Anda di halaman 1dari 11

MENJADI ORANG YANG BAIK

D. Bismoko Mahamboro, Pr.

PENGANTAR

Dari perspektif iman Kristiani, manusia tidak hanya diakui sebagai ciptaan
yang memiliki akal budi dan kebebasan. Manusia disebut sebagai “citra Allah”
untuk menunjukkan keluhuran martabatnya sebagai ciptaan. Karena manusia
memiliki dikaruniai kebebasan oleh Sang Pencipta, maka ia dapat memilih
pilihan-pilihan yang tersedia. Ini berarti ada dimensi moral dalam setiap
pengalaman hidupnya. Dalam bahasa sehari-hari, manusia yang bermoral artinya
”orang yang baik”. Orang yang baik adalah pribadi yang memiliki karakter atau
keutamaan yang baik. Karakter atau keutamaan tersebut melekat dan mewujud
dalam tindakan manusia. Hubungan antara karakter atau keutamaan dan tindakan
dapat disamakan dengan pohon dan buahnya. “Pohon yang baik akan menghasil-
kan buah yang baik.” (Mat 7:17). “Baik” merupakan kategori dasar dalam tema
moral, karena bermoral berarti “menjadi orang yang baik”. Namun di dalam
kehidupan sehari-hari, kata “baik” sering kali dicampuradukkan dengan istilah
”menyenangkan”, “memberi kemudahan” dan “memberi keuntungan”. Orang
yang baik sering diartikan sebagai orang yang menyenangkan, yang pembawa-
annya ramah dan sopan, dst. Ada nuansa utilitaristik1 dalam pemaknaan istilah
“orang baik”.

Di dalam pandangan teologi Kristiani, kategori “baik” tidak dapat


direduksi ke dalam kategori-kategori yang bernuansa utilitaristik tersebut. Bagai-
mana teologi moral Kristiani memahami “baik” sebagai kualitas tindakan moral?
Apakah kita bisa menyimpulkan bahwa orang yang sering memberi bantuan
kepada orang miskin dapat dipastikan sebagai “orang baik”? Lalu sebaliknya,
apakah orang yang menurut kesan kita tidak ramah, kasar, atau tidak peduli, bisa
dipastikan sebagai “orang yang tidak baik”? Tentu saja penilaian terhadap
moralitas seseorang tidak bisa kita dasarkan hanya pada penampilan luarannya
atau pada faktor-faktor eksternal saja. Penilaian itu memerlukan pengamatan yang
lama dan cermat terhadap “karakter” seseorang. “Karakter“ secara sederhana kita

1 Berasal dari istilah “utilitarianisme”. Utilitarianisme adalah suatu teori dalam etika yang menyatakan
bahwa suatu tindakan yang patut atau baik secara moral adalah tindakan yang memberi kegunaan
maksimal. Biasanya teori ini didefinisikan sebagai berikut: “yang paling memberi kebahagiaan terbanyak,
dan mengurangi penderitaan”.

1
pahami sebagai watak atau identitas moral seseorang, yang menjadikan seseorang
sebagai pribadi yang unik. Connors dan McCormick mengartikan karakter sebagai
“konfigurasi yang amat spesifik dan sangat khusus dari kebiasaan baik maupun
buruk, afeksi, perilaku, dan keyakinan yang membentuk pribadi seseorang.“
(Connors & McCormick 1998: 10).

CAPAIAN PEMBELAJARAN
1. Mahasiswa dapat memahami pengertian “karakter“ dalam teologi moral dan
alasan mengapa karater begitu penting dalam moralitas Kristiani.
2. Mahasiswa menyadari karakter kepribadian dan keutamaan-keutamaan (dan
mungkin juga sifat-sifat buruk) yang ada dalam dirinya.
3. Mahasiswa mengapresiasi keutamaan atau watak buruk yang ada di
lingkungan sosialnya, baik secara terbatas maupun secara luas.

PEMBAHASAN
Kita seringkali mengalami situasi yang menuntut respon kita sebagai insan
yang ber-moral. Ada beberapa opsi sikap yang mesti dipertimbangkan. Cara
terbaik untuk menjawab persoalan moral acapkali adalah dengan mempertanya-
kan: “Apa yang bisa membuat seseorang menjadi orang/pribadi yang baik (what
makes a good person)?“ Kita ambil contoh demikian: Anda sedang bersiap-siap
untuk berangkat ujian pendadaran. Tiba-tiba seorang teman menelpon Anda dan
memberitahukan bahwa ibunya sedang berada pada situasi kritis dan harus segera
dilarikan ke rumah sakit. Anda tahu bahwa Andalah satu-satunya orang yang saat
ini bisa dimintai pertolongan. Kini ia membutuhkan bantuan Anda untuk mengan-
tarnya menjemput ibunya dan membawanya ke rumah sakit (di samping itu, Anda
melihat bahwa teman itu begitu shock dan kalut; harus ada orang di sampingnya
untuk menenangkan dan menguatkannya). Tapi jika Anda pergi bersamanya,
Anda akan absen waktu ujian nanti. Anda tentu sesaat mengkha-watirkan ujian
akhir Anda. Para penguji Anda serta dosen pembimbing pasti sudah siap di ruang
ujian. Namun Anda merasa tidak dapat meninggalkan seorang teman yang sedang
membutuhkan kehadiran Anda dalam kekalutannya. Dalam situasi itu, Anda
merasakan dorongan “untuk menjadi sahabat yang baik“. Dan sebagai “sahabat
yang baik“, Anda mengetahui apa yang harus Anda lakukan. Anda pasti tidak
akan berkata kepadanya: “Coba kamu kontak si Anu. Saya hari ini akan ujian
pendadaran. Saya sibuk dan terburu-buru.”
Bagaimana reaksi-reaksi di dalam diri Anda ketika menghadapi situasi
semacam ini? Ada bermacam-macam perasaan yang muncul (sedih, takut,
bingung). Anda merasa perlu atau harus melakukan sesuatu. Ada sentakan-
sentakan (ing. tugs) dalam diri Anda. Sentakan-sentakan ini mengingatkan Anda
bahwa Anda perlu membuat pilihan moral mengenai apa yang harus dilakukan
atau tidak dilakukan (actions we are to perform or avoid). Namun sebelum
memilih suatu tindakan, Anda terlebih dahulu berpikir mengenai pribadi seperti
2
apa Anda ini (sorts of persons we are to become). “Teman macam apa aku ini?”
demikian Anda bertanya dalam hati. Sikap dan tindakan yang muncul kemudian
berasal dari suara di dalam diri Anda yang mengatakan: “Saya adalah teman yang
peduli…” Ketika suara di dalam diri Anda berkata demikian, Anda lantas
melakukan sesuatu yang mengungkapkan kepedulian Anda pada orang lain.
Pepatah bahasa Latin mengatakan: “Agere sequitur esse.” (Tindakan mengikuti
esensi). Artinya, “apa yang ada di dalam diri kita“ menentukan sikap atau
tindakan luaran kita.
Situasi hidup seperti contoh di atas itu menawarkan banyak pilihan kepada
Anda. Anda mempunyai kehendak bebas. Pilihan-pilihan hidup ini menunjukkan
dimensi moral dalam kenyataan hidup kita sebagai manusia. Hanyalah manusia
satu-satunya ciptaan di dunia ini yang mempunyai kebebasan untuk memilih.
Oleh karena itu, perkara membuat pilihan yang “tepat“ adalah ciri atau tanda
bahwa manusia menjadi “manusia sepenuhya“ (being fully human person). Moral-
itas berkaitan dengan segala upaya kita untuk menjadi manusia sepenuhnya. Ini
adalah sebuah undangan; kita tidak pernah dipaksa. Kita tidak mulai membica-
rakan moralitas dengan pertanyaan: “Apa yang harus aku lakukan?“ (ini disebut
pendekatan deontologi2) atau “Capaian Pembelajaran apa yang harus kucapai?”
(sedangkan ini disebut pendekatan teleologisme3), melainkan dengan pertanyaan:
“Mau menjadi pribadi macam apa aku ini?“ Atau dari perspektif kristiani orang
bertanya: “Dipanggil menjadi pribadi macam apa aku?“ Keputusan untuk meng-
antar teman ke rumah sakit seperti contoh di depan –atau mungkin mencarikan
teman lain dan memastikan bahwa teman yang sedang berkesusahan itu menda-
patkan bantuan– adalah perihal memilih, membangun, dan memperkuat karakter.

Memahami “Karakter“
Dalam dimensi moral dari pengalaman kita, kita merasakan suatu panggilan
untuk pribadi “yang baik“. Bayangkan ketika Anda didatangi seorang teman
seperti dalam cerita di atas. Ada dorongan untuk menjadi “teman yang baik“ atau
“sahabat yang baik“. Oleh karena itu, moralitas berkaitan dengan pribadi seperti
apakah kita ini dan mau menjadi pribadi seperti apakah kita ini. Artinya, moral-
itas berkaitan dengan karakter. Dalam pengalaman moral, karakter kitalah yang
mendengarkan desakan harus atau seharusnya. Ketika kita membuat pilihan
moral, mana tindakan yang akan diambil atau dihindari, karakter kitalah yang
sedang berperan. Maka pilihan tindakan yang kita ambil tersebut sebetulnya
mengungkapkan, sekaligus membentuk karakter kita sebagai seorang pribadi.
Tetapi sebetulnya, apakah karakter itu? Secara singkat dapat dideskripsikan
bahwa karakter itu adalah “identitas moral kita yang unik“ (our unique moral

2 Deontologi adalah penalaran moral yang berdasarkan kepatuhan subyek moral terhadap aturan atau
kewajiban (yun. deon).
3Teleologi ialah penaralan moral yang didasarkan pada penilaian terhadap tujuan akhir (yun. telos) yang
akan dicapai.

3
identity) –manusia macam apakah kita ini di dalam inti terdalam diri kita ini,
orang baik atau jahat (Connors & McCormick 1998:18). Karakter adalah konfigu-
rasi atau susunan yang amat khusus dan khas dari kebiasaan (habits) yang baik
atau buruk, rasa perasaan dan emosi (affections), perilaku (attitudes) dan keya-
kinan-keyakinan (beliefs), yang membentuk seorang pribadi. Ini adalah pribadi
kita pada inti terdalam diri kita. Karakter ini tidak mati dan tidak berubah
layaknya ukiran yang terdapat di sebuah batu, melainkan karakter itu tumbuh dan
berubah seiring dengan pilihan-pilihan yang kita ambil. Pilihan-pilihan tersebut
dapat memperdalam dan meneguhkan kebiasaan dan kecenderungan yang sudah
ada (entah yang baik maupun yang buruk), atau dapat membentuk dan mencip-
takan kebiasaan dan kecenderungan yang sudah ada (juga, entah yang baik
maupun yang buruk). Maka, karakter adalah kepribadian kita yang amat spesifik,
sebagai hasil dari pilihan-pilihan yang kita buat di dalam konteks suatu hidup
bersama, di mana kita menjadi bagiannya.
Namun bagaimanapun juga, karakter setiap orang tetaplah misteri. Kita
tidak bisa menyingkap seluruhnya; hanya sebagian saja dan tidak secara langsung.
Namun kita bisa mengetahui karakter kita sendiri atau orang lain dengan cara
melihat tindakan, kebiasaan, afeksi, perilaku dan keyakinan-keyakinannya;
dengan cara melihat bagaimana kita atau orang lain merespon situasi atau dunia di
sekelilingnya. Untuk melihat karakter, kita tidak melihat satu tindakan spesifik
saja, melainkan pola-pola dari kebiasaan dan tindakannya, yang menunjukkan
mana saja keutamaan-keutamaannya. Ketika saya melihat orang yang diam saja
ketika ada pengemis, saya tidak bisa begitu saja membuat penilaian: “Dia orang
yang tidak peduli.“ Maka, mengenali karakter itu butuh pengamatan dan kerja
keras. Dan, kalau kita sudah bisa mengenali karakter tertentu, kita harus menya-
dari bahwa itu bersifat sementara karena kita semua masih dalam proses. Tak
seorang pun sudah selesai dengan pembentukan karakternya.
Kita menyadari bahwa karakter yang baik itu penting bagi moralitas
misalnya ketika kita hendak memilih calon pemimpin, entah itu presiden, guber-
nur, atau mungkin ketua BEM (badan eksekutif mahasiswa). Kita pasti akan
memilih calon yang mempunyai kualitas kepribadian yang baik, misalnya: jujur,
bertanggungjawab, bijaksana, dst. Kita tidak hanya memilih orang yang pandai
atau berpenampilan rapi, berwajah tampan atau cantik, dan cara bicaranya
meyakinkan. Kita pasti pernah mendengar ungkapan: “Pilihlah pemimpin yang
mempunyai integritas.“ Dengan kata “integritas“ kita memahami bahwa setiap
orang dari kita memiliki sikap, pendirian, perilaku, kebiasaan, pandangan hidup,
pemikiran, impian, dan kita paham bahwa kita memiliki tugas untuk “menyatu-
kan“ semuanya itu sehingga sikap dan tindakan kita konsisten dalam aneka
situasi. Tokoh politisi yang berteriak lantang melawan korupsi pada zaman refor-
masi, namun sekarang justru terjerat kasus korupsi, tentu bukan pribadi yang
masuk kategori integral. Pemimpin yang memiliki karakter moral yang baik akan
dapat membangun hidup bersama yang adil. Suatu masyarakat yang adil dan
sejahtera tidak dapat diwujudkan hanya dengan aturan atau hukum semata.
Diperlukan pula integritas moral para warga dan terlebih para pemimpinnya.
4
Itulah sebabnya, moralitas itu bukan semata-mata perkara tidak melakukan
pelanggaran dan mengikuti aturan, namun lebih-lebih soal pembentukan karakter
moral. Karakter yang baik dibutuhkan untuk bertindak yang benar dan memba-
ngun hidup bersama yang adil.
Lantas, karakter moral yang baik itu seperti apa? Salah satu cara untuk
mendeskripsikan karakter moral yang baik adalah dengan menyebutkan keuta-
maan-keutamaan. Pribadi yang memiliki karakter moral yang baik adalah pribadi
yang berkeutamaan (virtuous person). Bagaimana kita mesti memahami keu-
tamaan?

Keutamaan
Refleksi mengenai keutamaan (virtues) ini sudah ada sejak zaman filsafat
Yunani, terutama pada etika Aristoteles. Bagi Aristoteles (384-322 SM),
keutamaan itu adalah sebentuk keunggulan (excellence) yang terkait dengan apa
yang harus dilakukan untuk menjadi orang baik secara umum. Ini dapat dipahami
dengan analogi demikian: keunggulan seorang pemain piano adalah memainkan
piano dengan indah, mengalir, penuh penjiwaan, atau bahkan bisa menciptakan
komposisi lagu sendiri. Ia tidak sekedar bisa memainkan not-not yang ia baca,
melainkan ia bisa menghadirkan jiwa dari suatu lagu sehingga orang yang
mendengar dapat berkata: “Lagu ini sungguh indah. Ia betul-betul pianis yang luar
biasa...“ Keunggulan semacam itu tentu saja tidak dapat dikuasai orang dalam
beberapa hari saja; dengan bermain piano belum tentu seseorang akan menjadi
pianis. Keunggulan seperti itu diperoleh dengan latihan keras dan kebiasaan
(habit). Demikian pula dengan keutamaan. Ia diperoleh orang dengan pembiasaan
atau latihan, pengulangan berkali-kali, hingga akhirnya orang bisa melakukannya
kapanpun situasi membutuhkan, tanpa pikir panjang, seakan-akan sudah menjadi
insting.
Connors dan McCormick mendeskripsikan keutamaan sebagai kebiasaan-
kebiasaan moral yang baik, afeksi-afeksi, sikap-perilaku, dan keyakinan-
keyakinan yang mengarahkan manusia kepada kesempurnaan, baik di tingkat
personal maupun sosial (Connors & McCormick 1998:25). Lawan dari keutamaan
adalah kefasikan atau watak buruk (vices). Kefasikan ialah kebiasaan-kebiasaan
moral yang buruk, afeksi-afeksi, sikap-perilaku, dan keyakinan-keyakinan yang
menghambat manusia mencapai kesempurnaan, baik di tingkat personal maupun
sosial. Maka keutamaan bukan sekedar kebiasaan/tindakan moral yang baik.
Orang yang dermawan bukanlah orang yang suka membagi-bagikan sesuatu
kepada orang-orang miskin. Misalnya, ada dua orang politisi. Keduanya suka
membagi-bagikan bantuan. Namun, ada perbedaan tipis di sini: jika politisi A
suka membantu karena dia meyakini bahwa solidaritas kepada sesama yang
berkekurangan adalah kunci penting untuk mencapai kesejahteraan bersama,
sementara politisi B suka membagi-bagi barang atau uang karena ia ingin
menjaring banyak pendukung dan pengaruh untuk pemilihan periode mendatang;
ia suka melakukan “money politics“. Selain kebiasaan moral yang baik, keuta-
5
maan juga mencakup sikap-perilaku, keyakinan, afeksi, dan komitmen terus-
menerus, dst.
Kita bisa membuat daftar panjang keutamaan-keutamaan. Jika kita cermati,
beberapa keutamaan saling terkait. Satu keutamaan bisa melahirkan keutamaan-
keutamaan lainnya. Oleh karena itu, pada alam pikir Yunani-Romawi sudah ada
gagasan mengenai empat keutamaan penting atau “cardinal virtue”.4 Kata
“cardinal” berasal dari kata “cardo” (yun.) yang berarti engsel. Selanjutnya keuta-
maan kardinal dipahami sebagai keutamaan-keutamaan yang pokok, tempat
keutamaan-keutamaan lain dapat bertumpu. Keempat “cardinal virtues“ tadi
adalah pengendalian diri atau keugaharian (temperence), kebijaksanaan atau
kearifan (prudence), keberanian (courage), dan keadilan (justice).
Pengendalian diri atau keugaharian adalah keutamaan yang mengontrol
keinginan dan nafsu kita sehingga kita bisa menikmati makan, minum, rekreasi,
musik, tidur, atau relasi seksual atau berbagai kesenangan yang lain secara secu-
kupnya saja, yaitu tidak berlebihan, secara sehat, namun juga tidak terlalu sedikit
(Chang 2015:21-22). Intinya, pengendalian diri mengatur kesenangan “dalam
jumlah yang cukup“. Keberanian terkait dengan kemampuan menggunakan kecen-
derungan manusia untuk mempertahankan diri, mengambil resiko untuk mencapai
tujuan, melindungi mereka yang dekat dengan kita. Orang yang pemberani berani
maju melawan yang keliru, bertahan ketika ada perlawanan atau resistensi, dan
tetap berjuang kendati ada ketakutan dan kesalahan. Ia tidak mudah menyerah,
namun juga tidak mudah terprovokasi; ia bisa mengendalikan emosi di tengah
situasi sulit.
Keadilan dan kebijaksanaan berhubungan dekat. Jika kedua keutamaan itu
mengendalikan aneka macam keinginan dan hasrat (desire) dan emosi, maka
keadilan dan kebijaksanaan ini lebih terkait dengan pikiran atau intelek. Keduanya
dikembangkan untuk membuat penilaian yang benar. Keadilan memampukan
orang memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya dan bagaimana
bisa mendistribusikan beban dan keuntungan di antara semua anggota dalam suatu
komunitas atau masyarakat. Keutamaan keadilan menyeimbangkan kerja dan
hiburan (leisure), pengendalian diri dan keberanian, kerja keras (effort) dan
kegembiraan (enjoyment). Mengembangkan keutamaan keadilan berarti menjadi
pemberani jika keberanian dibutuhkan, dan menjadi ugahari ketika pengendalian
diri dibutuhkan. Kebijaksanaan atau kearifan terkait dengan bagaimana keuta-
maan-keutamaan itu dipraktekkan. Seorang pemberani mungkin saja berani
menempuh resiko dan mau berjuang untuk mencapai suatu tujuan yang baik,
namun ia banyak membuang tenaga. Orang yang hanya punya keberanian bisa
jadi sembrono, asal nekat. Keberanian butuh kebijaksanaan untuk mengantisipasi
kesalahan.

4 Namun istilah itu baru ditemukan pada abad ke-4 M di dalam tulisan St. Ambrosius: “Hic quattuor velut
virtutes amplexus est cardinales.” ketika ia mencoba memadatkan delapan Sabda Bahagia pada Injil Lukas
(Luk 6:20-26) menjadi empat.

6
Namun keutamaan tidak hanya empat hal itu saja. Kita bisa membuat daftar
lebih panjang dan memasukkan misalnya kerendahan hati (humility), murah hati
(generosity), kesabaran (patience), bela rasa (compassion). Di beberapa teks Kitab
Suci, kita menemukan sekumpulan daftar keutamaan ini (mis. Hos 2:19-20; Mi
6:8; Gal 5:16-26; 22-23; Rm 12:9-21; Ef 4:25-32; 5:1-10; Kol 3:1-17). Namun
demikian, keempat keutamaan engsel tadi cukup penting mengingat pada banyak
budaya sudah dijumpai keempat keutamaan itu sebagai gagasan mengenai “hidup
yang baik“. Cardinal virtues ternyata lintas batas, tidak hanya di kebudayaan
Yunani saja. Selain itu, makna penting keutamaan engsel tersebut terletak pada
fakta bahwa keempat-empatnya ini menyediakan pemahaman yang komprehensif
mengenai penggunaan kemampuan dan hasrat manusia secara baik. Seorang
pribadi yang adil, bijaksana, berani, dan ugahari adalah pribadi yang berhasil
mendisiplinkan baik tubuh maupun pikirannya. Empat keutamaan engsel ini bisa
muncul di berbagai konteks budaya dengan urutan yang berbeda-beda. Namun
gagasan dasarnya kurang lebih sama: keempat keutamaan ini membentuk “sepe-
rangkat“ keutamaan yang mencakup semua aspek hidup manusia. Keutamaan-
keutamaan ini menandai seseorang yang dikatakan sebagai “orang yang
berkarakter moral baik“.
St. Agustinus dari Hippo (354-430) juga merefleksikan keutamaan yang
memang telah menjadi tema pembicaraan filosofis. Pada refleksi Agustinus,
terdapat penekanan pada empat keutamaan pokok yang sebelumnya memang
menjadi keutamaan yang penting bagi para filsuf Yunani dan Romawi. Agustinus
memaknai keempat keutamaan kunci ini secara kristiani, yaitu dengan meletakkan
keutamaan-keutamaan tersebut dalam konteks mengejar kebahagiaan sejati. Dan
bagi Agustinus, kebahagiaan sejati itu adalah mencintai Allah yang nantinya
berpuncak pada hidup abadi bersama Allah.
Bagi Agustinus, keempat keutamaan itu muncul karena kasih Allah. Semua
keutamaan merupakan bentuk-bentuk dari kasih kepada Allah. Keunggulan
manusia yang tidak terarah kepada relasi dengan Allah bukanlah sungguh-
sungguh keutamaan. Di dalam wujud aslinya, semua keutamaan mengarahkan
hasrat dan kemampuan manusia menuju relasi dengan Allah. Di samping itu
semua, keutamaan-keutamaan didapatkan berkat pemberian dari Allah. Berikut
rumusan keutamaan-keutamaan engsel menurut Agustinus:

Pengendalian diri ialah kasih yang menjaga/melindung dirinya seluruhnya dan sepenuhnya untuk
Allah. Keberanian adalah kasih yang siap sedia menanggung segala-galanya bagi Allah. Keadilan
ialah kasih yang melayani hanya untuk Allah dan oleh karena itu secara benar mengatur segala
sesuatu yang tunduk pada manusia. Dan kebijaksanaan adalah kasih yang membedakan secara
tepat manakah hal-hal yang dapat menolong [manusia] menuju kepada Allah dan mana yang dapat
menghalangi (Lovin 2011:104).

St. Thomas Aquinas (1225-1274) setuju dengan pendapat Agustinus bahwa


tujuan hidup manusia tertinggi adalah relasi yang kekal dengan Allah. Thomas
menyadari bahwa tujuan itu pastilah tujuan yang “supranatural“, bukan sekedar
natural/alamiah/kodrati saja. Istilah “supranatural“ dalam pemikiran Thomas tidak

7
menunjuk pada hal-hal yang aneh atau gaib. Supranatural berarti yang melampaui
sesuatu yang kodrati; mau menunjuk suatu tujuan yang melampaui tujuan
kodrati/alami. Capaian Pembelajaran kodrati ialah tujuan yang dimiliki oleh
semua orang, yaitu kebahagiaan. Semua orang, apapun latar belakang kepercaya-
annya –bahkan juga orang yang tak beragama sekalipun– pasti menginginkan
kesehatan, kemakmuran, dan kesuksesan. Relasi yang kekal dengan Allah disebut
sebagai tujuan supranatural, karena tujuan (untuk bersatu dengan Allah, tujuan
adikodrati) itu tidak tumbuh atau dibangun untuk tujuan biasa saja (kodrati).
Istilah “supranatural“ juga menunjuk pada cara-cara pencapaiannya. Jika
kebahagiaan sebagai tujuan natural atau kodrati dari manusia memerlukan keuta-
maan manusiawi atau kodrati (keempat keutamaan), maka relasi yang kekal
dengan Allah tidak hanya memerlukan keutamaan kodrati, tetapi juga
adikodrati/supranatural. Keutamaan macam ini disebut Thomas sebagai “theolo-
gical virtues“ (keutamaan teologal), yakni iman, harapan, dan kasih. Orang yang
tidak beriman atau ateis bisa memiliki keutamaan natural/kodrati (keutamaan-
keutamaan yang diturunkan dari keempat keutamaan engsel tadi). Namun mereka
tidak memiliki keutamaan supranatural.
Untuk merumuskan keutamaan-keutamaan kodrati, Thomas menggunakan
kerangka pemikiran Aristoteles. Selanjutnya ia berpegang pada Perjanjian Baru
untuk merumuskan keutamaan-keutamaan teologal, yakni 1Kor 13:13. “Demiki-
anlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling
besar di antaranya ialah kasih.“ Kita telah melihat bahwa keutamaan kodrati
mengarahkan kita kepada kebahagiaan; membantu kita untuk mewujudkan
kecenderungan kita yang alami, yakni mengejar kebahagiaan. Demikian pula,
keutamaan adikodrati mengarahkan kita kepada kebahagiaan bersama Allah. Iman
(lat. fides) menyediakan/memberikan pengetahuan yang benar mengenai Allah;
pengetahuan yang tidak tersedia melalui kemampuan-kemampuan alami manusia
(secara alami manusia mempunyai rasio untuk memahami hal-hal di dunia dan di
sekitarnya). Iman bukanlah sekedar pengetahuan bahwa Allah itu ada. Keberadaan
Allah bagi Thomas bisa dipahami dengan rasio. Namun iman melampaui penge-
tahuan semacam itu. Iman sebagai pengetahuan itu memampukan kita memahami
bahwa kita berada dalam relasi dengan Allah itu sendiri. Pengetahuan bahwa kita
berada dalam relasi dengan Allah (kita menyebut Allah sebagai “Bapa“ dan kita
ini adalah “anak-anaknya“) ini melengkapi pencarian manusia akan kebahagiaan.
Dan kebahagiaan ini tidak sama dengan kebahagiaan ketika kita berhasil
melakukan sesuatu, lulus ujian, dst.
Jika iman mengubah (mentransformasi) intelek, ini pada gilirannya
mengarahkan kehendak. Ketika kita tahu seperti apakah relasi dengan Allah itu,
maka kita berharap dapat memilikinya. Seperti halnya keutamaan pengendalian
diri dan keberanian menuntun tindakan-tindakan kita sehingga kita mencapai
tujuan kodrati kita, pengharapan (lat. spes) menuntun kita untuk melakukan hal-
hal yang membuat kita siap untuk mengalami kebahagiaan dengan Allah.
Selanjutnya, pengharapan menyulut cinta/kasih (lat. caritas). Ketika kita memikir-
8
kan/mengharapkan tujuan kodrati kita (yaitu kebahagiaan, atau sesuatu yang kita
anggap mendatangkan kebahagiaan), maka kita tentu juga mencintai sesuatu yang
kita harapkan itu.
Kita melihat bahwa keutamaan-keutamaan tidak hanya membuat seseorang
menjadi pribadi yang baik, melainkan juga dapat membantu melakukan tindakan-
tindakan yang tepat. Jika banyak orang di dalam masyarakat dapat bertindak
secara tepat dan benar, maka pada gilirannya terciptalah “suatu masyarakat yang
baik“, yakni masyarakat yang adil. Secara khusus, para pemikir Kristiani seperti
St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas menawarkan refleksi, bahwa segala
kebaikan itu harus terarah kepada Allah, karena manusia diciptakan sebagai citra
Allah sendiri.

RANGKUMAN
Orang yang baik adalah orang yang memiliki karakter moral yang baik.
Kita menjadi orang yang memiliki karakter moral yang baik dengan cara menang-
gapi panggilan untuk menghormati diri kita sendiri dan sesama sebagai “gambar
dan citra Allah”. Dengan mengasihi sesama manusia dalam setiap tindakan,
hidup, dan kebiasaan kita, kita mengasihi Allah. Dengan mencintai Allah yang
terwujud dengan mengasihi sesama manusia, kita mengembangkan keutamaan-
keutamaan. Keutamaan atau serangkaian kebiasaan, perasaan, dan keyakinan yang
baik ini membentuk karakter moral yang baik. Keutamaan adalah suatu kecende-
rungan yang tetap dan teguh untuk bertindak dan berpikir secara baik.

Tidak ada yang memaksa kita untuk menjadi “orang baik” atau pribadi
yang bermoral. Ini adalah suatu undangan, tawaran, atau panggilan. Tanggapan
terhadap tawaran untuk mengasihi Allah dan sesama ini –yang terwujud dalam
pengembangan keutamaan-keutamaan– akhirnya memampukan kita menjadi
pribadi yang semakin manusiawi.

TUGAS
1. Apa yang disebut sebagai karakter moral yang baik?
2. Mengapa orang yang disebut sebagai “orang yang baik” adalah individu yang
mengembangkan keutamaan?
3. Dari perspektif iman Kristiani, seperti apakah “orang yang baik“ itu?
4. Jelaskan bahwa “menjadi orang yang baik“ adalah suatu panggilan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Connors, R. B., & McCormick, P. T. Character, Choices & Community. The
Three Faces of Christian Ethics. New York/Mahwah: Paulist Press, 1998.
2. Chang, W. Moral Spesial. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

9
3. Lovin, R. W. An Introduction to Christian Ethics. Goals, Duties, and Virtues.
Nashville: Abingdon Press, 2011.

10
11

Anda mungkin juga menyukai