Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN

GANGGUAN IMUNITAS MYASTENIA GRAVIS

Dosen Pembimbing:
Dwi Adji Norontoko,S.kep.Ns.,M.kep

Disusun Oleh:
Kelompok 1 Reguler A

TINGKAT 1 SEMESTER 1 SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
TAHUN AKADEMIK 2020/2021

i
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Makalah : Makalah Asuhan Keperawatan Gangguan Imunitas Myastenia


Gravis
Disusun Oleh :
1. Adinda Dwi Anggraini (P27820720001)
2. Anizha Defy (P27820720007)
3. Haniatul Fuadah (P27820720020)
4. Ina Mufiana (P27820720022)
5. Lutfia Nur Hariati (P27820720027)
6. Nila Chusnayatul A. (P27820720033)
7. Sindy Puspita (P27820720040)
8. Zhenif Galang Sakti (P27820720047)
Jurusan: Sarjana Terapan Keperawatan Soetomo Semester 4

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah yang
kami selesaikan adalah benar. Dengan ini saya menyatakan penulisan makalah
dengan judul Makalah Asuhan Keperawatan Gangguan Imunitas Myastenia Gravis
telah memenuhi semua syarat serta ketentuan yang ditetapkan oleh bapak guru dosen.
Surabaya, 07 Februari 2022
Yang Membuat Pernyataan Yang Memberi Pengesahan

Kelompok 1 Reguler A (Dwi Adji Norontoko,S.kep.Ns.,M.kep)

ii
DAFTAR ISI

Cover........................................................................................................................i

Lembar Pengesahan...............................................................................................ii

Daftar Isi................................................................................................................iii

Kata Pengantar.....................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2

1.3 Tujuan ...............................................................................................................2

1.3.1 Tujuan Umum.....................................................................................2

1.3.2 Tujuan Khusus....................................................................................3

1.4 Manfaat..............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Pustaka................................................................................................4

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan .........................................................................13

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan .....................................................................................................29

4.2 Saran ................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA

iii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada penyusun sehingga dapat
menyelesaikan makalah laporan ini yang berjudul: “ Makalah Asuhan Keperawatan
Gangguan Imunitas Myastenia Gravis “.
Penyusun menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu, dalam
kesempatan ini penyusun menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada Dosen
Keperawatan Medikal Bedah 2, serta teman teman yang membantu dalam makalah
ini.
Penyusun menyadari bahwa dalam proses makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisan nya. Namun demikian, penyusun
telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik. Penyusun dengan rendah hati menerima masukan, saran
dan usul guna penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, penyusun berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Surabaya, 07 Februari 2022

Kelompok 1 Reguler A

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Myastenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi


neuromuskular yang paling sering terjadi. Kelainan pada transmisi
neuromuskular yang dimaksud adalah penyakit pada neuromuscular junction
(NMJ). MG adalah suatu penyakit autoimun dimana tubuh secara salah
memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah
AchR di NMJ berkurang. MG menyebabkan permasalahan transmisi yang mana
terjadi pemblokiran AchR di serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak
sampainya impuls dari serat saraf ke serat otot sehingga menyebabkan tidak
terjadinya kontraksi otot. MG ditandai oleh kelemahan otot yang kembali
memulih setelah istirahat. Otot yang paling sering terkena adalah ekstraokular,
tungkai, wajah dan otot leher. Myastenia dalam bahasa latin artinya kelemahan
otot dan gravis artinya parah.

Prevalensi MG sekitar 85-125 per satu juta penduduk dengan insidensi


tahunan sekitar 2- 4 per satu juta penduduk. Penyakit ini memiliki dua puncak
kejadian, yang pertama antara 20 hingga 40 tahun yang didominasi wanita dan
antara 60 hingga 80 tahun dengan perbandingan pria dan wanita yang
seimbang.

Karakteristik klinis berupa kelemahan otot yang berfluktuasi dan


melibatkan kelompok otot tertentu. Kelemahan mata dengan ptosis asimteris
dan diplopia binocular adalah presentasi awal yang paling khas, sementara
kelemahan orofaringeal atau ekstremitas dini lebih jarang dijumpai. Sebagian
besar pasien dengan kelemahan ocular di awal akan mengalami kelemahan
bulbar atau anggota gerak dalam waktu tiga tahun sejak onset gejala awal.

Diagnosis banding meliputi congenital myasthenic syndrome, Lambert


Eaton syndrome, botulismus, keracunan organofosfat, acute inflammatory

1
demyelinating polyneuropathy (AIDP), motor neuron disease (MND),
hipertiroid, dan iskemia batang otak. Penatalaksanaan bersifat individual dan
termasuk pengobatan simptomatik. Kemajuan dalam tes diagnostik,
imunoterapi, dan perawatan intensif menyebabkan prognosis menjadi lebih baik
dengan angka mortalitas kurang dari lima persen dan harapan hidup mendekati
normal.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Konsep Teori Mengenai Myasthenia Gravis

1. Apa definisi dari Myastenia Gravis ?


2. Bagaimana etiologi dari Myastenia Gravis ?
3. Bagaimana patofisiologi dari Myastenia Gravis ?
4. Bagaimana pathway dari Myastenia Gravis ?
5. Bagaimana manifestasi klinis dari Myastenia Gravis ?
6. Apa saja komplikasi yang terjadi pada Myastenia Gravis ?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada Myastenia Gravis ?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada Myastenia Gravis ?

1.2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

1. Bagaimana pengkajian pada asuhan keperawatan Myastenia


Gravis?
2. Bagaimana diagnosa keperawatan pada Myatenia Gravis ?
3. Bagaimana intervensi pada asuhan keperawatan dengan
Myastenia Gravis?
4. Bagaimana implementasi pada asuhan keperawatan dengan
Myastenia Gravis ?
5. Bagaimana evaluasi pada asuhan keperawatan dengan Myastenia
Gravis ?

1.3 Tujuan

2
1.3.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui konsep teori pada kasus Myastenia Gravis.


2. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada kasus
Myastenia Gravis.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah keperawatan


medikal bedah 2.
2. Mengetahui bagaimana konsep teori pada kasus Myastenia Gravis.
3. Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dengan kasus
Myastenia Gravis.

1.4 Manfaat

Memberikan pengetahuan dan wawasan kepada penyusun maupun pembaca


tentang konsep teori dan konsep asuhan keperawatan pada kasus Myastenia
Gravis.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Tinjauan Pustaka
A. Definisi

Myastenia gravis adalah Suatu gangguan Neuromuskuler yang dicirikan


oleh kelemahan dan kelelahan otot kerangka, defek yang mendasarinya adalah
pengurangan dalam jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada
persambungan neuro muskuler akibat suatu serangan autoimun yang
diperantarai antibody (Daniel B Drachman, 2000)

Myastenia gravis adalah gangguan yang mempengaruhi transmisi


neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(Volunter). ( Brunner and Suddart, 2002).

B. Etiologi

Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan


transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf
dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel –partikel
globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan
motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan
yang dapat memindahkan gaya sarafi yang kemudian bereaksi dengan Ach
Reseptor (ACHR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion
pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na,
sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot.

Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis


tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan

4
ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor
imunologik yang berperanan.

Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau


penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil (digunakan
untuk mengobati tekanan darah tinggi), quinine (digunakan untuk mengobati
malaria), dan procainamide (digunakan untuk mengobati kelainan ritme
jantung).

Neonatal myasthenia terjadi pada 12% bayi yang dilahirkan oleh wanita
yang mengalami myasthenia gravis. Antibodi melawan acetylcholine, yang
beredar di dalam darah, bisa lewat dari wanita hamil terus ke plasenta menuju
janin. Pada beberapa kasus, bayi mengalami kelemahan otot yang hilang
beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir. Sisa 88% bayi tidak
terkena.

C. Patofisiologi

Patofisiologi myasthenia gravis (MG) atau miastenia gravis adalah melalui


mekanisme autoimun pada neuromuskular junction (NMJ).

Gejala-gejala yang khas pada myasthenia gravis diketahui berasal dari


kegagalan efektivitas transmisi neuromuskular pada postsinaps. Penurunan
jumlah reseptor dan aktivitas kompetitif dari anti-AChR (acetylcholine
receptor) antibodi menyebabkan insufisiensi amplitudo potensial postsinaps
untuk menginervasi otot. Sekitar 20% pasien dengan generalized myasthenia
gravis menunjukkan seronegatif pada deteksi AChR antibodi. Akan tetapi, 30%
dari pasien tersebut menunjukkan autoantibodi terhadap Muscle-Specific
Kinase (MuSK). MuSK berperan penting pada diferensiasi dan perkembangan
postsinaps dan mengelompokkan AChR. AchR protein antibodi dapat
ditemukan pada lebih dari 85% pasien dengan generalized myasthenia dan 60%

5
pasien dengan myasthenia okuler. Gejala muncul apabila jumlah AChR
berkurang kira-kira 30% dari normal.

Transmisi neuromuskular bisa terganggu dalam beberapa cara, yaitu:

 Antibodi yang memblokade reseptor tempat asetilkolin gagal berikatan


 Serum IgG pasien MG menyebabkan peningkatan degradasi AChR yang
disebabkan oleh kapasitas antibodi untuk breaksi silang dengan resepto
 Antibodi menyebabkan jalur penghancuran melalui aktivasi komplemen
pada lipatan postsinaps.

Transmisi yang terhambat ini kemudian berujung pada penurunan


kekuatan kontraksi otot. Defisiensi pertama kali terkena pada otot okuler dan
otot kranial karena otot-otot inilah yang dipakai secara aktif dan
berkepanjangan serta memiliki jumlah AChR yang paling sedikit per unit
motor.

a. Reaksi Sistem Imun

Destruksi komplemen dimediasi oleh aktivasi fragmen C3, C9, dan


kompleks yang menyerang membran. Target utama serangan komplemen
adalah permukaan sel postsinaps. Komplemen melisiskan membran sel
postsinaps karena adanya defisiensi pada kontrol protein (decay accelerating
factor, membrane cofactor protein, dan membrane inhibitor of reactive lysis).
Produksi autoantibodi pada myasthenia gravis juga melibatkan sel T dependen
dengan destruksi antigen pada tubuh.

Sel CD4+ T-helper yang adalah AChR-specific sangat krusial dalam


aktivasi sel B untuk mensintesis high-affinity IgG autoantibodi. Reseptor sel T-
Helper merespon antigen yang telah diproses oleh Antigen-Presenting Cell
(APC) dengan asosiasinya terhadap Major Histocompatibility Complex (MHC)

6
molekul kelas II. Epitop Subunit alpha pada AChR sangat mudah dikenal sel T
sehingga reaksi imunitas yang saling kait-mengait dengan cepat terjadi.

Sitokin juga berperan dalam patofisiologi myasthenia gravis. Sitokin yang


disekresikan CD4+ setelah distimulasi antigen, memediasi komunikasi
interseluler yang berakibat pada reaksi lokal dan sistemik sistem imun.
Myasthenia gravis melibatkan aktivasi Th1 dan Th2. Sitokin yang dikeluarkan
Th1 berupa interferon gamma, interleukin 2, dan Tumor Necrosis Factor (TNF)
yang bersifat proinflamatori. Th2 memproduksi sitokin seperti interleukin 4 dan
interleukin 10 yang bersifat anti-inflamasi.

b. Kelainan Timus

Hiperplasi limfofolikuler nonneoplastik pada medulla timus terjadi pada


65%  atau lebih kasus myasthenia gravis, sedangkan tumor timus terjadi pada
10 sampai 15%  pasien. Presentase ini menunjukkan adanya hubungan antara
organ timus dan terjadinya myasthenia gravis. Secara struktural, kelainan pada
timus mengakibatkan kelainan pada motor endplate.  Luas permukaan membran
postsinaptik mengalami reduksi dan synaptic cleft terkesan melebar tanpa
adanya alterasi jumlah dan ukuran vesikel presinaps serta jumlah
neurotransmiter asetilkolin. Cc

7
D. Pathway

E. Manifestasi klinis

Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah


mengalami kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan
berkurang setelah istirahat. Berbagai gejala yang muncul sesuai dengan otot
yang terpengaruh, sebagai berikut:

1. Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan saraf


kranial. Karena otot - otot okular terkena, maka gejala awal yang muncul

8
diplopia (penglihata ganda) dan ptosis (jatuhnya kelopak mata). Ekspresi
wajah pasien seperti sedang tidur terlihat seperti patung hal ini
dikarenakan otot wajah terkena
2. Pengaruh terhadapa laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam
pembentukan bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata
kata. Kelemahan pada otot otot bulbar menyebabkan masalah mengunyah
dan menelan dan adanya bahaya tersedak dan aspirasi.
3. Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan, pada
otot kaki mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.Kelemahan
diafragma dan otot otot interkostal menyebabkan gawat nafas, yang
merupakan keadaan darurat akut. (Keperawatan medikal bedah, 2001)

F. Komplikasi

Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada
dua jenis krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin,
2009), yaitu:

1. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak
pada gawat napas dan kematian karena diafragma dan otot interkostal
menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini, dibutuhkan antikolinesterase yang
lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus yang tidak
memperoleh obat secara cukup. terjadi setelah pengalaman yang
menimbulkan stres seperti penyakit, gangguan emosional. pembedahan.
atau selama kehamilan, serta infeksi. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
a) kontrol jalan napas
b) pemberian antikolinesterase
c) bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis

9
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan
(respirator), obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu,
karena obat-obat ini dapat memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan
dapat mempercepat terjadinya krisis kolinergik. Setelah krisis terlampaui,
obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap, dan seringkali dosis
dapat diturunkan.

2. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat
antikolinesterase. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja
telah minum obat berlebihan, atau mungkin juga dosis menjadi berlebihan
karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit dikontrol dengan obat-
obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan dosis
yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan
seringkali hanya parsial. Status hiperkolinergik ditandai dengan
peningkatan motilitas usus, konstriksi pupil, bradikardia, mual dan
muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula timbul gawat napas. Tindakan
terhadap kasus ini adalah:
a. kontrol jalan napas
penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat
diberikan atropine 1 mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika
diberikan atropine, pasien harus diawasi secara ketat, karena sekret
saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit dihisap atau
mungkin gumpalan lender dapat menyumbat bronkus. menyebabkan
atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan
dosis yang lebih rendah.
b. bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis. Untuk
membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5
mg intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada

10
krisis miastenik, tetapi tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan
memperberat gejala-gejala krisis kolinergik.

G. Pemeriksaan penunjang

Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody tertentu didalam


serum (mis. AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies,
antistriational antibodies). Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat
mengindikasikan adanya MG. Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan
otot dan reflex. MG dapat menyebabkan pergerakan mata abnormal,
ketidakmampuanuntuk menggerakkan mata secara normal, dan kelopak mata
turun. Untuk memeriksa kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta
untuk mempertahankan posisint melawan resistansi selama beberapa periode.
Kelemahan yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas. Foto thorax
X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya pembesaran
thymoma, yang umum terjadi pada MG Pemeriksaan Tensilon sering digunakan
untuk mendiagnosis MG. Enzim acetylcholinesterase memecah acetylcholine
setelah otot distimulasi, mencegah terjadinya perpanjangan respon otot terhadap
suatu rangsangan saraf tunggal. Edrophonium Chloride merupakan obat yang
memblokir aksi dari enzim acetylcholinesterase. Electromyography (EMG)
menggunakan elektroda untuk merangsang otot dan mengevaluasi fungsi otot.
Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan adanya MG.

H. Penatalaksanaan

Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis


adalah:

a) Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat


kekuatan
b) Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan) Pada penderita
tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan kontrol

11
jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian
antikolinesterase sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru.
Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan antibiotik.
c) Plasmaferesis (dialisis darah dengan produksi antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis
50 ml/kg BB. Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik karena
kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin,
tetapi tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik.
d) Terapi farmakologi
 Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau
neostigmin bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk
memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut neuromuskular.
Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada miastenia gravis.
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase
disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil,
kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi
bronkial berlebihan.
 Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate days
dengan dosis awal kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu). Apabila sudah ada perbaikan klinis maka dosis.
diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan
memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian
prednisolon secara mendadak harus dihindari.
 Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping
lebih sedikit jika dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa
gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati, dan leukopenia).
Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap.

12
dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali.
 Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun

2.2 Asuhan Keperawatan Teori

A. Pengkajian
1. Anamnesis
a. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pekerjaan, pendidikan,
alamat.
b. Keluhan Utama
Hal yang sering menyebabkan klien myastenia gravis meminta bantuan
medis adalah kondisi penurunan atau kelemahan otot-otot, dengan
manifestasi: diplopia (penglihatan ganda), ptosis (jatuhnya kelopak
mata) merupakan keluhan utama dari 90% klien myastenia gravis,
disfonia (gangguan suara), masalah menelan, dan mengunyah
makanan. Pada kondisi berat keluhan utama biasanya adalah
ketidakmampuan menutup rahang, ketidakmampuan batuk efektif dan
dispnea.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Myastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring.
Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika klien
mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara abnormal
atau suara nasal, dan klien tidak mampu menutup mulut yang disebut
sebagai tanda rahang menggantung. Terserangnya otot-otot pernapasan
terlihat dari adanya batuk yang lemah, akhirnya dapat berupa serangan
dispnea dan klien tidak mampu lagi membersihkan lender dari trakea
dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul
dapat terserang pula, dapat pula terjasi semua kelemahan otot-otot

13
rangka. Biasanya gejala-gejala myastenia gravis dapat diredakan
dengan beristirahat dan dengan memberikan obat antikolinesterase.
d. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit yang


memperberat kondisi myastenia gravis, seperti hiprertensi dan diabetes
mellitus.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji kemungkinan dari generasi terdahulu yang mempunyai persamaan
dengan keluhan klien saat ini.
f. Pengkajian Psikososiokultural
Klien myastenia gravis sering mengalami gangguan emosi pada
kebanyakan klien kelemahan otot jika mereka berada dalam keadaan
tegang. Adanya kelemahan pada kelopak mata ptosis, diplopia, dan
kerusakan dalam komunikasi verbal menyebabkan klien sering
mengalami gangguan citra diri.

2. Pengkajian Fisik
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien mengalami kemampuan atau penurunan batuk
efektif, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas,
dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada
klien yang disertai adanya kelemahan otot-otot pernapasan. Auskultasi
bunyi napas tambahan seperti ronkhi atau stridor pada klien,
menunjukkan adanya akumulasi secret pada jalan napas dan
penurunan kemampuan otot-otot pernapasan.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada system kardiovaskuler terutama dilakukan untuk
memantau perkembangan dari status kardiovaskular, terutama denyut

14
nadi dan tekanan darah yang secara progresif akan berubah sesuai
dengan kondisi tidak membaiknya status pernapasan.
c. B3 (Brain)
1) Pengkajian Saraf Kranial
 Saraf I. Biasanya pada klien tidak ada kelainan, terutama
fungsi penciuman
 Saraf II. Penurunan pada tes ketajaman penglihatan, klien
sering mengeluh adanya penglihatan ganda.
 Saraf III, IV dan VI. Sering didapatkan adanya ptosis. Adanya
oftalmoplegia, mimic dari pseudointernuklear oftalmoplegia
akibat gangguan motorik pada nervus VI.
 Saraf V. Didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat
kelumpuhan pada otot-otot wajah.
 Saraf VII. Persepsi pengecapan terganggu akibat adanya
gangguan motorik lidah.
 Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
 Saraf IX dan X. Ketidakmampuan dalam menelan.
 Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
 Saraf XII. Lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi
akibat kelemahan otot motorik pada lidah.
2) Pengkajian Sistem Motorik
Karakteristik utama myastenia gravis adalah kelemahan dari
system motorik. Adanya kelemahan umum pada oto-otot rangka
memberikan manifestasi pada hambatan mobilitas dan intoleransi
aktivitas.
3) Pengkajian Refleks

15
Pemeriksaan refleks profunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
4) Pengkajian Sistem Sensorik
Pemeriksaan sensorik pada penyakit ini biasanya didapatkan
sensasi raba dan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di
permukaan tubuh.
d. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya menunjukkan
berkurangnya volume pengeluaran urin, yang berhubungan dengan
penurunan perfuusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah akibat peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutrisi pada klien myastenia gravis menurun karena
ketidakmampuan menelan makanan sekunder dari kelemahan otot-otot
menelan.
f. B6 (Bone)
Adanya kelemahan otot-otot volunter memberikan hambatan pada
mobilitas dan mengganggu aktivitas perawatan diri.
(Arif Muttaqin, 2008)

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan

1. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005) berhubungan dengan kelemahan otot


pernapasan.
2. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot.
3. Gangguan komunikasi verbal (D.0119) berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangankontrol
tonus otot fasialatau oral.

16
4. Gangguan Citra Tubuh (D.0083) berhubungan dengan perubahan struktur
atau bentuk tubuh (ptosis).
5. Risiko Aspirasi (D.0006) berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik.

C. Intervensi

No. Diagnosa Intervensi Keperawatan


Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Keperawatan

1. Pola Napas Tidak Pola Napas (L. 01004) Manajemen Jalan Napas
Efektif (D.0005) (I.01011)
Tujuan:
berhubungan
Observasi
dengan kelemahan Setelah dilakukan tindakan
otot pernapasan. keperawatan selama ....x24 jam 1. Monitor pola napas
diharapkan pola nafas membaik (frekuensi, kedalaman,
usaha napas)
Kriteria Hasil :

A. Ventilasi semenit Terapeutik


meningkat 2. Posisikan semi-fowler
B. Frekuensi napas atau fowler
membaik 3. Berikan minum hangat
C. Pola napas membaik 4. Berikan oksigen, jika
perlu
5. Observasi tanda-tanda
vital (RR, nadi)

Edukasi

6. Ajarkan teknik napas

17
dalam

2. Gangguan Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Ambulasi (I.06171)


Mobilitas Fisik
Tujuan: Observasi
(D.0054)
berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi toleransi

dengan penurunan keperawatan selama ....x24 jam fisik melakukan

kekuatan otot. diharapkan Mobilitas fisik ambulasi


meningkat 2. Kaji kemampuan klien
dalam beraktivitas
Kriteria hasil:

A. Pergerakan ekstremitas Terapeutik


meningkatkan 3. Fasilitasi aktivitas
B. Kekuatan otot meningkat ambulasi dengan alat
C. Rentang gerak ROM bantu (mis, tongkat,
meningkat kruk, kursi roda)
D. Kelemahan fisik 4. Minta bantuan keluarga
menurun untuk membantu klien
dalam meningkatkan
ambulasi

Edukasi

5. Anjurkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan

3. Gangguan Komunikasi Verbal (L.13118) Promosi Komunikasi: Defisit


komunikasi verbal Bicara (I.13492)
Tujuan:
(D.0119)
Observasi
berhubungan Setelah dilakukan tindakan

dengan disfonia, keperawatan selama ....x24 jam 1. Kaji komunikasi verbal


diharapkan komunikasi verbal

18
gangguan meningkat klien
pengucapan kata,
Kriteria Hasil: Terapeutik
gangguan
neuromuskular, 1 Kemampuan berbicara 2. Lakukan metode
kehilangan kontrol menggunakan bahasa komunikasi yang ideal
tonus otot fasial isyarat meningkat sesuai dengan kondisi
atau oral. 2 Kesesuaian ekspresi klien
wajah/tubuh meningkat 3. Modifikasi lingkungan
3 Respons perilaku untuk meminimalkan
membaik bantuan dengan
4 Pemahaman komunikasi memberikan bel atau
membaik. lonceng
4. Ajukan pertanyaan
dengan jawaban 'ya' dan
'tidak' atau dengan
menggunakan gerakan
tubuh

Kolaborasi

5. Rujuk ke ahli patologi


bicara atau terapis

4. Gangguan Citra Citra Tubuh (L.09067) Promosi Citra Tubuh (I.09305)


Tubuh (D.0083)
Tujuan: Observasi
berhubungan
dengan perubahan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi arti dari

struktur atau keperawatan selama ....x24 jam Kehilangan atau

bentuk tubuh diharapkan Citra Tubuh disfungsi pada klien.

(ptosis). meningkat 2. Monitor apakah klien

19
Kriteria Hasil: bisa melihat bagian
tubuh yang berubah
1.1. Hubungan sosial
membaik dengan klien Terapeutik
mampu menyatakan atau
3. Diskusikan kondisi stres
mengkomunikasikan
yang mempengaruhi
dengan orang terdekat
Citra tubuh (ptosis)
tentang situasi dan
4. Bantu dan anjurkan
perubahan yang sedang
perawatan yang baik dan
terjadi
memperbaiki kebiasaan
1.2. Verbalisasi
5. Anjurkan orang yang
kecacatan bagian tubuh
terdekat untuk
membaik dengan klien
mengizinkan klien
menyatakan penerimaan
melakukan hal untuk
diri terhadap situasi
dirinya sebanyak-
1.3. Verbalisasi
banyaknya
perasaan negatif tentang
perubahan tubuh Edukasi
menurun dengan klien
6. Anjurkan
mengakui dan
mengungkapkan
menggabungkan
gambaran diri terhadap
perubahan ke dalam
citra tubuh
konsep diri dengan cara
yang akurat tanpa harga
diri negatif

5. Risiko Aspirasi Tingkat Aspirasi (L.01006) Pencegahan Aspirasi (I.01018)


(D.0006)
berhubungan

20
dengan kerusakan Tujuan: Observasi
mobilitas fisik.
Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor status
keperawatan selama ....x24 jam pernapasan
diharapkan tingkat aspirasi 2. Monitor tingkat
menurun kesadaran, kemampuan
menelan
Kriteria Hasil :

1. Tingkat kesadaran Terapeutik


meningkat 3. Posisikan semi-fowler
2. Kemampuan menelan 30 menit sebelum
meningkat memberi asupan oral
3. Kelemahan otot 4. Berikan makanan
menurun dengan ukuran yang
kecil atau lunak
5. Berikan obat oral dalam
bentuk cair

Edukasi

6. Anjurkan makan secara


perlahan
7. Ajarkan strategi
mencegah aspirasi.

D. Implementasi

NO DX KEPERAWATAN HARI/ IMPLEMENTASI TTD


TANGGAL/JAM KEPERAWATAN
1 Pola Napas Tidak Efektif Diisi saat Manajemen Jalan Napas
(D.0005) berhubungan
melakukan tindakan (I.01011)
dengan kelemahan otot

21
pernapasan yang telah Observasi
direncanakan 1. Memonitor pola
napas (frekuensi,
kedalaman, usaha
napas)
Terapeutik
2. Memposisikan
semi-fowler atau
fowler
3. Memberikan
minum hangat
4. Memberikan
oksigen, jika perlu
5. Mengobservasi
tanda-tanda vital
(RR, nadi)
Edukasi
6. Mengajarkan
teknik napas
dalam
2 Gangguan Mobilitas Diisi saat Dukungan Ambulasi
Fisik (D.0054) melakukan tindakan (I.06171)
berhubungan dengan yang telah Observasi
penurunan kekuatan otot. direncanakan 1. Mengidentifikasi
toleransi fisik
melakukan
ambulasi
2. Mengkaji
kemampuan klien
dalam beraktivitas

22
Terapeutik
3. Memfasilitasi
aktivitas ambulasi
dengan alat bantu
(mis, tongkat,
kruk, kursi roda)
4. Meminta bantuan
keluarga untuk
membantu klien
dalam
meningkatkan
ambulasi
Edukasi
5. Menganjurkan
ambulasi
sederhana yang
harus dilakukan
3 Gangguan komunikasi Diisi saat Promosi Komunikasi:
verbal (D.0119) melakukan tindakan Defisit Bicara (I.13492)
berhubungan dengan yang telah Observasi
disfonia, gangguan direncanakan 1. Mengkaji
pengucapan kata, komunikasi verbal
gangguan klien
neuromuskular, Terapeutik
kehilangan kontrol tonus 2. Melakukan
otot fasial atau oral. metode
komunikasi yang
ideal sesuai
dengan kondisi

23
klien
3. Memodifikasi
lingkungan untuk
meminimalkan
bantuan dengan
memberikan bel
atau lonceng
4. Menganjurkan
pertanyaan dengan
jawaban 'ya' dan
'tidak' atau dengan
menggunakan
gerakan tubuh
Kolaborasi
5. Merujuk ke ahli
patologi bicara
atau terapis

4 Gangguan Citra Tubuh Diisi saat Promosi Citra Tubuh


(D.0083) berhubungan melakukan tindakan (I.09305)
dengan perubahan yang telah Observasi
struktur atau bentuk direncanakan 1. Mengidentifikasi
tubuh (ptosis). arti dari
Kehilangan atau
disfungsi pada
klien.
2. Memonitor
apakah klien bisa
melihat bagian
tubuh yang

24
berubah
Terapeutik
3. Mendiskusikan
kondisi stres yang
mempengaruhi
Citra tubuh
(ptosis)
4. Membantu dan
anjurkan
perawatan yang
baik dan
memperbaiki
kebiasaan
5. Menganjurkan
orang yang
terdekat untuk
mengizinkan klien
melakukan hal
untuk dirinya
sebanyak-
banyaknya
Edukasi
6. Menganjurkan
mengungkapkan
gambaran diri
terhadap citra
tubuh
5 Risiko Aspirasi (D.0006) Diisi saat Pencegahan Aspirasi
berhubungan dengan melakukan tindakan (I.01018)
kerusakan mobilitas yang telah

25
fisik. direncanakan Observasi
1. Memonitor status
pernapasan
2. Memonitor tingkat
kesadaran,
kemampuan
menelan
Terapeutik
3. Memposisikan
semi-fowler 30
menit sebelum
memberi asupan
oral
4. Memberikan
makanan dengan
ukuran yang kecil
atau lunak
5. Memberikan obat
oral dalam bentuk
cair
Edukasi
6. Menganjurkan
makan secara
perlahan
7. Mengajarkan
strategi mencegah
aspirasi.

26
E. Evaluasi

Evaluasi keperawatan merupakan bentuk penilaian akhir atas intervensi yang


telah dilakukan berdasarkan tujuan dan kriteria hasil yang telah ditentukan.
Evaluasi dibedakan menjadi evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Dalam
pendokumentasian evaluasi terdiri dari SOAP (subjektif, objektif, assessment,
planning). Evaluasi keperawatan terhadap pasien dengan osteoarthritis
berdasarkan diagnosa keperawatan yanh telah di tentukan.

1. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005) berhubungan dengan kelemahan otot


pernapasan
a. Klien tampak terlihat pola napasnya membaik
b. Klien mengatakan tidak sesak napas
c. Irama dan frekuensi napas pun membaik
d. Saturasi oksigen meningkat
2. Gangguan Mobilitas Fisik (D.0054) berhubungan dengan penurunan
kekuatan otot
a. Pergerakan ektremitas klien pun tampak meningkat
b. Kekuatan otot meningkat
c. Rentang gerak ROM meningkat
d. Kelemahan fisik menurun
3. Gangguan komunikasi verbal (D.0119) berhubungan dengan disfonia,
gangguan pengucapan kata, gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral.
a. Kemampuan berbicara menggunakan bahasa isyarat meningkat
b. Kesesuaian ekspresi wajah/tubuh meningkat
c. Respons perilaku membaik
d. Pemahaman komunikasi membaik.
4. Gangguan Citra Tubuh (D.0083) berhubungan dengan perubahan struktur
atau bentuk tubuh (ptosis).

27
a. Hubungan sosial membaik dengan klien mampu menyatakan atau
mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi
b. Verbalisasi kecacatan bagian tubuh membaik dengan klien
menyatakan penerimaan diri terhadap situasi
c. Verbalisasi perasaan negatif tentang perubahan tubuh menurun dengan
klien mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri
dengan cara yang akurat tanpa harga diri negative
d. Rasa percaya diri meningkat
5. Risiko Aspirasi (D.0006) berhubungan dengan kerusakan mobilitas fisik.
a. Tingkat kesadaran meningkat
b. Kemampuan menelan meningkat
c. Kelemahan otot menurun

28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Myastenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi


neuromuskular yang paling sering terjadi. Kelainan pada transmisi
neuromuskular yang dimaksud adalah penyakit pada neuromuscular junction
(NMJ).

MG adalah suatu penyakit autoimun dimana tubuh secara salah memproduksi


antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AchR di NMJ
berkurang. MG menyebabkan permasalahan transmisi yang mana terjadi
pemblokiran AchR di serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak sampainya
impuls dari serat saraf ke serat otot sehingga menyebabkan tidak terjadinya
kontraksi otot.

MG ditandai oleh kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat.


Otot yang paling sering terkena adalah ekstraokular, tungkai, wajah dan otot
leher. Myastenia dalam bahasa latin artinya kelemahan otot dan gravis artinya
parah.

Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada Miastenia gravis


tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh
atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik
yang berperanan. Gangguan tersebut kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi,
atau penggunaan obat-obatan tertentu, seperti nifedipine atau verapamil
(digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi), quinine (digunakan untuk
mengobati malaria), dan procainamide (digunakan untuk mengobati kelainan
ritme jantung).

3.2 Saran

29
Disarankan kepada mahasiswa/i kesehatan untuk dapat mempelajari secara lebih
mendalam mengenai Asuhan Keperawatan Gangguan Imunitas Myastenia Gravis
yang diharapkan ketika terjun ke lapangan dapat menerapkan secara maksimal
ilmu yang didapat, baik secara teori maupun praktik.

Penulis juga menyadari bahwa makalah dengan judul “Asuhan Keperawatan


Gangguan Imunitas Myastenia Gravis” ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, penulis mengharapkan saran yang membangun dari para pembaca guna
perbaikan makalah ini.

30
DAFTAR PUSTAKA

Fitri. F.I, 2011, ‘MYASTHENIA GRAVIS’, Universitas Sumatera Utara, Medan, Hal. 8
https://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/40820/MYASTHENIA
%20GRAVIS.pdf?sequence=1&isAllowed=y
Dwimartyono, Fendy, 2019, ‘Nyeri Neuropatik Pada Penderita Myastenia Gravis’,
Vol. 1, No.1, GREEN MEDICAL JOURNAL, hal. 1
https://greenmedicaljournal.umi.ac.id/index.php/gmj/article/download/25/19
https://id.scribd.com/document/339210141/ASKEP-Myastenia-Gravis-copy

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Implementasi Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI.

31

Anda mungkin juga menyukai