Anda di halaman 1dari 12

RINGKASAN MATERI KULIAH

PEREKONOMIAN INDONESIA

“Pembangunan Daerah ”

Dosen Pengampu : Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si.

Disusun Oleh:
Putu Aldi Tusan Pratama (1907531068)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
1. Pembangunan daerah dan otonomi
a. Latar Belakang dan Dasar Hukum Otonomi Daerah
Indonesia mempunyai fondasi semangat kebangsaan yang kuat meski berada
dalam realitas keberagaman yang dapat dilihat dari sejarah pendirian negara;
penyatuan kedaulatan kebangsaan-kebangsaan kecil di daerah. Oleh sebab itu,
pengakuan terhadap keberadaan entititas masyarakat daerah di era kemerdekaan
melalui kebijakan desentralisasi sangat penting untuk dilaksanakan. Sejak awal
kemerdekaan hingga sekarang, telah dibentuk beberapa undang-undang yang
mengatur tentang kebijakan otonomi daerah, yakni:
a) UU No. 1 Tahun 1945, tentang Komite Nasional Daerah;
b) UU No. 22 Tahun 1948, Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan
Daerah;
c) UU No. 1 tahun 1957, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
d) UU No. 18 Tahun 1965, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
e) Tap PRS No. XXI Tahun 1966, tentang pemberian otonomi seluas-luasnya
kepada daerah (tetapi tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah);
f) UU No. 5 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
g) Tap MPR No. XV Tahun 1998;
h) UU No. 22 Tahun1999, tentang Pemerintahan Daerah;
i) UU No. 25 Tahun1999, tentang Pertimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah;
j) UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah
k) UU No. 33 Tahun 2004, tentang Pertimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah.

Dalam sejarahnya politik Indonesia diwarnai dengan berbagai ketegangan antara


pusat dan daerah. Pada masa orde lama, terjadi pemeberontakan PRRI yang dipicu
ketidakpuasan daerah akibat ketidakadilan pemerintah pusat dalam memperlakukan
daerah secara ekonomi, politik dan kultural. Kemudian pada masa orde baru, konflik
semacam ini dapat ditekan melalui penciptaan stabilitas semu dengan cara
melakukan kontrol terhadap kehidupan masyarakat baik secara politik maupun
ekonomi, kekerasan militer maupun kekerasan hukum dalam kehidupan politik dan
kekasaan ekonomi dengan mekanisme money politics untuk membeli dukungan
yang berhasil dilakukan berkat melimpahnya sumber daya ekonomi dari hasil ekspor
minyak dan hasil alam lainnya. Keadaan ini mengakibatkan tekanan daerah untuk
meminta perhatian akan otonomi daerah sehinga UU No. 5 Tahun 1976 tentang
Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah dapat dipertahankan sampai akhir masa
pemerintahan orde baru.

Kebebasan dan keterbukaan politik yang terjadi pada orde baru membawa
konsekuensi logis pada pemerintah untuk segera mengubah diri. Segala macam
kebijakan dan regulasi yang berbasis orde baru sentrlistis diubah menjadi
desentralisasi. Kebijakan radikal desentralisasi diperkenalkan tahun1999 melalui UU
No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999. Kedua undang-undang ini
merupakan respon dari dua kondisi sosial politik yaitu merebaknya tuntutan federasi
dan merdeka , serta semangat demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas.
Kedua Undang-undang ini kemudian mengalami perbaikan yang kini perbaikan
tersebut dapat diwujudkan pada Undang-Undang No. 32 dan No 33 Tahun 2004.

b. Prinsip Otonomi Daerah

Sejak Ketetapan MPR No. XXI Tahun 1996 prinsip dalam otonomi daerah
memiliki sifat seluas-luasnya dan kemudian berkembang menjadi otonomi daerah
yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar
negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Otonomi
daerah yang nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan
pemerintah di bidnag tertentu secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hiduo,
dan berkembang di daerah. Otonomi yang bertanggung jawab adalah perwujudan
pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai
tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang
semakin membaik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan,
serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.

c. Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan


Dalam UU No. 32 dan UU No. 33 dikenal adanya desentralisasi kewenangan,
pelimpahan kewenangan, dan penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Desentrlisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dalam sistem NKRI. Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah
pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu. UU No. 32 Tahun 2004 memperpendek jangkauan asas
dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintah provinsi dan hanya untuk
kegiatan bersifat nonfisik.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa
serta dari pemerinath kabupaten/kota keada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
yang bersifat fisik.

d. Pembangunan Daerah

Pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi


pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam
mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintah daerah.
Daerah-daerah semakin memiliki kebebasan untuk mengembangkan wilayahnya
sesuai kebutuhan masyarakat lokal. Kewenangan emerintah daerah melalui otonomi
daerah akan memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di
daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global. Otonomi daerah juga akan
mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan akselerasi pertumbuhan
ekonomi di daerah perbatasan dan tertinggal. Dengan kewenangan yang dimilikinya
untuk mengatur dan mengurus kepetingan masyarakat, pemerintah daerah akan
berupaya untuk meningkatkan perekonomian susai dengan kondisi, kebutuhan dan
kemampuannya. Kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan
kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan
dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian
daerah akan membawa pengaruh signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerah.

2. Prinsip pembiayaan pemerintah daerah


Prinsip. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
merupakan subsistem keuangan negara seabagai konsekuensi pembagian tugas di antara
kedua tingkat pemerintanan. Pemberian sumberk keuangan negara kepada pemerintah
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan
keseimbangan fiskal. Perimbangan ini merupakan satu sistem yang menyeluruh dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan.
Dana perimbangan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dan daerah dan antar pemerintah daerah. Pinjaman daerah bertujuan
memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintah
daerah. Lain-lain pendapatan bertujuan memberi peluan kepada daerah untuk
memperoleh pendapatan selain pendapatan yang disebutkan di atas.
Dasar Pendanaan. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi didanai APBD. Pelimpahan kewenangan dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan tugas
pembantuan. Dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diikuti dengan
pemberian dana. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintah yang
dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan
penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur dalam
rangka tugas pembantuan didanai APBN.

3. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah dan Pinjaman Daerah


Sumber-sumber penerimaan daerah
Pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah
dan pembiayaan. Pendapaan suatu daerah terdiri dari pendapaan asli daerah, dana
perimbangan, dan lain-lain pendapatan sedangakan pembiayaannya bisa bersumber dari
sisa lebih perhitungan anggaran daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
a. Pendapatan asli Daerah (PAD). PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain
pendapatan asli daerah yang sah (yang meliputi hasil penjualan daerah yang tidak
dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat
dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah). Dalam upaya
meningkatkan PAD pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan tentang
pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar
daerah, dan kegiatan ekspor/impor, sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
Ketentuan mengenai pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. Dana Perimbangan. Dana perimbangan terdiri atas (1) dana bagi hasil; (2) dana
alokasi umum; dan (3) dana alokasi khusus, yang jumlahnya ditetapkan setiap tahun
anggaran dalam APBN.
(1) Dana bagi hasil, bersumber dari pajak da sumber daya alam. Dana bagi hasil
yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan
(PPh) Pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
21 dibagi antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota dibagi berdasarkan UU No.
33 pasal 12 dan 13. Sedangkan dana bagi hasil dari sumber daya alam berasal
dari: kehutanan, pertmbangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,
pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi dibagi berdasarkan UU
No. 33 Tahun 2004 Pasal 14 – pasal 26.
(2) Dana Alokasi Umum, ditentukan jumlahnya sekurang-kurangnya 26% dari
pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN. Jumlah ini adalah
untuk seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota. Dasar untuk menentukan
beberapa jumlah DAU yang diterima oleh satu aerah (provinsi/kabupaten/kota)
adalah apa yang disebut celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah
kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapsitas fiskal,s edangkan aloasi dasar
dihitung berdasarkan jumlah gaji PNS daerah.
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur
secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan
konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembanguna
manusia. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang
berasal dari PAD dan dana bagi hasil.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota diharapkan
berdasarkanrasio kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas
dasar celah fiskal untuk satu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian
bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan dengan jumlah DAU seluruh
daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah
fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah
provinsi. Perhitungan yang sama berlaku juga untukdaerah kabupaten/kota.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol (kebutuhan
fiskal=kapasitas fiskal) menerima DAU sebesar alokasi dasar. Bila memiliki
nilai celah fiskal negatif, dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar,
maka menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal.
Bila memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih
besar dari alokasi dasar, maka tidak menerima DAU.
Kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dihitung dengan memakai data yang
diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang
berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah
merumuskan formula dan perhitungan DAU dengan memperhatikan
pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan
terhadao kebijakan otonomi daerah. Hasil perhitungan DAU per provinsi,
kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Presiden dan disalurkan setiap
bulan sebelum bulan bersangkutan masing-masing 1/12 dari DAU daerah yang
bersangkutan.
(3) Dana Alokasi Khusus (DAK), dialokasikan kepada daerah tertentu yang
ditetapkan setiap tahun dalam APBN untuk mendanai kegiatan khusu yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam
APBN. Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria
umum, kriteria khusus dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria
khusus diterapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan
karakteristik daerah. Dan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian
negara/departemen teknis. Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana
pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dana pendamping ini
dianggarkan dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak
diwajibkan menyediakan dana pendamping.
c. Lain-lain pendapatan, terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat.
Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada daerah
yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah pusat. Hibah
dituangkan dalam satu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi
hibah. Hibah diguanakan sesuai naskah perjanjian. Tata cara pemberian,
penerimaan, dan enggunaan hibah, baik dari dalam maupun luar negeri diatur
dengan Peraturan Pemerintah. Sementara itu, pendapatan dana darurat berasal dari
APBN dan dialokasikan oleh pemerintah akibat adanya bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah menggunakan
sumber APBD.

Pinjaman daerah

Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah daerah


menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain
sehingga pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Pemerintah pusat yang dalam hal ini Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal
kumulatif pinjaman pemerintah daerah dengan memperhatikan: (1) keadaan dan
perkiraan perkembanan perekonomian nasional; (2) tidak melebihi 60% dari Produk
Domestik Bruto tahun bersangkutan. Penentuan batas maksimum tersebut dilakukan
selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya, dan harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman
langsung kepada pihak luar negeri, dan pelanggaran terhadapnya dikenakan sanksi
administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran dana
pertimbangan oleh Meneteri Keuangan.

Sumber pinjaman. Sumber pinjaman daerah dapat berasal dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan non bank serta masyarakat. Jangka
waktu pinjaman daerah dapat berupa :

a. Pinjaman jangka pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu


kurang dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali yang harus
dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman ini hanya dapat
digunakan untuk menutup kekurangan arus kas dan dapat dilaksanakan tanpa
minta persetujuan DPRD.
b. Pinjaman jangka menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu
lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman
yang harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan
kepala daerah bersangkutan. Pinjaman ini digunakan untuk membiayai
penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan dan harus
mendapatkan persetujuan DPRD sebelumnya.
c. Pinjaman jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih
dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang
harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan
perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman ini digunakan untuk
membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan dan harus
mendapatkan persetujuan DPRD sebelumnya.

Persyaratan pinjaman. Pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pinjaman harus


memperhatikan beberapa ketentuan yakni :

a. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah serta pinjaman dari pihak lain
tidak boleh dipakai sebagai jaminan;
b. Pemerinth daerah yang bersangkutan tidak mempunyai tunggakan atas
pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat;
c. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak
melebihi 75% dari jumlah penerimaan APBD tahun sebelumnya;
d. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan
oleh pemerintah pusat , dan obligasi daerah. Pemerintah daerah dapat
menerbitkan obligasi daerah dalam mata uang rupiah di pasar modal domestik
yang nilai nominalnya pada saat jatuh tempo pada saat jatuh tempo sama dengan
nilai nominalnya pada saat diterbitkan. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah
beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan
jaminan untuk obligasi daerah yang akan dikeluarkan. Pemerintah pusat tidak
menjamin obligasi daerah.

Prosedur dan pengelolaan penerbitan obligasi daerah. Penerbitan obligasi


daerah ditetapkan dengan peraturan daerah, dimana ditentukan bahwa kepala daerah
terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan DPRD dan dari pemerintah pusat.
Persetujuan tersebut hanya diberikan atas nilai bersih maksimal obligasi daerah yang
akan diterbitkan pada saat penetapan APBD. Nilai tersebut harus telah meliputi
pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan
obligasi daerah dimaksud.

Penerbitan obligasi daerah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di


bidang pasar modal, yang antara lain harus mencantumkan:

a. Nilai nominal;
b. Tanggal jatuh temppo;
c. Tanggal pembayaran bunga;
d. Tingkat bunga (kupon);
e. Frekuensi pembayaran bunga;
f. Ketentuan tentang hak untuk membeli kembali obligasi daerah sebelum jatuh
tempo;dan
g. Ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.

Pengelolaan obligasi daerah diselenggarakan oleh kepala daerah yang sekurang-


kurangnya meliputi :

a. Penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk kebijakan


pengenalian risiko;
b. Perencanaan dan penetapan struktur portofolio pinjaman daerah;
c. Penerbitan obligasi daerah;
d. Penjualan obligasi daerah melalui lelang;
e. Pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
f. Pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. Pertanggungjawaban.

Hasil penjualan obligasi daerah dan peruntukannya. Pemerintah daerah dapat


mengeluarkan obligasi daerah untuk membiayai investasi sektor publik yang
menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Penerimaan dari
investasi sektor publik yang dibiayai melalui obligasi daerah digunakan untuk
membiayai kewajiban bunga dan pokok obligasi daerah terkait dan sisanya disetorkan
ke kas daerah. Dana untuk membayar bunga dan pokok pinjaman disediakan dalam
APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Dalam hal
pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana yang disediakan, kepala daerah
melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada
DPRD dalam pembahsan APBD.

Pelaporan dan Sanksi. Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuhbtempo wajib
dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan dan pemerintah daerah
wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada
pemerintah pusat setiap semester tahung anggaran berjalan. Kalau laporan tersebut
tidak dibuat, pemerintah pusat dapat menunda penyaluran dana pertimbangan yang
menjadi hak pemerintah daerah yang bersangkutan. Sedangkan jika pemerintah daerah
tidak memenuhi kewajiban membayar pinjaman kepada pemerintah pusat, kewajiban
membayara pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil
dari penerimaan negara yang menjadi hak pemerintah daerah yang bersangkutan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman daerah termasuk obligasi daerah siaur
dengan peraturan pemerintah.
Daftar Pustaka

Nehen, I K. 2012. Perekonomian Indonesia. Denpasar: Udayana University Press

Anda mungkin juga menyukai