَ ْﻠ َﯿ ْﻐﺴ ِْﻞ‬

“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-
ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang
berbunyi:

َ ‫ﺿ َﺮ َر َوﻻَ ﺿـــِ َﺮ‬


‫ار‬ َ َ‫ﻻ‬

“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”


Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :

َ ‫ط َﻠﺐُ اْﻟﻌ ِْﻠ ِﻢ ﻓَ ِﺮ ْﯾ‬


‫ﻀــﮫٌ ﻋــَـﻠَﻲ ُﻛ ِّﻞ ُﻣ ْﺴﻠ ٍِﻢ َو ُﻣ ْﺴ ِﻠ َﻤــــ ٍﮫ‬ َ

“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”


Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW
membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan Ri’il dan
Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain, dan juga
dikalangan orang awam, seperti :

َ◌‫ﺳـــــﻠ َِﻢ اْﻟ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ُﻤ ْﻮنَ ﻣِ ْﻦ ﻟِﺴـــَـﺎﻧِ ِﮫ َوﯾ ِﺪ ِه‬


َ ‫اْﻟ ُﻤ ْﺴ ِﻠ ُﻢ َﻣ ْﻦ‬

3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :

4
Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.
َ ‫ﺳﻠﱠ َﻢ‬
‫ﻋ ْﻦ ﺑَﯿ ِْﻊ اْﻟﻐ ََﺮ ِر‬ َ ِ‫ﺻﻠﱠﻲ ﷲ‬
َ ‫ﻋﻠَﯿْــــ ِﮫ َو‬ َ ِ‫ﺳ ْﻮ َل ﷲ‬
ُ ‫ﻧَ َﮭﻲ َر‬
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :

‫ﻄﺄ َ َﻓﻠـَﮫُ أَ ْﺟ ٌﺮ‬


َ ‫ان َواِذَا َﺣ َﻜــــ َﻢ َﻓﺎﺟْ ﺘَ َﮭ َﺪ ﺛ ُ ﱠﻢ أَ َﺧــــ‬ َ َ‫َﺎب َﻓﻠـَــﮫُ أ‬
ِ ‫ﺟْﺮ‬ َ ‫اِذَا َﺣ َﻜ َﻢ اْﻟﺤَﺎ ِﻛ ُﻢ ﺛ ُ ﱠﻢ ا ْﺟﺘَ َﮭ َﺪ َﻓـــﺄَﺻ‬

“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian
ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran), dan
apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :

َ ‫ُﻛ ْﻨﺖُ َﻛ ْﻨ ًﺰا َﻣ ْﺨ ِﻔﯿ�ﺎ َﻓﺄ َ ْﺣ َﺒﺒْﺖُ أ َ ْن أُﻋ ِْﺮ‬


َ ‫ف َﻓﺨَﻠـ َ ْﻘﺖُ ْاﻟﺨ َْﻠﻖَ ﻓَ ِﺒﻲ‬
‫ﻋ َﺮﻓُ ْﻮﻧِﻲ‬
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag paling
fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.
2. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib.
Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua tingkatan
sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan
bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz bukan
hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada tingkatan yang
diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
َ‫ـﺎس أَﺟْ َﻤ ِﻌﯿْﻦ‬
ِ ‫ﻻَ ﯾُﺆْ ﻣِ ﻦُ أ َ َﺣﺪُ ُﻛ ْﻢ َﺣﺘﱠﻲ أَ ُﻛ ْﻮنَ أَ َﺣﺐﱠ ِإﻟَ ْﯿ ِﮫ ﻣِ ْﻦ َواﻟِـ ِﺪ ِه َو َوﻟــِ ِﺪ ِه َواﻟﻨـﱠ‬
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya, orang
tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam sanadnya
terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya, yakni
tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi
itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-
5
perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang perawi
bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
3. Pembagian Hadits dari segi Kualitas
1. Hadits Shahih

Menurut bahasa shahih berasal dari kata shahha, yashihhu, suhhah wa shihhatan, yang
artinya adalah sehat, selamat, sah, benar. Sedangkan Ibnu Ash Shalah berbendapat bahwa hadits
shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang sanadnya
bersambung, yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad,
serta tidak ada kejanggalan serta tidak ada ‘illat.

Sedangkan menurut ibnu hajar Al-Asqalani bahwa hadits shahih merupakan hadits yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang mempunyai sifat adil,tidak ber’illat serta tidak syaz

Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebuah hadits bisa dikatakan shahih yaitu:

• Sanadnya terhubung (setiap perawi menerima hadits langsung dari gurunya)


• Perawi dhabit (hafalan kuat dalam menulis hadits)
• Tidak syaz (hadits tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang lebih tsiqah darinya)
• Yang terakhir adalah tidak ada ‘illat (cacat tersembunyi yang merusak hadits dan sekilas
terlihat tidak ada cacat.

contoh hadits yang shahih

‫ب ﻋ َْﻦ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ِﺪ ﺑ ِْﻦ ُﺟﺒَﯿ ِْﺮ ﺑ ِْﻦ ُﻣ ْﻄ ِﻌ ِﻢ ﻋ َْﻦ أَﺑِ ْﯿ ِﮫ ﻗَﺎ َل‬ ِ ‫ﻒ ﻗَﺎ َل أَ ْﺧﺒَ َﺮﻧَﺎ َﻣﺎ ِﻟﻚٌ ﻋ َِﻦ اﺑ ِْﻦ‬
ٍ ‫ﺷ َﮭﺎ‬ َ ‫َﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ‬
ُ ‫ﻋ ْﺒ ُﺪﷲِ ْﺑ ُﻦ ﯾُ ْﻮ‬
َ ‫ﺳ‬
‫ﻄ ْﻮ ِر )رواه اﻟﺒﺨﺎر(“ي‬ ِ ‫م ﻗَ َﺮأَ ِﻓﻲ ا ْﻟ َﻤ ْﻐ ِﺮ‬.‫ﷲ ص‬
‫ب ِﺑﺎﻟ ﱡ‬ ِ ‫ﺳ ْﻮ َل‬ُ ‫ﺳ ِﻤ ْﻌﺖُ َر‬َ

” Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan
kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia
berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur”
(HR. Bukhari, Kitab Adzan)

Hadits Shahih pula terdapat dua bagian:

5
https://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/ Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang
Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.
a.Hadits Shahih Lidzatihi

Hadits shahih lidzatihi adalah hadits yang dimana memiliki semua syarat hadits shahih
sebagaimana yang telah kita bahas diatas.

b.Hadits Shahih Lighoirihi

Hadits Shahih Lighoirihi adalah Hadits Hasan Lidzatihiyang diriwayatkan dari jalur lain yang
sama atau yang lebih kuat darinya

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hadits shahih merupakan hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah, yang sanadnya tersambung, perawi yang memiliki sifat adil, kuat
dalam ingatan dan kecerdasannya, serta tidak cacat atau rusak (haditsnya).

4. Hadits Hasan

Hadits hasan adalah tingkatan hadits yang ada dibawah hadits Shahih.Menurut Imam
Tirmidzi, hadits Hasan adalah hadits yang tidak berisi informasi yang bohong, tidak bertentangan
dengan hadits lain dan Al-Qur'an dan informasinya kabur, serta memiliki lebih dari satu Sanad.
Selain itu, menurut Abdul Karim, hadits Hasan juga merupakan hadits yang diriwayatkan oleh
rawi terkenal dan disetujui keakuratannya oleh sebagian besar pakar hadits.yang tingkatannya
berada di bawah hadist shahih dan berada di atas hadist dhaif.

Contoh hadits hasan “Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan
kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari
ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda :
sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…”( HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu
Fadhailil jihadi).

3. Hadits Dha’if

Hadits yang lemah yang tidak memenuhi syarat hadits shahih dan hadits hasan. Hadits ini
memang dinisbahkan pada Rasulullah, akan tetapi perawi haditsnya tidak kuat hafalannya ataupun
kredibilitasnya, serta silsilah sanadnya yang terputus.
Contoh hadits dha’if “Apa yang diriwayatkan oleh tirmidzi dari jalur hakim al-atsrami
“dari abi tamimah al-Hujaimi dari abi hurairah dari nabi saw ia berkata : barang siapa yang
menggauli wanita haid atau seorang perempuan pada duburnya atau seperti ini maka sungguh ia
telah mengingkari dari apa yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad saw”

4. Hadits Palsu (maudhu’)


Sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara mengada-ada dan bohong, tidak
pernah disampaikan, dikerjakan atau disetujui. Sebagian ulama tidak memasukkan hadis
maudhu` dalam kategori hadis dha`if karena walaupun disebut hadits namun palsu dan bohong.

67 5. Pembagian hadist dari segi pengamalan

A. Hadits tentang Berpakaian Gamis dan Larangan Isbal Dalam berpakaian mereka biasanya
menggunakan gamis, yaitu pakaian yang ukurannya sampai ke lutut atau juga jubah yang terdapat
belahan atau yang sampai di bawah lutut seperti orang Timur Tengah. Warna pilihan adalah warna
putih hal ini berdasarkan sunnah karena Rasul suka warna putih.Gamis atau kurta adalah pakaian
panjang yang menutup seluruh tubuh. Rasul sangat menyukai pakaian ini.Maulana Zakariya al-
Kandahlawi mengatakan, bahwa gamis sebagai penutup badan yang baik dan memenuhi kehendak
kegantengan, keanggunan dan ketawadhuan.8 Adapun bentuk gamis Rasul adalah panjangnya
sampai ke atas mata kaki dan lengan bajunya sampai ke jari-jari. Menurut ulama yang dimaksud
di atas mata kaki adalah di tengah-tengah betis antara lutut dan mata kaki. “pakaian yang sangat
disukai rasulullah SAW adalah gamis”(HR. al-Tirmidzi).

Berdasarkan Hadits di atas Jamaah Tabligh menyimpulkan bahwa memakai gamis seperti
Nabi saw dan para sahabat adalah sunnah yang dianjurkan.Menurut mereka, mengenakan gamis
juga harus berhati-hati jangan kepanjangan sampai ke mata kaki karena itu dilarang, bahkan
diancam dengan ancaman api nereka bagi yang melakukannya. Hal ini berdasarkan Hadits: “di
hari kiamat allah tidak akan memandang orang yang menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki
karena sombong” hadits lainnya berbunyi: “kain yang berada dibawah mata kaki adalah bagian api
neraka” Inilah yang menyebabkan penampilan sarung atau celana mereka cingkrang atau di atas
mata kaki pertengahan betis. Mereka tidak menerima jika Hadits itu diartikan, larangan jika

8
Alimuddin Tuwu, Op. Cit, h. 147
9
Ibid.
10Ibid, h. 15
disertai sikap sombong. Adapun jika tidak ada maksud sombong maka boleh saja. Menurut mereka
alasan sombong di sana bukan pengecualian. Hal ini didasarkan Hadits lain:”janganlah
memanjangkan kain kamu di bawah mata kaki, karena itu sikap membanggakan diri”(HR.Abu
Dawud)

8 Jika kita memperhatikan Hadits tentang Nabi saw berpakaian gamis, Haditsnya fi’il
menggambarkan bahwa pakaian yang paling disukai Nabi saw adalah gamis. Artinya hanya
menggambarkan bahwa Nabi saw sangat suka memakai gamis. Adapun Hadits tentang pilihan
warna putih, bernada perintah atau anjuran. Namun anjuran tersebut pada seluruh pakaian,
termasuk kain kafan. Perintah itu juga masih dalam taraf sunnah bukan wajib.
Dakui bahwa, mengenakan pakaian gamis termasuk mengamalkan sunnah, namun itu termasuk
sunnah ghairu tasyri’i
Pakaian gamis adalah pakaian adat bangsa Arab, bukan pakaian yang diperintahkan
dalam agama Islam. Dalam agama, yang diperintahkan adalah memakai pakaian yang menutup
aurat dan sopan. Menurut al-Qaradhawi, urusan pakaian, potongan bentuknya, itu terkait dengan
adat istiadat setempat yang sering berlainan sesuai dengan perbedaan iklim, status sosial, tingkat
kesejahteraan, kecenderungan hati, dan latar belakang lainnya. Dalam hal ini syariat senantiasa
bersikap lunak dan tidak terlalu mengatur kecuali pada batas-batas tertentu, misalnya membuka
aurat, atau terlihat lekuk tubuh bagi wanita, atau karena sombong dan membanggakan diri, ini
yang dilarang.11
Lagi pula jika kita perhatikan pakaian Jamaah Tabligh tidak sepenuhnya mengikuti
sunnah. Di antara mereka banyak yang memakai pakaian adat/ala Pakistan, India, atau
Afganistan, yaitu pakaian sebatas lutut. Jika memang ingin mengikuti sunnah semestinya mereka
memakai gamis sebagaimana orang Arab. Berkaitan dengan Hadits ancaman bagi yang
menjulurkan kain ke bawah mata kaki, Jamaah Tabligh memahaminya secara apa adanya sesuai
dengan yang tercantum pada teks Hadits. Bagi mereka memanjangkan kain sarung, pakaian, atau
celana ke bawah mata kaki adalah dilarang dan ancamannya adalah api neraka, sebagaimana
disebutkan dalam Hadits. Mereka menyebutnya dengan istilah isbal. Mereka sangat berhati-hati
dalam hal ini sehingga terlihat dari penampilan mereka, kain atau celana mereka jauh di atas
mata kaki (cingkrang). Pemahaman Hadits tentang isbal tidak bisa hanya mengkaji satu atau dua
Hadits saja, karena ada Hadits yang serupa memiliki penjelasannya. Inilah yang dianjurkan
ulama Hadits, jika ingin mendapatkan pemahaman yang benar dan utuh, maka Hadits-Hadits
yang berbicara tentang satu tema harus dikumulkan dan dibahas semua.
Ternyata Hadits-Hadits larangan isbal, memiliki penjelasan atau pengecualian.
Sebagaimana Hadits riwayat al-Bukhari yang berbunyi: “barang siapa yang menjulurkan kain
sarungnya karena sombong maka allah tidak akan memandangnya pada hari kiamat .

81 Yusuf al-Qardhawi, Kaifa nata’mal ma’a -Sunnah al-Nabawiyyah,


(Virginia, Dar al-Wafa, 1992), h. 107
Adapun ulama hadis Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani memberikan tiga syarat bila ingin
mengamalkan hadis dhaif, yaitu:

1. Lemahnya tidak terlalu berat (dhaif jiddan). Oleh karena itu, tidak boleh mengamalkan
hadis matruk, atau hadis yang diriwayatkan oleh orang yang dicurigai sebagai pendusta.

2. Masuk (dapat dikategorikan) ke dalam dalil lain yang diamalkan.

3. Ketika mengamalkannya, jangan meyakini akan kepastiannya, tetapi sebatas sebagai langkah
hati-hati.

Adapun hukum pengamalan hadis shahih menurut ijma ahli hadis dan segolongan ahli ushul dan
para fuqaha bahwa hadis shahih wajib diamalkan dan merupakan salah satu dasar dari dasar-
dasar syara’. Bagi seorang muslim tidak ada lapangan untuk meninggalkan dan harus
mengamalkannya.

Ada pendapat lain mengatakan bahwa yang berkenaan dengan akidah ulama berbeda pendapat
tentang hadis ahad ini untuk dijadikan hujjah. Sebagian ulama berpendapat tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah karena dzanni al-wurud, sedangkan akidah harus berdasatkan qat’iy baik wurud
maupun dalalah-nya.

Ulama yang lain membolehkan dijadikan hujjah untuk masalah akidah yang mendukung
pendapat ini, menyatakan bahwa hadis ahad dapat menjadi qath’y al-wurud dengan alasan bahwa
sesuatu yang bersifat dzanni kemungkinan mengandung kesalahan. Setelah diteliti dengan
cermat ternyata berkualitas shahih. Alasan lain bahwa Nabi Muhammad saw. pernah mengutus
sejumlah muballigh ke berbagai daerah yang jumlahnya tidak mencapai tingkat kategori
mutawâtir. Seandainya penjelasan agama harus berasal dari berita yang mutawâtir, maka
masyarakat tidak menerima dan membenarkan dakwah dari muballigh utusan Nabi. Begitu juga
Umar bin Khattab pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika mendengat hadis Nabi yang
disampaikan oleh al-Dahhak bin Sufyan secara ahad. Adapun yang berkaitan dengan non-aqidah,
hadis shahih disepakati oleh ulama sebagai hujjah.
KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa pembagian hadits terbagi menjadi
dua yaitu kuantitas dan kualitas. Pembagian hadits ditinjau dari kuantitasnya yaitu, hadits
mutawatir dan hadits ahad. Hadits mutawatir dibagi dalam tiga kategori yaitu mutawatir
tafzhi,mutawatir ma'nawi,mutawatir 'Amali dan hadits Ahad dibagi menjadi 2 kategori yaitu
hadits masyhur dan hadits ghairu masyhur. Sedangkan ditinjau dari sisi kualitas diantaranya yaitu
hadits shahih, hadits hasan, hadits dha'if dan hadits palsu(maudhu'). Untuk mengenal hadits kita
perlu mengetahui pengamalannya bagi dari segi Individu maupun perkelompok. Adapun contoh
pengamalannya yaitu, berpakaian gamis dan dan larangan isbal.
SARAN

Bahwa didalam mengenal teori hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian hadits
baik dari segi kuantitas, kualitas hadits serta pengamalan itu sendiri, supaya timbul ikhtiar kita
dalam menyampaikan hadits. Maka sebagai manusia perlu mengamalkan dalam kehidupan kita
untuk mengajarkan ajaran-ajaran agama islam sebagai pedoman hidup dan ditakutkan nanti kita
termasuk golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.majalahtaujih.com/pengertian-hadist-menurut-bahasa-dan-istilah/

https://www.onoini.com/pengertian-hadits/

https://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/

https://islam.nu.or.id/post/read/83811/pembagian-hadits-ditinjau-dari-kualitasnya

https://makalahnih.blogspot.com/2014/06/pembagian-hadits-ulumul-hadits.html

https://sg.docworkspace.com/d/sID_AmuWFAYr-hYoG

Anda mungkin juga menyukai