Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing, berhak

memperoleh sesuatu hak atas tanah. Orang perseorangan selaku subyek hak atas

tanah, yaitu setiap orang yang identitasnya terdaftar selaku Warga Negara Indonesia

atau Warga Negara Asing, baik yang berdomisili di dalam atau di luar wilayah

Republik Indonesia dan tidak kehilangan hak memperoleh sesuatu hak atas tanah.

Namun, dalam mendapatkan hak atas tanah tersebut terdapat peraturan-peraturan

Undang-Undang untuk melakukan tindakan hukum dalam lalu-lintas hukum


3
pertanahan tidak semua orang dapat melakukannya .

Peraturan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) atau disebut

juga dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-pokok Agraria. Undang-undang ini disahkan dan diundangkan pada

tanggal 24 September 1960 di Jakarta. Tujuan dikeluarkannya UUPA adalah

untuk mengakhiri dualisme hukum agraria di Indonesia pada saat itu. Dalam

kurun waktu lebih dari satu dasawarasa sejak proklamasi, sebagian besar

masyarakat Indonesia masih memberlakukan hukum agraria berdasarkan hukum

barat (kolonial) dan sebagian kecil lainnya berdasarkan hukum adat. Hukum

agraria yang berdasarkan hukum barat jelas memiliki tujuan dan sendi-sendi dari

pemerintah jajahan. Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (untuk

3 S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Persyaratan Permohonan Di


Kantor Pertanahan, Gresindo, Jakarta, 2005, hal. 7.

1
selanjutnya disebut UUD) dinyatakan, bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat”, berdasarkan Pasal tersebut, maka bahan tambang

yang ada dalam tubuh bumi Indonesia adalah Hak Bangsa Indonesia, sebagai satu

kesatuan bukan perorangan atau golongan tertentu. Pasal 33 ayat (3) UUD

tersebut merupakan hak penguasaan atas sumber Daya Alam sebagai penugasan

pelaksanaan Hak Bangsa Indonesia yang termasuk bidang hukum publik dan

meliputi semua Sumber Daya Alam Bangsa Indonesia. Hak Bangsa Indonesia

diatur dalam Pasal 1 angka 1, 2, dan 3 UUPA. Hak Bangsa Indonesia adalah

hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa
4
Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya . Hak Bangsa

mengandung 2 unsur yaitu unsur kepunyaan dan unsur tugas kewenangan untuk

mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang

5
dipunyainya .

Hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional

yang diatur sekaligus ditetapkan dalam UUPA, yaitu :

1. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA) Hak Bangsa Indonesia merupakan

hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dalam hukum tata nasional, bersifat
6
abadi dan merupakan induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah .

4 Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah Nasional dalam Pengadaan Tanah untuk
Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2005, hal. 14-15
5 Ibid., hal 16
6 Boedi harsono, Menuju Penyempurna Hukum Tanah Nasional, Universitas
Trisakti, Jakarta, 2007, hal 43

2
Hak Bangsa Indonesia bersifat abadi sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan

UUPA huruf II, bahwa selama rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa

Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan ruang angkasa Indonesia masih ada

pula, dalam keadaan yang bagaimanapun, tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan

dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.

Hak Bangsa mempunyai 2 (dua) unsur yaitu unsur Perdata dan unsur Publik.

Unsur perdata dari Hak Bangsa dapat dilihat dari pernyataan “tanah dikuasai oleh

bangsa Indonesia sebagai tanah-bersama”, walaupun mempunyai hubungan

hukum perdata bukan berarti bahwa Hak Bangsa tersebut adalah hak pemilikan

pribadi yang tidak memungkinkan adanya hak milik individual.

Hak Bangsa dalam Hukum Tanah Nasional adalah hak kepunyaan, yang

memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah-bersama dengan Hak Milik oleh

para warganegara secara individual. Unsur Publik dari Hak Bangsa berisikan

tugas-wewenang untuk mengatur dan mengelola tanah-bersama tersebut bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, yang pelaksanaannya ditugaskan kepada

Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan Bangsa yang tertinggi.

2. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA) Berdasarkan unsur publik

dari Hak Bangsa, pelaksanaan tugas-wewenang untuk mengatur dan mengelola

tanah-bersama ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, sebagaimana telah

diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pengaturan lebih khusus mengenai

pemberian kekuasan kepada Negara diatur dalam Pasal 2 UUPA. Pasal 2 UUPA

tersebut disebut Hak Menguasai Negara, yaitu sebutan yang diberikan oleh UUPA

3
kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara Negara dan tanah

Indonesia yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Pasal 3 UUPA) Pengertian hukum

Hak Ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat

hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya,

sebagai “lebensraum” para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya

alam, termasuk tanah, yang ada dalam wilayah tersebut. Pasal 3 UUPA

mengandung pengakuan mengenai keberadaan Hak Ulayat dalam Hukum Tanah

Nasional sepanjang menurut kenyataannya masih ada.

4. Hak-Hak Perorangan/individual Hak-hak perorangan yang memberi

kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan dan/atau

mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, yang terdiri atas:

1) Hak Atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang

disebut dalam Pasal 16 dan 53 UUPA

2) Wakaf yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan Pasal 49 UUPA.

3) Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal

25, 33, 39, dan 51 UUPA. Hak Tanggungan adalah satu-satunya hak

jaminan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional. Hak Tanggungan

merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang kepada

kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah tertentu apabila

debitor cedera janji untuk mengambil perlunasan hutang dari penjualan

tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditor lain.

4
Hal ini dapat dipastikan bahwa pemberlakuan hukum agaria tersebut jelas

tidak akan mampu mewujudkan cita-cita Negara sebagaimana yang tertuang

dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3), yaitu Bumi, air dan

ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.

kewenangan untuk mengatur penguasaan penggunaan tanah bersama

tersebut pelaksanaannnya dilimpahkan kepada Negara. Unsur tugas kewenangan

untuk mengatur dalam Hak Bangsa Indonesia sebagai pemegang hak yang

tertinggi dikuasakan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi

kekuasaan seluruh rakyat. Pemberian kekuasaan kepada Negara Republik

Indonesia untuk mengatur tersebut, telah diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD

sebagaimana tersebut diatas. Pengaturan lebih khusus mengenai pemberian

kekuasan kepada Negara diatur dalam Pasal 2 UUPA. Pasal 2 UUPA tersebut

disebut Hak Menguasai Negara, yaitu sebutan yang diberikan oleh UUPA kepada

lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara Negara dan tanah Indonesia
7
yang dirinci isi dan tujuannya dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3) UUPA , yang

berbunyi sebagai berikut:

Ayat (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 Pasal ini
memberi wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelanggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, jilid 1, Edisi revisi, Djambatan, Jakarta 2003,
hal. 271.

5
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.

Ayat (3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut
pada ayat (2) pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
8
merdeka, berdaulat, adil dan makmur .

Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA

yaitu “atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah,

yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun

9
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum .

Karena sesuai dengan sifat proses pemeriksaannya yang bercorak ex-parte atau

sepihak, nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam penetapan sama dengan
10
sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti :

1. Nilai kekuatan pembuktiannya hanya mengikat pada diri pemohon saja.

2. Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak

ketiga

Pokok-pokok tujuan diberlakukannya UUPA, adalah untuk meletakkan

dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat

untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat,

8 Indonesia, Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5


Tahun 1960 L.N. No. 1960-104 Tahun 1960, T.L.N No. 2043, Pasal 2 ayat (2) dan (3).
9 Urip Santoso, Hukum Agraria & Hak-hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2007, hlm 10
10 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta,
2006, hal. 39-40.

6
terutama rakyat tani, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan

makmur, meletakkan dasar-dasar untuk kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum

pertanahan, serta meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum

mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Kepastian hukum bagi pemilik

hak atas tanah, oleh UUPA sendiri disebutkan, hanya dapat diperoleh melalui

prosedur pendaftaran tanah (dimana sebagian pihak menyebutnya sebagai proses

"pensertipikatan tanah").

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, atas dasar hak

menguasai dari negara maka menjadi kewajiban bagi pemerintah melaksanakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut Undang-

undang Pokok Agraria yang individualistik komunalistik religius, selain bertujuan

melindungi tanah juga mengatur hubungan hukum hak atas tanah melalui

penyerahan sertipikat sebagai tanda bukti hak atas tanah bagi pemegangnya,

demikian juga dalam peralihan hak dengan jual beli atas tanah tersebut.

Di dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan setiap peralihan hak atas

tanah melalui jual-beli hanya dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta

yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Di mana, pendaftaran hak atas

tanah ini menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPA yang merupakan pembuktian

yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan atas tanah

tersebut.

Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman,

terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas merupakan dasar dari suatu kegiatan, hal

7
ini berlaku pula pada pendaftaran tanah. Oleh karena, dalam pendaftaran tanah ini

terdapat asas yang harus menjadi patokan dasar dalam melakukan pendaftaran

tanah. Dalam pasal 2 PP nomor 24 tahun 1997 dinyatakan bahwa pendaftaran

tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana.

Pengertian dari Asas Sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan

agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat

dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama hak atas tanah.

Fakta yang terjadi didalam praktik, ditemukan bahwa asas mudah dan

dapat dipahami hanyalah pada aturan prosedurnya artinya untuk kegiatan

pendaftarannya sendiri masih menemui kendala jangka waktu yang panjang,

bahkan dalam perjalanannya prosedur pendaftaran tanah tidak selesai disebabkan

adanya kendala biaya atau syarat tambahan. Ada beberapa alasan diantaranya

sebagai contoh yaitu alasan perbedaan luas tanah antara data yuridis dan data fisik

setelah dilakukannya pengukuran. Sehingga tujuan dari asas sederhana itu sendiri

belum bisa tercapai. Makna sederhana dalam kamus besar bahasa indonesia
11
dipahami sebagai suatu perbuatan (tindakan) yang hemat dan tuntas . Tentunya

hak tersebut harus dipahami hemat dalam arti efisien baik biaya, waktu dan

prosedurnya, sedang tuntas bisa dipahami sebagai suatu perbuatan (tindakan) yang

efektif artinya tidak berbelit-belit dan prosedurnya terlaksana dengan baik

sehingga terlihat hasilnya.

Selanjutnya, dalam Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, adanya larangan bagi PPAT untuk

11 Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Penerbit Departemen
Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jakarta, 2005

8
membuat akta jual beli atas tanah yang sudah terdaftar, jika kepadanya tidak

disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan

tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

Keberadaan PP Nomor 24 Tahun 1997 ini memberikan nuansa yang

sangat berbeda dengan PP Nomor 10 Tahun 1961. PP Nomor 24 1997 berusaha

memberikan kepastian hukum terhadap pemilik atau yang menguasai tanah untuk

melakukan pendaftaran tanah. Hal ini terlihat dengan adanya aiatem pendaftaran

secara sporadis dan sistem pendaftaran secara sistematik. Pendaftaran tanah yang

dilakukan dengan cara sporadik, pemilik tanah yang aktif untuk melakukan

pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan pendaftaran

tanah yang melibatkan pemerintah (Badan Pertanahan Nasional) sebagai


12
pelaksana dibantu oleh sebuah panitia independen .

Sejalan dengan asas yang terkandung dalam Pendaftaran Tanah, maka

tujuan yang ingin dicapai dari adanya pendaftaran tanah tersebut diatur lebih

lanjut pada Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun 1997, dinyatakan pendaftaran tanah

bertujuan :

1.Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain

yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan;

2.Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintahan agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

12 Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahan, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, hal.
241

9
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah

dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

3.Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Ketentuan tentang kepastian hukum hak atas tanah ini diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

Kemudian sesuai dengan dinamika dalam perkembangannya, Peraturan

Pemerintah tersebut disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah terbaru ini

memang banyak dilakukan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk

penyelenggaraan pendaftaran tanah.

Tanah merupakan sesuatu yang memiliki nilai yang sangat penting di

dalam kehidupan masyarakat, karena tanah identik dengan kelangsungan hidup

masyarakat. Tak hanya sekedar lahan untuk bermukim, tetapi juga dapat menjadi

tempat mata pencaharian masyarakat. Hak atas tanah merupakan hak untuk

menguasai sebidang tanah yang dapat diberikan kepada perorangan, sekelompok

orang, atau badan hukum. Jenis hak atas tanah bermacam-macam, misalnya hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain sebagainya. Tanah

berfungsi untuk memberikan pengayoman agar tanah dapat merupakan sarana

bagi rakyat untuk mencapai penghidupan yang layak sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam hukum agraria nasional
13
membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk :

13 Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm.64.

1
a. hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat

dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang

mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau

ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna

Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).

b. hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang

bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,

dan hak menyewa atas tanah pertanian.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa kepastian

hukum mengenai hak-hak atas tanah sebagaimana yang di amanatkan UUPA

mengandung dua dimensi yaitu kepastian obyek hak atas tanah dan kepastian

subyek hak atas tanah. Mengenai keabsahan dan kehalalan hak milik, telah

dikenal dua asas, pertama asas“Nemo plus juris transfere potest quam ipse

habel”, artinya tidak seorangpun dapat mengalihkan atau memberikan sesuatu

kepada orang lain melebihi hak miliknya atau apa yang dia punyai. Kedua, asas

“Nemo sibi ipse causam possessionis mutare potest”, artinya tidak seorangpun

mengubah bagi dirinya atau kepentingan pihaknya sendiri, tujuan dari penggunaan
14
objeknya .

Dalam hal ini seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah pada pelaksanaan

pendaftaran tanah, berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam

melaksanakan tujuan pendaftaran tanah. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai Pejabat Umum tersebut harus dapat

14 Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta,
2008, hlm.8-9

1
dipertanggung jawabkan secara hukum, terutama sekali pada saat pendaftaran

aktanya dalam proses penerbitan sertipikat. Pasal 1 angka 24 PP No. 24 Tahun

1997 menyatakan bahwa ” Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum

yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu.”

Profesionalitas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan

akta perlu ditingkatkan. Salah satu cara Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT)meningkatkan profesionalitasnya adalah dengan memahami secara

keseluruhan perangkat hukum dibidang pertanahan, sehingga dalam

pelaksanaannya tidak dihadapkan pada permasalahan, karena adanya perbedaan


15
persepsi terhadap ketentuan yang ada .

Pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan pertama-tama

memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang

dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya.

Dalam menghadapii kasus-kasus konkret, diperlukan juga terselenggaranya

pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk

dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya.

Bagi para pihak yang berkepentingan seperti calon pembeli dan calon

kreditor, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenaii tanah yang

menjadi objek perbuatan hukum yang akan dilakukan. Bagi pemerintah untuk

melaksanakan kebijaksanaan pertanahan. Program-program pemerintah yang

terkait dengan kebijaksanaan pertanahan, yaitu khususnya pada penyelenggaraan

tertib administrasi pertanahan, seperti penerbitan sertipikat hak-hak atas tanah

15 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar Grafik,
Jakarta, 2004 ), Hal. 159

1
yang terbagi atau terdiri dari bermacam-macam hak atas tanah diantaranya : Hak

Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai,

Hak Sewa dan masih banyak lagi. Hak Milik atas tanah, sudah pasti merupakan

macam atau status hak atas tanah yang paling tinggi derajatnya bila dibanding

dengan macam atau status hak lainnya. Hak Milik adalah hak yang tidak dibatasi

masa berlakunya oleh negara, dan karenanya ia mempunyai harga atau nilai yang

paling tinggi bila dibanding dengan macam atau status hak atas tanah lainnya
16
untuk bidang tanah yang sama kualitasnya .

Hak Milik adalah hak paling tinggi status sosial ekonominya. Namun hak

milik juga rawan terhadap tangan-tangan jahil beritikad buruk dari pihak lain,

buktinya tak jarang terdengar kasus dimana tanah milik seseorang yang

menyertipikatkan tanahnya pada waktu pengukuran tetangga batasnnya tidak

dipanggil, hanya mengira-ngira batas tanahnya, sehingga membuat sertipikat

tumpang tindih dengan tetangganya. Bahkan tak jarang pula banyak beredar

sertipikat hak atas tanah yang samping tanahnya ikut disertipikatkan sebagian

sehingga terjadi istilah“ Sertipikat Tumpang Tindih “.

Penerbitan sertipikat diperlukan suatu proses yang melibatkan pihak

pemohon, para pemilik tanah yang bersebelahan, pamong desa maupun pihak

instansi yang terkait seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dalam hal ini

Kantor Pertanahan berfungsi untuk keperluan pendaftarannya. Para pihak yang

terkait dalam pensertipikatan tanah berfungsi sebagai media untuk memperoleh

16 Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara, dan
Tanah Pemda, Teori Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2004, Hal.2

1
penjelasan mengenai surat-surat, yang dijadikan sebagai alas hak permohonan

penerbitan sertipikat. Penjelasan baik lisan maupun tertulis dari pihak terkait

memiliki peluang untuk terjadinya tumpang tindih sertipikat tanah dalam batas-

batas tanah, kadaluwarsa bahkan ada kalanya tidak benar atau fiktif sehingga

timbul sertipikat cacat hukum.

Dalam memonitor setiap lembar sertipikat yang telah beredar tidaklah

mudah, sehingga masih saja terdengar adanya sertipikat tumpang tindih, meskipun

telah ada usaha-usaha pencegahannya. Upaya untuk mencegah adanya sertipikat

tumpang tindih tanah telah dilakukan, antara lain dengan mencetak blangko

sertipikat yang menggunakan teknis pencetakan mutakhir, pada waktu

pengukuran sertipikat tersebut harus disertai tetangga-tetangga desa samping

tanahnya sehingga sulit terjadi kekeliruan dalam batas-batas tanah. Ditunjang

dengan pengelolaan tertib administrasi dan upaya lain untuk mencegah sertipikat-
17
sertipikat palsu, sertipikat tumpang tindih batas tanah . Masyarakat Kabupaten,

dalam hal ini Kabupaten Kudus banyak yang menggunakan jasa PPAT, untuk

melakukan pengurusan penerbitan sertipikat. Fenomena ini terjadi diKabupaten

besar dengan latar belakang tingkat aktivitas dan kesibukan yang tinggi.

Masyarakat yang tergolong dalam tingkat aktivitas yang tinggi ini merasa

terhalang faktor waktu. Kondisi seperti ini membuat sebagian masyarakat yang

bersangkutan cenderung meminta jasa PPAT dalam menyelesaikan

pengurusannya.

17 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003, Hal.25

1
Masyarakat merasa PPAT adalah pilihan yang tepat untuk menyelesaikan

pengurusan penerbitan sertipikat. PPAT yang diberi kuasa melakukan pengurusan

bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala permasalahannya, diantaranya

mengurus semua kelengkapan dokumen, surat-surat, saksi-saksi, mendaftarkannya

ke BPN, termasuk memenuhi semua prosedur persyaratan pendaftaran, sampai

diterbitkannya sertipikat. Sertipikat yang telah selesai pengurusannya kemudian

oleh PPAT diserahkan kepada pemiliknya. Pengurusan sertipikat melalui jasa

PPAT merupakan suatu alternatif sekaligus solusi bagi sebagian masyarakat yang

tidak mampu untuk melakukan pemgurusannya sendiri. Bagi masyarakat, PPAT

selain sebagai tempat untuk meminta bantuan jasa pengurusan, juga berguna

sebagai media konsultasi hukum bagi masyarakat. Interaksi PPAT dengan

masyarakat sangat bermanfaat dan berpotensi untuk memberikan suatu wacana

dan solusi hukum kepada masyarakat.

Pelayanan jasa PPAT sangat membantu bagi sebagian masyarakat, apalagi

bagi masyarakat yang awam hukum. Sebagian masyarakat yang awam hukum

merasa tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang mereka

hadapi, karena keterbatasan masyarakat akan pengetahuan hukum itu sendiri.

Sebagian masyarakat menganggap keberadaan PPAT ini berguna sebagai

tempat untuk mencari solusi atas permasalahan hukum masyarakat, khususnya

hukum pertanahan. Masyarakat yang cenderung untuk menggunakan jasa PPAT

biasanya dikarenakan mereka tidak mampu dihadapkan dengan berbagai faktor

yang menjadi kendalanya. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah pemilik

tanah tidak mengerti prosedur pengurusannya, pemilik tanah mengalami kesulitan

1
pada persyaratan yang harus dipenuhi pada proses permohonan sertipikat.

Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa persyaratan tersebut rumit bahkan

terkadang berbelit-belit. Kondisi seperti ini membuat sebagian masyarakat tidak

mampu untuk melakukan pengurusannya sendiri.

Untuk itu dari berbagai kendala yang ada para pemilik tanah yang akan

mensertipikatkan tanahnya biasanya menunjuk PPAT, sebagai kuasanya untuk

melakukan penyelesaian pengurusan permohonan penerbitan sertipikat ini.

Pendaftaran tanah sangat diperlukan untuk membangun keakurasian data

kepemilikan secara administrasi agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan

terutama pada asas-asas pendaftaran tanah misalnya tentang pemecahan sertipikat

dan pembayaran BPHTB.

Pendaftaran tanah meliputi : pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah,

pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya, pemberian surat tanda bukti hak

yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (Pasal 19 UUPA: UU Nomor 5

Tahun 1960). Pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi

1.pengumpulan dan pengelohan data fisik ;

2.pembuktian hak dan pembukuannya, penerbitan sertipikat, penyajian data fisik

dan data yuridis, penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Kegiatan pengumpulan dan pengolahan data fisik meliputi kegiatan pengukuran

dan pemetaan, termasuk di dalamnya adalah pembuatan peta dasar pendaftaran,

penetapan batas bidang-bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang

tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah, serta pembuatan

Surat Ukur. Pengukuran dan pemetaan dimaksud dilaksanaan bidang demi bidang

1
dengan satuan wilayah Desa/Kelurahan. Sebelum dilaksanakan pengukuran,

batas-batas tanah harus dipasang tanda batas dan ditetapkan batas-batasnya

melalui asas kontradiksi delimitasi (dihadiri dan disetujui oleh pemilik tanah yang

letaknya berbatasan langsung) dengan bidang tanah dimaksud. Kegiatan tersebut

dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah, maka
18
diselenggarakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia.

Ketentuan pendaftaran tanah, dengan berlakunya pasal 19 UUPA maka

sistem pendaftaran tanah di Indonesia berubah dari sistem pendaftaran akta

menjadi sistem pendaftaran akta menjadi sistem pendaftaran hak untuk itu

diterbitkanlah peraturan pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997. Sistem pendaftaran tanah setelah UUPA mewajibkan Departeman Agraria

waktu itu untuk menerbitkan buku tanah sesuai dengan sistem Torens (Australia)

yang dianut sistem pendaftaran tanah Indonesia.

Buku tanah adalah tempat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah,

peralihan hak dan pembebanan hak maupun lahirnya hak atau hapusnya hak atas

tanah yang sebelumnya kegiatan pendaftaran tanah tidak pernah melakukan hal

tersebut. Sebagai tuntutan sistem pendaftaran hak sesuai UUPA dimana buku

tanah tempat mendaftarkan hak yang dialihkan atau dibebankan berdasarkan akta
19
PPAT , maka akta yang dibuat para PPAT haruslah dipastikan kebenaran

formalnya sehingga Departemen Agraria/BPN perlu untuk menerbitkan blangko

18 http://www.kalimantanpost.com/opi ni/publik/794-Pendaftaran-tanah-
dalam- rangka-kepastian-hukum.html, diakses pada tanggal 26 Desember 2016
19 Beradasarkan PP 24 Tahun 1997, BPN dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
Pejabat Pembuatan Akta Tanah (Notaris-PPAT)

1
akta yang dapat dikontrol kebenarannya dengan kode dan nomor tertentu untuk

menjamin kebenaran formal akta tersebut.

Pendaftaran hak dalam sistem pendaftaran hak atas tanah meliputi :

1.Pendaftaran Hak Konversi Bekas Hak Lama dan Hak Milik Adat.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pembuktian bekas Hak

Lama dan Hak Milik Adat dilakukan melalui alat-alat bukti mengenai adanya hak

tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang

bersangkutan yang kadar kebenarannya dianggap cukup oleh pejabat yang

berwenang. Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat

pembuktian tersebut di atas, pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan

kenyataan penguasaan fisik selama 20 (duapuluh) tahun atau lebih secara berturut-

turut dengan syarat :

a.penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka

serta diperkuat oleh kesaksian yang dapat dipercaya;

b.penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau

desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lain.

Dalam rangka menilai kebenaran alat bukti tersbut dilakukan pengumpulan dan

penelitian data fisik dan data yuridis atas tanah yang bersangkutan.

Permasalahan tumpang tindih tanah yang sering terjadi adalah tumpang tindih

tanah antara batas-batas tanah dengan tetangga.

Permasalahan tersebut terjadi karena disebabkan Penerbitan izin lokasi yang

dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Penetapan tidak

melekat asas ne bis in idem, karena sesuai sesuai dengan ketentuan Pasal 1917

1
KUH Perdata, apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif

(menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan

hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu,

20
terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya .

Daerah kabupaten yaitu Bupati yang menerbitkan izin untuk kegiatan usaha baru

tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah

Provinsi.

Saat ini banyak sekali terjadi tumpang tindih hak atas tanah dalam

beberapa daerah pada bidang obyek tanah, sehingga menyebabkan terjadinya

sengketa obyek tanah seperti yang terjadi pada tanah milik tuan Kasmono dan ibu

Maryatun yang mempunyai sebidang tanah pekarangan terdapat pada Hak Milik

1678 Desa Karangbener Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, pada saat ingin

mendaftarkan tanahnya untuk dilakukan pengukuran pemecahan menjadi 2 (dua)

bidang, didaftarkannya ke Badan Pertanahan untuk dilakukan pemecahan obyek

bidang tanah tersebut, setelah sampai dibagian ukur terjadi pengukuran ternyata

dilokasi obyek tanah tersebut ukuran tanah berdasarkan sertipikat ikut ke tanah

samping atau tanah tetangga yang bernama Mohamad Roekan, sehingga

menyebabkan sengketa tanah diantara obyek tanah mereka.

Salah satu kasus sengketa kepemilikan sertipikat hak atas tanah Hak Milik

yang terjadi di Kantor Badan Pertanahan Nasional/ATR Kabupaten Kudus pada

tahun 2009 ini, dua sertipikat tersebut wajib untuk mencabut sertipikat kedua hak

atas tanah tersebut untuk dilakukan perubahan atau revisi.

20 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998,


hal.173.

1
Gambaran kasus sengketa tersebut yakni tanah pekarangan milik tuan Kasmono

dan ibu Maryatun yang tercatat dalam Sertipikat Hak Milik (SHM) Desa

Karangbener Nomor 1678 selanjutnya tanah pekarangan milik tuan Mohamad

Roekan tercatat dalam sertipikat Hak Milik Desa Karangbener Nomor 2807 atas

nama Mohamad Roekan seluas 333 m2 (tigaratus tigapuluh tiga meter persegi).

Sedangkan tanah tuan Mohamad Roekan seluas 333 m2 tersebut hasil penerbitan

sertipikat dari salah satu pecahan dari bidang tersebut, sehingga tanah dari milik

tuan Kasmono dan ibu Maryatun berkurang luasnya karena sudah menjadi milik

sampingnya dan sudah terbit juga sertipikatnya. Pada tanggal 31 Mei 2016 yang

isinya adalah undangan mediasi, dimana para pemilik tanah kavling disamping

tanah tersebut untuk diharap hadir pada tanggal 3 Juni 2016 dengan keperluan

untuk melaksanakan mediasi. Bahwa atas undangan mediasi dari Badan

Pertanahan Nasional/ATR kabupaten Kudus, para pihak pemilik tanah juga

pemilik tanah samping-sampingnya pada tanggal 3 Juni 2016 hadir, dan saat

mediasi itulah para pihak baru mengetahui bahwa telah terjadi tumpang tindih

(overlap) sertipikat.

Pada saat pelaksanaan mediasi pada tanggal 3 Juni 2016 Para Pihak juga baru

mengetahui bahwa terhadap Sertipikat Obyek Sengketa akan diadakan proses

pemecahan.

Berdasarkan gambaran kasus tersebut, sertipikat obyek sengketa yang

diterbitkan oleh tetangga samping-sampingnya, setelah diterbitkannya sertipikat

Hak Milik dengan nomor induk bidang tanah masing-masing 01323,

01324,01325, 01326 yang sudah dipecah menjadi beberapa tanah kavling dan

2
obyek tanah milik tuan Kasmono dan ibu Maryatun tersebut, terbukti/telah terjadi

tumpang tindih (overlap). Terhadap tanah-tanah tetangga sampingnya yang

merasa tidak mengurangi tanah milik dati tuan Kasmono dan ibu Maryatun

tersebut tidak mengijinkan untuk memperbarui sertipikatnya.

Dari penjelasan uraian latar belakang tersebut diatas maka penelitian ini

diangkat menjadi judul penelitian tesis ini tentang : “Perlindungan Hukum Bagi

Pemegang Hak Atas Tanah Dalam Kasus Tumpang Tindih Kepemilikan Atas

Sebidang Tanah Di Badan Pertanahan Nasional / ATR Kabupaten Kudus”.

B. Perumusan Masalah

Latar belakang penelitian tersebut di atas, maka dalam penelitian ini

permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana Prosedur Terbitnya Sertipikat Baru Dengan Ketentuan


Undang-Undang Pokok Agraria ?
2. Faktor-Faktor Apa Saja Yang Menyebabkan Tumpang Tindih
Kepemilikan Hak Atas Sebidang Tanah di Badan Pertanahan Nasional /
ATR Kabupaten Kudus?
3. Bagaimanakah Perlindungan Hukum Terhadap Para Pemegang Hak
Atas Tanah Bilamana Terjadi Tumpang Tindih Kepemilikan Sebidang
Tanah?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini tujuan yang diharapkan dapat dicapai adalah sebagai

berikut :

2
1. Untuk mengetahui dan menganalisa prosedur terbitnya sertipikat baru

dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa yang menyebabkan terjadinya

tumpang tindih kepemilikan hak atas sebidang tanah di Badan Pertanahan

Nasional / ATR Kabupaten Kudus.

3. Untuk mengetahui dan menganalisa upaya perlindungan hukum terhadap

para pemegang hak atas tanah bilamana terjadi tumpang tindih

kepemilikan sebidang tanah.

D. Manfaat Penelitian

Diharapkan dalam penelitian ini dapat bermanfaat dan berguna secara

teoritis dan praktis mengenai perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah

dalam kasus tumpang tindih kepemilikan atas sebidang tanah dalam kasus

tumpang tindih kepemilikan atas sebidang tanah di Badan Pertanahan

Nasional/ATR kabupaten Kudus.

1. Secara Teoritis

a. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum

perdata dan kenotariatan melalui kegiatan penelitian hukum pertanahan

dalam mewujudkan tertib administrasi pertanahan melalui pelaksanaan

pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik, pengukuran, pemetaan

sampai tahap penerbitan sertipikat. Menggunakan pasal-pasal yang

akan digunakan untuk mempermudah penelitian ini dan mendapatkan

suatu gambaran mengenai kasus yang akan dibahas, Yang diharapkan

2
dapat memberikan dan mengembangkan wawasan pengetahuan ilmu

hukum khususnya ilmu pertanahan.

b. Untuk mengetahui secara langsung tata cara pendaftaran tanah dalam

penerapan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan pertama kalinya

penerbitan sertipikat yang benar secara sporadik dan alasan terjadinya

berbagai faktor yang menjadi kendala-kendala dalam proses

penerbiatan sertipikat tersebut sehingga tidak terjadi tumpang tindih

batas tanah (overlap) sertipikat, ditinjau dari sudut pandang masyarakat

dan instansi yang berwenang serta tata cara pendaftaran hak tanahnya di

Kantor Pertanahan Nasional/ATR Kabupaten Kudus.

2. Secara Praktis

a. Memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat luas

terutama di Desa atau di Kampung-kampung yang kurang pemahaman

tentang pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik,

pengukuran dan pemetaan yang juga menjadi tugas PPAT.

b. Memberikan referensi pada masyarakat yang berkepentingan dan

instansi yang berwenang, sehingga dapat mengambil langkah - langkah

serta cara untuk mengatasi kendala - kendala yang terjadi pada

pelaksanaan pendaftaran tanah pertama kali secara sporadik,

pengukuran dan pemetaan.

c. Dapat memberikan pertimbangan dalam menyelenggarakan kebijakan

pertanahan bagi aparat pemerintahan yang terkait, khususnya pada

waktu pensertipikatan hak atas tanah sesuai dengan prosedur dalam

2
ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sehingga meminimalisir

resiko terjadinya sengketa tanah kepemilikan sertipikat / hak atas tanah

tumpang tindih dikemudian hari.

E. Kerangka Konseptual
Leter C
1.UUPA
2.PP No.24 tahun 1997
3.Permen Agraria No. 3 Tahun 1997
4.PP. No.37 tahun 1998 tentang
Pendaftaran Tanah
Peraturan Jabatan PPAT

Cara dan
syaratnya
sistematik sporadik

Kantor PPAT Dijalankan Sendiri

Didaftarkan di BPN

Pengukuran tanah

Pemetaan Tanah

Penerbitan Sertipikat

Terjadi tumpang
tindih batas tanah

Penyelesaian

Kesimpulan

2
Penelitian ini dalam bentuk bagan tersebut memberi wacana dalam pembuatan

atau penerbitan sertipikat baru tata cara penerbitan tersebut dari mulai Leter C

yaitu tanah yang belum bersertipikat yang masih punya bukti berupa Petuk Desa

yang bernama Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang setiap tahun bayar pajak nya,

dalam bagan tersebut dengan menggunakan Undang-Undang Pokok Agraria

Nomor 5 tahun 1960 pada Pasal 19 :

Ayat 1 : Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan


pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Ketentuan ini menyatakan bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas Pemerintah,

yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dan perlindungan

hukum di bidang pertanahan. Diselenggarakannya pendaftaran tanah membuat

para pihak yang bersangkutan dapat dengan mudah mengetahui status atau

kedudukan hukum dari pada tanah-tanah tertentu yang dihadapinya, letak, luas

dan batas-batas, siapa yang mempunyai dan beban-beban apa yang ada
21
diatasnya . Realisasi untuk mewujudkan pendaftaran tanah. , sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 19 UUPA awalnya dikeluarkan Peraturan Pemerintah

No.10 Tahun 1961. Kemudian diubah dengan ditetapkan dan diundangkan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

menggantikan Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961, PP No.24 Tahun 1997

mendapat pengaturan lebih rinci dalam Peraturan Menteri Negara


Agraria/Kepala

21 Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUAP,
Armico, Bandung, 1989, hal.37

2
Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 sebagai ketentuan
22
pelaksanaannya .

Buku tanah adalah tempat dilakukannya pendaftaran hak atas tanah,

peralihan hak dan pembebanan hak manapun lahirnya hak atau hapusnya hak atas

tanah sebelumnya, kegiatan pendaftaran tanah tidak pernah melakukan hal

tersebut. Sebagai tuntutan sistem pendaftaran hak sesuai UUPA dimana buku

tanah tempat mendaftarkan hak yang dialihkan atau dibebankan berdasarkan atka

PPAT, maka akta yang dibuat para PPAT haruslah dipastikan kebenaran

formalnya sehingga Departemen Agraria/Badan Pertanahan Nasional/ATR perlu

menerbitkan blangko akta yang dapat dikontrol kebenarannya dengan kode dan

nomor tertentu untuk menjamin kebenaran formal akta tersebut.

Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :


a.Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b.Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai
alat pembukti yang kuat.

Ayat 3 : Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan


Negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial, ekonomis
serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan
Menteri Agraria

Ayat 4:Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang


bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas,
dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan
dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

22 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan, Sinar Grafika,


Jakarta, 2003, hal 82

2
tentang Pendafataran tanah secara sistematik Pasal 31 ayat 1 untuk keperluan

pengumuman sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat 1 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 tahun 1997, dibuat peta bidang-bidang tanah, dan sporadik Pasal 36

Pemetaan bidang tanah pada suatu daerah yang pendaftaran tanahnya

diselenggarakan secara sporadik dilaksanakan sesuai ketentuan sebagaimana

dalam pasal 31, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah yaitu pada pengertian pendaftaran tanah yaitu pada Pasal 1 angka 1

menyatakan bahwa Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan data, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan

data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti

haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas

satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. Sedangkan untuk

pengertian tentang Pendaftaran Tanah Pertama Kali terdapat pada Pasal 1 angka 9

sebagai berikut, ” Pendaftaran Tanah Pertama Kali adalah kegiatan pendaftaran

tanah yang dilakukan terhadap obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

tanah atau Peraturan Pemerintah ini”. Dilanjutkan pengertian dari pendaftaran

tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang

dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang

belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan. Serta

pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

2
pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

Pendaftaran tanah pertama kali ini dapat dilakukan menjadi 2 (dua) tahap yaitu :

1. Pendaftaran tanah secara sistematik.

2. Pendaftaran tanah secara sporadik.

Kegiatan dan pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik

dan sporadik ini meliputi :

a. Pengumpulan dan pengelolaan data fisik.

b. Pembuktian Hak dan Pembukuannya.

c. Penerbitan sertipikat.

d. Penyajian data fisik dan data yuridis; dan


23
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen .

Dalam fakta tersebut yang terjadi dalam prakteknya, di Kabupaten Kudus

sebagian masyarakat di Kabupaten Kudus banyak yang melakukan Pendaftaran

tanah pertama kali secara sporadik melalui jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT). Sedangkan menurut Boedi Harsono dalam bukunya memberikan batasan

pengertian tentang pendaftaran tanah secara sporadik sebagai berikut, ”

Pendaftaran Tanah secara Sporadik adalah: Kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal.

Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang

berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas obyek pendaftaran tanah yang

23 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, Hal.487

2
bersangkutan atau kuasanya. Dalam Pelaksanaan pendaftaran tanah harus

dibuktikan dengan alat-alat bukti. Pembuktian tersebut dapat berupa bukti tertulis,

keterangan saksi dan atau pernyataan dari bersangkutan antara para pihak.

Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan

dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri. Pendaftaran

tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Terkadang kebenaran pembuktian oleh Panitia Ajudikasi/Kepala Kantor

Pertanahan yang dianggap cukup akan dijadikan sebagai dasar untuk melakukan

pendaftaran hak. Bukti pemilikan pada dasarnya terdiri atas bukti pemilikan atas

nama pemegang hak. Kemudian apabila Hak tersebut beralih, bukti peralihan hak

berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak berikutnya, maka dalam hal ini

harus dilakukan pengukuran dan pembukuan hak. Seringnya terjadi sengketa atas

pengukuran batas-batas terhadap batas tetangga, untuk keperluan pengumpulan

dan pengolahan data fisik dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan. Kegiatan

pengukuran dan pemetaan meliputi :

a.Pembuatan peta dasar pendaftaran;

b.Penetapan batas bidang-bidang tanah;

c.Pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan pembuatan peta

pendaftaran;

d.Pembuatan daftar tanah;

e.Pembuatan surat ukur.

Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah

bidang-bidang tanah yang akan dipetakan diukur, setelah ditetapkan letaknya,

2
batas batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap

sudut bidang tanah yang bersangkutan. Dalam penetapan batas bidang tanah pada

pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik

diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang

berkepentingan. Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib

dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Bentuk. ukuran, dan

teknis penempatan tanda batas. Penetapan batas bidang tanah yang sudah dipunyai

dengan suatu hak yang belum terdaftar atau yang sudah terdaftar tetapi belum ada

surat ukur/gambar situasinya atau surat ukur/gambar situasi yang ada tidak sesuai

lagi dengan keadaan yang sebenarnya. berdasarkan penunjukan batas oleh

pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan sedapat mungkin disetujui oleh

para pemegang hak atas tanah yang berbatasan. Penetapan batas bidang tanah

yang akan diberikan dengan hak baru.

Jadi dalam pengukuran Dalam arti pembukuan haknya dilakukan melalui

penegasan konversi, yaitu hak lama menjadi hak baru yang didaftar. Konversi

merupakan perubahan secara fundamental dari hukum Agraria lama, untuk

digantikan menjadi hukum Agraria baru yang bersifat nasional dan berlaku untuk

semua golongan di Indonesia. Dengan demikian terselenggaralah unifikasi

hukum. Selanjutnya pada pengakuan hak, pembukuan haknya dapat dilakukan

tidak didasarkan pada bukti pemilikan, melainkan pada bukti penguasaan fisik

tanah oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu – pendahulunya selama 20 ( dua

puluh ) tahun atau lebih secara berturut – berturut.

3
Tanah-tanah yang belum disertipikatkan dapat menimbulkan konflik dan

sengketa. Sebagian besar tanah yang belum disertipikatkan ini alat bukti

kepemlikannya adalah berupa leter C atau girik atau juga masih pethok. Kondisi

ini dapat menyulitkan masyarakat yang akan melakukan pensertipikatan tanah,

yaitu pada alat bukti dan kebenaran data tanah. Peraturan Menteri Agraria No. 3

Tahun 1997 Pasal 60 ayat (3) dan ayat (4) , yang dimaksud dalam pasala tersebut

itu mengenai kepemilikan ada tiga kemungkinan alat pembuktiannya, yaitu :

1. Bukti tertulisnya lengkap: tidak memerlukan tambahan alat bukti lain;

2. Bukti tertulisnya sebagian tidak ada lagi: diperkuat keterangan saksi dan atau

pernyataan yang bersangkutan;

3. Bukti tertulisnya semuanya tidak ada lagi: diganti keterangan saksi dan atau

pernyataan yang bersangkutan.

Dalam hal ini Ketiga alat pembuktian diatas semuanya akan diteliti lagi melalui

pengumuman, untuk memberi kesempatan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan mengajukan keberatan.

Masyarakat semakin menyadari akan pentingnya kepemilikan sertipikat. Bukti

kepemilikan yang sah dapat memberikan legalitas hukum terhadap penggunaan

dan pemilikan tanah, sehingga terjamin adanya kepastian dan perlindungan

hukum khususnya bagi para pemilik tanah. Pemilik yang akan melakukan

pengurusan permohonan sertipikat, yaitu masyarakat Kabupaten Kudus, pada

umumnya, ada yang pendaftarannya dilakukan sendiri oleh pemilik tanah yang

bersangkutan atau melalui jasa PPAT.

3
Ketentuan umum mengenai jabatan PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah

nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah,

yaitu dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa: ” Pejabat Pembuat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberikan kewengan untuk membuat

alat bukti otentik mengenai perbuatan hukum tertentu hak atas tanah dan hak

milik satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar pendaftaran tanah sebagai

akibat dari perbuatan hukum tersebut ”. Dalam menjalankan tugas pokok dan

kewenangannya PPAT lebih lanjut diatur dalam Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 1 tahun 2006 Pasal 2 menyebutkan

bahwa PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah

dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang akan

dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang

diakibatkan oleh perbuatan hukum tersebut. Yang dimaksud pada perbuatan

hukum tersebut adalah :

a.Jual beli
b.Tukar menukar
c.Hibah
d.Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
e.Pembagian hak bersama
f.Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik
g.Pemberian hak tanggungan
h.Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

Masyarakat di Kabupaten Kudus yang akan melakukan pendaftaran tanah

dengan melalui jasa PPAT yang mempunyai wewenang membuat akta tanah yang

merupakan akta otentik mengenai semua perbuatan hukum tersebut mengenai hak

3
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak didalam daerah

kerjanya, yang masyarakat lakukan biasanya datang dan berkonsultasi terlebih

dahulu dengan PPAT yang bersangkutan. Masyarakat ini ingin mengetahui tata

cara tahap-tahap dalam pembuatan penerbitan sertipikat gambaran lebih lanjut

tentang pengurusan dikantor PPAT tesebut, termasuk didalamnya mengenai biaya

dan berapa lama penyelesaian pengurusannya. Kemudian setelah mendapat

keterangan yang jelas dan setuju pihak pemilik tersebut, maka para pemilik tanah

ini menyerahkan berkasnya kepada PPAT. Proses selanjutnya PPAT yang

menjalankan dan menyelesaikan pendaftaran tanahnya, sampai pengukuran

sampai jalannya sertipikat di Badan Pertanahan Nasional/ATR Kabupaten Kudus

terbit dan diberikan kembali kepada pemiliknya.

Pada pendaftaran tanah ini ada juga sebagian masyarakat yang melakukan

sendiri pendaftarannya. Masyarakat yang melakukan sendiri pengurusan

pendaftaran tanahnya biasanya dikarenakan :

1. Karena mungkin orang atau si pemilik tanah mengetahui sendiri cara-cara

untuk pendaftaran tanah di Badan Pertanahan Nasional/ATR.

2. Karena masyarakat/orangnya gak terlalu sibuk atau si pemilik tanah masih

punya waktu banyak untuk meluangkan pendaftaran ini.

3. Masyarakat atau para pihak yang berkepentingan ini ingin mengetahui secara

langsung praktek dan cara pendaftarannya ke Badan Pertanahan

Nasioanal/ATR.

4. Menganggap bahwa dengan melakukan pendaftarannya sendiri biaya lebih

murah dari pada mereka menggunakan jasa PPAT.

3
Dalam praktik pendaftaran tanah sering kita dapati ada setengah orang yang

mungkin cenderung mau membantu pihak yang kaya atau mempunyai dana untuk

melakukan pembayaran lebih, karena mengharapkan sesuatu dari pihaknya. Ada

pula yang cenderung mau membantu pihak yang miskin, karena umunya mereka

orang-orang yang tak berdaya. Sikap memihak ke mana pun tidak benar. Konsep

keadilan religius memberikan pembatasan yang jelas yaitu bersikap adil tanpa

harus merasa takut atau terbawa oleh perasaan. Baik yang kaya atau miskin

keduanya berada di bawah perlindungan Allah, sepanjang kepentingan mereka sah

tetapi mereka tidak dapat mengharapkan keuntungan dengan mengorbankan pihak

lain.

Bagaiamana konsep religius memandang keadilan sosial. Dalam konsep

islam diterangkan bahwa Allah SWT memerintahkan manusia berlaku adil,

termasuk dalam memutuskan suatu perkara dan memberikan kesaksian. Keadilan

dalam hukum adalah keadilan yang dapat mewujudkan ketentraman, kebahagiaan

dan ketenangan secara wajar bagi masyarakat. Keadilan dalam hukum dapat

dilihat secara nyata dalam praktik, antara lain apabila keputusan hakim yang

dijatukan oleh aparat penegak hukum telah mampu memberikan rasa ketentraman,

kebahagiaan dan ketenangan bagi masyarakat dan mampu menumbuhkan opini

masyarakat bahwa putusan hakim yang dijatuhkan sudah adil dan wajar. Hal ini

akam memberikan kepercayaan pada masyarakat akan adanya lembaga

pengadilan yang membela hak dan menghukum yang melanggar. Tugas yang

diamanatkan pada Badan Pertanahan Nasional/ATR dan PPAT sebagai pelayan

masyarakat dibidang pertanahan adalah sama sebagaimana tugas hakim yaitu

3
sebagai penerap hukum (BPN/ATR dan PPAT sebagai penerap kebijakan hukum

pertanahan). Apabila kondisi demikian ini telah tercapai, hal ini akan membantu

mencegah timbulnya praktik main hakim sendiri yang sering dilakukan oleh

masyarakat yang tidak punya akan keputusan hakim.

Sedangkan bagi masyarakat yang memilih untuk menggunakan jasa PPAT dalam

melakukan pendaftaran tanahnya karena :

1. Faktor waktu yang tidak memungkinkan bagi si pemilik tanah untuk melakukan

pengurusan dan pendaftarannya sendiri.

2. Pemilik tanah merasa kesulitan dan tidak mengerti tentang prosedur dan tata

cara pendaftaran tanahnya.

3. Pemilik tanah lebih menginginkan praktisnya saja, sampai sertipikat


jadi.

Pada prakteknya dalam pendaftaran tanah ini terdapat faktor penghambat dan

pendukung diantarnya adalah sebagai berikut :

a. Faktor penghambatnya yaitu :

1. Data / riwayat tanahnya tidak lengkap.

2. Antara dokumen fisik dan yuridisnya ada perbedaan.

3. Kronologis akta yang terputus atau hilang.

4. Kemampuan finansial si pemilik tanah yang melakukan pengurusan.

b. Faktor pendukungnya yaitu :

1. Dengan adanya tanah tersebut disertipikatkan dapat menimbulkan kepastian

hukum bagi si pemilik tanah.

2. Meningkatkan nilai jual tanah dibanding tanah yang belum


bersertipikat.

3. Menimbulkan minat masyarakat untuk melakukan pendaftaran tanah.

3
Dalam pendaftaran tanah melalui jasa PPAT berperan dalam berbagai hal

diantaranya :

1. Memberikan pelayanan jasa pengurusan bagi sebagian masyarakat yang akan

melakukan penerbitan sertipikat melalui jasa PPAT.

2. Memberikan solusi kepada sebagian masyarakat atas permasalahan hukum

yang terjadi khususnya hukum pertanahan

3. Sebagai media konsultasi bagi masyarakat di bidang hukum.

4. Sebagai tempat interaksi hukum dengan masyarakat yang bersangkutan dan

diharapkan dapat memberikan suatu wacana dan sosialisasi hukum kepada

masyarakat.

Pendaftaran tanah bisa melalui PPAT atau dengan mendaftarkan sendiri ke Badan

Pertanahan Nasional/ATR setempat, nanti akan diberi penjelasan atau diterangin

syarat yang harus diajukan dalam pendaftaran tanah tersebut, dengan cara

sistematik dan sporadik, yang nantinya diharuskan ada pengukuran tanah dan

batas-batas tetangganya supaya tidak terjadi tumpang tindih batas atau overlap

tersebut.

Setelah terjadi pengukuran akan dialakukan pemetaan tanah sehingga

terbitlah sertipikat Hak atas Tanah, yang ternyata apabila terjadi tumpang tindih

setelah sertipikat terbit maka akan diadakan mediasi untuk penyelesaian atas

kasus tersebut secara bertahap dengan pemilik masing-masing sertipikat.

F. Metode Penelitian

3
Penulisan tesis ini didasarkan pada suatu penelitian. Penelitian yang dilakukan

oleh peneliti bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-

gejala lainnya. Maksudnya adalah untuk mempertegas hipotesis-hipotesis, agar

24
dapat membantu memperkuat teoriteori lama . Metode merupakan suatu prosedur

atau cara untuk mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah

25
sitematis . Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut

dilakukan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan

26
diolah .

Metode Penelitian yang akan dipergunakan dalam penulisan ini bersifat

eksplanatoris karena bersifat untuk menguraikan secara lebih mendalam mengenai

penyelesaian sengketa tumpang tindih tanah ini dengan tetangga batas tanahnya.

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu dengan

cara: Penelitian ini bersifat yuridis normative yaitu dengan melihat kenyataan

kenyataan yang telah terjadi dan kemudian melakukan pengkajian terhadap

peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen yang

berhubungan dengan penelitian ini. Dalam penelitian hukum normatif, pengolahan

data berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan

24 Ibid., hal.10
25 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodelogi Penelitian Sosial, PT.Bumi
Aksara, 2003, hal. 42.
26Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif- suatu
tinjauan singkat, Rajawali Pres, Jakarta, 1985, hal.1.

3
hukum tertulis. Sistematisasi, berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan

27
hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi .

Penelitian normatif ini merupakan penelitian terhadap sistematika hukum, yaitu

penelitian yang tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap

28
pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum .

Jenis data yang penulis gunakan adalah pengumpulan data sekunder yang

dihimpun melalui penelitian kepustakaan sehingga didapatkan:

1. Metode Pendekatan.

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data

Primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara wawancara,

Wawancara akan dilakukan secara langsung kepada responden dan nara

sumber untuk mengetahui cara proses Pembuatan sertipikat, tentang

peraturan per Undang-Undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan

pembuatan Akta tanah yang dibuat oleh PPAT setempat.

2. Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian ini memperoleh data yang diperlukan untuk menyusun

penelitian ini, maka akan dipergunakan spesifikasi penelitian deskriptif.

Spesifikasi penelitian ini yaitu deskriptif, yaitu suatu penelitian yang

29
menggambarkan keadaan obyek yang akan diteliti .

3. Lokasi Penelitian

27 Ibid., hal.251.
28 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hal.93
29 Ronny Hanintijo Sumitro, Metologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta 1988,
hal.35

3
Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Notaris dan PPAT juga Kantor

Badan Pertanahan Nasional/ATR Kabupaten Kudus. Selain itu untuk

mengumpulkan data sekunder, maka penelitian ini dilakukan di Pusat

informasi ilmiah Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan metode pendekatan yang

digunakan dalam penelitian hukum ini adalah yuridis normatif murni

30
pendekatan masalah penelitian yuridis empiris , dengan demikian data

yang diperlukan adalah data primer dan data sekunder. Terdapat 3 (tiga)

macam sumber bahan hukum (bahan pustaka) yang dipergunakan, yaitu

terdiri dari:

1. Data Primer.

Data Primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara

wawancara. Wawancara akan dilakukan secara langsung kepada

responden dan nara sumber untuk mengetahui cara proses

pelaksanaan dan pendaftaran pembuatan/penerbitan sertipikat hak

milik, Data Primer digunakan sebagai data penunjang dan

menjelaskan data sekunder apabila diperlukan. Data Primer adalah

data yang diperoleh langsung dari informan/responden penelitian,

30 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinargrafika, Jakarta, 1991,


hal.14‐15

3
bisa berupa uraian lisan atau tulisan yang ditujukan oleh
31
informan/responden .

2. Data Sekunder

Data Sekunder dibidang hukum dipandang dari sudut mengikat

dapat dibedakan menjadi :

a. Bahan Hukum Primer :

Data Bahan hukum utama yaitu peraturan perundang-undangan

yang mempunyai kekuatan hukum mengikat dan dapat dijadikan

dasar hukum. membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum

tertulis tersebut.

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang


32
mengikat , dan terdiri dari :

1) Norma kaidah dasar, yaitu pembukaan UUD 1945.

2) Peraturan dasar yaitu batang tubuh UUD 1945, ketetapan-

ketetapan MPR(S).

3) Bahan yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat.

4) Yuris prudensi, traktat, bahan hukum dari zaman penjajahan

yang hingga kini masih berlaku, misalnya KUHP (WvS) dan

KUH Perdata (BW).

5) Undang-Undang No. Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

31 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Perasada, Jakarta,


2006, hal.113
32 Low cit

4
6) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah

Daerah,

7) Peraturan teknis lainnya seperti Peraturan Pemerintah No.40

Tahun 1996 Tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah

8) Peraturan Pemerintah No.75 Tahun 2001 Tentang Perubahan

Kedua Atas PP No.22 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan UU

No.11 Tahun 1967.

b. Bahan Hukum Sekunder :

Data Bahan hukum yang memberikan kejelasan bahan hukum

primer yang terdiri dari Rancangan Undang-Undang (RUU),

Rancang Peraturan Pemerintahan (RPP), hasil penelitian

(hukum) yang berhubungan dengan penelitian ini, buku-buku

yang membahas tentang proses pelaksanaan pembuatan proses

sertipikat hak milik atas tanah, tugas dan wewenang Pejabat

Pembuat Akta Tanah, berbagai makalah, karya ilmiah, artikel

yang berkaitan dengan materi tesis. Untuk memudahkan


33
pekerjaan analisis dan konstruksi .

c. Bahan Hukum Tertier merupakan bahan yang dapat memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

34
sekunder, seperti kamus, ensiklopedi dan seterusnya . Bahan

hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan pertama-

33Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif- suatu


tinjauan singkat, Rajawali Pres, Jakarta, 1985, hal.251
34 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal.
23

4
tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya secara

mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan

35
yang dikaji baik langsung maupun tidak langsung . Bahan

hukum yang relevan dikumpulkan menggunakan teknik sistim

36
kartu (card system) . Agar diperoleh informasi yang terbaru dan

berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang

dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.

5. Metode Analisis Data.

Adapun spesifikasi atau jenis penelitian ini adalah jenis penelitian

deskriptif deskriptif analitis. Suatu penulisan deskriptif analitis berusaha

menggambarkan masalah hukum, sistem hukum dan mengkajinya atau

37
menganalisisnya sesuai dengan kebutuhan dari penelitian bersangkutan ,

Penelitian deskriptif analitis yaitu terhadap bahan-bahan hukum yang telah

dikumpulkan selanjutnya dianalisis. Deskripsi meliputi "isi maupun struktur

hukum positif38. Ciri-ciri penelitian yang menggunakan tipe deskriptif

analitis sebagaimana dikemukakan Winarno Surachmad (1973), maka

39
dikemukakan hal-hal sebagai berikut :

a. Memusatkan diri pada analisis masalah-masalah yang ada pada masa


sekarang, pada masa yang aktual.

35 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.


RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.58
36 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar-Dasar Metode &
Teknik,Tarsito, Bandung, 1973, hal. 257
37 Pedoman Penulisan Usulan Tesis dan Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 6
38Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), dalam
Yuridika,Nomor 6, tahun IX, Nopember-Desember. 1994
39 Winarno Surachmad, Data dan Tehnik Research : Pengertian Metodologi Ilmiah, CV
Tarsito, Bandung , 1973, hal. 39

4
b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian
dianalisa.

G. Sistematika Penulisan

Dalam mempermudah penyusunan dalam mempelajari Tesis ini,

dijelaskan secara singkat sistematika pembahasan dari Bab I sampai dengan Bab

IV, yaitu sebagai berikut :

BAB I sebagai pendahuluan dalam Tesis ini dikemukakan mengenai Latar

Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Kerangka Konseptual, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan Tesis.

BAB II mengemukakan mengenai tinjauan pustaka yang terdiri dari kajian

teoritis yang berguna untuk acuan melakukan pembahasan terhadap pokok

permasalahan yang terdiri dari : Pengertian dan Tinjauan Umum Pendaftaran

Tanah terdiri dari Pengertian dan Dasar Hukum Pendaftaran Tanah, Tujuan

Pendaftaran Tanah, Azas Pendaftaran Tanah, Sistem Pendaftaran Tanah ,

Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, Ketentuan dan Pengertian Sertipikat Hak Atas

tanah terdiri dari Pengertian Sertipikat Hak Atas Tanah, Fungsi Sertipikat Hak

Atas Tanah, Macam-macam Alat Bukti Hak Atas Tanah, Syarat-Syarat

Pendaftaran Hak Atas Tanah, Prosedur Penerbitan Hak Atas Tanah, Pengertian

dan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah terdiri dari Pengertian Pejabat Pembuat

Akta Tanah, Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah.

BAB III menjelaskan tentang hasil penelitian dan pembahasan yang

merupakan inti dari tesis ini yang antara lain meliputi prosedur terbitnya sertipikat

baru dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, faktor-faktor yang

menyebabkan tumpang tindih kepemilikan hak atas sebidang tanah di Badan

4
Pertanahan Nasional / ATR Kabupaten Kudus, perlindungan hukum terhadap para

pemegang hak atas tanah bilamana terjadi tumpang tindih kepemilikan sebidang

tanah.

BAB IV, Bab penutup yang terdiri dari Kesimpulan permasalahan yang

saya bahas dan Saran dari permasalahan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai