Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Pelaksanaan Perkawinan

Di Susun Oleh :

Lisa Armia 202051006

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL

JAKARTA

2021

1
A. Perkawinan Menurut Hukum Islam

Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan lainnya


berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk
memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang
satu dengan yang lain.

Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal


nikah atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya dengan
pernikahan seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.

Suatu akad tidak sah tanpa menggunakan lafal-lafal yang khusus seperti
akan kithabah, akad salam, akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna
akad dan secara majas bermakna wat’un.

Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau
perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita
untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar
suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT.

Seperti yang telah dijelaskan oleh Zayn Al-din al-Malibari, mengenai


pengertian nikah menurut istilah adalah:

ْ ‫ضم ن اِبا َحةَ َو‬


‫طء بِلَ ْفظ ِِانكَح ا َ ْو ت ً ْز ِو یْج‬ َ َ ‫ع ْقد یَت‬
َ ‫عا‬
ً ‫َوش َْر‬

Artinya :

“Menurut syara’ nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan berhubungan

intim dengan lafad nikah atau tazwij.”

Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah
adalah hubungan intim dan mengumpuli, seperti dikatakan pohon itu menikah
apabila saling membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga
bisa disebut secara majaz nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita
dapat menggaulinya. Menurut Abu Hanifah adalah Wati’ akad bukan Wat’un

2
(hubungan intim). Kedua, secara hakiki nikah adalah akad dan secara majaz nikah
adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian secara bahasa, dan banyak
dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti yang dijelaskan
dalam al- Quran dan Hadist, antara lain adalah firman Allah. Pendapat ini adalah
pendapat yang paling diterima atau unggul menurut golongan Syafi’yah dan Imam
Malikiyah. Ketiga, pengertian nikah adalah antara keduanya yakni antara akad dan
Wati’ karena terkadang nikah itu diartikan akad dan terkadang diartikan wat’un
(hubungan intim)

Dengan demikian agama Islam memandang bahwa, perkawinan merupakan


basis yang baik dilakukan bagi masyarakat karena perkawinan merupakan ikatan
lahir batin yang sah menurut ajaran Islam, dan merupakan perjanjian yang mana
hukum adat juga berperan serta dalam penyelesaian masalah-masalah perkawinan
seperti halnnya pernikahan dini atas latar belakang yang tidak lazim menurut
hukum adat hingga hal ini adat menjadikan hukum untuk mengawinkan secara
mendesak oleh aparat desa, yang itu mengacu kepada kesepakatan masyarakat yang
tidak lepas dari unsur agama Islam.

Hukum perkawinan itu asalnya mubah (boleh), dalam artian tidak


diwajibkan tetapi juga tidak dilarang. Adapun dasarnya firman Allah dalam
Alquran surat an-Nur ayat 32

َ َ‫َوانكِحوا األَیَ َمى مِنكم َوالص ل َحی ِْن م ِْن ِعبَادِك ْم َواِ َمائِك ْم ا َ ْن یَك ْونوا فق‬
ْ َ‫ـرا َء ی ْغنِھم للاا مِن ف‬
‫ض ِل ِھ َوللاا‬
‫ع ِلیْم‬
َ ‫َوسع‬

Artinya :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.

3
Dengan berdasarkan pada perubahan illatnya atau keadaan masing-masing
orang yang hendak melakukan perkawinan, maka perkawinan hukumnya dapat
menjadi sunnah, wajib, makruh, dan haram.

Perkawinan hukumnya menjadi sunnah apabila seseorang dilihat dari segi


jasmaninya sudah memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah
mempunyai sekedar biaya hidup, maka bagi orang demikian itu sunnah baginya
untuk kawin. Sedangkan ulama Syafi’yah menganggap bahwa niat itu sunnah bagi
orang yang melakukannya dengan niat untuk mendapatkan ketenangan jiwa dan
melanjutkan keturunan.

Perkawinan hukumnya menjadi wajib apabila seseorang dilihat dari segi


biaya hidup sudah mencukupi dan dari segi jasmaninya sudah mendesak untuk
kawin,sehingga kalau tidak kawin dia akan terjerumus melakukan penyelewengan,
maka bagi orang yang demikian itu wajiblah baginya untuk kawin.

Perkawinan hukumnya menjadi makruh apabila seseorang yang


dipandang dari segi jasmaninya sudah wajar untuk kawin, tetapi belum sangat
mendesak sedang biaya untuk kawin belum ada, sehingga kalau kawin hanya akan
menyengsarakan hidup isteri dan anak-anaknya, maka bagi orang yang demikian
itu makruh baginya untuk kawin.

Perkawinan hukumnya menjadi haram apabila seseorang itu menyadari


bahwa dirinya tidak mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan
kewajiban batin seperti mencampuri isteri. Sebaliknya bagi perempuan bila ia sadar
dirinya tidak mampu memenuhi hak-hak suami, atau ada hal-hal yang
menyebabkan dia tidak bisa melayani kebutuhan batinnya, karena sakit jiwa atau
kusta atau penyakit lain pada kemaluannya, maka ia tidak boleh mendustainya,
tetapi wajiblah ia menerangkan semuanya itu kepada laki-lakinya. Ibaratnya seperti
seorang pedagang yang wajib menerangkan keadaan barang-barangnya bilamana
ada aibnya.Bila terjadi salah satu pasangan mengetahui aib pada lawannya, maka ia
berhak untuk membatalkan. Jika yang aib perempuan, maka suaminya boleh
membatalkan dan dapat mengambil kembali mahar

4
perbuatan hukum yang sangat dominan menyangkut sah atau tidaknya
perbuatan tertentu dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung yang sama
dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan.24 Diantaranya
adalah persetujuan para pihak. Menurut hukum Islam akad (perjanjian) yang
didasarkan pada kesukarelaan kedua belah pihak calon suami isteri.

B. Berikut Syarat Rukun Menikah:

1. Mempelai laki-laki
Syarat sah menikah adalah ada mempelai laki-laki. Pernikahan
dimulai pada saat akad nikah.
2. Mempelai Perempuan
Sahnya menikah kedua yakni ada mempelai perempuan yang halal
untuk dinikahi. Dilarang untuk memperistri perempuan yang haram
untuk dinikahi seperti pertalian darah, hubungan persusuan, atau
hubungan kemertuaan.
3. Wali Nikah Perempuan
Syarat sah menikah berikutnya adanya wali nikah. Wali merupakan
orangtua mempelai perempuan yakni ayah, kakek, saudara laki-laki
kandung (kakak atau adik), saudara laki-laki seayah, saudara kandung
ayah (pakde atau om), anak laki-laki dari saudara kandung ayah.
4. Saksi Nikah
Menikah sah bila ada saksi nikah. Tidak sah menikah seseorang bila
tidak ada saksi. Syarat menjadi saksi nikah yakni Islam, baligh, berakal,
merdeka, lelaki, dan adil. Dua orang saksi ini diwakilkan oleh pihak
keluarga, tetangga, ataupun orang yang dapat dipercaya untuk menjadi
seorang saksi.
5. Mahar
Mahar atau maskawin sangat penting keberadaannya di altar
pernikahan dan menjadi syarat nikah dalam Islam. Mahar adalah
sejumlah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak
perempuan. Mahar dalam agama Islam menggunakan nilai uang sebagai

5
acuan. Mempelai perempuan bisa meminta harta seperti uang tunai,
emas, tanah, rumah, kendaraan, dan benda berharga lainnya.
6. Ijab dan Qabul
Terakhir, syarat sah nikah yakni ijab dan qabul. Ijab dan qabul
adalah janji suci kepada Allah SWT di hadapan penghulu, wali, dan
saksi. Saat kalimat "Saya terima nikahnya", maka dalam waktu
bersamaan dua mempelai laki-laki dan perempuan sah untuk menjadi
sepasang suami istri.

C. Akad Nikah

Akad nikah adalah acara inti dari seluruh rangkaian proses pernikahan.
Akad nikah dimaknai sebagai perjanjian antara wali dari mempelai perempuan
dengan mempelai laki-laki dengan paling sedikit dua orang saksi yang
mencukupi syarat menurut syariat agama. Dengan adanya akad nikah, maka
hubungan antara dua insan yang sudah bersepakat untuk hidup berumah tangga
diresmikan di hadapan manusia dan Tuhan.

Dalam agama Islam, untuk prosesi pernikahan yang sah ada lima hal yang
harus dipenuhi. Yaitu, adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai
perempuan, wali dari mempelai perempuan, adanya minimal dua orang saksi,
dan terakhir adalah ijab kabul. Kalau lima syarat di atas sudah dipenuhi, maka
pernikahanmu sudah bisa dikatakan sah menurut agama, Bela. Tapi, pernikahan
juga harus melalui pihak KUA agar sah di mata hukum. Agar lebih jelas, simak
prosesi akad nikah di bawah ini.

1. Pembukaan

Terlebih dulu, calon mempelai laki-laki dan perempuan, wali, keluarga,


serta para hadirin yang ikut menyaksikan prosesi dipersilakan memasuki tempat
dilangsungkannya akad nikah. Kemudian, acara akan dimulai dengan
pembukaan yang dipandu oleh pembawa acara. Biasanya dilakukan dengan

6
membaca 'bismillah', berlanjut dengan doa agar acara berjalan dengan lancar,
dan pembacaan ayat suci al-Quran.

2. Khotbah nikah

Khotbah nikah merupakan hal yang disunahkan dalam Islam. Karena sunah,
maka sebisa mungkin ada dalam setiap prosesi akad nikah. Biasanya, khotbah
nikah akan disampaikan langsung oleh petugas dari KUA atau penghulu yang
akan menikahkan. Fungsi dari khotbah nikah ini sendiri adalah sebagai
pembekalan bagi kedua mempelai, sekaligus pengingat tentang pentingnya
menjaga keutuhan dalam rumah tangga.

3. Ijab Kabul

Sebelumnya, penghulu akan bertanya, "Saudara (nama calon suami) apakah


Anda setuju untuk menerima Saudari (nama calon istri) sebagai istri dengan
(mahar)", sebanyak tiga kali. Setelahnya, barulah acara inti dari rangkaian
prosesi akad nikah alias pembacaan ijab kabul dilaksanakan. Kalau calon suami
sudah bersedia menerima dan dan menyepakati ijab kabul, maka penghulu akan
menanyakan keabsahan ijab kabul ini kepada para saksi dan wali yang
dihadirkan.

4. Doa nikah

Kalau semua yang hadir sudah sepakat untuk sah, maka penghulu akan
membacakan doa-doa pernikahan karena kamu dan pasangan sudah resmi
menjadi suami istri. Selain penghulu, kamu atau pihak keluarga juga boleh
mengundang pemuka agama di tempatmu secara khusus untuk membacakan
doa akad nikah.

5. Penandatanganan buku nikah

Sebenarnya prosesi pernikahan sudah selesai dan dinyatakan sah secara


agama setelah ijab kabul diucapkan. Tapi agar sah di mata hukum, prosesi yang
satu ini tetap nggak boleh dilewatkan. Pasti kamu sudah paham kan, untuk
urusan hukum negara, segala sesuatunya nggak akan sah tanpa adanya

7
penandatanganan dokumen. Dokumen yang harus ditandatangani oleh kedua
pengantin pastinya adalah buku nikah.

6. Penutup

Kalau lima prosesi di atas sudah selesai dilakukan, maka acara pun sudah
boleh ditutup atau diakhiri. Penutupan biasanya dilakukan dengan pembacaan
doa terakhir oleh pemuka agama yang diundang atau oleh penghulu. Momen
tambahan lain di akhir prosesi akad nikah biasanya adalah pengambilan
dokumentasi dua mempelai dengan buku nikah, serah terima mahar, atau tukar
cincin.

D. Walimatul ‘Ursy

Hukum merayakan Walimatul ‘Ursy adalah sunnah, hal ini berdasarkan


hadis nabi,

‫ع ْوف ا َْٔو ِل ْم َولَ ْو بِشَاة‬


َ ‫قَا َل َرس ْول للاا صلعم ِلعَ ْب ِد الر ْح َم ِن ب ِْن‬

Rasulullah bersabda kepada Abdurrahman bin ‘Auf, “Adakanlah walimah,


sekalipun hanya memotong seekor kambing”. (HR. Bukhari)

Imam Ibn Qasim al-Ghazi di dalam kitabnya Fathul Qarib al-Mujib,


menjelaskan secara jelas perihal hukum dan konsep melaksanakan Walimatul
‘Ursy, menurut beliau pengertian Walimatul ‘Ursy adalah perayaan yang
diselenggarakan pasca dilaksanakannya akad nikah dengan menghidangkan
berbagai jamuan makanan sebagai bentuk rasa syukur karena mendapat
kebahagiaan.

Inti dari diadakannya Walimatul ‘Ursy adalah makan-makan. Tidak harus


mewah dan berlebih-lebihan, karena berdasarkan sabda Rasulullah di atas
sesungguhnya inti disyariatkan walimatul ‘ursy adalah untuk mengumumkan
pernikahan dan ungkapan rasa syukur kepada-Nya.

8
Sementara tata cara menjamu makanan kepada para undangan adalah masih
dirinci, jika yang orang kaya atau mampu maka minimalnya adalah menyembelih
satu ekor kambing. Jika ia masuk dalam kategori orang yang tidak mampu maka
cukup semampunya saja.

Hukum menghadiri undangan Walimatul ‘Ursy adalah Wajib atau Fardlu


‘Ain bagi orang yang diundang kecuali ia udzur atau ada halangan dalam
menghadiri undangan. Sedangkan memakan jamuan makanan yang dihidangkan
hukumnya tidak wajib. Dalil yang menjadi dasar wajibnya menghadiri Walimatul
‘Ursy adalah hadis nabi

َ ‫ فَإ ِ ْن شَا َء‬، ْ‫ط َعام فَ ْلی ِجب‬


, َ‫ َو ِإ ْن شَا َء ت ََرك‬،‫طع َِم‬ َ ‫ِي أ َ َحدك ْم ِإلَى‬
َ ‫ِإذَا دع‬

Apabila salah seorang di antara kalian diundang untuk makan, maka penuhilah
undangan tersebut. Jika berkehendak, maka ia boleh makan atau ia tinggalkan.
(HR. Muslim)

Memenuhi walimah selain Walimatul ‘Ursy seperti walimatul khitan


(Undangan sunatan), Walimatul hamli (Selamatan kehamilan), dan walimah-
walimah yang lain, hukumnya adalah tidak wajib.

Dalam menyelenggarakan Walimatul ‘Ursy seyogyanya ia tidak hanya


mengundang khusus orang-orang kaya saja, tetapi juga mengikut sertakan orang-
orang fakir.

Jika pihak penyelengggara mengadakan walimah selama tiga hari, maka yang wajib
dihadiri hanya hari pertama saja. Sedangkan hari kedua hukumnya sunnah, dan hari
ketiga hukumnya makruh untuk menghadirinya.

Memenuhi undangan resepsi pernikahan hukumnya adalah wajib, maksudnya


Fardlu ‘Ain menurut pendapat al-Ashah. Dan tidak wajib memakan hidangannya
menurut pendapat al-Ashah. Adapun memenuhi undangan walimah-walimah selain
resepsi pernikahan, maka hukumnya tidak Fardlu ‘Ain akan tetapi hukumnya
adalah sunnah.

9
Memenuhi undangan walimatul ‘urs itu hanya wajib atau walimah yang lain
hukumnya sunnah dengan syarat orang yang mengundang tidak hanya mengundang
orang-orang kaya saja, akan tetapi mengundang orang-orang kaya sekaligus orang-
orang fakir. Dan dengan syarat mereka diundang pada hari pertama.

Sehingga, jika seseorang mengadakan resepsi selama tiga hari, maka


hukumnya tidak wajib datang di hari yang kedua bahkan hukumnya hanya sunnah,
dan makruh datang di hari yang ketiga. Untuk syarat-syarat yang lain dijelaskan di
dalam kitab-kitab yang lebih luas keterangannya.

Ungkapan mushannif, ‚kecuali ada udzur‛, maksudnya ada sesuatu yang


menghalangi untuk menghadiri resepsi. Seperti di tempat acara ada orang yang bisa
menyakiti orang yang diundang, atau tidak layak baginya untuk bergabung
dengannya.

E. Hak dan kewajiban suami istri

Pertama, disebutkan kelima kewajiban suami yang merupakan hak istri,


antara lain memberikan nafkah, perlindungan, pendidikan agama, mempergauli
istri dengan baik, dan perlakuan adil. “Tanggungjawab utama suami adalah
mahar di sini termasuk ke nafkah baik sandang maupun pangan,” ucap Ustadz
Rosyid.

Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik


terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
(HR Tirmidzi)

Hal ini menunjukkan sebaik apapun suami di kantor tidak akan dianggap
baik sebab letak terbaik suami adalah bagaimana perlakuan ia kepada
keluarganya. Selain itu kata Ustadz Rosyid, suami memimpin istri sebab ia
memiliki kelebihan akal dan tenaga. “Jika istri menyusui anaknya dua tahun,
maka suami memberinya makan dan sandang,” katanya.

Namun, kata Ustadz Rosyid terkadang bagi suami yang poligami


mengalami kesusahan dalam melakukan keadilan, baik pangan, sandang, dan

10
lainnya. Sebab tidak ada yang bisa melakukan adil seadil-adilnya kecuali Allah.
Selain itu, ketika seorang suami keluar rumah maka yang harus selalu diingat
adalah rumah merupakan ladang rezekinya. Semakin suami berbicara baik
kepada istri maka semakin banyak ladang rezeki kepadanya.

Ustadz Rosyid melanjutkan hak suami dan kewajiban istri yang harus
dijalankan terdiri atas melayani suami, taat kepada suami, memenuhi ajakan
suami berhubungan badan, menjaga rumah dan kemaluan ketika ditinggal pergi,
dan memperlakukan suami dengan baik. Meski istri memiliki jabatan, gelar,
atau gaji lebih tinggi daripada suaminya maka ia tetap harus taat kepada sang
suami. “Hak suami atas istri lebih besar daripada hak istri atas suami. Sebab
suami memiliki satu tingkat lebih tinggi daripada istri,” ucapnya.

Ia menyampaikan bahwa ibadah mulia seorang istri adalah pelayanan


kepada suami, namun banyak istri yang melalaikannya. Oleh karena itu, hal ini
perlu dicatat baik-baik oleh istri. Rasulullah bersabda, “Seandainya aku
memerintahkan seseorang sujud kepada selain Allah Ta’ala, niscaya akan ku
perintahkan para istri bersujud kepada suaminya”.

Beliau juga bersabda, “Demi Allah yang nyawaku di dalam kekuasaan-


Nya, seorang istri tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Allah sebelum
ia memenuhi kewajibannya kepada suaminya”.

Ustadz Rosyid mengungkapkan ketaatan kepada suami merupakan


keutamaan bagi istri. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah “Jika seorang
wanita menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, menjaga
kemaluannya dan menaati suaminya; niscaya akan dikatakan padanya:
“Masuklah ke dalam surga dari pintu manapun yang kau mau”. (HR. Ahmad)

Melanjutkan, Ustadz Rosyid mengatakan agar istri dapat menekan dan


menahan egonya, tidak menjelekan suami di hadapan orang lain, dan memenuhi
hasrat suami kecuali dalam keadaan haid serta nifas. Rasulullah berpesan,
“apabila suami mengajak istrinya berhubungan badan lalu istri mengabaikannya

11
maka istri akan mendapatkan laknat dari malaikat”. (HR Ahmad, Bukhori dan
Muslim)

Suami memang memimpin rumah tangga, namun pemimpin urusan rumah


adalah istri. Begitulah kata Ustadz Rosyid, sebab istri juga menjadi madrasah
pendidikan anak-anak, pengelola keuangan, kebersihan rumah, dan sebagainya.

Selain kewajiban suami dan istri, kata Ustadz Rosyid terdapat pula hak-hak
bersama kedua pihak. Mereka memiliki hak yang sama seperti perlakuan baik
dan adab yang baik, tidak mengungkit pemberian atau kesalahan yang lalu, dan
menjaga silaturahmi antar kerabat dan teman suami maupun istri. “Istri tidak
hanya silaturahmi kepada kerabatnya saja, melainkan juga kerabat suami dan
sebaliknya. Perintah ini untuk menjaga kekerabatan,”

12

Anda mungkin juga menyukai