Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam tahapan masa tumbuh kembang anak balita, banyak problem yang
dihadapi orang tua. Salah satunya adalah masalah berkemih yaitu enuresis (mengompol).
Umumnya mengompol, yang dalam istilah kedokterannya disebut enuresis, merupakan
kebiasaan yang kurang menyenangkan bagi para orangtua itu lebih banyak dijumpai pada
anak lakilaki daripada anak perempuan. Kemungkinan karena faktor aktifitasnya lebih
banyak anak laki-laki. Mengompol merupakan persoalan yang sering didiskusikan dan
menimbulkan perbedaan pendapat mengenai kejadian dan perawatannya. Enuresis
umumnya paling sering terjadi pada anak-anak namun kadang-kadang juga pada remaja
dan orang dewasa (Setiowati, 2018). Enuresis adalah keluarnya air urin yang tidak
disadari oleh anak. Enuresis memberikan pengaruh buruk baik secara psikologis dan
sosial sehingga mengganggu kehidupan anak dan mempengaruhi kualitas hidupnya saat
dewasa (Fitria, 2018).
Enuresis memberikan pengaruh buruk baik secara psikologis dan sosial sehingga
bisa mengganggu kehidupan anak dan mempengaruhi kualitas hidupnya saat dewasa.
Prevalensi enuresis sebesar 15% pada usia 5 tahun, 10% pada usia 7 tahun dan menurun
menjadi 5% pada usia 11-12 tahun (Kerrebroek dan Norgaard, 2009). Apabila enuresis
tidak segera diatasi dan diabaikan dapat mengganggu kepercayaan diri anak dan
hubungan sosialnya (Fitria, 2018).
Di Amerika Serikat didapatkan 5-7 juta anak mengalami enuresis nokturnal, laki-
laki tiga kali lebih sering dibandingkan dengan perempuan.Sekitar 15%-25% enuresis
nokturnal terjadi pada umur 5 tahun.Makin bertambah umur, prevalensi enuresis makin
menurun.2 Dari seluruh kejadian enuresis didapatkan 80% adalah enuresis nokturnal,
20% enuresis diurnal, dan sekitar 15%-20% anak yang mengalami enuresis nokturnal
juga mengalami enuresis diurnal. Di Indonesia diperkirakan jumlahbalita mencapai 30%
dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) nasional diperkirakan jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar dan
buang air kecil di usia prasekolah mencapai 75 juta anak. Namun demikian,masih ada
sekitar 30% anak umur 4 tahundan 10% anak umur 6 tahun yang masih takut ke kamar
mandi terlebih pada saat malam hari. Menurut Child Development Institute Toilet
training pada penelitian American Psychiatric Association, dilaporkan bahwa10 -20%
anak usia 5 tahun, 5% anak usia10 tahun, hampir 2% anak usia 12- 14tahun, dan 1% anak
usia 18 tahun masih mengompol (Permatasari dkk. 2018).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas maka didapati rumusan masalah bagaimanakah
etioologi, epidemiologi, diagnosis, gambaran klinis, diagnosis banding, penatalaksanaan
dan prognosis dari gangguan cemas menyeluruh?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menguraikan teori-teori tentang
enuresis. Penyusunan makalah ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan
kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.4 Manfaat

Makalah ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan penulis serta


pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami dan mengenal tentang enuresis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Enuresis merupakan suatu gangguan yang ditandai oleh buang air seni tanpa
kehendak, pada siang dan/atau malam hari, yang tidak sesuai dengan usia mental anak,
dan bukan akibat dari kurangnya pengendalian kandung kemih akibat gangguan
neurologis, serangan epilepsi, atau kelainan struktural pada saluran kemih (PPDGJ 3,
2013).

Enuresis adalah istilah untuk anak yang mengompol minimal dua kali dalam
seminggu dalam periode paling sedikit 3 bulan pada anak usia 5 tahun atau lebih, yang
tidak disebabkan oleh efek obat-obatan. Enuresisatau mengompol merupakan kondisi
yang biasanya terjadi karena saraf dalam menyuplai kandung kemih lambat matangnya,
sehingga si anak tidak berhasil terbangun ketika kandung kemih penuh dan butuh
dikosongkan (Permatasari dkk. 2018)

Enuresis adalah pengeluaran air kemih yang tidak disadari, yang terjadi pada saat
pengendalian proses berkemih diharapkan sudah tercapai. Pada umur 5 tahun anak
diharapkan sudah dapat mengontrol kandung kemih. Enuresis diurnal adalah enuresis
yang terjadi saat siang hari sedangkan enuresis nokturnal adalah enuresis yang terjadi saat
anak tertidur di malam hari (Sari Pediatri, 2008)

2.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat didapatkan 5-7 juta anak mengalami enuresis nokturnal, laki-
laki tiga kali lebih sering dibandingkan dengan perempuan.Sekitar 15%-25% enuresis
nokturnal terjadi pada umur 5 tahun.Makin bertambah umur, prevalensi enuresis makin
menurun.2 Dari seluruh kejadian enuresis didapatkan 80% adalah enuresis nokturnal,
20% enuresis diurnal, dan sekitar 15%-20% anak yang mengalami enuresis nokturnal
juga mengalami enuresis diurnal (Sari Pediatri, 2008)
Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa
penduduk Indonesia, dan menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) nasional
diperkirakan jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar dan buang air kecil di
usia prasekolah mencapai 75 juta anak. Namun demikian,masih ada sekitar 30% anak
umur 4 tahundan 10% anak umur 6 tahun yang masih takut ke kamar mandi terlebih pada
saat malam hari. Menurut Child Development Institute Toilet training pada penelitian
American Psychiatric Association, dilaporkan bahwa10 -20% anak usia 5 tahun, 5% anak
usia10 tahun, hampir 2% anak usia 12- 14tahun, dan 1% anak usia 18 tahun masih
mengompol (Permatasari dkk, 2018)

Pada umumnya anak berhenti mengompol sejak usia 2,5 tahun. Pada anak usia 3
tahun, 75% anak telah bebas mengompol siang dan malam hari. Pada usia 5 tahun, sekitar
10-15% anak masih mengompol paling tidak satu kali dalam seminggu. Pada usia 10
tahun masih ada sekitar 7%, sedang pada usia 15 tahun hanya sekitar 1% anak yang
masih mengompol (Permatasari dkk, 2018)

2.3 Etiologi

Berbagai penyebab enuresis pada anak antara lain faktor genetik, hormonal,
anatomi, kondisi medis seperti konstipasi, infeksi saluran kencing, problem psikologis,
kapasitas kandung kemih yang kecil, gangguan tidur, keterlambatan perkembangan, dan
imaturitas fungsi sistem saraf pusat. Enuresis dapat memberikan dampak terhadap
perkembangan anak. Anak akan mengalami gangguan perilaku internal ataupun
eksternal. Anak akan merasa rendah diri, tidak percaya diri, atau lebih agresif.Walaupun
sekitar 15% anak yang mengalami enuresis dapat mengatasi sendiri atau remisi secara
spontan tiap tahunnya, namun jika enuresis tidak mendapatkan penanganan dini dan tepat
akan berdampak terhadap perkembangan anak (Azhar, 2018).

Salah satu faktor penyebab lain enuresis adalah pola asuh orang tua. Enuresis
lebih banyak terjadi pada orang tua yang menerapkan pola asuh permisif dibandingkan
pola asuh otoriter (50% vs 15,8%). Enuresis disebakan oleh riwayat ayah mengalami
enuresis, riwayat saudara mengalami enuresis, lari ke toilet jika akan berkemih, jumlah
berkemih ≤ 7 kali/hari dan tidur yang dalam. Sampai saat ini, variabel etiologi primer
yang diakui dalam literatur adalah faktor genetik, kurang tidur, pendewasaan tertunda,
faktor psikologis, kapasitas kantung kemih yang berkurang, dan rendahnya tingkat
hormon antidiuretik (ADH) vasopressin. Gangguan enuresis ini menimbulkan dampak
pada proses tumbuh kembang anak berupa gangguan emosional dan gangguan sosial,
Menurunya kepercayaan diri, gangguan tidur dan potensi gangguan kesehatan anak
sehari-hari (Fitria, 2018).

Beberapa faktor etiologi yang diketahui mempengaruhi enuresis adalah genetik,


hambatan perkembangan dasar, hambatan yang mengatur pengosongan kandung kemih,
lingkungan, dan pola tidur.Hallgren menemukan sekitar 70% keluarga dengan anak
enuresis, salah satu atau lebih anggota keluarga lainnya juga menderita enuresis, dan
sekitar 40% sekurang-kurangnya satu diantara orang tuanya mempunyai riwayat enuresis
(Permatasari,2018)

Terdapat dua jenis perjalanan enuresis yaitu tipe primer, yang di mana individu
tidak pernah mengalami kontinensia urin, dan tipe sekunder, di mana gangguan
berkembang setelah periode kontinensia urin yang mapan. Tidak ada perbedaan dalam
prevalensi gangguan mental komorbiditas antara kedua jenis. Menurut definisi, primer
enuresis dimulai pada usia 5 tahun. Waktu yang paling umum untuk timbulnya enuresis
sekunder antara usia 5 dan 8 tahun, tetapi dapat terjadi kapan saja. Setelah usia 5 tahun,
tingkat remisi spontan adalah 5%-10% per tahun. Enuresis diurnal jarang terjadi setelah
usia 9 tahun. Sementara inkontinensia diurnal sesekali adalah tidak jarang di masa kanak-
kanak pertengahan, itu jauh lebih umum pada mereka yang juga mengalami enuresis
nokturnal persisten. Ketika enuresis berlanjut hingga akhir masa kanak-kanak atau
remaja, frekuensi inkontinensia dapat meningkat, sedangkan kontinensia pada anak usia
dini biasanya dikaitkan dengan penurunan frekuensi malam basah (DSM V).

Mekanisme utama yang bertanggung jawab untuk pengembangan enuresis meliputi : 1.


Peningkatan volume urin (poliuria) mempengaruhi beberapa, tapi tidak semua
anak.Dikaitkan dengan variasi sirkadian (tapi tidak kekurangan) hormon antidiuretik. 2.
Jadwal bangun standar dengan suara hingga 120 desibel, 9% anak-anak dengan enuresis
dapat terbangun- secara signifikan lebih sedikit darikontrol. Ini berarti anak-Restu Cyntia
Permatasari, Roro Rukmi Windi Perdani & Eka Cania Bustomi| Diagnosis dan
Tatalaksana Enuresis Pediatri Majority | Volume 7| Nomor 2|Maret 2018| 285 anak
dengan enuresis tidak terbangun saat kandung kemih mereka penuh. 3. Akhirnya, anak-
anak mengalami defisit inhibisi pusat pontine mikturisi dari batang otak. Bila kandung
kemih penuh saat tidur, mereka tidak mampu menekan pengosongan.

2.4 Diagnosis

Proses diagnosis diperoleh melalui riwayat pasien. Melalui bagan frekuensi-


volume dan kuisioner. Orangtua diminta untuk mengamati, mencatat dan mengukur lebih
dari 48 jam tentang kapan dan berapa jumlah kemih dan minuman anak mereka, serta
gejala terkait seperti inkontinensia. Orangtua bisa diberi gelas ukur plastik sederhana
(bisa digunakan berkalikali lebih banyak). Bagan ini memberikan informasi penting
untuk diagnosis. Dalam inkontinensia mendesak, untuk contoh, frekuensi berkemih lebih
dari 7 dengan volume kecil (20-60ml); Dalam kemih dengan penundaan (voiding
postponement), beberapa anak berkemih hanya 2 atau 3 kali seharidengan volume besar
400ml atau lebih. Selain itu, kebiasaan minum bisa dinilai: kebanyakan anakanak dengan
gangguan eliminasi tidak cukup minum cairan (beberapa hanya 400-600ml), sedangkan
polidipsia sangat jarang terjadi. Kebanyakan orang tua tidak sadar akan hal tersebut
kebiasaan mengosongkan dan minum anak dan tidak akan bisa memberikan informasi
inisaat ditanya. Kuesioner enuresis khusus sangat membantu untuk mengkonfirmasi dan
menambah informasi yang diberikan oleh anak-anak dan orang tua (Permatasari,2018)

Pada pemeriksaan fisik, setiap anak harus diperiksa secara fisik setidaknya sekali
sejak awal pengobatan. Penyebab inkontinensia organik dikesampingkan. Pemeriksaan
pediatrik dan neuorologis penuh dianjurkan. Anak-anak dengan inkontinensia siang hari
mungkin memerlukan beberapa pemeriksaan selama pengobatan, terutama jika ISK dan
komplikasi lainnya terjadi. Bagi kebanyakan anak dengan enuresis, terutama dengan
enuresis mono simptomatik, satu ujian akan mencukupi (Permatasari, 2018).

Klasifikasi diagnosis enuresis menurut diagnostic and Statistical Manual of


Mental Disorders (DSM V) ;

1. BAK yang berulang di atas tempat tidur atau pakaian (baik itu yang involunter
atau yang disengaja).
2. Perilaku ini secara klinis bermakna yang dimanifestasikan oleh frekuensinya
2x/minggu untuk minimal 3 bulan berturut turut atau terdapat distress atau
kendala yang secara klinis bermakna dalam fungsi sosial, akademik (atau
pekerjaan)

3. Usia kronologis minimal 5 tahun (atau sesuai dengan tahap perkembangan).

4. Perilaku ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari zat (seperti
diuretik) atau suatu penyakit (seperti DM, spina bifida, atau gangguan kejang.

Ciri penting enuresis adalah berkemih berulang-ulang pada siang atau malam hari
tempat tidur atau pakaian (Kriteria A). Paling sering, berkemih tidak disengaja, tetapi
kadang-kadang mungkin disengaja. Untuk memenuhi syarat untuk diagnosis enuresis,
pengosongan urin harus terjadi pada: setidaknya dua kali seminggu selama minimal 3
bulan berturut-turut atau harus menyebabkan penderitaan yang signifikan secara klinis
atau gangguan dalam fungsi sosial, akademik (pekerjaan), atau fungsi penting lainnya
(Kriteria B). Individu harus telah mencapai usia di mana kontinensia adalah diharapkan
(yaitu, usia kronologis minimal 5 tahun atau, untuk anak-anak dengan keterlambatan, usia
mental minimal 5 tahun) (Kriteria C). Inkontinensia urin tidak disebabkan oleh efek
fisiologis suatu zat (misalnya, diuretik, obat antipsikotik) atau kondisi medis lain
(misalnya, diabetes, spina bifida, gangguan kejang) (Kriteria D) (DSM V).

2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding enuresis menurut DSM V, yaitu;

a. Gangguan neurogenik Kandung kemih atau kondisi medis lainnya.

Diagnosis enuresis tidak dibuat di hadapan kandung kemih neurogenik atau


kondisi medis lain yang menyebabkan poliuria atau urgensi (misalnya, diabetes
mellitus atau diabetes insipidus yang tidak diobati) atau selama kencing akut
infeksi saluran. Namun, diagnosis sesuai dengan kondisi tersebut jika
inkontinensia urin secara teratur hadir sebelum perkembangan kondisi medis lain
atau jika berlanjut setelah institusi perawatan yang tepat dari kondisi medis.
b. Efek samping obat. Enuresis dapat terjadi selama pengobatan dengan obat
antipsikotik, diuretik, atau obat lain yang dapat menyebabkan inkontinensia.
Dalam hal ini, diagnosis tidak boleh dibuat secara terpisah tetapi dapat dicatat
sebagai efek samping pengobatan. Namun, diagnosis enuresis dapat dibuat jika
inkontinensia urin secara teratur hadir sebelum pengobatan dengan obat.

2.6 Penatalaksanaan

Pengobatan enuresis yang diberikan kepada anak tergantung pada penyebabnya.Bila


penyebabnya organik, seperti infeksi saluran kemih, seyogyanya pengobatan diberikan langsung
terhadap penyebabnya. Sedangkan pengobatan enuresis dengan penyebab non organik (psikis)
meliputi motivasi, nasehat, latihan pengendalian kandung kemih, penggunaan bel pembangun,
obat-obatan dan penanganan stres. Diperlukan langkah promotif ataupun preventif terhadap
enuresis. Dimulai dari perlu ditekankan pada orangtua bahwa enuresis, terutama enuresis
nocturnal bukan kelainan psikogenik, jangan menghukum anak bila mengompol, tingkatkan
motivasi anak agar tidak mengompol, beri pujian atau penghargaan pada setiap keberhasilan
bebas mengompol, hingga bila mengalami kegagalan penanganan jangan sampai putus asa atau
menyerah, coba lagi dengan berbagai metode alternatif

Penanganan enuresis didasarkan pada 4 prinsip berikut di bawah ini. Tata laksana harus
dimulai dengan terapi perilaku. Farmakoterapi merupakan terapi lini kedua dan hanya
diperuntukkan bagi anak yang gagal di tatalaksana dengan terapi perilaku, diantaranya ;

1. Meningkatkan motivasi pada anak untuk memperoleh kesembuhan, antara lain


dengan system ganjaran atau hadiah (reward system). Menghukum
ataumempermalukan anak, baik oleh orangtua atau orang lain, tidak boleh
dilakukan factorfaktor perancu seperti anak dalam keluarga broken home, masalah
social, orangtua yang kurang toleran, serta masalah perilaku anak harus
diidentifikasi sebagai factor yang mungkin mempersulit penyembuhan.
2. Pengaturan perilaku (behavioural treatment). Berupa minum dan berkemih secara
teratur dan berkemih sebelum tidur, lifting dan nightawakening, retention control
training, dry bed training, dan hipnoterapi.
3. Penggunaan enuresis alarm. Metode ini cukup efektif dalam penanganan enuresis
nocturnal, lebih baik dibandingkan dengan dry bed training.
4. Farmakoterapi antara lain dengan desmoperin (DDAVP) dengan dosis 5-40
mikrogram sebagai obat semprot hidung. Impramin meskipun cukup efektif tapi
angka kekambuhan cukup tinggi dan mudah terjadi efek samping dan kelebihan
dosis sehingga pemakaiannya sangat dibatasi yaitu khusus pada kasus attention
deficit hyperactivity disorder (ADHD). Obat lain seperti Oksibutinin (5-10 mg) cukup
efektif, namun harus hati-hati terhadap efek samping seperti mulut terasa kering,
penglihatan kabur, konstipasi, dan tremor. Obat lain yang mirip Oksibutinin yaitu
Tolterodin, namun pemakaiannya pada anak belum diakui secara resmi.

2.7 Prognosis

Anda mungkin juga menyukai