Moderasi Islam Di Tengah

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 31

MENGUSUNG MODERASI ISLAM DI TENGAH

MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Darlis
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu

Abstract:
In the context of diversity in all aspects, Indonesia is referred to as
one of the mulcultural nation. The advantages it has must be
maintained and addressed with full of wisdom, because
multicultural society is very span with conflict. In this article, the
authors answered these concerns by carrying Moderation of Islam
as a solution in a multicultural society. Through the philosophical
historical approach in the searching of Islamic literature and the
words of the Prophet and the behavior of Companions, it can be
concluded that Moderation of Islam crystallizes in all scientific
discipline in Islam, starting from aspect of aqidah, shariah, tafsir,
tasawuf and da'wah. The universal teachings implied from the
discipline of science above are justice, equality, balance, flexibility,
simplicity and tolerance in carrying out religious teachings that are
derived for human benefit.
Keywords: Moderation of Islam, Society, Multicultural, conflict.

Abstrak:
Dalam kontekstasi keragaman dalam segala aspek, Indonesia
ditasbihkan sebagai salah satu bangsa yang mulkultural.Kelebihan
yang dimilikinya harus dijaga dan disikapi dengan penuh kearifan,
karena masyarakat multikultural sangat rentang dengan konflik.
Dalam artikel ini, penulis menjawab kekhawatiran tersebut dengan
mengusung Moderasi Islam sebagai solusi di tengah masyarakat
multikultural. Melalui pendekatan historis filosofis dalam
penelusuran terhadap literatur keislaman maupun sabda nabi dan
226 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

perilaku sahabat, dapat disimpulkan bahw Moderasi Islam


mengkristal dalam seluruh disimplin keilmuan dalam Islam, mulai
dari aspek akidah, syariah, tafsir, tasawuf dan dakwah.Ajaran
universal yang tersirat dari disiplin keilmuan di atas adalah
keadilan, persamaan, keseimbangan, fleksibilitas, kemudahann dan
toleransi dalam menjalankan ajaran agama yang memang
diturunkan untuk kemaslahatan manusia.
Keywords: Moderasi Islam, Masyarakat, Multikultural, konflik.

PENDAHULUAN
Indonesia dengan keanekaragaman budaya, agama, suku,
bahasa yang dimilikinya mentasbihkan dirinya sebagai salah satu
bangsa yang memiliki masyarakat multikultural.Keanekaragaman
tersebut menjadi sebuah rahmat tersendiri baginya jika dapat
dikelolah dengan baik, bahkan menjadi keunikan dan kekuatan
tersendiri.Namun di saat bersamaan, realitas pluralitas demikian itu
juga dapat menjadi tantangan besar jika tidak disikapi dengan bijak
dan arif, bahkan juga dapat menjadi ancaman perpecahan dan
perseteruan yang dapat mengoyak keamanan sosial. Sebagaimana
dalam kontekstasi keberagamaan di Nusantara yang kerapkali
terjadi gesekan antara kelompok dengan kelompok yang lain yang
mana di antaranya disebabkan oleh perbedaan paham keagamaan
dan paradigma berpikir. Kelompok tersebut dapat dipetakan
menjadi kelompok eklusivisme dan kelompok yang lain adalah
liberalisme. Ekslusivisme adalah paradigma berfikir yang
cenderung tertutup terhadap keanekaragaman, sementara
liberalisme adalah sebaliknya, yaitu paham yang memperjuangkan
kebebasan di semua aspek.Kedua kelompok tersebut seringkali
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 227

memperlihatkan wajah Islam yang terkesan kurang bersahaja dan


berkerahmatan.1

Perseteruan kedua kubu yang sangat berlawanan tersebut


menjadi ancaman serius bagi tatanan sosial baik dalam konteks
regional, nasional bahkan internasional, lebih khusus lagi adalah
ancaman bagi kebhinekaan di tengah masyarakat yang mejemuk.
Dampak yang nyata dalam masyarakat akibat dari perseteruan
kedua kubu tersebut adalah sejumlah tindakan inteloransi yang
terjadi di tengah masyarakat. 2 Hujatan yang mengarah pada
anarkisme antara satu kelempok dengan kelompok yang lain, dan
sudah barangtentu rasa persatuan dan kesatuan tergoyak karena
perbedaan yang ada disikapi dengan cara yang kurang arif sehingga
terkadang tidak lagi menjadi rahmat tapi malah menjadi laknat.

Di tengah kondisi demikian itu, kehadiran moderasi Islam


diharapkan dapat memberikan solusi dengan karakter cara
beragama yang ditawarkan menjadi solusi. Moderasi Islam tidak
berarti bahwa posisi netral yang abu-abu sebagaimana yang sering
dialamatkan kepada term tersebut, tidak juga berarti bahwa
moderasi Islam diidentik dengan bias paradigm Barat yang
cendrung memperjuangkan kebebasan yang kebablsan, akan tetapi
moderasi Islam yang dimaksud adalah nilai-nilai universal seperti
keadilan, persamaan, kerahmatan, keseimbangan yang dimiliki oleh
agama Islam yang memiliki akar sejarah yang kuat dalam tradisi
Nabi dan Sahabat. Moderasi Islam seperti itu kemudian dapat
dijumpai dalam tiap disiplin keilmuan Islam, mulai dari aspek
akidah, syariah, tasawuf, tafsir hadis dan dakwah.

1
Darlis, Peran Pesantren As’adiyah dalam Membangun Moderasi Islam
di Tanah Bugis, Al-Misbah; Volume 12 Nomor 1, Januari-Juni 2016: 111-140.
2
https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2017/01/16/276/pada-
2016-intoleransi-meningkat.html diakses hari Kamis, 07 Desember 2017.
228 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

Dalam artikel ini, penulis meramu dan merangkum


penelusuran konsep mederasi Islam yang terekam dalam sejarah
Islam yang mengkristal dengan baik dalam tradisi keilmuan Islam
yang telah dilakukan oleh para pakar Ikatan Cendikiawan Alumni
Timur Tengah (ICATT) dalam sebuah buku yang berjudul
‚Kontruski Islam Moderat: Menguak Prinsip Rasionalitas,
Humanitas, dan Unviersalitas Islam‛. Penulis sendiri sebagai editor
dan kontributor sebuahh artikel dalam buku tersebut dengan tema
moderasi dalam penafsiran.

Dengan demikian, yang saya lakukan dalam artikel ini


adalah meramu ulang pokok pikiran yang ada dalam buku tersebut
dengan menambahkan analisis tambahan khususnya dalam
pentingnya Moderasi Islam konteks masyarakat multikultural.
Kajian ini adalah murni library research dengan analisis teks book
dengan pendekatan historis dan filosofis.

Tulisan ini bertujuan untuk menyebarluaskan paham


moderasi Islam yang berkerahmatan di tengah masyarakat
multicultural. Selain itu, diharapkan dengan Moderasi Islam
masyarakat semakin dewasa untuk menerima dan mengakui bahwa
perbedaan itu adalah sebuah kemestian yang harus dirawat dengan
baik di tengah masyarakat multikultural.

EKSTRIMISME; ANCAMAN MASYARAKAT


MULTIKULTURAL

Bentuk ektrimiseme dewasa ini terjewantahkan dalam


dua bentuk yang berlebihan. Dua kutub yang saling berlawanan.
Satu pada kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama.
Memamahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh
penggunaan akal. Sementara dipihak yang lain justru
sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 229

ajaran Islam. Kebebasan tersebut tampak pada penggunaan akal


yang sangat berlebihan, sehingga menempatkan akal sebagai
tolak ukur kebenaran sebuah ajaran. Kelompok yang
memberikan porsi berlebihan pada teks, namun menutup mata
dari perkembangan realitas cenderung menghasilkan
pemahaman yang tekstual.Semangat penerapan hukum-hukum
agama dalam kondisi apapun sangat besar sekali. Apa yang
tertera dalam teks (Alquran dan Hadist) harus aplikasikan
dalam dewasa ini, sebagai bentuk ittiba’ kepada orang salaf
(Rasulullah, sahabat, dan tabiin), meski dalam kondisi tertentu
kurang mengapresiasi realitas sosial kemasyarakatan yang ada.
Sebaliknya, ada sebagian kelompok terlalu memberikan porsi
lebih pada akal atau realitas dalam memahami sebuah
permasalahan.Sehingga, dalam pengambilan sebuah keputusan,
kelompok ini justru sangat menekankan pada realitas dan
memberikan ruang yang bebas terhadap akal.Yang terjadi
adalah sebaliknya, kelompok ini sangat konstekstual dan
terkadang kurang mempertimbangkan otoritas teks.Keduanya
hadir pada posisi berlebihan.
Pengaruh dua kecenderungan pemahaman di atas pun
berdampak luar biasa pada cara beragama umat Islam dewasa
ini. Munculnya gerakan-gerakan anarkis dan ekstrim di
Nusantara, misalnya pengeboman, bunuh diri dan selainnya,
selain disebabkan oleh alasan politik-ekonomi, juga
dipengaruhi oleh cara pandang yang sangat tekstual terhadap
Alquran dan Hadist. Sebaliknya, kebebasan akal yang
berlebihan dan tanpa batas acapkali berujung pada penabrakan
teks-teks yang Qat’i, yang pada akhirnya dengan gegabah
menawarkan pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan
pemahaman yang sudah mapan. Bahkan terkadang mencoba
mengotak-atik ajaran-ajaran fundamental yang bersifat
230 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

ta’abbudi (Ilahi) dengan dalih asas kebebasan dan


kemanusiaan.
Ilustrasi di atas menandaskan bahwa kedua cara pandang
tersebut sama-sama berada pada titik ekstrim dan over.
Dampaknya pun sama-sama ekstrim; kelompok pertama bentuk
ekstrimnya nampak dan nyata dalam gerakan yang berujung
pada anarkisme yang menganggu kenyamanan masyarakat
bahkan stabilitas keamanan nasional. Di sisi lain, kelompok
overkontekstual, berada pada bentuk ektrim yang lain. Ia lebih
lembut, namun tak kalah besar pengaruhnya dalam masyarakat.
Karena dapat mengaburkan ajaran-ajaran agama yang sangat
mendasar, yang absolut kemudian berubah menjadi relatif.
Tidak ada kemudian ulama dan institusi yang dipercaya bisa
mengeluarkan fatwa. Semuanya bebas berijtihad tanpa
mempersoalkan background pendidikannya.
Dengan demikian, kedua cara pandang beragama di atas
kurang ideal, khususnya dalam konteks keindonesaan.
Alasannya sangat sederhana, Islam adalah agama rahmat
seluruh alam semesta. Agama rahmat tidak berada pada titik
ekstrim dan over (berlebihan: tatharruf). Islam selalu hadir
dengan solusi representatif yang dapat diterima oleh akal sehat
dan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah.

MENEMUKAN JEJAK MODERASI ISLAM

Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-


wasathiyah.Dalam Alquran merupakan kata yang terekam dari
QS.al-Baqarah: 143. Kata al-Wasath dalam ayat tersebut,
bermakana terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis yang sangat
populer juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang
berada di tengah-tengah. Dalam artian dalam melihat dan
menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 231

pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, begitupula


dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun
mazhab, Islam moderat selalu mengedepankan sikap toleransi,
saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan
masing-masing agama dan mazhab. Sehingga semua dapat
menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat
dalam aksi yang anarkis.

Moderasi adalah ajaran inti agama Islam. Islam moderat


adalah paham keagamaan yang sangat relevan dalam konteks
keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat istiadat, suku
dan bangsa itu sendiri.Tak pelak lagi, ragam pemahaman
keagamaan adalah sebuah fakta sejarah dalam Islam. Keragaman
tersebut, salah satunya, disebabkan oleh dialektika antara teks dan
realitas itu sendiri, dan cara pandang terhadap posisi akal dan
wahyu dalam menyelesaikan satu masalah. Konsekuensi logis dari
kenyataan tersebut adalah munculnya terma-terma yang mengikut
di belakang kata Islam. Sebut misalanya, Islam Fundamental, Islam
Liberal, Islam Progresif, Islam Moderat, dan masih banyak label
yang lain.

Islam pada dasarnya adalah agama universal, tidak


terkotak-kotak oleh label tertentu, hanya saja, cara pemahaman
terhadap agama Islam itu kemudian menghasilkan terma seperti di
atas. Diterima atau tidak, itulah fakta yang ada dewasa ini yang
mempunyai akar sejarah yang kuat dalam khazanah Islam. Fakta
sejarah menyatakan bahwa embrio keberagamaan tersebut sudah
ada sejak era Rasulullah, yang kemudian semakin berkembang pada
era sahabat, terlebih khusus pada era Umar bin Khattab. Ia kerap
kali berbeda pandangan dengan sahabat-sahabat yang lain, bahkan
mengeluarkan ijtihad yang secara sepintas bertentangan dengan
keputusan hukum yang ditetapkan oleh Rasululullah Saw sendiri.
232 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

Sebutlah misalnya, tidak membagikan harta rampasan kepada umat


Islam demi kemaslahatan umum (negara), yang jelas-jelas
sebelumnya dibagikan oleh Rasulullah melalui perintah teks
Alquran (QS. Al-Anfal: 41).

Oleh karena itu, paham Islam Moderat merupakan ajaran


yang mesti dibumikan di Nusantara. Ia sangat representatif
memberikan jawaban dan solusi terhadap seluruh permasalahan
yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Ia tidak terlalu ekstrim ke
kanan, dalam hal ini overtekstual, tapi juga tidak terlalu ekstrim ke
kiri, dalam artian overkonstekstual. Islam moderat selalu
mengedepankan keseimbangan antara teks dan konteks, antara
wahyu dan akal.Karena keduanya adalah kebenaran yang
bersumber dari Tuhan. Mengabaikan salah satunya berarti
meninggalkan sebagian kebenaran Tuhan.

Maka dari itu, pemahaman yang moderat di atas menjadi


sebuah kemestian, apalagi dalam konteks keindonesiaan yang
sangat mejemuk.Pemahaman yang berada di tengah-tengah
sebenarnya menjadi esensi agama Islam itu sendiri. Dalam
sejarahnya, agama Islam datang sebagai penyeimbang agama-
agama sebelumnya; agama Yahudi dan Nasrani.Agama Yahudi
berada pada titik yang sangat keras, sebaliknya agama Nasrani
berada pada titik yang sangat lembek. Dalam kasus qisas, agama
Yahudi menyatakan jika seorang ditampar sekali, maka dia harus
membalas dua kali tamparan. Sebaliknya dalam agama Kristen,
jika seorang ditampar pipi kanannya maka iadianjurkan
memberikan pipi kirinya untuk ditampar lagi. Beda halnya dalam
Islam, kasus qisas, misalnya membunuh seorang maka dia juga
harus dibunuh sebagai qisas (balasan), tapi memaafkan pelaku
adalah sikap yang lebih baik. Demikian bentuk kemoderatan Islam.

MODERASI ISLAM DALAM BERBAGAI PERSPEKTIF


Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 233

Kemoderatan Islam tersebut kemudian terekam juga dalam


berbagai disiplin ilmu; akidah, fiqh, tafsir, pemikiran, tasawuf dan
dakwah.

1. Moderasi Akidah Islam

Dalam ilmu akidah (teologi), Islam Moderat direpsentasikan


oleh aliran al-Asy’ariyah.Aliran yang menengahi antara Muktazilah
yang sangat rasional dengan Salafiah dan Hanabilah yang sangat
tekstual. Keduanya sama-sama berada pada titik ‚ekstrim‛.
Muktazilah dianggap ekstrim dalam memosisikan akal di atas
segalanya. Dalam pengambilan kesimpulan banyak menggunakan
premis-premis demonstrative yang bersifat logis. Sebaliknya, kaum
Salafiah dan Hanabilah berada pada titik yang berseberangan.
Mengutamakan teks dan seringkali dalam beberapa kasus dia
mengabaikan penggunaakan akal dalam memahami teks tersebut.
Akibat dari keduanya sama-sama kurang mewakili dan
menggambarkan ajaran Islam yang selam ini dikenal dengan penuh
keseimmbangan. Rasionalitas yang berlebihan acapkali
mengaburkan kejernihan akidah Islam, sebaliknya tekstualitas yang
berlebihan bisa saja menyebabkan kejumudan dalam berijtihad.

Bentuk moderasi aliran kalam Asy’ariyah dapat dilihat dalam


beberapa pandangannya terkait dengan persoalan dan perdebatan
teologis.Misalnya perdebatan isu ‚kalamullah‛ dalam pada itu,
tejewantahkan dalam perdebatan hakekat Al-Quran antara
kelompok Hanabilah dan Muktazilah. Kelompok Hanabilah
menyatakan dengan tegas bahwa Alquran adalah bukan makhluk, ia
adalah qadim dan azali. Sementara Muktazilah menyatakan bahwa
Alquran adalah makhluk3 karena ia tersusun dari suara dan huruf
yang dibaca yang notabene sudah terjadi proses transmisi dan

3
Mustafa Syuk’ah, Al-Islam bila Madzahib, tth. h. 448.
234 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

adaptasi dengan karya karsa manusia. 4 Perdebatan yang panjang


antar kelompok tersebut menyebabkan fitnah bagi umat Islam.
Dalam sejarahnya, Ahamd bin Hanbal diperjara oleh pemerintah
yang didominasi oleh para penganut muktazilah, dengan asumsi
bahwa dia menentang pemerintah atas pendapatnya tentang
Alquran yang berlainan dengan muktazilah.

Dalam perdebatan tersebut, aliran kalam Asy’ariyah tampil


sebagai aliran poros tengah dengan menyatakan bahwa Allah Swt.
memiliki dua aspek kalam, yaitu kalam nafsi dan kalam lafzi.
Kalam nafsi hekekatnya qadim dan azali sementara kalam lafzi
baru dan tidak qadim. Dalam konteks Alquran, menurut paham
Asy’ariyah, bahwa Alquran memiliki dua sisi; yaitu satu sisi adalah
kalam nafsi yaitu makna di balik teks dan inilah yang qadim.
Sementara yang Alquran yang berbentuk huruf yang tertulis di atas
kertas bersifat lafzi yang tidak qadim.

Pandangan Asy’ariyah tentang hekakat kaluamullah dapat


menengahi perseteruan antara pandangan Hanabilah yang tekstual
dan Muktazilah yang sangat rasional yang mengatakan bahwa Al-
Quran adalah makhluk.Begitupun dalam isu-isu teoogis lainnya
seperti perbuatan manusia (af’alul ibad).Perdebatan terjadi antara
kaum Jabariyah dan Muktazilah. Kaum Jabariyah menyatakan
bahwa manusia tidak menciptakan perbuatannya sendiri. Ia
bagaikan robot yang dikontrol secara total oleh Allah. Sementara
Muktazilah meyakini bahwa manuusia menciptakan perbuatan-
perbuatannya yang bersifat ikhtiyariyah. Dalam pandangan
asy’ariyah bahwa manusia tidak menciptakan perbuatan-
perbuatannya, namun perbuatan itu adalah sesuatu yang terjadi
atas kudrat Allah. Hanya saja, manusia memiliki peranan dalam

4
Salah Abu As-Sa’ud, Al-Mu’tazilah; Nasyatuhu, Firaquhum, Arauhum
al-Fikriyah, (Al-Jazirah: Makbtabah al-Nafidzah, 2004), h. 60.
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 235

penciptaan perbuatan tersebut yang kemudian dikenal dengan


isitalah al-kasb.Teori al-Kasb ini yang menjadi pembeda bagi
Asy’ariyah yang menengahi antara jabariyah dan muktazilah-
qadariyah. Teori al-kasb memberikan peranan manusia dan
menafikan bahwak manusia bagaikan robot, manusia tetap
memiliki andil dalam tiap perbuatannya, sehingga konsekuensinya
adalah manusia tetap harus bertanggungjawab atas segala
perbuatannya. Ia dapat mendapat siksaan atau pahala.5

Selain itu, moderasi Asy’ariyah juga tampak dalam persoalan


sifat-sifat khabariyah. Asy’ariyah memiliki pandangan sebagai
penengah antara kalangan al-musyabbihah yang telah melampai
batas dalam memahami makna literal sebuah nash, seperti kata al-
istiwa, yadayn, al-wajhu dengan makna zahir. Di pihak lain adalah
muktazilah yang menafikan sifat-sifat khabariyah bagi Allah.
Masih menurut muktazilah, dengan pengakuan adanya sifat bagi
Allah akan mengantarkan kepada kesimpulan adanya banyak zat
yang qadim. Karena baginya sifat itu adalah zat Allah yang
terpisahkan. Sehingga mustahil Allah memiliki sifat seperti
itu.Dalam konteks ini, Asy’riyah menyatakan bahwa Allah
memiliki sifat tapi tidak seperti pemahaman kaum Al-musyabbihah
yang memahami sifat itu dengan pemahaman zahiriyah, tapi
penetapan sifat bagi Allah yang layak bagi-Nya tanpa harus
mempertanyakan kaifiyahnya.6

Dalam persoalan pelaku dosa besar, juga Asy’ari mengambil


posisi tengah antara murjiah dan khawarij. Dalam pandangan
murjiah bahwa pelaku dosa besar atau perbuatan maksiat tidak
sama sekali mempengaruhi hakekat keimanan. Iman menurutnya
adalah persoalan hati yang tidak terpengaruh oleh perbuatan

5
Mustafa Syuk’ah, Al-Islam bila Madzahib, tth. h.488.
6
Ibn ‘Asakir, Tabyin Kadzb al-Muftary, h. 150-151.
236 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

manusia secara lahir. Akibatnya, orang yang melakukan dosa tidak


mengubah statusnya dari beriman menjadi tidak beriman. Masih
menurut murjiah, pelaku dosa besar hanya akan tinggal sementara
di neraka kemudian akan masuk kekal di surga. Sementara khawarij
mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah kafir atau tidak
beriman. Konsep iman bagi khawarij adalah dapat diukur melalui
perbuatan lahir dari manusia. Dalam kontek peredebatan yang
sama, kaum muktazilah juga berpandangan bahwa pelaku dosa
besar berada pada dua posisi, antara keimanan dan kekafiran.
Akibatnya, kalau ia meninggal dunia sebelum bertaubat, maka ia
akan masuk neraka selamanya.

Sementara Asy’ari berpendapat bahwa ‚sesungguhnya pelaku


dosa besar adalah orang mukmin yang berdoa, bila ia meinggal
dunia sebelum bertaubat, maka statusnya akan diserahkan kepada
Allah, bila Allah memaafkannya maka ia akan bebas, dan apabila
Allah menghendaki maka ia aka disiksa.7

2. Moderasi Hukum Islam

Begitupula dalam ilmu hukum, kemoderatan Islam pun harus


digalakkan. Dalam hal ini, dialektika antara teks dan realitas selalu
berjalan lurus dalam mengeluarkan sebuah hukum, karena maksud
Tuhan yang tertuang dalam Alquran dan Hadis tak pernah
bersebrangan dengan kemaslahatan umat manusia. Hasil ijtihad
para ulama fuqaha yang melihirkan sebuah hukum sejatinya tetap
harus memerhatikan prinsip al-murunah, fleksibilitas. Karena pada
hekakatnya tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah hukum senantiasa
lahir dari pergumulan sosial kemasyarakatan yang sangat dinamis.
Konsekuensi logis dari fakta ini adalah sebuah hukum bisa saja

7
Ibn ‘Asakir, Tabyin Kadzb al-Muftary, h. 150-151
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 237

berubah dengan berubahnya konteks kemasyarakatan dimana


hukum itu hendak diaplikasikan.

Konsep seperti ini dibahasakan oleh Yusuf Al-Qaradawi


sebagai fiqh al-taisir, sebuah pemahaman fiqh yang memberikan
kemudahan. Fiqh al-taisir inilah yang menjadi icon besar bagi
mederasi Islam yang hendak dikampanyekan, kerena ia
memposisikan hukum Islam sebagai hukum yang bertujuan
mendidik manusia, bukan untuk menyiksanya. Hukum inii pula
menyatakan bahwa ketika manusia mengalami kesulitan, kendala
dalam menjalankan pesan hukum, maka ia harus diberikan
kemudahan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Ini tidak
berarti bahwa teks harus tunduk pada hawa nafsu manusia, juga
tidak berarti bahwa hukum dengan enaknya di otak atik oleh
penafisaran manusia, melainkan bahwa konsep ini memberikan
pilihan kepada manusia untuk melaksanakan hukum yang paling
mudah dari hukum yang ada. Pemikiran seperti bukan hal yang
baru dalam Islam, tapi justru pemahaman tersebut lahir dari hasil
perenungan dari sekian banyak fakta dalam Alquran, hadis dan
kaedah fiqhiyah yang menghendaki kemudahan bagi manusia.
Dalam Alquran misalanya Allah berfirman yang terjemahannya:

‚Allah mengehendaki kemudahan bagimu, dan tidak


menghendaki kesukaran bagimu.Dan Hendaklah kamu
mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengangungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.8

Dalam ayat lain juga disinyalir penting kemudahan hukum bagi


manusia itu sendiri, seperti dalam Alquran yang artinya ‚Allah

8
QS. Al-Baqarah: 185
238 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

tidak hendak menyulitakan kamu…‛ 9 dan ‚Allah hendak


memberikan keringanan kepadamu, dan manusia diciptakan
bersfiat lemah.‛ 10 Begitupun dalam hadis nabi dijelaskan bahwa
agama Islam adalah agama yang memberikan kemudahan dan
penuh kasih sayang. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah:

‚ Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak seorangpun yang


melaksanakan agama ini dengan keras dan ketat, kecuali akan
dikalahkan olehnya. Carilah kebenaran, saling mendekatlah,
saling memberi kabar gembiralah, mundahkanlah.Ambillah
sedikit kemudahan, kelapangan dan sedikit kelembutan.‛11

Perketaan Rasulullah di atas sejalan dengan tindakan praktis


baginda Rasulullah Muhammad Saw.sebagaiman yang direkam
oleh Aisyah, istrinya, bahwa Rasulullah selalu memilih perkara
yang mudah dari dua perkara yang ditawarkan kepadanya.

Berdasarkan sejumlah keterangan di atas, maka semakin jelas


bahwa hukum Islam sangat moderat, dalam artian bahwa tidak
menyulitkan dan mengandung prinsip flekesibilitas dalam
penerapannya. Untuk lebih lengkapnya maka perlu diuraikan lebih
lanjut karakteristik moderasi hukum Islam sehingga tidak
disalahpahami oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab.Sebagiaman yang dirumuskan oleh Muhammad Rauf Amin
bahwa karakteristik moderasi hukum Islam dapat dipetakan dalam
tiga karakter.

Pertama, subatansialisasi teks atau hukum

9
QS. AL-Maidah: 159
10
QS. Al-Nisa: 28
11
Muhammad Ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, Al-Jami al-
Shagir al-Mukhtasar, juz. I, cet. III, (Bairut: Dar ibn Katsir, 1987), h. 23
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 239

Yang dimaksud dengan subtansialisasi teks adalah adanya


kesadaran dan pengakuan bahwa dibalik sebuah teks atau hukum
ada tujuan hukum (maqsad) yang menjadi pesan utama bagi
manusia. Bagi seorang mujtahid atau para fuqaha sejatinya
senantiasa memerhatikan tujuan hukum itu dalam tiap menelorkan
sebuah hukum dari teks.Ia harus menyelami makna yang terdalam
di balik teks atau ayat tertentu. Ia tidak boleh hanya memahami
secara sepintas dan jumud pada permukaan teks. Memahami
maksud atau tujuan hukum itu adalah hal yang sangat mendasar
yang perlu dihadirkan sebagai sesuatu yang paling penting dari
sekedar pemahaman lahir.

Masih menurut Rauf Amin, bahwa isu subtansialisasi adalah


bukan hal baru dalam pengkajian hukum Islam, tapi justru
merupakan fakta sejarah dalam tradisi nabi dan sahabat.Salah satu
peristiwa penting dalam sejarah adalah kasus di Bani Quraidzah.
Hadis nabi mengatakann ‚Laa yusalliyanna Ahadukum al-Ashra
illa fi bani Quraidzah‛ yang artinya bahwa ‚janganlah salah satu
dari kalian salat Ashar kecuali di Bani Quraidzah‛. Dalam
peritstiwa tersebut sahabat terbagi menjadi dua. Kelompok
pertama benar-benar mengikuti perintah nabi secara tekstual
bahwa tidak shalat Ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani
Quraidzah sebagaimana bunyi teks hadis secara lahir. Sementara
kelompok yang lain melaksanakan salat Ashar di daerah sebelum
Bani Quraidzah karena waktu Ashar sudah hampir habis.
Kelompok kedua ini juga memahami bahwa hadis nabi di atas
bukan larangan mutlak salat Ashar kecuali di Bani Quraidzah
melainkan lebih pada ancuran untuk bergegas dalam perjalanan
sehingga bisa salat Ashar di Bani Quraidzah. Itulah subtansi dari
hadis itu.
240 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

Kejadian tersebut sampai di telinga Rasulullah.Kedua


kelompok menghadap untuk mendapatkan pembenaran. Kelompok
yang pertama yang memahami secara tekstual dan melakukan salat
setelah sampai di Bani Quraidzah dibenarkan oleh Rasul.
Begitupun dengan kelompok yang kedua yang memahami secara
subtansial pesan di balik teks juga mendapat apresisasi dari Rasul.
Pada konteks ini dapat disimpulkan bahwa isu subtansialisasi teks
sangat kuat landasannya dalam sejarah kenabian dan sahabat.
Bahkan sejumlah peristiwa dalam sejarah nabi dan sahabat
menunjukkan bahwa pemahaman secara subtansial terhadap sebuah
teks Al-Quran maupun Hadis sangat dominan dan diapresiasi baik
Rasulullah Muhammad maupun sahabatnya, khususnya Umar bin
al-Khattab.

Kedua, kontekstualisasi

Karakter yang kedua adalah kontekstualisasi teks atau


hukum. Jika yang subtansialisasi melacak tujuan hukum di balik
teks, maka karakter yang kedua ini lebih pada upaya melacak
historitas teks (unsure kesejarahan sebuah teks) yang
melingkupinya yang pada gilirannya memberi pengaruh pada
lahirnya sebuah hukum. Teori ini berasumsi bahwa sebauh hukum
boleh jadi ditetapkan oleh Allah atau Nabi dikarenakan oleh sebauh
kondisi atau keadaan yang menghendaki adanya hukum tersebut.
Dalam artian bahwa bila kondisi yang menjadi pengaruh lahirnya
teks tersebut berubah atau tidak ada lagi, maka seharusnya hukum
yang dilahirkan dari sebuah teks tersebut juga berubah atau
digantikan oleh hukum yang lain. Dengan demikian, teori
kontektualisasi ini sangat penting untuk dipahami oleh semua
pakar hukum sebelum melahirkan sebuah produk hukum dalam
masyarakat. Seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang
sejarah teks (asbabul nuzul dan asbabul wurud) yang mendalam,
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 241

serta pemahaman terhadap konteks masyarakat modern yang mana


merupakan tujuan hukum yang hendak diaplikasikan. Dalam pada
itu, syeikh Ali Jum’ah dalam beberapa tulisan dan ceramahnya
senantiasa menegaskan bahwa seorang ahli agama tidaklah cukup
hanya menguasai ilmu-ilmu agama berupa bahasa Arab, ushul fiqh,
ushul hadis, tafsir dan ushul tafsir saja, tapi lebih pada itu juga
dituntut untuk memaham ilmu-ilmu humaniora seperti sosiologi,
antropologi, psikologi dll.

Salah satu contoh kontekstualiasasi teks adalah larangan


wanita bepergian danpa maharam.Dalam hadis ditegaskan ‚laa
tusaafirul mar’atu illa ma’a dzii mahraimin‛ yang artinya bahwa
seorang perempuan tidak boleh bepergian tanpa ditemani mahram.
Melalui hadis ini pula sejumlah pendapat ulama yang melarang
perempuan melakukan perjalanan secara mutlak tanpa ditemani
oleh keluarga (maharam). Pendapat ini dapat dimakulumi bahwa
dalam hadis di atas memang sangat tegas melarang. Namun
pertanyaannya adalah bagaimana konteks yang melingkupi
lahirnya teks hadis tersebut? di sinilah peran teori kontektualisasi.
Teori ini tidak serta merta memahami hadis tersebut dan
mengaplikasikannya secara serampangan. Tapi harus menganalisa
konteks sejarah ketika hadis itu diucapkan oleh Rasul.Melalui
penelusuran sejarah kemudian ditemukan kesimpulan bahwa
konteks sejarah perempuan ketika hadis itu lahir adalah kondisi
yang tidak aman.Maka sangatlah wajar dan tepat jika kemudian
Nabi melarang perempuan keluar rumah (melakukan perjalanan)
tanpa ditemani oleh seorang mahram.Ini tentu sangat menghargai
dan menjaga perempuan dari segala gangguan. Tanpa dalam
konteks modern ini, dengan perkembangan tekhnologi yang begitu
canggih, maka kekhawatiran dari segala gangguan sudah tidak ada
lagi seperti yang dulu. Maka larangan untuk bepergian tanpa
mahram pun juga dapat dipahami dalam bentuk yang berbeda.Atau
242 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

lahir sebuah hukum yang berbeda dengan berubahnya konteks yang


ada. Sehingga perempuan yang ingin berangkat ke satu tempat
(selama merasa aman: pen) tidak perlu dikawal oleh seorang
mahram.12 Intinya bahwa teori kontekstualisasi hukum berangkat
dari sebuah konsep bahwa ada sejumlah hukum yang dibangun oleh
Rasulullah berdasarkan konteks zaman yang melingkupinya.
Sehingga jika konteks itu berubah seperti zaman sekarang ini,
maka tidak ada halangan untuk meninjau kembali hukum lama dan
menggantikannya dengan hukum baru yang lebih baik dan
bermaslahat bagi umat manusia.Hukum lahir untuk kepentingan
dan kemaslahatan manusia dalam mengatur segala bentuk tindakan
demi kebaikan dunia dan akhirat.

Ketiga, rasionalisasi teks

Karakter yang ketiga ini juga sangat penting untuk diketahui


oleh seluruh pakar hukum dan mujtahid. Rasionalisasi teks
bermakna bahwa tiap teks hukum memiliki illat yang merupakan
dasar dan sebab adanya sebuah hukum. Proses rasionalisasi itu
sendiri adalah upaya untuk melacak dan menentukan faktor-faktor
yang mempengaruhi ada atau tidak adanya sebuah hukum yang
terkandung dalam sebuah teks. Dalam bahasa lain para pakar sering
memaknainya dengan kata illat hukum. Illat hukum berbeda
dengan hikmah sebuah hukum yang justru dipahami sebagai
padanan arti subtansialisasi. Untuk membedakan keduanya akan
dilihat dalam sebuah contoh konkrit, yaitu kebolehan untuk
melakukan jama dan qashar bagi musafir. Jama dan qashar itu
dibolehkan bagi musafir karena adanya kesulitan (masyaqqah) yang
terkadung dalam perjalanan. Dalam analisa kasus ini dapat dilihat
dengan dua pandangan.Mengaitkan adanya keringanan jama dan

12
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqasid al-Syariah, (Kairo: Dar
al-Syuruq, 2006), h. 166.
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 243

qashar karena perjalanan berarti yang terjadi adalah rasionalisasi,


sementara jika jama dan qashar itu dihubungkan dengan adanya
kesulitan (masyaqqah) maka yang terjadi adalah subtansialisasi. 13

3. Moderasi Penafsiran

Hal yang sama juga terjadi dalam tafsir, seorang penafsir


harus mampu melahirkan produk tafsir yang moderat dan
berkerahmatan. Tafsir moderat yang berkerahmatan yang dimaksud
adalah produk tafsir yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman yang
tetap memerhatikan kondisi sosial kemasyarakatan di nusantara
yang sangat majemuk dan hitrogen. Tafsir yang tidak hanya
mengcover satu kepentingan saja, tapi lebih pada produk tafsir
yang dapat membawa rahmat bagi seluruh masyarakat Indonesia,
tanpa melihat dari suku dan agama. Karena pada hakekatnya, Islam
datang bukan hanya untuk umat islam saja, tapi untuk seluruh
manusia.

Untuk melahirkan produk tafsir yang moderat seperti yang


digambarkan di atas mengharuskan adanya pembaharuan (tajdid)
dalam penafsiran, baik dalam aspek metodologi maupun aspek
tema yang sesuai dengan konteks masyarakat Indonesia. Dalam
poin ini, seorang mufassir selain harus menguasai ilmu-ilmu wajib
terkait dengan penfasiran, seperti bahasa Arab, asbab nuzul, ushul
tafsir dan ilmu Alquran juga dituntut memiliki wawasan dan
keilmuan yang terkait dengan fenomena sosial yang terjadi di
masyarakat nusantara. Hanya dengan itu, produk tafsir yang
dilahirkan para mufassir dapat memberikan sumbangsih nyata
terhadap persoalan kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat
modern, khususnya di Nusantara.
13
Abd. Rauf Amin, Moderasi dalam Tradisi Pakar Hukum
Islam(Wacana dan Karakteristik) dalam Kontruksi Islam Moderat, (Yokyakarta:
ICATT Press, 2012), h. 73-77.
244 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

Dalam konteks metodologis, sejumlah tawaran metodologis


dari para pakar tafsir dan Alquran terkait dengan paradigm baru
dalam penafsiran Alquran. Di antaranya adalah paradigm double
movemet (gerakan ganda) Fazlul Rahman. Teori ini mengharuskan
para pengkaji Alquran pertama kali melacak aspek kesejarahan
sebuah ayat dan menemukan nilai universal ayat yang kemudian
gerakan selanjutnya dalah upaya untuk mengaplikasikan nilai
tersebut dalam konteks modern. Selain Fazlul Rahman juga
Abdullah Saeed dikenal sebagai tokoh yang sangat getol
mempopulerkan paradigm tafsir kontektual. Paradigma penfsiran
kontektual yang didimaksud hampir senanda dengan teori double
movement oleh Fazlul Rahma bahwa seorang mufasirr harus
memiliki kemampuan untuk menyelami pesan yang terdalam dari
sebuah teks, tidak hanya sebatas pemahaman lahiriah saja, yang
kemudian mencoba untuk mengkontekskan dalam dunia modern
yang penuh dengan persoalan-persoalan yang baru dan dinamis.
Terakhir adalah paradigm tafsir maqashidi. Paradigma ini juga
banyak dipopulerkan oleh ulama ushul Fiqh yang memiliki
kepakaran dalam maqashid syariah, di antaranya adalah As-Syatibi,
Ibn Asyur, dan yang masih hidup Jasser Auda. Tafsir Maqashidi.

Menurut Wasfi ‘Asyur, al-tafsir al-maqashid adalah salah


satu corak tafsir yang pemaknannya mengarah pada visi Alquran,
baik universal maupun parsial, yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. 14 Al-Atrash dan Abd Khalid memandang
tafsir maqasidi sebagai salah satu bentuk penafsiran yang
dilakukan dengan cara menggali makna yang tersirat dalam lafaz-

14
Wasfi ‘Asyur Abu Zaid, at-Tafsir al-Maqashid li Suwar al-Qur’an al-
Karim, h. 7. Makalah disampaikan pada seminar yang diselenggarakan oleh
Fakultas Usuluddin Universitas al-Amir ‘Abd al-Qadir Aljazair pada tanggal 4-5
Desember 2013, dengan tema “Fahm al-Qur’an bain an-Nash wa al-Waqi’.
Diunduh dari www.alukah.net pada hari selasa, 11 April 201, pukul 10.16
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 245

lafaz Alquran dengan mempertimbangkan tujuan yang terkandung


di dalamnya. 15 Sedangkan menurut Jaser Auda secara sederhana
mengatakan bahwa tafsir maqasidi adalah tafsir yang
mempertimbangkan faktor maqasid yang berdasar pada persepsi
bahwa Alquran merupakan suatu keseluruhan yang menyatu.
Sehingga sejumlah kecil ayat yang berhubungan dengan hukum
akan meluas dari beberapa ratus ayat menjadi seluruh teks Alquran.
Surah dan ayat Alquran yang membahas tentang keimanan, kisah
para Nabi, kehidupan akhirat dan alam semesta, seluruhnya
menjadi bagian dari sebuah gambaran utuh.16

Konsepsi dan ide maqasid dalam bentuknya yang sederhana


telah diterapkan dimasa awal Islam.Sahabat Nabi, seperti Umar ibn
al-Khattab, tidak selalu menerapkan ‘dalalah lafal’ (dilalah al-lafz)
dalam istilah para pakar usul fikih, yaitu implikasi langsung dari
suatu bunyi bahasa atau nas, tetapi sahabat juga tidak jarang
menerapkan implikasi praktis, yang dikenal dengan istilah ‘dalalah
maksud’ (dilalah al-maqashid). Implikasi tujuan ini memungkinkan
fleksibilitas yang lebih besar dalam memahami teks (nash) dan
meletakkannya sesuai konteks situasi dan kondisi. 17

4. Moderasi Pemikiran Islam

Sementara, sisi kemoderatan dalam pemikiran Islam adalah


mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan. Keterbukaan
menerima keberagamaan (red:inklusivisme). Baik beragam dalam
mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak
menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan.

15
Radwan Jamal el-Atrash dan Nahswan Abdo Khalid Qaid, al-Jazur al-
Tarikhiyyah li al-Tafsir al-Maqashidi li al-Qur’an al-Karim, Majallah al-Islam fi
Asiya no. 1 (Malaysia: UII, 2011), h. 220.
16
Jaser Auda, h.299
17
Ibid. h.44
246 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

Meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus


melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah
persaudaraan dan persatuan anatar agama, sebagaimana yang
pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah Saw.

Menurut Alwi Shihab bahwa konsep islam inklusif adalah


tidak hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan masyarakat,
tapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif
terhadap kenyataan tersebut. 18 Dalam artian bahwa sikap
inklusivisme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah
memberikan ruang bagi keragaman pemikiran, pemahaman dan
perpsepsi keislaman. Bahkkan paham ini menganggap kebenaran
tidak hanya terdapat dalam satu kelompok saja, melainkan juga ada
pada kelompok yang lain, termasuk kelompok agam
sekalipun.Pemahaman ini berangkat dari sebuah keyakinan bahwa
pada dasarnya semua agama membawa ajaran kesalamatan.
Perbedaan dari satu agama yang dibawah seorang nabi dari
generasi ke generasi hanyalah syariat saja.

Dengan berangkat dari paradigm seperti di atas, maka pada


gilirannya akan membuka interaksi positif dan dialog antar agama-
agama. Baik muslim maupun agama yang lainnya berkewajiban
untuk menegakan syariat agama masing-masing. Dengan adanya
sifat terbuka seperti itu, akan melahirkan keharmonisan di tengah
masyarakat sehingga tiap orang melibatkan diri dalam bentuk sikap
toleransi terhadap perbedaan keyakinan, serta menghindarkan diri
dari sikap membenarkan diri sendiri dan secara ekstrem
menyalahkan orang lain.19

18
Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1999), h.41
19
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme?
Menemukan Teologi Islam Moderat, dalam Kontruksi Islam Moderat,
(Yogyakarta: ICCAT Press, 2012), h.43.
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 247

Lebih pada itu, sikap moderat dalam bingka pemikiran Islam


adalah memberikan jaminan seluas-luasnya terhadap perlindungan
nilai-nilai kemanusiaan. Dalam bahasa lain bahwa peradaban
manusia itulah yang paling tinggi yang perlu dijunjung tinggi
bersama oleh semua kelompok, tanpa melihat agama, ras, dan suku.
Semuanya harus menjaga dan memperjuangkan nilai kemanusiaan.
Dengan demikian, semua umat manusia atau umat beragama
diarahkan untuk dapat hidup berdapingan, dan menjauhi segala
bentuk kebencian dan permusuhan. Di saat yang sama nilai-nilai
universal seperti keadilan, kebebasan, dan persamaan harus
dijunjung tinggi, kerena pada hekakatnya ketiga hal tersebut
merupakan ajaran yang sangat mulia dan merupakan inti dari
peradaman kemanusian.

Inklusiviseme juga tidak berarti bahwa tiap penganut agama


memiliki kebabasan untuk pindah dan gonta-ganti agama, atau
menyatakan bahwa pemeluk agama tertentu agakan kehilangan jati
diri. Tidak sama sekali. Tapi sikap insklusivisme dalam beragama
lebih pada menerima dan menyadari kehadiran agama lain dalam
kehidupan berasama dan bernegara, sehingga kita dapat hidup
berdampingan, sekalipun berbeda dalam hal keyakinan.

5. Tasawuf Moderat

Selain di atas, Islam Moderat juga nampak dalam wilayah


tasawuf. Dalam pada itu, konsep ajaran esoterik yang
termanifestasi dalam spritual sufistik tidak berarti negatif
sebagaimana banyak dipahami orang. Ajaran spiritual sufistik tidak
berarti kekumuhan, kekurangan, kemiskinan dan lain-lain, tapi sufi
moderat adalah orang yang selalu menghadirkan nilai-nilai
ketuhanan dalam tiap langkahnya. Praktik kehidupan spiritualitas
sufistik moderat adalah membangun kehidupan yang penuh dengan
kebahagiaan yaitu; kebahagiaan qalbiyah yakni dengan
248 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

makrifatullah melalui akhlak karimah, serta kebahagian jasminiah


dengan kesehatan serta pemenuhan kebutuhan yang bersifat
material.

Selain itu, konsep tasawuf yang moderat adalah tasawuf yang


hadir sebagai jawaban terhadap serangan kepada tasawuf yang
sama-sama berada pada posisi berlebihan.Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa pada periode tertentu konsep tasawuf yang
banyak dikenal di masyarakat terkesan pasif dan pasrah bahkan
meninggalkan segala yang berkaitan dengan dunia melalui konsep
zuhudnya. Konsekuensinya adalah tuduhan negatif terhadap
tasawuf sebagai salah satu penyebab utama terjadinya kemunduran
dalam masyarakat muslim. Di sisi lain, dalam periode tertentu
ajaran tasawuf juga pernah melewati fase yang sangat ekstrim
terhadap konsep ketuhanan. Di antaranya adalah konsep yang
menyatakan bahwa ‚yang disembah dan yang menyembah adalah
satu‛.Konsep yang dipopulerkan oleh Al-Hallaj tersebut kemudian
mendapat kritikan dari para ahli fuqaha dan dianggap sebagai
paham yang menyimpang.

Berangakat dari fakta sejarah tersebut, sejatinya tasawuf


moderat dapat menjadi pilihan terlebih lagi dalam konteks manusia
modern yang sangat rapuh secara spiritual. Tasawuf moderat dalam
konteks sekarang harus dipahami secara dinamis dan faktual.Salah
satunya adalah konsep zuhud tidak terkesan negative seperti pasrah
dan kumuh, tapi lebih pada sebuah kondisi jiwa yang tidak
menggantungkan diri atau kebahagian pada dunia. Meskipun pada
saat yang sama, juga tidak meninggalkan dunia. Dalam sebuah
ungkapan Ali ibn Thalib ‚Ya Allah letakkan dunia hanya pada
kedua tanganku, jangan Engkau letakkan pada hatiku‛. Pemahaman
seperti itu, tersirat bahwa seorang sufi atau pelaku tasawuf tetap
aktif dan optimis dalam melaksanakan fungsinya di dunia ini
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 249

dengan baik. Misalnya, seorang petani tetap bertani dengan


sungguh-sungguh. Seorang pegawai tetap disiplin dan bekerja
secara professional, tapi semuanya itu dibarengi dengan kekuatan
sprirual yang tinggi, sehingga semua tetap berada pada koridor
yang sesuai dengan ajaran Islam.

Tasawuf moderat juga tidak meyakini bahwa ‚yang


menyembah dan yang disembah adalah satu‛. Wujud keduanya
tetap berbeda. Hanya saja, seorang hamba hidup dengan penuh
kesadaran ketuhanan, di antaranya adalah berupaya untuk
menampakkan sifat-sifat Allah dalam bentuk perbuatan dan sifat
sehari-hari. Dalam konteks ini, manusia modern banyak yang
kehilangan kesadaran ketuhanan.Bahkan ada kecenderungan untuk
melakukan ‘sekularisasi kesadaran’. Yaitu pencapaian yang luar
biasa baik dalam aspek ilmu pengetahuna, industry maupun
teknonologi, akan tetapi pencapaian tersebut tidak sama sekali
menghasilkan kepuasan batin atau kebahagian sejati. Yang ada
adalah kekeringan spiritual. Akibatnya, segala pencapaian manusia
modern tidak sama sekali mengantarkannya pada sebuah
kebahagian diri dan kedamaian pada lingkungan, tapi justru
sebaliknya prestasi tersebut justru membawa malapetaka terhadap
dirinya dan kemanusian itu sendiri.

6. Moderasi Dakwah Islamiyah

Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah syiar agama yang


paling mulia setelah tauhid. Seluruh nabi dan rasul diutus oleh nabi
tugasnya adalah untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar,
atau bahasa lain berdakwa di jalan Allah. Dalam Alquran Allah
swt.menyatakan bahwa umat ini adalah umat terbaik karena
tugasnya dalam berdakwah, sebagiamana dalam terjemahannya:
250 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

‚Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia,


menyuruh kepaa amar ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan
beriman kepada Allah.Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.‛20

Berangkat dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa tugas


dakwah adalah amanah yang paling pulia. Maka dari itu, seorang
da’i harus benar-benar memahami aspek-aspek penentu dalam
kesuksesan sebuah dakwah. Tidak asal dakwah itu disampaikan.
Seorang da’i sejatinya memerhatikan prinsip-prinsip dakwah
seperti strategi dakwah, metode dakwah, dan sasaran dakwah.

Strategi dakwah yang baik adalah dakwah yang senantiasa


memerhatikan ketepatan sasaran dakwah atau mitra dakwah.
Sangat penting bagi seorang dai mengetahui secara baik
masyarakat sebagai sasaran dakwah, baik dari aspek budaya, adat
istiadat, pengetahuan dan bahkan aspek ekonomi. Tiap kondisi
tersebut mengharuskan strategi khusus yang sesuai dengan
kondisinya masing-masing. Berdakwah di hadapan orang kaya
tentu sangat berbeda dengan strategi di hadapan orang yang belum
berkecukupan. Dalam bahasa yang sangat popular adalah ‚likulli
maqam maqalun‛, tiap kondisi terdapat cara penyampian yang
sesuai dengannya‛.

Terakhir adalah moderat dalam dakwah Islamiyah.


Berdakwah dengan penuh hikmah. Tidak melakukan kekerasan
apalagi pembakaran terhadap fasilitas umum dan membunuh orang
yang tidak bersalah. Selalu mengedepankan pendekatan negoisasi
dan kompromi dengan seruan yang menggembirakan, bukannya
menakut-nakuti, apalagi sampai meneror kenyamanan masyarakat

20
Q.S. Ali Imran (3): 110
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 251

umum. Singkatnya, berdakwah harus tegas, namun tidak


mengedepankan kekerasan.Tidak boleh juga terlalu lembek
sehingga agama Allah diinjak-injak oleh orang-orang yang
sombong.

MODERASI ISLAM; SOLUSI MASYARAKAT


MULTIKULTURAL

Masyarakat Indonesia sangat terkenal dengan sifat


kemejemukannya. Kemejemukan bangsa Indonesia yang tampak
dari keragaman budaya, agama, ras, bahasa, suku dan sebagainya
mentasbihkan dirinya sebagai bangsa yang multikultural.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Usman Pelly (2003), bahwa
masyarakat multikultural adalah masyarakat negara, bangsa,
daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah,
yang terdiri atatas kebudayaan yang berbeda-beda dalam
kesederajatan. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak
bersifat homogen, namun memiliki karakteristik heterogen di mana
pola hubungan sosial antarindividu di masyarakat bersifat toleran
dan harus menerima kenyataan untuk hidup berdampingan secara
damai (peace co-exixtence) satu sama lain dengan perbedaan yang
melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya.21
Masyarakat multikultural tidak selamanya bisa hidup
berdampingan sebagaimana yang seharusnya terjadi. Tantangan
masyarakat yang memiliki keragaman kultur, agama, bahasa, ras
dan yang lain pada saat tertentu justru menjadi persoalan besar
bagi sebuah bangsa. Ini pula yang masih menjadi perjuangan yang
terus menerus digalakkan oleh seluruh para tokoh elit Negara dan
masyarakat itu itu sendiri dalam rangka memupuk rasa keadilan

21
Ketut Gunawan dan Yohanes Rante, Manajemen Konflik Atasi
Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia, Jurnal Mitra Ekonomi dan
Manajemen Bisnis, Vol.2, No. 2, Oktober 2011, 212-224
252 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

dan kesetaraan bagi masyarakat tanpa melihat latarbelakang


kehidupannya. Cukuplah sejumlah tragedy kemanusiaan yang
pernah terjadi di Indonesia akibat dari kekurangarifan dalam
mengelola keberagaman masyarakat yang berujung pada gesekan
horizontal yang berujung pada perpecahan menjadi pengalaman
pahit bangsa ini.
Dalam upaya mengantisipasi terjadinya konflik di tengah
masyarakat telah muncul sejumlah kajian dan solusi dari para
pakar, di antaranya adalah perlunya pendekatan kultural dengan
memperkuat falsafah lokal atau kearifan lokal yang penuh dengan
pesan-pesan luhur dan kedamaian.Namun, demikian solusi tersebut
juga tidak bisa berdiri sendiri tanpa dibarengi dengan paham
keagamaan yang tepat dan bijak. Peran pesan agama masih menjadi
sesuatu yang sangat diharapkan menjadi petuah dan pijakan
masyarakat dalam bertingkah laku. Sebagai masyarakat yang
dikenal sangat fanatik dengan keyakinannya, bangsa Indonesia
harus mengkampanyekan paham agama yang sesuai dengan kultur
masyarakat Indonesia yang multikultural.
Dalam konteks inilah moderasi Islam yang ramah, toleran,
terbuka, fleksibel dapat menjadi jawaban terhadap kekhawatiran
konflik yang marak terjadi di tengah masyarakat mulkultural.
Moderasi Islam tidak berarti bahwa mencampuradukkan kebenaran
dan menghilangkan jati diri masing-masing.Juga tidak berarti
bahwa kita tidak memiliki sikap yang jelas dalam sebuah persoalan.
Tapi moderasi Islam lebih pada sikap keterbukaan menerima
bahwa diluar diri kita ada saudara yang juga memiliki hak yang
sama dengan kita sebagai masyarakat yang berdaulat dalam
bingkai kebangsaan. Di luar agama kita, ada saudara yang
beragama lain yang mesti kita hormati dan akui keberadaannya. Di
luar kultur bahasa, adat, dan suku kita ada ribuan suku, bahasa dan
adat yang berbeda dengan kita yang tentu memiliki hak dan
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 253

kewajiban yang sama. Dengan keyakinan itulah akan mengantarkan


kepada sikap keterbukaan, toleran, dan fleksibel dalam bertingkah.
Berlaku adil atas sesama tanpa harus melihat latarbelakang agama,
ras, suku dan bahasa.Itulah inti daripada moderasi Islam yang telah
dicontohkan oleh para pendahulu, mulai dari masa Nabi, sahabat,
para ulama termasuk ulama nusantara.

PENUTUP
Moderasi Islam adalah paham keagamaan keislaman yang
mengejewantahkan ajaran Islam yang sangat esensial.Ajaran yang
tidak hanya mementingkan hubungan baik kepada Allah, tapi juga
yang tak kalah penting adalah hubungan baik kepada seluruh
manusia. Bukan hanya pada saudara seiman tapi juga kepada
saudara yang beda agama. Moderasi Islam mengedepankan sikap
keterbukaan terhadap perbedaan yang ada yang diyakini sebagai
sunnatullah dan rahmat bagi manusia. Selain itu, moderasi Islam
tercerminkan dalam sikap yang tidak mudah untuk menyalahkan
apalagi sampai pada pengkafiran terhadap orang atau kelompok
yang berbeda pandangan. Lebih pada itu, Moderasi Islam lebih
mengedepankan persaudaraan yang berlandaskan padas asas
kemanusiaan, bukan hanya pada asas keimanan atau kebangsaan.
Pemahaman seperti itu menemukan momentumnya dalam dunia
Islam secara umum yang sedang dilanda krisis kemanusiaan dan
Indonesia secara khusus yang juga masih mengisahkan sejumlah
persoalan kemanusian akibat dari sikap yang kurang moderat dalam
beragama.

DAFTAR PUSTAKA

Darlis, Peran Pesantren As’adiyah dalam Membangun Moderasi


Islam di Tanah Bugis, Al-Misbah; Volume 12 Nomor 1,
Januari-Juni 2016
254 |Rausyan Fikr, Vol. 13 No.2 Desember 2017: 225-255

Salah Abu As-Sa’ud, Al-Mu’tazilah; Nasyatuhu, Firaquhum,


Arauhum al-Fikriyah, Al-Jazirah: Makbtabah al-Nafidzah,
2004.
Muhammad Ibn Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, Al-Jami
al-Shagir al-Mukhtasar, juz. I, cet. III, Bairut: Dar ibn
Katsir, 1987.
Yusuf al-Qaradhawi, Dirasah fi Fiqh Maqasid al-Syariah, Kairo:
Dar al-Syuruq, 2006.
Abd. Rauf Amin, Moderasi dalam Tradisi Pakar Hukum Islam
(Wacana dan Karakteristik) dalam Kontruksi Islam
Moderat, Yokyakarta: ICATT Press, 2012.
Wasfi ‘Asyur Abu Zaid, at-Tafsir al-Maqashid li Suwar Alquran al-
Karim, h. 7. Makalah disampaikan pada seminar yang
diselenggarakan oleh Fakultas Usuluddin Universitas al-
Amir ‘Abd al-Qadir Aljazair pada tanggal 4-5 Desember
2013, dengan tema ‚Fahm Alquran bain an-Nash wa al-
Waqi’. Diunduh dari www.alukah.net pada hari selasa, 11
April 201, pukul 10.16
Radwan Jamal el-Atrash dan Nahswan Abdo Khalid Qaid, al-Jazur
al-Tarikhiyyah li al-Tafsir al-Maqashidi li Alquran al-
Karim, Majallah al-Islam fi Asiya no. 1 Malaysia: UII,
2011.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1999.
Afifuddin Harisah, Islam:Eksklusivisme atau Inklusivisme?
Menemukan Teologi Islam Moderat, dalam Kontruksi Islam
Moderat, Yogyakarta: ICCAT Press, 2012.
Ketut Gunawan dan Yohanes Rante, Manajemen Konflik Atasi
Dampak Masyarakat Multikultural di Indonesia, Jurnal
Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis, Vol.2, No. 2,
Oktober 2011, 212-224
Darlis, Mengusung Moderasi Islam di Tengah Masyarakat ...| 255

Misrawi, Zuhairi. Alquran Kitab Toleransi Inklusivisme,


Pluralisme, dan Multikulturalisme, Cet. I, Jakarta: Fitrah,
2007.

Harusn Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran sejarah Analisa


Perbandigan, Jakarta: UI Press, 1972.

Web:

https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2017/01/16/276/pad
a-2016-intoleransi-meningkat.html diakses hari Kamis, 07
Desember 2017.

Anda mungkin juga menyukai