Anda di halaman 1dari 52

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Guru

Guru merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi

peserta didik (UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Guru

memiliki tugas untuk menyampaikan materi pelajaran kepada peserta didik.

Pada jaman dahulu, guru merupakan sumber belajar utama bagi peserta didik

akan tetapi dengan perkembangan IPTEK yang pesat, paradigma ini berubah

(Istiningsih, 2012: 26). Sumber belajar peserta didik dapat berasal dari mana

saja, salah satu sumber belajar yang mudah didapat, murah, dan cepat adalah

internet.

Saat peserta didik menuliskan satu kata pada search engine di internet

maka akan ada ribuan link yang berkaitan dengan kata tersebut akan muncul.

Potensi inilah yang harus disadari oleh guru sehingga perlu dimanfaatkan

secara optimal untuk mendukung tercapainya tujuan pembelajaran. Dengan

perkembangan IPTEK, guru harus mengembangkan kompetensi

profesionalnya dengan terus memperbaruhi pengetahuannya agar tidak

ketinggalan zaman. Guru dituntut tidak hanya mengekplorasi sumber-sumber

belajar yang tersedia di sekolah tetapi juga dituntut untuk menggunakan

majalah, koran, dan internet sebagai sumber belajar (Asmani, 2011: 28).

18
Guru sangat menentukan kualitas pendidikan, keberhasilan proses

pembelajaran, dan ketercapaian tujuan pembelajaran. Lebih lanjut Supardi

(2013: 55) menjelaskan bahwa kualitas kinerja guru dalam pembelajaran dapat

dilihat dari hasil prestasi belajar peserta didik. Kinerja guru yang baik akan

menghasilkan prestasi belajar yang baik. Hasil penelitian dari Sudjana (2005:

42) menyatakan bahwa 76,6 % hasil belajar peserta didik dipengaruhi oleh

kinerja guru. Hasil penelitian ini menguatkan bahwa peran guru sangat

mempengaruhi keberhasilan belajar peserta didik. Oleh karena itu, kinerja

guru merupakan bagian yang sangat penting yang menentukan keberhasilan

belajar peserta didik.

2. Kinerja Guru

Kinerja guru berhubungan dengan kegiatan guru dalam proses

pembelajaran meliputi perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,

dan penilaian hasil pembelajaran (Kurniasih & Sani, 2017: 42).

a. Perencanaan Pembelajaran

Perancangan pembelajaran merupakan salah satu kompetensi

pedagogik yang harus dikuasai oleh guru. Kompetensi ini mencakup

identifikasi kebutuhan, perumusan kompetensi dasar, dan penyusunan

program pembelajaran. Langkah dalam perencanan pembelajaran adalah

mengindentifikasi kebutuhan peserta didik. Pada tahap ini guru

menganalisis karakteristik peserta didik untuk mengenali, menyatakan, dan

merumuskan kebutuhan belajarnya. Selain itu, guru perlu menganalisis

potensi sumber belajar dan sarana prasarana yang dapat digunakan untuk

19
memenuhi kebutuhan belajar peserta didik (Mulyasa, 2013: 100). Setelah

mengidentifikasi kebutuhan peserta didik, guru perlu mengidentifikasi

kompetensi – kompetensi yang harus dicapai oleh peserta didik melalui

pembelajaran. Kompetensi ini nantinya dijadikan sebagai tujuan

pembelajaran. Kemudian guru harus menyusun program pembelajaran.

penyususnan program pembelajaan dituangkan dalam bentuk RPP

(Mulyasa, 2013: 102).

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan rencana

kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan atau lebih. Setiap

pendidik pada satuan pendidikan berkewajiban menyusun RPP secara

lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif,

inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik

untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan

perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

Salah satu prinsip dalam penyusunan RPP berdasarkan

permendikbud No 22 tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar

dan Menengah adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi

secara terintegrasi sistematis dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.

Berdasarkan peraturan tersebut, guru dituntut untuk mengintegrasi TIK

dalam penyusunan RPP. Oleh karena itu, pada RPP yang telah dibuat oleh

guru harus menerapkan TPACK.

20
b. Pelaksanaan Pembelajaran

Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan guru dan sumber

belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan

yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan

pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap

dan kepercayaan pada siswa. Pelaksanaan pembelajaran adalah proses yang

diatur sedemikian rupa menurut langkah – langkah tertentu agar

pelaksanaan mencapai hasil yang diharapkan (Sudjana, 2005: 136).

Djamarah Zain (2010: 1) menyatakan pelaksanaan pembelajaran adalah

suatu kegiatan yang bernilai edukatif, nilai edukatif mewarnai interaksi

yang terjadi antara guru dan siswa. Interaksi yang bernilai edukatif

dikarenakan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan diarahkan untuk

mencapai tujuan tertentu yang telah dirumuskan sebelum pelaksanaan

pembelajaran dimulai. Dalam melaksanakan pembelajaran guru melakukan

tiga tahapan yaitu membuka pembelajaran, penyampaian materi

pembelajaran, dan menutup pembelajaran.

Kinerja guru dievaluasi secara berkala oleh pemerintah melalui UKG

dan PKG. Evaluasi ini penting untuk menilai kemampuan guru dalam

menerapkan seluruh kompetensi pada proses pembelajaran serta untuk

mengetahui kekuatan dan kelemahan guru dalam rangka memperbaiki kualitas

kinerjanya. Hasil evaluasi guru nantinya digunakan sebagai acuan berbagai

kebijakan dalam rangka peningkatan mutu dan kinerja guru. Bagi guru yang

belum mencapai standar kompetensi yang telah ditetapkan (berkinerja rendah)

21
maka guru tersebut akan mengikuti program pengembangan keprofesian

berkelanjutan (PKB). Berdasarkan pedoman pengelolaan pengembangan

keprofesian berkelanjutan (PKB), salah satu kegiatan pengembangan diri yang

harus dilakukan guru adalah penguasaan teknologi informatika dan

komunikasi (TIK). Penguasaan TIK akan membantu meningkatkan kualitas

kinerja guru yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pembelajaran

dan prestasi belajar peserta didik.

3. Pembelajaran berbasis TIK

TIK merupakan semua teknologi yang berkaitan dengan pengambilan,

pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebaran, dan penyajian

informasi. TIK terdiri atas teknologi-teknologi yang memungkinkan seseorang

menerima informasi dan mengkomunikasikan atau bertukar informasi dengan

orang lain. Salah satu teknologi dalam TIK yang berpotensi besar

dimanfaatkan dalam bidang pendidikan adalah internet. Melalui internet,

peserta didik dapat mengakses sumber-sumber informasi tanpa batas dan

aktual yang dapat diperoleh dalam waktu yang singkat dan cepat. Berbagai

referensi, jurnal, e book, maupun hasil penelitian lain dipublikasikan di

internet dan tersedia dalam jumlah yang melimpah (Rusman, Kurniawan, &

Riyana, 2012: 132-133). Internet bermanfaat untuk sharing dan bertukar

informasi, komunikasi, akses informasi, menyediakan informasi terbaru untuk

siswa, mengembangkan kemampuan belajar dan mencari informasi siswa,

mengunduh bahan pelajaran, dan diskusi online antar guru dengan siswa atau

siswa dengan siswa. Selain itu, penggunaan TIK dalam pembelajaran dapat

22
meningkatkan minat 76% dengan sangat baik, meningkatkan visualisasi objek

belajar 87% dengan sangat baik, mendukung gaya belajar yang beranekara

ragam 46% dengan sangat baik, membantu manajemen kelas 57% dengan

baik, membantu siswa mengembangkan bakatnya 52% dengan baik, dan

meningkatkan pembelajaran mandiri 43% dengan baik (Wellington & Ireson,

2012: 236-251).

Di Indonesia penggunaan internet semakin meningkat dari tahun ke

tahun. Hasil survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJIII, 2017: 6) menunjukkan 54,68 % yaitu 143,26 juta orang di Indonesia

menggunakan Internet. Angka ini meningkat dari tahun 2016 yaitu 132,7 juta

orang. Komposisi pengguna internet laki-laki yaitu 51,43 % lebih terbesar

dibandingkan perempuan yaitu 48,57 %. Survei juga menunjukkan pada

pemanfaatan internet dalam bidang pendidikan lebih banyak untuk membaca

artikel yaitu 55,30 %. Hasil survei ini menunjukkan bahwa internet sudah

menjadi bagian yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan

pemanfaatan internet dalam bidang pendidikan semakin meningkat dari tahun

ke tahun.

Berdasarkan data penggunaan TIK tahun 2011 pada sektor pendidikan

dapat diketahui 98 % sekolah telah menggunakan komputer dan 80,53 %

sekolah telah memiliki akses internet untuk kegiatan pembelajaran. Persentase

komputer berdasarkan kegiatan dan konektivitas terhadap internet adalah

sebagai berikut : Kegiatan belajar mengajar : terkoneksi internet (72,31 %)

dan tidak terkoneksi internet (27,69%) sedangkan untuk kegiatan administrasi,

23
persentase terkoneksi internet 74,01 % dan 25,99 % tidak terkoneksi internet.

Berdasarkan tujuan untuk penggunaannya, terlihat bahwa 86,5% komputer

digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan 13,5% komputer digunakan

untuk kegiatan administrasi sekolah. Kemudian jika dilihat berdasarkan tujuan

penggunaan dan koneksivitas terhadap internet terlihat bahwa mayoritas

komputer sudah terkoneksi internet, baik untuk tujuan kegiatan belajar

mengajar maupun kegiatan administrasi. Sebagian besar sekolah telah

memberikan pekerjaan rumah yang membutuhkan akses internet, yakni

sebesar 79% sedangkan yang belum sebesar 21%. Rasio siswa yang

mengakses internet untuk tujuan pembelajaran lebih banyak di sekolah swasta

dibandingkan sekolah negeri, yaitu 0,45 untuk sekolah swasta dan 0,37 untuk

sekolah negeri (Handoko, dkk, 2011: 55-58).

Abad 21 merupakan era perkembangan teknologi yang pesat.

Teknologi berdampak besar dalam setiap aspek kehidupan sehingga

masyarakat dituntut untuk melek teknologi. Peserta didik dalam sebuah

sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang berarti peserta didik juga

harus melek teknologi. Teknologi menjadi satu bagian yang penting dalam

pembelajaran. Potensi teknologi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran

karena teknologi membantu guru untuk melakukan berbagai hal secara cepat

untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Guru sudah tidak bisa lagi

mengelak perkembangan teknologi yang pesat. Hal ini karena peserta didik

lahir dan berkembang dalam era informasi dimana teknologi digunakan untuk

mendapatkan informasi (Moore, 2012: 90). Common Sense Medi melakukan

24
survei penggunaan teknologi di sekolah, 72% anak dengan usia 0-8 tahun di

US telah menggunakan atau pernah berinteraksi dnegan tablet atau smart

phohe. Sejak kecil, peserta didik telah bisa menggunakan berbagai jenis

teknologi dan aplikasi Peserta didik juga telah terbiasa menggunakan

teknologi saat di rumah dan di sekolah (Niess, 2017: 11).

Sekolah sebagai tempat terjadinya proses pembelajaran perlu

membekali peserta didik untuk menggunakan teknologi agar menjadi melek

teknologi. Melek teknologi dapat diartikan peserta didik secara aktif untuk

menggunakan hasil teknologi dalam kegiatan pembelajaran (Asmani, 2011:

113). Untuk bisa mengembangkan potensi peserta didik terhadap TIK maka

integrasi TIK dalam pembelajaran harus secara intensif dan sering dilakukan

dan untuk dapat mengintegrasikan TIK dalam pembelajaran guru harus

menguasai kompetensi dalam TIK. Kompetensi TIK meliputi kemampuan

TIK, Pengetahuan tentang TIK, dan pemahaman. Kemamuan TIK meliputi

teknik yang perlu digunakan untuk menggunaan hardware dan software.

Pengetahuan tentang TIK, keseluruhan konsep dasar tentang TIK dan

kemampuan untuk menggunakannya dalam terminologi TIK yang spesifik.

Pemahaman tentang TIK meliputi keammpuan menerapkan pengetahuan dan

keammpuan untuk situasi yang berbeda dan mampu merefleksikan dan

mengevaluasi TIK yang digunakan (Simmons & Hawkins, 2010: 29).

Pengintegrasian TIK dalam pembelajaran tidaklah mudah. banyak

faktor yang dapat menghambat diantaranya minimnya sarana dan prasarana

TIK yang memadai, kurangnya tenaga ahli dalam bidang TIK di sekolah,

25
tuntutan kurikulum yang berat, banyak terdapat situs berbahaya (Asmani,

2011: 207-212). Keberhasilan penerapan TIK dalam pendidikan sangat

bergantung pada tingkat pemahaman dan sikap guru terhadap TIK serta

dukungan sekolah terhadap TIK (Istiningsih, 2012: 42) namun ketersediaan

sarana dan prasarana di sekolah juga sangat penting. Akses internet di sekolah

menjadi penting karena pembelajaran yang terintegrasi TIK tidak dapat

dilakukan jika akses internet sekolah tidak ada meskipun guru memiliki

kompetensi dalam menggunakan TIK. Berdasarkan permendikbud No 24

Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana Untuk SD/MI, SMP/MTS,

dan SMA/MA, salah satu kriteria minimum standar sarana di sekolah adalah

adanya teknologi informasi dan komunikasi.

4. Pembelajaran Biologi

Ditinjau dari aspek materinya, biologi memiliki karakteristik materi

spesifik yang berbeda dengan bidang ilmu lain. Biologi mengkaji tentang

makhluk hidup, lingkungan dan hubungan antara keduanya. Materi biologi

tidak hanya berhubungan dengan fakta-fakta ilmiah tentang fenomena alam

yang konkret, tetapi juga berkaitan dengan hal-hal atau obyek yang abstrak

seperti: proses-proses metabolisme kimiawi dalam tubuh, sistem hormonal,

sistem koordinasi, dll. Sifat obyek materi yang dipelajari dalam biologi sangat

beragam, baik ditinjau dari ukuran (makroskopis, mikroskopis seperti: bakteri,

virus, DNA dll.), keterjangkauannya (ekosistem kutub, padang pasir, tundra,

dll.), keamanannya (bakteri/virus yang bersifat pathologi), penggunaan bahasa

Latin dalam nama ilmiah (Sudarisman, 2015: 32).

26
Karakteristik materi biologi yang bersifat abstrak tentu lebih sulit

untuk disampaikan kepada peserta didik melalui ceramah sehingga diperlukan

strategi khusus dari guru agar konsep ini mudah diterima dan dipahami oleh

peserta didik. Salah satu caranya dengan menggunakan TIK. Selain itu, ilmu

dalam biologi berkembang sangat pesat. Semakin canggihnya teknologi

menjadikan semakin berkembang dan muncul penemuan baru mengenai

keilmuan biologi. Perkembangan ilmu biologi dapat diakses melalui internet

sehingga peserta didik akan selalu tahu mengenai isu-isu baru mengenai

biologi. Sumber-sumber informasi dalam internet jauh lebih lengkap

dibandingkan peserta didik hanya membaca melalui buku paket yang sudah

disediakan oleh pemerintah karena internet merupakan sumber informasi yang

tidak terbatas. Semua informasi di seluruh dunia dapat diperoleh dengan cepat

dan mudah. Ditambah dengan peserta didik dituntut untuk belajar dari

berbagai sumber. Oleh karena itu, dalam pembelajaran biologi perlu

diintegrasikan dengan TIK.

5. Kerangka Kerja Technological Pedagogical and Content Knowledge


(TPACK)

Perkembangan zaman abad ke 21 memunculkan paradigma baru dimana

paradigma pendidikan abad ke 21 memfokuskan pada pengembangan dan

penguasaan kemampuan teknologi dalam pembelajaran. Jika penguasaan

teknologi guru semakin baik maka guru dapat menerapkannya dalam proses

pembelajaran dengan tujuan meningkatkan mutu dari pendidikan. Bagi guru

pengembangan kemampuan penggunaan teknologi dalam pendidikan

27
merupakan bagian dari adaptasi dengan perkembangan zaman yang ada.

Sebagai guru yang profesional maka guru harus mengembangkan kompetensi

dirinya sesuai perkembangan zaman. Oleh karena itu, kemampuan guru tidak

semata-mata hanya mengembangkan kemampuan pedagogik ataupun konten

saja dalam pembelajaran, melainkan diperlukan pemahaman mengenai

teknologi agar pembelajaran sesuai dengan perkembangan zaman abad 21

(Nurdiana, 2016: 3).

Teknologi yang terus berkembang menjadikan pembelajaran dengan

teknologi harus dilakukan oleh guru. Guru harus pandai untuk memililih

teknologi apa dan bagaimana yang tepat untuk digunakan dalam

pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran dengan teknologi tidak dapat

diperoleh tanpa guru. Guru berperan penting sebagai agen dan target

perubahan, pendukung, dan pengintegrasi teknologi di kelas (Hsu, 2015: 3).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan antara penggunaan

teknologi dalam pembelajaran dan kepercayaan mengenai teknologi. Guru

yang menerapan teknologi dalam pembelajaran memiliki kepercayaan tentang

teknologi. Pengetahuan dan kepercayaan guru terhadap pembelajaran dengan

teknologi menentukan sejauh mana teknologi akan digunakan dalam

pembelajaraan (Herring, Koehler, & Mishra, 2016: 38-43). Oleh karena itu

guru perlu menguasai pengetahuan tentang teknologi.

Mengajar yang baik dengan teknologi setidaknya memerlukan tiga

komponen yaitu Pedagogical Knowledge (PK), Content Knowledge (CK), dan

Technological Knowledge (TK) serta hubungan antar komponen tersebut

28
bukan sebagai bagian yang berdiri sendiri. Ketiganya saling berhubungan

membentuk Pedagogical Content Knowledge (PCK), Tecnological

Pedagogical Knowledge (TPK), Technological Content Knowledge (TCK),

dan Technological Pedagogical and Content Knowledge (TPACK). Lebih

lanjut Koehler menjelaskan bahwa TPACK merepresentasikan kumpulan

pengetahuan yang diperlukan guru untuk mengajar secara efektif dengan

teknologi. Teknologi yang dimaksud dalam TPACK adalah penggunaan

teknologi informasi sesuai dengan yang diusulkan Committee of Information

Technology Literacy of the National Research Council (NRC). Berikut ini

adalah gambar kerangka kerja TPACK :

Gambar 1. Kerangka Kerja TPACK (Koehler & Mishra, 2006)

Secara lengkap kerangka dasar TPACK terdiri dari :

a. Pedagogical Knowledge (PK) merupakan pengetahuan tentang proses,

praktikum dan metode pembelajaran.

29
b. Content Knowledge (CK) adalah pengetahuan tentang materi pelajaran

yang berupa pengetahuan, fakta, konsep, teori, dan prosedur bidang ilmu

tertentu.

c. Technological Knowledge (TK) adalah pengetahuan tentang teknologi

yang standar seperti buku, kapur, dan papan tulis dan teknologi yang

modern seperti internet dan video digital.

d. Pedagogical Content Knowledge (PCK) yang digagas oleh Shulman.

Pengetahuan ini berkaitan dengan representasi dan perumusan konsep,

teknik pedagogik, dan pengetahuan tentang konsep yang mudah dan sulit

dalam pembelajaran.

e. Technological Pedagogical Knowledge (TPK) adalah pengetahuan

tentang teknologi yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar.

f. Technological Content Knowledge (TCK) adalah pengetahuan dalam

menggunakan teknologi untuk menyajikan materi bologi tertentu.

g. Technological Pedagogical and Content Knowledge (TPACK) adalah

pengetahuan tentang integrasi ketiga komponen (pedagogik, konten, dan

teknologi) dalam pembelajaran.

(Koehler & Mishra, 2006: 1026-1028).

Kerangka TPACK dibuat oleh Koehler & Mishra merupakan

pengembangan PCK yang telah dikembangkan lebih dahulu oleh Shulman.

PCK terdiri atas pengetahuan dasar PK dan CK. Kerangka TPACK

mengambil pengetahuan dasar Shulman PK dan CK kemudian ditambahkan

TK. Namun TPACK terbentuk tidak hanya karena PCK ditambah dengan TK

30
namun terbentuk kombinasi pengetahuan lain yaitu TPK dan TCK. Oleh

karena itu, kerangka TPACK terdiri atas 7 komponen pengetahuan yaitu PK,

CK, TK, PCK, TCK, TPK, dan TPACK. TPACK merupakan pengetahuan

yang diperlukan untuk menentukan pilihan dalam pembelajaran mengenai apa,

siapa, dan bagaimana untuk mengajar dengan pertimbangan jenis teknologi

dan sumber teknologi yang bisa digunakan. TPACK merupakan pengetahuan

yang dapat diandalkan guru untuk mengembangkan kemampuan dan

keterampilan abad 21 peserta didik (Hsu, 2015: 7-11).

Berbagai penelitian mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi

TPACK guru. Beberapa faktor seperti latar karakteristik demografi (gender)

dan profesional variabel (lama mengajar, jenjang pendidikan, dan sertifikasi)

serta perbedaan level sekolah yang diampu guru (SD, SMP, SMA, dan

perguruan tinggi) dapat memberikan pengaruh terhadap TPACK guru (Niess,

Wiles, & Angeli, 2019: 7-13; Khine, 2015: 280).

6. Gender Guru

Gender terdiri atas laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan

pada aspek psikososial meliputi perbedaan tingkah laku, kecenderungan, sifat,

pola pikir, dan kemampuan lainnya (Sugihartono, dkk., 2012: 35). Lebih

lanjut Makarao (2009: 100) menjelaskan bahwa laki-laki memiliki

kecenderungan dalam logika, nalar, kemampuan perancangan mekanis,

penentuan arah abstraksi, dan manipulasi benda fisik sedangkan perempuan

lebih dominan dalam perasaan serta memiliki kemampuan lebih ulet dalam

belajar. Perbedaan karakteristik laki-laki dan perempuan dapat menjadi

31
penyebab adanya perbedaan kemampuan akibat gender dalam berbagai

bidang. Penelitian mengenai gender menjadi topik yang banyak dikaji.

a. TIK dan Gender

Hasil penelitian menunjukkan kemampuan TIK dipengaruhi oleh

gender (Oleksy, Just, & Kling, 2012: 115). TIK memberikan efek secara

signifikan pada laki-laki dan perempuan hampir pada semua kasus,

perempuan lebih sedikit dalam mengakses teknologi dibandingkan laki-

laki. Penelitian Markauskaite (2006: 16) menemukan terdapat perbedaan

yang signifikan laki-laki dan perempuan dalam kemampuan TIK dimana

laki-laki memiliki nilai lebih tinggi dari perempuan. Hasil penelitian di

Korea tahun 2001 menunjukkan perempuan dalam mengakses internet

hanya 28,2 % dibandingkan laki-laki. Pada tahun 2001-2002 Perempuan

lebih sedikit dalam menggunakan internet. Beberapa negara perbedaan

penggunaan internet pada laki-laki dan perempuan sangat berbeda

signifikan. Pada negara Guinea dan Djibouti kurang dari 10% jumlah

perempuan yang menggunakan internet sedangkan di Nepal kurang dari 20

% dan India kurang dari 25 % (Hafkin & Huyer, 2007: 33). Di Indonesia

sendiri hasil survei oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia

(APJII, 2017: 6) pada tahun 2017 menunjukkan 54,68 % yaitu 143,26 juta

orang di Indonesia menggunakan Internet. Angka ini meningkat dari tahun

2016 yaitu 132,7 juta orang. Komposisi pengguna internet laki-laki yaitu

51,43 % lebih terbesar dibandingkan perempuan yaitu 48,57 %.

32
Hasil penelitian diatas sebagian besar menunjukkan bahwa laki-laki

lebih menguasai TIK dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan oleh

beberapa faktor. Gender mempengaruhi sikap, keterampilan, dan

penggunaan TIK dimana hasil beberapa penelitian menemukan bahwa laki-

laki memiliki sikap lebih percaya diri, positif dan relatif lebih banyak

pengalaman dengan komputer dan TIK (Jimoyiannis & Komis 2007: 168;

Varank, 2007: 78; Ertl & Helling, 2011: 486-487; Sweeney & Drummond,

2013: 121; Baturay, Gokcearslan, & Sahin, 2017: 12), memiliki

pengetahuan lebih baik tentang TIK (Berber & Erdem, 2015: 241), dan

frekuensi penggunaan TIK laki-laki lebih tinggi dari perempuan (Castel,

Salvador, & Sanz, 2010: 127; Esterhuysen & Schout, 2013: 21). Sedangkan

hasil penelitian mengenai sikap TIK pada perempuan menunjukkan

perempuan memiliki sikap yang kurang positif, percaya diri, dan

kemampuan yang rendah terhadap TIK dibandingkan laki-laki (Volman et

al., 2005: 51; Enochsson, 2005: 11; Jimoyiannis & Komis, 2007: 168).

Lebih lanjut Andoh (2012: 147) dalam penelitiannya menunjukan hambatan

dalam pengintegrasian TIK dalam pembelajaran yaitu kurangnya

kemampuan TIK guru, kurang percaya diri guru terhadap TIK, dan kurang

pelatihan TIK. Oleh karena itu, perbedaan sikap, minat, kemampuan, dan

pengalaman TIK antara laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi

pengintegrasian TIK dalam pembelajaran.

Lestari (2011: 87-88) menjelaskan teknologi masih dipandang

sebagai tugas laki-laki. Laki-laki lebih dipercaya dalam tugas teknis

33
berkaitan dengan teknologi sedangkan perempuan masih dipandang sebelah

mata. Hasil penelitian lain oleh Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan RI, pada bidang teknologi, khususnya TIK diperoleh hasil

bahwa teknologi informasi dan komunikasi masih sangat dekat dengan

identitas laki-laki. Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi ini adalah

nilai dan budaya.

Di Indonesia adanya budaya patriaki yang memarjinalkan

perempuan ikut berdampak dalam penggunaan teknologi. Dholakia &

Kshetri (2003: 18-19) menjelaskan bahwa teknologi bersifat tidak bebas

terhadap nilai atau budaya artinya tingkat penggunaan teknologi

dipengaruhi budaya dan nilai penggunanya. Nilai teknologi cenderung lebih

maskulin dibandingkan feminin yang merupakan salah satu penyebab

kesenjangaan teknologi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini diperkuat

oleh hasil penelitian Trauth, Quesenberry, & Huang (2006: 17) dan

Buskens & Webb (2009: 177) menunjukkan bahwa penyebab rendahnya

keterlibatan perempuan dalam bidang TIK adalah konstruksi sosial budaya

yang menekankan bidang TIK adalah ranah laki-laki.

Namun hasil penelitian lain menunjukkan hasil yang berkebalikan.

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara gender

dan TIK (Teo, 2008: 418; Cavas, et al., 2009: 7; Gokcearslan, 2010: 1;

Sahin & Akcay,2011: 471; Elsaadani, 2012: 26; Semerci & Aydin, 2018:

101). Hasil lain ditemukan bahwa guru perempuan paling sering

menerapkan TIK untuk kegiatan pembelajaran dibandingkan guru laki-laki

34
(Youssef, Youssef & Dahmani, 2013:192; Wiseman et al., 2017: 11).

Penelitian lain oleh Muslem, Yusuf, & Juliana (2011: 16) menunjukkan

bahwa laki-laki memiliki skor lebih tinggi daripada perempuan mengenai

persepsi dan tantangan dalam menggunakan TIK namun tidak berbeda

signifikan. Artinya guru laki-laki dan perempuan di Aceh memiliki persepsi

yang sama mengenai tantangan dalam menggunakan TIK untuk kegiatan

belajar mengajar.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kesenjangan gender

terhadap TIK semakin berkurang karena meningkatnya jumlah perempuan

yang menggunakan TIK. Penelitian perbedaan gender dalam adaptasi

teknologi dan internet pada tahun 90-an menunjukkan ada gap akibat

gender dalam penggunaan internet dan sebagian besar pengguna internet

adalah laki-laki (Sherman, et al., 2000: 888-889). Hasil serupa juga

diperoleh pada penelitian Bimber (2000: 868) yang menunjukkan ada

perbedaan gap yang signifikan dalam penggunaan internet pada laki-laki

dan perempuan di tahun 1996, 1998, dan 1999.

Adanya perbedaan sikap, kemampuan, dan penggunaan TIK akibat

gender dapat mempengaruhi kinerja guru untuk menerapkan TIK dalam

pembelajaran. Seperti yang ditemukan Schiller (2003: 176) dalam

penelititannya bahwa karakteristik guru seperti usia, gender, pengalaman

mengajar, pengalaman menggunakan komputer dalam mengajar, dan sikap

terhadap komputer dapat mempengaruhi adopsi teknologi dalam

pembelajaran. Lebih lanjut Gode, Obegi & Macharia (2014: 972)

35
menunjukkan bahwa gender mempengaruhi adopsi TIK dalam kegiatan

pembelajaran. Rather (2014: 13) menemukan bahwa variabel yang

menyebabkan integrasi TIK lambat dalam kurikulum yaitu faktor guru,

salah satunya pengaruh aspek gender.

Beberapa penelitian melaporkan guru laki-laki lebih sering

mengintegrasikan komputer di kelas dibandingkan perempuan (Van Braak,

Tondeur, & Valcke, 2004: 8, Hermans, et al., 2008: 1504-1506). Hasil ini

didukung penelitian Jamieson-Proctor, et al (2006: 519) yang menunjukkan

guru perempuan kurang percaya diri dalam menggunakan TIK untuk

kegiatan belajar mengajar dibandingkan guru laki-laki. Kepercayaan diri

pada TIK dapat mempengaruhi guru untuk menggunakan TIK dalam

pembelajaran atau tidak. Kurangnya kepercayaan diri guru terhadap TIK

disebabkan kurangnya pengalaman dan pengetahuan guru terhadap TIK.

Peralta & Costa (2007: 80) menunjukkan bahwa guru yang memiliki

pengalaman lebih dengan komputer akan memiliki kepercayaan diri lebih

tinggi untuk menggunakannya dalam pembelajaran. Oleh karena itu,

kompetensi guru dalam menggunakan TIK berhubungan dengan

kepercayaan diri dalam mengintegrasikan TIK di pembelajaran.

Selain itu, Balanskat et al (2006: 43) menemukan bahwa kurangnya

dalam pengetahuan TIK merupakan alasan utama guru kurang percaya diri

dalam mengadopsi serta mengintegrasikan TIK dalam pembelajaran. Hal

ini disebabkan bahwa guru yang kurang menguasai pengetahuan tentang

36
TIK akan merasa cemas jika harus menggunakan TIK di depan peserta

didik yang lebih pintar dalam menggunakan TIK (Jones, 2004: 7).

b. Biologi dan gender

Biologi adalah salah satu bidang keilmuan yang disukai oleh

perempuan sedangkan laki-laki lebih menyukai bidang matematika dan

fisika. Hal ini sesuai dengan penelitian Prokop, Prokop, & Tunnicliffe

(2007: 38-39) dan Prokop, Tuncer & Chuda (2007: 292) yang menunjukkan

perempuan lebih tertarik dalam biologi dibandingkan laki-laki. Perempuan

menyatakan bahwa biologi penting untuk dipelajari dan lebih mudah

sedangkan laki-laki menyatakan biologi lebih sulit untuk dipahami. Hasil

ini sejalan dengan penelitian Osborne, Simon, & Collins (2003: 29) yang

menunjukkan laki-laki menyatakan bahwa biologi merupakan bidang studi

yang sulit. Penelitian lain oleh Khoirista, Suwondo, & Witjoro (2015: 6)

menunjukkan perempuan lebih menyadari bahwa biologi penting untuk

dipelajari. Terdapat perbedaan signifikan antara laki-laki dan prempuan

dalam ketertarikan mengambil karier terkait biologi. Oleh karena itu,

biologi dapat dipengaruhi oleh gender.

Gender mempengaruhi minat dan penguasaan materi biologi

seseorang. Beberapa penelitian menunjukkan perempuan lebih menguasai

materi biologi dibandingkan laki-laki (Spall et al., 2003: 202; Tsabari &

Yarden, 2008: 75). Sasser (2010: 1) mengungkapkan perempuan memiliki

kemampuan mengingat lebih tinggi dibandingkan laki-laki karena

perempuan memiliki hippocampus yang lebih luas sehingga berpotensi

37
meningkatkan memori penyimpanan jangka panjang yang lebih baik

dibandingkan laki-laki. Karakter biologi yang banyak konsep yang harus

dihafalkan sangat mendukung untuk perempuan. Oleh sebab itu, perempuan

lebih mudah dalam mempelajari biologi dibandingkan laki-laki.

Hasil penelitian lain oleh Kubiatko, Torkar & Rovnanova (2017:

136) menemukan bahwa persepsi peserta didik terhadap biologi lebih

positif jika diajar guru perempuan dibandingkan guru laki-laki meskipun

tidak signifikan. Namun dalam penggunaan TIK untuk materi biologi, laki-

laki menunjukkan lebih berminat untuk menggunakan TIK dalam kelas

biologi. Kubiatko & Halakova (2009: 745) menemukan terdapat perbedaan

signifikan antara anak laki-laki dan perempuan dimana laki-laki

memandang TIK dalam biologi lebih positif daripada perempuan.

c. Pedagogik dan gender

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa perempuan lebih

unggul dalam pengetahuan pedagogik dibanding laki-laki. Hasil penelitian

Atta et al, (2012: 251) menegaskan bahwa guru perempuan memiliki self

efficacy yang lebih baik daripada guru laki-laki. Di Pakistan, guru

merupakan pekerjaan yang identik untuk perempuan sehingga guru

perempuan dianggap lebih kompeten dalam mengajar. Seperti hasil

penelitian Lin et al (2013: 333) menemukan bahwa guru perempuan lebih

percaya diri dalam pengetahuan mengenai pedagogik namun kurang

percaya diri dalam pengetahuan mengenai teknologi dibandingkan guru

laki-laki. Hasil serupa ditemukan oleh Oz (2015: 125) bahwa terdapat

38
perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki

lebih tinggi dalam pengetahuan tentang teknologi sedangkan perempuan

lebih tinggi dalam pengetahuan pedagogik. Namun hasil penelitian yang

berbeda ditemukan oleh Yildiz (2017: 75) menunjukkan tidak ada

perbedaan kompetensi teknologi dan pedagogis yang signifikan antara

calon guru laki-laki dan perempuan pada bidang matematika.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan

karakteristik mengajar guru perempuan dan laki-laki. Guru perempuan

lebih interaktif, banyak memberikan dukungan dan motivasi terhadap

peserta didik serta ekspresif (Rashidi & Naderi, 2012: 30; Cruickshank,

Jenkins, & Metcalf, 2012: 3), lebih membimbing (Wood, 2012: 317), lebih

terbuka terhadap peserta didik (Lacey, Saleh, & Gorman, 1998: 5), lebih

mendorong peran aktif peserta didik (Maher, 1987: 95; Cruickshank,

Jenkins, & Metcalf, 2012: 3), lebih banyak berinteraksi dan kolaborasi

dengan peserta didik (Chen, 2000: 3), menggunakan metode pembelajaran

yang lebih fleksibel (Lacey, Saleh, & Gorman,1998: 15), dan mendorong

peserta didik untuk banyak bertanya (Rashidi & Naderi, 2012: 35-36).

Berbeda dengan guru laki-laki yang cenderung lebih mendominasi

dalam mengajar (Wood, 2012: 317; Lacey, Saleh, dan Gorman,1998: 5;

Cruickshank, Jenkins, & Metcalf, 2012: 3), lebih menekankan

pembelajaran berkelompok dan kegiatan yang terstruktur (Lacey, Saleh,

dan Gorman, 1998: 12), aktif mengajukan pertanyaan singkat kepada

peserta didik (Rashidi & Naderi, 2012: 36; Chavez, 2000: 1036), dan gaya

39
mengajar lebih otoriter (Chen, 2000: 10; Chudgar & Sankar, 2008: 634).

Malik, Farooq, & Tabassum (2016: 226) menemukan bahwa guru

perempuan memiliki lebih banyak sikap positif terhadap peserta didik

dibandingkan guru laki-laki. Sadik & Akbulut (2015: 2010) dalam

penelitiannya menemukan bahwa keterampilan manajemen kelas

dipengaruhi oleh gender secara signifikan dimana guru perempuan lebih

baik dalam keterampilan manajemen kelas dibanding guru laki-laki.

d. TPACK dan Gender

TPACK terdiri atas gabungan pengetahuan dasar pedagogik,

konten, dan teknologi. Perbedaan karakteristik, sikap, dan keterampilan

oleh guru laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi penguasaan guru

terhadap ketiga pengetahuan tersebut yang integrasinya akan membentuk

TPACK. Penelitian pengaruh gender TPACK telah banyak dilakukan di

beberapa negara dan menunjukkan hasil yang beranekaragam. Beberapa

penelitian menunjukkan gender merupakan faktor yang berpengaruh

terhadap TPACK guru dan terdapat perbedaan TPACK yang signifikan

terhadap gender guru (Koh, Chai, & Tsait, 2010: 570; Lin et al., 2013: 333;

Jang & Tsai, 2013: 574; Liu, Zhang, & Wang, 2015: 10-11). Beberapa

penelitian menunjukkan hasil yang sebaliknya dimana gender bukan

merupakan faktor yang penting dalam TPACK. Adanya perbedaan hasil

dalam penelitian – penelitian tersebut merupakan alasan kuat agar pengaruh

gender terhadap TPACK perlu digali lebih dalam lagi.

40
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa guru laki-laki

menunjukkan TPACK yang tinggi dibanding guru perempuan. Gender

mempengaruhi TPACK dimana laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan

(Lin, et al., 2013: 333; Koh & Chai, 2011: 742; Luik, Taimalu, & Suviste,

2017: 9). Hasil penelitian Erdogan & Sahin (2010: 2710) menunjukkan

gender berpengaruh signifikan pada semua aspek TPACK kecuali pada PK

dan CK. Calon guru laki-laki menunjukkan kompetensi TPACK yang lebih

tinggi daripada calon guru perempuan pada bidang studi matematika. Selain

itu, hasil penelitian Jordan (2013: 11) menemukan bahwa laki-laki memiliki

skor yang lebih tinggi pada sebagian besar domain TPACK dibandingkan

perempuan. Namun laki-laki memiliki skor lebih rendah pada pengetahuan

pedagogik dibanding perempuan. Namun penelitian lain justru

menunjukkan bahwa guru perempuan memiliki TPACK yang lebih tinggi.

Beberapa penelitian menunjukkan perempuan lebih menguasai

TPACK dibandingkan laki-laki. Seperti hasil penelitian Coklar (2014: 324)

dan Karaca (2015: 132) menunjukkan guru perempuan lebih menunjukkan

TPACK yang tinggi dibanding guru laki-laki terutama dalam penguasaan

pengetahuan pedagogik dan konten. Selain itu, hasil penelitian Ekrem &

Recep (2014: 12) menunjukkan terdapat perbedaan signifikan antara

TPACK laki-laki dan perempuan dimana skor calon guru perempuan lebih

tinggi daripada laki-laki, namun calon guru laki-laki lebih tinggi dalam

pengetahuan teknologi sedangkan guru perempuan memiliki pengetahuan

pedagogik lebih tinggi.

41
Beberapa penelitian lain menunjukkan hasil yang berkebalikan

dimana gender tidak mempengaruhi TPACK guru. Hasil penelitian

menunjukkan tidak ada pengaruh signifikan gender terhadap TPACK (Koh

& Chai, 2011: 742; Hosseini & Kamal, 2013: 4; Coklar, 2014: 324; Keser,

Yilmaz, & Yilmaz, 2015: 1201; Ay, Karadag, & Acat, 2016: 159; Ersoy,

Yurdakul & Ceylan, 2016: 127; Karatas & Tutak, 2016: 2365). Penelitian

Efilti & Coklar (2016: 2967) juga menunjukkan bahwa menunjukkan

gender bukan merupakan faktor yang penting pada TPACK guru. Hasil

penelitian Jamieson-Proctor, Finger, & Albion (2010: 16) menunjukkan

terdapat perbedaan yang signifikan mengenai kepercayaan diri guru laki-

laki dan perempuan dalam mengintegrasikan TIK untuk pembelajaran

namun tidak terdapat perbedaan hasil yang signifikan pada TPACK.

Penelitian Chen & Jang (2013: 139) juga menunjukkan hasil yang sama

yaitu gender tidak mempengaruhi TPACK guru kecuali pada pengetahuan

mengenai teknologi.

7. Status Sekolah

Sekolah adalah salah satu lembaga pendidikan formal yang

berkewajiban mengembangkan potensi siswa semaksimal mungkin dalam

berbagai aspek kepribadian, sehingga menjadi manusia yang mampu berdiri

sendiri di dalam dan di tengah-tengah masyarakat. Menurut statusnya, sekolah

terbagi menjadi dua yaitu: sekolah swasta dan sekolah negeri. Sekolah negeri

maupun sekolah swasta memiliki karakteristik yang berbeda (Hamka, 2016:

219). Jenis sekolah di Amerika diklasifikasikan menjadi 3 yaitu sekolah

42
negeri, sekolah katolik, dan sekolah swasta lain. Sekolah katolik dibedakan

dari sekolah swasta lain karena katolik merupakan agama terbesar dan

memiliki jumlah yang besar dibandingkan seluruh jumlah sekolah swasta.

Namun di Indonesia sendiri, mayoritas agama merupakan agama islam dan

jenis sekolah berdasarkan statusnya dapat dibedakan berdasarkan sekolah

negeri dan swasta (Coleman, Hoffer, & Kilgore, 1981: 42)

Behrman, Deolalikar, & Soon (2002: 34) menjelaskan bahwa

perbedaan pertama dalam segi kepemilikan sekolah. Sekolah negeri dibawah

kepemilikan pemerintah sedangkan sekolah swasta dibawah kepemilikan

yayasan. Selain itu, perbedaan kedua adalah sumber biaya pendidikan.

Sekolah negeri mendapat dukungan dana dari pemerintah sedangkan sekolah

swasta berasal dari biaya pendidikan yang rutin dikeluarkan orang tua peserta

didik. Lebih lanjut lagi perbedaan ketiga dari segi pengelolaan. Sekolah

swasta lebih memiliki kebebasan dalam pengelolaan penyelenggaraan

pendidikan karena kepala sekolah swasta memiliki keleluasaan lebih

sedangkan sekolah negeri penyelenggaraan pendidikan diatur seluruhnya oleh

pemerintah.

a. Kebijakan Sekolah Negeri dan Swasta

Dari segi kebijakan, sekolah negeri dan swasta memiliki perbedaan.

Kebijakan mengenai kurikulum, praktik pembelajaran di kelas, maupun

kebijakan lain lebih mudah diputuskan oleh kepala sekolah swasta

sementara kebijakan di sekolah negeri harus mengacu pada kementerian

pendidikan. Hal ini menyebabkan kinerja kepala sekolah negeri dan swasta

43
menjadi berbeda. Di sekolah negeri, peran pemerintah lebih dominan

menentukan banyak kebijakan (Bidwell, 2013: 17; Koinzer, Nikolai &

Waldow, 2017: 10). Berbeda dengan sekolah swasta dimana kepala sekolah

memiliki otonomi lebih besar. Kepala sekolah swasta memiliki kekuasaan

lebih dalam memimpin program kerja dan perekrutan staf maupun guru.

Kepala sekolah swasta juga dapat menilai kinerja guru secara langsung dan

dapat langsung memberhentikannya jika guru tersebut memiliki kinerja

yang buruk (Chapelain, 2014: 10).

Sekolah swasta memiliki otonomi lebih besar dalam mengelola

kebijakan di sekolahnya. Chapelain (2014: 11) membuktikan bahwa

otonomi sekolah memiliki dampak positif terhadap efektivitas sekolah.

Sekolah swasta lebih efisien karena tidak terikat oleh kebijakan pemerintah

dalam menjalankan kegiatan pendidikan sehingga sekolah swasta lebih

responsif terhadap kebutuhan peserta didik. Hasil penelitian Hannaway

(1991: 479-480) menemukan bahwa sekolah-sekolah swasta berperforma

lebih baik karena tingkat otonomi sekolah yang lebih besar sehingga

sekolah swasta lebih responsif terhadap kebutuhan peserta didik dan orang

tua.

Pada umumnya, sekolah swasta cenderung memiliki otonomi lebih

besar, sumber daya yang lebih baik, iklim sekolah yang lebih baik dan

tingkat kinerja lebih baik daripada sekolah negeri (OECD, 2012 :18).

Sekolah swasta memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam restrukturisasi

staf untuk memenuhi perubahan dalam kurikulum. Selain itu, sekolah

44
swasta juga menikmati fleksibilitas yang lebih besar dalam pemberian gaji

guru baru, memberikan dukungan yang lebih efektif untuk guru baru, dan

merasa lebih mudah untuk memberhentikan guru baru untuk kinerja yang

buruk dan merestrukturisasi staf berdasarkan perubahan kebutuhan

instruksional (Ballou, 1998: 397).

Perbedaan status sekolah mempengaruhi besarnya otonomi guru

dalam mengajar di kelas. Guru sekolah swasta umumnya memiliki otonomi

lebih besar dari guru sekolah negeri. Guru otonom berwenang untuk

membuat pedagogis keputusan, memutuskan apa dan bagaimana untuk

melakukan pekerjaannya, mengambil inisiatif, membuat proposal dan

menerapkan mereka. Kelompok ini karakteristik sesuai dengan konsep-

konsep otonomi sebagai kebebasan dari kontrol oleh orang lain, dianjurkan

oleh Benson (2006: 5). Seorang guru harus memiliki kebebasan dalam

mengelola kegiatan pembelajaran di kelas sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan peserta didik sehingga otonomi merupakan faktor yang penting

bagi seorang guru.

Guru harus memiliki kebebasan dalam mengelola kegiatan belajar

mengajar karena dalam melakukan tugasnya guru memerlukan otoritas

tanpa intervensi yang terlalu banyak sehingga guru dapat melaksanakan

tugasnya tanpa rasa takut (Sehrawat, 2014: 2). Otonomi perlu untuk

dimiliki setiap guru karena guru perlu menyesuaikan lingkungan belajar

yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik yang beragam. Otonomi

muncul untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sehingga guru perlu

45
diberi kebebasan berinovasi dalam pembelarjaran untuk mewujudkan

tujuan pendidikan (Sehrawat, 2014: 5).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan

keberhasilan kinerja guru dengan otonomi dalam mengajar. Hasil penelitian

Kirkpatrick & Johnson (2014: 1) menemukan bahwa guru dengan otonomi

memiliki tingkat profesionalisme yang tinggi dan mampu membuat

keputusan berdasarkan pengalaman mengajarnya. Guru yang memiliki

kebebasan untuk melaksanakan pembelajaran menunjukkan kepuasan kerja

yang lebih besar, dan lebih kecil tingkat stres pada pekerjaan (Varatharaj,

Abdullah & Ismail, 2015: 35). Lebih lanjut Sehrawat (2014: 1) menemukan

bahwa guru yang memiliki otonomi dan kebebasan dalam mengajar lebih

efektif dan nyaman dalam melaksanakan pekerjaannya dibanding guru yang

banyak aturan dalam mengajar. Perlu adanya kepercayaan bahwa guru

mampu mengajar dengan baik dengan model, metode, dan media

pembelajaran yang guru rancang sendiri untuk mewujudkan tujuan

pembelajaran.

b. Sumber Dana Sekolah Negeri dan Swasta

Dari segi pembiayaan, sekolah negeri dan swasta memiliki

perbedaan. Sumber dana sekolah negeri mayoritas berasal dari pemerintah

sedangkan sekolah swasta mengandalkan sumber swasta baik dari

sumbangan yayasan maupun dari orang tua. Di sekolah swasta biaya

pendidikan lebih mahal dari sekolah negeri sehingga orang tua yang

membayar mengharapkan program akademik yang baik. Kondisi ini

46
berbeda dengan sekolah negeri yang umumnya biaya pendidikan gratis

bahkan terkadang kualitas pembelajaran tidak sebaik sekolah swasta

(Abdou, 2010: 10 - 23). Hasil survei SMAERC (2008: 114) menunjukkan

biaya pendidikan sekolah swasta lebih tinggi untuk menyediakan fasilitas

dan infrastruktur sekolah yang lebih baik dibandingkan sekolah negeri.

Sekolah swasta menuntut biaya pendidikan yang lebih tinggi dari sekolah

negeri. Biaya ini digunakan untuk memberikan fasilitas yang berkualitas

agar mendukung penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut.

Iklim sekolah secara signifikan dapat mempengaruhi kualitas

pendidikan baik pada peserta didik, guru, dan staf lainnya serta kepuasan

orang tua terhadap sekolah (NCES, 1997: 18). Dari segi dukungan sekolah,

guru swasta memiliki dukungan lebih banyak dari guru sekolah negeri serta

lebih dilibatkan dalam penetapan keputusan sekolah. Pekerjaan guru akan

lebih mudah dengan adanya dukungan administrasi dari staf sekolah.

Tickle, Chang, & Kim (2011: 347) menemukan bahwa dukungan

administrasi dari staf mempengaruhi kepuasan guru terhadap kinerjanya

sehingga guru menjadi lebih berkomitmen dalam kinerjanya. Guru sekolah

swasta lebih sering berdiskusi mengenai pembelajaran dengan rekan

sesama guru maupun staf administrasi. Guru sekolah negeri memiliki

keunggulan karena memiliki pengalaman mengajar yang lama serta lebih

besar berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan profesional sedangkan

guru sekolah swasta memiliki lebih besar dukungan dari sekolah untuk

47
menunjang kegiatan pembelajarannya, memiliki otonomi lebih besar di

kelas, dan lebih berpengaruh dalam kurikulum dan kebijakan sekolah.

c. Kinerja Guru berdasarkan Status Sekolah

Guru negeri dan swasta memiliki perbedaan karakteristik. Pada

umumnya guru negeri sebagian besar merupakan guru senior yang telah

mengajar dalam waktu yang lama dan telah bersertifikat pendidik

sedangkan guru sekolah swasta didominasi guru yang masih muda, belum

berpengalaman dalam mengajar, dan belum bersertifikat pendidik. Guru

sekolah negeri yang lebih berpengalaman memiliki kompetensi mengajar

yang lebih baik dibandingkan guru sekolah swasta.

Guru menjadi peran sentral dalam penyelenggaraan pendidikan

karena pada dasarnya gurulah yang berinteraksi langsung dengan peserta

didik maka peran guru di sekolah negeri dan swasta menjadi penting untuk

dikaji. Dari segi jumlah peserta didik, sekolah negeri lebih banyak dari

jumlah peserta didik di sekolah swasta (SMAERC, 2008: 107; Coleman,

Hoffer, & Kilgore, 1981: 36). Kondisi ini menyebabkan guru kurang dapat

memahami dan memberikan perhatian untuk peserta didik satu per satu

namun guru di sekolah swasta lebih mungkin dapat memahami setiap

peserta didik sehingga guru sekolah swasta lebih mengetahui karakteristik

setiap peserta didiknya dibandingkan guru sekolah negeri (Azka, 2015: 1-

3). Jumlah peserta didik yang terlalu banyak di kelas akan menyebabkan

pembelajaran kurang efektif seperti yang ditemukan Nishino (2008: 29)

yang menunjukkan bahwa faktor keterbatasan waktu, banyaknya peserta

48
didik dalam satu kelas, dan kesulitan dalam mengatur kelas menyebabkan

guru kurang efektif dalam mengajar.

Penelitian mengenai perbedaan kinerja guru negeri dan swasta

sering dilakukan. Adanya perbedaan dari segi kebijakan, pembiayaan, dan

fasilitas sekolah di sekolah negeri dan swasta banyak dikaji mengenai

kaitannya dengan kinerja guru. Data NCES (National Center for Education

Statistics) menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan mengenai

kepuasan kinerja dan kondisi kerja yang dirasakan guru sekolah negeri dan

swasta. Meskipun mendapatkan gaji yang lebih rendah, guru-guru di

sekolah-sekolah swasta merasa lebih puas terhadap kinerjanya.

Hasil dari survei menunjukkan sebanyak 94 % guru sekolah swasta

merasa puas terhadap kinerjanya berbading 90 % guru sekolah negeri yang

puas terhadap kinerjanya. Hal ini disebabkan guru swasta merasa lebih

mendapat dukungan dalam mengajar. Selain itu, tingkat stres terhadap

tugas mengajar guru sekolah swasta lebih kecil dibandingkan guru sekolah

negeri. Stres pada pekerjaan merupakan salah satu indikator dalam

kepuasan kinerja. Terdapatt 12 % dari guru sekolah swasta berbanding 22

% guru sekolah negeri yang merasa stres dan keweca terhadap sekolah

tempat guru tersebut mengajar. Guru sekolah negeri memiliki pendapatan

yang lebih tinggi dari guru sekolah swasta namun hasil survei menunjukkan

bahwa 50 % guru swasta merasa puas terhadap pendapatannya dibanding

guru sekolah negeri sebesar 47%. Di sekolah swasta, guru mendapatkan

lebih banyak dukungan dari orang tua untuk pekerjaannya sebesar 85 %

49
dibandingkan guru sekolah negeri sebesar 59 %. Selain itu, 89 % guru

swasta memperoleh lebih banyak dukungan dari staf administrasi sekolah

dibandingkan guru sekolah negeri sebesar 84 % (CAPE, 2014: 1-2).

Hasil penelitian Shabbir & Wei di Pakistan (2015: 580-581)

menunjukkan bahwa guru di sekolah negeri umumnya mendapatkan gaji

berkala dari pemerintah serta berbagai tunjangan seperti tunjangan

kesehatan, tunjangan rumah, dan tunjangan khusus lainnya sedangkan gaji

guru di sekolah swasta umumnya tidak tetap. Jumlah gaji tergantung dari

kinerja guru dalam kelas. Guru sekolah negeri memiliki pendapatan yang

lebih besar dari guru sekolah swasta namun hasil survei menunjukkan guru

sekolah swasta lebih puas dengan kondisi kerjanya sebesar 36 % dibanding

guru sekolah negeri sebesar 11 % (NCES, 1997: 12-13). Hasil penelitian

lain justru menunjukkan hasil berlawanan seperti yang ditemukan

Colakoglu & Odabas (2013: 131) menunjukkan guru di sekolah negeri

lebih puas terhadap kinerjanya dibandingkan guru di sekolah swasta pada

aspek memiliki jaminan perkerjaan dan lingkungan kerja yang baik

sedangkan guru swasta lebih puas dalam hal kebebasan untuk melakukan

pembelajaran sesuai keinginannya.

d. Kualitas Pendidikan Berdasarkan Status Sekolah

Beberapa penelitian mengenai kualitas sekolah negeri dan swasta

dilakukan. Salah satunya penelitian Carney (2003: 93) di Nepal

menunjukkan sekolah negeri belum dapat mengimbangi sekolah swasta.

Sekolah negeri terkendala pada infrastruktur dan fasilitas sekolah yang

50
kurang memadai, kinerja guru rendah, manajemen dan peraturan yang

lemah, dan prestasi yang rendah. Hasil penelitian lain oleh Koirala (2015:

4) menunjukkan bahwa manajemen sekolah yang lebih baik adalah salah

satu faktor-faktor kunci untuk kinerja yang baik dari swasta sekolah. Selain

itu, faktor lain seperti akuntabilitas, keteraturan, komitmen, disiplin, dan

otonomi bagi guru mendukung kinerja sekolah swasta yang baik. Prestasi

kognitif peserta didik sekolah swasta menunjukkan lebih tinggi dibanding

sekolah negeri (Coleman et al., 1981: 25). Selain itu, sekolah swasta lebih

baik dalam mengembangkan karakter dan personaliti peserta didik dengan

lebih baik dibandingkan sekolah negeri (Coleman et al., 1981: 35) Sekolah

swasta dibeberapa negara menunjukkan kualitas yang lebih baik sedangkan

sekolah negeri lebih mengajarkan fungsi sosial, politik dan ideologi (Holt,

2008: 4).

Ukuran kelas akan memberikan pengaruh dalam proses

pembelajaran. Ukuran kelas yang besar akan terbentuk lingkungan kelas

yang kompleks,sedangkan ukuran kelas yang kecil maka lingkungan kelas

lebih tidak kompleks. Guru yang mengajar di kelas kecil tidak akan

menghabiskan waktunya untuk mengingatkan tentang kedisiplinan dan

lebih banyak waktu untuk mengajar dan kegiatan dalam diskusi kelompok.

Ukuran kelas juga menentukan perilaku siswa, kelas yang besar maka siswa

cenderung kurang memperhatikan pembelajaran. (Cruickshank, Jenkins, &

Metcalf, 2012: 13-14)

51
Penelitian lain justru memperoleh hasil yang berlainan dimana

sekolah negeri lebih unggul dibandingkan sekolah swasta. Seperti hasil

penelitian Newhouse & Beegle (2005: 1) yang menunjukkan bahwa

sekolah negeri lebih unggul dibandingkan sekolah swasta karena pada

sekolah negeri memiliki input peserta didik yang baik. Salah satu

keunggulan sekolah negeri di Indonesia adalah input calon peserta didik

yang baik dibandingkan sekolah swasta. Hasil penelitian Goodloe (2005: 8)

menemukan kelebihan sistem di sekolah negeri antara lain biaya

pendidikan rendah, guru telah tersertifikasi, dan kekebasan beragama

sedangkan di sekolah swasta ketersediaan sumber daya yang baik,

konsistensi sekolah tinggi, dan kinerja guru selalu dievaluasi langsung.

Sekolah negeri memiliki kelemahan yaitu kurangnya sumber daya

yang menunjang pembelajaran dan di sekolah swasta adalah biaya

pendidikan yang tinggi dan guru yang kurang berpengalaman. Hasil

penelitian Khatti, Munshi, & Mirza (2010: 1) di distrik Badin menunjukkan

bahwa sekolah negeri unggul dan sumber daya manusia sedangkan sekolah

swasta unggul dalam fasilitas yang lebih baik. Hasil penelitian Bedi dan

Garg (2000: 463) menunjukkan bahwa di Indonesia sekolah negeri

merupakan sekolah-sekolah unggulan. Sekolah menengah negeri dianggap

lebih baik dari sekolah menengah swasta karena memiliki input peserta

didik yang unggul. Peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi

cenderung bersekolah di sekolah negeri. Orang tua yang memiliki

pendidikan tinggi dan memiliki anak dengan kemampuan tinggi lebih

52
menyekolahkan anak mereka pada sekolah negeri. Biaya pendidikan yang

lebih murah di sekolah negeri menyebabkan banyak peserta didik

berkemampuan tinggi lebih memiliki sekolah negeri.

e. Ketersediaan Fasilitas Pendidikan Berdasarkan Status Sekolah

Pengaruh iklim sekolah dari segi keberadaan sarana dan prasarana

sekolah dapat mempengaruhi kinerja mengajar guru. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa ketersediaan fasilitas sekolah mempengaruhi kinerja

guru dalam mengajar. Seperti hasil penelitian Permana (2016: 11)

menunjukkan terdapat pengaruh signifikan antara sarana dan prasarana

terhadap kinerja guru SMK. Hasil ini dapat diartikan bahwa semakin baik

sarana dan prasarana di sekolah maka semakin baik kinerja guru. Kondisi

serupa ditemukan oleh Gagarin, Pallu, & Baharuddin (2010: 9) di NTT

bahwa pemanfaatan sarana dan prasarana sekolah yang dilakukan oleh

Guru cukup berpengaruh terhadap kinerja guru. Hasil penelitian Buckley,

Schneider, & Shang (2004: 1) menunjukkan bahwa kualitas fasilitas di

sekolah dapat menjadi prediktor yang kuat terhadap keputusan guru untuk

tetap bertahan mengajar di sekolah. Hasil penelitian Isaiah (2013: 196)

menunjukkan bahwa tingkat ketidakpuasan guru di Botswana terhadap

pekerjaannya sangat tinggi. Hal ini disebabkan fasilitas sekolah yang

kurang memadai. Keadaan fasilitas di sekolah dapat mempengaruhi iklim

sekolah yang kemudian mempengaruhi tingkat kepuasan guru terhadap

pekerjaannya.

53
Agar dapat mengimplementasi TPACK, maka ketersediaan

perangkat TIK menjadi penting di sekolah. Dalam hal menyediaan fasilitas

TIK, sekolah swasta lebih unggul dari sekolah negeri. Hasil penelitian

Malero, Ismail, dan Manyilizu (2015: 32) mengungkapkan bahwa SMA

swasta kota Dodoma, Tanzania lebih baik daripada sekolah negeri dalam

kesiapan penggunaan TIK. Di sekolah swasta terdapat usaha lebih untuk

menyediakan perangkat TIK untuk digunakan dalam pembelajaran. Hasil

penelitian juga menunjukkan bahwa sekolah swasta memiliki lebih banyak

kesempatan untuk menggunakan TIK dibanding sekolah negeri. Selain itu,

guru swasta lebih banyak menerapkan TIK dalam pembelajaran dibanding

guru sekolah negeri. Penggunaan internet di sekolah negeri tahun 1999

diperoleh 39% guru menggunakan internet untuk membuat bahan

pembelajaran, 34% untuk administtrasi, 16% guru untuk mengumpulkan

infromasi untuk menyusun RPP, 7% mengakses penelitian dan strategi

terbaik untuk mengajar, dan 6% mengakses model RPP (Diaz, Pelletier, &

Provenzo, 2006: 384).

Zia, Naz, & Qureshi (2017: 131-132) dan Asaolu & Fashanu, (2012:

2) menemukan bahwa peserta didik sekolah swasta Pakistan mendapatkan

akses TIK lebih baik dibandingkan peserta didik sekolah negeri. Pada

dasarnya kedua peserta didik di sekolah negeri maupun swasta

menunjukkan minat pada penerapan TIK dalam pembelajaran untuk

memperoleh informasi terbaru mengenai berbagai topik. Hasil penelitian

menegaskan bahwa peserta didik sekolah swasta lebih banyak

54
menggunakan TIK untuk mencari informasi baru dibandingkan peserta

didik sekolah negeri. Selain itu, hasil survei menunjukkan perangkat TIK di

sekolah swasta lebih lengkap dan lebih mendukung aktivitas peserta didik

dalam akses untuk mengakses informasi baru. Peserta didik merasa bahwa

penggunaan TIK dalam pembelajaran membantu dalam menginggat konsep

yang baru dipelajari juga mempermudah pemahaman konsep baru. Selain

itu, pembelajaran menggunakan TIK lebih menarik.

Hasil berbeda ditemukan oleh Andoh dan Issifu (2015: 1286)

menunjukkan bahwa pembelajaran sekolah negeri di Ghana lebih banyak

melibatkan TIK dibandingkan sekolah swasta. Peserta didik di sekolah

negeri sering menggunakan TIK untuk mendukung belajar lebih dari siswa

di sekolah swasta. Hasil ini menjadi tidak terduga dimana sebagian besar

sekolah swasta di Ghana memiliki sumber daya mengenai teknologi lebih

besar dibandingkan sekolah negeri.

Kurangnya fasilitas dan perangkat TIK dapat menghambat kinerja

guru dalam menerapkan TIK dalam pembelajaran. Hasil survei Suhartanto

(2010: 82) menunjukkan bahwa faktor utama yang menghambat

penggunakan TIK dalam pembelajaran di Indonesia adalah kurangnya

infrastruktur dasar di sekolah terutama pada akses internet. Hasil penelitian

Usen (2016: 73) mengungkapkan bahwa ada signifikan hubungan yang

positif antara guru pemanfaatan fasilitas sekolah (perpustakaan,

laboratorium, perangkat TIK dan pusat rekreasi) dan prestasi akademik

peserta didik dalam biologi. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

55
integrasi TIK dalam pembelajaran. Brinkerhoff (2006: 40) menemukan

integrasi TIK dipengaruhi ketersediaan sumber daya, pelatihan dan

pengalaman guru terhadap TIK, dukungan pimpinan sekolah dan sikap staf

sekolah. Miranda dan Russell (2011: 301) menambahkan pengalaman

mengajar dengan teknologi mempengaruhi faktor persepsi guru terhadap

manfaat TIK untuk pembelajaran.

Ketersediaan sumber daya dan perangkat TIK menjadi faktor yang

sangat mempengaruhi integrasi TIK dalam pembelajaran. Hasil penelitian

Tondeur, et al (2008: 218) menemukan bahwa 50% dari guru melaporkan

kurangnya sumber daya TIK sebagai penghalang terbesar terhadap integrasi

TIK dalam pembelajaran mereka. Hasil penelitian Qureshi (2013: 1745)

menunjukkan bahwa sistem pendidikan di sekolah swasta sudah

menerapkan TIK selama 34 tahun untuk memberikan pembelajaran yang

menantang, kreatif, dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat

tinggi peserta didik. Lebih lanjut Qureshi menjelaskan di sekolah negeri

dalam penerapan TIK masih terkendala pada minimnya perangkat TIK.

Penelitian lain oleh Ali et al.,(2015: 142) menemukan bahwa pemerintah

telah merekomendasikan guru dan sekolah untuk menerapakan TIK dalam

pembelajaran namun kurangnya fasilitas TIK menyebabkan penerapan TIK

menjadi terhambat. Hasil penelitian Asaolu dan Fashanu (2012: 2)

menunjukkan tingkat kemahiran dalam TIK di sekolah swasta dua kali

lebih tinggi dari sekolah negeri. Hasil ini disebabkan guru di sekolah swasta

terus mendorong kinerja peserta didik untuk adopsi TIK dimana kondisi

56
berbeda ditemukan di sekolah negeri. Hasil penelitian menunjukkan

terdapat peningkatan dalam menggunakan TIK di sekolah negeri dari tahun

ke tahun namun tetap masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan

sekolah swasta.

Selain ketersediaan fasilitas, faktor lain seperti keterbatasan waktu

menyebabkan integrasi TIK menjadi terhambat. Hasil penelitian Valcarcel,

Basilotta, dan Lopez (2014: 67) menunjukkan guru merasa bahwa ICT

memerlukan sejumlah besar perencanaan waktu. Faktor lain adalah

kurangnya keterampilan guru dalam menggunakan perangkat TIK. Hasil

penelitian Tondeur et al. (2008: 218) menemukan bahwa salah satu

hambatan yang signifikan untuk integrasi teknologi adalah kemampuan

TIK guru terbatas yaitu sejumlah 27,8 % guru kurang menguasai TIK.

Lebih lanjut, hasil penelitian Kubiatko (2006: 49) menunjukkan bahwa

kurangnya keterampilan TIK menjadi penyebab guru tidak menggunakan

TIK dalam mengajar biologi.

Hasil survei pemanfaatan TIK di Filipina oleh Tinio (2002: 20)

menunjukkan bahwa guru di SMA negeri masih memerlukan pelatihan

mengenai penggunaan TIK dalam pembelajaran. Lebih lanjut Tondeur et al.

(2008: 218) menemukan bahwa guru yang berpengalaman tinggi terhadap

TIK dan ketersediaan TIK di sekolah memadai lebih mungkin untuk

menerapkan TIK dalam pembelajaran. Penelitian Liu (2011: 1012)

menunjukkan bahwa persepsi guru terhadap TIK mempengaruhi

keberhasilan sekolah dalam penerapan TIK. Hasil ini diperkuat oleh

57
penelitian Miranda dan Rusell (2011: 315-316) bahwa guru yang percaya

TIK bermanfaat untuk pembelajaran akan mengarahkan peserta didik untuk

menggunakan TIK.

Data hasil survei statistik pendidikan oleh BPS tahun ajaran

2016/2017 menunjukkan jumlah SMA negeri yaitu 42,86 % di DIY lebih

sedikit dibanding SMA swasta 57, 14 % namun jumlah peserta didik SMA

Negeri yaitu 68,74 % lebih banyak dari SMA Swasta 31,76 %. Hal ini

menunjukkan jumlah peserta didik yang harus dibimbing oleh guru SMA

Negeri menjadi lebih banyak dan persentase guru SMA di DIY yang layak

mengajar (berijasah minimal D4/S1) sebesar 92,09 %. Di DIY laki-laki

mengakses internet sebesar 62,34 % sedangkan perempuan sebesar 65,63

%. Sedangkan peserta didik yang mengakses internet pada jenjang SMA

dan SMK di DIY sebanyak 95,97%. Dari segi sarana dan prasarana di

sekolah DIY memiliki SMA dengan kondisi baik 48,89 %, rusak ringan

atau sedang 48,84%, dan rusak berat 2,28 % (Rachmawati dkk, 2017: 87).

8. Kaitan Gender Guru dan Status Sekolah

Guru laki-laki dan perempuan di sekolah negeri dan swasta

memiliki sikap, kepercayaan diri, dan kompetensi TIK yang berbeda.

Perbedaan ini dapat mempengaruhi kemampuan TPACK guru dalam

mengintegrasikan teknologi dalam proses pembelajaran. Guru laki-laki

sekolah negeri sikap dan kepercayaan diri lebih tinggi dalam menggunakan

teknologi dalam praktik mengajar dibandingkan guru laki-laki swasta

sedangkan guru perempuan di sekolah swasta lebih percaya diri dalam

58
menggunakan teknologi di proses pembelajaran dibandingkan guru sekolah

negeri. Guru perempuan swasta menunjukkan lebih terampil dalam

menggunakan TIK dalam proses pembelajaran dibandingkan guru

perempuan di sekolah negeri sedangkan guru laki-laki di sekolah swasta

lebih terampil dibandingkan guru laki-laki di sekolah negeri (Jamil, Jamil

& Rasheed, 2017: 71-93).

Secara keseluruhan, guru laki-laki di sekolah negeri menunjukkan

sikap dan kepercayaan diri yang lebih baik dibandingkan guru laki-laki

swasta namun dalam penerapannya lebih terampil guru laki-laki di sekolah

swasta. Guru perempuan di sekolah swasta menunjukkan kompetensi dan

penggunaan TIK dalam pembelajaran yang tinggi dibandingkan guru

perempuan di sekolah negeri. Kemampuan TPACK guru sangat berkaitan

dengan sikap, kepercayaan diri, dan kompetensi TIK. Adanya perbedaan ini

antara guru laki-laki dan guru perempuan di sekolah negeri dan swasta

menyebabkan perlu dikaji lebih lanjut mengenai pengaruhnya terhadap

kemampuan TPACK guru dalam perencanaan maupun proses

pembelajaran.

Efek gender dan status sekolah secara bersama-sama mempengaruhi

kepuasaan terhadap kinerja guru (Zafar et al., 2018: 48). Gender guru dan

status sekolah mempengaruhi kondisi kegiatan operasional sekolah,

lingkungan kerja, dan komunikasi secara signifikan. Perbedaan ini secara

signifikan mempengaruhi kepuasan kinerja guru. Shukla (2014: 59)

menemukan adanya korelasi positif antara kepuasan kerja dan komitmen

59
kerja mengajar guru artinya semakin tinggi kepuasaan kerja guru

menunjukkan komitmen kerja yang tinggi.

Kegiatan operasional sekolah antara sekolah negeri dan swasta tentu

berbeda. Hal ini disebabkan kebijakan penyelenggaraan pendidikan sekolah

negeri dan swasta berbeda. Di sekolah negeri kebijakan dalam

penyelenggaraaan pendidikan sebagian besar diatur oleh pemerintah

berbeda dengan sekolah swasta. Kepala sekolah swasta memiliki peran

yang dominan dibandingkan sekolah negeri. Sekolah swasta memiliki

fleksibilitas yang lebih besar dalam menentukan kebijakan penyelengaraan

pendidikan sehingga sekolah swasta lebih responsif terhadap kebutuhan

peserta didik dan orang tua. Selain itu, sekolah swasta juga memiliki

kebebasan yang lebih besar dalam pemberian gaji guru, memberikan

dukungan yang lebih efektif untuk guru, dan lebih mudah untuk

memberhentikan guru yang memiliki kinerja buruk dan merestrukturisasi

staf berdasarkan perubahan kebutuhan instruksional (Ballou, 1998: 397).

Kondisi akademik di sekolah negeri dan swasta juga berbeda.

Orientasi pembelajaran di sekolah swasta lebih diarahkan pengembangan

karakter religius. Dalam kurikulum sekolah swasta ditambahkan lebih

banyak mata pelajaran keagamaan dan kegiatan keagamaan diluar kelas.

Beberapa sekolah swasta islam membedakan antara kelas peserta didik

laki-laki dan perempuan. Kondisi ini dapat memicu performansi kinerja

guru yang berbeda karena karakter kelas peserta didik laki-laki dan

perempuan tentu berbeda. Hasil Kubiatko, Torkar & Rovnanova (2017:

60
136) menemukan bahwa persepsi peserta didik terhadap biologi lebih

positif jika diajar guru perempuan dibandingkan guru laki-laki meskipun

tidak signifikan. Prokop, Prokop, & Tunnicliffe (2007: 38-39) dan Prokop,

Tuncer & Chuda (2007: 292) yang menunjukkan perempuan lebih tertarik

dalam biologi dibandingkan laki-laki. Perempuan menyatakan bahwa

biologi penting untuk dipelajari dan lebih mudah sedangkan laki-laki

menyatakan biologi lebih sulit untuk dipahami. Namun dalam penggunaan

TIK untuk materi biologi, guru laki-laki menunjukkan lebih berminat untuk

menggunakan TIK dalam kelas biologi. Penggunaan TIK lebih sering

diterapkan dalam pembelajaran oleh guru laki-laki dibandingkan

perempuan namun perlu dikaji lebih lanjut kemampuan TPACK guru laki-

laki lebih baik dibandingkan perempuan.

Perbedaan jumlah peserta didik di sekolah negeri dan swasta juga

berpengaruh terhadap kinerja guru. Sekolah negeri lebih banyak jumlah

kelas dan jumlah peserta didik pada setiap kelas dibandingkan sekolah

swasta (SMAERC, 2008: 107; Coleman, Hoffer, & Kilgore, 1981: 36).

Kondisi ini menyebabkan guru sekolah negeri kurang dapat memahami dan

memberikan perhatian untuk peserta didik satu per satu namun guru di

sekolah swasta lebih mungkin dapat memahami setiap peserta didik

sehingga guru sekolah swasta lebih mengetahui karakteristik setiap peserta

didiknya dibandingkan guru sekolah negeri (Azka, 2015: 1-3). Jumlah

peserta didik yang terlalu banyak di kelas akan menyebabkan pembelajaran

kurang efektif seperti yang ditemukan Nishino (2008: 29) yang

61
menunjukkan bahwa faktor keterbatasan waktu, banyaknya peserta didik

dalam satu kelas, dan kesulitan dalam mengatur kelas menyebabkan guru

kurang efektif dalam mengajar. Perbedaan kondisi ini menurut hasil

penelitian menunjukkan kondisi akademik guru swasta lebih baik dibanding

guru negeri (Moshahid & Hussain, 2017: 146).

Lingkungan kerja dan tingkat stress dalam pekerjaan memberikan

pengaruh yang siginifikan terhadap komitmen guru untuk mengajar (Miller,

Brownell, & Smith, 1999: 211). Kondisi lingkungan kerja guru dapat

berpengaruh terhadap tingkat stress. Guru yang memiliki persepsi positif

terhadap lingkungan kerja yang baik memiliki tingkat stres yang lebih

rendah dan kinerja mengajar yang lebih baik pula. Tuntutan kinerja yang

tinggi dan beban mengajar yang tinggi menyebabkan lingkungan kerja

sekolah negeri lebih tinggi tingkat stresnya. Stres pada pekerjaan

merupakan salah satu indikator dalam kepuasan kinerja. Terdapat 12 % dari

guru sekolah swasta berbanding 22 % guru sekolah negeri yang merasa

stres dan kecewa terhadap sekolah tempat guru tersebut mengajar. Guru

laki-laki dan perempuan memberikan respon yang berbeda terhadap tingkat

stres dan lingkungan kerja dalam pekerjaan.

Guru laki-laki yang memiliki persepsi yang baik terhadap

lingkungan kerja sehingga memiliki tingkat stress mengajar yang lebih

rendah sedangkan guru perempuan menunjukkan tingkat stres yang lebih

tinggi dan profesionalitas kinerja yang lebih rendah. Guru laki-laki

memiliki efektivitas mengajar dan kepuasan kerja lebih tinggi sedangkan

62
guru perempuan memiliki stres yang lebih besar yang lebih rendah

sehingga efektivitas mengajarnnya juga lebih rendah. Guru perempuan

mengajar peserta didik yang memiliki perilaku yang kurang baik akan

memiliki stress kerja yang tinggi sehingga memiliki efektivitas mengajar

yang lebih rendah (Van Dat Tran, 2015: 153-154).

Selain mempengaruhi tingkat stres dalam pekerjaan, lingkungan

kerja dalam mendukung pekerjaan juga dapat mempengaruhi kepuasan

mengajar guru. Data NCES (National Center for Education Statistics)

menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan mengenai kepuasan

kinerja yang dirasakan guru sekolah negeri dan swasta (CAPE, 2014: 1-2).

Perbedaan kepuasan kinerja guru sekolah negeri dan swasta berbeda juga

berdasarkan gender guru. Guru laki-laki dan perempuan memberikan

respon berbeda dalam hal kepuasan kinerja mengajar. Guru laki-laki

memiliki persepsi positif terhadap lingkungan kerja di sekolah sehingga

memiliki kepuasaan kerja yang tinggi sedangkan guru perempuan memiliki

persepsi positif terhadap lingkungan kerja yang rendah sehingga memiliki

kepuasan kerja yang lebih rendah (Van Dat Tran, 2015: 153). Guru laki-

laki di sekolah negeri menunjukkan kepuasan yang lebih tinggi

dibandingkan guru laki-laki di sekolah swasta. Kepuasan ini disebabkan

karena kepastian dalam pekerjaan namun kondisi tersebut juga dapat

memicu guru untuk asal-asalan dalam bekerja karena guru negeri merasa

sudah terjamin pekerjaannya (Mehta, 2012: 81). Hasil serupa juga

dtemukan dimana guru perempuan di sekolah negeri memiliki kepuasan

63
lebih tinggi dibandingkan guru perempuan di sekolah swasta. Kepuasan ini

disebabkan karena jaminan masa depan yang lebih baik dibandingkan

sekolah swasta (Tabassum, Ali, & Bibi, 2011: 304).

Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan kompetensi

mengajar guru dimana guru negeri lebih baik dalam kompetensi mengajar.

Setelah dikaji berdasarkan gender guru dan status sekolah diperoleh 1)

tidak terdapat perbedaan kompetensi mengajar yang signifikan antara guru

laki-laki dan guru perempuan di sekolah negeri meskipun guru perempuan

lebih tinggi kompetensi mengajarnya, 2) terdapat perbedaan yang

signifikan antara kompetensi mengajar guru laki-laki dan perempuan di

sekolah swasta dimana guru perempuan memiliki kompetensi yang lebih

baik dibandingkan guru laki-laki, 3) terdapat perbedaan yang signifikan

antara guru laki-laki di sekolah negeri dan guru laki-laki di sekolah swasta

dimana guru laki-laki sekolah negeri memiliki kompetensi mengajar yang

lebih baik dibandingkan sekolah swasta, 4) tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara guru perempuan di sekolah negeri dan guru perempuan di

sekolah swasta meskipun demikian guru sekolah negeri memiliki

kompetensi mengajar yang lebih baik dibandingkan sekolah swasta

(Moshahid & Hussain, 2017: 146-149). Kinerja mengajar yang baik

menunjukkan guru telah menerapkan pedagogik untuk menyampaikan

sunjek materi tertentu dengan baik dalam proses pembelajaran (PCK)

namun pengintegrasian teknologi dalam pedagogik pada subjek materi

64
tertentu (TPACK) untuk mewujudkan pembelajaran berbasis TIK perlu

dikaji lebih lanjut.

Diskriminasi terhadap guru perempuan terjadi di beberapa negara.

Di Lebanon terdapat diskriminasi terhadap guru perempuan sekolah swasta

yang sudah menikah. Bahkan terdapat beberapa kasus guru perempuan

yang dipecat dan mendapatkan kompensasi gaji selama dua tahun jika guru

tersebut hamil (Huda Ayyash-Abdo, 2000). Di Pakistan, guru perempuan

kurang baik kinerjanya dibandingkan guru laki-laki. Guru perempuan

swasta cenderung tidak terlatih, kurang pendidikan, dan diberi gaji yang

lebih sedikit dibandingkan guru laki-laki sekolah swasta. Hal ini

menyebabkan guru perempuan di sekolah swasta cenderung kurang

memiliki motivasi dalam bekerja dibandingkan guru di sekolah negeri.

Guru di sekolah swasta didominasi oleh perempuan yang sebagian besar

kurang mendapat pelatihan dan pengalaman dibandingkan sekolah negeri

(Marine, 2016: 78-80).

B. Kajian Penelitian yang Relevan

Berikut ini merupakan penelitian TPACK guru biologi yang digunakan

sebagai rujukan dan referensi bagi peneliti untuk melakukan penelitian :

Penelitian pertama oleh Suryawati, Firdaus dan Hernandez (2014: 68-71)

mengenai “Analisis Keterampilan Technological Pedagogical Content Knowledge

(TPCK) Guru Biologi SMA Negeri Kota Pekanbaru” diperoleh potret kemampuan

guru biologi SMA dalam mengimplementasikan TPCK berada pada kriteria baik.

Hasil ini juga menunjukkan bahwa guru biologi di SMA Pekanbaru telah mampu

65
menerapkan pembelajaran biologi yang berbasis teknologi informasi dan

komunikasi (TIK). Penelitian kedua oleh Lestari (2015: 562) mengenai “Analisis

Kemampuan Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK) pada

Guru Biologi SMA dalam Materi Sistem Saraf” diperoleh bahwa tingkat

kemampuan TPACK guru SMA pada materi sistem saraf tidak berbanding lurus

dengan lamanya pengalaman mengajar guru. Hal ini menunjukkan bahwa semakin

berpengalaman guru dalam mengajar tidak berarti guru memiliki TPACK yang

tinggi. Hasil lain diperoleh kemampuan perencanaan dan implementasi TPACK

guru hanya sampai pada penggunaan infokus dan perangkatnya seperti whiteboard

dan spidol dalam kegiatan presentasi di kelas oleh setiap kelompok. Hasil ini

menunjukkan bahwa penggunaan teknologi oleh guru masih sangat kurang dalam

pembelajaran dimana perkembangan teknologi seperti internet yang pesat sebagai

sumber belajar sangat berpotensi untuk digunakan dalam pembelajaran.

66
C. Kerangka Pikir

Berdasarkan kajian pustaka di atas dapat dibuat kerangka pikir sebagai berikut :

Kurikulum 2013

Pembelajaran biologi
harus terintegrasi TIK

1. Cara mengajar
Penguasaan TPACK
2. Pengetahuan & Guru
keterampilan TIK
3. Minat & sikap 1. Dukungan staf &
terhadap TIK sekolah
Gender Guru menerapkan 2. Kebijakan sekolah
4. Minat & sikap TPACK dalam proses Status
guru 3. Iklim sekolah
terhadap biologi pembelajaran Sekolah
4. Ketersediaan
5. Penguasaan materi sarana dan fasilitas
biologi TIK

Perencanaan Pelaksanaan
Pembelajaran Pembelajaran

67
66
D. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan judul penelitian mengenai “Profil Kemampuan TPACK Guru

Biologi SMA di Kota Yogyakarta Berdasarkan Gender Guru dan Status Sekolah”

maka dapat dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Apakah guru biologi menguasai TPACK dengan baik?

2. Apakah guru biologi telah merencanaan penerapan TPACK pada RPP dengan

baik?

3. Apakah guru biologi telah menerapkan TPACK pada proses pembelajaran

dengan baik?

4. Apakah perbedaan cara mengajar antara guru laki-laki dan perempuan

menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK guru?

5. Apakah perbedaan pengetahuan dan keterampilan TIK antara guru laki-laki

dan perempuan menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK guru?

6. Apakah perbedaan minat dan sikap terhadap TIK antara guru laki-laki dan

perempuan menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK guru?

7. Apakah perbedaan penguasaan materi biologi antara guru laki-laki dan

perempuan menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK guru?

8. Apakah perbedaan kebijakan sekolah antara guru di sekolah negeri dan swasta

menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK guru?

9. Apakah perbedaan iklim sekolah antara guru di sekolah negeri dan swasta

menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK guru?

68
10. Apakah perbedaan ketersediaan fasilitas TIK antara guru di sekolah negeri

dan swasta menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK guru?

11. Apakah perbedaan kondisi akademik di sekolah negeri dan swasta

menyebabkan perbedaan kemampuan TPACK antara guru laki-laki dan guru

perempuan?

12. Apakah perbedaan sikap, kepercayaan diri, dan kompetensi TIK antara guru

laki-laki dan guru perempuan di sekolah negeri dan swasta menyebabkan

perbedaan kemampuan TPACK?

69

Anda mungkin juga menyukai