Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH SUPPOSITORIA

Disusun oleh :

RISKI SETIAWAN (22010316140001)

PRAVYANTI SUCI S. (22010316140008)

DHEYA UTAMI WAHYUNI (22010316140018)

CHARITY ALPHA PUTRANTO (22010316140019)

YUMNIA RACHMAWATI (22010316140033)

CELINE SIRAIT J. (22010316140034)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2018
I. PENGERITAN SUPPOSITORIA
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang diberikan
melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak, atau melarut dalam suhu tubuh.
Suppositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat atau sebagai pembawa zat
terapeutik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar suppositoria yang umum digunakan
adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak nabati terhidrogenasi, campuran polietilen
glikol, dan esterasam lemak polietilen glikol. (Depkes RI, 1995)
Bahan dasar suppositoria mempengaruhi pada pelepasan zat terapeutiknya. Lemak coklat
capat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan cairan tubuh, sehingga
menghambat difusi obat yang larut dalam lemak pada tempat yang diobati. Polietilen glikol
adalah bahan dasar yang sesuai dengan beberapa antiseptik, namun bahan dasar ini sangat lambat
larut sehingga menghambat pelepasan zat yang dikandungnya. Bahan pembawa berminyak,
seperti lemak coklat, jarang digunakan dalam sediaan vagina, karena membentuk residu yang
tidak dapat diserap. Sedangkan gelatin jarang digunakan dalam penggunaan melalui rektal
karena disolusinya lambat. (Depkes RI, 1995).
Bobot suppositoria bila tidak dinyatakan lain adalah 3 gr untuk dewasa dan 2 gr untuk
anak. Penyimpanan suppositoria sebaiknya di tempat yang sejuk dalam wadah tertutup rapat.
Bentuknya yang seperti torpedo memberikan keuntungan untuk memudahkan proses masuknya
obat dalam anus. Bila bagian yang besar telah masuk dalam anus, maka suppositoria akan
tertarik masuk dengan sendirinya. (Moh. Anief, 2007)

II. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN SUPPOSITORIA


2.1 Keuntungan Supositoria (Moh. Anief, 2007) :
a) Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
b) Dapat menghindari keruskan obat oleh enzim pencernaan dan asam lambung.
c) Obat dapat masuk langsung kedalam saluran darah sehingga obat dapat berefek lebih
cepat daripada penggunaan obat peroral.
d) Baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
2.2 Kerugian Supositoria (Moh. Anief, 2007) :
a) Pemakaiannya tidak menyenangkan.
b) Tidak dapat disimpan pada suhu ruang.
III. FORMULASI SUPPOSITORIA
3.1. Basis suppositoria
Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan melebur,
melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan peranan penting.
Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi syarat utama, yaitu basis harus selalu
padat dalam suhu ruangan dan akan melebur maupun melunak dengan mudah pada
suhu tubuh sehingga zat aktif atau obat yang dikandungnya dapat melarut dan
didispersikan merata kemudian menghasilkan efek terapi lokal maupun sistemik.
Basis supositoria yang ideal juga harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut:
1. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.
2. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
3. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau serta
pemisahan obat.
4. Kadar air mencukupi.
5. Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan
penyabunan harus diketahui jelas.
3.1.1 Persayaratan basis Suppositoria
1. Secara fisiologi netral ( tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini dapat
disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataun tengik, terlallu keras, juga
oleh kasarnya bahan obat yang diracik)
2. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat)
3. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil)
4. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat
berlangsung cepat dalam cetakan,kontraksibilitas baik, mencegah pendinginan
mendaak dalam cetakan)
5. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih (ini
dikarenakan  untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan, khususnya
pada suhu tinggi sehingga tetap stabil).
3.1.2 Macam-macam basis Suppositoria.
1. Basis berlemak, contohnya : oleum cacao.
2. Basis lain, pembentuk emulsi dalam minyak :campuran tween dengan gliserin
laurat.
3. Basis yang bercampur atau larut dalam air, contohnya : gliserin-gelatin, PEG
(polietien glikol).
3.1.3 Bahan dasar supositoria
1.      Bahan dasar berlemak : oleum cacao
Lemak coklat merupakan trigliserida berwarna kekuninagan, memiliki
bau yang khas dan bersifat polimorf (mepunyai banyak bentuk krital). Jika
dipanaskan pada suhu sektiras 30°C akan mulai mencair dan biasanya meleleh
sekitar 34°-35°C, sedangkan dibawah 30°C berupa massa semipadat. Jika suhu
pemanasannya tinggi, lemak coklat akan mencai sempurna seperti minyak dan
akan kehilangan semua inti Kristal metastabil.
Keuntungan oleum cacao :
a. Dapat melebur pada suhu tubuh
b. Dapat memadat pada suhu kamar
 Kerugian oleum cacao :
a. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (cairan pengeluaran).
b. Titik leburnya tidak menentu, kadang naik dan kadang turun apabila
ditambahkan dengan bahan tertentu.
c. Meleleh pada udara yang panas.

2.      Bahan dasar larut air


Basis yang penting dari kelompok ini adalah basis gelatin tergliserinasi
dan basis polietilen glikol. Basis gelatin tergliserinasi terlalu lunak untuk
dimasukkan dalam rektal sehingga hanya digunakan melalui vagina (umum)
dan uretra. Basis ini melarut dan bercampur dengan cairan tubuh lebih lambat
dibandingkan dengan oleum cacao sehingga cocok untuk sediaan lepas lambat.
Basis ini menyerap air karena gliserin yang higroskopis. Oleh karena itu, saat
akan dipakai, suppo harus dibasahi terlebih dahulu dengan air.
3. Bahan dasar PEG
PEG merupakan etilenglikol terpolimerisasi dengan bobot molekul antara
300-6000. Dipasaran terdapat PEG 400 (carbowax 400). PEG 1000 (carbowax
1000), PEG 1500 (carbowax 1500), PEG 4000 (carbowax 4000), dan PEG 6000
(carbowax 6000). PEG di bawah 1000 berbentuk cair, sedangkan di atas 1000
berbentuk padat lunak seperti malam. Formula PEG yang dipakai sebagai berikut:
1. Bahan dasar tidak berair : PEG 4000 4% (25%) dan PEG 1000 96% (75%)
2. Bahan dasar berair : PEG 1540 30%, PEG 6000 50% dan aqua+obat 20%
Titik lebur PEG antara 35°-63°C, tidak meleleh pada suhu tubuh tetapi larut
dalam cairan sekresi tubuh.
Keuntungan menggunakan PEG sebagai basis supositoria, antara lain:
1. Tidak mengiritasi atau merangsang
2. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibandingkan dengan oleum
cacao
3. Tetap kontak dengan lapisan mukosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh
Kerugian jika digunakan sebagai basis supositoria, antara lain :
1. Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga timbul rasa
yang menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan supositoria ke
dalam air dahulu sebelum digunakan.
2. Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga mengahambat pelepasan obat.
Pembuatan supositoria dengan PEG dilakukan dengan melelehkan bahan
dasar, lalu dituangkan ke dalam cetakan seperti pembuatan supositoria dengan
bahan dasar lemak coklat

4. Bahan dasar surfaktan


Beberapa surfaktan nonionik dengan sifat kimia mendekati polietilen glikol
dapat digunakan sebagai bahan pembawa suppositoria. Contoh surfaktan ini adalah
ester asam lemak polioksietilen sorbitan dan polioksietilen stearat. Surfaktan ini
dapat digunakan dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan pembawa suppositoria
lain untuk memperoleh rentang suhu lebur yang lebar dan konsistensi. Salah satu
keuntungan utama pembawa ini adalah dapat terdispersi dalam air. Tetapi harus hati-
hati dalam penggunaan surfaktan, karena dapat meningkatkan kecepatan absorpsi
obat atau dapat berinteraksi dengan molekul obat yang menyebabkan penurunan
aktivitas terapetik.

3.2 Formula dan Contoh


3.2.1. Suppositorium Aminofilina
Komposisi : Tiap suppositorium mengandung
Aminophyllium 250 mg
Suppositorium dasar yang cocok Secukupnya
Dosis 1 sampai 2 kali sehari, 2 suppositorium
Catatan sediaan berkekuatan lain 125 mg; 500 mg

3.2.2. Suppositorium Bibaza


Komposisi : Tiap suppositorium mengandung
Bismuth Subgallas 75 mg
Balsamum peruvianum 125 mg
Acidum boricum 360 mg
Zincoxydum 360 mg
Ultramarinum 3,4 mg
Cera flava 100 mg
Oleum cacao hingga 2,6 g
Dosis 3 kali sehari, 1 suppositorium

3.2.3. Suppositorium Bisakodil


Komposisi : Tiap suppositorium mengandung
Bisacodylum 10 mg
Suppositorium dasar yang cocok Secukupnya
Dosis 5 mg sampai 10 mg
Catatan sediaan berkekuatan lain 5 mg
IV. METODE PEMBUATAN SUPPOSITORIA
4.1. Pembuatan dengan cara mencetak
Pada dasarnya langkah-langkah dalam metode pencetakan termasuk:
melebur basis, mencampurkan bahan obat yang diinginkan, menuang hasil
leburan ke dalam cetakan, membiarkan leburan menjadi dingin dan mengental
menjadi suppositoria, dan melepaskan suppositoria. Basis oleum cacao, gelatin
gliserin, polietilenglikol, dan banyak basis suppositoria lainnya yang cocok dibuat
dengan cara mencetak (Ansel, 1989). Cara mencetak juga dikenal dengan cara
penuangan (Voight, 1995).
4.2. Pembuatan dengan cara kompresi
Suppositoria dibuat dengan menekan massa yang terdiri dari campuran
basis dengan bahan obatnya dalam cetakan khusus memakai alat/ mesin pembuat
suppositoria. Pembuatan dengan cara kompresi dalam cetakan, basis suppositoria
dan bahan lainnya dalam formula dicampur/ diaduk dengan baik, pergeseran pada
proses tersebut menjadikan suppositoria lembek seperti kentalnya pasta. Proses
kompresi khususnya cocok untuk pembuatan suppositoria yang mengandung
bahan obat yang tidak tahan pemanasan dan untuk suppositoria yang mengandung
sebagian besar bahan yang tidak dapat larut dalam basis. Berbeda dengan metode
mencetak pada pengolahan suppositoria dengan cara kompresi tidak
memungkinkan bahan yang tidak dapat larut mengendap (Ansel, 1989). Cara
kompresi disebut juga dengan cara pencetakan (Voight, 1995).
4.3. Pembuatan secara menggulung dan membentuk dengan tangan
Metode ini dilakukan dengan cara menggulung basis suppositoria yang telah
dicampur homogen dan mengandung zat aktif, menjadi bentuk yang dikehendaki.
Mula-mula basis diiris, kemudian diaduk dengan bahn-bahan aktif dengan
menggunakan mortir dan stamper, sampai diperoleh massa akhir yang homogen
dan mudah dibentuk. Kemudian massa digulung menjadi suatu batang silinder
dengan garis tengah dan panjang yang dikehendaki. Amilum atau talk dapat
mencegah pelekatan pada tangan. Batang silinder dipotong dan salah satu
ujungnya diruncingkan. Adanya cetakan suppositoria dalam macam-macam
ukuran dan bentuk, pengolahan suppositoria dengan tangan oleh ahli farmasi
sekarang hampir tidak pernah dilakukan (Ansel, 1989).
V. EVALUASI SUPPOSITORIA
Setelah suppositoria dibuat, dilakukan evaluasi untuk memeriksa ketetapan kualitas dari
suppositoria tersebut, pemeriksaan tersebut antara lain:
4.1 Penetapan Kadar Zat Aktifnya dan Disesuaikan dengan yang Tertera pada Etiketnya.
Peralatan yang digunakan untuk uji penetapan kadar ialah peralatan volumetrik seperti:
buret, gelas ukur, pipet, termometer, serta timbangan yang sesuai yang telah dikalibrasi.
Penetapan kadar zat aktif dapat dilakukan dengan metode titrimetri dengan terlebih dahulu
melelehkan suppositoria. Untuk hasil kadar yang diperoleh harus sama dengan yang tertera pada
etiket. Apabila tidak sama atau pun sama sekali tidak mendekati maka suppositoria tersebut
harus diulang.

4.2 Uji Terhadap Titik Leburnya


Dalam farmakope, titik lebur, jarak lebur, dan suhu lebur zat didefinisikan sebagai rentang
suhu atau suhu pada saat zat padat menyatu dan melebur sempurna. Alat penetapan suhu lebur
adalah wadah gelas untuk tangas cairan transparan, alat pengaduk yang sesuai, termometer yang
akurat, dan sumber panas yang terkendali. Cairan dalam tangas memiliki kedalaman yang cukup
sehingga termometer dapat tercelup dengan pencadang raksa tetap berada lebih kurang 2 cm di
atas dasar tangas. Panas didapat dari api bebas atau listrik. Pipa kapiler berukuran panjang lebih
kurang 10 cm dan dalam diameter 0,8 mm sampai 1,2 mm dengan ketebalan dinding 0,2 mm
sampai 0,3 mm.
Metode pengerjaan ialah dengan pertama-tama menggerus suppositoria sampai halus.
Mengisi pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup dengan suppositoria tadi
secukupnya hingga membentuk kolom didasar tabung dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm
setelah diisi semampat mungkin. Kemudian memanaskan tangas hingga suhu lebih kurang
10o dibawah suhu yang diperkirakan, dan menaikkan suhu dengan kecepatan 1o sampai 0,5o per
menit. Letakkan termometer sampai suhu-suhu tersebut kemudian diangkat dan menempelkan
tabung kapiler untuk membasahinya dengan cairan dari tangas. Bila suhu mencapai 5 o dibawah
suhu temperatur yang diperkirakan, dilanjutkan pemanasan hingga melebur sempurna. Metode
ini dilakukan berulang dengan pengadukan tetap pada tangas. Suhu pada saat kolom suppositoria
yang diamati terlepas sempurna dari dinding kapiler didefinisikan sebagai permulaan melebur,
dan suhu pada saat suppositoria melebur seluruhnya didefinisikan sebagai akhir peleburan atau
suhu lebur.
Untuk Oleum cacao karena merupakan bahan dasar yang titik leburnya dapat turun atau
naik jika ditambahkan bahan tertentu maka pemeriksaannya lebih diutamakan. Oleum cacao
normal biasanya meleleh pada 31o-34oC. Oleum cacao dapat menunjukkan polimorfisme dari
bentuk kristalnya pada pemanasan tinggi. Di atas titik leburnya, Oleum cacao akan meleleh
sempurna seperti minyak dan akan kehilangan inti kristal stabil yang berguna untuk membentuk
kristalnya kembali. Untuk bahan dasar PEG maka suppositoria harus meleleh pada suhu tubuh
sekitar 37oC, untuk titik lebur PEG pada keadaan normal adalah 35 o-63oC. Untuk bahan dasar
gelatin, tween, polietilen glikol, serta surfaktan juga harus meleleh pada suhu tubuh. Apabila
terjadi penyimpangan titik lebur maka suppositoria harus diulang.

4.3 Uji Kerapuhan Untuk Menghindari Kerapuhan Selama Pengangkutan.


Suppositoria hendaknya jangan terlalu lemah atau lembek maupun terlalu keras yang
menjadikannya sukar meleleh. Untuk uji kerapuhan dapat digunakan uji elastisitas. Suppositoria
dipotong ke arah bagian yang melebar. Kemudian ditandai kedua titik pengukuran melalui
bagian yang melebar, dengan jarak tidak kurang dari 50% dari lebar bahan yang datar. Kemudian
diberikan beban seberat 20N (lebih kurang 2 kg) dengan cara menggerakkan jari atau batang
yang dimasukkan ke dalam tabung. Apabila terlalu keras atau pun terlalu rapuh maka
suppositoria harus diulangi.

4.4 Uji Waktu Hancur


Uji waktu hancur untuk suppositoria dan pesari adalah untuk menetapkan waktu hancur
atau menjadi lunaknya suatu sediaan suppositoria atau pesari dalam waktu yang ditetapkan
apabila dimasukkan dalam suatu cairan media pada suatu kondisi percobaan yang ditetapkan.
Alat yang digunakan ialah: (a) suatu batang yang transparan yang terbuat dari kaca atau
plastik yang sesuai dengan tinggi 60 mm, diameter dalam 52 mm dan tebal dinding yang sesuai;
(b) suatu alat logam yang terdiri atas dua cakram logam tahan karat, masing-masing cakram
memiliki 39 lubang dengan diameter 4 mm dan tersebar sedemikian rupa. Diameter dari cakram
hampir sama dengan diameter dalam dari tabung transparan. Cakram diletakkan terpisah pada
jarak lebih kurang 30 mm dari cakram lainnya. Alat logam tersebut dilekatkan pada bagian luar
tabung transparan dengan tiga alat pengait berjarak sama. Cara kerjanya ialah dengan pertama-
tama meletakkan satu suppositoria pada cakram berlubang bawah dari alat logam dan
memasukkan alat logam itu ke dalam tabung transparan dan mengaitkan pada tabung.
Mengulangi lebih lanjut dengan dua suppositoria dengan alat logam dan tabung transparan.
Menempatkan alat dalam wadah berisi paling sedikit 4 liter air. Tiga alat tersebut semua dapat
ditempatkan bersama-sama dalam satu wadah berisi paling sedikit 12 liter air, bersuhu antara
36o hingga 37o, dilengkapi dengan suatu pengaduk lambat dan alat penopang agar bagian atas
alat berjarak 90 mm di bawah permukaan air. Setelah tiap 10 menit, alat dibalikkan tanpa
mengeluarkannya dari cairan.
Suatu suppositoria dinyatakan hancur sempurna apabila : (a) terlarut sempurna atau, (b)
terdispersi menjadi komponen, bagian lemak cair berkumpul pada permukaan, bagian serbuk
yang tidak larut berada di dasar atau terlarut atau, (c) menjadi lunak, mengalami perubahan
dalam bentuknya tanpa harus terpisah menjadi komponennya dan massa tidak mempunyai inti
yang memberikan rintangan bila diaduk dengan pengaduk kaca. Kecuali dinyatakan lain, waktu
maksimal yang diperlukan untuk menghancurkan suppositoria tidak lebih dari 30 menit untuk
suppositoria dengan dasar lemak dan tidak lebih dari 60 menit untuk suppositoria yang larut
dalam air. Apabila waktu hancur menyimpang dari yang seharusnya maka suppositoria harus
diulang. Waktu hancur untuk PEG 1000 15 menit, sedangkan untuk Oleum cacao dingin 3 menit.

4.5 Uji homogenitas.


Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, suppositoria harus
memiliki homogenitas atau keseragaman bobot dan keseragaman kandungan. Untuk
keseragam bobot, ditimbang dengan seksama 10 tablet, satu per satu, dan dihitung berat
rata-rata, dari hasil penetapan kadar maka dapat dihitung jumlah zat aktif dari masing-
masing dari 10 tablet dengan anggapan zat aktif terdistribusi homogen. Untuk keseragaman
kandungan, terpenuhi jika jumlah zat aktif dalam masing-masing 10 satuan sediaan terletak
antara 85,0% hingga 115,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif
kurang dari atau sama dengan 6,0%.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Anief, Moh. 2007. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ansel, H.C.. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida
Ibrahim, Asmanizar, Iis Aisyah, Edisi keempat, 255-271, 607-608, 700. Jakarta: UI
Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesi Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
King CJ. 1970. Husa’s Pharmaceutical Dispensing 7th ed. Easton Pensylvania: Mark
Publishing Company.
Lachman L, Lieberman AH, Kanig JL. 1970. The Theory and Practice of Industrial
Pharmacy. Philadelphia: Lea and Febiger.
Syamsuni, A. 2006. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Voigt, R.. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Diterjemahkan oleh Soendani N. S..
Yogyakarta: UGM Press.

Anda mungkin juga menyukai