Anda di halaman 1dari 25

POLITIK HUKUM KOLONIAL

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


Politik Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Masykuri Abdillah, M.A


Dr. Khamami Zada, MA., MDC

Oleh:

Azhar Dini Ratna Listanti


21200435000021

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1443 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penerapan hukum Islam di Indonesia berkaitan erat dengan awal
masuknya Islam di Indonesia. Artinya, setelah masuknya Islam ke
Indonesia, hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para
pemeluk agama Islam di Nusantara ini. Eksistensi hukum Islam yang
hidup di kalangan masyarakat diakui oleh pihak kolonial Belanda.
Pemerintah Belanda menyadari bahwa hukum Islam adalah salah satu
pilar kekuatan yang dapat melakukan perlawanan atas kebijakan
politik Belanda. Atas dasar ini, pihak Belanda merubah kebijakannya
dengan menetapkan bahwa hukum Islam berlaku jika telah diadopsi
oleh hukum adat. Perjuangan Pemikir hukum Islam Indonesia untuk
merubah kebijakan tersebut membuahkan hasil bahwa hukum adat
yang tidak sesuai dengan hukum Islam tidak akan diterapkan atau
ditolak oleh umat Islam.1

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana Posisi Hukum Islam dalam Politik Kolonial ?
2. Bagaimana Modernisasi Politik Hukum Islam Masa Kolonial ?
3. Bagaimana Posisi Peradilan Agama dalam Politik Kolonial ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Posisi Hukum Islam dalam Politik Kolonial
2. Mengetahui Modernisasi Politik Hukum Islam Masa Kolonial
3. Mengetahui Posisi Peradilan Agama dalam Politik Kolonial

1
Dahlia Haliah Ma’u Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 15 No. 1 Tahun 2017 Institut
Agama Islam Negeri (IAIN Manado) Eksistensi Hukum Islam Di Indonesia (Analisis
Kontribusi dan Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia)

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Posisi Hukum Islam dalam Politik Kolonial


1. Posisi Hukum Islam dalam Politik Kolonial Belanda
Masa Kolonial Dalam perjalanan sejarah Indonesia, awalnya
VOC (Vereenigde Oost Indische Compaignie) 1602-1799 datang ke
Indonesia adalah untuk berdagang. Kebijakan VOC pada awalnya,
memberlakukan hukum Belanda, namun ditolak oleh pribumi.
Melihat kondisi tidak memungkinkan, maka haluan yang diambil
VOC adalah melaksanakan segala kebijakan yang telah dilakukan
oleh para sultan.2
Sebelum Belanda masuk ke Nusantara, yaitu pada masa
kerajaan- kerajaan Hindu-Budha dan Islam, khusus di wilayah
kerajaan Islam sudah diterapkan dan dikembangkan hukum Islam
untuk mengatur kehidupan di lingkungan masyarakat Islam waktu
itu. Dalam mengahadapi persoalan- persoalan yang muncul di
kalangan masyarakat Muslim, termasuk juga urusan perkawinan
dan perceraian, masyarakat telah mempercayakan penyelesaiannya
kepada orang khusus yang ahli dalam bidang agama Islam. Para
ahli ini menggunakan konsep-konsep kitab fiqih konvensional
dalam membuat aturan tentang hukum perkawinan
Lembaga peradilan Islam dapat terus berkembang. Bahkan
VOC adalah menerbitkan berbagai buku terkait hukum Islam yang
bisa dijadikan pedoman dan rujukan para hakim dalam memutuskan
berbagai persoalan hukum. VOC tidak memberikan intervensi

2
Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan STAIN Bengkulu, 2008), h. 77

2
terhadap hukum Islam karena telah disibukkan dengan tugas-tugas
ekspedisi pengambilan komoditi pertanian dari negeri jajahan.3
Ide menerbitkan buku-buku hukum Islam oleh VOC (1610),
Gubernur Jenderal Pieter Both diberikan otoritas oleh pengurus
pusat VOC di Belanda untuk merumuskan aturan penyelesaian
berbagai perkara yang relevan dengan kebutuhan pegawai VOC di
berbagai daerah kekuasannya. Maka Gubernur Jenderal membuat
plakat-plakat yang dijadikan sebagai pedoman, yang dibuat
sistematis. Selesainya penyusunan plakat, tahun 1642 dibuatlah
“Statuta van Batavia” (Statuta Batavia) untuk daerah kekuasaanya
di Batavia. Proses penyusunan ini terus berlangsung hingga selesai
pada tahun 1766, dengan sebutan “Nieuwe Bataviase Statuten”
(Statuta Batavia Baru). Aturan lainnya tetap berjalan, meski aturan
baru ini telah berlaku.4
Realisasi dari Statuta tersebut, D.W. Freijer diminta VOC
menyusun compendium untuk hukum perkawinan dan kewarisan
Islam. Statuta tersebut dikenal dengan “Compedium Freijer”. Hasil
dari penyusunan Freijer, ini dianalisis dan dikoreksi serta
disempurnakan ulama-ulama Islam penghulu pada saat itu. Setelah
disetujui oleh VOC hasil penyempurnaan dari para ulama dan
penghulu, maka statuta tersebut sah digunakan peradilan dalam
menyelesaikan berbagai perkara umat Islam ketika itu.5 hasil statuta
tersebut, dan formulasi ulama, maka terbitlah kitab sebagai
pegangan di peradilan agama, yakni al-Muharrar, Shirathal

3
Lihat C.P.F. Luhulima, Motip-motip Ekspansi dalam Abad Keenambelas, (Jakarta:
Lembaga Research Kebudayaan Nasional, 1971), h. 32
4
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Peradata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2012), h. 11-12
5
Suhrawardi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan
Praktis), cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 7

3
Mustaqim, Sabilul Muhtadin dan Sajirat al-Hukmu.6 pemberlakuan
kitab tersebut terus berjalan, hingga penyerahan kekuasaan dari
VOC diberikan kepada pemerintah kolonial Belanda.
Setelah VOC menyerahkan pemerintahannya kepada Belanda,
pemerintahan Belanda menjadikan dualisme politik hukum, untuk
golongan Eropa memakai sistem hukum perdata, 7 dan untuk
golongan pribumi Indonesia memakai sistem satu sistem hukum
perdata lainnya.8 Pemberlakuan politik tersebut berdasarkan pasal
11 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), memuat perintah
kepada hakim dalam menyelesaikan masalah memberlakukan
hukum bagi golongan Eropa berupa hukum perdata, dan hukum
perdata Adat hukum bagi golongan lainnya.9 Pada selanjutnya
politik hukum Belanda berubah lagi. Jika berdasarkan AB
pembagian golongan hanya pada wilayah Eropa dan bukan Eropa
yang didasarkan pada agama. Namun pada masa Regerings
Reglement 1855-1926. Pada pasal 109 RR, pembagian golongan
tidak didasarkan lagi pada agama, melainkan berdasarkan posisi
“yang menjajah” dan “yang dijajah”.10
6
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan, h. 11. Lihat selengkapnya Arso Sosroatmojo dan
H.A. Wasiat Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), h. 11-
12
7
Pembagian golongan antara Eropa dan Bumiputera hanya berdasarkan agama
(sebagaimana pada pasal 6-10 BA). Beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan
orang Eropa dan yang tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Dengan
demikian, orang yang beragama Kristen yang bukan orang Eropa disamakan dengan orang
Eropa.
8
R. Abdoel Djamil, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2012), h. 19
9
Dalam melaksanakan politik hukumnya, Belanda melaksanakan hukumnya dengan
hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Bentuk hukum tertulisnya terdapat dalam Burglejik
Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel (WvK). Sementara hukum yang tidak
dikodifikasi terdapat dalam undang-undang dan peraturan lainnya dibuat sengaja itu.
Sementara hukum yang tidak tertulis adalah hukum perdata Adat berlaku bagi setiap orang di
luar golongan Erop
10
Pada tahun 1920 RR mengalami perubahan. Perubahan terjadi dalam beberapa pasal
dan kemudian setelah diubah dikenal dengan RR (baru) dan berlaku sejak tanggal 1 Januari
1920- 1926. Selama berlakunya dari tahun 1855-1926 dinamakan Masa Regerings Reglement.
Politik hukum pada Pasal 75 RR (baru) mengalam perubahan asas terhadap penentuan

4
Berdasarkan dualisme tersebut, maka sistem hukum perdata
yang berlaku bagi golongan Indonesia adalah hukum perdata yang
telah berjalan pada masa VOC, yakni mengakui eksistensi Peradilan
Agama Islam. Pada saat itu, bagi Belanda diberlakukannya hukum
Islam adalah hal lumrah, bukan sebuah ancaman. Ini terbukti,
sampai sebelum tahun 1882, keberadaan Peradilan Agama Islam di
masyarakat kepulauan nusantara masih diakui pemerintah kolonial
Belanda. Sebagaimana tertulis pada bulan September 1801, keluar
instruksi pemerintah Hindia Belanda kepada seluruh bupati:
“Terhadap urusan-urusan agama orang Jawa tidak akan dilakukan
gangguan- gangguan sedangkan pemuka agama-agama mereka
dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam
bidang perkawinan dan kewarisan dengan syarat bahwa tidak akan
ada penyalahgunaan, dan banding dapat dimintakan kepada hakim
banding”.
Tahun 1820, Stbl, 22 pasal 13 menentukan: “Bupati wajib
memperhatikan soal-soal agama Islam dan menjaga supaya para
pemuka agama dapat melakukan tugas mereka, sesuai dengan adat
kebiasaan orang Jawa seperti dalam perkawinan, pembagian
pusaka, dan yang sejenis dengan itu. Berturut-turut sesudah itu,
keluar Stbl. 1835 No. 58, dan Stbl. 1855 No. 2 yang mendukung
pelaksanaan hukum Islam oleh orang-orang Islam sendiri, melalui
cara-cara yang Islami pada tahun 1882”.11
Pada saat itu, dibentuk Peradilan Agama di Jawa dan Madura,
selain peradilan biasa. Pemerintah Belanda memberi nama dengan

penghuni menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Golongan ini dibagi dengan tiga
golongan yakni Eropa, Indonesia, dan Timur Asing. Lihat R. Abdoel Djamil, Pengantar
Hukum Indonesia, Eh. 21-22.
11
Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Menoleh ke Belakang Menatap Masa
Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 11

5
Priester Raad yang diumumkan dalam Staatsblad 1882 Nomor 152.
Pada waktu itu pula, kewenangan Priester Raad belum ditentukan,
sehingga mereka sendiri yang menetapkan perkara-perkara apa
yang dipandang masuk dalam lingkungan kekuasaannya. Pada
umumnya perkara yang menjadi tugas atau wewenangnya adalah
wakaf, warisan dan perkara-perkara yang berhubungan dengan
perkawinan, perceraian, nafkah dan perwalian.12
Berlangsungnya peresmian Peradilan Agama di Jawa dan
Madura ketika itu disebabkan di kalangan orang Belanda
berkembang pendapat, “hukum yang berlaku bagi orang-orang
Indonesia asli adalah undang-undang agama mereka sendiri, yakni
hukum Islam.” Inilah yang dikenal dengan teori reception in
complexu oleh Van Den Berg (1845-1927). Walau secara
akademis, teori reception in complexu ini pada awalnya
dikemukakan oleh Gibb. Teori yang diungkapkan Van Den Berg
sebenarnya lebih terperinci dibandingkan dengan teori yang
diajukan Gibb.13 Teori reception in complexu memilik unsur-unsur
yakni Hukum Islam berlaku universal pada berbagai bidang
ekonomi, hukum pidana, dan hukum perdata, dan Umat Islam harus
taat pada ajaran Islam.14
Secara filosofis, teori ini berawal dari pengamatan Van Den
Berg terkait diberlakukannya statuta alam R.R., Staatsblad 1854:
129 dan Staatsblad 1882: 2 Pasal 75, 78, dan 109. Statuta tersebut
memberlakukan hukum Islam bagi pribumi. Pada tahun 1882

12
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan
Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 44
13
Sebab pada praktiknya, masih banya umat Islam Indonesia yang belum taat
menjalankan ajaran agama. Ketaatan mereka masih berkisar pada salat lima waktu, zakat,
puasa, dan haji.
14
Juhaya S Praja, Teori Hukum dan Implikasinya, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011),
h. 81

6
ditetapkan Staatsblad 1882: 152 tentang reorganisasi lembaga
peradilan.15 Setelah itu pula, hakim bekerja di Pengadilan Agama
direkrut dari penghulu sekaligus menjadi penasehat Landraat dalam
menyelesaikan suatu perkara.16 Implikasi dari usulan dari Van Den
Berg dan diberikan ruang regulasi tersebut, hukum Islam
berkembang dengat pesat.17 Untuk menghambatnya, pemerintah
kolonial Belanda mengubah pemberlakuan hukum Islam di
Indonesia. Hal ini didasarkan usul Cristian Snouch Hurgronje
melalui teori receptie. Awalnya, terjadi perubahan politik hukum,
Belanda merasa perlu adanya unifikasi hukum, berupa
pemberlakukan hukum Barat untuk semua golongan penduduk.
Menurut Snouck Hurgronje, unifikasi hukum ini kurang
strategis terutama dalam upaya menghambat pemberlakuan hukum
Islam, maka kebijakan ini digagalkan oleh Cristian Snouck
Hurgronje (1857- 1936).18 Snouck Hurgronjelah sebagai tokoh
sentral menentang kebijakan pemberlakukan hukum Islam. Maka
teori receptie in complexu yang dikemukakan oleh L.W.C. Van Den
Berg ditentang olehnya. Menurut Snouck bagi umat Islam
diberlakukan hukum adat, bukan hukum Islam. Dalam teori ini,
hukum Islam bisa berlaku jika diterima hukum adat. Ini artinya,

15
Yawirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrinal Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 65 .
16
Karena itulah, dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama berjudul
Seabad Peradilan di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai hari jadinya, yaitu
berbarengan dengan diundangkannya ordonantie Stbl. 188-152 tentang Peradilan Agama di
pulau Jawa-Madura.
17
Walaupun kenyataannya, kebijakan untuk tidak mencampuri urusan agama tampaknya
tidak konsisten. Seperti masalah haji, pemerintah Belanda tetap saja ikut campur, dan
mencurigai para hujjaj sebagai orang yang fanatic, dan tukang pemberontak. Bahkan
pemerintah Belanda mengawasi gerak gerik ulama. Lihat Soerjono Soekanto, Hukum Adat
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h. 75-76.
18
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 222.

7
Snouck memposisikan hukum adat di atas hukum Islam.19 Teori
yang diusung Snouck juga ditentang oleh Van Den Berg. Ia
menuduh Snouck sebagai orang kelihatannya membela Islam tapi
pada dasarnya tidak. Van Den Berg juga menilai Snouck tidak
memahami secara substantif, dan hanya berdasarkan pemahaman
tekstual, menganggap hukum Islam statis, tidak dinamis
(immutable).20 Dalam perjalannya, meski pendapat Snouck
ditentang Van Den Berg. Pemikiran Snouck didukung Ter Haar,
sebagaimana dalam tulisannya De reschtspraak van de landraden
naar ongeschreven recht dan Onderzoek naar Adatrecht, ditulisnya
pada tahun 1930 dan 1936, serta didalam bukunya Beginselen en
Stelsel van het Adatrecht. Secara umum ini ajaran dari keputusan
tersebut adalah:
a. Tidak ada suatu alasan untuk menyebut hal lain sebagai
hukum, kecuali keputusan-keputusan yang mengandung
hukum, dari pejabat-pejabat hukum yang telah diangkat.
b. Apabila warga masyarakat berperilaku yang ternyata
didasarkan pada keyakinan bahwa masyarakat
menghendakinya dan dapat memaksakan hal itu apabila
dilalaikan, maka hal itu dapat dinamakan keputusan hukum
dari warga-warga masyarakat.21

1. Teori Receptio in Complexu

19
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 112.
20
Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
bekerjasama dengan STAIN Bengkulu, 2008), h. 81.
21
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 75-76.

8
Teori Receptio in Complexu menyatakan bahwa bagi orang
Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab dia telah memeluk
agama Islam meskipun dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan. Teori ini menunjukkan penerimaan hukum Islam
secara penuh. Artinya, pada masa ini hukum Islam diberlakukan
sepenuhnya oleh orang-orang Islam sebagai rujukan dalam
menjalani kehidupan beragama, sebelum Belanda datang ke
Indonesia. Teori ini dirumuskan oleh Lodewijk Willem Christian
van den Berg (1845-1927), seorang ahli dibidang hukum Islam
yang pernah tinggal di Indonesia pada tahun 1870-1887.22
Di jaman pemerintahan VOC, teori receptio in complexu ini
telah diberlakukan sebagaimana terbukti telah dibuatnya berbagai
kumpulan hukum untuk pedoman pejabat dalam menyelesaikan
urusan-urusan hukum rakyat pribumi yang tinggal didalam
wilayah kekuasaan VOC yang kemudian dikenal sebagai
Nederlandsch Indie. Teori Receptio in Complexu juga menjadi
acuan dalam kebijakan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu,
dengan diterbitkannya peraturan dalam Regeering Reglement (RR)
th.1855, Statsblad 1855 Nomor 2. RR merupakan Undang-Undang
Dasar Hindia Belanda. Bahkan dalam ayat 2 pasal 75 RR itu
ditegaskan: ”Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama
orang Indonesia itu atau dengan mereka yang dipersamakan
dengan mereka maka mereka tunduk kepada hakim agama atau
kepala masyarakat mereka menurut undang-undang agama
(godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan lama mereka”

22
Anshoruddin, Artikel Beberapa Teori tentang Berlakunya Hukum Islam di Indonesia,
diakses melalui badilag.mahkamahagung.go.id pada 2015.

9
Selanjutnya di tahun 1882, dibentuklah pengadilan agama
ditempat tempat yang terdapat pengadilan negeri, yakni
Pengadilan Agama berkompeten menyelesaikan perkara-perkata
dikalangan umat Islam yang menyangkut hukum perkawinan dan
hukum kewarisan Islam. Akan tetapi hukum Islam mulai
mengalami pergeseran dan posisi hukum Islam mulai lemah,
ketika pemerintah Hindia Belanda mulai menguasai wilayah
nusantara. Memasuki abad ke-19 mulai terjadi gerakan di
kalangan orang-orang Belanda yang menginginkan agar pengaruh
hukum Islam di Indonesia hilang yakni melalui jalur kristenisasi.
Adapun karakteristik dari teori receptie in complexu adalah:
Pertama, hukum Islam dapat berlaku di Indonesia bagi pemeluk
Islam. Kedua, umat Islam harus taat pada ajaran Islam. Ketiga,
hukum Islam berlaku universal pada berbagai bidang ekonomi,
hukum pidana dan hukum perdata
Berdasarkan fakta di atas, kebijakan politik hukum
pemerintah Hindia Belanda awalnya membiarkan hukum Islam
diberlakukan oleh Pribumi, dan dianggap tidak mengancam
eksistensi pemerintahan Belanda. Bahkan pemerintahan Belanda
tampak memfasilitasinya, dengan berbagai usulan dan statuta yang
dikeluarkannya. Walaupun, kebijakan tersebut juga bagian dari
imprerialisme, agar tetap berjalan, seakan pemerintahan Belanda
pro terhadap pribumi. Namun, memasuki pertengahan abad ke-19,
urusan keagaaman pribumi mulai dicampuri oleh pemerintah
kolonial Belanda. Dinamika perubahan tersebut, setidaknya tidak
dapat dilepaskan dari dinamika yang terjadi di negeri Belanda
maupun di wilayah jajahannya.23
23
Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesui Modern: Dinamika Pemikiran dari Fiqh
Klasik ke Fiqh Indonesia, h. 43-44

10
Sebenarnya apa yang diusulkan Snouck mengutamakan
hukum adat di atas hukum Islam dalam upaya mempersemit dan
menekan eksistensi gerakan, yang orientasinya, umat Islam
menjalankan ajaran agamanya berkisar ritual (salat, puasa, dan
haji),24 dan upaya agar kekuatan Islam dalam menentang
kekuasaan pemerintahan Belanda semakin kecil dan sempit.
Pertentangan antara hukum Islam dan adat adalah dalam upaya
politik devide et impera nya. Agar rencananya sesuai harapan,
melalui Van Vollenhoven,25 Belanda berusaha membenturkan
hukum adat dengan hukum Islam.26 Pemahaman hukum Islam
tidak berlaku utuh dalam masyarakat Nusantara, terus
dikumandangkan. Teori receptie terus dipopulerkan.27 Secara
yuridis, dasar berlakunya hukum adat ditentukan dalam pasal 130
Indishche Staatsregeling yakni sepanjang rakyat Indonesia tidak
dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, maka di Indonesia
diberlakukan peradilan atas nama raja. Ini berarti bahwa di
samping peradilan-peradilan oleh Negara, dibiarkan dan diakui
24
Sebab, akibat teori ini, perkembangan hukum Islam menjadi terhambat karena
pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan baru membatasi berlakunya
kewenangan Peradilan Agama dengan mengeluarkan Stbl. 1937 No. 116 dan 610. Teori
receptie inilah yang berlaku di Indonesia sampai kurun waktu tahun 1970. Pada kurun waktu
itu banyak para pakar hukum di Indonesia yang mempersoalkan tentang masih berlakunya
teori hukum buatan pemerintah kolonial Belanda.
25
Sebagaimana pernyataan Van Hollenhoven yang dikutip Soepomo, bahwa Van
Hollenhoven pernah berpidato tanggal 2 Oktober 1902: “bahwa untuk mengetahui hukum,
maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di daerah mana pun, sifat
dan susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum
itu, hidup sehari-hari”. Lihat Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, h. 92
26
Bahkan bukan hanya benturan antara hukum Islam dan Adat, tetapi juga dibenturkan
dengan hukum Barat (Belanda, sistem kontinental). Lihat selengkapnya dalam karya Dedi
Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Dari Kawasan Jazirah Arab sampai Indonesia), (Bandung:
Pustaka Setia, 2010), h. 305. Lihat pula Yawirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan
Prospek Doktrinal Islam dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta:
Rajawali Press, 2013), h. 39. Bandingkan Sajuti Thalib, Politik Hukum Baru Mengenai
Kedudukan dan Peran Hukum Adat dan Hukum Islam dalam Pembinaan Hukum Nasional,
(Jakarta: Fakultus Hukum Universitas Muhammadiyah, 1978), h. 57-63
27
Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesua Modern: Dinamika Pemikiran dari Fiqh
Klasik ke Fiqh Indonesia, (Tangerang: Gaya Media Pratama, 2009), h. 46.

11
berlakunya peradilan-peradilan asli. Peradilan asli terdiri dari dua
macam yakni Peradilan adat (di sebagian daerah yang langsung
ada di bawah Pemerintahan Hindia Belanda) dan Peradilan
Swapraja.28
Berdasarkan teori ini, maka hukum Islam dipertentangkan
dengan hukum adat, mereka merangkul hukum adat dan
memenangkannya.29 Skema politik hukum Belanda: pembenturan
dimenangkan Berdasarkan skema tersebut terlihat bahwa hukum
Adat adalah bagian dari rekayasa Pemerintah Hindia Belanda
yang terkait dengan politik hukum pada masa penjajahan.
Hal ini dimunculkan karena eksistensi adat istiadat telah
dipraktikkan oleh masyarakat sebagai pedoman hidup, baik
berbentuk ucapan atau tindakan nyata. Implikasi dari aturan
pemberlakuan hukum adat ini, bagi yang melanggar kaidah-kaidah
adat itu akan menerima sanksi sosial dalam bentuk bertingkat-
tingkat sesuai dengan pelanggaran yang diperbuat. Penerapannya
pun harus atas kesepakatan bersama. Kaidah-kaidah adat seperti
inilah yang dipatuhi oleh masyarakat jauh sebelum agama Islam
masuk ke Indonesia.30 Melalui gerakan “belah bambu” sebagai
basis politiknya, pemerintah Hindia Belanda berupaya mendesain
tereliminasinya umat Islam dari ajaran agamanya. Walaupun
faktanya, pribumi tidak pernah menentang dan tidak pernah
memisahkan antara hukum Islam dan hukum adat. 31 Selain itu,

28
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama,
2007), h. 68
29
Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Menoleh ke Belakang Menatap Masa
Depan, h. 13.
30
Yawirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrinal Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 30.
31
Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesua Modern: Dinamika Pemikiran dari Fiqh
Klasik ke Fiqh Indonesia, h. 50.

12
dengan adanya politik “belah bambu” ini, pertentangan antara
hukum Islam dan hukum adat, terjadi di kalangan Islam sendiri
yakni mereka yang bernalar akomodatif dan bernalar purifikatift.32
The ultimate goal dari politik belah bambu ini, menurut
Alaiddin Koto adalah agar terjadi benturan antara adat, hukum
Islam, dan hukum Barat. Hukum Adat Hukum Islam Hukum Adat
165 Tujuan akhirnya, melemahnya hukum Islam33 dan
menguatnya hukum Belanda. 34
2. Teori Receptie
Teori Receptie menunjukkan periode penerimaan hukum
Islam oleh hukum adat, dimana hukum Islam baru dapat
diberlakukan apabila dikehendaki atau sudah diterima oleh hukum
adat. Teori ini dikemukakan oleh Christian Snouck Snouck
Hurgronje (1857-1936), yang berprofesi sebagai penasihat
pemerintah Hindia Belanda dalam urusan Islam dan Bumiputera,
yang melakukan penelitian terhadap masyarakat Aceh dan Gayo di
Banda Aceh dan selanjutnya dikembangkan kemudian oleh Van
Vollenhoven dan Ter Haar. Snouck Hurgronje menyimpulkan
bahwa hukum Islam di Indonesia dapat diterapkan ketika sudah
diterima oleh hukum adat, atau sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum tersebut. Dengan kata lain, hukum Islam mengikuti

32
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, h. 255-256.
33
Salah satu buktinya, Pemerintah Kolonial Belanda, mengeluarkan Bijblad Nomor 1892
tanggal 4 Agustus 1890 yang berisi kebijaksanaan Pemerintah Kolonial mengenai zakat, yang
intinya para penghulu atau naib yang bekerja untuk melaksanakan administrasi kekuasaan
Pemerintah Belanda, tapi tidak diberi gaji atau tunjangan untuk membiayai hidup dan
kehidupan mereka beserta keluarganya. Dan untuk melemahkan (dana) kekuatan rakyat yang
bersumber dari zakat itu, pemerintah Hindia Belanda pun melarang semua pegawai pemerintah
dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan dalam
Bijblad Nomor 6200 tanggal 28 Februari 1905. Lihat Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi
Islam: Zakat dan Wakaf, cet. 1, (Jakarta: Penerbit UI Press, 1988), h. 33.
34
Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, h. 223

13
hukum adat masyarakat setempat. Sedangkan Van Vollenhoven
melalui bukunya berjudul De ontdekkmg van het adatrecht
(Penemuan Hukum Adat). Menurutnya, hukum yang berlaku di
masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat,
yakni hukum yang berakar pada kesadaran hukum masyarakat
sejak dulu, dan hukum yang telah berhasil membuat masyarakat
Indonesia sebagai masyarakat yang damai dan tertib. Hukum
Islam pada Masa Penajajahan Jepang Masa pendudukan Jepang di
Indonesia dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17
Agustus 1945, seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Jepang masuk ke Indonesia,menduduki Tarakan, Kalimantan
Timur, kemudian memasuki daerah-daerah lain di Indonesia dan
dalam tempo yang sangat singkat telah menguasai seluruh wilayah
Hindia Belanda. Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan
menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk
kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah
Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya
adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan
bahwa Pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda.
Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi
keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di
masa pendudukan Belanda. Meskipun demikian, Pemerintah
Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk
menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:

14
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan
memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk
pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang
dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti
Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) pada bulan oktober 1943.
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan
cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk
mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan
meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan
Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu.
Namun upaya ini kemudian dimentahkan oleh Soepomo
dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga
Indonesia merdeka.
Pada masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang
dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum
muslim di Indonesia, yaitu :
1. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang
menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda,
yang dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat pada 1
Oktober 1943.
2. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia )
menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober
1943, Tujuan didirikannya adalah selain untuk

15
memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia,
juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada
usaha peperangan Jepang.
3. Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah ) semacam
organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang
dipimpin oleh Zainul Arifin. Organisasi inilah yang
menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia.
B. Modernisasi Hukum Islam di Masa Kolonial
Selanjutnya, pada awal kedatangan Belanda, eksistensi
hukum Islam yang hidup di kalangan masyarakat diakui sendiri
oleh ahli hukum Belanda Van den Berg, dengan menyatakan bahwa
hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang sesuai dengan
agama yang dipeluknya. Akan tetapi, fakta ini berubah dengan
politik pemerintah kolonial Belanda yang menyadari bahwa hukum
Islam adalah salah satu pilar kekuatan yang dapat melakukan
perlawanan atas kebijakan politik Belanda. Oleh karena itu, atas
saran ahli hukum Belanda (Hurgronje dan Van Vollenhoven) maka
pihak Belanda merubah kebijakannya dengan menetapkan bahwa
hukum Islam berlaku jika telah diadopsi oleh hukum adat.
Kaitannya dengan hal ini, dalam pasal 134 ayat (2) Indische
Staatsregeling (IS) dirumuskan:
“Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang
Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum
adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain
dengan suatu ordonansi”.
C. Posisi Peradilan Agama dalam Politik Kolonial
Ali (1990: 223) mendeskripsikan bahwa mulai tahun 1830,
setelah pemerintah Belanda menguasai kepulauan Indonesia,

16
Pengadilan Agama yang diselenggarakan oleh para penghulu yang
telah ada di Jawa sejak abad ke-16, ditempatkan di bawah
pengawasan pengadilan kolonial yakni Landraad atau Pengadilan
Negeri melalui ketentuan bahwa keputusan Pengadilan Agama
tidak dapat dilaksanakan sebelum ketua Landraad menyatakan
persetujuannya atas pelaksanaan keputusan itu dengan executiore
verklaring (pernyataan dapat dijalankan).
Dukungan pemerintah Hindia-Belanda terhadap penerapan
hukum Islam hanya terbatas pada bidang kekeluargaan.
Sebagaimana paparan Daniel S. Lev yang dikutip oleh Rofiq (2000:
19) bahwa pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl. No. 638 dan 639
tentang pendirian Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar
untuk wilayah Kalimantan Selatan dengan kewenangan
sebagaimana Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Adapun Batas
kekuasaan Pengadilan Agama berdasar Stbl. 1937 No. 116 adalah:
1) Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2) Perkara-perkara tentang: nikah, talak, rujuk, dan perceraian
antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan
perantara hakim agama Islam.
3) Memberi keputusan perceraian.
4) Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang
digantungkan (taklik talak) sudah ada.
5) Perkara mahar.
6) Perkara tentang keperluan kehidupan istri yang wajib diadakan
oleh suami.
Rumusan di atas menunjukkan bahwa pada masa pemerintah
kolonial Belanda, perkara yang berkaitan dengan wakaf, waris,
hibah, wasiat, hadhanah, sadaqah, baitul mal, yang merupakan

17
kewenangan Peradilan Agama di rubah menjadi kewenangan
peradilan umum. Dengan demikian perkara yang menjadi
kompetensi Pengadilan Agama sejak 1882 dialihkan ke Pengadilan
Negeri. Lebih lanjut, Pada masa pendudukan Jepang, posisi
keberlakuan hukum Islam tidak berubah. Artinya, kompetensi
Pengadilan Agama yang telah di atur oleh pemerintah kolonial
Belanda tidak di rubah oleh pemerintah Jepang35

Lahirnya firman Raja Belanda (Koninklijk Besluit) tanggal 19


Januari 1882 Nomor 24, Staatsblad 1882 - 152 telah mengubah
susunan dan status peradilan agama. Wewenang pengadilan agam.a
yang disebut dengan "preisterraacf' tetap daIam bidang perkawinan
dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan
pengadilan agama yang telah ada sebelumnya (Achmad Rustandi:
2), dan hukum Islam sebagai pegangannya.

Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi


kompentensi pengadilan agama di Jawa dan Madura daIam bidang
perselisihan harta benda, yang berarti masaIah wakaf dan waris
hams diserahkan kepada pengadilan negeri. Mereka (Pemerintah
Kolonial Belanda) berdalih, bahwa dalam kenyataan kehidupan
bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam pengaruhnya pada
aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura serta di
tempat-tempat lain di seluruh Indo¬nesia (Daniel S Lev: 35-36).

Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah


Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan

35
Dahlia Haliah Ma’u, Eksistensi Hukum Islam Di Indonesia (Analisis Kontribusi dan Pembaruan
Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia)Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 15
No. 1 Tahun 2017 Institut Agama Islam Negeri (IAIN Manado)

18
Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua
urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari
Kementrian Kehakiman ke dalam KementrianAgama. Langkah ini
memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-
lembaga Islam dalam sebuah wadah lbadan yang besnat nasional.
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan
dengan jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi
Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah
pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi: 3).

Usaha untuk menghapuskan pengadilan agama masih terus


berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19
Tahun 1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan
Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara
lain mengandung ketentuan pokok bahwa peradilan agama
merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja dan peradilan
adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan
pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang
mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah
berjalan tujuh tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1957 (Muchtar Zarkasyi : 33 - 37).

BAB III
KESIMPULAN
1. Posisi Hukum Islam dalam Politik Kolonial Belanda
Sebelum Belanda masuk ke Nusantara, yaitu pada masa
kerajaan- kerajaan Hindu-Budha dan Islam, khusus di wilayah

19
kerajaan Islam sudah diterapkan dan dikembangkan hukum Islam
untuk mengatur kehidupan di lingkungan masyarakat Islam waktu
itu.
Dalam Kenyataannya, Penggunaan Hukum Belanda Itu
Menemukan Kesulitan. Ini Disebabkan Karena Penduduk Pribumi
Berat Menerima Hukum-hukum Yang Asing Bagi Mereka.
Akibatnya, VOC Pun Membebaskan Penduduk Pribumi Untuk
Menjalankan Apa Yang Selama Ini Telah Mereka Jalankan.
Kaitannya Dengan Hukum Islam, Dapat Dicatat Beberapa
“Kompromi” Yang Dilakukan Oleh Pihak VOC, Yaitu:
1. Dalam Statuta Batavia Yag Ditetapkan Pada Tahun 1642
Oleh VOC, Dinyatakan Bahwa Hukum Kewarisan Islam
Berlaku Bagi Para Pemeluk Agama Islam.
2. Adanya Upaya Kompilasi Hukum Kekeluargaan Islam
Yang Telah Berlaku Di Tengah Masyarakat. Upaya Ini
Diselesaikan Pada Tahun 1760.Kompilasi Ini Kemudian
Dikenal Dengan Compendium Freijer.
3. Adanya Upaya Kompilasi Serupa Di Berbagai Wilayah
Lain, Seperti Di Semarang, Cirebon, Gowa Dan Bone. Di
Semarang, Misalnya, Hasil Kompilasi Itu Dikenal Dengan
Nama Kitab Hukum Mogharraer (Dari Al-muharrar).
Namun Kompilasi Yang Satu Ini Memiliki Kelebihan
Dibanding Compendium Freijer, Dimana Ia Juga Memuat
Kaidah-kaidah Hukum Pidana Islam.
2. Posisi Peradilan Agama dalam Politik Kolonial

Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan


Pemerintah Nomor lJSD dibentuk Kementrian Agama,
kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret

20
1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah Islam
Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam
KementrianAgama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi
bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam
sebuah wadah lbadan yang besnat nasional. Berlakunya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan
jelas maksud- maksud untuk mempersatukan administrasi
Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di
bawah pengawasan Kementrian Agama (Achmad Rustandi:
3).

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Peradata Indonesia, (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2012)
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2007)

21
Anshoruddin, Artikel Beberapa Teori tentang Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, diakses melalui badilag.mahkamahagung.go.id pada 2015.
Anwar Harjono, Perjalanan Politik Bangsa, Menoleh ke Belakang Menatap
Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997
C.P.F. Luhulima, Motip-motip Ekspansi dalam Abad Keenambelas, (Jakarta:
Lembaga Research Kebudayaan Nasional, 1971),
Dahlia Haliah Ma’u Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 15 No. 1 Tahun 2017
Institut Agama Islam Negeri (IAIN Manado) Eksistensi Hukum
Islam Di Indonesia (Analisis Kontribusi dan Pembaruan Hukum Islam
Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia)
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia
Gemala Dewi, dkk, Hukum Perikatan, h. 11. Lihat selengkapnya Arso
Sosroatmojo dan H.A. Wasiat Aulawi, Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Juhaya S Praja, Teori Hukum dan Implikasinya, (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2011)
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam: Zakat dan Wakaf, cet. 1,
(Jakarta: Penerbit UI Press, 1988)
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam Sebagai
Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),
Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesua Modern: Dinamika Pemikiran
dari Fiqh Klasik ke Fiqh Indonesia, (Tangerang: Gaya Media Pratama,
2009),
R. Abdoel Djamil, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012),
Sirajuddin M, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar bekerjasama dengan STAIN Bengkulu, 2008),
Suhrawardi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam
(Lengkap dan Praktis), cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)

22
Suparman Usman, Hukum Islam, Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum
Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama,
2001)
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,
Yawirman, Hukum Keluarga: Karakteristik dan Prospek Doktrinal Islam dan
Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: Rajawali
Press, 2013)

23

Anda mungkin juga menyukai