PADA SLE
DI SUSUN
OLEH:
NAMA :
1. Verdah Jesindah
2. Wanda Permata Sari
3. Wasilatun Nasia
4. Widya
5. Wiwin Septaliani
6. Wulandari
KELAS : 2 B
MATA KULIAH : KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
SLE dapat menyerang siapa saja tidak memandang ras apapun. Hanya saja
penyakit ini angka kejadiannya didominasi oleh perempuan dimana perbandingan antara
perempuan dan laki-laki adalah 10 : 1. SLE menyerang perempuan pada usia produktif,
puncak insidennya usia antara 15-40. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara
tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika
yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia).
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-
Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan) selain itu terdapat obat- obat yang lain seperti terapi hormon,
imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi
sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan.
1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
1.3 Manfaat
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan oleh
penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh yang tidak normal
melawan jaringan tubuh sendiri. Antara jaringan tubuh dan organ yang dapat terkena adalah
seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal, sendi, dan sistem saraf. Lupus eritematosus sistemik
(SLE) merupakan suatu penyakit atuoimun yang kronik dan menyerang berbagai system
dalam tubuh. ( Silvia & Lorraine, 2006 ).
Etiologi SLE disebabkan oleh interaksi antara kerentanan gen (termasuk alel HLA-
DRB1, IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8), pengaruh hormonal, dan faktor
lingkungan. Interaksi ketiga faktor ini akan menyebabkan terjadinya respon imun yang
abnormal.
FAKTOR PREDISPOSISI :
a) Faktor Genetik
SLE merupakan penyakit multigen. Gen yang terlibat termasuk alel
HLA- DRB1,IRF5, STAT4, HLA-A1, DR3, dan B8. Interaksi antara kerentanan
gen, pengaruh hormonal, dan faktor lingkungan, menghasilkan respons imun
abnormal. Responsimun mencakup hiperreaktivitas dan hipersensitivitas limfosit
T dan B dan regulasi antigen dan respons antibodi yang tidak efektif.
Hiperreaktivitas sel T dan B ditandai dengan peningkatan ekspresi molekul
permukaan seperti HLA-D danCD40L, menunjukkan bahwa sel mudah
teraktivasi oleh antigen yang menginduksi sinyal aktivasi pertama dan oleh
molekul yang mengarahkan sel ke aktivasi penuh melalui sinyal kedua.
Hasil akhir anomali ini adalah produksi autoantibodi patogen dan
pembentukan kompleks imun yang mengikat jaringan target, menghasilkan
1) sekuestrasi dan destruksi Ig-coated circulating cells;
2) fiksasi dan cleaving protein komplemen, dan
3) pelepasan kemotaksin, peptida vasoaktif, dan enzim destruktif ke
jaringan.
Banyak autoantibodi pada orang dengan SLE yang ditujukan pada
kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosom, beberapa jenis
RNA nukleus, dan RNA spliceosomal. Selama apoptosis antigen bermigrasi ke
permukaandan fosfolipid membran berubah orientasi sehingga bagian antigen
menjadi dekat dengan permukaan. Molekul intrasel yang meningkat selama
aktivasi atau kerusakan sel bermigrasi ke permukaan sel. Antigen yang dekat
dengan atau terdapat di permukaan sel ini dapat mengaktivasi sistem imun untuk
menghasilkan autoantibodi. Pada individu dengan SLE, fagositosis dan
penghancuran sel apoptotik dan kompleks imun tidak mumpuni. 4 Jadi, pada
SLE, antigen tetap tersedia; dipresentasikan dilokasi yang dikenali oleh sistem
imun; dan antigen, autoantibodi, dan kompleks imun bertahan dalam jangka
waktuyanglebihlama,memungkinkankerusakanjaringanterakumulasi pada titik
kritis.2,3 Sejak hampir 50 tahun yang lalu telah dikenali suatu antibodi yang
melawan konstituen sel normal. Antibodi ini dapat ditemukan dalam serum
pasien dengan lupus. Serum pasien dengan lupus dapat dikenali dari keberadaan
antibodi di serum terhadap antigen nukleus (antinuclearantibodies, atau ANA).
Selain ANA, masih terdapat autoantibodi lain yang dapat dapat ditemukan pada
pasien dengan SLE, misalnya anti-dsDNA, anti-Sm, anti-Ro, dan lain-lain. Daftar
berbagai autoantibodi yang dapat ditemukan pada pasien dengan SLE, prevalensi,
antigen target. Pada kasus ini ditemukan tes antinuclearantibodies, atau ANA
yang positif.
b) Faktor Lingkungan
Di antara pencetus aktivitas penyakit lupus, sinar ultraviolet merupakan
faktor yang paling dikenal. Mekanisme aksinya dapat mencakup induksi epitop
antigen didermis atau epidermis, pelepasan materi inti oleh sel kulit yang dirusak
oleh cahaya, atau disregulasi sel imun kulit. Berbagai faktor lingkungan lain juga
terlibat dalam lupus.
Pengobatan seperti prokainamid, hidralazin, dan minosiklin dapat
menyebabkan lupus eritematosus yang diinduksi obat, penyakit yang mirip
dengan SLE. Mungkin yang paling menarik adalah beberapa obat antirematik
dapat menginduksi penyakit yang tampilan klinis dan serologisnya mirip SLE.
Bahan kimia, khususnya senyawa amino aromatik, dikenal sebagai penyebab
lupus-like syndromes. Sindrom ini lebih mirip dengan lupus yang diinduksi
obatdaripada SLE dan menghilang setelah pajanan berakhir.
Laporan mengenai pengaruh geografis pada lupus masih belum
mengkonfirmasi faktor lingkungan ini. 3 Asam amino esensial L-canavanine
dicurigai sebagai penyebab lupus. Pajanan terhadap asam amino ini menyebabkan
manifestasi singkat autoimun pada manusia,seperti juga telah terbukti pada kera.
Keberadaan fitoestrogen diajukan sebagai penjelasan untuk peningkatan kejadian
SLE selama 30 tahun terakhir. 5 Agen infeksius dapat berperan dalam aktivasi
penyakit. Jika pasien mengidap SLE, infeksi yang umum terjadi pada saluran
napas atau saluran kemih seringkali diikuti dengan cetusan aktivitas penyakit.
Studi pada hewan menunjukkan bahwa retrovirus dapat menginduksi fenomena
autoimun mirip SLE. Kasus SLE meningkat sejalan dengan pajanan kimiawi,
kecelakaan, atau trauma fisik dan psikologis. Belum ada pola yang jelas dalam
kemunculan SLE, dan kausalitas hubungan ini masih spekulatif. Sinar ultraviolet
merupakan faktor pencetus yang jelas karena menurut anamnesis, pasien
mengeluh ruam atau kemerahan pada mukanya menjadi berat dengan paparan
pada sinar matahari. Pada pasien ini juga terjadi infeksi yaitu pneumonia. Sesuai
dengan teori, antara infeksi yang sering terjadi adalah infeksi yang melibatkan
salur pernafasan, yaitu pneumonia.
c) Pengaruh Hormonal
Observasi klinis menunjukkan peran hormon seks steroid sebagai
penyebab SLE. Observasi ini mencakup kejadian yang lebih tinggi pada wanita
usia produktif, peningkatan aktivitas SLE selama kehamilan, dan risiko yang
sedikit lebih tinggi pada wanita pascamenopause yang menggunakan
suplementasi estrogen. Walaupun hormon seks steroid dipercaya sebagai
penyebab SLE, namun studi yang dilakukan oleh Petri dkk menunjukkan bahwa
pemberian kontrasepsi hormonal oral tidak meningkatkan risiko terjadinya
peningkatan aktivitas penyakit pada wanita penderita SLE yang penyakitnya
stabil.
C. Patofisiologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi, dan
fase puncak (flares). Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian
sel secara apoptosis dalam konteks proimun.
Kejadian ini disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan
pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi
penyakit karena kerentanan yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai
dengan aktivitas autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada
lupus dapat menyebabkan 6 cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan
generasi kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target
dan mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung
menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel
hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon untuk
melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak hanya
terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit,
termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak penyakit.
Faktor Endogen
Banyak autoantibodi (terutama ANAs) diarahkan terhadap antigen
intraseluler biasanya 'tak terlihat' untuk sistem kekebalan tubuh. Hal ini menunjukkan
autoimunitas yang berkembang, setidaknya dalam beberapa kasus, sebagai
konsekuensi dari kematian sel yang tidak normal atau disregulasi termasuk kematian
sel terprogram (apoptosis). Dalam mendukung Konsep ini telah menjadi pengakuan
bahwa model hewan lupus di MLR / lpr mencit karena mutasi genetik FAS. Aktivasi
FAS menyebabkan apoptosis, kelainan FAS mencegah apoptosis yang normal
menyebabkan proliferasi limfositik tidak terkendali dan produksi autoantibodi.
Sebuah homolog manusia model hewan adalah sindrom limfoproliferatif autoimun
(ALPS), karena mutasi dari FAS, anak-anak mengembangkan limfadenopati besar dan
splenomegali dengan produksi autoantibody(Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
Faktor Eksogen
Bahkan sedikit yang diketahui tentang pemicu yang bertanggung jawab
untuk sebagian besar bentuk lupus. Obat seperti antikonvulsan dan antibiotik
(khususnya minocycline) dapat menyebabkan lupus. Sinar matahari dapat memicu
kedua manifestasi kulit dan sistemik lupus (dan neonatal lupus). Menelan jumlah yang
sangat besar kecambah 6 alfalfa juga dapat menyebabkan lupus, pemicu aktif muncul
menjadi L-canvanine. Peran, jika ada, dari virus dan bakteri dalam memicu lupus
tetap jelas meskipun perlu penelitian yang cukup besar. Tidak ada bukti yang
meyakinkan bahwa infeksi tertentu adalah penting dalam menyebabkan lupus.
Menariknya, ada peningkatan penyakit rematik pada orang dengan infeksi HIV, dan
penyakit autoimun termasuk lupus tampaknya menjadi lebih umum ketika ada
restorasi kompetensi kekebalan dengan penggunaan obat anti retro virus yang sangat
aktif (Malleson, Pete; Tekano, Jenny. 2007).
(King, Jennifer K; Hahn, Bevra H. 2007)
D.WOC
D. Klasifikasi
a. Cutaneous Lupus
Tipe ini juga dikenal sebagai Discoid Lupus Tipe lupus ini hanya terbatas
pada kulit dan ditampilkan dalam bentuk ruam yang muncul pada muka,
leher, atau kulit kepala. Ruam ini dapat menjadi lebih jelas terlihat pada
daerah kulit yang terkena sinar ultraviolet (seperti sinar matahari, sinar
fluorescent). Meski terdapat beberapa macam tipe ruam pada lupus, tetapi
yang umum terdapat adalah ruam yang timbul, bersisik dan merah, tetapi
tidak gatal.
b. Discoid Lupus
Tipe lupus ini dapatmenyebabkan inflamasi pada beberapa macam organ.
Untuk beberapa orang mungkin saja hal ini hanya terbatas pada gangguan
kulit dan sendi. Tetapi pada orang yang lain, sendi, paru-paru, ginjal,
darah ataupun organ dan/atau jaringan lain yang mungkin terkena. SLE
pada sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
muncul (remisi) dan pada saat yang lain penyakit ini dapat menjadi aktif
(flare).
c. Drug-induced
lupus Tipe lupus ini sangat jarang menyerang ginjal atau sistem syaraf.
Obat yang umumnya dapat menyebabkan druginduced lupus adalah jenis
hidralazin (untuk penanganan tekanan darah tinggi) dan pro-kainamid
(untuk penanganan detak jantung yang tidak teratur/tidak normal). Tidak
semua orang yang memakan obat ini akan terkena drug-induced lupus.
Hanya 4 persen dari orang yang mengkonsumsi obat itu yang bakal
membentuk antibodi penyebab lupus. Dari 4 persen itu, sedikit sekali
yang kemudian menderita lupus. Bila pengobatan dihentikan, maka gejala
lupus ini biasanya akan hilang dengan sendirinya.
Diagnosa medis definitif didasarkan pada adanya empat atau lebih gejala
tersebut. Laboratorium tes ini termasuk jumlah sel darah lengkap dengan diferensial,
Panel kimia metabolisme, urinalisis, antinuclear antibodi, anti-DNA antibodi,
komplemen 3 (C3), komplemen 4 (C4), imunoglobulin kuantitatif, plasma reagen
cepat (RPR), lupus anticoagulant, dan antiphospholipid antibodi (Lehman, 2002
dalam (Ward, Susan L and Hisley, Shelton M. 2009).
E. GEJALA KLINIS
ASKEP TEORITIS
1. Pengkajian
Data subyektif :
- Pasien mengeluh terdapat ruam-ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk
kupu-kupu.
- Pasien mengeluh rambut rontok.
- Pasien mengeluh lemas
- Pasien mengeluh bengkak dan nyeri pada sendi.
- Pasien mengeluh sendi merasa kaku pada pagi hari.
- Pasien mengeluh nyeri.
Data obyektif :
- Terdapat ruam – ruam merah pada wajah yang menyerupai bentuk kupu-kupu.
- Nyeri tekan pada sendi.
- Rambut pasien terlihat rontok.
- Terdapat luka pada langit-langit mulut pasien.
- Pembengkakan pada sendi.
- Pemeriksaan darah menunjukkan adanya antibodi antinuclear.
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hipotiroidisme adalah suatu keadaan dimana kelenjar tirod kurang aktif dan
menghasilkan terlalu sedikit hormonetiroid. Hipotiroid yang sangat berat disebut miksedema.
Hipotiroidisme terjadi akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam darah. Kelainan ini
kadang-kadang disebut miksedema.
Hipotiroidisme congenial atau kretinisme mungkin sudah timbul sejak lahir, atau
menjadi nyata dalam beberapa bulan pertama kehidupan. Nanifestasi dini kritenisme antara
lain ikterusfisiologik yang menetap, tangisan parau, konstipasi, somnolen, dan kesulitan
untuk mencapai perkembangan normal. Anak yang menderita hipotiroidisme congenital
memperlihatkan tubuh yang pendek; profil kasar, lidah menjulur kkeluar; hidung yang lebar
dan rata; mata yang jaraknya jauh; rambut jarang; kulit kering; perut menonjol; dan hernia
umbilikalis
DAFTAR PUSTAKA