Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL MATA KULIAH PENDIDIKAN KARAKTER

PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP


KEKERASAN SEKSUAL TERUTAMA PADA
PEREMPUAN

Disusun oleh :

Ketua : Ni Made Lia Kumala Sari (2102612010599)


Anggota : Dita Jayantini (2102612010581)
Anggota : Kadek Dwi Antari (2102612010601)

UNIVERSITAS MAHASARASWATI DENPASAR


DENPASAR
2021
DAFTAR ISI

Daftar Isi ..........................................................................................................i


1. Pendahuluan ...............................................................................................1
A. Latar Belakang .....................................................................................1
B. Tujuan Masalah ....................................................................................3
C. Manfaat Penulisan ................................................................................3
2. Gagasan ......................................................................................................4
A. Kekerasan Seksual ...............................................................................4
B. Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Korban ....................................5
C. Persepsi Masyarakat Terhadap Kekerasan Seksual .............................6
D. Menganalisis Tindakan Kekerasan Seksual .........................................7
E. Solusi Optimal Untuk Memberantas Kekerasan Seksual ....................11
3. Kesimpulan ................................................................................................12
Daftar Pustaka ............................................................................................13

i
1

1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan sangat sering terjadi di kehidupan sehari-hari baik di
lingkungan keluarga, masyarakat maupun teman sebaya. Kekerasan umumnya
sering menimpa orang-orang yang tidak berdaya. Maraknya isu kekerasan
yang terjadi terhadap perempuan menjadi suatu momok yang menakutkan bagi
seluruh perempuan khususnya perempuan yang memiliki kesibukan di luar
mengurus pekerjaan rumah meskipun demikian tidak menutup kemungkinan
perempuan yang mengurus pekerjaan rumah juga mengalami hal yang sama.
Kekerasan yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai
yang mendudukan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Masih banyak masyarakat yang memandang
perempuan sebagai kaum yang marginal, dikuasai, dieksploitasi dan
diperbudak oleh kaum laki-laki. Kekerasan pada dasarnya merupakan sebuah
realita yang ada dalam masyarakat saat ini, yang menyatakan kekerasan
terhadap perempuan masih terbilang cukup banyak dan sering kali terjadi
kapan pun dan dimana pun.
Masalah pelecehan seksual saat ini telah menjadi pemberitaan karena
sering terjadi di kalangan remaja semakin bertambah, misalnya dengan
menggoda menggunakan ungkapan-ungkapan penuh hasrat atau
mengungkapkan gurauan-gurauan bernada porno, mencolak-colek pada tubuh
korban serta terkadang ada ancaman-ancaman jika ajakan tersebut tidak
dipenuhi sehingga korban merasa malu, marah, tersinggung, atau membenci
hal tersebut. Walaupun tidak melakukan penyiksaan secara fisik namun pelaku
tersebut sudah membuat korban merasa terganggu dan tidak nyaman, rata-rata
korban daripada pelecehan seksual tersebut adalah pada kaum perempuan.
Kasus pelecehan seksual sudah seringkali diekspose oleh media massa, namun
dalam masyarakat kita masih banyak yang belum sepenuhnya menyadari
bahwa mereka sebenarnya telah menjadi korban pelecehan seksual atau
menganggap masalah ini sebagai sesuatu yang tidak serius untuk ditanggapi.
Dalam banyak kasus, banyak korban yang memilih diam dan menganggap
biasa perlakuan yang diterima dari atasan ataupun rekan kerja. Maraknya
pelecehan seksual yang terus-menerus terjadi sangatlah membuat keresahan di
masyarakat, terutama bagi para orang tua yang memiliki anak- anak
perempuan. Namun, ada yang mengatakan bahwa justru korbanlah yang
memberikan peluang kepada para pelaku untuk dapat melakukan pelecehan
seksual tersebut. Misalnya dengan memakai pakaian ataupun memperlihatkan
perilaku-perilaku yang justru dapat memberikan ruang kepada pelaku sehingga
membuat pelaku dapat tersugesti untuk melakukan pelecehan seksual tersebut.
2

Pelecehan seksual ini tidak hanya memberikan dampak pada pada fisik
korban namun juga memberikan dampak secara mental atau psikis. Untuk
dampak yang secara fisik memang dalam tahap pemulihannya tidak terlalu
membutuhkan waktu yang lama, namun pada dampak mental ini
membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya. Bahkan ada
juga yang sampai menderita masalah kejiwaan sampai pada tindakan bunuh
diri, karena tidak kuat menahan penderitaan dan rasa malu yang dideritanya.
Tentunya hal ini sangat meresahkan terutama kepada kaum perempuan yang
takut jikalau akan bepergian sendirian keluar rumah maupun ke tempat
lainnya. Pelecehan seksual seakan menjadi momok yang mengerikan bagi
kalangan pelajar ataupun mahasiswi.
Belakangan terjadi kasus kekerasan seksual berupa begal payudara di
Cirebon. Melalui sebuah video yang sempat viral yang merekam proses
pengejaran begal payudara tersebut hingga dirinya terjatuh dari motornya.
Alih-alih merasa bersalah, pelaku justru menantang balik untuk dilaporkan
kepada kepolisian. Mirisnya lagi kenapa sampai hal itu bisa dianggap "normal"
dan malah terkesan berlebihan apabila ada korban yang menuntut. Sebenarnya
kita telah mengetahui banyak kejadian kekerasan seksual di sekitar kita, entah
itu pernah kita alami sendiri ataupun mendengar cerita dari orang-orang di
sekitar kita yang pernah menjadi korban atas kekerasan seksual. Namun seolah
itu semua bukanlah merupakan suatu tindak kejahatan yang "serius". Malah
justru banyak kasus kekerasan seksual akan menimpa balik para korban seperti
dikomentari cara berpakaiannya, cara berperilakunya, dan sebagainya.
Pandemi COVID-19 telah menimbulkan berbagai permasalahan di
seluruh aspek kehidupan manusia baik dari aspek ekonomi, pendidikan, politik
hingga aspek personal seperti kehidupan berumah tangga. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Komnas Perempuan kepada 2.285 Perempuan dan Laki-
laki sejak April hingga Mei 2020, sebanyak 80% dari responden perempuan
yang berpenghasilan dibawah 5 juta menyampaikan bahwa kekerasan yang
mereka alami cenderung meningkat. Namun, hanya 10% perempuan yang
melaporkan mengenai kasus kekerasan yang dialami. Selain itu, Komnas
Perempuan juga menerima setidaknya 319 kasus yang dilaporkan selama masa
pandemi dan dua-pertiganya adalah kasus KDRT. Menurut data dari Lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK)
menyebutkan bahwa ada sekitar 110 kasus yang dilaporkan setelah adanya
penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari bulan maret hingga
juni. Disamping itu, WCC Rifka Annisa juga menerima laporan sebanyak 660
kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari hingga September
2020. Dan 579 kasus diantaranya terjadi selama masa pandemi. Bentuk
kekerasan yang dilaporkan paling tinggi yaitu kekerasan terhadap istri (KTI)
dengan jumlah 124, kekerasan dalam pacaran (KDP) sebanyak 46 kasus,
3

kekerasan dalam keluarga (KDK) sebanyak 33 kasus, pelecehan seksual 24


kasus, perkosaan 22 kasus, trafficking 10 kasus dan lainnya 2 kasus. Dari data
tersebut kita dapat mengetahui bersama bahwa selama masa pandemi
perempuan tetap tidak terlepas dari kekerasan. Dan kita juga mengetahui
bahwa kasus kekerasan paling tinggi adalah KTI. Kasus KTI masuk dalam
lingkup kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Faktanya, masih banyak
perempuan yang tidak sadar bahwa ia adalah korban kekerasan. Sebagian
perempuan juga ada yang telah sadar namun enggan untuk melaporkan.
Sebagian besar perempuan lebih memilih diam atau hanya menceritakan
kepada orang terdekat. Terdapat beberapa alasan untuk menjelaskan fenomena
ini, diantaranya yaitu perempuan korban kekerasan merasa bahwa
permasalahan rumah tangga adalah aib keluarga yang harus ditutupi,
ketidakberdayaan ekonomi, hingga pemahaman akan proses hukum yang
rendah. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik dengan permasalahan
yang ada sehingga mendorong penulis untuk membuat penulisan hukum yang
berjudul : PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP KEKERASAN
SEKSUAL TERUTAMA PADA PEREMPUAN

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis melalui penulisan
proposal ini adalah sebagai berikut:
1. Mengulas gambaran dari kekerasan seksual terhadap perempuan
2. Mengulas dampak kekerasan seksual bagi korban dan pelakunya
3. Mengulas persepsi masyarakat terhadap tindakan kekerasan
seksual
4. Menganalisis tindakan kekerasan seksual
5. Mencari solusi optimal untuk memberantas kekerasan seksual
C. Manfaat Penulisan
Selain tujuan adapun manfaat yang ingin penulis capai melalui penulisan
proposal ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan informasi bahwa tindakan kekerasan seksual sekecil
apapun mampu menimbulkan dampak negatif bagi korban maupun
pelakunya.
2. Memberikan informasi bahwa tindakan kekerasan seksual tidak
pantas dilakukan di institusi pendidikan maupun di lingkungan
masyarakat.
4

2. GAGASAN
A. Kekerasan Seksual
Semenjak adanya RUU PKS hingga saat ini Permendikbud No.
30, “kekerasan seksual” menjadi topik yang sering kita dengar dan juga
lihat di berbagai media sosial. Berita-berita terkait kekerasan seksual
muncul seakan ingin menampar masyarakat bahwa inilah fakta
sebenarnya yang terjadi di lingkungan kita. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kekerasan seksual terjadi di mana-mana, di ruang publik, di rumah,
bahkan di lingkungan sekolah atau universitas yang seharusnya menjadi
tempat paling aman untuk menuntut ilmu. Menurut Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan Seksual
oleh KOMNAS Perempuan, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
merendahkan, menghina, menyerang dan atau tindakan lainnya, terhadap
tubuh yang terkait nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan atau
fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang
dan atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu
memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi
kuasa, relasi gender dan atau sebablain, yang berakibat atau dapat
berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis,
seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.
Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas
Perempuan Tahun 2020 menunjukkan, kasus KBGO meningkat dari 126
kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada tahun 2020. Bentuk kekerasan
yang mendominasi adalah kekerasan psikis 49 persen (491 kasus),
kekerasan seksual 48 persen, (479 kasus), dan kekerasan ekonomi 2
persen (22 kasus).
Dari hasil penelitian yang menganalisis dokumen mengenai
kekerasan yang terjadi pada perempuan, diketahui bahwa penyebab
tingginya tingkat kekerasan seksual yang terjadi pada kaum perempuan
disebabkan oleh beberapa faktor. Pada umumnya, masyarakat
membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa
anak laki-laki harus kuat, berani, dan tidak toleran dalam hal apapun. Pola
ini lah yang akhirnya memimbulkan tidak adanya kesetaraan gender
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan sudah menjadi
budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan dianggap
inferior. Sebagian laki-laki beranggapan bahwa kekuasaan dan kekerasan
merupakan suatu bentuk yang dilakukan untuk mengendalikan orang lain.
Selain itu, kentalnya budaya victim blaming dan kurang tegasnya hukum
5

di Indonesia dalam menangani kasus kekerasan seksual menjadi alasan


kenapa kasus-kasus serupa tidak pernah berhenti terjadi.

B. Dampak Kekerasan Seksual Terhadap Korban


Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan
dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hubungan
seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik
maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang
dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan
menyebabkan gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992).
Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma
yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu
hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami
pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat
disertai dengan reaksi-reaksi fisik (Taslim, 1995). Secara umum peristiwa
tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka
panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang
mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000).
Setiap korban tentunya menghadapi tantangan yang berbeda-beda
dalam upayanya untuk keluar dari trauma serta stigma yang harus
ditanggung sebagai korban dari tindak kekerasan seksual. Kurangnya
ruang yang nyaman dan juga aman bagi korban mempersulit proses
penyembuhan fisik maupun psikis korban. Dampak individual yang
dirasakan korban tindak kekerasan seksual diantaranya dapat berupa
dampak fisik, psikologis dan finansial. Dampak fisik yang dirasakan
korban contohnya tertular Penyakit Menular Seksual (PMS), muncul nyeri
kronis, adanya infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus, bahkan
hingga menyebabkan kematian. Selain yang telah disebutkan, dampak
fisik juga dapat berupada akibat dari gabungan antara dampak psikologis
dengan dampak finansial seperti sakit kepala, kehilangan nafsu makan,
gangguan tidur dan kelelahan yang dirasakan amat sangat menganggu
sehingga membutuhkan bantuan professional agar dapat terlepas dari
gangguan tersebut. Kemudian, dampak psikologis yaitu upaya atau usaha
korban dalam menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar
mereka sering tidak berhasil. Adapun dampak psikologisnya dapat berupa
perasaan terhina, marah, dikucilkan, dikhianati, merasa berbeda dengan
orang lain, perasaan bersalah, kemungkinan yang tinggi untuk terserang
depresi, dan mimpi buruk, korban juga cenderung menaruh kecurigaan
yang lebih terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Di
6

beberapa kasus, korban juga merasa terbatasi di dalam berhubungan


dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan
akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Dampak finansial yang
dialami korban tindak kekerasan seksual dapat berupa menurunya
produktivitas dan performa di lingkungan pekerjaan, dipecatnya dari
pekerjaan yang sedang dijalani atau justru terpaksa harus mengundurkan
diri karena adanya dampak fisik dan psikologis yang diderita dan tentu
saja tidak bisa dengan mudah untuk dihilangkan. Bagi korban tindak
kekerasan seksual yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat
yang diiringi dengan kurangnya dukungan sosial dari orang-orang
terdekat serta stigma lainnya yang harus ditanggung, ada kemungkinan
korban akan merasakan dorongan yang kuat untuk mengakhiri hidup.
C. Persepsi Masyarakat Terhadap Kekerasan Seksual
Menjalani kehidupan sebagai seorang korban tindak kekerasan
seksual tidaklah mudah. Stigma negatif yang melekat serta masih ada
sebagian masyarakat yang salah dalam mengartikan penyebab terjadinya
tindakan kekerasan seksual memperbesar jurang ketidakadilan bagi para
korban tindak kekerasan seksual. Masyarakat seringkali masih
menormalisasi beberapa tindakan yang mengarah pada tindakan kekerasan
maupun pelecehan seksual. Berbagai spektrum dan juga bentuk kekerasan
terekam dalam CATAHU 2020 dan temuan khusus merepresentasikan
bahwa dalam 12 tahun terakhir di Indonesia, kekerasan terhadap
perempuan meningkat delapankali lipat. Dalam statistic CATAHU
menyebutkan setiap dua jam, tiga perempuan mengalami kekerasan
seksual di Indonesia. Angka-angka tersebut masih merupakan fenomena
gunung es, sehingga dapat diartikan di kondisi yang sebenarnya
perempuan Indonesia hidup jauh dari kondisi dan situasi yang aman serta
bebas dari tindakan kekerasan seksual. Masyarakat memiliki pandangan
yang menyalahkan korban (victim blaming), bahwa kekerasan seksual
dapat terjadi akibat perilaku maupun pilihan hidup korban. Mayoritas
masyarakat beranggapan bahwa kekerasan seksual salah satunya
disebabkan karena korban bersikap genit/centil/suka menggoda,
menggunakan pakaian terbuka, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan
bahwa persepsi masyarakat masih cenderung menyalahkan seksualitas
korban, khususnya jika perempuan/anak perempuan sebagai korban.
Mereka yang mendapatkan label sebagai “perempuan nakal” sebenarnya
muak dengan stigma tersebut. Kehadiran mereka pun ditolak oleh
keluarga mereka sendiri. Keluarga mereka merasa bahwa calon ibu dari
bayi yang dikandung merupakan aib bagi keluarga. Bahkan untuk
menutupi aib tersebut perempuan korban kadang harus disingkirkan untuk
sementara waktu di suatu tempat. Sementara mereka sebenarnya adalah
korban dari tindak kekerasan seksual. Mereka merupakan manusia yang
7

didiskriminasi oleh sebagian masyarakat di lingkungan kita. Mereka


diasingkan di suatu tempat, mungkin di tempat tinggal kerabat mereka,
agar keluarganya tidak merasa malu. Para perempuan tersebut
sesungguhnya manusia bebas. Namun kebebasan mereka direnggut oleh
sebuah otoritas bernama “masyarakat”.
Selain yang telah dijelaskan di atas, ada juga istilah “rape culture”
yang ditemukan dan diperkenalkan tahun 1970-an pada studi Amerika
Serikat. Rape culture bukan berarti budaya memperkosa. Melainkan
istilah yang digunakan untuk menggambarkan masyarakat atau
lingkungan yang terkesan menyepelekan tindakan kekerasan seksual,
bukan hanya soal perkosaan tapi juga budaya dimana pelecehan dan
kekerasan seksual dipandang sebagai sesuatu yang wajar, normal terjadi,
serta ditoleransi oleh berbagai pihak salah satunya media. Budaya yang
memahami bahwa perempuan adalah sosok penggoda, lebih rendah, dan
nilai dirinya hanya dipandang sebatas kecantikan. Lalu kenapa masih
menjadi budaya hingga sekarang? Dimulai dari tingkat terendah, masih
seringnya penggunaan kalimat laki-laki adalah subjek dan perempuan
adalah objek yang kerapkali diperlakukan seperti barang. Kemudian,
kultur yang memposisikan laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan
perempuan, laki-laki sebagai sosok pemimpin, pengambil keputusan dan
pencari nafkah. Sedangkan, perempuan hanya ditempatkan pada ranah
domestik, tugas-tugas reproduksi, pendidikan anak, dan melayani suami.
Selalu ada relasi kuasa sebagai buah dari ideologi patriarki. Pemahaman
yang salah terhadap ajaran agama membuat praktik dominasi laki-laki
disalahgunakan. Padahal fakta dilapangan menunjukkan tidak semua laki-
laki mampu menjalankan kewajibannya sebagai pelindung, pengayom
apalagi pemimpin.
Media juga menjadi salah satu perpanjangan tangan mengapa rape
culture ini justru kian terpupuk dibenak masyarakat. Seringkali media
ketika memberitakan suatu kasus kekerasan seksual justru menggunakan
headline berita yang kontroversial dan cenderung menyoroti korban,
seperti bagaimana kehidupan korban sehari-hari. Hal-hal seperti itulah
yang justru menyebabkan budaya victim blaming terus berlanjut dan
masyarakat ikut menganggap bahwa tindakan kekerasan seksual tersebut
hal yang biasa.

D. Menganalisa Tindakan Kekerasan Seksual


Di bawah ini akan dijabarkan 15 bentuk dari tindakan kekerasan
seksual yang sering terjadi di masyarakat:
1. Pemerkosaan
8

Serangan dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual dengan


memakai penis ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga
menggunakan jari tangan atau benda-benda lainnya. Serangan
dilakukan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, penahanan, tekanan
psikologis, penyalahgunaan kekuasaan, atau dengan mengambil
kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah
istilah lain dari perkosaan yang dikenal dalam sistem hukum
Indonesia. Istilah ini digunakan ketika perkosaan dilakukan di luar
pemaksaan penetrasi penis ke vagina dan ketika terjadi hubungan
seksual pada orang yang belum mampu memberikan persetujuan
secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang di bawah umur 18
tahun.
2. Intimidasi seksual terhadap ancaman atau percobaan
pemerkosaan
Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan
rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi
seksual bisa disampaikan secara langsung maupun tidak langsung
melalui surat, sms, email, dan lain-lain. Ancaman atau percobaan
perkosaan juga bagian dari intimidasi seksual. Tindakan seksual lewat
sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau
seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata,
ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh.
3. Pelecehan seksual
Pelecehan yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa
tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan
mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
4. Eksploitasi seksual
Praktik lainnya adalah tindakan mengiming- imingi
perkawinan untuk memperoleh layanan seksual dari perempuan, lalu
ditelantarkankan. Situasi ini kerap disebut juga sebagai kasus “ingkar
janji”. Iming- iming ini menggunakan cara pikir dalam masyarakat,
yang mengaitkan posisi perempuan dengan status perkawinannya.
Perempuan menjadi merasa tak memiliki daya tawar, kecuali dengan
mengikuti kehendak pelaku, agar ia dinikahi. Tindakan
penyalahgunaan kekuasan yang timpang,atau penyalahgunaan
kepercayaan, untuk tujuan kepuasan seksual, maupun untuk
memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik dan
lainnya. Praktik eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah
9

menggunakan kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam


prostitusi atau pornografi.
5. Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim,
memindahkan, atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas posisi rentan, penjeratan
utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap korban secara
langsung maupun orang lain yang menguasainya, untuk tujuan
prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan
perempuan dapat terjadi di dalam negara maupun antar negara.

6. Prostitusi Paksa
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman
maupun kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat
terjadi pada masa rekrutmen maupun untuk membuat perempuan
tersebut tidak berdaya untuk melepaskan dirinya dari prostitusi,
misalnya dengan penyekapan, penjeratan utang, atau ancaman
kekerasan.
7. Perbudakan seksual
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh
korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk
memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain
kekerasan seksual. Perbudakan ini mencakup situasi dimana
perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah
tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual
dengan penyekapnya.
8. Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan
seksual karena pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak
terpisahkan dari perkawinan yang tidak diinginkan oleh perempuan
tersebut. Ada beberapa praktik di mana perempuan terikat perkawinan
di luar kehendaknya sendiri. Pertama, ketika perempuan merasa tidak
memiliki pilihan lain kecuali mengikuti kehendak orang tuanya agar
dia menikah. Situasi ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik
memaksa korban perkosaan menikahi pelaku yang dianggap
mengurangi aib akibat perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai
10

gantung yaitu ketika perempuan dipaksa untuk terus berada dalam


ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai
9. Pemaksaan kehamilan
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun
ancaman kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia
kehendaki. Kondisi ini misalnya dialami oleh perempuan korban
perkosaan yang tidak diberikan pilihan lain kecuali melanjutkan
kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya untuk
menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat
mengatur jarak kehamilannya.
10. Pemaksaan Aborsi
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya
tekanan, ancaman, maupun paksaan dari pihaklain.
11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Disebut pemaksaan ketika pemasangan alat kontrasepsi
dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan
karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap
tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan. Pada masa
Orde Baru, tindakan ini dilakukan untuk menekan laju pertumbuhan
penduduk, sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan.
Sekarang, kasus pemaksaan pemaksaan kontrasepsi/ sterilisasi biasa
terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS dengan alasan mencegah
kelahiran anak dengan HIV/AIDS. Pemaksaan ini juga dialami
perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna grahita, yang
dianggap tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri,
rentan perkosaan, dan karenanya mengurangi beban keluarga untuk
mengurus kehamilannya.
12. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan,
ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak
termasuk dalam penyiksaan. Ia termasuk hukuman cambuk dan
hukuman hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan
martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.
13. Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau
mendiskriminasi perempuan
Kebiasaan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama
dan/atau budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan
cidera secara fisik, psikologis maupun seksual pada perempuan.
11

Kebiasaan ini dapat pula dilakukan untuk mengontrol seksualitas


perempuan dalam perspektif yang merendahkan perempuan. Sunat
perempuan adalah salah satu contohnya.
14. Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif
beralasan moralitas dan agama
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan
sebagai simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan
baik-baik” dan perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan
sebagai pemicu kekerasan seksual menjadi landasan upaya mengontrol
seksual (dan seksualitas) perempuan. Kontrol seksual mencakup
berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan secara
langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau
memaksakan perempuan untuk menginternalisasi simbol- simbol
tertentu yang dianggap pantas bagi “perempuan baik-baik’. Kontrol
seksual dilakukan lewat aturan yang memuat kewajiban busana, jam
malam, larangan berada di tempat tertentu pada jam tertentu, larangan
berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa ikatan kerabat atau
perkawinan. Aturan yang diskriminatif ini ada di tingkat nasional
maupun daerah dan dikokohkan dengan alasan moralitas dan agama.
15. Penyiksaan Seksual
Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan,
yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau
penderitaan hebat, baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan
untuk memperoleh pengakuan atau keterangan darinya, atau dari
orang ketiga, atau untuk menghukumnya atas suatu perbuatan yang
telah atau diduga telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang ketiga.
Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk mengancam atau
memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi atas
alasan apapun.
E. Solusi optimal untuk memberantas kekerasan seksual
Kekerasan seksual tidak hanya menjadi masalah individu yang
bersangkutan, tidak lagi hanya sekadar masalah nasional tapi sudah
menjadi masalah global yang seharusnya mendapat perhatian serta
penanganan yang khusus dan serius. Seperti yang sudah dibahas
sebelumnya, banyak sekali kekerasan seksual yang terjadi dan masyarakat
tentunya tidak bisa menutup mata akan kemungkinan bahwa kekerasan
seksual akan terus dan banyak terjadi di masa selanjutnya. Sekali lagi,
kekerasan seksual bisa terjadi dimana saja, kapan saja dan kepada siapa
saja. Maka dari itulah pentingnya kita sebagai masyarakat untuk bersama-
12

sama mengawal setiap kasus kekerasan seksual, memastikan bahwa


korban mendapatkan kembali hak-haknya sebagai manusia yang utuh dan
memastikan pelaku mendapat hukuman yang setimpal. Solusi dalam
pencegahan serta penanggulangan kasus kekerasan seksual di masyarakat
haruslah mencakup upaya-upaya seperti di bawah ini:
1. Peningkatan kesadaran perempuan dan laki-laki dalam menjalani hak dan
kewajibannya sesuai hukum melalui pelatihan dan juga penyuluhan.
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat betapa pentinganya usaha dalam
menanggulangi kekerasan seksual dan pentingnya pendidikan seksual
3. Meningkatkan kesadaran penegak hukum agar cepat dan tanggap dalam
mengatasi kasus kekerasan seksual di masyarakat. Serta memastikan
bahwa korban mendapatkan haknya dan pelaku mendapatkan ganjaran
yang setimpal.
4. Memilih lingkaran pergaulan yang sehat dan segera menyingkir jika
merasakan tanda-tanda adanya kebiasaan hal-hal berbau seks menjadi
lelucon dan dianggap biasa oleh suatu lingkungan
5. Jangan menunjukkan respon kepada seorang yang melakukan pelecehan
seksual dengan cara yang sama serta cari dan mintalah perlindungan dari
orang lain yang dapat mengatasi pelaku pelecehan seksual.
3. KESIMPULAN
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina,
menyerang dan atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait nafsu
perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, secara
paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang dan atau tindakan lain yang
menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam
keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan atau
sebablain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan
terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya,
dan atau politik.
Kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan sering dianggap
hanya berkaitan dengan faktor pribadi saja, tidak ada hubungannya dengan
fenomena social dan budaya, namun kenyataannya kekerasan seksual pada
perempuan berkaitan dengan banyak hal yang dapat memberikan dampak
buruk bagi korban itu sendiri, keluarga, masyarakat dan negara. Dampak
buruk yang akan diterima oleh perempuan korban kekerasan seksual secara
langsung dan akan terjadi yaitu berkaitan dengan kesehatan perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan dapat beradampak pada kematian, upaya untuk
bunuh diri, dan terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu, kekerasan seksual yang
dialami oleh perempuan dapat pula berdampak pada gangguan kesehatan fisik,
kondisi kronis, gangguan mental, perilaku tidak sehat serta gangguan
13

kesehatan reproduksi. Dapat dikatakan bahwa kondisi kaum perempuan masih


sangat rentan menjadi korban berbagai jenis tindak kekerasan. Terlebih lagi,
pada zaman modern tingkat kekerasan justru semakin tinggi dan banyak orang
yang menganggap bahwa kasus tersebut merupakan hal yang biasa.
Perempuan sebagai makhluk yang seharusnya dihargai dan dilindungi, justru
menjadi objek dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekatnya.
Menciptakan ruang publik yang aman bagi penggunanya merupakan PR bagi
kita semua, masyarakat Indonesia. Karena tindakan kekerasan seksual tidak
pantas untuk dilakukan kepada siapapun terutama perempuan.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal:

Pasalbessy, J.H. 2010. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan


Anak Serta Solusinya. Jurnal Sasi. 16(3):11-12.
Sumera, M. 2013. Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan.
Lex et Societatis. 1(2):39-41.
Website:

Aditya, R. 2021. Pelecehan Seksual: Definisi dan Bentuk Tindakan dan


Pencegahannya. URL: https://www.suara.com/news/2021/06/11/133729. Diakses
tanggal 4 November 2021.
Admin IJRS. 2021. Menurut Masyarakat: Kekerasan Seksual itu Terjadi Karena
Salah Korban! URL: http://ijrs.or.id/menurut-masyarakat-kekerasan-seksual-itu-
terjadi-karena-salah-korban/. Diakses tanggal 25 November 2021.
Administrator Rifkaanisa. 2020. Perempuan Berhak Untuk Hidup Bahagia dan
Terbebas Dari Bayang Kekerasan: Langkah Hukum bagi Perdata Gugatan
Perceraian. URL: https://www.rifka-annisa.org/id/component/k2/item/735-.
Diakses tanggal 25 November 2021.
Ilmi Muis, A.D. 2021. Menyoal Kekerasan Seksual Dalam Pemahaman
Masyarakat. URL: https://kumparan.com/ahmad-dzul-ilmi-muis/menyoal-
kekerasan-seksual-dalam-pemahaman-masyarakat-1vqtKzEs3lZ. Diakses tanggal
25 November 2021.
Komnas Perempuan. 2020. 15 Bentuk Kekerasan Seksual. URL:
https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/
15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan. Diakses tanggal 4 November
2021.
Riki, A. dan Alaydrus, S.H. 2020. Rape Culture: Di Balik Pemakluman
Kekerasan Seksual. URL: https://suakaonline.com/rape-culture-di-balik-
pemakluman-kekerasan-seksual/. Diakses tanggal 25 November 2021.
14

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. 2018. 5 Cara Mengatasi Pelecehan


Seksual: Kita Perempuan, Kita Berani!. URL:
https://m.atmajaya.ac.id/web/Konten.aspx. Diakses tanggal 4 November 2021.

Anda mungkin juga menyukai